• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Arbitrase Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Utang Terkait Perjanjian yang Memiliki Klausul Hukum Indonesia (Studi Kasus: Putusan No. 288 B Pdt.Sus-Arbt 2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kewenangan Arbitrase Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Utang Terkait Perjanjian yang Memiliki Klausul Hukum Indonesia (Studi Kasus: Putusan No. 288 B Pdt.Sus-Arbt 2014)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia pada era globalisasi ini, khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi. Perdagangan merupakan salah satu bidang yang dapat menunjang kegiatan ekonomi masyarakat selain itu juga dapat menunjang pertumbuhan serta pembangunan perekonomian nasional.1 Di era modern ini, kegiatan perdagangan cakupannya tidak hanya dalam lingkup nasional yaitu antar subjek dan pihak-pihak orang Indonesia saja tetapi juga dalam lingkup internasional (antar negara) yang dapat melibatkan baik individu kewarganegaraan lainnya, badan hukum swasta kewarganegaraan lainnya, maupun pihak pemerintahan negara lainnya. Kegiatan perdagangan yang tergolong lingkup internasional apabila menyangkut antara:2

1. Suatu negara dengan negara lainnya.

2. Antara negara disuatu pihak dengan individu di lain pihak.

3. Antara negara di suatu pihak dengan organisasi atau badan hukum di lain pihak.

4. Antara lembaga swasta atau individu disuatu pihak dengan lembaga swasta atau individu di pihak lainnya.

1

Hetty Hassanah, Penyelesaian Sengketa Perdagangan Melalui Arbitrase Secara Elektronik ( Arbitrase On Line ) Berdasarkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, http://ejournal.sthb.ac.id (diakses pada tanggal 24 November 2015) .

2

(2)

Perkembangan masyarakat serta laju dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat dimana dapat ditandai dengan lahirnya berbagai macam perjanjian multilateral dan bilateral maupun pembentukan blok-blok ekonomi yang menjurus kepada kondisi borderless dalam dunia perdagangan.3 Perkembangan pesat perdagangan dunia ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya sengketa yang disebabkan oleh wanprestasinya salah satu pihak atas perjanjian yang telah disepakati bersama. Dinamika dan kepesatan yang terjadi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum.4 Dengan demikian, sebagai salah satu negara eksis di dunia, Indonesia harus menyesuaikan hukumnya dengan sistem hukum yang berlaku didunia.5 Berbagai upaya dilakukan untuk membaharui substansi-substansi hukum, salah satunya dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (selanjutnya disebut dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981). Akibat dari menandatangani konvensi ini berarti Indonesia setuju untuk diikat dalam ketentuan-ketentuan Konvensi New York.

Sementara itu implikasi dari kegiatan bisnis terhadap lembaga hukum dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa internasional, badan pengadilan nasional dianggap oleh para pengusaha tertutama pengusaha asing sebagai lembaga hukum yang kurang efektif dan efisien. Ini dikarenakan:

3

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) , hlm 1.

4

Erman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan (Jakarta : PT. Fikahati Aneska, 2012), hlm 1.

5

(3)

1. Penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pengadilan di Indonesia memakan waktu yang lama dengan prosedur yang panjang dengan tata cara peradilan yang terstruktur.

2. Biaya yang besar.

3. Pengadilan bersifat terbuka yang berarti pemeriksaan perkara dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum, jadi kerahasian para pihak yang bersengketa tidak terjamin.

4. Hakim yang memeriksa perkara cenderung lebih menguasai hukum negaranya sendiri dibanding hukum negara lainnya (subjektifitas).

5. Mengenal adanya tingkatan pemeriksaan perkara, dimana sering disalah gunakan oleh pihak yang kalah untuk mengulur-ulur pelaksanaan putusan hakim yang dijatuhkan kepadanya.6

Rendahnya kesadaran hukum juga ikut mempengaruhi, dimana para pihak yang berperkara di pengadilan bukan untuk mencari keadilan melainkan untuk memenangkan perkara. Karenanya, tidak jarang terdengar ada pihak yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan, biasanya mereka merupakan pihak yang dikalahkan.7

