• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN RANTAI PASOK KOMODITAS PETERNAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN RANTAI PASOK KOMODITAS PETERNAKAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006

ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN RANTAI PASOK KOMODITAS PETERNAKAN Oleh : I Wayan Rusastra Wahyuning K. Sejati Sri Wahyuni Yana Supriyatna

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

DEPARTEMEN PERTANIAN 2006

(2)

xxiv

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendahuluan

1. Penelitian ini dilatar belakangi oleh lemahnya koordinasi, sinergi dan efektivitas kebijakan agribisnis komoditas peternakan, kurangnya pemahaman karakteristik dan kinerja pasar konvensional dan modern, serta relatif terbatasnya informasi tentang kinerja kelembagaan rantai pasok (petani-pemasok-pasar) yang didedikasikan untuk perbaikan kesejahteraan peternakan rakyat. Kehadiran pasar modern diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam peningkatan produksi dan kesejahteraan peternak. Peternak skala kecil (peternakan rakyat) umumnya memiliki akses hanya terhadap pasar konvensional. Pasar konvensional ini pun juga tidak terlepas dari intervensi dan distorsi dari pemasok skala besar yang dikuasai peternak skala besar.

2. Terdapat tiga komoditas peternakan utama yang perlu dipertimbangkan dalam konteks ini yaitu daging sapi, daging broiler, dan telur ayam ras. Karena permasalahan struktural, peternak skala besar ketiga jenis komoditas tersebut memiliki akses yang lebih baik ke pasar modern. Pasar modern memiliki segmen pasar khusus, yaitu konsumen potensial dengan pendapatan yang relatif tinggi, sehingga memiliki daya beli dan sanggup membayar lebih mahal. Belakangan ini juga terdapat indikasi pasar modern (termasuk konsumen lembaga, khususnya hotel berbintang) menjalin hubungan rantai pasok dengan pasar impor (luar negeri). Persoalannya sekarang adalah dapatkah diarahkan perkembangan pasar modern ini melalui pengembangan kelembagaan kemitraan rantai pasok sehingga dapat memberi kontribusi, manfaat, dan dampak bagi pengembangan peternak rakyat skala kecil dan menengah.

Metode Penelitian

3. Penelitian dilakukan di tiga provinsi dengan spesifikasi wilayah dan komoditas sebagai berikut: Jawa Barat untuk telur ayam ras, Bali untuk broiler, dan Jawa timur untuk daging sapi. Sementara responden penelitian dikelompokkan menajdi 4 kategori utama yaitu: (1) Peternak; (2) Agen utama rantai pasok); (3) Pelaku utama di pasar konvensional dan pasar modern; dan (4) Instansi terkait di tingkat pusat dan provinsi penelitian, serta informan kunci di lapangan, dengan total responden 196 orang.

4. Pada dasarnya penelitian ini terdiri atas tiga kegiatan dengan tujuan umum sebagai berikut: (1) Menganalisis kinerja dan kebijakan ekonomi peternakan regional dalam konteks pengembangan rantai pasok dan kesejahteraan peternak; (2) Analisis karakteristik pasar modern dan konvensional komoditas peternakan; (3) Analisis kinerja kelembagaan kemitraan rantai pasok peternak-pemasok-pasar modern dan konvensional komoditas peternakan; dan (4) Kinerja pemasaran dan pengembangan ternak.

(3)

xxv

5. Untuk mencapai tujuan (1): dilakukan analisis trend poduksi, kebutuhan/konsumsi, perdagangan, dan mengkaitkan dinamika kebijakan dengan kinerja ekonomi peternakan; untuk tujuan (2): dilakukan analisis mencakup dinamika volume dan bentuk produksi, permasalahan, persepsi, dan antisipasi solusi dari aspek penelitian, juga dilakukan analisis kebijakan mencakup rumusan, implementasi, dan dampak (review dan sintesis) dari kebijakan terkait. Untuk tujuan (3): dilakukan analisis deskriptif terhadap pola hubungan pelaku kelembagaan terkait, keterkaitan fungsional dan institusional serta kelembagaan introduksi. Sedangkan untuk tujuan (4): dilakukan analisis usahatani, analisis jalur dan efisiensi pemasaran, dan analisis kebijakan berkaitan dengan pengembangan usahaternak.

A. Kasus Sapi Potong Kinerja Ekonomi

6. Produksi daging nasional (1990 – 2005) menunjukkan perkembangan dari 259 ribu ton menjadi 454 ribu ton namun pangsa terhadap total daging menurun (dari 42% menjadi 24%). Tahun 2010 diproyeksikan terjadi defisit sebanyak 279 ribu ton. Pada tahun 2000, pemerintah meluncurkan kebijakan swasembada daging sapi tahun 2005, namun dinilai belum berhasil yang ditunjukkan oleh populasi ternak menurun, impor sapi dan pemotongan sapi lokal terus meningkat. Tahun 2006 kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan adalah “Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010”.

