BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan kesehatan reproduksi remaja di Indonesia merupakan salah satu program unggulan dalam pencapaian Visi Indonesia 2010. Namun pada realitasnya
masih kurang komitmen dan dukungan pemerintah atas kebijakan yang mengatur tentang pendidikan bagi remaja terutama di sekolah, hal ini terlihat dari lemahnya
kerjasama lintas sektoral antara Depkes-Depdiknas. Norma adat dan nilai budaya leluhur yang masih dianut sebagian besar masyarakat Indonesia juga menjadi tantangan terbesar dalam penyelenggaraan pendidikan seksual dan reproduksi
berbasis sekolah. Selain itu masih banyak yang menganggap bahwa seks itu tabu untuk dibicarakan kepada mereka yang belum menikah, memberikan pendidikan seks
dikhawatirkan akan meningkatkan kasus seperti kehamilan pranikah, aborsi, dan PMS termasuk HIV/AIDS (Depkes RI, 2001).
Kesehatan reproduksi remaja sangat penting karena masa remaja merupakan
masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Kehidupan remaja merupakan kehidupan yang sangat menentukan bagi kehidupan masa depan selanjutnya. Pada
tahun 2010 jumlah remaja umur 10-24 tahun sangat besar yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk 2010 dalam BKKBN 2012). Melihat jumlahnya yang sangat besar, maka remaja
secara jasmani, rohani, mental dan spiritual. Faktanya berbagai penelitian menunjukkan bahwa remaja mempunyai berbagai permasalahan yang sangat
kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja. Masalah yang menonjol dikalangan remaja yaitu permasalahan seputar TRIAD Kesehatan Reproduksi Remaja
(KRR) yaitu (Seksualitas, HIVdan AIDS, serta NAPZA), rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja dan median usia kawin pertama relatif masih rendah (SDKI 2007 dalam BKKBN 2012).
Rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi juga merupakan permasalahan dalam kesehatan reproduksi remaja. Hasil SDKI tahun 2007 dalam
BKKBN 2012 menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja masih relatif rendah. Remaja perempuan yang tidak tahu tentang perubahan fisiknya sebanyak 13,3%, sebanyak 47,9% remaja perempuan tidak
mengetahui masa suburnya. Pengetahuan responden remaja laki-laki, dari survei yang sama, remaja laki-laki yang tahu tentang masa subur perempuan lebih tinggi (32,3%)
dibanding dengan responden remaja perempuan (29%). Pengetahuan laki-laki tentang mimpi basah lebih tinggi (24,4%) dibandingkan dengan remaja perempuan (16,8%), sedangkan pengetahuan remaja laki-laki tentang menstruasi lebih rendah (33,7%)
dibanding dengan remaja perempuan (76,2%). Pengetahuan remaja tentang cara paling penting menghindari infeksi HIV/AIDS masih terbatas, hanya 14% remaja
berganti-ganti pasangan seksual) sebagai cara menghindari HIV dan AIDS (SKRRI 2007 dalam BKKBN 2012).
Hurlock (2003) menyatakan bahwa kriteria yang paling sering digunakan untuk menentukan masa pubertas adalah munculnya menstruasi pertama (menarche) pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki. Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual. Pubertas merupakan suatu tahap dalam proses perkembangan yang penting bagi remaja untuk menuju kedewasaan (Soetjiningsih, 2010). Kedewasaan pada
remaja putri salah satunya ditandai dengan adanya perubahan-perubahan bertahap pada organ kandungan, yang berfungsi sebagai persiapan untuk suatu kehamilan
(Manuaba, 2010). Peristiwa penting tersebut ditandai dengan datangnya haid pertama (menarche) pada wanita. Haid pertama (menarche) sering digunakan sebagai kriteria maturation pada remaja puber perempuan, sedangkan bagi remaja puber laki-laki,
kriteria yang dipakai adalah mimpi basah (Hurlock, 2003).