Dunia perdagangan mengenal bentuk penyelesaian sengketa non litigasi yang merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang dapat memberi rasa keadilan bagi para pihak. Penyelesaian sengeketa non litigasi tersebut diantaranya meliputi: negosiasi, konsoliasi, mediasi, dan arbitrase. Dari keempat penyelesaian sengketa alternatif non litigasi diatas, hanya penyelesaian sengketa

6

BPHN, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (Undang – Undang Nomor 30 tahun 1999), (Jakarta: BPHN)

7

(4)

melalui arbitrase yang keputusannya bersifat mengikat dan final, yang berarti tidak dapat diajukan banding maupun kasasi terhadap putusan yang telah dikeluarkan oleh badan arbitrase tersebut.

Negosiasi dapat dilakukan secara langsung tanpa menyertakan pihak ketiga (simpliciter negotiation) maupun dengan bantuan pihak ketiga yang selanjutnya berkembang dalam bentuk mediasi dan konsoliasi. Sedangkan arbitrase adalah mekanisme yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (arbitrator) yang ditunjuk dan diberi wewenang oleh para pihak.8

Arbitrase adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang populer digunakan karena penyelesaian melalui arbitrase ini lebih diminati karena sifat kerahasian para pihak hasil putusannya tidak dipublikasikan9, serta putusan yang dihasilkan bersifat final dan mengikat. Arbitrase menjadi pilihan forum penyelesaian sengketa yang paling diminati dikarenakan oleh berbagai kelebihannya tersebut.

Indonesia sejak lama telah mengenal arbitrase, terbukti dari adanya berbagai peraturan yang mengatur tentang arbitrase yang sudah ada sejak zaman masa Hindia Belanda. Peraturan arbitrase di Indonesaia yang digunakan pada masa Hindia belanda terdiri dari: Pasal 377 HIR (Herziene Inlandsch Reglement)

yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, Pasal 705 RBG (Rechsreglement voor de Buitengewesten) yang berlaku bagi daerah di luar pulau Jawa dan Madura dan Pasal 615 – 651 RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering). Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut dengan UU Arbitrase dan

8

Ibid, hlm 4 9

Suyud Margono, ADR & Arbitrase ( Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum),

(5)

APS), berbagai peraturan terdahulu yang mengatur tentang arbitrase sudah tidak berlaku lagi. Perkembangan dunia bisnis yang pesat mengharuskan Indonesia dalam menghadapi pengaruh yang timbul dalam perekonomian dan perdagangan dan semua aspeknya harus melakukan pembaharuan dalam hukum ekonominya termasuk juga dalam hal penyelesaian sengketa yang terjadi akibat hubungan komersial tersebut yang mengakibatkan peraturan arbitrase pada masa Hindia Belanda tersebut yang sebelumnya dipakai sebagai acuan terhadap arbitrase tidak sesuai dengan perkembangan zaman lagi. Dengan demikian, yang menjadi dasar hukum diberlakukannya Arbitrase di Indonesia sekarang adalah UU Arbitrase dan APS.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diasumsikan sebagai penyelesaian sengketa yang lebih diminati oleh kalangan pengusaha dikarenakan banyak keungulan dan berisiko kecil dibandingkan dengan pengadilan, ternyata pada fakta yang ditemukan tidak seperti yang diperkirakan. Sebagaimana diketahui bahwa arbitrase tidak memiliki “kewenangan publik” untuk dapat

mengeksekusi sendiri terhadap putusan yang sudah dijatuhkan. Dengan demikian, suatu putusan arbitrase, dimanapun putusan tersebut dijatuhkan akan selalu tidak memiliki “titel eksekutorial“ 10

sebelum putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya pada pengadilan negeri. 11 Bahkan untuk putusan abitrase internasional ditentukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan baru dapat dilaksanakan di Indonesia setelah mempunyai eksekuatur

