• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG HASIL GRATIFIKASI OLEH KEMENKEU RI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG HASIL GRATIFIKASI OLEH KEMENKEU RI."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG HASIL

GRATIFIKASI OLEH KEMENKEU RI

SKRIPSI

Oleh :

MUHAMMAD KANZUL FIKRI AMINUDDIN NIM : C02210044

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) Surabaya

(2)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG HASIL

GRATIFIKASI OLEH KEMENKEU RI

SKRIPSI Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syari’ah dan Hukum

Oleh

Muhammad Kanzul Fikri Aminuddin NIM. C02210044

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Ekonomi Syari’ah (Muamalah)

Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lelang Hasil

Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia‛. Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana teknis pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan bagaimana hukum lelang tersebut menurut Hukum Islam.

Data dalam penelitian ini dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (library research), yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan deskriptif analitis yaitu menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang disertai dengan analisis menggunakan pola pikir deduktif yaitu

analisis pada teori-teori jual beli muza>yadah (lelang) secara umum, kemudian di

sandingkan terhadap pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang kemudian diteliti dan dianalisis sehingga ditemukan pemahaman secara khusus yang terdapat pada kesimpulan.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa teknis pelaksanaan lelang ini sesuai dengan dasar-dasar akutansi. Akan tetapi, tahap teknis pelaksanaan lelang tentang nilai limit dan pembatalan lelang sebagai pembeli perlu dilakukan pembenaran, karena terdapat unsur-unsur yang dilarang dalam Islam, yakni z}alim dan fasad. Agar tercapai tujuan dari lelang itu sendiri yakni untuk menentramkan hati orang yang sedang pailit, atau seseorang yang sedang tersandung permasalahan hukum agar harta bendanya dapat dilelang sebagai uang pengganti, maka unsur tersebut harus dihilangkan. Sedangkan lelang hasil gratifikasi merupakan lelang dari harta/ benda yang diperoleh dari musuh untuk berdamai. Koruptor adalah musuh Negara, oleh sebab itu harta/ bendanya yang disita oleh

KPK termasuk dalam kategori harta fai’, karena tujuan lelang tersebut sebagai

uang pengganti dari pelaku Tindak Pidana Korupsi, yakni untuk berdamai.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa teknis pelaksanaan ini masih memerlukan pembenahan mengenai nilai limit dalam lelang dan pembatalan lelang sebagai pembeli. Nilai limit ini hanya menunjukkan tentang harga awal dalam pembukaan penawaran jual beli lelang ini. Karenanya, penawaran harga lelang yang semakin meningkat tanpa batas bisa mengakibatkan pembeli merasa dirugikan. Sedangkan pembatalan lelang sebagai pembeli, perbuatan ini sama

halnya dengan jual beli ‘urba>n. Menurut mayoritas ulama’ hal ini tidak

diperbolehkan. Karena, lelang seperti itu tidak sah, terdapat syarat fasad (rusak), menipu (gharar) dan juga memakan harta orang lain dengan cara bat}il. Sedangkan

lelang hasil gratifikasi dalam Islam sama halnya melelang harta fai’, yakni lelang

harta yang didapatkan dari musuh secara damai. Mayoritas ulama’ membolehkan

(7)

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...9

C. Rumusan Masalah ...10

D. Kajian Pustaka ...10

E. Tujuan Penelitian ...12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ...12

G. Definisi Operasional ...13

H. Metode Penelitian ...14

I. Sistematika Pembahasan ...20

BAB II JUAL BELI MUZA<YADAH (LELANG) A. Pengertian Jual Beli Muza>yadah (Lelang) ...21

B. Dasar Hukum Jual Beli Muza>yadah (Lelang) ...23

C. Subyek dan Obyek Jual Beli Muzayadah (Lelang) ...35

D. Manfaat dan Resiko Jual Beli Muza>yadah (Lelang) ...46

(8)

B. Pengertian Hasil Gratifikasi ...50

C. Dasar Hukum Lelang Harta/ Benda Hasil Gratifikasi ...55

D. Pelaksanaan Lelang Harta/ Benda Hasil Gratifikasi ...56

1. Latar Belakang Lelang Harta/ Benda Hasil Gratifikasi56

2. Penyelenggara Lelang Harta/ Benda Hasil Gratifikasi .58

3. Subyek dan Obyek Lelang Harta/ Benda Hasil

Gratifikasi ...59

4. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang Harta/ Benda

Hasil Gratifikasi ...61

5. Contoh Pelaksanaan Lelang Harta/ Benda Hasil

Gratifikasi ...64

BAB IV ANALISA TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LELANG

HASIL GRATIFIKASI OLEH KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

A. Tinjauan Hukum Islam Tentang Teknis Pelaksanaan

Lelang Hasil Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia ...68

B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Hukum Lelang Hasil

(9)

DAFTAR TABEL

(10)

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut :

Desertations (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987).

B. Vokal

1. Vokal Tunggal (monoftong)

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia

ـــ fath{ah a

(11)

ـــ d{ammah u

Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku

jika hamzah berh{arakat sukun atau didahului oleh huruf yang

berh{arakat sukun. Contoh iqtid{a>’

(

)

2. Vokal Rangkap (diftong)

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia Ket.

fath{ah dan ya’ ay a dan y

Nama Indonesia Keterangan

fath{ah dan alif a> a dan garis di atas

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t{ah ada dua:

1. Jika hidup (menjadi mud{a>f) transliterasinya adalah t.

2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.

(12)

: shari>’ah isla>mi>yah

(

)

D. Penulisan Huruf Kapital

Penulisan huruf besar dan kecil pada kata, phrase (ungkapan) atau

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kegiatan jual beli termasuk dalam kegiatan perdagangan yang

merupakan perbuatan yang diizinkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini

dapat dilihat dari dasar hukum yang dapat dijadikan petunjuk transaksi jual

beli. Perdagangan atau jual beli dapat dilakukan dengan tunai, dapat juga

dilakukan dengan pembayaran yang ditangguhkan.1

Jual beli mempunyai berbagai macam bentuk. Jika ditinjau dari segi

penentuan harga, maka terdapat bentuk jual beli muza>yadah (lelang). Jual

beli muza>yadah (lelang) adalah jika seorang penjual menawarkan barang

dagangannya dalam pasar (di hadapan para calon pembeli), kemudian para

calon pembeli saling bersaing dalam menambah harga, kemudian barang

dagangan itu diberikan kepada orang yang paling tinggi dalam memberikan

harga.2

Sedangkan jual beli muza>yadah (lelang) dalam pandangan madzhab

Sha>fi’i adalah penjualan yang dilakukan secara lelang. Umpamanya

perkataan seseorang yang hendak membeli, ‚saya mau menambah.‛ Lalu

orang lain menambah harga yang ditawarkannya, seraya berkata, ‚Saya

1

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. IV, 2012), 145. 2

Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah “Dalam Pandangan 4

(14)

2

mau membeli dengan harga sekian,‛ demikian seterusnya hingga tak ada

lagi yang sanggup membayar lebih tinggi.3

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa jual beli muza>yadah (lelang)

hukumnya boleh, mereka semua mengikuti pendapat Imam Tirmidhi. Tidak

ada yang menentang pendapat ini kecuali an-Nakha’i yang berpendapat

bahwa jual beli seperti ini hukumnya makruh. Juga pendapat Al-Hasan

al-Bashri, Ibnu Sirin al-Auza’i dan lainnya berpendapat bahwa jual beli

(lelang) hukumnya makruh kecuali pada harta rampasan perang dan harta

pusaka.4

Dalam Hukum di Indonesia lelang merupakan penjualan yang terbuka

untuk umum atau di muka umum dengan penawaran harga yang dilakukan

secara tertulis atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk

mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang

terlebih dahulu.5

Penjualan umum (lelang) secara resmi ini diatur dalam

Perundang-undangan di Indonesia sejak tahun 1908, dengan berlakunya Vendu

Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908 nomor 189) dan Vendu Instructie

(Instruksi Lelang Stbl. 1908 No. 190) dan hingga sekarang masih berlaku.