Salah satu faktor risiko yang meningkatkan kecemasan pada masa pubertas
karena kurangnya persiapan remaja dalam menangani perubahan yang terjadi dan stres menghadapi proses kematangan seksual. Ketidaktahuan remaja mengenai apa yang terjadi pada dirinya dan mengapa hal itu terjadi seringkali diiringi dengan
perasaan negatif seperti kecemasan, kaget, panik, bingung dan malu. Pendidikan kesehatan reproduksi yang diberikan secara dini, akan memudahkan remaja mencapai sikap dan tingkah laku yang diinginkan yaitu sikap dan tingkah laku yang
mungkin, idealnya sebelum masa pubertas dengan cara yang berbeda-beda pada setiap tingkatan kelompok umur sehingga mereka tidak mengalami kebingungan
(Natsuaki, dkk., 2011).
Pada masa pubertas, anak diharapkan untuk berbuat sesuai dengan standar
yang pantas untuk usia mereka. Hal ini akan mudah jika pola perilaku mereka terletak pada tingkat perkembangan yang sesuai, apabila remaja belum matang untuk memenuhi harapan sosial menurut usianya maka remaja tersebut cenderung akan
mengalami masalah. Remaja pada masa pubertas sering mengembangkan konsep diri yang tidak realistik mengenai penampilan dan kemampuan kelak setelah dewasa.
Bentuk kecemasan masa pubertas antara lain kekhawatiran mereka apabila konsep diri ideal tidak terwujud, kekhawatiran pertumbuhan mereka tidak sama dengan teman-temannya, kekhawatiran apakah perubahan tersebut merupakan suatu hal yang
normal dan apakah semua orang mengalaminya, serta apa yang sesungguhnya terhadap perubahan tersebut (Hurlock, 2003).
Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang remaja mengenai reproduksi memberitahukan kepadanya bahwa apa yang ia alami sewaktu pubertas adalah normal. Adanya perasaan bingung saat pertama kali mengalami menstruasi
disebabkan oleh remaja putri tersebut kurang pengetahuan tentang menstruasi (Leliana, 2010). Semakin dini menarche terjadi pada seorang putri, semakin belum
memperoleh informasi yang benar maka mereka akan merasakan pengalaman yang negatif (Soetjiningsih, 2010). Oleh kerena itu pengetahuan yang baik mengenai
pubertas yang didapat oleh remaja putri akan sangat mempengaruhi sikapnya menghadapi pubertas tersebut. Begitu juga dengan laki-laki pertama kali mimpi
basah, tumbuh jakun, kulit kasar, timbulnya jerawat, suara yang membesar dan tumbuhnya kumis.
Pendidikan seks merupakan hal yang perlu dilakukan kepada para remaja
terkhusus pada saat sebelum memasuki masa pubertas, karena salah satu ciri dari pubertas adalah terjadinya perubahan pada fungsi organ reproduksi. Pada budaya
masyarakat Indonesia yang masih lekat dengan budaya timurnya khususnya Provinsi Aceh, berbicara tentang seks merupakan suatu hal yang tabu. Faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seksualitas di depan umum. Hal ini disebabkan seks
dianggap sebagai sesuatu yang porno dan sifatnya sangat pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain (Dwiyani, 2004). Akibatnya orang tua menjadi takut,
bingung, malu sehingga menghambat orang tua itu sendiri untuk memberikan informasi yang benar, padahal kenyataan yang ada informasi tentang seksualitas sudah terbuka dihadapan anak tanpa harus bersusah payah mencarinya. Informasi
yang mudah didapatkan oleh remaja belum tentu benar sesuai dengan tahapan perkembangannya.
mimpi basah adalah teman. Informasi tentang kehamilan juga tidak sama antara remaja putri dan remaja putra. Majalah, surat kabar, rubrik konsultasi ternyata banyak
diminati oleh remaja perempuan untuk memuaskan keingintahuan mengenai risiko tinggi hubungan seksual. Informasi yang sering digunakan adalah guru, teman dan
majalah. Keadaan ini memberikan suatu fenomena bahwa peran guru dalam pemberian informasi kesehatan reproduksi sangat penting. Budaya juga sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena informasi – informasi
yang baru akan disaring kira – kira sesuai tidak dengan budaya yang ada dan agama
yang dianut. Dalam kondisi ini peran orang tua sangatlah penting dibutuhkan untuk
memberikan informasi tentang apapun yang terjadi pada anak ketika memasuki masa remaja.