10

Erman Supraman, Op Cit, hlm.11 11

(6)

dari Pengadilan Jakarta Pusat.12 Jadi faktanya membuktikan bahwa putusan arbitrase belum mandiri, belum final, dan belum mengikat. Belum mandiri dapat dilihat dari ketentuan mengenai “...putusan arbitrase terlebih dahulu harus

diserahkan dan didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri,” dengan ancaman sanksi “...tidak dipenuhinya ketentuan ini berakibat putusan arbitrase tidak dapat

dilaksanakan.”13Kemudian putusan arbitrase “belum final”, dibuktikan dengan “

Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”14

Jadi, dalam keadaan salah satu pihak tidak secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase, maka forum arbitrase sebagai pemutus sama sekali tidak mempunyai kewenangan apa pun untuk dapat melaksanakan putusan yang dijatuhkan agar dapat dilaksanakan oleh pihak yang menolak untuk melaksanakannya.15

Disamping itu, agar putusan arbitrase dapat dieksekusi di Indonesia, pilihan hukum yang disepakati oleh pihak yang bersengketa tidak boleh melanggar ketertiban umum. Ketertiban umum itu bersifat subjektifitas hakim. Hakim dapat mempergunakan alasan melanggar ketertiban umum sehingga tidak dapat dieksekusi apabila bertentangan dengan sendi-sendi azasi hukum, kepatutan dan kesusilaan serta adat istiadat pada negara tempat dieksekusinya putusan tersebut. Putusan arbitrase yang ingin dieksekusi di Indonesia juga tidak boleh mengandung unsur “penyeludupan hukum” yaitu upaya yang dilakukan oleh para

12

(7)

pihak dalam suatu kontrak untuk menghindarkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa dengan tujuan guna menghindarkan akibat-akibat hukum yang tidak dikehendaki maupun untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dikehendaki para pihak dalam perjanjian.

Pilihan hukum (choice of law) dan pilihan kompetensi kewenangan mengadili (choice of juridiction) turut mendapat peran yang besar dalam hal terjadinya sengketa disamping pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (recognition and enforcement of foreign arbitration award) di Indonesia.

Pada umumnya dalam kontrak bisnis, pada saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian biasanya tidak dipersoalkan bagaimana penyelesaian sengketa bagi para pihak kedepannya karena sejak awal tujuan mereka memang untuk berbisnis dan sama sekali bukan untuk bersengketa. Perhatian utama para pelaku bisnis adalah pada pemenuhan prestasi atau pelaksanaan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, bukan pada sengketa maupun penyelesaiannya.16 Akan tetapi dalam kehidupan bisnis banyak peristiwa yang tidak diduga terjadi. Banyak pelaku bisnis yang kerap membuat perjanjian penyelesaian sengketa pada saat keadaan antar para pihak dalam perjanjian itu sudah memburuk, misalnya karena terhambatnya pemenuhan prestasi, yang setelah hal itu terjadi barulah para pihak berpikir untuk menentukan pilihan hukum apa dan kompetensi kewenangan pengadilan mana yang akan digunakan apabila prestasi tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.

Demikian pula, dalam hal pembatalan putusan arbitrase Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberi kewenangan dalam hal pembatalan putusan arbitrase.

16

(8)

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan APS mengatur bahwa putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:17

1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;

3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam kontrak.

Putusan dari badan arbitrase dapat diajukan pembatalan, akan tetapi menurut sifatnya dan kesepakatan umum oleh para pihak dalam kontrak, tidak dimungkinkan untuk diajukan banding. Tidak adanya “kesepakatan” bersama oleh para pihak untuk membawa penyelesaian sengketa utang pada badan arbitrase internasional dan telah sepakatnya kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa utangnya dengan menggunakan hukum Indonesia. Menurut Article V Konvensi New York terhadap putusan yang dihasilkan oleh arbitrase Internasional itu dapat ditolak pelaksanaannya serta pengakuannya juga tidak diterima.18 Sementara, menurut UNCITRAL terhadap tidak adanya “kesepakatan” untuk membawa penyelesaian sengketa pada arbitrase, maka terhadap itu dapat diajukan pembatalan.19

Masalah penyelesaian sengketa perdagangan melalui forum arbitrase selalu menarik perhatian kalangan pengusaha sampai saat ini. Berdasarkan uraian

