• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obyek target, perilaku seseorang satu dengan yang lainnya akan selalu berbeda atau dapat disebut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obyek target, perilaku seseorang satu dengan yang lainnya akan selalu berbeda atau dapat disebut"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Dan Respon Konsumen

Definisi dari perilaku konsumen yaitu, tindakan khusus yang ditujukan pada beberapa obyek target, perilaku seseorang satu dengan yang lainnya akan selalu berbeda atau dapat disebut bahwa perilaku merupakan suatu sifat yang dominan dimiliki oleh seseorang, sedangkan konsumen merupakan individu yang secara langsung terlibat dalam mengkonsumsi produk barang atau jasa dalam rangka memuaskan hasrat mereka (Sudarmadji et al., 2003). Dalam hal ini yang dimaksud perilaku konsumen adalah suatu sifat yang menunjukkan kesukaan dan kecenderungan sekelompok manusia dalam menyukai suatu hal dan lebih cenderung untuk dipilih dan diminati yang dapat membuat konsumen merasa puas.

Respon berasal dari kata response yang berarti tanggapan (reaction), reaksi atau jawaban. Respon adalah istilah yang digunakan oleh psikologi untuk menamakan reaksi terhadap rangsangan yang diterima oleh panca indera. Respon biasanya diwujudkan dalam bentuk perilaku yang muncul setelah terjadinya rasa terhadap subyek atau konsumen (Simamora et al., 2003). Respon adalah reaksi konsumen terhadap stimuli tertentu, karena reaksi konsumen dapat berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal meliputi produk dan kualitas sedangkan faktor eksternal meliputi teknologi yang digunakan dan keamanan produk (Kotler, 2000).

Hubungan perilaku konsumen dan respon konsumen berkaitan dengan pengukuran komponen – komponen kognitif (berfikir) dan afektif (perasaan) dari respon konsumen, hasil pengukuran dapat digunakan untuk meramalkan hasil dari konsumen dengan pengaruh komponen kognitif dan afektif.

(2)

1.2 Pengujian Mutu Organoleptik

Pengujian secara organoleptik suatu produk makanan merupakan kegiatan penilaian dengan alat pengindera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan peraba. Melalui hasil pengujian organolpetik akan diketahui daya penerimaan panelis (konsumen) terhadap produk tersebut (Soekarto,1985).

Sifat organoleptik bahan dan produk pangan merupakan hal pertama yang diperhatikan oleh konsumen, sebelum mereka menilai lebih jauh misalnya pada aspek nilai gizinya. Di industri pangan, pengujian sifat organoleptik dapat dilakukan untuk tujuan pengembangan dan pengujian mutu produk. Kesimpulan yang diperoleh dari suatu pengujian organoleptik sangat tergantung pada tahap persiapan, keterandalan panelis, sarana dan prasarana, jenis analisis organoleptik serta metode analisis data. Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat melakukan pengujian organoleptik yang baik perlu dimiliki, untuk dapat mencapai hal tersebut diperlukan pengetahuan dasar mengenai penerapan pengujian organoleptik ( Soekarto,1985 ).

Tingkat kesukaan konsumen dapat diukur menggunakan uji organoleptik melalui alat indra. Kegunaan uji ini diantaranya untuk pengembangan produk baru. Penilailan dengan indera yang juga disebut penilaian organoleptik atau penilaian sensoris merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian dengan indra banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan ( Soekarto, 1985 ).

Uji kesukaan pada dasarnya merupakan pengujian yang panelisnya mengemukakan responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Pengujian ini umumnya digunakan untuk mengkaji reaksi konsumen terhadap suatu bahan. Oleh karena itu panelis sebaiknya diambil dalam jumlah besar, yang mewakili populasi masyarakat tertentu. Skala nilai

(3)

yang digunakan dapat berupa nilai numerik dengan keterangan verbalnya, atau keterangan verbalnya saja dengan kolom yang dapat diberi tanda oleh panelis. Skala nilai dapat dinilai dalam arah vertikal atau horizontal (Kartika et al., 1988).

