TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG HASIL
GRATIFIKASI OLEH KEMENKEU RI
SKRIPSI
Oleh :MUHAMMAD KANZUL FIKRI AMINUDDIN NIM : C02210044
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) Surabaya
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG HASIL
GRATIFIKASI OLEH KEMENKEU RI
SKRIPSI Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syari’ah dan Hukum
Oleh
Muhammad Kanzul Fikri Aminuddin NIM. C02210044
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Ekonomi Syari’ah (Muamalah)
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lelang Hasil
Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia‛. Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana teknis pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan bagaimana hukum lelang tersebut menurut Hukum Islam.
Data dalam penelitian ini dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (library research), yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan deskriptif analitis yaitu menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang disertai dengan analisis menggunakan pola pikir deduktif yaitu
analisis pada teori-teori jual beli muza>yadah (lelang) secara umum, kemudian di
sandingkan terhadap pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang kemudian diteliti dan dianalisis sehingga ditemukan pemahaman secara khusus yang terdapat pada kesimpulan.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa teknis pelaksanaan lelang ini sesuai dengan dasar-dasar akutansi. Akan tetapi, tahap teknis pelaksanaan lelang tentang nilai limit dan pembatalan lelang sebagai pembeli perlu dilakukan pembenaran, karena terdapat unsur-unsur yang dilarang dalam Islam, yakni z}alim dan fasad. Agar tercapai tujuan dari lelang itu sendiri yakni untuk menentramkan hati orang yang sedang pailit, atau seseorang yang sedang tersandung permasalahan hukum agar harta bendanya dapat dilelang sebagai uang pengganti, maka unsur tersebut harus dihilangkan. Sedangkan lelang hasil gratifikasi merupakan lelang dari harta/ benda yang diperoleh dari musuh untuk berdamai. Koruptor adalah musuh Negara, oleh sebab itu harta/ bendanya yang disita oleh
KPK termasuk dalam kategori harta fai’, karena tujuan lelang tersebut sebagai
uang pengganti dari pelaku Tindak Pidana Korupsi, yakni untuk berdamai.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa teknis pelaksanaan ini masih memerlukan pembenahan mengenai nilai limit dalam lelang dan pembatalan lelang sebagai pembeli. Nilai limit ini hanya menunjukkan tentang harga awal dalam pembukaan penawaran jual beli lelang ini. Karenanya, penawaran harga lelang yang semakin meningkat tanpa batas bisa mengakibatkan pembeli merasa dirugikan. Sedangkan pembatalan lelang sebagai pembeli, perbuatan ini sama
halnya dengan jual beli ‘urba>n. Menurut mayoritas ulama’ hal ini tidak
diperbolehkan. Karena, lelang seperti itu tidak sah, terdapat syarat fasad (rusak), menipu (gharar) dan juga memakan harta orang lain dengan cara bat}il. Sedangkan
lelang hasil gratifikasi dalam Islam sama halnya melelang harta fai’, yakni lelang
harta yang didapatkan dari musuh secara damai. Mayoritas ulama’ membolehkan
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...9
C. Rumusan Masalah ...10
D. Kajian Pustaka ...10
E. Tujuan Penelitian ...12
F. Kegunaan Hasil Penelitian ...12
G. Definisi Operasional ...13
H. Metode Penelitian ...14
I. Sistematika Pembahasan ...20
BAB II JUAL BELI MUZA<YADAH (LELANG) A. Pengertian Jual Beli Muza>yadah (Lelang) ...21
B. Dasar Hukum Jual Beli Muza>yadah (Lelang) ...23
C. Subyek dan Obyek Jual Beli Muzayadah (Lelang) ...35
D. Manfaat dan Resiko Jual Beli Muza>yadah (Lelang) ...46
B. Pengertian Hasil Gratifikasi ...50
C. Dasar Hukum Lelang Harta/ Benda Hasil Gratifikasi ...55
D. Pelaksanaan Lelang Harta/ Benda Hasil Gratifikasi ...56
1. Latar Belakang Lelang Harta/ Benda Hasil Gratifikasi56
2. Penyelenggara Lelang Harta/ Benda Hasil Gratifikasi .58
3. Subyek dan Obyek Lelang Harta/ Benda Hasil
Gratifikasi ...59
4. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang Harta/ Benda
Hasil Gratifikasi ...61
5. Contoh Pelaksanaan Lelang Harta/ Benda Hasil
Gratifikasi ...64
BAB IV ANALISA TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG
HASIL GRATIFIKASI OLEH KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
A. Tinjauan Hukum Islam Tentang Teknis Pelaksanaan
Lelang Hasil Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia ...68
B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Hukum Lelang Hasil
DAFTAR TABEL
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut :
Desertations (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987).
B. Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong)
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia
ـــ fath{ah a
ـــ d{ammah u
Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku
jika hamzah berh{arakat sukun atau didahului oleh huruf yang
berh{arakat sukun. Contoh iqtid{a>’
(
)2. Vokal Rangkap (diftong)
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia Ket.
fath{ah dan ya’ ay a dan y
Nama Indonesia Keterangan
fath{ah dan alif a> a dan garis di atas
Transliterasi untuk ta>’ marbu>t{ah ada dua:
1. Jika hidup (menjadi mud{a>f) transliterasinya adalah t.
2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.
: shari>’ah isla>mi>yah
(
)
D. Penulisan Huruf Kapital
Penulisan huruf besar dan kecil pada kata, phrase (ungkapan) atau
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan jual beli termasuk dalam kegiatan perdagangan yang
merupakan perbuatan yang diizinkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini
dapat dilihat dari dasar hukum yang dapat dijadikan petunjuk transaksi jual
beli. Perdagangan atau jual beli dapat dilakukan dengan tunai, dapat juga
dilakukan dengan pembayaran yang ditangguhkan.1
Jual beli mempunyai berbagai macam bentuk. Jika ditinjau dari segi
penentuan harga, maka terdapat bentuk jual beli muza>yadah (lelang). Jual
beli muza>yadah (lelang) adalah jika seorang penjual menawarkan barang
dagangannya dalam pasar (di hadapan para calon pembeli), kemudian para
calon pembeli saling bersaing dalam menambah harga, kemudian barang
dagangan itu diberikan kepada orang yang paling tinggi dalam memberikan
harga.2
Sedangkan jual beli muza>yadah (lelang) dalam pandangan madzhab
Sha>fi’i adalah penjualan yang dilakukan secara lelang. Umpamanya
perkataan seseorang yang hendak membeli, ‚saya mau menambah.‛ Lalu
orang lain menambah harga yang ditawarkannya, seraya berkata, ‚Saya
1
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. IV, 2012), 145. 2
Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah “Dalam Pandangan 4
2
mau membeli dengan harga sekian,‛ demikian seterusnya hingga tak ada
lagi yang sanggup membayar lebih tinggi.3
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa jual beli muza>yadah (lelang)
hukumnya boleh, mereka semua mengikuti pendapat Imam Tirmidhi. Tidak
ada yang menentang pendapat ini kecuali an-Nakha’i yang berpendapat
bahwa jual beli seperti ini hukumnya makruh. Juga pendapat Al-Hasan
al-Bashri, Ibnu Sirin al-Auza’i dan lainnya berpendapat bahwa jual beli
(lelang) hukumnya makruh kecuali pada harta rampasan perang dan harta
pusaka.4
Dalam Hukum di Indonesia lelang merupakan penjualan yang terbuka
untuk umum atau di muka umum dengan penawaran harga yang dilakukan
secara tertulis atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk
mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang
terlebih dahulu.5
Penjualan umum (lelang) secara resmi ini diatur dalam
Perundang-undangan di Indonesia sejak tahun 1908, dengan berlakunya Vendu
Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908 nomor 189) dan Vendu Instructie
(Instruksi Lelang Stbl. 1908 No. 190) dan hingga sekarang masih berlaku.