Bantuan, bimbingan dan pengarahan merupakan beberapa ciri dari dukungan
sosial. Dukungan sosial sebagai hubungan antar pribadi yang didalamnya terdapat satu atau lebih ciri-ciri, antara lain: bantuan atau pertolongan dalam bentuk fisik,
perhatian emosional, pemberian informasi dan pujian. Dukungan sosial merupakan sesuatu yang dimiliki oleh individu yang hanya dapat dinilai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat kepada individu tersebut. Dukungan sosial dibagi
ke dalam empat dimensi, yaitu: dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan instrumental dan dukungan penilaian (Friedman, 2010).
perubahan-perubahan akibat kematangan yang dialami remaja pubertas. Soekanto (1990), bimbingan atau dukungan sosial tersebut dapat diperoleh dari keluarga inti yang
dimiliki remaja pubertas yang mengalami kematangan tersebut. Keluarga inti (keluarga batih) merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang lazimnya terdiri dari
suami/ayah, istri/ibu dan anak-anak yang belum menikah. Gunarsa & Gunarsa (1995) mengatakan bahwa keluarga inti merupakan tempat yang penting dimana anak memperoleh kemampuan dasar dalam bentuk kemampuannya agar kelak menjadi
orang yang berhasil di masyarakat.
Orangtua sebagai bagian dari keluarga inti perlu mempelajari seluk beluk
kehidupan remaja secara seksama agar dapat membantu mereka dalam memberikan nilai atau pengetahuan yang penting berkaitan dengan kematangan yang dialami remaja sekarang. Nilai atau pengetahuan yang baik dari orangtua dapat menuntun
pola sikap remaja pubertas sekarang kearah yang positif terhadap kematangan yang dialami remaja sekarang. Orangtua yang merupakan bagian dari keluarga inti
hendaknya tidak memaksakan ciri-ciri kehidupan remaja pada zaman mereka pada anak-anaknya. Cara demikian hanyalah memperbesar kesenjangan. Sebaiknya orangtua justru harus bisa membandingkan kehidupan remaja zaman mereka dengan
zaman remaja anak-anak mereka sekarang yang mengalami pergeseran yang cukup signifikan dalam hal yang berkaitan dengan kematangan. Orangtua sekarang harusnya
Beberapa anak perempuan dan laki-laki telah mengalami pubertas pada usia baru mencapai 10-12 tahun. Ketika memasuki pengalaman pubertas yang
menandakan adanya perubahan fisik, mendorong keinginan remaja pubertas untuk mengadakan interaksi sosial dengan kalangan yang lebih dewasa atau yang dianggap
lebih matang pribadinya sehingga menimbulkan kecenderungan berperilaku mengikuti orang-orang dewasa pada umumnya seperti berpacaran, merokok, dan sering pulang malam (Gloria, 2009). Dukungan terhadap pernyataan sebelumnya juga
dapat dilihat dari pendapat Swarr & Richards (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) yang mengatakan bahwa perubahan fisik menghambat perkembangan remaja pubertas
yang mengarahkan remaja pubertas untuk berhubungan dengan remaja yang lebih tua yang kelihatannya mendorong mereka untuk mulai berperilaku mengikuti orang dewasa, seperti bermabukan, merokok, dan seks, dimana mereka menjadi cenderung
memperlihatkan perilaku tidak sehat. Remaja pubertas yang mengalami perubahan fisik dipaksa untuk berkecimbung ke dalam hal-hal mengenai seks yang cenderung
menjadi lebih tidak siap untuk menentang tekanan seks.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat bahwa pubertas membuat mereka terlihat matang secara fisik seperti orang dewasa, tetapi tidak diikuti dengan
kemampuan sosial dan mental yang matang seperti orang dewasa pada umumnya. Remaja tersebut biasanya menyikapi pubertas dalam bentuk kecenderungan perilaku
mereka dalam bentuk dukungan sosial yang tinggi. Keluarga inti juga merupakan faktor terpenting bagi anak dalam memengaruhi sikap remaja terhadap setiap tugas
perkembangan yang dialaminya. Remaja puber yang mendapat dukungan sosial yang tinggi akan membentuk sikap yang positif pula terhadap setiap tugas perkembangan
yang dilaluinya.