Karakteristik Pasar Konvensional dan Modern

7. Di pasar konvensional terdapat tiga kelas pedagang berdasarkan volume penjualan yaitu pedagang besar ( 2-3 ekor) , pedagang sedang 1 ekor dan pengecer sekitar 50 kg daging yang hanya memasarkan daging sapi lokal dalam bentuk segar dengan konsumen dominan tukang bakso ( 58%). Diantara pedagang tidak dijumpai asosiasi, semua kesepakatan secara lisan. Pertimbangan penentuan harga adalah kualitas, masa kadaluarsa dan persediaan dengan fihak penentu harga dominan oleh masing-masing pedagang. Untuk mengantisipasi kelebihan produk dilakukan sistem pesanan. Semakin tinggi kelas pedagang, keuntungan relatif yang diperoleh semakin rendah dengan profitabilitas pedagang besar, sedang dan kecil masing-masing 4,4%, 5,6% dan 13,6%.

8. Terdapat 3 kelas pasar modern yaitu Hyper market, Super market dan Mini market yang semua merupakan Perusahaan Terbatas (PT) dengan swakelola , memasarkan daging segar, siap masak dan siap santap dengan urutan konsumen dominan catering (30%), konsumen lembaga (27%) dan rumahtangga 43%. Tidak ada asosiasi pedagang, pertimbangan penentuan harga adalah even-even tertentu dengan fihak penentu harga manager. Untuk mengantisipasi kelebihan produk sering dilakukan bazar dengan harga yang relatif sangat murah dan membuat variasi bentuk dari mentah

(4)

xxvi

ke setengah matang atau siap santap dan dari utuh ke slice dan daging giling.

Kinerja Kelembagaan Rantai Pasok

9. Kelembagaan usahaternak Sapi Potong Rakyat (USPR) memiliki 3 variasi: (1). Peternak telah melakukan manajemen pemeliharaan yang intensif yaitu kandang permanen, memberikan pakan khusus untuk penggemukan, melakukan penimbangan dalam periode tertentu dan memiliki standar waktu pemeliharaan untuk mencapai berat badan tertentu (M); (2) Disamping kriteria pertama telah menerapkan integrative farming yaitu sekaligus memiliki usaha pakan (MP); dan (3) Disamping kriteria 1 dan 2 juga memiliki rumah potong hewan (RPH) pribadi yang memproses dari sapi hidup menjadi daging sapi (MPR). Jalinan hubungan didasarkan pada kepercayaan secara individu dan kesepakatan secara lisan namun secara fungsional dirasakan positif dan secara institusional sangat proporsional. 10. Kelembagaan peternak pola perusahaan sangat profesional, sehingga

dalam pemenuhan teknologi sofwere dan pengelolaan usaha menjalin hubungan dengan konsultan sedangkan dalam pemenuhan sarana produksi berhubungan langsung dengan pengusaha bibit (importir) dan industri (pakan dan obat-2an) yang sekaligus sebagai pemegang saham. Dengan profesionalisme tersebut diperoleh kinerja yang tepat sesuai dengan yang diharapkan, keterkaitan fungsional yang positif dan secara institusional antar pelaku merasakan keuntungan yang proporsional sehingga kelembagaan tidak memerlukan revitalisasi.

11. Industri pengolahan berbahan baku daging sapi ada 3 kelas yaitu skala besar, sedang dan skala rumahtangga. Dalam pengadaan bahan baku, industri skala besar dan sedang menjalin buhungan dengan suplier kemudian memasarkan produk ke pasar modern. Jalinan hubungan tersebut diantaranya didasarkan atas kesepakatan volume, ketepatan waktu, kualitas, harga dan persyaratan kesehatan yang tertulis dalam kontrak. Produk yang dihasilkan dipasarkan ke pasar modern dengan sistem yang sama yaitu kontrak. sedangkan industri rumahtangga memperoleh bahan baku dari peternak MPR atau pejagal secara langsung atas dasar kepercayaan dan lisan selanjutnya memasarkan produk langsung kepada konsumen. Keterkaitan fungsional maupun institusional kelembagaan terkait dengan industri pengolahan positif dan memperoleh keuntungan yang proporsional sehingga tidak memerlukan adanya kelembagaan baru.

12. Kelembagaan di pasar tradisional didominasi oleh pejagal yaitu orang yang bermatapencaharian membeli sapi hidup kemudian memotong dan menjual daging. Pejagal besar dan sedang memenuhi pasokan daging dari sapi yang dipotong kemudian memasarkan ke pedagang kecil, pengecer, rumah makan, pedagang bakso dan rumahtangga , Pedagang kecil mendapatkan daging dari pejagal besar atau sedang dan mempunyai pelanggan terbatas

(5)

xxvii

yaitu konsumen rumahtangga. Pedagang kecil sangat tergantung pada modal dan sitem pembayaran tunai. Kalu terjadi kelebihan persediaan, akan dijual lebih murah kepada pembuat dendeng atau abon. Di Pasar modern pelaku utama dalam penyediaan daging adalah suplier, sedangkan dalam penjualan adalah catering dengan jalinan hubungan yang dirancang dalam kontrak sehingga fihak terkait tidak ada yang merasa dirugikan.