Pengujian mutu organoleptik dilakukan dengan cara menggunakan indera pengecap, pembau dan peraba pada bahan pangan yang dikonsumsi. Interaksi hasil penelitian dengan alat inderawi dipakai untuk mengukur mutu bahan pangan dalam rangka pengendalian mutu dan perkembangan produk (Idris, 1994).

Metode pengujian mutu organoleptik bahan pangan digunakan untuk membedakan kualitas bahan pangan pada aroma, rasa dan tekstur secara langsung. Mutu organoleptik dari suatu bahan pangan akan mempengaruhi diterima atau ditolak bahan pangan tersebut oleh konsumen sebelum menilai kandungan gizi dari bahan pangan (Winarno, 1995 ).

Pengujian bahan pangan tidak hanya dilihat dari aspek kimiawinya saja, tetapi juga ditilik dari cita rasa dan aroma. Rasa merupakan kriteria penting dalam menilai suatu produk pangan yang banyak melibatkan indra pengecap yaitu lidah, rasa sangat dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsistensi dan interaksi dengan komponen penyusun makanan seperti protein, lemak, vitamin dan banyak komponen lainnya (Winarno, 1997 ).

Disamping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaanya. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik. Misalnya dalam hal “ suka “, dapat mempunyai skala hedonik seperti : amat sangat suka, sangat suka, agak suka. Sebaliknya jika tanggapan itu “tidak suka “, dapat mempunyai skala hedonik seperti : amat sangat tidak suka, sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka. Diantara agak suka dan agak tidak suka kadang kadang ada tanggapan yang disebut netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka ( neither like nor dislike ) ( Soekarto, 1985 ).

(4)

1.3 Edible

Edible merupakan bahan berupa cairan yang digunakan sebagai pengemas produk

olahan seperti daging atau disebut edible packaging. Edible packaging adalah kemasan yang dapat dimakan karena terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan seperti pati, protein atau lemak. Jika dibuang, Edible packaging dapat didegradasi melalui proses fotokimia atau dengan menggunakan mikroba penghancur Paramawati dan Donald (2001). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat

dipertahankan dan dapat langsung dimakan serta aman bagi kesehatan.

Edible packaging dibagi jadi dua kelompok besar, yaitu yang berfungsi sebagai pelapis

(edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film). Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah (intermediate moisture food), produk konfeksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta, 1994).

Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di

atas komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer masa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif dan atau untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1994). Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah produk kehilangan kelembaban, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan. Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan sayuran

(5)

segar dapat memperlambat penurunan mutu. Hal ini disebabkan karena edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor. Kemampuan ini menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas. Komponen penyusun edible film akan mempengaruhi bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas secara langsung. Menurut (Duodu, 2004), komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible film adalah antimikroba, antioksidan, flavor dan pewarna.

Bentuk lain dari edible packaging adalah edible coating, yaitu pelapisan bahan pangan dengan pelapis yang dapat dimakan (Nata, 2003). Bahan-bahan baku untuk pembuatan edible coating sama dengan edible film, hanya saja dalam pembuatan edible coating tidak ada

penambahan plastisizer, sehingga pelapis yang dihasilkan tidak berbentuk film. Contoh prosedur standar pembuatan edible coating adalah dengan bahan dasar isolate protein kedele (ISP).

Cara-cara pelapisan untuk edible coating adalah pencelupan, penyemprotan atau penaungan. Metode pencelupan dilakukan dengan cara mencelupkan bahan makanan ke dalam edible coating. Untuk mendapatkan permukaan rata, dibutuhkan suatu mantel. Setelah

pencelupan, kelebihan mantel dialirkan ke produk dan kemudian dikeringkan agar diperoleh tekstur yang keras. Metode yang lebih praktis, penyemprotan, dilakukan dengan cara menyemprotkan edible coating pada bahan pangan di salah satu sisinya sehingga hasilnya lebih seragam. Metode penuangan dilakukan dengan cara menuangkan edible coating ke bahan yang akan dilapisi ( Buckle et al., 1998). Teknik ini menghasilkan bahan yang lembut dan permukaan yang datar, tapi ketebalannya harus diperhatikan karena mempengaruhi permukaan bahan. Nilai permeabilitas suatu edible digunakan untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas

(6)

di dalamnya. Nilai permebilitas juga dapat menentukan produk apa yang dapat dikemas dalam film tersebut. Nilai permeabilitas mencakup permeabilitas terhadap uap air dan gas (Nurwitri, 1992).

Aplikasi dari edible film atau edible coating dibagi atas kelompok kemasan primer, barrier, pengikat, dan pelapis ( Nurwitri,1992). Sebagai kemasan primer dari produk pangan edible film atau edible coating telah dipakai untuk mengemas produk olahan seperti sosis,

daging, produk hasil laut serta permen, sayur-sayuran dan buah-buahan segar,

Sebagai pelapis, edible berguna untuk menggantikan bahan kimia pengawet pada produk-produk olahan. Keuntungannya adalah produk-produk dapat menghambat kontaminasi oleh mikroba. Keuntungan penggunaan edible untuk kemasan bahan pangan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan. Sebagai fungsi tambahannya adalah untuk menarik konsumen dalam industri makanan dan keamanan bahan pangan terjaga. Kelebihan edible dibanding kemasan sintetik adalah dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya dan terutama sifatnya yang ramah lingkungan. Besarnya potensi edible sebagai kemasan alternatif yang ramah lingkungan diharapkan dapat mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk menemukan bahan pembuatan edible yang selama ini belum diberdayakan. Selain untuk mengurangi masalah limbah plastik, diharapkan dapat pula ditemukan bahan edible dengan memiliki karakteristik terbaik (Soeharsono dan Robinson, 2010)

Aplikasi edible utamanya edible coating dapat diaplikasikan pada produk bakso untuk menjaga kerusakan bakso akibat mikroba dan pengaruh edible untuk mengawetkan bakso agar bertahan dalam jangka waktu yang lama tanpa mengubah bahan pokoknya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan metode edible coating. Edible menggunakan gelatin yang diproduksi dari

(7)

kulit kaki ayam yang baik untuk pertumbuhan karena memiliki zat protein yang tinggi sehingga produk aplikasi contohnya pada bakso mempunyai kandungan zat yang dapat meningkatkan masa pertumbuhan utamanya pada anak. (Nata, 2003)

Tabel 2.1 Kandungan yang terdapat dalam kulit kaki ayam broiler:

No Kandungan Besarnya 1 Kandungan Air 65,90 % 2 Protein kasar 22,98 % 3 Lemak 5,60 % 4 Abu 3,49 % 5 Substansi lainnya 2,03 % Sumber: (Purnomo, 1992) 1.4 GELATIN

Gelatin adalah suatu polipeptida larut berasal dari kolagen, yang merupakan konstituen utama dari kulit, tulang, dan jaringan ikat binatang. Gelatin diperoleh melalui hidrolisis parsial dari kolagen (Zhou dan Regenstein, 2005). Pemanfaatan kulit kaki atau ceker ayam (shank) sebagai bahan baku gelatin perlu dikaji potensinya, mengingat komponen tersebut keberadaannya sangat melimpah yang selama ini pemanfaatannya belum optimal, tetapi memiliki komposisi kimia yang mendukung. Saat ini ceker ayam baru hanya dimanfaatkan sebagai campuran sup dan krupuk ceker. Nilai tambah dari kedua produk tersebut masih rendah. Tingginya kandungan protein pada kulit kaki ayam membuka peluang untuk dapat mengisolasi gelatin secara ekstraksi sehingga menambah nilai ekonomi dari ceker tersebut. Namun disisi lain, belum diperoleh metode yang efektif dan efisien untuk mengekstraksi protein kolagen pada kulit kaki ayam broiler agar dihasilkan gelatin yang sesuai dengan SNI dan bebas lemak.

(8)

Gelatin dibedakan berdasarkan proses curing yang dilakukan sebelum ekstraksi yaitu gelatin tipe A (asam) dan tipe B (basa). Tujuan jangka panjang dari penelitian yang dilakukan adalah menemukan metode yang tepat untuk mengisoalsi gelatin dari kulit kaki ayam broiler agar dihasilkan gelatin dengan kulaitas yang setara atau lebih tinggi dari gelatin yang diisolai dari kulit dan tulang babi dan sapi, sehingga bisa menggantikan sumber gelatin yang selama ini digunakan. Ada beberapa metode yang telah dikembangkan, Radiman (1976) menyebutkan bahwa metode ekstraksi yang bisa digunakan dalam ekstraksi protein kolagen kulit sapi adalah dengan cara ekstraksi bertingkat yang menekankan pada variasi suhu ekstraksi.

Hasil dari metode ini dipastikan akan diperoleh gelatin dengan kandungan lemak/minyak yang tinggi serta viskositas atau kekentalannya rendah, sehingga kualitas gelatin menjadi rendah karena mudah tengik (Anonim, 2005). Bailey (1992) telah melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh metode curing menggunakan garam terhadap kelarutan protein kulit sapi. Hasilnya, terjadi pelepasan (terekstrak) protein kulit selama curing menggunakan garam 0,6% dari berat kulit segar, namun kandungan lemaknya relatif masih tinggi sehingga dipastikan gelatin yang dihasilkan juga cepat tengik. Selain itu, Miller et al., (1983) telah berhasil mengekstrak protein kolagen dari kulit yaitu dengan melakukan pemisahan menggunakan campuran kloroform dan metanol dengan perbandingan 50:50. Kelebihan metode Miller ini, yakni telah ada upaya untuk meminimalkan kandungan lemak dalam gelatin. Akan tetapi kelemahan metode ini adalah proses ekstraksi akan berjalan lambat, karena campuran larutan pengekstrak kloroform dan metanol yang digunakan merupakan larutan pengekstrak semipolar kuat, sehingga menyebabkan kolagen menjadi

(9)

kering atau kolagen menjadi sulit pecah. Tentunya, waktu proses ekstraksi menjadi sangat lambat.

2.6 DAGING AYAM DAN GIZINYA

Menurut Lawrie (1995) mengatakan bahwa daging mengandung sekitar 75% air, protein 19%, lemak 25% dan kandungan substansi non protein 3,5 %. Selain itu komposisi daging dipengaruhi beberapa faktor antara lain jenis ternak, jenis kelamin, umur dan jenis makanan yang diberikan kepada ternak tersebut. Menurut Soeparno dan Sawitri (1994), daging berdasarkan sifat fisiknya dapat dikelompokan menjadi :

a. Daging segar tanpa pelayuan dan yang dilayukan b. Daging segar yang dilayukan dan didinginkan c. Daging segar yang dilayukan kemudian dibekukan d. Daging masak

e. Daging asap dan f. Daging olahan

Tabel 2.2 Perbandingan gizi dari beberapa jenis daging

Jenis daging Kalori Protein Lemak Besi Vitamin

Sapi 129 20 5 2,1 65

Kambing 162 17 10 2,1 60

Itik 129 20 5 2,0 100

Ayam 125 20 5 2,0 3

Sumber : Lembaga makanan rakyat (Murtidjo, 1990)

Dilihat dari nilai gizinya, daging ayam merupakan sumber gizi yang baik karena banyak mengandung unsur – unsur yang diperlukan untuk hidup manusia diantaranya protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin yang berbeda dengan manusia (Mountney dan Parkhust,1995). Kualitas daging ayam ditentukan oleh komposisi kimia daging ayam

(10)

dipengaruhi oleh jenis turunan. Jenis kelamin, umur, dan pengaturan gizi dalam ransum (Buckle et al., 1987)

Daging adalah bagian dari tubuh ternak kecuali tanduk, kuku, tulang dan bulu yang mengandung protein, lemak, mineral, dan vitamin dalam komposisi yang berbeda tergantung pada bangsa, makanan, jenis ternak dan umur ternak.

Daging juga dapat didefinisikan semua jaringan hewan dan semua bentuk olahannya yang dapat dimakan dan tidak membahayakan kesehatan bagi yang memakannnya (Pallupi dan Bade, 1986)

2.7 BAKSO

Bakso merupakan suatu produk gel dari protein daging, baik daging ayam, sapi, ikan, udang maupun tahu. Bakso dilihat dari daging yang telah digiling dengan penambahan tapioka, dan bumbu – bumbu, berbentuk bulat seperti kelereng dengan berat sekitar 25 – 30 gram perbutir dan diameter 2-7 cm atau sesuai dengan selera dan kebutuhan. Kualitas bakso sangat bervariasi tergantung dari bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung, serta proses pembuatannya (Widyaningsih dan Murtini, 2006) dan Suprapti et al., 2003). Standar mutu bakso daging menurut Badan Standarisasi Nasional (SNI) 01-3818-1995 mendefinisikan bakso daging sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50% dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan pangan yang diizinkan.

Bakso yang banyak dipasarkan di Indonesia umumnya dibuat dari daging ayam dan sapi. Namun, sebenarnya bakso dapat dibuat dari berbagai jenis daging seperti daging ikan, daging kelinci, daging babi, bahkan daging ikan cucut. Karakteristik yang berbeda-beda dari setiap jenis daging tersebut tentunya berpengaruh terhadap cara pengolahan dan mutu bakso yang dihasilkan.

(11)

Hasil survey yang dilakukan oleh Andayani (1999), menunjukkan bahwa karakteristik bakso ayam yang disukai konsumen adalah rasanya yang gurih, agak asin, mempunyai rasa daging yang kuat, berwarna abu-abu pucat atau, muda, beraroma daging rebus, memiliki tekstur yang empuk dan agak kenyal, serta berbentuk bulat dengan ukuran sedang (diameter 3-5 cm).

Bakso mempunyai kandungan nutrisi cukup baik karena terbuat dari daging ayam yang kadar proteinnya tinggi dan kadar lemak berkisar 2.8% (lean meat) (Varnam dan Sutherland, 1995). Kualitas protein daging juga tinggi, jenis dan rasio asam-asam amino dalam daging ayam memenuhi kebutuhan untuk perawatan dan pertumbuhan jaringan tubuh manusia. Namun, selain kaya nutrisi daging ayam juga memiliki kadar air yang tinggi. menyebabkan bakso sangat rentan terhadap kerusakan secara mikrobiologis.

Kualitas bakso dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan pengisi, kadar air, lemak, dan protein bakso. Penurunan kadar air terjadi akibat mekanisme interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat secara sempurna karena ikatan hydrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai untuk interaksi pati dan protein (Manullang et al., 1995).

Tabel 2.3 Kriteria Mutu Sensoris Bakso

Parameter Bakso Daging

Penampakan

Bakso bulat halus,berukuran seragam, bersih, dan cemerlang, tidak kusam sedikitpun tidak berjamur dan tidak berlendir.

Warna

Coklat muda cerah sedikit agak kemerahan, atau coklat muda agak keputihan,atau abu- abu,warna tersebut rata tanpa warna lain yang mengganggu.

Bau

Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa, tanpa bau tengik, masam,basi atau busuk,bau bumbu cukup tajam

Rasa

Rasa lezat, enak, rasa daging dominan rasa bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan, tidak terdapat rasa asing yang

(12)

mengganggu.

Tekstur

Tekstur kompak, elastis, kenyal,tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh.

Sumber: Wibowo, (2006)

Penurunan kadar protein dapat disebabkan banyaknya jumlah protein berbentuk globular di dalam bakso. Protein berbentuk globular lebih mudah untuk terdenaturasi saat proses pemanasan dibandingkan protein berbentuk fibriler (Pandisurya, 1983 ; Winarno, 1992). Menurut Farahita dan Lee (2012) menyatakan bahwa perusakan protein menjadi ikatan peptida yang pendek dan asam amino yang selanjutnya menjadi senyawa amin dan amino yang memberikan bau tajam dan citarasa yang khas.

Tabel 2.4 Standar mutu bakso daging menurut Badan Standarisasi Nasional

No Kriteria Satuan Persyaratan

1. Keadaan

1.1 Bau - Normal, khas daging

1.2 Rasa - Gurih 1.3 Warna - Normal 1.4 Tekstur - Kenyal 2. Air % b/b Maksimal 70,0 3. Abu % b/b Maksimal 3,0 4. Protein % b/b Minimal 9,0 5. Lemak % b/b Maksimal 2,0

6. Boraks - Tidak boleh ada

7 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan SNI

01-0222-1995

8. Cemaran logam :

8.1 Timbal (Pb) Mg/kg Maksimal 2.0

8.2 Tembaga (Cu) Mg/kg Maksimal 20,0

8.3 Seng (Zn) Mg/kg Maksimal 40,0

8.4 Timah (Sn) Mg/kg Maksimal 40,0

8.5 Raksa (Hg) Mg/kg Maksimal 0,03

9. Cemaran arsen (As) Mg/kg Maksimal 1,0

10. Cemaran mikroba:

10.1 Angka lempeng total Koloni/g Maksimal 1x10³

(13)

10.3 Escherichia koli APM/g < 3

10.4 Enterococci Koloni/g Maksimal 1x10³

10.5 Clostridium perfringens Koloni/g Maksimal 1x10²

10.6 Salmonella - Negatif

10.7 Staphylococcus aureus Koloni/g Maksimal 1x10² Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1995)

Gambar

Tabel 2.1 Kandungan yang terdapat dalam kulit kaki ayam broiler:
Tabel 2.2 Perbandingan gizi dari beberapa jenis daging
Tabel 2.3  Kriteria Mutu Sensoris Bakso
Tabel 2.4 Standar mutu bakso daging menurut Badan Standarisasi Nasional

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di kelas X MAN Awipari Kota Tasikmalaya yang dijadikan sampel menunjukkan bahwa model pembelajaran Problem

Fluktuasi yang terjadi di atas pada bank Mega Syariah tentunya bukan karena bank tidak produktif tetapi fluktuasi tersebut terjadi karena beberapa faktor yang

Hasil dari penelitian tentang interpretasi bawah permukaan yang berdasarkan karakteristik kelistrikan bumi di daerah Rampa Manunggul Kotabaru adalah berupa grafik

Segenap kemampuan penulis telah tercurahkan demi penyelesaian skripsi yang berjudul “PENGARUH MOTIVAI BELAJAR DAN KEDISIPLINAN SISWA DALAM MENGERJAKAN PEKERJAAN RUMAH

Pada proses learning bertujuan untuk penentuan parameter dari metode pada data pelatihan yang diberikan. Dalam SVM dengan fungsi kernel RBF dibutuhkan dua parameter

2) Perubahan tahanan lengan-lengan jembatan karena efek pemanasan arus melalui tahanan-tahanan tersebut. Kenaikan temperatur bukan hanya mempengaruhi tahanan selama

[r]

Selain itu, diketahui juga bahwa selama ini belum pernah dilakukan survei atau penelitian mengenai tingkat efektivitas dari sistem penilaian kinerja yang selama ini dilakukan