Berkaitan dengan jual beli tersebut, Peraturan Menteri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang

3Ibnu Mas’ud dan

Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i 2(Bandung: Pustaka setia, 2007), 52. 4

Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…,25. 5

(15)

3

Milik Negara (BMN) yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan

Barang Gratifikasi merupakan pedoman peraturan yang digunakan oleh

kejaksaan untuk mengelola barang rampasan Negara dan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengelola barang gratifikasi.

Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yaitu meliputi

pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,

tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan

cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di

dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan

menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Hal ini telah

dijelaskan dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999

juncto UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.6

Barang atau jenis pemberian yang ditujukan kepada Pegawai Negeri

atau Pejabat Penyelenggara Negara rawan terjadi tindak pidana korupsi.

Perbuatan tersebut bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan

dibuat oleh Pegawai Negeri maupun Pejabat Penyelanggara Negara. Barang

atau jenis pemberian ini disebut gratifikasi.

Barang gratifikasi adalah barang yang telah ditetapkan status

gratifikasinya menjadi milik Negara oleh Pimpinan KPK.7 Karenanya,

6

Tim Permata Press, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (t.tp.: Permata Press, 2013), 171.

7

(16)

4

barang yang telah ditetapkan KPK sebagai barang gratifikasi, akan menjadi

Barang Milik Negara (BMN).

Barang gratifikasi yang telah menjadi Barang Milik Negara

diserahkan oleh KPK kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia

(KEMENKEU RI). Penyerahan tersebut dituangkan dalam berita acara

serah terima. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa

‚Penyerahan Barang Gratifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi

kepada Menteri dituangkan dalam berita acara serah terima.‛8

Hal ini juga merupakan amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga,

serah terima barang gratifikasi ini merupakan salah satu wujud kerja sama

dan sinergi yang baik antara KPK dengan DJKN dalam rangka

pemberantasan korupsi di Indonesia.9

Dalam hal ini, KPK sudah beberapa kali menyerahkan barang hasil

gratifikasi tersebut kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia,

antara lain:

1. Siaran Pers Direktorat Jendral Kekayaan Negara KEMENKEU RI

tentang Direktur Jendral Kekayaan Negara Akan Melelang Barang

Gratifikasi KPK dalam Rangka Pekan Anti Korupsi 2013. (Lampiran

(17)

5

2. Siaran Pers Direktorat Jendral Kekayaan Negara KEMENKEU RI

tentang Direktur Jendral Kekayaan Negara kembali terima 41 barang

gratifikasi KPK di Tahun 2013. (Lampiran 1.2)

3. Pengumuman Lelang Nomor: PENG-5/KN/2013 yang dilaksanakan

pada hari rabu, 11 Desember 2013, pukul: 10.50 s/d 13.00 di Ruang

Utama Istora Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. (Lampiran 1.3)

Pengelolaan BMN yang berasal dari barang rampasan Negara

(gratifikasi) dapat dijual oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara

lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri

Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa ‚Penjualan

Barang Rampasan Negara oleh Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan

Korupsi dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor Pelayanan‛.10

Akan tetapi, dalam pelaksanaan lelang tersebut dilaksanakan oleh

DJKN melalui pejabat KPKNL yang berada di bawah kepemimpinannya.

Karena DJKN merupakan pelaksana lelang dalam KEMENKEU RI. Hal ini

dijelaskan dalam pasal 22 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 03/PMK.06/2011, bahwa ‚Direktur Jenderal Kekayaan Negara

berwenang untuk melakukan pengelolaan barang gratifikasi yang telah

diserahkan kepada Menteri sesuai dengan batas kewenangannya berupa

10

Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

(18)

6

penetapan status penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan

penghapusan.‛11

Hal-hal yang menarik perhatian masyarakat dalam peraturan tersebut

antara lain, bahwa dimungkinkannya penggunaan ‚garansi bank‛ sebagai

jaminan penawaran lelang, dan diperbolehkannya penawaran lelang

menggunakan email dan ataupun menggunakan aplikasi internet.12

Begitu juga mengenai pembatalan lelang yang diatur lebih detil yaitu

hanya gugatan yang terkait kepemilikan objek lelang tentang hak

tanggungan saja. Mengenai pembatalan lelang tersebut, yang dapat

membatalkan adalah penetapan provisional atau putusan ‚lembaga

peradilan‛ secara keseluruhan.13

Salah satu fungsi lelang atau penjualan di muka umum adalah

menjamin kepastian hukum dan guna mengikuti perkembangan kebutuhan

masyarakat,14 dimana seseorang atau pihak yang dinyatakan sebagai

pemenang lelang akan memperoleh suatu kepastian dari pejabat lelang

bahwa yang bersangkutan dijamin hak-haknya dalam kepemilikan benda

yang dijadikan obyek pada pelelangan setelah yang bersangkutan

dinyatakan sebagai pemenang.

Selain itu, lelang hasil gratifikasi juga merupakan wujud kontribusi

terhadap penerimaan Negara. Hal ini disampaikan oleh Direktur Lelang

11

Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

03/PMK.06/2011…, pasal 22.

12Risman, “

Deregulasi Lelang One Step A Head PMK Nomor 106 Tahun 2013 Efektif Berlaku 6 Oktober 2013”, dalam https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/deregulasi-lelang-one-step-a-head-pmk-nomor-106-tahun-2013-efektif-berlaku-6-oktober-2013, diakses pada 14 Mei 2014. 13

Ibid. 14

(19)

7

DJKN Purnama T Sianturi yang menyampaikan kepada peserta lelang agar

menawar dengan harga setinggi-tingginya. Menurutnya, tawaran yang

tinggi terhadap barang lelang tersebut merupakan wujud kontribusi

terhadap penerimaan Negara.15

Hasil bersih lelang atas lelang Barang Milik Negara/Daerah, dan

barang-barang yang sesuai peraturan perundang-undangan, harus disetor ke

Kas Negara/Daerah, dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah

pembayaran diterima oleh Bendahara Penerimaan KPKNL.16

Lelang hasil gratifikasi secara khusus baru diatur oleh Pemerintah

pada tahun 2011. Hal ini dibuktikan dengan adanya Peraturan Menteri

Keuangan Republik Indonesia Nomor 03/PMK.06/2011 tentang

Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan

Negara dan Barang Gratifikasi.

Sedangkan pelaksanaan lelang hasil gratifikasi diatur dalam

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan

Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor Per-06/KN/2013

tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.

15 Kementerian Keuangan RI, “DJKN Sukses Lelang Barang Gratifikasi KPK”, dalam http://www.kemenkeu.go.id/Berita/djkn-sukses-lelang-barang-gratifikasi-kpk, diakses pada 11 Juni 2014.

16

Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

(20)

8

Secara umum dalam Al-Qur’an maupun H{adith tidak ada yang

menjelaskan tentang hukum lelang hasil gratifikasi. Akan tetapi Al-Qur’an

memberi petunjuk yang berkenaan dengan perikatan jual beli berdasarkan

firman Allah dalam (QS. al-Baqarah [2]: 282) yang berbunyi:

Artinya:

‚Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan

utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.‛17

Pengertian yang terkandung dalam ayat tersebut, tidak terbatas pada

utang-piutang, tetapi juga jual-beli, sewa-menyewa dan bentuk hubungan

hukum keperdataan Islam lainnya. Manfaatnya jelas, yaitu memberikan

kepastian hukum kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam

perikatan itu. Selain itu, untuk menghindari adanya kemungkinan sengketa

di antara pihak-pihak yang berkepentingan.18

Oleh karenanya, penulis mengangkat masalah ini tak lain untuk

dianalisis apakah lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan

Republik Indonesia ini diperbolehkan dalam Islam. Menurut manfaat dan

resiko yang mungkin terjadi, maka hal tersebut mendorong penulis untuk

mengangkat tema dengan judul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lelang

Hasil Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.‛

17

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Hati Emas, 2014), 48. 18

(21)

9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Adapun masalah yang ada yaitu:

a. Teknis dan pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh

Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

b. Lelang hasil gratifikasi merupakan lelang barang sitaan yang

didapat KPK dari Pegawai Negeri atau Pejabat Penyelenggara

Negara yang melakukan Tindak Pidana Korupsi.

c. Barang gratifikasi adalah barang yang dihasilkan dari perbuatan

yang dilarang oleh agama Islam.

d. Lelang hasil gratifikasi menjamin kepastian hukum hak

kepemilikan.

e. Konsep harga lelang hasil gratifikasi.

2. Batasan Masalah

Agar permasalahan ini bisa dikaji dengan baik, maka dari

identifikasi masalah tersebut, penulis hanya membatasi pada

masalah-masalah tentang:

a. Teknis pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian

Keuangan Republik Indonesia.

b. Lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik

(22)

10

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana teknis pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh

Kementerian Keuangan Republik Indonesia menurut hukum Islam?

2. Bagaimana lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan

Republik Indonesia menurut hukum Islam?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti, sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.19

Adapun kajian atau penelitian yang pernah diteliti oleh peneliti

sebelumnya adalah sebagai berikut: Pertama, ‚Tinjauan Hukum Islam

tentang Lelang Barang Via SMS oleh Telkomsel‛ oleh Wiwin Windari.

Dalam pembahasannya peneliti menjelaskan tentang mekanisme lelang

barang via SMS oleh Telkomsel.

Berdasarkan hasil penelitiannya, peneliti menyimpulkan bahwa

kegiatan program lelang tersebut menurut hukum Islam adalah haram.

Karena terdapat unsur maysir dan gharar, terlebih lagi menimbulkan

permusuhan dan angan-angan kosong yang mengakibatkan sifat malas

19

Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi

(23)

11

bekerja, pemborosan, menunggu yang tidak pasti serta termasuk

membodohi diri sendiri juga merugikan orang lain..20

Kedua, ‚Konsep Harga Lelang Dalam Perspektif Islam‛ oleh

Zumrotul Malikah. Dalam pembahasannya peneliti menjelaskan tentang

mekanisme penetapan harga perspektif ekonomi Islam, kemudian

bagaimana pandangan ekonomi terhadap harga dalam sistem lelang.

Berdasarkan hasil penelitiannya, peneliti menyimpulkan bahwa dalam

penetapan harga dalam ekonomi Islam dengan mempertimbangkan harga

yang pantas yaitu harga yang adil yang memberikan perlindungan kepada

konsumen. Dan konsep harga dalam sistem lelang adalah harga ditentukan

oleh juru lelang dengan melihat keadaan fisik barang tersebut dan tidak

meninggalkan Nilai Limit atau lebih dikenal dengan Harga Limit Lelang

(HLL): bisa berupa Harga Pasar Pusat (HPP), Harga Pasar Daerah (HPD),

dan Harga Pasar Setempat (HPS). Tujuannya agar tidak adanya trik-trik

kotor komplotan lelang (auction ring) dan komplotan penawar (bidder’s

ring). Hal ini sesuai dengan konsep ekonomi Islam yang menjunjung tinggi

keadilan konsep maslahah.21

Ketiga, ‚Tinjauan Pelaksanaan Lelang Terhadap Objek Hak

Tanggungan Yang Dilakukan Melalui KPKNL Menurut Hukum Islam

Dikaitkan Dengan UU No. 4 Th 1996 Tentang Hak Tanggungan‛ oleh

20 Wiwin Windari, “

Tinjauan Hukum Islam tentang Lelang Barang Via SMS oleh Telkomsel” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2011).

21Zumrotul Malikah, “Konsep HargaLelang Dalam Perspektif Islam”

(24)

12

Fikri. Dalam pembahasannya peneliti menjelaskan tentang pelaksanaan

lelang terhadap objek hak tanggungan yang dilakukan melalui KPKNL.

Berdasarkan hasil penelitiannya, peneliti menyimpulkan bahwa lelang

dalam hukum Islam hukumnya boleh (mubah) dengan melihat konsekuensi

akad jual beli yang dilaksanakan para pihak tidak secara ba>t}il dan sesuai

dengan prinsip hukum ekonomi Islam. Di dalam UU No. 4 Tahun 1996

terdapat ketidakpastian mengenai prosedur eksekusi, maka diperlukan

tanggung jawab yang mutlak untuk penjual objek hak tanggungan secara

lelang terkait dengan harga limit, risalah lelang dan legalitas barang guna

mewujudkan perlindungan hukum bagi pembeli lelang yang beritikad

baik.22

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui teknis pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh

Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

2. Untuk mengetahui Hukum Islam terhadap lelang hasil gratifikasi oleh

Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan hasil penelitian yang

ingin diraih dalam penulisan skripsi, antara lain sebagai berikut:

(25)

13

1. Aspek teoritis, sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan,

khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang hasil gratifikasi

oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

2. Aspek praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan atau bahan informasi serta manfaat yang besar bagi

masyarakat serta pihak pelaksana lelang hasil gratifikasi, selanjutnya

diharapkan dapat berguna sebagai pedoman bertransaksi di lapangan

atau masyarakat.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjelasan secara operasional tentang apa

yang dimaksud oleh beberapa istilah dalam penelitian, agar tidak terjadi

kerancuan makna, maka penulis merasa perlu dicantumkan definisi dalam

judul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lelang Hasil Gratifikasi oleh

Kementerian Keuangan Republik Indonesia‛ sebagai berikut:

1. Hukum Islam : Peraturan-peraturan dan ketentuan hukum yang

terkait dengan hukum muamalah yang

bersumber dari Al-Qur’an, Hadith dan

pendapat para ulama’ fiqh.

2. Lelang : Merupakan penjualan yang terbuka untuk

umum atau di muka umum dengan penawaran

harga yang dilakukan secara tertulis atau lisan

(26)

14

mencapai harga tertinggi yang didahului

dengan pengumuman lelang terlebih dahulu.

3. Hasil gratifikasi : Merupakan hasil pemberian berupa barang yang

status gratifikasinya telah ditetapkan menjadi

milik Negara oleh Pimpinan Komisi

Pemberantasan Korupsi.

4. KEMENKEU RI : Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

(dahulu disebut Departemen Keuangan,

disingkat DEPKEU) adalah Kementerian

Negara di lingkungan Pemerintah Indonesia

yang membidangi urusan keuangan dan

kekayaan negara, Kementerian Keuangan

berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab

kepada Presiden.

H. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian ini memuat uraian tentang:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research),

yaitu meneliti sejumlah buku tentang jual beli menurut hukum Islam

dan Peraturan-peraturan tentang pelaksanaan lelang hasil gratifikasi

(27)

15

2. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam skripsi ini adalah data yang

diperoleh dari peraturan pemerintah, jurnal Kementerian Keuangan,

buku, karya ilmiah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan

pembahasan tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Lelang Hasil

Gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yaitu

sebagai berikut:

a. Pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian

Keuangan Republik Indonesia.

b. Jurnal Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

c. Hukum Islam tentang Lelang.

3. Sumber Data

Sumber data ialah tempat atau orang dimana data diperoleh.23

Dalam penelitian ini data yang diperlukan diperoleh melalui

penelitian pustaka (library research). Bahan-bahan yang terkait

dengan penelitian dikumpulkan, diseleksi, dan diklasifikasikan

menurut pokok-pokok pembahasan. Adapun sumber-sumber data

tersebut terdiri atas:

a. Sumber Data Primer

Yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang sesuai

dengan pembahasan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

23

(28)

16

1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan

Barang Gratifikasi.

2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

106/PMK.06/2013 tentang perubahan atas Peraturan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

3) Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor

Per-06/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Lelang.

4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

b. Sumber Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang relevan

dengan pembahasan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1) Tim Permata Press, Undang-Undang RI tentang

(29)

17

2) Peraturan Lelang Stbl. 1908 nomor 189 tentang Peraturan

Penjualan di Muka Umum di Indonesia.

3) Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar et al, Ensiklopedi

Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, Terjemah:

Miftahul Khairi.

4) Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Sha>fi’i.

5) S. H. Alatas, Korupsi.

6) Robert Klitgaar, Membasmi Korupsi.

7) R. Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

8) Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, Terjemah: Nur

Hasanuddin.

9) Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu.

10) Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia.

11) Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam.

12) Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah.

13) Buku-buku lain yang berkaitan dengan masalah yang akan

dibahas.

4. Teknik Pengumpulan Data

Yaitu cara yang digunakan dalam rangka mencari data-data

yang diperlukan. Karena kategori penelitian ini adalah penelitian

pustaka (library research), maka metode yang digunakan adalah

(30)

18

atas literatur, laporan atau publikasi yang ada berdasarkan

penelitian-penelitian lain yang sesuai, atau dari laporan-laporan lembaga yang

menerbitkan informasi atau segala jenis data yang dibutuhkan dalam

penelitian ini.24 Adapun metode dokumentasi yang digunakan untuk

mengumpulkan data yaitu membaca dan mengkaji buku,

Undang-undang, Peraturan-peraturan, karangan ilmiah dan artikel dari

internet yang berhubungan dengan pelaksanaan lelang hasil

gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

5. Teknik Pengolahan Data

Setelah semua data yang diperlukan dapat dikumpulkan,

selanjutnya penulis akan melakukan pengolahan data dengan melalui

langkah-langkah sebagai berikut:

a. Organizing, yaitu yaitu proses yang sistematis dalam

pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan

penelitian.25

b. Editing, yaitu proses pengecekan dan penyesuaian yang

diperlukan untuk menjamin kelengkapan dan kesiapan data

penelitian dalam proses analisis.26

c. Coding, yaitu proses identifikasi dan klasifikasi data penelitian

yang relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.27

24

Suparmoko, Metode Penelitian Praktis: Untuk Ilmu Sosial Ekonomi Dan Bisnis (Yogyakarta: BPFE, Ed. IV, Cet. II, 2007), 68-69.

25

Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 66. 26

Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, Metodologi Penelitian Bisnis : Untuk Akuntansi dan Manajemen (Yogyakarta: BPFE, Ed. I, Cet. II, 2002), 167-168.

27

(31)

19

6. Teknik Analisis Data

Dalam pembahasan penelitian ini, penulis menggunakan

metode deskriptif analitis dan pola pikir deduktif.

a. Deskriptif analitis yaitu menggambarkan, meringkaskan

berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena yang

tertuang dalam data yang diperoleh.28 Yaitu tentang

pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan

Republik Indonesia yang disertai dengan analisis yang

kemudian diambil kesimpulan.

b. Pola pikir deduktif yaitu analisis yang dibangun berdasarkan

kesimpulan umum dan bermuara pada hal-hal yang khusus.29

Pada analisis penelitian ini yang dimaksud dengan pola pikir

deduktif adalah analisis pada teori-teori jual beli muza>yadah

(lelang) secara umum, kemudian di sandingkan terhadap

pelaksanaan lelang hasil gratifikasi oleh Kementerian Keuangan

Republik Indonesia, yang kemudian diteliti dan dianalisis

sehingga ditemukan pemahaman secara khusus yang terdapat

pada kesimpulan.

28

M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011), 68.

29

(32)

20

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam skripsi ini

dan dapat dipahami permasalahannya secara sistematis dan lebih terarah,

maka pembahasannya di bab-bab yang masing-masing bab mengandung

sub bab-sub bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis. Untuk

selanjutnya sistematika pembahasan disusun sebagai berikut:

Bab pertama merupakan gambaran yang memuat pola dasar penulisan

skripsi ini, yang meliputi: latar belakang masalah, identifikasi dan batasan

masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan

hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua adalah landasan teori tentang jual beli muza>yadah (lelang),

memuat tentang pengertian jual beli muza>yadah (lelang), dasar hukum jual

beli muza>yadah (lelang), subyek dan obyek jual beli muza>yadah (lelang),

manfaat dan resiko jual beli muza>yadah (lelang).

Bab ketiga adalah prosedur pelaksanaan lelang harta/ benda hasil

gratifikasi, memuat tentang pengertian lelang, pengertian hasil gratifikasi,

dasar hukum lelang harta/ benda hasil gratifikasi, dan pelaksanaan lelang

harta/ benda hasil gratifikasi.

Bab keempat merupakan tinjauan hukum Islam terhadap lelang hasil

gratifikasi oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

(33)

21

BAB II

JUAL BELI MUZA<YADAH (LELANG)

A. Pengertian Jual Beli Muza>yadah (Lelang)

Jual beli dalam bahasa Arab disebut al-bai’ ( ) yang merupakan

bentuk masdar dari kata yang artinya menjual sedangkan kata

beli dalam bahasa arab dikenal dengan yaitu masdar dari kata

namun pada umumnya kata sudah mencakup keduanya,

dengan demikian kata berarti menjual dan sekaligus berarti membeli.1

Secara etimologis bai’ (jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan

sesuatu yang lain ( ),2 atau dapat juga disebut tukar

menukar (barter) secara mut}lak.3

Adapun bai’ (jual beli) secara terminologis para ulama’ berbeda

pendapat, antara lain:

1. Menurut Sayyid Sabiq, jual beli adalah penukaran benda dengan

benda lain saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada

penggantinya dengan cara yang diperbolehkan.4

2. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, jual beli adalah akad yang tegak atas

dasar penukaran harta dengan harta, maka terjadilah penukaran hak

milik secara tetap.5

1 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), 124.

2 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 73.

3 Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…, 1. 4 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1983), 126.

(34)

22

3. Menurut Hendi Suhendi, jual beli adalah suatu perjanjian

tukar-menukar barang atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela

diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan

pihak lain yang menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan

yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.6

4. Menurut Aiyub Ahmad, jual beli adalah menukar suatu barang

dengan barang yang lain atau penukaran barang dengan uang dengan

cara tertentu yang sama jenisnya atau memiliki nilai sama.7

Definisi yang dipilih adalah tukar menukar barang dengan barang,

barang dengan uang,8 harta dengan harta, harta dengan manfaat (jasa) yang

mubah meskipun dalam tanggungan,9 dengan jalan melepaskan hak milik

dari seseorang terhadap orang lainnya dengan jalan tertentu yang

diperbolehkan oleh agama Islam.

Sedangkan jual beli muza>yadah secara etimologis berarti bersaing

(tanaffus), yaitu bersaing dalam menambah harga barang dagangan yang

ditawarkan untuk dijual.10

Adapun secara terminologis, jual beli muza>yadah adalah jika seorang

penjual menawarkan barang dagangannya dalam pasar (di hadapan para

calon pembeli), kemudian para calon pembeli saling bersaing dalam

6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 68. 7 Aiyub Ahmad, Fiqih Lelang (Jakarta : Kiswah, 2004), 37.

8 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i…, 22.

(35)

23

menambah harga, kemudian barang dagangan itu diberikan kepada orang

yang paling tinggi dalam memberikan harga.11

Secara teknis jual beli muza>yadah dalam pandangan madzhab Sha>fi’i

adalah penjualan yang dilakukan secara lelang. Umpamanya perkataan

seseorang yang hendak membeli, ‚saya mau menambah.‛ Lalu orang lain

menambah harga yang ditawarkannya, seraya berkata, ‚Saya mau membeli

dengan harga sekian,‛ demikian seterusnya hingga tak ada lagi yang

sanggup membayar lebih tinggi.12

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa jual beli

muza>yadah adalah jual beli yang dilakukan dihadapan umum, atau di muka

umum dengan cara si pembeli bersaing untuk menambah harga yang telah

ditawarkan oleh penjual sampai tidak ada yang sanggup untuk menambah

harga lagi, sehingga barang dagangan tersebut diberikan kepada si pembeli

yang telah menambah harga paling tinggi.

B. Dasar Hukum Jual Beli Muza>yadah (Lelang)

Dasar hukum jual beli muza>yadah (lelang) dalam Islam masih

diperdebatkan. Baik oleh ulama’ salaf, maupun ulama’ kontemporer.

Sebagian mengatakan larangannya, dan sebagian lainnya mengatakan

kebolehannya.

11 Ibid., 25.

(36)

24

Tentang jual beli ini, ada beberapa h{adith yang membicarakannya,

yang menyebutkan larangannya, dan yang menunjukkan kebolehannya.

Berikut adalah rinciannya:

1. H{adith-h{adith yang melarang jual beli Muza>yadah (lelang)

Pertama, H{adith pada kitab al-Mu’jam al-Ausa>t} dalam bab Man

Baqiyati Min Awwali Ismuhu> Mim Man Ismuhu> Mu>sa, no. 8391:

Artinya:

Dengannya, bercerita kepada kita Ibnu Luhai’ah dari Ubaidillah bin

Abi> Ja’far dari Zaid bin Aslam dari Ibnu Umar, dia berkata:

Rasulullah saw melarang salah satu di antara kalian untuk membeli barang belian saudaranya kecuali pada harta rampasan perang dan harta warisan dan melarang salah satu dia antara kalian untuk

melamar lamaran saudaranya sehingga dia meninggalkannya.13

H{adith ini diriwayatkan oleh Imam T{abra>ni. Dalam H{adith ini

terdapat sanad dari Ubaidillah bin Abi Ja’far, mayoritas ulama

memujinya: s}adu>q mauthuq (jujur dan dapat dipercaya). Abu Hatim,

Al-Nasa’i, dan lainnya mengatakan: thiqah (terpercaya). Ibnu Yunus

mengatakan: dia seorang alim, zuhud, dan ahli ibadah. Sedangkan

Imam Ahmad mengatakan: laisa biqawwi< (tidak kuat).14

13 Abu al-Qa>sim Sulaima>n bin Ahmad al-T{abra>ni, Al-Mu’jam al-Ausat}, Juz VIII (Da>r

al-haramain: al-Qa>hirah, 1415 H), 198.

14 Abi< Abdillah Muh{ammad bin Ah{mad bin Uthma>n al-Dhahaby>, Mi<za>n al-I’tida>l, Juz III (Beiru>t:

(37)

25

Sedangkan Zaid bin Aslam, dia adalah pelayan Umar bin

Khat}t}a>b. Ibnu ‘Adi mengatakan: thiqah h}ujjah (terpercaya dan

hujjah).15 Ibnu Hajar al-‘Asqala>ny> mengatakan thiqah ‘a<lim

(terpercaya dan orang berilmu).16

Tentang ked{aifan Ibnu Luhai’ah, nama aslinya Abdullah bin

Luhai’ah bin ‘Uqbah al-Had{rami yang sudah sangat terkenal. Dahulu

Ibnu Luhai’ah adalah seorang yang s}adu>q (jujur), namun hafalannya

kacau setelah buku-bukunya terbakar.17

Sedangkan Imam Ibnu Ma’in mengatakan, bahwa Ibnu

Luhai’ah adalah lemah baik sebelum dan sesudah terbakar buku

-bukunya. Yahya bin Said memandang h{adithnya bukan apa-apa. Ibnu

Mahdi mengatakan: ‚Saya tidak membawa apa pun dari Ibnu

Luhai’ah.‛ Yahya bin Bakir mengatakan: ‚Buku-buku dan rumahnya

terbakar pada tahun 170 H.‛ Yahya bin Said berkata: ‚Berkata

kepadaku Bishr bin al-Sirri, seandainya kau melihat Ibnu Luhai’ah,

janganlah kau bawa h{adithnya sehuruf pun.‛ Al-Nasa>’i mengatakan:

dhai’f.18

15 Ibid., Juz II, 98.

16 Ah{mad bin ‘Ali< bin H{ajar al-‘Asqala>ny>, Taqri<b al-Tahdhi<b, Juz I (Beiru>t: Da>r Maktabah

al-‘Alamiyah, 852 H), 326.

17 Ibid., 526.

18 Abi< Abdillah Muh{ammad bin Ah{mad bin Uthma>n al-Dhahaby>, Mi<za>n al-I’tida>l, Juz II…,

(38)

26

Sedangkan Imam al-Haithami< mengatakan: Diriwayatkan oleh

Imam Ahmad dan Imam al-T{abra>ni, di dalamnya terdapat Ibnu

Luhai’ah, hadithnya hasan, dan perawi lainnya adalah s}ah{i<h{.19

Kedua, H{adith pada kitab Sunan al-Baihaqi> al-Qubra> dalam bab

al-Nahyu an al-Najashi, no. 10669:

Artinya:

Mengabarkan kepada kita Abu> Zakaria> bin Abi> Ish{a>q dan Abu Bakar bin H{asan, mereka berdua berkata: bercerita kepada kita Abu al-‘Abba>s al-As}a>m, bercerita kepada kita Muh{ammad bin ‘Abdullah bin

‘Abdul H{akam, bercerita kepada kita Ibnu Wahab, telah

mengabarkanku ‘Amru bin Ma>lik, dari ‘Ubaidillah bin Abi> Ja’far, dari

Zaid bin Aslam, dia berkata: aku mendengar seorang laki-laki yang dipanggil namanya ‚Shahr‛ , seorang pedagang, dia bertanya kepada

‘Abdullah bin ‘Umar tentang membeli dengan cara lelang. Maka

‘Abdullah bin ‘Umar berkata: ‚Rasulullah saw melarang kalian

membeli barang belian saudaranya sehingga dia meninggalkannya, kecuali pada harta rampasan perang dan warisan. Dan hal seperti itu

19 Nu>r al-Di<n Ali< bin Abi< Bakar al-Haithami<, Majma’ al-Zawa>id, Juz IV (Beirut: Da>r al-Fikr,

(39)

27

diriwayatkan oleh Ibnu Luhai’ah dari ‘Ubaidillah bin Abi> Ja’far dan

Yu>nus bin ‘Abdul A’la dari ibnu Wahab.20

H{adith yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi<. Dalam h{adith ini

terdapat sanad dari Muh{ammad bin Abdullah bin Abdul H{akam. Ibnu

Abi< Ha>tim mengatakan: thiqah s}adu>q (terpercaya dan jujur).21 Ibnu

Hajar al-‘Asqala>ny> mengatakan: faqi<h thiqah (Berilmu dan

terpercaya).22

Sedangkan para perawi lainnya: Ibnu Wahab, ‘Amru bin Ma>lik,

Ubaidillah bin Abi< Ja’far, dan Zaid bin Aslam, adalah thiqah

(terpercaya). Maka semua perawi hadits ini adalah thiqah.

2. H{adith-h{adith yang membolehkan jual beli Muza>yadah (lelang)

Pertama, H{adith pada kitab Jami’ al-S}ah{ih{ Sunan al-Tirmidhi

dalam bab Ma Ja>a Fi< Bai’in Man Yazi<du, No. 1218:

20Ahmad bin al-Husain bin Ali< bin Musa> Abu> Bakar al-Baihaqi<, Sunan al-Baihaqi< al-Kubra>, Juz

V (Makkah al-Mukarromah:Maktabah Da>r al-Ba>z, 1414 H), 344.

21 Abi Muh{ammad Abd al-Rahman bin Abi H{a>tim Muh{ammad bin Idri>s bin al-Mundhir al-Taimi>

al-h{anz{aly>, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, Juz VII (Beiru>t: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>th al-Arabi>, 1952), 300-301.