Berkaitan dengan jual beli tersebut, Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang
3Ibnu Mas’ud dan
Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i 2(Bandung: Pustaka setia, 2007), 52. 4
Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…,25. 5
3
Milik Negara (BMN) yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan
Barang Gratifikasi merupakan pedoman peraturan yang digunakan oleh
kejaksaan untuk mengelola barang rampasan Negara dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengelola barang gratifikasi.
Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yaitu meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Hal ini telah
dijelaskan dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999
juncto UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.6
Barang atau jenis pemberian yang ditujukan kepada Pegawai Negeri
atau Pejabat Penyelenggara Negara rawan terjadi tindak pidana korupsi.
Perbuatan tersebut bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan
dibuat oleh Pegawai Negeri maupun Pejabat Penyelanggara Negara. Barang
atau jenis pemberian ini disebut gratifikasi.
Barang gratifikasi adalah barang yang telah ditetapkan status
gratifikasinya menjadi milik Negara oleh Pimpinan KPK.7 Karenanya,
6
Tim Permata Press, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (t.tp.: Permata Press, 2013), 171.
7
4
barang yang telah ditetapkan KPK sebagai barang gratifikasi, akan menjadi
Barang Milik Negara (BMN).
Barang gratifikasi yang telah menjadi Barang Milik Negara
diserahkan oleh KPK kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia
(KEMENKEU RI). Penyerahan tersebut dituangkan dalam berita acara
serah terima. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa
‚Penyerahan Barang Gratifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi
kepada Menteri dituangkan dalam berita acara serah terima.‛8
Hal ini juga merupakan amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga,
serah terima barang gratifikasi ini merupakan salah satu wujud kerja sama
dan sinergi yang baik antara KPK dengan DJKN dalam rangka
pemberantasan korupsi di Indonesia.9
Dalam hal ini, KPK sudah beberapa kali menyerahkan barang hasil
gratifikasi tersebut kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
antara lain:
1. Siaran Pers Direktorat Jendral Kekayaan Negara KEMENKEU RI
tentang Direktur Jendral Kekayaan Negara Akan Melelang Barang
Gratifikasi KPK dalam Rangka Pekan Anti Korupsi 2013. (Lampiran
5
2. Siaran Pers Direktorat Jendral Kekayaan Negara KEMENKEU RI
tentang Direktur Jendral Kekayaan Negara kembali terima 41 barang
gratifikasi KPK di Tahun 2013. (Lampiran 1.2)
3. Pengumuman Lelang Nomor: PENG-5/KN/2013 yang dilaksanakan
pada hari rabu, 11 Desember 2013, pukul: 10.50 s/d 13.00 di Ruang
Utama Istora Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. (Lampiran 1.3)
Pengelolaan BMN yang berasal dari barang rampasan Negara
(gratifikasi) dapat dijual oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara
lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa ‚Penjualan
Barang Rampasan Negara oleh Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan
Korupsi dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor Pelayanan‛.10
Akan tetapi, dalam pelaksanaan lelang tersebut dilaksanakan oleh
DJKN melalui pejabat KPKNL yang berada di bawah kepemimpinannya.
Karena DJKN merupakan pelaksana lelang dalam KEMENKEU RI. Hal ini
dijelaskan dalam pasal 22 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa ‚Direktur Jenderal Kekayaan Negara
berwenang untuk melakukan pengelolaan barang gratifikasi yang telah
diserahkan kepada Menteri sesuai dengan batas kewenangannya berupa
10
Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
6
penetapan status penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan
penghapusan.‛11
Hal-hal yang menarik perhatian masyarakat dalam peraturan tersebut
antara lain, bahwa dimungkinkannya penggunaan ‚garansi bank‛ sebagai
jaminan penawaran lelang, dan diperbolehkannya penawaran lelang
menggunakan email dan ataupun menggunakan aplikasi internet.12
Begitu juga mengenai pembatalan lelang yang diatur lebih detil yaitu
hanya gugatan yang terkait kepemilikan objek lelang tentang hak
tanggungan saja. Mengenai pembatalan lelang tersebut, yang dapat
membatalkan adalah penetapan provisional atau putusan ‚lembaga
peradilan‛ secara keseluruhan.13
Salah satu fungsi lelang atau penjualan di muka umum adalah
menjamin kepastian hukum dan guna mengikuti perkembangan kebutuhan
masyarakat,14 dimana seseorang atau pihak yang dinyatakan sebagai
pemenang lelang akan memperoleh suatu kepastian dari pejabat lelang
bahwa yang bersangkutan dijamin hak-haknya dalam kepemilikan benda
yang dijadikan obyek pada pelelangan setelah yang bersangkutan
dinyatakan sebagai pemenang.
Selain itu, lelang hasil gratifikasi juga merupakan wujud kontribusi
terhadap penerimaan Negara. Hal ini disampaikan oleh Direktur Lelang
11
Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
03/PMK.06/2011…, pasal 22.
12Risman, “
Deregulasi Lelang One Step A Head PMK Nomor 106 Tahun 2013 Efektif Berlaku 6 Oktober 2013”, dalam https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/deregulasi-lelang-one-step-a-head-pmk-nomor-106-tahun-2013-efektif-berlaku-6-oktober-2013, diakses pada 14 Mei 2014. 13
Ibid. 14
7
DJKN Purnama T Sianturi yang menyampaikan kepada peserta lelang agar
menawar dengan harga setinggi-tingginya. Menurutnya, tawaran yang
tinggi terhadap barang lelang tersebut merupakan wujud kontribusi
terhadap penerimaan Negara.15
Hasil bersih lelang atas lelang Barang Milik Negara/Daerah, dan
barang-barang yang sesuai peraturan perundang-undangan, harus disetor ke
Kas Negara/Daerah, dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah
pembayaran diterima oleh Bendahara Penerimaan KPKNL.16
Lelang hasil gratifikasi secara khusus baru diatur oleh Pemerintah
pada tahun 2011. Hal ini dibuktikan dengan adanya Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan
Negara dan Barang Gratifikasi.
Sedangkan pelaksanaan lelang hasil gratifikasi diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan
Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor Per-06/KN/2013
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.
15 Kementerian Keuangan RI, “DJKN Sukses Lelang Barang Gratifikasi KPK”, dalam http://www.kemenkeu.go.id/Berita/djkn-sukses-lelang-barang-gratifikasi-kpk, diakses pada 11 Juni 2014.
16
Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
8
Secara umum dalam Al-Qur’an maupun H{adith tidak ada yang
menjelaskan tentang hukum lelang hasil gratifikasi. Akan tetapi Al-Qur’an
memberi petunjuk yang berkenaan dengan perikatan jual beli berdasarkan
firman Allah dalam (QS. al-Baqarah [2]: 282) yang berbunyi:
Artinya:
‚Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan
utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.‛17
Pengertian yang terkandung dalam ayat tersebut, tidak terbatas pada
utang-piutang, tetapi juga jual-beli, sewa-menyewa dan bentuk hubungan
hukum keperdataan Islam lainnya. Manfaatnya jelas, yaitu memberikan
kepastian hukum kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam
perikatan itu. Selain itu, untuk menghindari adanya kemungkinan sengketa
di antara pihak-pihak yang berkepentingan.18
Oleh karenanya, penulis mengangkat masalah ini tak lain untuk
dianalisis apakah lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan
Republik Indonesia ini diperbolehkan dalam Islam. Menurut manfaat dan
resiko yang mungkin terjadi, maka hal tersebut mendorong penulis untuk
mengangkat tema dengan judul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lelang
Hasil Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.‛
17
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Hati Emas, 2014), 48. 18
9
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang ada yaitu:
a. Teknis dan pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
b. Lelang hasil gratifikasi merupakan lelang barang sitaan yang
didapat KPK dari Pegawai Negeri atau Pejabat Penyelenggara
Negara yang melakukan Tindak Pidana Korupsi.
c. Barang gratifikasi adalah barang yang dihasilkan dari perbuatan
yang dilarang oleh agama Islam.
d. Lelang hasil gratifikasi menjamin kepastian hukum hak
kepemilikan.
e. Konsep harga lelang hasil gratifikasi.