17

Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

18

Article V New York Convention 1958 19

(9)

diatas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan yang berkaitan dengan Kewenangan Arbitrase Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Utang yang Memiliki Klausul Hukum Indonesia (Studi Kasus : Putusan No. 288 B/Pdt.Sus-Arbt/2014). Kasus ini berkaitan dengan badan hukum Singapura (Trasnpac Capital Pte.Ltd) sebagai Tergugat yang memberikan fasilitas obligasi kepada badan hukum Indonesia (PT.Sumber Subur Mas) sebagai Penggugat pada tanggal 30 Juni 1994 sebesar US$ 12.296.000 (dua belas juta dua ratus sembilan puluh enam ribu dolar Amerika Serikat). Karena terjadinya krisis ekonomi yang menimpa Negara Indonesia pada tahun 1998, mengakibatkan Penggugat I (PT.Sumber Subur Mas) sulit mengembalikan kewajibannya pada para Tergugat. Akibat dari kesulitan dalam melunaskan obligasi tersebut, pada tanggal 16 Oktober 2000, para Tergugat dan Penggugat I (PT.Sumber Subur Mas), Penggugat II selaku Direktur dan Pemegang Saham PT.Sumber Subur Mas serta Penggugat III selaku Komisaris dan Pemegang Saham PT.Sumber Subur Mas telah mengadakan kesepakatan dalam menyelesaikan hutang penggugat I kepada para Tergugat sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian Penyelesaian Hutang Nomor 73, yang dibuat di hadapan Darbi,S.H., Notaris di Jakarta, dan seandainya –quad non- para Penggugat lalai memenuhi kewajibannya sebagaimana tercantum

(10)

656/Dukuh seluas 342 m2 atas nama Penggugat ke III (Imelda Irawan) dan Sertifikat Hak Milik Nomor 756/Dukuh, seluas 167 m2 atas nama Penggugat II (Yusman Tamara) dan juga telah membayar tanda kesungguhan kepada para Tergugat melalui kuasanya di Indonesia sebesar Rp.8.750.000.000,00 (delapan miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Akan tetapi, karena adanya kelalaian kewajiban pembayaran lanjutan yang dilakukan oleh para Penggugat, maka para Tergugat telah membawa penyelesaian masalah tersebut melalui The Singapore International Arbitration Centre (SIAC) yang dimana seharusnya penyelesaian atas sengketa utang yang lalai tersebut diperjanjikan penyelesaiannya harus menggunakan hukum Indonesia dan dilaksanakan pada pengadilan Indonesia. Oleh karena itu, para pihak Penggugat mengajukan pembatalan keputusan arbitrase internasional yang dihasilkan oleh SIAC tersebut pada Pengadilan Negeri.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengakuan hukum nasional terhadap putusan arbitrase internasional?

2. Apakah pengadilan di Indonesia memiliki yuridiksi untuk mengadili perkara pembatalan terhadap putusan arbitrase internasional?

(11)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari pembahasan dalam skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui ketentuan- ketentuan yang harus dipenuhi yang menjadi syarat agar putusan arbitrase internasional diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia.

b. Untuk mengetahui negara mana yang berwenang dalam hal pembatalan putusan arbitrase internasional

c. Untuk mengetahui apakah arbitrase internasional memiliki kewenangan dalam penyelesaian sengketa utang terkait perjanjian utang yang memiliki klausul hukum indonesia (Studi Kasus: Putusan No. 288 B/Pdt.Sus-Arbt/2014)

2. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan yang diharapkan diperoleh dari skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis

(12)

b. Secara praktis

Secara praktis skripsi ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pembaca terutama bagi para pelaku usaha yang melakukan perdagangan antar negara agar lebih memahami penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase, khusunya mengenai pelaksanaan putusan arbitrase, pembatalan putusan arbitrase serta wewenang arbitrase terhadap suatu sengketa utang yang telah memiliki perjanjian terhadap hukum negara mana dan lembaga yang akan dipakai dalam menyelesaikan sengketa utang tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari penulis sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penulisan dimaksud. Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan tentang Kewenangan Arbitrase Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Utang Terkait Perjanjian yang Memiliki Klausul Hukum Indonesia (Studi Kasus: Putusan No. 288 B/ Pdt.Sus-Arbt/2014) , belum pernah ditulis oleh penulis lainnya.

Adapun judul yang ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara antara lain :

(13)

2. Ayu Lestari, mahasiswa fakultas Hukum USU, dengan judul skripsi Mekanisme penyelesaian sengketa melalui GATT dan WTO ditinjau dari segi hukum penyelesaian sengketa secara damai, ditulis pada tahun 2007.