Kinerja Pemasaran dan Pengembangan Ternak

13. Keuntungan tertinggi diperoleh lembaga yang menguasai berbagai aspek agribisnis. Margin pemasaran dalam USPR tertinggi diperoleh MPR (63%) karena mempunyai multi peran dalam pemenuhan aktivitas usaha mulai dari software, sapronak, RPH dan pemasaran. Peternak MP dan M memperoleh margin pemasaran terendah (4%) karena umumnya mereka masih pemula. Setelah MPR urutan margin pemasaran tertinggi adalah pedagang kecil (14%),kemudian pedagang sedang (9%) dan pedagang besar (5%). Dalam usahaternak pola perusahaan, margin tertinggi diperoleh perusahaan importir (73%) karena menguasai semua aspek usahaternak secara profesional. Margin pemasaran ke dua diperoleh suplier (13%) , kemudian feedloter (9) dan terendah diperoleh pedagang (5%). Secara umum dapat dinyatakan USPR dan pola perusahaan memiliki prospek yang bagus dengan B?C rasio 1,99 dan 1, 86. Permasalahan usatama pada USPR adalah bibit (mahal dan sulit) sedangkan perusahaan adalah prosedur impor sapi bakalan yang disamakan dengan untuk bibit dan jaminan untuk pedagang karena turn over perdagangan sapi potong sampai menjadi daging diperlukan waktu 4 hari

Implikasi Kebijakan

14. Kinerja ekonomi peternakan sapi potong perlu terus diupayakan, dengan cara : (1) Mengakomodir pengembangan sapi potong dengan pendekatan industri, yaitu peningkatan skala usaha secara optimal dengan managemen modern. Target industri skala kecil 1 500- 3 000 ekor, industri skala sedang > 3000 – 6 000 ekor dan industri skala besar > 6 000 ekor. (2) Program swasembada daging 2010 hendaknya disamping mengantisipasi kendala dan permasalahan juga mengakomodir dan mensosialisasi ”success story” yang dicapai peternak USPR sebagai kiblat peternak dalam berusaha ternak dimana secara phikologis angan-angan peternak dipenuhi dengan keberhasilan yang diikuti dengan langkah-langkah menuju keberhasilan. 15. Untuk mencapai kiat sukses pengembangan USPR perlu direalisir

kebijakan berikut: (1) Memberi modal berbentuk sapi bakalan, dengan cara tidak langsung ke peternak melainkan melalui seorang yang bertanggung jawab secara keseluruhan mulai dari transfer knowledge sampai pengembalian modal ke pemerintah. (2) Jumlah ternak/KK 5 ekor, kepada 20 orang peternak yang dihimpun dalam satu kelompok dibawah binaan MPR sehingga peternak M meningkat menjadi MP, sedangkan MP menjadi

(6)

xxviii

MPR. 3) Bunga pinjaman tidak lebih dari 1,5 persen/th. (4) Wilayah berpotensi seperti wilayah dimana telah ada MPR .

16. Mengupayakan agar USPR dapat berfungsi sebagai penyediaan jaminan (colateral) untuk pengajuan kredit modal kerja dan meninjau kembali UU berkaitan dengan perpajakan serta UU otonomi daerah. Kebijakan pemerintah daerah terkait dengan pendapatan daerah melalui penetapan retribusi ternak potong pada berbagai tingkatan wilayah/jalur pemasaran perlu ditinjau kembali karena tidak kondusif dalam pengembangan agribisnis peternakan.

B. Kasus Ayam Ras Pedaging Kinerja Ekonomi

17. Produksi daging broiler dan produksi total daging pada periode 1990-2005 secara nasional menunjukkan pertumbuhan yang positif yaitu sebesar 5,57 dan 2,90 persen per tahun. Namun pada krisis ekonomi (1997-1999) mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar -30,25 dan -13,54 persen per tahun. Pada periode paska krisis 2000-2005 mengalami peningkatan pertumbuhan yang cukup berarti, yaitu masing-masing 14,65 dan 8,67 persen per tahun. Demikian pula pangsa produksi pada kurun waktu sebelum krisis cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun pada masa krisis terjadi penurunan dan terjadi peningkatan kembali setelah masa pemulihan ekonomi tahun 2000-2005. Di lokasi penelitian (Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali), pada periode 2001-2005 produksi daging broiler memperlihatkan pertumbuhan yang positif, masing-masing 19,72 dan 20,28 persen per tahun.