Dilihat dari lokasinya, Kabupaten Pidie terdapat 25 kecamatan dan Kecamatan Pidie merupakan salah satu kecamatan yang jumlah remaja paling banyak
dan terletak di daerah perkotaan sebanyak 2.226 orang dibanding kecamatan lain.
Tabel 1.1 Jumlah Remaja di Kabupaten Pidie Tahun 2013
No Kecamatan Populasi Remaja
Berdasarkan data Dinas Kesehatan dan Kepolisian Kabupaten Pidie pada Kecamatan Pidie sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan karena terjadi
peningkatan kasus dari tahun 2010 sampai 2013 yaitu pada tahun 2010 terdapat 45 kasus (2,02%) remaja yang narkoba, tahun 2011 sebanyak 61 orang (2,74%), tahun
2012 sebanyak 62 orang (2,79%) dan tahun 2013 sebanyak 76 orang (3,41%), sedangkan kasus IMS pada tahun 2013 sebesar 5,4% khususnya HIV/AIDS, dan jumlah ini diperkirakan hanya bagian kecil yang terdeteksi oleh pihak medis dan
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP). Kasus HIV/AIDS di Aceh juga ibarat fenomena gunung es, hanya terdeteksi di atas permukaan saja. Sementara
banyak kasus lainnya yang tidak diketahui, namun dipastikan ada tersebar di berbagai daerah.
Selain itu, hasil survei pendahuluan terhadap 10 remaja umur 10-14 tahun
yang terdiri dari 5 laki-laki dan 5 perempuan diperoleh informasi bahwa remaja sudah memasuki masa pubertas, yaitu pada perempuan payudara yang mulai membesar,
panggul yang mulai membesar, timbulnya jerawat dan menstruasi. Pada laki-laki suara sudah berubah, tumbuh jakun, timbulnya jerawat dan tumbuh kumis, serta keringat berlebihan. Hasil wawancara peneliti dengan 10 orang remaja terungkap
bahwa remaja perempuan dan laki-laki merasa tidak siap karena kurangnya dukungan sosial dari keluarga seperti kurang memberi informasi dan apa dampak yang timbul
setelah pubertas.
juga tidak dapat diselesaikan dengan baik. Remaja juga merasakan perubahan emosi, yaitu mudah marah dan tersinggung dengan perkataan teman, guru dan orangtua.
Perasaan malu juga dirasakan oleh remaja perempuan kepada teman-teman dan orangtuanya pada saat mengalami menstrusi pertama. Remaja laki-laki merasakan
kulitnya berubah menjadi kasar, timbulnya jerawat membuat remaja merasa malu, canggung dan tidak percaya diri terutama kepada remaja perempuan. Keringat yang banyak membuat remaja sering menjauh dari temannya karena remaja merasa
keringatnya menyebabkan bau badan. Rambut di kepala yang mudah berminyak membuat remaja gatal-gatal dan tidak nyaman sehingga konsentrasi belajar menjadi
terganggu. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa remaja kurang mampu menyesuaiakan diri pada masa pubertas.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan dukungan sosial keluarga inti dengan kesiapan remaja putra dan putri pada masa pubertas di Kecamatan Pidie Kabupaten
Pidie tahun 2014?.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis hubungan
1.4 Hipotesis Penelitian
Ada hubungan dukungan sosial keluarga inti dengan kesiapan remaja putra
dan putri pada masa pubertas di Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie tahun 2014.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi bagi Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie dalam membuat
perencanaan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi remaja (PIK-KRR) pada masa pubertas sehingga diharapkan remaja tepat waktu saat memasuki pubertas. 2. Meningkatkan kesiapan menghadapi masa puber remaja sehingga dalam remaja
dapat menjaga sikap, tingkah laku, dan kepribadiannya agar terhindar dari hal-hal yang menyimpang khususnya dalam kenakalan remaja.
3. Meningkatkan kualitas dukungan sosial keluarga inti baik dukungan emosional,
informasi, instrumental, dan penilaian untuk membantu dan mengarahkan
remaja-remaja dalam melakukan kegiatan yang lebih positif demi masa depan para remaja.
4. Sebagai informasi yang dapat memperkaya khasanah pengetahuan tentang