2. Batasan Masalah
Agar permasalahan ini bisa dikaji dengan baik, maka dari
identifikasi masalah tersebut, penulis hanya membatasi pada
masalah-masalah tentang:
a. Teknis pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.
b. Lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik
10
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teknis pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh
Kementerian Keuangan Republik Indonesia menurut hukum Islam?
2. Bagaimana lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan
Republik Indonesia menurut hukum Islam?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti, sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.19
Adapun kajian atau penelitian yang pernah diteliti oleh peneliti
sebelumnya adalah sebagai berikut: Pertama, ‚Tinjauan Hukum Islam
tentang Lelang Barang Via SMS oleh Telkomsel‛ oleh Wiwin Windari.
Dalam pembahasannya peneliti menjelaskan tentang mekanisme lelang
barang via SMS oleh Telkomsel.
Berdasarkan hasil penelitiannya, peneliti menyimpulkan bahwa
kegiatan program lelang tersebut menurut hukum Islam adalah haram.
Karena terdapat unsur maysir dan gharar, terlebih lagi menimbulkan
permusuhan dan angan-angan kosong yang mengakibatkan sifat malas
19
Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi
11
bekerja, pemborosan, menunggu yang tidak pasti serta termasuk
membodohi diri sendiri juga merugikan orang lain..20
Kedua, ‚Konsep Harga Lelang Dalam Perspektif Islam‛ oleh
Zumrotul Malikah. Dalam pembahasannya peneliti menjelaskan tentang
mekanisme penetapan harga perspektif ekonomi Islam, kemudian
bagaimana pandangan ekonomi terhadap harga dalam sistem lelang.
Berdasarkan hasil penelitiannya, peneliti menyimpulkan bahwa dalam
penetapan harga dalam ekonomi Islam dengan mempertimbangkan harga
yang pantas yaitu harga yang adil yang memberikan perlindungan kepada
konsumen. Dan konsep harga dalam sistem lelang adalah harga ditentukan
oleh juru lelang dengan melihat keadaan fisik barang tersebut dan tidak
meninggalkan Nilai Limit atau lebih dikenal dengan Harga Limit Lelang
(HLL): bisa berupa Harga Pasar Pusat (HPP), Harga Pasar Daerah (HPD),
dan Harga Pasar Setempat (HPS). Tujuannya agar tidak adanya trik-trik
kotor komplotan lelang (auction ring) dan komplotan penawar (bidder’s
ring). Hal ini sesuai dengan konsep ekonomi Islam yang menjunjung tinggi
keadilan konsep maslahah.21
Ketiga, ‚Tinjauan Pelaksanaan Lelang Terhadap Objek Hak
Tanggungan Yang Dilakukan Melalui KPKNL Menurut Hukum Islam
Dikaitkan Dengan UU No. 4 Th 1996 Tentang Hak Tanggungan‛ oleh
20 Wiwin Windari, “
Tinjauan Hukum Islam tentang Lelang Barang Via SMS oleh Telkomsel” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2011).
21Zumrotul Malikah, “Konsep HargaLelang Dalam Perspektif Islam”
12
Fikri. Dalam pembahasannya peneliti menjelaskan tentang pelaksanaan
lelang terhadap objek hak tanggungan yang dilakukan melalui KPKNL.
Berdasarkan hasil penelitiannya, peneliti menyimpulkan bahwa lelang
dalam hukum Islam hukumnya boleh (mubah) dengan melihat konsekuensi
akad jual beli yang dilaksanakan para pihak tidak secara ba>t}il dan sesuai
dengan prinsip hukum ekonomi Islam. Di dalam UU No. 4 Tahun 1996
terdapat ketidakpastian mengenai prosedur eksekusi, maka diperlukan
tanggung jawab yang mutlak untuk penjual objek hak tanggungan secara
lelang terkait dengan harga limit, risalah lelang dan legalitas barang guna
mewujudkan perlindungan hukum bagi pembeli lelang yang beritikad
baik.22
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui teknis pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
2. Untuk mengetahui Hukum Islam terhadap lelang hasil gratifikasi oleh
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan hasil penelitian yang
ingin diraih dalam penulisan skripsi, antara lain sebagai berikut:
13
1. Aspek teoritis, sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang hasil gratifikasi
oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
2. Aspek praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan atau bahan informasi serta manfaat yang besar bagi
masyarakat serta pihak pelaksana lelang hasil gratifikasi, selanjutnya
diharapkan dapat berguna sebagai pedoman bertransaksi di lapangan
atau masyarakat.
G. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan secara operasional tentang apa
yang dimaksud oleh beberapa istilah dalam penelitian, agar tidak terjadi
kerancuan makna, maka penulis merasa perlu dicantumkan definisi dalam
judul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lelang Hasil Gratifikasi oleh
Kementerian Keuangan Republik Indonesia‛ sebagai berikut:
1. Hukum Islam : Peraturan-peraturan dan ketentuan hukum yang
terkait dengan hukum muamalah yang
bersumber dari Al-Qur’an, Hadith dan
pendapat para ulama’ fiqh.
2. Lelang : Merupakan penjualan yang terbuka untuk
umum atau di muka umum dengan penawaran
harga yang dilakukan secara tertulis atau lisan
14
mencapai harga tertinggi yang didahului
dengan pengumuman lelang terlebih dahulu.
3. Hasil gratifikasi : Merupakan hasil pemberian berupa barang yang
status gratifikasinya telah ditetapkan menjadi
milik Negara oleh Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
4. KEMENKEU RI : Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
(dahulu disebut Departemen Keuangan,
disingkat DEPKEU) adalah Kementerian
Negara di lingkungan Pemerintah Indonesia
yang membidangi urusan keuangan dan
kekayaan negara, Kementerian Keuangan
berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab
kepada Presiden.
H. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian ini memuat uraian tentang:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research),
yaitu meneliti sejumlah buku tentang jual beli menurut hukum Islam
dan Peraturan-peraturan tentang pelaksanaan lelang hasil gratifikasi
15
2. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam skripsi ini adalah data yang
diperoleh dari peraturan pemerintah, jurnal Kementerian Keuangan,
buku, karya ilmiah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan
pembahasan tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lelang Hasil
Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yaitu
sebagai berikut:
a. Pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.
b. Jurnal Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
c. Hukum Islam tentang Lelang.
3. Sumber Data
Sumber data ialah tempat atau orang dimana data diperoleh.23
Dalam penelitian ini data yang diperlukan diperoleh melalui
penelitian pustaka (library research). Bahan-bahan yang terkait
dengan penelitian dikumpulkan, diseleksi, dan diklasifikasikan
menurut pokok-pokok pembahasan. Adapun sumber-sumber data
tersebut terdiri atas:
a. Sumber Data Primer
Yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang sesuai
dengan pembahasan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
23
16
1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan
Barang Gratifikasi.