18. Krisis ekonomi juga berdampak negatif terhadap tingkat partisipasi konsumsi daging broiler secara nasional menurut wilayah, kelompok pendapatan, dan mata pencaharian utama. Di kota tingkat konsumsi daging broiler 2,47 kg/kapita sedangkan di desa 1,20 kg/kapita, sedangkan tingkat partisipasi konsumsinya di kota 26,46 persen sedangkan di desa 12,14 persen. Pada paska krisis, berdampak positif dan relatif signifikan terhadap perbaikan tingkat partisipasi konsumsi, namun masih dibawah tingkat partisipasi daging broiler sebelum terjadi krisis ekonomi. Tingkat konsumsi di wilayah perkotaan 4,06 kg/kapita dan di pedesaan 2,01 kg/kapita, sementara tingkat partisipasi konsumsinya di perkotaan 45, 99 persen dan di pedesaan sebesar 19,71 persen. Hal seperti dipaparkan diatas terjadi pula pada tingkat konsumsi dan tingkat partisipasi konsumsi daging broiler di Provinsi Bali serta di lokasi penelitian.

19. Proyeksi produksi dan konsumsi ayam ras pedaging di Indonesia (2006-2010) menunjukkan neraca yang selalu negatif, dimana tahun 2006 produksi 1.076 ribu ton dan konsumsinya 1.150 ribu ton. Demikian pula proyeksi tahun 2010 produksi sebesar 3.358 ribu ton dan konsumsinya 4.107 ribu ton. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada peluang untuk melakukan pengembangan produksi ayam ras pedaging yang merupakan

(7)

xxix

salah satu produk usaha peternakan unggas yang sangat potensial untuk dikembangkan, dengan memberi penekanan pada peningkatan produksi dan mutu melalui penerapan sistem teknologi budidaya yang baik dan benar (Good farming practices). Terkait dalam kontek pengembangan ekonomi broiler, larangan perdagangan broiler (keluar masuk Bali) sebagai akibat mewabahnya Flu Burung (AI) tanpa adanya kerangka waktu (time frame) dalam implementasinya menyulitkan perkembangan usahaternak broiler di Bali. Dalam keadaan surplus terjadi penurunan harga yang merugikan produsen, sedang dalam keadaan defisit terjadi peningkatan harga sehingga merugikan konsumen.

Karakteristik Pasar Konvensional dan Modern

20. Pasar Konvensional masih merupakan pasar yang menyerap produk ayam broiler yang cukup dominan yang bersumber dari dalam negeri (domestik). Diperkirakan sekitar 65 persen produk ayam broiler diserap melalui saluran

pasar tradisional. Pelaku pasar di pasar konvensional meliputi: (1) Pedagang pengumpul/bandar; (2) Pengecer pemotong; (3) Pengecer;

dan (4) Perorangan. Dilihat dari bentuk produk (daging broiler) yang ditawarkan, terdapat perbedaan mendasar antara pasar modern dan pasar konvensional. Pada pasar konvensional, bentuk produk daging segar yang dipasarkan adalah karkas utuh, jerohan (usus, hati dan ampela), dan lainnya (kepala beserta leher, kaki). Bentuk produk yang dijual di pasar konvensional pada tahun 2006 di lokasi penelitian adalah karkas utuh (51%), karkas (45%), jerohan dan lainnya (4%). Dinamika produk yang dijual selama periode tahun 2000-2006 cenderung tetap.

21. Pada pasar modern, selain karkas bentuk produk yang ditawarkan adalah parting (potongan-potongan yang seragam), yang berasal dari dalam negeri. Bentuk parting yang ditawarkan biasanya adalah: dada, paha atas, paha bawah, sayap, kepala, dan leher, kaki, punggung, kepala, fillet (daging tanpa tulang), paha bawah, hati dan ampela, usus. Beragamnya bentuk parting amat variatif berdasarkan tingkat kualifikasi pasar (minimarket, supermarket, hypermarket) atau minat konsumen perorangan maupun perusahaan (konsumen lembaga). Bentuk produk yang ditawarkan di pasar modern pada tahun 2006 (kasus di supermarket) adalah karkas (50%), parting (40%), jerohan dan lainnya (10%). Dinamika produk yang dijual selama kurun waktu 2000-2006 menunjukkan bahwa bentuk karkas cenderung menurun sementara bentuk parting cenderung meningkat. Kenaikan volume penjualan dalam bentuk karkas ada kecenderungan meningkat pada event-event tertentu, seperti hari raya nasional.

22. Fluktuasi harga yang terjadi pada perdagangnan broiler hidup bersifat bulanan, mingguan, bahkan bisa sampai harian. Namun tetap bahwa penentuan harga lebih banyak dipengaruhi oleh supply dan demand. Selain itu juga dipengaruhi oleh event-event tertentu. Fluktuasi harga broiler hidup terjadi pula di wilayah DKI Jakarta, dimana pasar DKI Jakarta dianggap sebagai barometer pasar unggas secara nasional sementara Denpasar

(8)

xxx

merupakan wilayah yang mewakili lokasi penelitian. Perkembangan harga rata-rata broiler hidup di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2000 pertumbuhannya sebesar 0,95 persen per tahun, sementara pada tahun 2005 pertumbuhannnya negatif yaitu -1,77 persen per tahun. Pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2004 sebesar 1,87 persen per tahun. Namun apabila dilihat pertumbuhan selama periode 2000-2005 tetap menunjukkan pertumbuhan yang positif 1,56 persen per tahun. Sementara itu di wilayah Denpasar pertumbuhan per tahun dari tahun 2000-2005 menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang positif 2,32 persen per tahun dan cenderung selalu meningkat.

Kinerja Kelembagaan Rantai Pasok

23. Sistem kerjasama kemitraan yang dilakukan di lokasi penelitian adalah sebagai berikut; dimana dalam proses produksi ayam broiler, perusahaan melakukan pola kemitraan dengan peternak. Dalam hal ini perusahaan bertindak selaku inti dan peternak sebagai plasma. Inti bertindak sebagai penyedia sapronak (DOC, pakan, vaksin dan obat-obatan), memberi bimbingan teknis pemeliharaan kepada peternak plasmanya dalam melakukan budidaya, dan menangani pemasaran hasil panen. Mekanisme kemitraan seluruhnya ditentukan oleh perusahaan inti (meliputi: syarat menjadi peternak plasma, penetapan harga sapronak dan hasil panen, pengaturan pola produksi serta pengawasan, pemberian bonus atau sangsi). Sementara itu peternak plasma berkewajiban untuk menyediakan kandang dan peralatan produksi serta melakukan pemeliharaan sebaik-baiknya.

24. Sarana produksi peternakan merupakan faktor penting dalam usaha budidaya ayam ras. Dalam pengadaannya Poultry Shop (PS) di lokasi penelitian menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yakni dengan pemasok input seperti: DOC dan pakan dipasok dari PT. Charoen Pokphand dan PT. Japva Comfeed, sementara obat-obatan, vaksin dan vitamin diperoleh dari perusahaan yang diantaranya PT. Medion, PT. Pyridam, PT. Kalbe Farma, PT. Sanbe Farma. Konsumen PS adalah peternak plasma dan peternak non kemitraan. Agen rantai pasok lainnya adalah pedagang, rumah potong ayam (RPA), dan industri pengolah. Umumnya pola hubungan dan kinerja kelembagaan agen rantai pasok tersebut menurut aktivitas dan penjualan positif dan dirasakan tepat harga dan tepat waktu. Demikian pula dilihat dari keterkaitan fungsional dan institusional, dirasakan oleh semua pihak positif dan cukup adil serta relatif proporsional

Kinerja Pemasaran dan Pengembangan Ternak

25. Struktur Pasar ayam ras pedaging secara umum bersaing diantara para pelaku pemasaran. Strategi pembelian dan pemasaran yang dilakukan pelaku pemasaran di pasar konvensional adalah dengan menjalin

(9)

xxxi

hubungan pemasaran dengan peternak. Tujuan pemasaran bagi pedagang pengumpul atau bandar adalah ke pemotong pengecer dan TPA konvensional karena yang dipasarkan adalah ayam hidup. Sementara dari TPA konvensional langsung ke pedagang pengecer di pasar konvensional dalam bentuk daging segar. Sementara itu pemasok produk broiler di pasar modern bersumber dari rekanan, supplier berasal dari RPA modern. Pihak pasar modern telah memesan kepada pemasok berupa karkas atau jumlah parting berdasarkan permintaan yaitu volume setiap potongan yang ditawarkan tidak sama banyaknya. keterkaitan fungsional dan institusional antara pedagang dengan pihak terkait dalam aktivitas pembelian dan penjualan tersebut diatas, dirasakan oleh pelaku pemasaran di pasar modern positif dan cukup adil serta relatif proporsional.

26. Marjin pemasaran terbesar antara pelaku pemasaran pada peternakan pola rakyat (pola mandiri) lebih banyak diraih oleh pemotong pengecer (27,3%), yang diikuti pengecer (27,1%), pedagang pengumpul/bandar (24,2%) dan peternak (21,4%). Dengan demikian, tampak bahwa bagian harga yang relatif kecil terhadap kelembagaan pemasaran tersebut diatas. Demikian pula kasus yang terjadi pada peternak plasma (kemitraan baik lisan maupun resmi). Sementara marjin pemasaran terbesar pada peternakan pola perusahaan, tampaknya lebih banyak diraih perusahaan sendiri (45,8%), yang diikuti oleh RPA (22,9%), pedagang pengumpul/bandar (12,5%), dan pasar konvensional (18,8%). Tampak bahwa, bagian harga yang diterima peternak relatif besar. Hal ini dimungkinkan usaha ternak pola perusahan dalam pengelolaannya cukup efisien.

27. Hasil analisis usahaternak pola rakyat menunjukkan keuntungan atau profitabilitas yang relatif cukup, dimana pada peternak pola mandiri memberikan keuntungan sebesar 27,01 persen dengan tingkat B/C ratio 1,27. Peternak pola kemitraan memiliki produktivitas 13,68 persen dengan tingkat B/C 1,14. Tampak bahwa, kegiatan usahaternak pola rakyat masih layak untuk dilakukan, dan prospektif untuk lebih ditingkatkan lagi dengan fasilitasi pemerintah dengan membuat mekanisme yang menjamin transparansi dalam hal informasi produksi DOC, biaya bahan-bahan imput, serta kondisi pasar (permintaan, produksi dan harga). Demikian pula pada usahaternak pola perusahaan memberikan profitabilitas sebesar 13,06 persen dengan B/C ratio 1,13, sehingga usaha ini cukup layak, dan memiliki prospek untuk dikembangkan lebih baik sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku. Selain itu juga memiliki prospek pasar yang sangat baik yang didukung oleh karakteristik produk ayam broiler yang dapat diterima oleh masyarakat yang sebagian besar beragama Islam. Harga relatif murah dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik.

Implikasi Kebijakan

28. Dalam upaya meningkatkan kinerja ekonomi ayam ras pedaging, perlu dilakukan pengembangan produksi, dimana ayam ras pedaging merupakan

(10)

xxxii

salah satu produk usaha peternakan unggas yang sangat potensial untuk dikembangkan, dengan memberi penekanan pada peningkatan produksi dan mutu melalui penerapan sistem teknologi budidaya yang baik dan benar (good farming practice). Semua pihak (pelaku pasar) diharapkan mampu mengembangkan sebagai berikut: (a) Merebut, menciptakan dan mempertahankan pasar di dalam maupun di luar negeri; (b) Mempertahankan pasar dan menumbuh kembangkan pasar yang sudah ada dan mengembangkan bentuk kerjasama yang sinergis; (c) sistem perpajakan, perkreditan, penyangga harga dan pemasaran serta ketersediaan informasi yang akurat perlu secara terus menerus diperbaiki, disempurnakan dandisosialisasikan secara meluas.

29. Perlu dilakukan program kerjasama pola kemitraan yang merupakan salah satu alternatif untuk dijalankan secara obyektif dan menguntungkan kedua belah pihak, baik perusahaan sebagai inti maupun peternak sebagai plasma. Selain itu, perlu dikembangkan secara jelas siapa pelaku, penjamin, pelaksana dilapangan. Dibutuhkan pula gerakan keswadayaan agribisnis peternakan rakyat, dan pengembangan ”program penghela” sebagai net working peternak ke pasar modern. Dibutuhkan peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator untuk membantu semua pihak dalam berusaha dengan memperhatikan azas efesiensi dan daya saing dengan penekanan pada peningkatan peran dan pemberdayaan peternakan rakyat. Fokus fasilitasi dalam hal ini antara lain pada pengendalian penyakit, impor ilegal, dan perbaikan struktur industri. Peranan pemerintah juga harus memperhatikan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk : (a) melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, (b) mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar dalam negeri, (c) pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, serta (d) dukungan pembangunan infrastruktur penunjang lainnya.

30. Kelembagaan dan kebutuhan fasilitasi terkait tentang kemitraan agribisnis perunggasan khususnya broiler adalah dengan melakukan reformulasi program kemitraan agar lebih kondusif dan adil, baik bagi mitra maupun bagi inti melalui pembagian risiko dan keuntungan yang adil melalui mediasi pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan selain integrasi vertikal antar segmen rantai pasokan juga integrasi horizontal antar pelaku dalam satu segmen, melalui pengembangan forum dan kelembagaan fungsional dan institusional. Dalam pengembangan agribisnis broiler, diperlukan adanya harmonisassi kebijakan antar kelembagaan (instansi) terkait seperti pada perpajakan, investasi, impor, ekspor, tarif, tata ruang dan perijinan. Saat ini diperoleh kesan saling berbenturan dengan yang diperlukan oleh masyarakat perunggasan dan tidak saling memperkuat (sinergis). Pemerintah diharapkan berperan sebagai regulator yang bijaksana (adil, arif, dan transparan) disamping perannya sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator.

(11)

xxxiii C. KASUS TELUR AYAM RAS

Kinerja Ekonomi

31. Pada tahun 2005, produksi telur ayam ras nasional sebesar 787,7 ribu ton. Perkembangan produksi dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 secara nasional menunjukkan pertumbuhan yang positif , yaitu 4,49% per tahun. Kondisi terburuk dialami pada saat krisis, dimana pada tahun 1997 sampai dengan 1999 trend produksi telur mengalami penurunan produksi yang sangat drastis yaitu –17,06%. Namun pada kondisi pasca krisis, pertumbuhan produksi telur terus meningkat, dimana pada tahun 2000-2005 trendd produksi telur sebesar 6,85% per tahun.

32. Seiring dengan pertumbuhan produksi telur dan adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, konsumsi telur di tingkat masyarakat juga berfluktuasi. Data Susenas menunjukkan, bahwa secara agregat konsumsi telur pada tahun 1996, 1999 dan 2002 berturut-turut sebesar 5,02; 3,45 dan 4,96 kg/kap/tahun. Kondisi yang sama terjadi terhadap tingkat partisipasi konsumsi telur. Pada tahun 1996, 1999 dan 2002 tingkat partisipasi konsumsi telur ayam berturut-turut sebesar 68,66; 57,15 dan 69,30%. Tingkat partisipasi konsumsi telur berdasarkan kelompok pendapatan: rendah, sedang dan tinggi, pada tahun 2002 berturut-turut sebesar 58,82; 72,79 dan 78,71%. Kondisi ini jauh lebih bagus dibanding pada tahun 1999 dimana dampak dari krisis ekonomi masih terlihat.

Karakteristik Pasar Konvensional dan Modern

33. Telur ayam ras dalam bentuk curah masih mendominasi pasar konvensional. Selama bertahun-tahun dinamika bentuk telur di pasar konvensional ini tidak berubah, yaitu tetap disajikan dalam bentuk curah. Bentuk telur ayam ras spesifik yang dikemas dalam kotak plastik ataupun yang dikemas dengan penambahan vitamin dan mineral masih jarang terlihat di pasar konvensional.

34. Pada pasar modern, dinamika perkembangan bentuk telur ayam ras begitu cepat, dari bentuk curah, bentuk yang dikemas (packing) dalam kotak plastik, sampai dengan telur yang dikemas dengan penambahan berbagai vitamin dan mineral, seperti omega 3 vegetarian, telur nabati, nutri gold, chickens 3 eggs.dan telur ultra low kolesterol. Bentuk atau jenis telur ini dikemas 10 butir per pack dalam kotak yang menarik, disertai spesifikasi. Semakin tinggi tingkat pasar modern, semakin beragam bentuk telur yang ditawarkan.

35. Struktur pasar telur di pasar konvensional bersaing sempurna diantara para pelaku agribisnis. Volume penjualan di tingkat grosir sekitar 2500-4000 kg per hari dengan harga jual sekitar Rp. 6.700,-, sementara di tingkat pengecer bervariasi dari 30 sampai 300 kg per hari, dengan harga jual Rp7.000,- Rp7.200 per kg. Konsumen utama grosir adalah pengecer (76%), konsumen lembaga (20%), dan rumah tangga (4%), sementara konsumen utama pengecer adalah warung (75%) dan rumah tangga (25%). Pada

(12)

xxxiv

pasar modern, kelas pasar dibedakan menjadi 3 jenis pasar yaitu kelas hypermart, supermarket dan mini market. Pada pasar modern, faktor penentu harga adalah kualitas, kemasan dan event/bazar. Pihak penentu dominan adalah manajer dengan memperhatikan harga di pasar sejenis dan harga di pasar konvensional.

36. Fluktuasi harga yang terjadi pada perdagangan telur ayam ras bersifat mingguan bahkan harian, terutama yang terjadi di pasar konvensional. Namun tetap bahwa penentuan harga lebih banyak dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan pasar. Hal yang seringkali terjadi yaitu apabila terdapat droping atau pasokan telur dalam jumlah besar dari Jawa Timur dengan harga yang lebih murah, maka harga telur di tingkat peternak Jawa Barat menjadi jatuh yang menyebabkan kerugian di tingkat peternak. Fluktuasi harga telur di wilayah Jawa Barat banyak dipengaruhi oleh kondisi harga di DKI Jakarta, karena pasar DKI Jakarta dianggap sebagai barometer pasar telur secara nasional.

Kinerja Kelembagaan Agen Rantai Pasok

37. Terdapat dua kategori pada usahaternak ayam ras petelur, yaitu: peternak rakyat mandiri, dengan skala usaha dibawah kepemilikan 10.000 ekor; dan peternak dengan pola perusahaan dengan skala usaha di atas 10.000 ekor. Peternak rakyat memiliki motivasi ekonomi tinggi dan kalektivitas rendah. Aktivitas pemenuhan teknologi software pada peternak rakyat mandiri dilakukan melalui technical service perusahaan pakan dan obat-obatan dan fasilitasi penyuluhan dari pemerintah, dengan kinerja aktivitas sedang. Sedangkan guna memenuhi aktivitas pada pasar output dilakukan jalinan hubungan denagn pedagang di pasar konvensional dengan kinerja aktivitas netral.

38. Pada usahaternak pola perusahaan, aktivitas usaha pada umumnya dilakukan secara mandiri. Namun pada perusahaan besar, aktivitas usaha dilakukan secara integrasi terutama dalam hal pemenuhan teknologi software, pemenuhan sapronak, permodalan usaha maupun pada pasar output.

39. Hubungan dan kinerja kelembagaan agen rantai pasok (pedagang sapronak, industri pengolah, pedagang telur) tentang aktivitas pembelian dan penjualan telur dirasakan cukup positif dan tepat, baik tepat harga maupun tepat waktu. Keterkaitan fungsional diantara pelaku tersebut juga bersifat netral, demikian juga bila ditinjau dari kinerja keterkaitan institutional dirasakan cukup adil dan proporsional.

40. Berbagai permasalahan yang mengemuka berkaitan dengan kinerja kelembagaan agen rantai pasok diantaranya adalah: aspek transportasi berkaitan dengan naiknya harga BBM yang mengakibatkan peningkatan biaya operasional, harga sembilan bahan makanan pokok, infrastruktur, pajak yang tinggi, pungutan liar, serta fluktuasi harga.

(13)

xxxv

Kinerja Pemasaran dan Pengembangan Ternak

41. Marjin pemasaran terbesar antara pelaku pemasaran telur ayam ras pada peternakan rakyat mandiri diraih oleh pengecer (%)%), sementara grosir 25% dan pedagang pengumpul 25%. Permasalahan yang dihadapi peternak pola rakyat berkaitan dengan pemasaran yaitu keuntungan yang sangat kecil bahkan cenderung rugi, harga yang fluktuatif dan tidak adanya akses ke konsumen lembaga maupun pasar modern.

42. Hasil analisis usaha ternak rakyat menunjukkan kurang efisien, terutama bila perhitungan dengan menggunakan investasi awal untuk pembuatan kandang batere. Hasil analisis usaha dengan menggunakan skala usaha 1000 ekor, didapatkan nilai BC ratio 0,98. Meskipun demikian peternak tetap melanjutkan usahanya karena investasi yang digunakan cukup besar. Sementara pada peternak dengan pola perusahaan, dengan perhitungan pada skala usaha 10.000 ekor, biaya produksi yang dibutuhkan sekitar Rp. 1.348 juta per tahun, dengan keuntungan yang didapat sebesar Rp. 105 juta per tahun, dan BC ratio sebesar 1,07.

Implikasi Kebijakan

43. Dalam upaya meningkatkan kinerja ekonomi telur ayam ras, masih diperlukan fasilitasi pemerintah untuk pemberdayaan peternak rakyat mandiri dengan fokus pada stabilisasi harga, pengendalian bahan baku impor untuk pakan ternak, pengendalian penyakit khususnya flu burung, peningkatan produksi melalui penerapan sistem teknologi budidaya yang benar, dan pengembangan persaingan usaha yang sehat.

44. Pasar konvensional masih didominasi telur curah, sementara di pasar modern telah dijumpai ragam produk telur yang berkualitas dengan penambahan berbagai vitamin, mineral. Maka kebjakan diperlukan: (1) Perbaikan struktur usaha dan iklim persaingan usaha; (2) Program penghela/pengembangan net working bagi peternak rakyat mandiri untuk akses ke pasar modern; (3) Dukungan fasilitasi pasar input (khususnya modal) dan pasar output bagi peternak rakyat mandiri; (4) dan Perbaikan produktivitas dan efisiensi pengembangan peternakan rakyat mandiri.

45. Untuk mengoptimalkan kinerja kelembagaan rantai pasok telur ayam ras diperlukan fasilitasi yang meliputi: (1) Kebijakan yang kondusif (konsisten, prediktable, transparant); (2) Jaminan keamanan usaha; (3) Kelancaran distribusi dan penanganan ekonomi biaya tinggi; (4) serta Jaminan mobilitas barang antar daerah.

46. Guna meningkatkan usahaternak ayam petelur, kebijakan yang dibutuhkan diantaranya adalah (1) Dukungan fasilitasi pasar input bagi peternak rakyat mandiri; (2) Fasilitasi program kemitraan dan keswadayaan peternak; (3) Perlu dikembangkannya forum dan kelembagaan keterkaitan fungsional dan institusional dalam ”Wadah Pengembangan Agribisnis Peternakan Rakyat”; (4) Perbaikan struktur industi dan iklim persaingan usaha.

Referensi

Dokumen terkait

Persamaannya adalah rumus yang digunakan dalam menghitung sudut waktu matahari pada awal waktu-waktu salat tidak berbeda dengan metode kontemporer (ephemeris) karena kitab

Khusus dalam studi kasus ini, pemilihan metodologi Be Vissta Planning (BVP) sesuai dengan kebutuhan pembuatan renstra SI karena lengkapnya kegiatan yang dilakukan pada

Oleh karena hasil pengamatan langsung di lapangan parameter kondisi fisik granit di lapangan relatif sama (semua granit telah mengalami pelapukan tingkat lanjut), sehingga granit

Untuk memperlihatkan bagian dalam suatu benda dengan menggunakan gambar potongan dapat dilakukan dengan potongan seluruhnya, potongan separoh dan potongan sebagian disesuaikan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang sistem pengelolaan data alumni pada Jurusan Sistem Informasi UIN Alauddin Makassar sebagai pendukung pendataan alumni dan

Berdasarkan Tabel 3 tersebut, penilaian kefektifitasan dari jalur evakuasi tsunami yang terdapat di daerah Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi ditinjau berdasarkan waktu tempuh

Tujuan dalam penelitian pengembangan ini adalah untuk mengembangkan LKS konsep daur ulang sampah menggunakan model PBM di SMA dan mendeskripsikan keterampilan