(40)

28

Artinya:

Bercerita kepada kita H{umaid bin Mas’adah, bercerita kepada kita

‘Ubaidillah bin Shumait} bin ‘Ajla>n, bercerita kepada kita al-Ah{d{ar bin ‘Ajla>n dari ‘Abdullah al-H{anafi dari Anas bin Ma>lik, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw menjual kain dan mangkok dan berkata: Siapa yang mau membeli kain dan mangkok ini? Maka seorang laki-laki menjawab: saya akan mengambilnya senilai satu dirham. Maka Nabi Muhammad saw berkata: Siapa yang mau menambah atas satu dirham? Maka datanglah seorang laki-laki tersebut dengan dua dirham dan membelinya. Imam Tirmidhi< berkata: Ini h{adith hasan, kita tidak mengetahui kecuali dari h{adith

al-Ahd{ar bin ‘Ajla>n, dan ‘Abdullah al-H{anafi yang disebut Abu Bakar

al-H{anafi yang meriwayatkan dari Anas bin Ma>lik. Dan sebagian

ulama’ mengamalkan h{adith ini, mereka memandang tidak masalah

menjual secara lelang dalam harta ghanimah dan warisan. Dan al-Mu’tamir bin Sulaima>n benar-benar meriwayatkannya. Dan tiada lagi

selain Ah{d{ar bin ‘Ajlan dari banyaknya para sahabat yang

meriwayatkannya. H{adith ini d{aif.23

H{adith yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidhi. Dalam h{adith

ini terdapat sanad dari H{umaid bin Mas’adah, berkata Ibnu Abi

Hatim: Dia s}adu>q (jujur).24 Begitu juga dengan Ibnu H{ajar

al-‘Asqala>ny>.25

23 Muhammad bin I<sa> Abu> I<sa> al-Tirmidhi< al-Silmy>, al-Ja>mi’ al-S}ah{i<h{ Sunan Tirmidhi<, Juz III

(Beirut:Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-Arabi<, tt.), 522.

24 Abi Muh{ammad Abd al-Rahman bin Abi H{a>tim Muh{ammad bin Idri>s bin al-Mundhir al-Taimi>

al-h{anz{aly>, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, Juz III…, 229.

(41)

29

Sedangkan Ubaidillah bin Syumait} bin ‘Ajlan, Imam Yahya bin

Ma’in mengatakan: thiqah (terpercaya).26 begitu pula dengan apa

yang dikatakan Ibnu Hajar al-‘Asqala>ny>.27

Tentang al-Akhd{a>r bin ‘Ajla>n, Ibnu Hajar al-‘Asqala>ny>

mengatakan: s}adu>q (jujur).28

Demikian para perawi Imam Tirmidhi, semuanya thiqah

(terpercaya) dan s}adu>q (jujur) kecuali Abu Bakar al-H{anafi yang

majhu>l (tidak diketahui).

Akan tetapi, tentang h{adith ini Imam Ibnu H{ajar al-‘Asqala>ny>

Rahimahullah mengatakan:

Artinya:

Aku Berkata: Imam Bukhari mengatakan: tidak s}ah{i<h{ h{adithnya. Ibnu

Qat}t}an juga mengatakan: ke-’adalahan-nya tidak kokoh, dan

keadaannya tidak diketahui.29

Hal ini dikarenakan adanya sanad dari Abdullah, yakni Abu Bakar

al-H{anafi yang majhu>l (tidak diketahui).

Kedua, h{adith pada kitab Al-Muntaqa Min Sunan

al-Musna>dah dalam bab Fi< al-Tija>rat, no. 570:

26 Abi Muh{ammad Abd al-Rahman bin Abi H{a>tim Muh{ammad bin Idri>s bin al-Mundhir al-Taimi>

al-h{anz{aly>, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, Juz V…, 319.

27 Ah{mad bin ‘Ali< bin H{ajar al-‘Asqala>ny>, Taqri<b al-Tahdhi<b, Juz I…, 633. 28 Ibid., 72.

29 Ah{mad bin ‘Ali< bin H{ajar al-‘Asqala>ny>, Tahdhi<b al-Tahdhi<b, Juz VI (Rija>l Kutub mah{s}u>s}ah)

(42)

30

Artinya:

Bercerita kepada kita Muhammad bin Isma’il al-S}a>igh, Ru>h{ bin

‘Uba>dah menceritakannya, berkata: bercerita kepada kita al-Ah{d{ar bin ‘Ajla>n at-Taimi> bahwa sesungguhnya dia mendengar guru dari Bani H{anafiyah yang disebut Abu Bakar meriwayatkan dari Anas bin Ma>lik ra berkata: Rasulullah saw berkata: Siapa yang mau membeli kain dan mangkok ini? Maka seorang laki-laki menjawab: Wahai Nabi Allah, saya mau mengambilnya senilai satu dirham, maka Nabi Muhammad saw berkata: Siapa yang mau menambah di atas satu dirham, maka orang laki-laki tersebut berkata: Saya mau mengambilnya wahai Nabi Allah senilai dua dirham, Nabi berkata:

Ini buat kamu.30

H{adith yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Ja>ru>d. Sanad h{adith

ini juga terdapat Abu Bakar al-Hanafi yang majhu>l (tidak diketahui).

Meskipun begitu, Imam Tirmidhi mengatakan bahwa h{adith ini

H{asan, seperti h{adith yang telah tersebut di atas.

Imam Al Haithami< mengikuti penghasanan Imam Tirmidhi.

Beliau mengatakan: ‚Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidhi<

menghasankan sanadnya.31

30 Abdulla>h bin Ali< bin al-Ja>ru>d Abu Muhammad al-Naisa>bu>ry>, Al-Muntaqa> Min Sunan

al-Musnadah(Beirut:Muassasah al-Kita>b al-Tsaqa>fiyah, 1408 H), 147.

(43)

31

3. Para Ulama’ Salaf yang Memakruhkan jual beli Muza>yadah (lelang)

Imam Ibra>him al-Nakha’i memakruhkan jual beli muza>yadah

(lelang).32 Sedangkan Imam Ibnu Abi Shaibah mengatakan bahwa

Jual beli muza>yadah (lelang) makruh kecuali bagi orang-orang yang

ikut perkongsian.33

Juga pendapat Al-H{asan al-Bas}ri, Ibnu Sirin al-Auza’i dan

lainnya berpendapat bahwa jual beli muza>yadah (lelang) hukumnya

makruh kecuali pada harta rampasan perang dan harta pusaka.34

4. Para Ulama’ Salaf yang Membolehkan jual beli Muza>yadah (lelang)

Imam Ibnu Abi Shaibah menyebutkan beberapa salaf yang

membolehkan lelang, seperti Ibnu Si>ri>n,35 H{amma>d,36 Muja>hid dan

‘At}a>’.37

Imam al-Baihaqi membolehkannya dengan mengatakan:

Artinya:

Kami meriwayatkan dari ‘At}a>’ bin Abi> Rabba>h, bahwa dia berkata: ‚Saya menjumpai manusia, mereka memandang tidak masalah terhadap jual beli ghanimah pada orang yang menambahkan harganya.‛38

32 Wahbah al-Zuh{aily>, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz V (Damaskus: Da>r al-Fikr, tt.), 188. 33 Abu> Bakar Abdullah bin Muh{ammad bin Abi< Shaibah al-‘Abasy>, Mus{naf Ibnu Abi< Shaibah,

Juz XII, (kt: Da>r al-Salafiyah, tt.), 338.

34 Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…, 25.

35 Abu> Bakar Abdullah bin Muh{ammad bin Abi< Shaibah al-‘Abasy>, Mus{naf Ibnu Abi<…, 338. 36 Ibid., 339.

37 Ibid.

(44)

32

Kebolehan jual beli muza>yadah (lelang) adalah merupakan

pendapat mayoritas para ulama’. Bebagai macam bentuk istinba>t}

(pengeluaran) hukum atas kebolehannya.

Seperti apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Quda>mah

bermadhhab Hambali yang mengklaim telah terjadi ijma’ atas

kebolehannya. Katanya:

Artinya:

Ini juga ijma’, sesungguhnya kaum muslimin menjual di pasar-pasar

mereka dengan cara lelang.39

Imam Hanabilah juga berpendapat bahwa boleh menjual harta

seorang yang muflis (pailit) dengan cara lelang karena dapat

menaikkan harga dan menenteramkan hatinya (muflis).40

Imam Tirmidhi juga menyebutkan dalam sunannya tentang

h{adith Anas bin Malik:

Artinya:

Sebagian ulama’ mengamalkan hadits ini, mereka memandang tidak

masalah menjual secara lelang dalam harta ghanimah dan warisan.41

39 Ibnu Quda>mah, al-Mughni> fi> Fiqh al-Ima>m Ah{mad bin H{anbal al-Shaiba>ni>, Juz IV (Beiru>t: Da>r

al-Fikr, 1405), 301.

(45)

33

Imam Ibnu al-‘Arabi bermadhhab Maliki mengomentari ucapan

Imam Tirmidhi ini, beliau menyanggah kalau yang dibolehkan hanya

pada harta ghanimah dan harta warisan. Beliau membolehkan secara

mutlak pada harta apa saja, katanya:

Artinya:

Pembolehan tersebut tidaklah bermakna khusus bagi ghanimah dan warisan, karena sesungguhnya penyebutannya memang satu namun

maknanya banyak (mushtarak).42

Imam Abul H{asan al-Ma>wardi> bermadhhab Sha>fi’i mengatakan:

Artinya:

Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa Beliau melarang seorang laki-laki menawar atas tawaran saudaranya. Gambaran tawaran seseorang atas tawaran saudaranya adalah seorang yang memberikan harga pada barang dagangan, lalu datang orang lain yang menambahkan harga tersebut sebelum keduanya transaksi, jika ini terjadi pada jual beli lelang, maka boleh, karena memang jual beli lelang menuntut adanya tambahan, dan sesungguhnya sebuah tawaran tidaklah mencegah

manusia dari tuntutan itu.43

42 Abu al-Fad{l Ah{mad bin ‘Ali< bin Muh{ammad bin ah{mad bin H{ajar al-‘Asqala>ny>, Fath{ al-Ba>ri>,

Juz IV (kt: Da>r al-Fikr, tt.), 354.

(46)

34

Shaikh Wahbah al-Zuh{aily> mengatakan:

Artinya:

Lelang adalah menawarkan dengan seruan terhadap sebuah barang, dan manusia satu sama lain menambahkan harganya sampai berhenti, maka yang akhir yang berhak mengambilnya. Ini adalah jual beli yang

sah dan boleh, dan tidak ada masalah di dalamnya.44

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa jual beli muza>yadah

(lelang) hukumnya boleh. Yang terlarang adalah jika penjual sudah

rid{a dengan satu harga dan sudah menahan dengan harga itu, lalu

datang orang lain yang membeli dengan harga lebih tinggi, maka ini

haram, sebab dia telah membatalkan secara sepihak dengan pihak

pertama dan telah membohonginya.

Berbeda dengan lelang, tidak ada kesepakatan apa pun

sebelumnya dengan para penawar, kesepakatan baru terjadi dengan

pihak penawar dengan harga tertinggi, sehingga tidak ada

kesepakatan apa pun yang dilanggar dan tidak ada yang dicurangi.

Maka, dapat disimpulkan bahwa jual beli muza>yadah (lelang)

diperbolehkan dalam ajaran agama Islam. Selama praktek jual beli

tersebut dilakukan dengan cara yang benar, dan mempunyai tujuan

yang baik dalam ajaran agama Islam.

(47)

35

C. Subyek dan Obyek Jual Beli Muzayadah (Lelang)

Jual beli muza>yadah merupakan jual beli yang ditinjau dari segi

penentuan harga. Oleh karenanya, jual beli tersebut merupakan bagian dari

jual beli (bai’ ).

Subyek dan obyek jual beli muza>yadah sama halnya dengan subyek

dan obyek jual beli (bai’ ). Adapun subyek dan obyek jual beli merupakan

istilah lain dari rukun dan syarat jual beli, antara lain sebagai berikut:45

1. Pihak-pihak yang berakad (muta’a>qidain/ subyek transaksi)

Mereka adalah dua pihak yang melakukan akad (transaksi)

karena transaksi tidak diakui legalitasnya tanpa keduanya. Kedua

belah pihak yang melakukan transaksi harus telah baligh (dewasa),

berakal sehat, mengerti (pandai), dan tidak terkena larangan

melakukan transaksi.

Adapun syarat sahnya jual beli yang berkenaan dengan

muta’a>qidain (subyek transaksi) ada dua yaitu:

a. Muta’a>qidain (subyek transaksi) harus memenuhi syarat

sebagai orang yang boleh membelanjakan harta, yaitu merdeka,

mukallaf, dan pandai (tidak cacat mental/ gila). Oleh karena itu

tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila,

dan budak tanpa izin orang tua atau majikannya.46

45 Ibid., juz V, 6.

(48)

36

Senada dengan syarat tersebut, ulama’ madzhab Sha>fi’i

juga mensyaratkannya seperti itu, hal ini sesuai firman Allah

SWT dalam QS. al-Nisa’ [4]: 5, sebagai berikut:

Artinya:

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam

kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.47

b. Muta’a>qidain (subyek transaksi) dalam kondisi kemauan sendiri

(mukhta>rain, tidak dipaksa) untuk melakukan transaksi.48

Hal ini karena taradhi (suka sama suka) merupakan syarat

sah transaksi. Oleh karenanya, tidak sah jual beli yang

dilakukan dengan adanya paksaan yang tidak benar terhadap

salah satu di antara muta’a>qidain (dua pihak yang melakukan

transaksi). Allah berfirman dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 29 yang

berbunyi:

Artinya:

…Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka

sama-suka di antara kamu...49

2. Adanya uang (harga) dan barang (ma‘qu>d‘alai<h/ obyek transaksi)

47 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan…,77.

(49)

37

Adapun syarat sahnya jual beli yang berkenaan dengan ma’qu>d

‘alai<h (obyek transaksi) ada enam yaitu:50

a. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) ada saat terjadi transaksi

Fuqaha’ sepakat bahwa tidak sah jual beli barang (obyek)

yang tidak ada pada saat transaksi, seperti menjual

buah-buahan yang belum nyata (belum berbuah dan belum jelas baik

buruknya karena masih terlalu dini) dan menjual madha>mi<n

(kembang pohon kurma jantan untuk penyerbukan kurma betina

yang belum keluar).

Demikian pula tidak sah menjualbelikan malaqi<h (janin

hewan yang masih dalam kandungan induknya) dan habal

al-habalah (anak unta yang baru berupa janin dalam kandungan

induknya). Hal ini berdasarkan h{adith pada kitab Mus}naf Abd

al-Razza>q dalam Ba>b Bai’ al-H{aya>wa>n bi al-H{aya>wa>n no.

14137:

Artinya:

Rasulullah saw melarang jual beli al-madha>mi<n, al-malaqi<h, dan

habal al-habalah.51

50 Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah…, 6-10.

51 Abu Bakar Abd al-Razza>q bin Hamma>m al-S}an’a>ny>, Mus}naf Abd al-Razza>q, Juz VIII, (Beiru>t:

(50)

38

b. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) berupa harta (ma>l) yang

bermanfaat

Harta yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang menjadi

kecenderungan (disukai) oleh tabiat manusia, dapat diberikan

dan ditahan (tidak diberikan), dan bermanfaat. Sesuatu yang

tidak bermanfaat tidak dikategorikan sebagai harta.

Ulama’ madzhab Sha>fi’i berpendapat, bahwa tidak sah

memperjualbelikan sesuatu yang tidak bermanfaat menurut

syara’. Begitu juga alat-alat permainan yang digunakan untuk

melakukan perbuatan yang haram atau untuk meninggalkan

kewajiban kepada Allah, perbuatan itu digolongkan mubadzir

(sia-sia).52Allah berfirman dalam QS. Al-Isra>’ [17]: 27 yang

berbunyi:

Artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah

Saudara-saudara syaitan.53

c. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) menjadi milik ba’i (penjual)

Syarat seperti ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang

diriwayatkan oleh Imam Tirmidhi dalam H{adith pada kitab

(51)

39

Jami’ al-Shahih Sunan al-Tirmidhi dalam bab Ma Ja>a Fi<

Kara>hiyati Bai’in Ma> Laisa ‘Indaka No. 1232:54

Artinya:

…Janganlah kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu…

d. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) dapat diserahterimakan pada

saat transaksi

Tidak sah menjual unta yang melarikan diri atau burung

yang masih terbang di udara baik yang sudah jinak sehingga

dapat kembali kepada pemiliknya atau sudah tidak jinak lagi.

e. Ma’qu>d ‘alai<h (obyek transaksi) harus dapat diketahui secara

jelas oleh muta’a>qidain (subyek transaksi)

Hal ini karena memperjualbelikan sesuatu yang tidak

diketahui dapat mengakibatkan perselisihan dan pertikaian

karena mengandung gharar (penipuan) yang dilarang Islam.