2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
106/PMK.06/2013 tentang perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
3) Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor
Per-06/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Lelang.
4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
b. Sumber Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang relevan
dengan pembahasan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
1) Tim Permata Press, Undang-Undang RI tentang
17
2) Peraturan Lelang Stbl. 1908 nomor 189 tentang Peraturan
Penjualan di Muka Umum di Indonesia.
3) Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar et al, Ensiklopedi
Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, Terjemah:
Miftahul Khairi.
4) Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Sha>fi’i.
5) S. H. Alatas, Korupsi.
6) Robert Klitgaar, Membasmi Korupsi.
7) R. Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
8) Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, Terjemah: Nur
Hasanuddin.
9) Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu.
10) Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia.
11) Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam.
12) Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah.
13) Buku-buku lain yang berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas.
4. Teknik Pengumpulan Data
Yaitu cara yang digunakan dalam rangka mencari data-data
yang diperlukan. Karena kategori penelitian ini adalah penelitian
pustaka (library research), maka metode yang digunakan adalah
18
atas literatur, laporan atau publikasi yang ada berdasarkan
penelitian-penelitian lain yang sesuai, atau dari laporan-laporan lembaga yang
menerbitkan informasi atau segala jenis data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.24 Adapun metode dokumentasi yang digunakan untuk
mengumpulkan data yaitu membaca dan mengkaji buku,
Undang-undang, Peraturan-peraturan, karangan ilmiah dan artikel dari
internet yang berhubungan dengan pelaksanaan lelang hasil
gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
5. Teknik Pengolahan Data
Setelah semua data yang diperlukan dapat dikumpulkan,
selanjutnya penulis akan melakukan pengolahan data dengan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Organizing, yaitu yaitu proses yang sistematis dalam
pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan
penelitian.25
b. Editing, yaitu proses pengecekan dan penyesuaian yang
diperlukan untuk menjamin kelengkapan dan kesiapan data
penelitian dalam proses analisis.26
c. Coding, yaitu proses identifikasi dan klasifikasi data penelitian
yang relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.27
24
Suparmoko, Metode Penelitian Praktis: Untuk Ilmu Sosial Ekonomi Dan Bisnis (Yogyakarta: BPFE, Ed. IV, Cet. II, 2007), 68-69.
25
Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 66. 26
Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, Metodologi Penelitian Bisnis : Untuk Akuntansi dan Manajemen (Yogyakarta: BPFE, Ed. I, Cet. II, 2002), 167-168.
27
19
6. Teknik Analisis Data
Dalam pembahasan penelitian ini, penulis menggunakan
metode deskriptif analitis dan pola pikir deduktif.
a. Deskriptif analitis yaitu menggambarkan, meringkaskan
berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena yang
tertuang dalam data yang diperoleh.28 Yaitu tentang
pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan
Republik Indonesia yang disertai dengan analisis yang
kemudian diambil kesimpulan.
b. Pola pikir deduktif yaitu analisis yang dibangun berdasarkan
kesimpulan umum dan bermuara pada hal-hal yang khusus.29
Pada analisis penelitian ini yang dimaksud dengan pola pikir
deduktif adalah analisis pada teori-teori jual beli muza>yadah
(lelang) secara umum, kemudian di sandingkan terhadap
pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan
Republik Indonesia, yang kemudian diteliti dan dianalisis
sehingga ditemukan pemahaman secara khusus yang terdapat
pada kesimpulan.
28
M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011), 68.
29
20
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam skripsi ini
dan dapat dipahami permasalahannya secara sistematis dan lebih terarah,
maka pembahasannya di bab-bab yang masing-masing bab mengandung
sub bab-sub bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis. Untuk
selanjutnya sistematika pembahasan disusun sebagai berikut:
Bab pertama merupakan gambaran yang memuat pola dasar penulisan
skripsi ini, yang meliputi: latar belakang masalah, identifikasi dan batasan
masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan
hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua adalah landasan teori tentang jual beli muza>yadah (lelang),
memuat tentang pengertian jual beli muza>yadah (lelang), dasar hukum jual
beli muza>yadah (lelang), subyek dan obyek jual beli muza>yadah (lelang),
manfaat dan resiko jual beli muza>yadah (lelang).
Bab ketiga adalah prosedur pelaksanaan lelang harta/ benda hasil
gratifikasi, memuat tentang pengertian lelang, pengertian hasil gratifikasi,
dasar hukum lelang harta/ benda hasil gratifikasi, dan pelaksanaan lelang
harta/ benda hasil gratifikasi.
Bab keempat merupakan tinjauan hukum Islam terhadap lelang hasil
gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
21
BAB II
JUAL BELI MUZA<YADAH (LELANG)
A. Pengertian Jual Beli Muza>yadah (Lelang)
Jual beli dalam bahasa Arab disebut al-bai’ ( ) yang merupakan
bentuk masdar dari kata yang artinya menjual sedangkan kata
beli dalam bahasa arab dikenal dengan yaitu masdar dari kata
namun pada umumnya kata sudah mencakup keduanya,
dengan demikian kata berarti menjual dan sekaligus berarti membeli.1
Secara etimologis bai’ (jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan
sesuatu yang lain ( ),2 atau dapat juga disebut tukar
menukar (barter) secara mut}lak.3
Adapun bai’ (jual beli) secara terminologis para ulama’ berbeda
pendapat, antara lain:
1. Menurut Sayyid Sabiq, jual beli adalah penukaran benda dengan
benda lain saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada
penggantinya dengan cara yang diperbolehkan.4
2. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, jual beli adalah akad yang tegak atas
dasar penukaran harta dengan harta, maka terjadilah penukaran hak
milik secara tetap.5
1 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 124.
2 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 73.
3 Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…, 1. 4 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1983), 126.
22
3. Menurut Hendi Suhendi, jual beli adalah suatu perjanjian
tukar-menukar barang atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela
diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan
pihak lain yang menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.6
4. Menurut Aiyub Ahmad, jual beli adalah menukar suatu barang
dengan barang yang lain atau penukaran barang dengan uang dengan
cara tertentu yang sama jenisnya atau memiliki nilai sama.7
Definisi yang dipilih adalah tukar menukar barang dengan barang,
barang dengan uang,8 harta dengan harta, harta dengan manfaat (jasa) yang
mubah meskipun dalam tanggungan,9 dengan jalan melepaskan hak milik
dari seseorang terhadap orang lainnya dengan jalan tertentu yang
diperbolehkan oleh agama Islam.
Sedangkan jual beli muza>yadah secara etimologis berarti bersaing
(tanaffus), yaitu bersaing dalam menambah harga barang dagangan yang
ditawarkan untuk dijual.10
Adapun secara terminologis, jual beli muza>yadah adalah jika seorang
penjual menawarkan barang dagangannya dalam pasar (di hadapan para
calon pembeli), kemudian para calon pembeli saling bersaing dalam
6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 68. 7 Aiyub Ahmad, Fiqih Lelang (Jakarta : Kiswah, 2004), 37.
8 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i…, 22.
23
menambah harga, kemudian barang dagangan itu diberikan kepada orang
yang paling tinggi dalam memberikan harga.11
Secara teknis jual beli muza>yadah dalam pandangan madzhab Sha>fi’i
adalah penjualan yang dilakukan secara lelang. Umpamanya perkataan
seseorang yang hendak membeli, ‚saya mau menambah.‛ Lalu orang lain
menambah harga yang ditawarkannya, seraya berkata, ‚Saya mau membeli
dengan harga sekian,‛ demikian seterusnya hingga tak ada lagi yang
sanggup membayar lebih tinggi.12
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa jual beli
muza>yadah adalah jual beli yang dilakukan dihadapan umum, atau di muka
umum dengan cara si pembeli bersaing untuk menambah harga yang telah
ditawarkan oleh penjual sampai tidak ada yang sanggup untuk menambah
harga lagi, sehingga barang dagangan tersebut diberikan kepada si pembeli
yang telah menambah harga paling tinggi.