3. Anita Serbia Nababan, mahasiswa fakultas Hukum USU, dengan judul skripsi Klausula arbitrase dalam kontrak bisnis, ditulis pada tahun 2005.

4. Hans K. Gozali, mahasiswa fakultas Hukum USU dengan judul skripsi UNIDROIT sebagai prinsip bagi investo dalam melakukan kontrak bisnis internasional, ditulis pada tahun 2012.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, bila dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka 1. Arbitrase

Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.20

Pemaparan dari definisi arbitrase pada pasal 1 ayat 1 diatas, dapat diketahui bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan dari para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis melalui suatu badan peradilan swasta diluar pengadilan umum.

20

(14)

“Kesepakatan”, perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak

berdasarkan asas kesepakatan berarti bahwa mereka (pihak yang bersengketa) telah memilih lembaga arbitrase untuk bersengketa. Kesepakatan pada perjanjian arbitrase ini juga berarti bahwa pada dasarnya telah disetujui oleh para pihak secara bersama-sama/tanpa paksaan mengenai cara penyelesaian sengketa antar para pihak melalui arbitrase apabila terjadi sengketa di kemudian hari maupun pada sengketa yang telah terjadi. Apabila para pihak telah bersepakat untuk menyelesaikan sengketa yang akan terjadi dikemudian hari atau yang telah terjadi dengan cara abitrase maka kesepakatan yang telah disetujui kedua pihak ini, tidak bisa dibatalkan oleh salah satu pihak walaupun kontrak tersebut telah berakhir, perjanjian penyelesaian sengketa dengan arbitrase masih tetap berlaku.

“Perjanjian tertulis”, yang berarti perjanjian arbitrase harus dibuat secara

tertulis. Hal ini berkaitan dengan bentuk perjanjian yang dibuat para pihak harus berbentuk tertulis, mengingat dalam klausul kontrak harus dicantumkan bahwa para pihak akan memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa apabila terjadi diantara mereka.21 Perjanjian arbitrase harus dalam bentuk tertulis karena keabsahan suatu bentuk perjanjian arbitrase sangatlah penting. Dari perjanjian tertulis juga dapat dilihat bentuk arbitrase yang digunakan serta isi dari perjanjian arbitrase tersebut.

“Badan peradilan swasta diluar peradilan umum” yang disebut juga

dengan lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga arbitrase juga dapat memberikan putusan yang mengikat mengenai suatu

21

(15)

hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.22Bukan hanya lembaga arbitrase yang dapat menangani suatu sengketa komersial dan memberikan putusan terhadapnya dimana putusan tersebut bersifat mengikat, tetapi arbiter juga dapat menangani suatu sengketa komersial dan memberikan putusan terhadapnya dimana putusan tersebut bersifat mengikat. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.23

2. Arbitrase internasional

Belum ada pengertian yang konkrit dari para sasrjana mengenai apa yang yang dimaksud dengan arbitrase internasional. Suatu arbitrase dianggap “internasional” apabila para pihak pada saat dibuatnya perjanjian yang

bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of business) di negara- negara yang berbeda. Jika terjadi perselisihan di antara mereka dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.

Dalam Pasal 1 UNCITRAL Rule dinyatakan bahwa undang-undang ini diberlakukan untuk apa yang dinamakan International Commercial Arbitration.

Artinya, bahwa UNCITRAL Rule hanya digunakan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan commercial yang bersifat internasional, dan suatu perselisihan akan tergolong perselisihan commercial internasional apabila beberapa hal terpenuhi. Dari ketentuan Pasal 1 UNICITRAL Rule tersebut

22

Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

23

(16)

disimpulkan bahwa suatu arbitrase adalah internasional, jika meliputi syarat-syarat berikut ini:24

a. Apabila pihak yang membuat klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha di negara- negara yang berbeda;

b. Jika tempat dimana akan dilakukannya arbitrase (yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase) terletak di luar negara tempat usaha para pihak. Jadi, meskipun mereka memiliki tempat usaha yang sama dalam suatu negara, tetapi karena memilih tempat penyelesaian perselisihan di negara yang berbeda dengan tempat usaha mereka, maka arbitrase tersebut akan tergolong arbitrase internasional;

c. Bila tempat dimana bagian yang terpenting kewajiban atau hubungan dagang dari para pihak harus dilaksanaan atau tempat dimana objek sengketa paling erat hubungannya memang teletak diluar negara tempat usaha para pihak;

d. Apabila para pihak secara tegas menyetujui bahwa objek perjanjian arbitrase mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara.

Dari yang diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa cara yang menunjukkan suatu arbitrase dapat disebut internasional adalah sebagai berikut:25

1) Internasional menurut badan arbitrasenya

Dikatakan internasional menurut badan arbitrasenya jika didalam klausul arbitrase para pihak memilih badan arbitrase internasional untuk menyelesaikan perselisihan mereka.

24

H.Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Mengenali Arbitrase ( Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2004), hlm.131

25

(17)

2) Internasional menurut struktur prosedur

Umumnya arbitrase internasional dilaksanakan di dalam suatu negara. Akan tetapi, adakalanya terlepas dari sistem, struktur atau prosedur hukum negara dimana arbitrase itu akan dilakukan. Tata cara atau prosedur persidangannya dan lain-lainnya dilaksanakan menurut atau sesuai dengan ketentuan yang disepakati oleh mereka yang terlibat. Jika mereka sepakat untuk menggunakan struktur atau prosedur suatu badan arbitrase yang berada di luar negara dimana persidangan arbitrase itu dilaksanakan, arbitrase ini tergolong arbitrase internasinal.

3) International menurut subjeknya

Suatu arbitrase dapat pula dikatakan arbitrase internasional jika subjek- subjek yang terkait berbeda kewarganegaraan/domisili.

4) Internasional menurut faktanya

Suatu arbitrase dapat juga dikatakan internasional berdasarkan hubungannya dengan lebih dari satu yuridiksi badan arbitrase. Hal ini dapat terjadi meskipun arbitrase ini diorganisasi dan dilaksanakan menurut hukum nasional dari suatu negara tertentu, tetapi asalkan berhubungan dengan yuridiksi badan arbitrase dari negara lain (unsur asing), maka dapat tergolong dalam arbitrase internasional.

(18)

“Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu

lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Indonesia dianggap sebagai putusan arbitase Internasional.”

Putusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase sifatnya adalah final dan mengikat.26“Final dan Mengikat” berarti terhadap putusan yang dikeluarkan oleh lembaga arbitrase atau arbiter tidak ada upaya hukum yang berarti tidak dapat diajukan banding, kasasi, peninjauan kembali. Tetapi terhadap putusan arbitrase ini, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:27

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam kontrak.

Ahli-ahli hukum arbitrase Indonesia berpendapat bahwa hukum Indonesia tidak mengakui kewenangan pengadilan Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara lain. 28 Jadi pembatalan putusan arbitrase yang

26

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional (Jakarta: PT. RajaGravindo Persada, 2002), hlm.15

27

Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tantang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

28

(19)

diatur dalam Pasal 70-72 UU Arbitrase dan APS hanya berlaku untuk arbitrase internasional

3. Sengketa utang

Utang adalah sesuatu yang dipinjam. Seseorang atau badan usaha yang meminjam disebut debitur. Entitas yang memberikan utang disebut kreditur.29 Pengertian utang dalam Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1 angka 6, yaitu :

“kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.”

Perjanjian utang piutang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) tidak diatur secara tegas dan terperinci, namun bersirat dalam

Pasal 1754 KUH Perdata, yang menyatakan dalam perjanjian pinjaman, pihak yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama (selanjutnya untuk kemudahan, maka istilah yang dipergunakan adalah “perjanjian

utang piutang”). Pasal 1754 KUH Perdata yang dkutip sebagai berikut:

“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu

memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

29

(20)

Kesepakatan yang melahirkan hubungan keperdataan dalam hal ini utang piutang, tentu menjadi undang-undang kepada para pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Sehingga, kesepakatan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam perjanjian utang piutang tersebut harus dengan iktikad baik dilaksanakan. Dalam hal tidak ada atau bahkan kesepakatan rinci tidak dituangkan dalam suatu bentuk tertulis, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata ditegaskan bahwa aturan umum dalam KUH Perdata akan berlaku dan menjadi aturan yang harus dipatuhi oleh para pihak. Berikut dikutip Pasal 1319 KUH Perdata sebagai berikut:

“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang

tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.”

