• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Publik di Desa Pasca Pemekaran: Studi terhadap Pelayanan Publik pasca Pemekaran Desa di Desa Dewa Jaraecamatan Katiku Tanaabupaten Sumba Tengah T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Publik di Desa Pasca Pemekaran: Studi terhadap Pelayanan Publik pasca Pemekaran Desa di Desa Dewa Jaraecamatan Katiku Tanaabupaten Sumba Tengah T1 BAB II"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1.

Desa

Desa adalah satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuaan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dan langsung di bawah camat, serta berhak menyelenggarakan rumah tangga diri sendiri dalam ikatan Negara Kesatuaan Republik Indonesia (Satria ddk, 2011; 12). Istilah desa berasal dari bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas (Sumpeno, 2011;3). Antonius T, (2011, dalam Sumpeno, 2011;3) mengatakan bahwa konsep perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial, dalam hal ini perdesaan mencakup beberapa desa.

Koentjaraningrat (1977, dalam Sumpeno, 2011;3) mendefinisikan desa sebagai komunitas kecil yang menetap di suatu daerah, sedangkan Bergel (1995, dalam Sumpeno, 2011;3) mendefinisikan bahwa desa sebagai setiap pemukiman para petani. Pengertian desa dalam tiga aspek; (1) analisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk kurang dari 2500 orang, (2) analisis sosial psikologis, desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan akrab dan bersifat informal diantara sesama warganya, dan (3) analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduknya tergantung kepada pertanian (Sumpeno, 2011;3).

(2)

8 kelembagaan pemerintahan mempunyai kewenangan pengelolaan wilayah perdesaan. Wilayah perdesaan sendiri diartikan sebagai wilayah yang penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam, dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Sumpeno, 2011;3).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang dibangun berdasarkan sejarah, nilai-nilai, budaya, hukum dan keistimewaan tertentu yang diakui dalam sistem kenegaraan kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengorganisir dan menetapkan kebutuhan masyarakatnya secara mandiri.

2.2.

Pelayanan Publik

2.2.1.Pengertian Pelayanan Publik

Menurut Kotler dalam Sampara Lukman, Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terlihat pada suatu produk secara fisik (Sinambela, 2008; 4). Selanjutnya Sampara berpendapat, pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Sinambela, 2008; 4).

(3)

9 Menurut Dwiyanto (2008; 136), pelayanan publik dapat di definisikan sebagai serangkaian aktifitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Lebih lanjut menurutnya, pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat, misalnya kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Namun demikian, pelayanan publik sebagai salah satu upaya menjadikan demokrasi bermakna tidak selalu berjalan lancar. Menurut Davis (1999, dalam Pamerdi, 2015; 39-55) negara demokratik dengan birokrasi pemerintahannya merupakan pelaku pelayanan publik, akan tetapi pada kenyataannya ada jarak antara pemerintah sebagai pelaku pelayanan dan masyarakat (publik). Walaupun ide desentralisasi atau otonomi daerah adalah berupaya mendekatkan pelayanan publik kepada aspirasi publik, tetapi berbagai jenis jarak antara pemberi pelayanan (negara/pemerintah) dan publik (masyarakat) selaku penerima pelayanan masih seringkali terjadi, dan jarak tersebut tentu menghalangi idealisme kualitas pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).

(4)

10 masyarakat selaku penerima pelayanan. Berbagai cara yang bisa ditempuh untuk mendekatkan kedua belah pihak adalah : (1) melalui pemekaran suatu daerah yang mencoba mendekatkan secara fisik antara lokasi pelayanan publik dengan tempat tinggal masyarakat; (2) menciptakan infrastruktur fisik jalan yang baik sehingga jarak fisik antara lokasi pelayanan pemerintah dan tempat tinggal warga dapat ditempuh ditempuh dengan transportasi cepat dan lancar; (3) menciptakan infrastruktur sarana media komunikasi digital yang mendekatkan pelayanan pemerintah kepada warga masyarakat selaku penerima pelayanan (Pamerdi, 2015; 49-53). Pendek kata, infrastruktur transportasi dan komunikasi yang baik akan mendekatkan pelayanan publik. Infrastruktur transportasi dan komunikasi yang hancur akan menjauhkan pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).

Kedua, institutional source of distance, merupakan jarak yang berkaitan dengan pelembagaan lembaga-lembaga pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53). Jika birokrasi pemerintahan sudah menghayati diri sebagai pamong praja pelayan publik maka lembaga-lembaga pelayanan publik akan terbentuk kuat sehingga mendekatkan pelayanan publik dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat (Pamerdi, 2015; 49-53). Namun, jika birokrasi masih berjiwa pangreh praja, maka lembaga pelayanan publik tidak mungkin terbentuk, organisasi birokrasi tak akan bertumbuh melembaga menjadi lembaga pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53). Dengan kondisi semacam ini, berarti pelayanan publik masih jauh dari aspirasi masyarakat secara kelembagaan.

(5)

11 kondisi sosial-ekonomi seperti ini, aspirasi masyarakat masyarakat berjarak jauh dari akses pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53).

Keempat, cultural source of distance, merupakan jarak yang berkaitan dengan perbedaan budaya (Pamerdi, 2015; 49-53). Dalam hal ini budaya dimengerti sebagai pola pikir, mindset, yang berbeda antara pola pikir aparat birokrasi tata pemerintahan selaku penyedia pelayanan publik dengan pola pikir warga masyarakat selaku penerima pelayanan publik. Jarak budaya ini akan meminggirkan warga masyarakat dari pelayanan publik. Faktor identitas budaya yang berbasis kebahasaan, kesukuan, serta gender, sering meminggirkan warga dari pelayanan publik (Pamerdi, 2015; 49-53). Birokrat pemberi pelayanan publik merasa sebagai pihak yang punya kuasa, sedangkan warga merasa tak punya kuasa apa-apa, powerless. Warga merasa jauh dari sang penguasa.