B. Dasar Hukum Jual Beli Muza>yadah (Lelang)
Dasar hukum jual beli muza>yadah (lelang) dalam Islam masih
diperdebatkan. Baik oleh ulama’ salaf, maupun ulama’ kontemporer.
Sebagian mengatakan larangannya, dan sebagian lainnya mengatakan
kebolehannya.
11 Ibid., 25.
24
Tentang jual beli ini, ada beberapa h{adith yang membicarakannya,
yang menyebutkan larangannya, dan yang menunjukkan kebolehannya.
Berikut adalah rinciannya:
1. H{adith-h{adith yang melarang jual beli Muza>yadah (lelang)
Pertama, H{adith pada kitab al-Mu’jam al-Ausa>t} dalam bab Man
Baqiyati Min Awwali Ismuhu> Mim Man Ismuhu> Mu>sa, no. 8391:
Artinya:
Dengannya, bercerita kepada kita Ibnu Luhai’ah dari Ubaidillah bin
Abi> Ja’far dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Umar, dia berkata:
Rasulullah saw melarang salah satu di antara kalian untuk membeli barang belian saudaranya kecuali pada harta rampasan perang dan harta warisan dan melarang salah satu dia antara kalian untuk
melamar lamaran saudaranya sehingga dia meninggalkannya.13
H{adith ini diriwayatkan oleh Imam T{abra>ni. Dalam H{adith ini
terdapat sanad dari Ubaidillah bin Abi Ja’far, mayoritas ulama
memujinya: s}adu>q mauthuq (jujur dan dapat dipercaya). Abu Hatim,
Al-Nasa’i, dan lainnya mengatakan: thiqah (terpercaya). Ibnu Yunus
mengatakan: dia seorang alim, zuhud, dan ahli ibadah. Sedangkan
Imam Ahmad mengatakan: laisa biqawwi< (tidak kuat).14
13 Abu al-Qa>sim Sulaima>n bin Ahmad al-T{abra>ni, Al-Mu’jam al-Ausat}, Juz VIII (Da>r
al-haramain: al-Qa>hirah, 1415 H), 198.
14 Abi< Abdillah Muh{ammad bin Ah{mad bin Uthma>n al-Dhahaby>, Mi<za>n al-I’tida>l, Juz III (Beiru>t:
25
Sedangkan Zaid bin Aslam, dia adalah pelayan Umar bin
Khat}t}a>b. Ibnu ‘Adi mengatakan: thiqah h}ujjah (terpercaya dan
hujjah).15 Ibnu Hajar al-‘Asqala>ny> mengatakan thiqah ‘a<lim
(terpercaya dan orang berilmu).16
Tentang ked{aifan Ibnu Luhai’ah, nama aslinya Abdullah bin
Luhai’ah bin ‘Uqbah al-Had{rami yang sudah sangat terkenal. Dahulu
Ibnu Luhai’ah adalah seorang yang s}adu>q (jujur), namun hafalannya
kacau setelah buku-bukunya terbakar.17
Sedangkan Imam Ibnu Ma’in mengatakan, bahwa Ibnu
Luhai’ah adalah lemah baik sebelum dan sesudah terbakar buku
-bukunya. Yahya bin Said memandang h{adithnya bukan apa-apa. Ibnu
Mahdi mengatakan: ‚Saya tidak membawa apa pun dari Ibnu
Luhai’ah.‛ Yahya bin Bakir mengatakan: ‚Buku-buku dan rumahnya
terbakar pada tahun 170 H.‛ Yahya bin Said berkata: ‚Berkata
kepadaku Bishr bin al-Sirri, seandainya kau melihat Ibnu Luhai’ah,
janganlah kau bawa h{adithnya sehuruf pun.‛ Al-Nasa>’i mengatakan:
dhai’f.18
15 Ibid., Juz II, 98.
16 Ah{mad bin ‘Ali< bin H{ajar al-‘Asqala>ny>, Taqri<b al-Tahdhi<b, Juz I (Beiru>t: Da>r Maktabah
al-‘Alamiyah, 852 H), 326.
17 Ibid., 526.
18 Abi< Abdillah Muh{ammad bin Ah{mad bin Uthma>n al-Dhahaby>, Mi<za>n al-I’tida>l, Juz II…,
26
Sedangkan Imam al-Haithami< mengatakan: Diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Imam al-T{abra>ni, di dalamnya terdapat Ibnu
Luhai’ah, hadithnya hasan, dan perawi lainnya adalah s}ah{i<h{.19
Kedua, H{adith pada kitab Sunan al-Baihaqi> al-Qubra> dalam bab
al-Nahyu an al-Najashi, no. 10669:
Artinya:
Mengabarkan kepada kita Abu> Zakaria> bin Abi> Ish{a>q dan Abu Bakar bin H{asan, mereka berdua berkata: bercerita kepada kita Abu al-‘Abba>s al-As}a>m, bercerita kepada kita Muh{ammad bin ‘Abdullah bin
‘Abdul H{akam, bercerita kepada kita Ibnu Wahab, telah
mengabarkanku ‘Amru bin Ma>lik, dari ‘Ubaidillah bin Abi> Ja’far, dari
Zaid bin Aslam, dia berkata: aku mendengar seorang laki-laki yang dipanggil namanya ‚Shahr‛ , seorang pedagang, dia bertanya kepada
‘Abdullah bin ‘Umar tentang membeli dengan cara lelang. Maka
‘Abdullah bin ‘Umar berkata: ‚Rasulullah saw melarang kalian
membeli barang belian saudaranya sehingga dia meninggalkannya, kecuali pada harta rampasan perang dan warisan. Dan hal seperti itu
19 Nu>r al-Di<n Ali< bin Abi< Bakar al-Haithami<, Majma’ al-Zawa>id, Juz IV (Beirut: Da>r al-Fikr,
27
diriwayatkan oleh Ibnu Luhai’ah dari ‘Ubaidillah bin Abi> Ja’far dan
Yu>nus bin ‘Abdul A’la dari ibnu Wahab.20
H{adith yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi<. Dalam h{adith ini
terdapat sanad dari Muh{ammad bin Abdullah bin Abdul H{akam. Ibnu
Abi< Ha>tim mengatakan: thiqah s}adu>q (terpercaya dan jujur).21 Ibnu
Hajar al-‘Asqala>ny> mengatakan: faqi<h thiqah (Berilmu dan
terpercaya).22
Sedangkan para perawi lainnya: Ibnu Wahab, ‘Amru bin Ma>lik,
Ubaidillah bin Abi< Ja’far, dan Zaid bin Aslam, adalah thiqah
(terpercaya). Maka semua perawi hadits ini adalah thiqah.
2. H{adith-h{adith yang membolehkan jual beli Muza>yadah (lelang)
Pertama, H{adith pada kitab Jami’ al-S}ah{ih{ Sunan al-Tirmidhi
dalam bab Ma Ja>a Fi< Bai’in Man Yazi<du, No. 1218:
20Ahmad bin al-Husain bin Ali< bin Musa> Abu> Bakar al-Baihaqi<, Sunan al-Baihaqi< al-Kubra>, Juz
V (Makkah al-Mukarromah:Maktabah Da>r al-Ba>z, 1414 H), 344.