Dengan berpatokan pada KUH Perdata, maka setiap penafsiran, tindakan, maupun penyelesaian sengketa yang muncul harus dirujuk pada perjanjian utang piutang dan KUH Perdata. Termasuk untuk menentukan suatu pihak berada dalam keadaan wanprestasi, yang banyak ahli hukum perdata mengkategorikan wanprestasi ke dalam 4 (empat) keadaan, yaitu:

(21)

Sehingga, pihak si berutang dapat dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi apabila telah menerima teguran (sommatie/ingebrekestelling) supaya memenuhi kewajibannya untuk melunasi utangnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang dikutip sebagai berikut:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan

sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.30”

Teguran untuk segera memenuhi kewajiban untuk melunasi utang tersebut apabila tidak diindahkan dapat menimbulkan problematika yang disebut juga dengan sengketa.

Sengketa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapat diartikan sebagai: a. sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran;

pembantahan;

b. pertikaian; perselisihan; c. perkara ( pengadilan).31

Sengketa utang adalah perselisihan yang terjadi diantara para pihak karena lalai dipenuhinya kewajiban untuk memenuhi prestasinya oleh satu pihak dimana telah diberi teguran oleh pihak lainnya.

4. Klausul Hukum Indonesia

Klausula (clause) adalah catatan tambahan pada suatu kontrak atau akta yang biasanya mengandung suatu pernyataan khusus. 32 Sementara, yang

30

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5475/bolehkah-memakai-jasa-polisi-untuk-penagihan-utang (diakses pada 15 Desember 2015)

31

http://kbbi.web.id/sengketa (diakses pada tanggal 15 Desember 2015) 32

(22)

dimaksud dengan isi klausul arbitrase adalah mengenai hal-hal yang boleh dicantumkan dalam perjanjian arbitrase. Penggunaan istilah klausul arbitrase mengandung konotasi bahwa perjanjian pokok yang bersangkutan diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase. 33

Klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian pada umumnya secara spesifik memberi para pihak kekuasaan yang besar berkaitan dengan berbagai aspek. Klausul arbitrase mungkin menunjuk sebuah badan arbitrase tertentu, lokasi arbitrase berlangsung, hukum dan aturan-aturan yang akan digunakan, kualifikasi para arbiter, dan bahasa yang akan dipakai dalam proses arbitrase.34Klausul hukum Indonesia berarti perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak jika terjadi sengketa ke depannya, hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah hukum Indonesia.

5. Kewenangan arbitrase

Wewenang dapat diartikan sebagai: a. Hak dan kekuasaan untuk bertindak.

b. Kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.35

Kewenangan berarti hak/kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang/badan/negara untuk mengeluarkan perintah, mengatur, membuat keputusan, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang dapat menimbulkan akibat hukum tertentu, menjalankan tugas dan melimpahkan tanggung jawab yang dimiliki kepada pihak lainnya.

33

Suyud MargonoI , Op.Cit., hlm.117 34

Ibid

35

(23)

Kewenangan arbitrase berarti hak/kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga arbitrase baik bersifat nasional maupun internasional untuk memeriksa dan membuat keputusan yang bersifat final dan binding terhadap suatu perkara yang telah disepakati oleh para pihaknya untuk diselesaikan pada lembaga arbitrase yang telah dipilih sebelum/setelah sengketa terjadi.

Putusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase sifatnya adalah final dan mengikat.36“Akhirdan Mengikat” berarti terhadap putusan yang dikeluarkan oleh lembaga arbitrase atau arbiter tidak ada upaya hukum yang berarti tidak dapat diajukan banding, kasasi, peninjauan kembali.

F. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode lab teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.37

1. Jenis dan sifat penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun

36

Huala Adolf, Op.Cit, Hlm.15 37

(24)

berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Digunakannya penelitian hukum normatif ini karena penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan. Penelitian hukum normatif ini meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, sumber-sumber hukum, penjelasan umum dan penjelasan setiap pasal peraturan perundang-undangan, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum , serta keputusan pengadilan.