(6)

12 pelayanan publik yang ideal menurut paradigma pelayanan publik (baru), sebagaimana yang didiskusikan di atas yaitu bahwa pelayanan publik harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan nila-nilai publik (Sinambela, 2008; 138-140). Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan warga negara dan kelompok komunitas.

Pelayanan publik model baru harus bersifat non-diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh dasar teoritis yang digunakan, yaitu teori demokrasi yang menjamin adanya persamaan warga tanpa membedakan asal usul, suku, ras, etnik, agama, dan latar belakang kepartaian (Sinambela, 2008; 140). Ini berarti setiap warga negara diperlakukan secara sama ketika berhadapan dengan birokrasi publik dalam menerima layanan sepanjang syarat-syarat yang dibutuhkan terpenuhi. Hubungan yang terjalin antara birokrat publik dengan warga negara adalah hubungan impersonal sehingga terhindar dari sifat nepotisme dan primordialisme.

2.2.2.Bidang Pelayanan Publik

Dalam undang-undang Republik Indonesia No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik menyebutkan asas-asas penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas-asas tersebut antara lain:

a. Berdasarkan pada kepentingan umum b. Memiliki kepastian hukum

c. Kesamaan hak

d. Keseimbangan hak dan kewajiban e. Keprofesionalan

f. Partisipatif

g. Persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif h. Keterbukaan

i. Akuntabilitas

(7)

13 l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan

Selain itu, dalam peraturan pemerintah No 96 Tahun 2012 Tentang pelaksanaan UU No 25 Tahun 2009 Tentang pelayanan publik menyatakan bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi :

a. Pelayanan barang publik b. Pelayanan jasa publik c. Pelayanan administratif

Kewenangan lokal berskala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa pada pasal 34 ayat 2 adalah sebagai berikut:

a. Pengelolaan tambatan perahu; b. Pengelolaan pasar desa;

c. Pengelolaan tempat pemandian umum; d. Pengelolaan jaringan irigasi;

e. Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa;

f. Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;

g. Pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar; h. Pengelolaan perpustakaan desa dan taman bacaan; i. Pengelolaan embung desa;

j. Pengelolaan air minum berskala desa;

k. Pembuatan jalan desa antarpermukiman ke wilayah pertanian.

(8)

14

2.2.3.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pelayanan Publik

Kualitas pelayan publik yang diberikan oleh birokrasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingkat kompetensi aparat, kualitas peralatan yang digunakan untuk memproses pelayanan, budaya birokrasi, dan sebagainya (Sinambela, 2008; 138-140). Kompetensi aparat birokrasi merupakan bersumber dari tingkat pendidikannya, jumlah tahun pengalaman kerjanya, dan variasi pelatihan yang telah diterima. Sedangkan kualitas dan kuantitas peralatan yang digunakan akan mempengaruhi prosedur, kecepatan proses, dan kualitas keluaran (out-put) yang akan dihasilkan.

Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari (Sinambela, 2008; 141-142):

1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.

4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelanggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. 5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi

dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain.

(9)

15

2.3. Kerangka Pikir Teoritis

Bagan 2.1.

Kerangka Pikir Penelitian

Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, pemerintah desa tidak lagi sekedar menjadi perpanjangan tangan administratif pemerintah daerah. Salah satu kewenangan penting desa adalah melaksanakan pelayanan publik. Sesuai dengan kewenangan lokal desa yang termasuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015, pelayanan air bersih desa, pelayanan jalan pemukiman dan jalan desa, serta pelayanan kesehatan, merupakan tiga dari tujuh kewenangan yang dapat dilakukan oleh desa saat ini.

Pemekaran desa di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun menandakan bahwa pemerintah serius untuk memperpendek rentang kendali pelayanan publik. Ini juga mengartikan bahwa terdapat kondisi yang penting di desa yang perlu dibenahi. Oleh karena itu, menjadi signifikan jika menggambarkan kondisi pelayanan publik di desa setelah pemekaran itu terjadi. Selain pelayanan publik yang terjadi, tentu akan tergambarkan pula faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelayanan publik itu sendiri.

DESA

PEMEKARAN

DESA

PELAYANAN

PUBLIK

FAKTOR

PENDUKUNG

FAKTOR

PENGHAMBAT

Sesuai Kewenangan Lokal Desa (PP 47 Tahun 2015) :

1. Bidang Kesehatan

2. Bidang Air Minum

3. Bidang Infrastruktur

Referensi

Dokumen terkait

Dibuat oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Diperiksa

Saran, diharapkan agar aparatur Pemerintah Desa khususnya Kepala Kampung Menggala Kecamatan Menggala Timur yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Instrumen tes yaitu alat yang digunakan peneliti untuk mengetahui tingkat ketelitian siswa dalam menerima dan merespon materi dari guru. Soal tes ini berupa masalah

Hasil pengukuran menggunakan sensor pergeser- an berbasis serat optik plastik yang terbaik diperoleh pada pegas jenis kedua dan jumlah rol adalah 9.. Pada kondisi tersebut

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, efektivitas visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana perkosaan sangat berguna dan bermanfaat guna membuktikan

Berdasarkan pengertian tentang Student worksheet atau LKS tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa lembar kerja siswa adalah suatu alat bantu dalam bentuk

Tawuran antar warga manggarai dan warga tambak selalu menjadi agenda perbincangan karena konfliknya yang terus berulang, masalah ini bukan perkara baru dan jangan

(4) Deskripsi apakah ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran problem posing dan pemberian motivasi terhadap kreatifitas berfikir matematika siswa kelas VII