21 Abi Muh{ammad Abd al-Rahman bin Abi H{a>tim Muh{ammad bin Idri>s bin al-Mundhir al-Taimi>
al-h{anz{aly>, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, Juz VII (Beiru>t: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>th al-Arabi>, 1952), 300-301.
28
Artinya:
Bercerita kepada kita H{umaid bin Mas’adah, bercerita kepada kita
‘Ubaidillah bin Shumait} bin ‘Ajla>n, bercerita kepada kita al-Ah{d{ar bin ‘Ajla>n dari ‘Abdullah al-H{anafi dari Anas bin Ma>lik, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw menjual kain dan mangkok dan berkata: Siapa yang mau membeli kain dan mangkok ini? Maka seorang laki-laki menjawab: saya akan mengambilnya senilai satu dirham. Maka Nabi Muhammad saw berkata: Siapa yang mau menambah atas satu dirham? Maka datanglah seorang laki-laki tersebut dengan dua dirham dan membelinya. Imam Tirmidhi< berkata: Ini h{adith hasan, kita tidak mengetahui kecuali dari h{adith
al-Ahd{ar bin ‘Ajla>n, dan ‘Abdullah al-H{anafi yang disebut Abu Bakar
al-H{anafi yang meriwayatkan dari Anas bin Ma>lik. Dan sebagian
ulama’ mengamalkan h{adith ini, mereka memandang tidak masalah
menjual secara lelang dalam harta ghanimah dan warisan. Dan al-Mu’tamir bin Sulaima>n benar-benar meriwayatkannya. Dan tiada lagi
selain Ah{d{ar bin ‘Ajlan dari banyaknya para sahabat yang
meriwayatkannya. H{adith ini d{aif.23
H{adith yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidhi. Dalam h{adith
ini terdapat sanad dari H{umaid bin Mas’adah, berkata Ibnu Abi
Hatim: Dia s}adu>q (jujur).24 Begitu juga dengan Ibnu H{ajar
al-‘Asqala>ny>.25
23 Muhammad bin I<sa> Abu> I<sa> al-Tirmidhi< al-Silmy>, al-Ja>mi’ al-S}ah{i<h{ Sunan Tirmidhi<, Juz III
(Beirut:Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-Arabi<, tt.), 522.
24 Abi Muh{ammad Abd al-Rahman bin Abi H{a>tim Muh{ammad bin Idri>s bin al-Mundhir al-Taimi>
al-h{anz{aly>, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, Juz III…, 229.
29
Sedangkan Ubaidillah bin Syumait} bin ‘Ajlan, Imam Yahya bin
Ma’in mengatakan: thiqah (terpercaya).26 begitu pula dengan apa
yang dikatakan Ibnu Hajar al-‘Asqala>ny>.27
Tentang al-Akhd{a>r bin ‘Ajla>n, Ibnu Hajar al-‘Asqala>ny>
mengatakan: s}adu>q (jujur).28
Demikian para perawi Imam Tirmidhi, semuanya thiqah
(terpercaya) dan s}adu>q (jujur) kecuali Abu Bakar al-H{anafi yang
majhu>l (tidak diketahui).
Akan tetapi, tentang h{adith ini Imam Ibnu H{ajar al-‘Asqala>ny>
Rahimahullah mengatakan:
Artinya:
Aku Berkata: Imam Bukhari mengatakan: tidak s}ah{i<h{ h{adithnya. Ibnu
Qat}t}an juga mengatakan: ke-’adalahan-nya tidak kokoh, dan
keadaannya tidak diketahui.29
Hal ini dikarenakan adanya sanad dari Abdullah, yakni Abu Bakar
al-H{anafi yang majhu>l (tidak diketahui).
Kedua, h{adith pada kitab Al-Muntaqa Min Sunan
al-Musna>dah dalam bab Fi< al-Tija>rat, no. 570:
26 Abi Muh{ammad Abd al-Rahman bin Abi H{a>tim Muh{ammad bin Idri>s bin al-Mundhir al-Taimi>
al-h{anz{aly>, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, Juz V…, 319.
27 Ah{mad bin ‘Ali< bin H{ajar al-‘Asqala>ny>, Taqri<b al-Tahdhi<b, Juz I…, 633. 28 Ibid., 72.
29 Ah{mad bin ‘Ali< bin H{ajar al-‘Asqala>ny>, Tahdhi<b al-Tahdhi<b, Juz VI (Rija>l Kutub mah{s}u>s}ah)
30
Artinya:
Bercerita kepada kita Muhammad bin Isma’il al-S}a>igh, Ru>h{ bin
‘Uba>dah menceritakannya, berkata: bercerita kepada kita al-Ah{d{ar bin ‘Ajla>n at-Taimi> bahwa sesungguhnya dia mendengar guru dari Bani H{anafiyah yang disebut Abu Bakar meriwayatkan dari Anas bin Ma>lik ra berkata: Rasulullah saw berkata: Siapa yang mau membeli kain dan mangkok ini? Maka seorang laki-laki menjawab: Wahai Nabi Allah, saya mau mengambilnya senilai satu dirham, maka Nabi Muhammad saw berkata: Siapa yang mau menambah di atas satu dirham, maka orang laki-laki tersebut berkata: Saya mau mengambilnya wahai Nabi Allah senilai dua dirham, Nabi berkata:
Ini buat kamu.30
H{adith yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Ja>ru>d. Sanad h{adith
ini juga terdapat Abu Bakar al-Hanafi yang majhu>l (tidak diketahui).
Meskipun begitu, Imam Tirmidhi mengatakan bahwa h{adith ini
H{asan, seperti h{adith yang telah tersebut di atas.
Imam Al Haithami< mengikuti penghasanan Imam Tirmidhi.
Beliau mengatakan: ‚Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidhi<
menghasankan sanadnya.31
30 Abdulla>h bin Ali< bin al-Ja>ru>d Abu Muhammad al-Naisa>bu>ry>, Al-Muntaqa> Min Sunan
al-Musnadah(Beirut:Muassasah al-Kita>b al-Tsaqa>fiyah, 1408 H), 147.
31
3. Para Ulama’ Salaf yang Memakruhkan jual beli Muza>yadah (lelang)
Imam Ibra>him al-Nakha’i memakruhkan jual beli muza>yadah
(lelang).32 Sedangkan Imam Ibnu Abi Shaibah mengatakan bahwa
Jual beli muza>yadah (lelang) makruh kecuali bagi orang-orang yang
ikut perkongsian.33
Juga pendapat Al-H{asan al-Bas}ri, Ibnu Sirin al-Auza’i dan
lainnya berpendapat bahwa jual beli muza>yadah (lelang) hukumnya
makruh kecuali pada harta rampasan perang dan harta pusaka.34
4. Para Ulama’ Salaf yang Membolehkan jual beli Muza>yadah (lelang)
Imam Ibnu Abi Shaibah menyebutkan beberapa salaf yang
membolehkan lelang, seperti Ibnu Si>ri>n,35 H{amma>d,36 Muja>hid dan
‘At}a>’.37
Imam al-Baihaqi membolehkannya dengan mengatakan:
Artinya:
Kami meriwayatkan dari ‘At}a>’ bin Abi> Rabba>h, bahwa dia berkata: ‚Saya menjumpai manusia, mereka memandang tidak masalah terhadap jual beli ghanimah pada orang yang menambahkan harganya.‛38
32 Wahbah al-Zuh{aily>, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz V (Damaskus: Da>r al-Fikr, tt.), 188. 33 Abu> Bakar Abdullah bin Muh{ammad bin Abi< Shaibah al-‘Abasy>, Mus{naf Ibnu Abi< Shaibah,
Juz XII, (kt: Da>r al-Salafiyah, tt.), 338.