Jadi, tidak sah memperjualbelikan sesuatu yang tidak dapat

dilihat atau sesuatu yang dapat dilihat, tetapi tidak dapat

diketahui (secara jelas).

Senada dengan syarat tersebut. Ulama’ madzhab Sha>fi’i

juga melarang jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu

pihak.55 Hal ini dijelaskan dalam h{adith pada kitab S}ah{i<h{

54 Muhammad bin I<sa> Abu> I<sa> al-Tirmidhi< al-Silmy>, al-Ja>mi’ al-S}ah{i<h{ Sunan Tirmidhi<, Juz III…,

534.

(52)

40

Muslim dalam Ba>b Bat}la>n Bai’ al-H{as}a>t wa al-Bai’ al-ladhi< Fi<hi<

Gharar, no. 1513:

Artinya:

Dari Abu Hurairah ra ia berkata: rasulullah saw telah melarang jual beli secara melempar dengan batu (lempar-melempar) dan

jual beli yang mengandung tipuan.56

f. Ma>likiyah dan sha>fi’iyah menambah syarat Ma’qu>d ‘alai<h

(obyek transaksi) yang lain, yaitu subtansi (dzat) Ma’qu>d ‘alai<h

(obyek transaksi) harus suci dan bukan termasuk barang yang

dilarang untuk diperjual belikan

Sebagaimana dijelaskan dalam h{adith pada kitab s}ah{i<h{

Bukhari dalam Ba>b Bai’ al-Maitah wa al-As}na>m, no. 2236:

Artinya:

Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah dan Rasul telah mengharamkan jual beli arak, bangkai,

babi, dan berhala.57

Menurut Ulama’ Madzhab Sha>fi’i, penyebab

diharamkannya jual beli bangkai, babi, dan anjing adalah najis

56 Muslim bin al-H{ajja>j Abu al-H{usain al-Qushairy> al-Naisa>bu>ry>, S}ah{i<h{ Muslim, Juz III, (Beiru>t:

Da>r Ih{ya>’ al-Tura>th al-‘Araby>, tt.), 1153.

57 Muh{ammad bin Isma>’i<l bin Ibra>hi<m bin al-Mughi<rah al-Bukha>ri<, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S}ah{i<h{

(53)

41

(rijs, keji). Adapun mengenai berhala, pelarangannya bukan

karena najisnya, melainkan semata-mata tidak ada

manfaatnya.58

3. Adanya s}ighat akad (i<ja>b qabu>l)

I<ja>b dan qabu>l merupakan bentuk pernyataan (serah terima) dari

kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam hal ini Ahmad Azhar

Basyir telah menetapkan kriteria yang terdapat dalam i<ja>b dan qabu>l,

yaitu:

a. I<ja>b dan qabu>l harus dinyatakan oleh orang sekurang-kurangnya

telah mencapai umur tamyi<z, yang menyadari dan mengetahui

isi perkataan yang diucapkan, sehingga ucapannya itu

benar-benar merupakan pernyataan isi hatinya. Dengan kata lain, i<ja>b

dan qabu>l harus keluar dari orang yang cakap melakukan

tindakan hukum.

b. I<ja>b dan qabu>l harus tertuju pada suatu objek yang merupakan

objek akad.

c. I<ja>b dan qabu>l harus berhubungan langsung dalam suatu

majelis, apabila kedua belah pihak sama-sama hadir atau

sekurang-kurangnya dalam majelis diketahui ada i<ja>b oleh pihak

yang tidak hadir.59 I<ja>b dan qabu>l (s}ighat akad) dapat dilakukan

dengan berbagai cara, yaitu:

58 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab…, 30.

(54)

42

1) Secara lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau

perkataan apapun asalkan dapat dimengerti oleh

masing-masing pihak yang berakad.

2) Dengan tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan

oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang

berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila

orang yang berakad tidak berada dalam satu majelis atau

orang yang berakad salah satu dari keduanya tidak dapat

bicara.

3) Dengan isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan

bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah

pihak yang berakad atau kedua belah pihak yang berakad

tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.60

Adapun dalam i<ja>b dan qabu>l harus terhindar dari unsur-unsur

yang dilarang dalam Islam, antara lain:

a. Z{alim

Syari’ah melarang terjadinya interaksi bisnis yang

merugikan atau membahayakan salah satu pihak. Karena, bila

hal itu terjadi, maka unsur kez{aliman telah terpenuhi. Hal ini

sesuai QS. Al-Baqarah [2]: 279 yang berbunyi:

(55)

Secara tegas syariah mengharamkan segala bentuk riba.

Hal ini sesuai QS. Al-Baqarah [2]: 278-279 yang berbunyi:

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan

Rasul-Nya akan memerangimu.62

c. Maysir (perjudian)

Adalah perbuatan yang merugikan salah satu pihak. Hal

ini sesuai (QS. Al-Maidah [5]: 90 yang berbunyi:

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu mendapat

keberuntungan.63

61 Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terj…, 47. 62 Ibid.

(56)

44

d. Gharar (penipuan)

Tentang penipu, Rasulullah menjelaskan bahwa orang

yang seperti itu bukan termasuk golongan umat Islam, hal ini

dijelaskan dalam hadith pada s}ah{i>h{ muslim dalam Ba>b Qaul

al-Nabi> saw Man Ghashshana> Falaisa Minna>, no 102:

Artinya:

Dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah saw pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya: ‚Apa ini wahai pemilik makanan?‛ Sang pemiliknya menjawab: ‚Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.‛ Beliau bersabda, ‚Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barang siapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.‛64

e. Riswah (suap)

Riswah adalah perbuatan yang digunakan untuk

mempengaruhi keputusan atau kebijakan. Hal ini dilarang

dalam hadith pada kitab Jami’ al-Shahih Sunan al-Tirmidhi

dalam Ba>b Ma> Ja>a al-Ra>shi> wa al-Murtashi> fi> al-H{ukmi, no.

1336:

Gambar

Tabel                                              Halaman
tabel sebagai berikut:5
Tabel 1.1: Bentuk gratifikasi Legal dan gratifikasi Ilegal

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi kualitas ponsel Nokia dengan loyalitas merek (r = 0,791 dan p =

Untuk selanjutnya sepada para peserta yang tidak dapat menerima penetapan hasil pelelangan tersebut, dapat mengajukan sanggahan secara tertulis kepada Pokja

Berbeda pula menurut Connell (1972 : 68-69) yang menyimpulkan bahwa masyarakat adalah (1) suatu klompok yang berpikir tentang diri mereka sendiri sebagai

Mata kuliah ini mengkaji tentang keluarga yang merupakan lembaga sosial dan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat yang mempunyai struktur dan fungsi, peranan

Oleh karena itu, penelitian ini berjudul “ Analisis Pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Social Resposibility Terhadap Tindakan Pajak Agresif Pada Perusahaan

Rangkaian yang di terangkan pada tulisan ini adalah bentuk sederhana , suatu rangkaian listrik.Rangkain ini adalah model sederhana dari prinsip prinsip digital dengan

Akta kelahiran anak luar kawin tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak dengan tercantum nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan

Tabel 3.6 Hasil Uji Reliabilitas Korelasi Item Total Butir Pertanyaan Variabel Dukungan Tenaga Kesehatan ...41. Tabel 3.7 Hasil Uji Reliabilitas Korelasi