Sifat penelitian bersifat deskriptif dan penelitian studi kasus. Menurut Sugiyono menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.38

2. Data penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi kepustakaan (Library Research). Sumber data yang diperoleh dari penelitian ini diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.39 Bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:

38

http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/penelitian-hukum-normatif.html (diakses pada tanggal 15 Desember 2015)

39

(25)

1) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata 2) Undang-Undang Arbitrase dan APS

3) Konvensi New York 1958 diratifikikasi dengan Keppres No. 34 tahun 1981;

4) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 Tentang Tata cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (selanjutnya disebut dengan PERMA No 1 Tahun 1990);

5) UNCITRAL Model Law. b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini yang berfungsi untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, karya ilmiah dan sumber-sumber media elektronik.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap badan hukum primer dan badan hukum sekunder, seperti : Kamus, Ensiklopedia, dan lain lain.

3. Teknik pengumpulan data

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, digunakan metode penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data secara studi kepustakaan (Library Research). Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:40

40

(26)

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis data

Penulisan skripsi ini merupakan penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Analisis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder yang didapat. Bahan hukum yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum, selanjutnya semua bahan hukum diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, sehingga memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dimaksud. Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan ini.

G. Sistematika Penulisan

(27)

terbagi dalam bab-bab yang mempunyai masalah tersendiri dan saling berhubungan antara bab satu dengan yang lainnya.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I tentang pendahuluan dimana didalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.

Bab II tentang arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis internasional, berisikan tentang perihal umum mengenai arbitrase yang didalmnya berisikan pengertian arbitrase, ciri-ciri arbitrase, jenis-jenis arbitrase, keuntungan dan kelemahan arbitrase, sifat perjanjian arbitrase, bentuk klausula arbitrase, isi klausula arbitrase.

Bab III tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia, berisikan tentang syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia, pengakuan terhadap putusan arbitrase internasional di Indonesia, keterkaitan Pengadilan Negeri terhadap putusan arbitrase Internasional, tahap-tahap pendaftaran dan pencatatan putusan arbitrase internasional di Indonesia, tahap-tahap pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia, perbedaan antara penolakan putusan arbitrase internasional dengan pembatalan putusan arbitrase internasional.

(28)

Law, Pembatalan putusan arbitrase internasional berdasarkan UU Arbitrase dan APS, pihak yang berwenang untuk mengadili perkara sengketa utang yang telah terkait dengan perjanjian yang memiliki klausul hukum Indonesia, pihak yang dapat membatalkan putusan arbitrase internasional yang telah dikeluarkan oleh suatu lembaga arbirase internasional.

Referensi

Dokumen terkait

Orang tua yang memiliki anak autis diharapkan mampu membangun sikap yang tepat agar dapat membantu anaknya yang autis secara tepat pula. Orang tua terlebih dahulu harus bisa

Hal tersebut juga senada dengan yang dikemukakan oleh Staf Bidang Pelatihan dan Pengembangan BKKBN DIY bahwa: pelaksanaan program keluarga berencana di daerah diserahkan

Terdapat lapan bidang yang berkaitan dengan bidang pendidikan yang paling umum untuk aplikasi pemikiran komputasional iaitu STEM, Sains Komputer, Teknologi

poligami adalah perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki (suami) yang mempunyai lebih dari seorang istri atau banyak istri dalam waktu yang sama dan dalam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hasil perhitungan uji normalitas data dengan model Jarque Bera berdistribusi normal, hasil uji linieritas dengan model Ramsey

Dari telaah yang telah dilakukan terhadapa pemikiran Amin tentang riwayat mudallasīn paling tidak kritiknya sampai pada simpulan, yaitu: (1) Ada inkonsistensi dan gap

Dengan tahapan semacam itu maka kegiatan penelitian ini telah mengarah pada realisasi dari tujuannya yaitu: mengembangkan pembelajaran tentang deteksi dini dan

Pelayanan adalah bentuk servis yang diberikan karyawan kepada pelanggan dalam memasarkan produk atau jasa sehingga pelanggan akan memperoleh kepuasan dalam mengkonsumsi produk