34 Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…, 25.
35 Abu> Bakar Abdullah bin Muh{ammad bin Abi< Shaibah al-‘Abasy>, Mus{naf Ibnu Abi<…, 338. 36 Ibid., 339.
37 Ibid.
32
Kebolehan jual beli muza>yadah (lelang) adalah merupakan
pendapat mayoritas para ulama’. Bebagai macam bentuk istinba>t}
(pengeluaran) hukum atas kebolehannya.
Seperti apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Quda>mah
bermadhhab Hambali yang mengklaim telah terjadi ijma’ atas
kebolehannya. Katanya:
Artinya:
Ini juga ijma’, sesungguhnya kaum muslimin menjual di pasar-pasar
mereka dengan cara lelang.39
Imam Hanabilah juga berpendapat bahwa boleh menjual harta
seorang yang muflis (pailit) dengan cara lelang karena dapat
menaikkan harga dan menenteramkan hatinya (muflis).40
Imam Tirmidhi juga menyebutkan dalam sunannya tentang
h{adith Anas bin Malik:
Artinya:
Sebagian ulama’ mengamalkan hadits ini, mereka memandang tidak
masalah menjual secara lelang dalam harta ghanimah dan warisan.41
39 Ibnu Quda>mah, al-Mughni> fi> Fiqh al-Ima>m Ah{mad bin H{anbal al-Shaiba>ni>, Juz IV (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, 1405), 301.
33
Imam Ibnu al-‘Arabi bermadhhab Maliki mengomentari ucapan
Imam Tirmidhi ini, beliau menyanggah kalau yang dibolehkan hanya
pada harta ghanimah dan harta warisan. Beliau membolehkan secara
mutlak pada harta apa saja, katanya:
Artinya:
Pembolehan tersebut tidaklah bermakna khusus bagi ghanimah dan warisan, karena sesungguhnya penyebutannya memang satu namun
maknanya banyak (mushtarak).42
Imam Abul H{asan al-Ma>wardi> bermadhhab Sha>fi’i mengatakan:
Artinya:
Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa Beliau melarang seorang laki-laki menawar atas tawaran saudaranya. Gambaran tawaran seseorang atas tawaran saudaranya adalah seorang yang memberikan harga pada barang dagangan, lalu datang orang lain yang menambahkan harga tersebut sebelum keduanya transaksi, jika ini terjadi pada jual beli lelang, maka boleh, karena memang jual beli lelang menuntut adanya tambahan, dan sesungguhnya sebuah tawaran tidaklah mencegah
manusia dari tuntutan itu.43
42 Abu al-Fad{l Ah{mad bin ‘Ali< bin Muh{ammad bin ah{mad bin H{ajar al-‘Asqala>ny>, Fath{ al-Ba>ri>,
Juz IV (kt: Da>r al-Fikr, tt.), 354.
34
Shaikh Wahbah al-Zuh{aily> mengatakan:
Artinya:
Lelang adalah menawarkan dengan seruan terhadap sebuah barang, dan manusia satu sama lain menambahkan harganya sampai berhenti, maka yang akhir yang berhak mengambilnya. Ini adalah jual beli yang
sah dan boleh, dan tidak ada masalah di dalamnya.44
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa jual beli muza>yadah
(lelang) hukumnya boleh. Yang terlarang adalah jika penjual sudah
rid{a dengan satu harga dan sudah menahan dengan harga itu, lalu
datang orang lain yang membeli dengan harga lebih tinggi, maka ini
haram, sebab dia telah membatalkan secara sepihak dengan pihak
pertama dan telah membohonginya.
Berbeda dengan lelang, tidak ada kesepakatan apa pun
sebelumnya dengan para penawar, kesepakatan baru terjadi dengan
pihak penawar dengan harga tertinggi, sehingga tidak ada
kesepakatan apa pun yang dilanggar dan tidak ada yang dicurangi.
Maka, dapat disimpulkan bahwa jual beli muza>yadah (lelang)
diperbolehkan dalam ajaran agama Islam. Selama praktek jual beli
tersebut dilakukan dengan cara yang benar, dan mempunyai tujuan
yang baik dalam ajaran agama Islam.
35
C. Subyek dan Obyek Jual Beli Muzayadah (Lelang)
Jual beli muza>yadah merupakan jual beli yang ditinjau dari segi
penentuan harga. Oleh karenanya, jual beli tersebut merupakan bagian dari
jual beli (bai’ ).
Subyek dan obyek jual beli muza>yadah sama halnya dengan subyek
dan obyek jual beli (bai’ ). Adapun subyek dan obyek jual beli merupakan
istilah lain dari rukun dan syarat jual beli, antara lain sebagai berikut:45
1. Pihak-pihak yang berakad (muta’a>qidain/ subyek transaksi)
Mereka adalah dua pihak yang melakukan akad (transaksi)
karena transaksi tidak diakui legalitasnya tanpa keduanya. Kedua
belah pihak yang melakukan transaksi harus telah baligh (dewasa),
berakal sehat, mengerti (pandai), dan tidak terkena larangan
melakukan transaksi.
Adapun syarat sahnya jual beli yang berkenaan dengan
muta’a>qidain (subyek transaksi) ada dua yaitu:
a. Muta’a>qidain (subyek transaksi) harus memenuhi syarat
sebagai orang yang boleh membelanjakan harta, yaitu merdeka,
mukallaf, dan pandai (tidak cacat mental/ gila). Oleh karena itu
tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila,
dan budak tanpa izin orang tua atau majikannya.46
45 Ibid., juz V, 6.
36
Senada dengan syarat tersebut, ulama’ madzhab Sha>fi’i
juga mensyaratkannya seperti itu, hal ini sesuai firman Allah
SWT dalam QS. al-Nisa’ [4]: 5, sebagai berikut:
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.47
b. Muta’a>qidain (subyek transaksi) dalam kondisi kemauan sendiri
(mukhta>rain, tidak dipaksa) untuk melakukan transaksi.48
Hal ini karena taradhi (suka sama suka) merupakan syarat
sah transaksi. Oleh karenanya, tidak sah jual beli yang
dilakukan dengan adanya paksaan yang tidak benar terhadap
salah satu di antara muta’a>qidain (dua pihak yang melakukan
transaksi). Allah berfirman dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 29 yang
berbunyi:
Artinya:
…Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu...49
2. Adanya uang (harga) dan barang (ma‘qu>d‘alai<h/ obyek transaksi)
47 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan…,77.
37
Adapun syarat sahnya jual beli yang berkenaan dengan ma’qu>d
‘alai<h (obyek transaksi) ada enam yaitu:50
a. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) ada saat terjadi transaksi
Fuqaha’ sepakat bahwa tidak sah jual beli barang (obyek)
yang tidak ada pada saat transaksi, seperti menjual
buah-buahan yang belum nyata (belum berbuah dan belum jelas baik
buruknya karena masih terlalu dini) dan menjual madha>mi<n
(kembang pohon kurma jantan untuk penyerbukan kurma betina
yang belum keluar).
Demikian pula tidak sah menjualbelikan malaqi<h (janin
hewan yang masih dalam kandungan induknya) dan habal
al-habalah (anak unta yang baru berupa janin dalam kandungan
induknya). Hal ini berdasarkan h{adith pada kitab Mus}naf Abd
al-Razza>q dalam Ba>b Bai’ al-H{aya>wa>n bi al-H{aya>wa>n no.
14137:
Artinya:
Rasulullah saw melarang jual beli al-madha>mi<n, al-malaqi<h, dan
habal al-habalah.51
50 Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…, 6-10.
51 Abu Bakar Abd al-Razza>q bin Hamma>m al-S}an’a>ny>, Mus}naf Abd al-Razza>q, Juz VIII, (Beiru>t:
38
b. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) berupa harta (ma>l) yang
bermanfaat
Harta yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang menjadi
kecenderungan (disukai) oleh tabiat manusia, dapat diberikan
dan ditahan (tidak diberikan), dan bermanfaat. Sesuatu yang
tidak bermanfaat tidak dikategorikan sebagai harta.
Ulama’ madzhab Sha>fi’i berpendapat, bahwa tidak sah
memperjualbelikan sesuatu yang tidak bermanfaat menurut
syara’. Begitu juga alat-alat permainan yang digunakan untuk
melakukan perbuatan yang haram atau untuk meninggalkan
kewajiban kepada Allah, perbuatan itu digolongkan mubadzir
(sia-sia).52Allah berfirman dalam QS. Al-Isra>’ [17]: 27 yang
berbunyi:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah
Saudara-saudara syaitan.53
c. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) menjadi milik ba’i (penjual)
Syarat seperti ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidhi dalam H{adith pada kitab
39
Jami’ al-Shahih Sunan al-Tirmidhi dalam bab Ma Ja>a Fi<
Kara>hiyati Bai’in Ma> Laisa ‘Indaka No. 1232:54
Artinya:
…Janganlah kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu…
d. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) dapat diserahterimakan pada
saat transaksi
Tidak sah menjual unta yang melarikan diri atau burung
yang masih terbang di udara baik yang sudah jinak sehingga
dapat kembali kepada pemiliknya atau sudah tidak jinak lagi.
e. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) harus dapat diketahui secara
jelas oleh muta’a>qidain (subyek transaksi)
Hal ini karena memperjualbelikan sesuatu yang tidak
diketahui dapat mengakibatkan perselisihan dan pertikaian
karena mengandung gharar (penipuan) yang dilarang Islam.
Jadi, tidak sah memperjualbelikan sesuatu yang tidak dapat
dilihat atau sesuatu yang dapat dilihat, tetapi tidak dapat
diketahui (secara jelas).
Senada dengan syarat tersebut. Ulama’ madzhab Sha>fi’i
juga melarang jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu
pihak.55 Hal ini dijelaskan dalam h{adith pada kitab S}ah{i<h{
54 Muhammad bin I<sa> Abu> I<sa> al-Tirmidhi< al-Silmy>, al-Ja>mi’ al-S}ah{i<h{ Sunan Tirmidhi<, Juz III…,
534.
40
Muslim dalam Ba>b Bat}la>n Bai’ al-H{as}a>t wa al-Bai’ al-ladhi< Fi<hi<
Gharar, no. 1513:
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra ia berkata: rasulullah saw telah melarang jual beli secara melempar dengan batu (lempar-melempar) dan
jual beli yang mengandung tipuan.56
f. Ma>likiyah dan sha>fi’iyah menambah syarat Ma’qu>d ‘alai<h
(obyek transaksi) yang lain, yaitu subtansi (dzat) Ma’qu>d ‘alai<h
(obyek transaksi) harus suci dan bukan termasuk barang yang
dilarang untuk diperjual belikan
Sebagaimana dijelaskan dalam h{adith pada kitab s}ah{i<h{
Bukhari dalam Ba>b Bai’ al-Maitah wa al-As}na>m, no. 2236:
Artinya:
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah dan Rasul telah mengharamkan jual beli arak, bangkai,
babi, dan berhala.57
Menurut Ulama’ Madzhab Sha>fi’i, penyebab
diharamkannya jual beli bangkai, babi, dan anjing adalah najis
56 Muslim bin al-H{ajja>j Abu al-H{usain al-Qushairy> al-Naisa>bu>ry>, S}ah{i<h{ Muslim, Juz III, (Beiru>t:
Da>r Ih{ya>’ al-Tura>th al-‘Araby>, tt.), 1153.
57 Muh{ammad bin Isma>’i<l bin Ibra>hi<m bin al-Mughi<rah al-Bukha>ri<, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S}ah{i<h{
41
(rijs, keji). Adapun mengenai berhala, pelarangannya bukan
karena najisnya, melainkan semata-mata tidak ada
manfaatnya.58
3. Adanya s}ighat akad (i<ja>b qabu>l)
I<ja>b dan qabu>l merupakan bentuk pernyataan (serah terima) dari
kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam hal ini Ahmad Azhar
Basyir telah menetapkan kriteria yang terdapat dalam i<ja>b dan qabu>l,
yaitu:
a. I<ja>b dan qabu>l harus dinyatakan oleh orang sekurang-kurangnya
telah mencapai umur tamyi<z, yang menyadari dan mengetahui
isi perkataan yang diucapkan, sehingga ucapannya itu
benar-benar merupakan pernyataan isi hatinya. Dengan kata lain, i<ja>b
dan qabu>l harus keluar dari orang yang cakap melakukan
tindakan hukum.
b. I<ja>b dan qabu>l harus tertuju pada suatu objek yang merupakan
objek akad.
c. I<ja>b dan qabu>l harus berhubungan langsung dalam suatu
majelis, apabila kedua belah pihak sama-sama hadir atau
sekurang-kurangnya dalam majelis diketahui ada i<ja>b oleh pihak
yang tidak hadir.59 I<ja>b dan qabu>l (s}ighat akad) dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu:
58 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab…, 30.
42
1) Secara lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau
perkataan apapun asalkan dapat dimengerti oleh
masing-masing pihak yang berakad.
2) Dengan tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan
oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang
berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila
orang yang berakad tidak berada dalam satu majelis atau
orang yang berakad salah satu dari keduanya tidak dapat
bicara.
3) Dengan isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan
bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah
pihak yang berakad atau kedua belah pihak yang berakad
tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.60
Adapun dalam i<ja>b dan qabu>l harus terhindar dari unsur-unsur
yang dilarang dalam Islam, antara lain:
a. Z{alim
Syari’ah melarang terjadinya interaksi bisnis yang
merugikan atau membahayakan salah satu pihak. Karena, bila
hal itu terjadi, maka unsur kez{aliman telah terpenuhi. Hal ini
sesuai QS. Al-Baqarah [2]: 279 yang berbunyi:
Secara tegas syariah mengharamkan segala bentuk riba.
Hal ini sesuai QS. Al-Baqarah [2]: 278-279 yang berbunyi:
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu.62
c. Maysir (perjudian)
Adalah perbuatan yang merugikan salah satu pihak. Hal
ini sesuai (QS. Al-Maidah [5]: 90 yang berbunyi:
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat
keberuntungan.63
61 Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terj…, 47. 62 Ibid.
44
d. Gharar (penipuan)
Tentang penipu, Rasulullah menjelaskan bahwa orang
yang seperti itu bukan termasuk golongan umat Islam, hal ini
dijelaskan dalam hadith pada s}ah{i>h{ muslim dalam Ba>b Qaul
al-Nabi> saw Man Ghashshana> Falaisa Minna>, no 102:
Artinya:
Dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah saw pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya: ‚Apa ini wahai pemilik makanan?‛ Sang pemiliknya menjawab: ‚Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.‛ Beliau bersabda, ‚Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barang siapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.‛64
e. Riswah (suap)
Riswah adalah perbuatan yang digunakan untuk
mempengaruhi keputusan atau kebijakan. Hal ini dilarang
dalam hadith pada kitab Jami’ al-Shahih Sunan al-Tirmidhi
dalam Ba>b Ma> Ja>a al-Ra>shi> wa al-Murtashi> fi> al-H{ukmi, no.
1336: