• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kognisi secara psikologis meliputi dari pikiran dengan proses mental yang menjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kognisi secara psikologis meliputi dari pikiran dengan proses mental yang menjadi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kognisi secara psikologis meliputi dari pikiran dengan proses mental yang menjadi gambaran dari adanya aktifitas otak yang tidak dapat diobservasi secara langsung (Ellis, Ellis, & Hunt, 1993). Paser dan Smith (2009) berpendapat bahwa setiap manusia memiliki kemampuan kognisi untuk memecahkan masalah dan beradaptasi terhadap tantangan yang mereka temui dalam kehidupannya, tidak terkecuali pilot yang menerbangkan pesawat. Setiap pilot tentu dilatih untuk merencanakan dan mengambil keputusan ketika pesawat yang mereka kendarai mengalami masalah. Walaupun demikian, mengidentifikasi bahwa sebuah situasi adalah situasi yang bermasalah merupakan hal yang cukup sulit, terutama untuk mengidentifkasikan apa yang menjadi tujuan pemecahan masalah tersebut. Stenberg (2009) memberikan contoh ketika individu memiliki tugas dalam menuliskan sebuah paper perkuliahan, hal pertama yang harus individu tersebut lakukan adalah mengidentifikasi terlebih dahulu kemana arah tujuan paper itu akan ditulis. Kemampuan mengidentifikasi masalah dan menentukan tujuan adalah salah satu fungsi yang dimiliki oleh kognisi.

Rappit (1998) menjelaskan secara spesifik bahwa kognisi memiliki beberapa fungsi yang berproses secara primer. Fungsi ini digunakan untuk memfasilitasi manusia dalam beradaptasi di situasi baru yang disebut fungsi eksekutif. Fungsi eksekutif ini bersifat berbeda dengan fungsi non-eksekutif yang lebih menekankan pada respons otomatis. Fungsi eksekutif lebih terkontrol dan dirancang untuk menghadapi permasalahan yang lebih sulit, menuntut, memerlukan pemrosesan informasi yang lebih tinggi, serta beban perhatian yang lebih berat. Terkontrol yang dimaksud adalah membutuhkan formulasi terhadap tujuan dari tugas, merancangnya, membuat alternatif dari beberapa perilaku yang

(2)

berguna dalam mencapai tujuan, serta membandingkan dan menginisiasinya ke dalam bentuk nyata. Pernyataan ini pun sesuai dengan apa yang dikemukakan Goldstein (2004) yang menyatakan bahwa fungsi eksekutif merujuk pada kemampuan yang memungkinkan seseorang untuk menentukan tujuan, menyusun dan mencari jalan untuk suatu keberhasilan, dan mampu mengikuti serta beradaptasi dengan keadaan selama beberapa waktu. Kolb (2003) menjelaskan bahwa fungsi eksekutif juga dikaitkan dengan pengerjaan beberapa tugas yang membutuhkan kemampuan seperti melakukan perencanan dan menyeleksi keputusan dari beberapa alternatif, kemampuan untuk mengabaikan stimulus di luar dan tetap mengerjakan tugas yang dituju, serta mampu untuk menjaga agar tugas dapat tetap dikerjakan dengan struktur yang tepat. Rabbit (1998) menyatakan bahwa fungsi eksekutif dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari seperti saat terjebak di kemacetan. Ketika terjebak dalam kemacetan tentu individu akan berfikir dan mencari alternatif perilaku yang sebaiknya dilakukan. Saat terjebak kemacetan, maka mencari jalan lain untuk terlepas dari kemacetan adalah salah satu alternatif perilaku yang tepat. Fungsi eksekutif juga dapat ditemui ketika kita bermain catur. Saat permain catur, individu akan memberikan perhatian yang lebih besar pada setiap langkah yang kita buat. Setiap langkahnya tentu sudah dirancang dan dipikirkan dengan mempertimbangkan banyak hal sehingga dapat memperoleh kemenangan.

Walshaw, Alloy, dan Sabb (2010) menemukan pada beberapa gangguan seperti individu dengan ADHD atau bipolar memiliki perbedaan fungsi eksekutif dengan mereka yang tidak memiliki gangguan. Beberapa fungsi eksekutif yang diuji, yaitu kemampuan untuk merencanakan (planning) dan kemampuan untuk berpindah dari satu tugas ke tugas lain (shifting) ternyata memiliki skor yang lebih rendah. Artinya individu dengan ADHD dan bipolar memiliki kemampuan perencanaan yang kurang baik. Kemudian pada kemampuan shifting memiliki error yang lebih banyak daripada mereka yang tidak. Fungsi

(3)

eksekutif juga berperan dalam proses belajar. Blair dan Rezza (2007) meneliti hubungan antar fungsi eksekutif dan kemampuan awal akademik, seperti matematika dan membaca yang dilakukan di Taman Kanak-Kanak. Hasilnya diperoleh bahwa terdapat hubungan yang positif antar fungsi eksekutif dengan kemampuan matematika dan membaca. Artinya jika fungsi eksekutif yang dimiliki baik maka kemampuan awal akademik akan baik juga.

Monsell dalam Miyake, Friedman, Emerson, Witzki, dan Howerter (2000) menyatakan salah satu fungsi eksekutif yang dimiliki manusia adalah shifting. Shifting biasanya merujuk pada attention switching atau task switching, yaitu suatu kemampuan yang melibatkan proses pergeseran antara tahapan melepaskan kumpualan tugas yang tidak relevan lagi dan berganti pada kumpulan tugas yang relevan. Monsell dalam Miyake et al. (2000) menjelaskan bahwa konsep shifting dikembangkan oleh Jersild (1995) yang

berpendapat bahwa shifting merupakan suatu kemampuan yang digunakan saat dua

tugas/aktivitas yang masing-masing memiliki operasional mental sets yang berbeda dikombinasikan. Mental sets (satuan mental) adalah sekumpulan cara untuk merespons suatu stimulus yang sifatnya umum. Kemampuan ini memungkinkan kita bergeser dari tugas satu ke tugas yang lain dengan melakukan adaptasi. Sumber lain mengatakan bahwa task switching/ shifting adalah performa dalam menghadapi dua tugas atau lebih dengan satu waktu reaksi, namun setiap tugas memiliki waktu pengerjaan yang berbeda. Artinya, ketika menghadapi satu rangkaian tugas maka waktu reaksinya adalah ketika rangkaian tugas itu dimulai sampai selesai. Di dalam rangkaian tugas ini tentu terdiri dari tugas yang memiliki task sets yang sifatnya independen dan setiap sets dilakukan pada waktu yang berlainan (Monsell & Driver, 2000). Task sets (satuan tugas) sendiri merupakan bagian yang lebih sempit dari mental sets yang merujuk pada cara mengerjakan suatu jenis tugas (Meiran, 2010). Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa shifting atau task switching merupakan kemampuan salah satu fungsi eksekutif yang melibatkan pergeseran

(4)

antar dua tugas atau lebih yang masing-masing tugas memiliki mental sets dan waktu reaksi yang berbeda.

Miyake et al. (2000) memaparkan bahwa kemampuan shifting disini bukan berfokus pada perpindahan perhatian secara visual yang biasanya terlihat dari pergerakan mata saat mengerjakan tugas. Secara spesifik, jalur neural yang dimiliki pun berbeda. Perpindahan perhatian secara visual diatur di parietal lobes dan di bagian tengah otak (posteriorattention network), sedangkan untuk yang lebih eksekutif seperti shifting diatur di frontal lobes. Rogers (1998) menyatakan bahwa tidak ada penelitian terkait neuroimaging yang dapat mendemonstrasikan bahwa frontal lobes memiliki kaitan dengan shifting. Walaupun demikian secara faktual didapat bahwa pada pasien dengan kerusakan frontal lobes ternyata memiliki fungsi shifting yang buruk.

Peran shifting sebagai komponen dari fungsi eksekutif sangat penting. Monsell (2003) menjelaskan bahwa shifting adalah kemampuan yang selalu dibutuhkan setiap hari dalam hidup, baik untuk menyelesaikan tugas yang sederhana maupun yang kompleks. Sebuah peristiwa shifting yang sederhana yang dapat dibayangkan seperti seorang profesor yang sedang menulis sebuah paper di depan komputer dan kemudian telepon yang dimilikinya berbunyi. Profesor itu pun menjawab telepon yang berdering. Ternyata telepon itu berasal dari pengelola yang meminta dirinya untuk melengkapi modul. Profesor pun beralih ke meja kerjanya dan segera mengerjakan modul tersebut. Saat modul telah selesai maka profesor pun bergegas membawanya ke kantor pengelola. Dari Ilustrasi tersebut maka diketahui bahwa shifting adalah kemampuan yang selalu digunakan dan silih berganti sehingga individu tidak mungkin dapat beradaptasi tanpa kemampuan ini.

Wang, Geng, Yao, Weng, Hu, dan Chen (2015) menyatakan bahwa dalam shifting

(5)

seperti pemecahan aritmatik dalam bidang matematika. Kemampuan shifting menjadi sangat penting dalam pemecahan aritmatik karena dengan kemampuan ini, memungkinkan individu secara fleksibel mengganti problem-solving step yang dibutuhkan. Jersild (1972) menjelaskan bahwa penerapan shifting yang paling terlihat terdapat di dunia industri. Spesialisasi kerja di pabrik merupakan salah satu bentuk dari penerapan element shifting yang diminimalisir. Awalnya, seorang mekanik harus mampu membuat satu mesin/ barang secara penuh yang tentu memiliki bagian yang membutuhkan teknik tersendiri. Sistem ini tentu dianggap membutuhkan waktu dan energi yang lebih. Oleh karena itu, sekarang ini seorang mekanik di suatu pabrik dispesialisasikan untuk mengerjakan bagian tertentu saja. Miyake et al. (2000) berpendapat bahwa shifting dirasa penting sebab merupakan salah satu fungsi dari eksekutif. Walaupun shifting secara performa terpisah dan berbeda dari fungsi yang lain seperti inhibition dan updating, namun fungsi mereka saling berkaitan.

Miyake et al. (2000) memaparkan bahwa ada beberapa tugas yang dapat mengukur fungsi shifting yang salah satunya adalah Number-Letter Task. Number-Letter Task merupakan adaptasi dari tugas number dantugas letter yang dikemukakan oleh Rogers dan Monsell (1995) yang terdiri atas empat kuadran dalam bentuk layar komputer. Meiran (2010) menjelaskan bahwa pada awalnya, paradigma modern yang digunakan untuk mengukur shifting diinisiasi oleh Jersild pada tahun 1972 menggunakan beberapa tugas seperti tugas aritmatik. Tugas ini akan meminta individu untuk menggunakan operasional matematika dengan menambahkan dan mengurangkan angka yang tertera pada lembar kerja atau yang disebut Plus-Minus Task. Grange dan Houghton (2014) menjelaskan

bahwa pengukuran shifting kemudian dikembangkan oleh Roger dan Monsell

menggunakan paradigma dalam prosedur eksperimennya yaitu alternating run paradigm dan membuat Letter-Digit Naming pada tahun 1995. Roger (1998) menggunakan

(6)

antara kerusakan frontal lobes dengan fungsi eksekutif. Miyake et al. (2000) menjelaskan

bahwa Letter-Digit Naming bertujuan untuk melihat kemampuan alih tugas menggunakan

kombinasi angka dan huruf. Nantinya, kombinasi ini akan disajikan dalam bentuk rangkaian trial yang diawali dengan isyarat tugas. Letter-Digit Naming sudah menggunakan komputer sebagai perangkatnya sehingga respons dapat diberikan dengan

menekan tombol pada keyboard. Ophir, Nassb, dan Wagnerc (2009) menjelaskan

pengukuran shifting dapat dilakukan dengan menghitung waktu reaksi dan ketepatan dalam

mengerjakan tugas. Tugas Number-Letter Task sendiri menggunakan perbandingan waktu

reaksi antar dua kondisi yang berbeda untuk mendapatkan skor shifting. Waktu reaksi yang diambil hanya yang dijawab secara benar saja dan akan diambil rata-rata dari setiap kondisi.

Kualitas dari kemampuan shifting individu sudah tentu akan mempengaruhi bagaimana individu tersebut menyelesaikan tugasnya termasuk ketika mengerjakan Number-Letter Task. Mayr, LaRoux, Rolheiser, Osternig, Chou, dan Donkelaar (2014) menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan shifting yang kurang baik akan cenderung memiliki waktu perpindahan tugas yang lebih lama. Hal ini biasanya terjadi pada Individu yang mengalami kekurangan dalam mempertahankan dan pengalokasian perhatian seperi Individu dengan gegar otak. Kemudian penelitian yang lain pun mengatakan selain memiliki waktu pindah/ respons yang lebih lama, individu yang memiliki shifting yang kurang baik melakukan kesalahan yang lebih banyak dalam mengerjakan tugas. Kesalahan dalam mengerjakan tugas ini bisa berbentuk kesalahan yang tidak tetap atau justru akan berpola respons negatif, yaitu individu akan merespons berlawanan dari perintah yang diberikan (Huddy et al., 2011). Selaras dengan itu semua,

ternyata individu yang memiliki kemampuan shifting yang kurang baik memang memiliki

(7)

tujuan. Individu yang memiliki kontrol internal yang kurang baik biasanya akan mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas secara mandiri sehingga membutuhkan isyarat dan arahan dari luar atau yang disebut exogenous control (Pohl et al., 2007).

Grange (2014) menyatakan bahwa suatu performa shifting dikatakan sukses jika individu tersebut dapat dengan hati-hati memilih dan memelihara tugas yang relevan saat ini serta secara fleksibel mampu untuk memperbaharui tujuan dari tugasnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan shifting, salah satunya adalah usia (Zelazo, Craik, & Booth, 2004). Cepeda dalam Zelazo et al. (2004) menyatakan bahwa usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan shifting. Dalam salah satu penelitian

yang menguji kemampuan task switching pada usia 7 sampai dengan 82 Tahun

menemukan fakta-fakta bahwa dengan berubahnya rentang perkembangan maka turut merubah pula waktu yang dibutuhkan untuk melakukan task switching. Huizinga, Dolan, dan Molen (2006) turut meneliti tentang perubahan usia terhadap perkembangan fungsi eksekutif yang terdiri atas workingmemory, inhibition, dan shifting. Penelitian ini menguji fungsi eksekutif pada empat grup yang dibagi berdasarkan usia, yaitu individu dengan usia 7, 11, 15, dan 21 tahun. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa kemampuan shifting terus berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Jimura dan Braver (2009) meneliti relasi antar shifting dengan dua rentang usia yang lebih tua yaitu dewasa awal dan dewasa akhir. Dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa terdapat perbedaan performa antar kedua grup usia tersebut. Grup dewasa akhir memiliki akurasi pengerjaan yang lebih rendah ketimbang grup dewasa awal dan grup dewasa akhir memiliki waktu reaksi yang lebih lama ketimbang grup dewasa awal. Perbedaan ini memberikan isyarat bahwa terjadi kemunduran performa pada usia dewasa akhir.

Faktor lain yang juga mempengaruhi kemampuan shifting adalah

(8)

cost, baik itu untuk dalam waktu reaksi maupun untuk ketepatan mengerjakan tugas. Pengaruh ini bisa terjadi lantaran beban tugas menjadi bertambah, yaitu untuk melakukan switching dan juga untuk melakukan multitasking sehingga berpengaruh pada performa yang dilakukan. Sebagai contoh yang sederhana adalah ketika mengerjakan paper kemudian mendengar pemberitahuan bahwa ada email masuk, maka hal tersebut akan menjadi ganggguan yang akan mengaburkan perhatian dan memperlamban pekerjaan yang sedang dilakukan.

Foehr (2006) menyatakan bahwa media-multitasking didefinisikan sebagai perilaku yang melibatkan lebih dari satu aktivitas media dalam waktu yang bersamaan, seperti mengetik pesan saat menonton TV. Rosen (2008) menjelaskan bahwa penggunaan beberapa media dalam waku yang sama haruslah antar media yang berbeda, meliputi menggunaan televisi, internet, video games, pesan teks, telepon, dan juga e-mail. Sejalan dengan itu semua, Ophir et al. (2009) mendefinisikan media-multitasking sebagai pemakaian lebih dari satu baik aitem atau stream dari sebuah konten dalam waktu yang

bersamaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa media-multitasking adalah

penggunaan media lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Media tersebut dapat berupa aitem seperti telepon dan mendengarkan radio atau berupa stream seperti memakai e-mail atau internet.

Ophir et al. (2009) mengidentifikasikan penggunan media-multitasking menjadi dua, yaitu Heavy Media-Multitasker atau yang disebut HMM dan Light Media-Multitasker

atau yang disebut LMM. Heavy Media-Multitasker merujuk pada individu yang

menggunakan media lebih dari rata-rata sedangkan Light Media-Multitasker merujuk pada Individu yang menggunakan media secara cukup atau justru lebih jarang.

(9)

Ophir et al. (2009) menjelaskan bahwa selain dua kelompok media multitasking tersebut berbeda jumlah media yang dikonsumsi, ternyata dua kelompok tersebut memiliki

perbedaan dalam kemampuan. Individu yang memiliki frekuensi menggunaan

media-multitasking yang lebih tinggi atau HMM memiliki perbedaan secara kontrol kognisi dari

individu yang frekuensi penggunaannya lebih rendah atau LMM. Heavy Media-Multitasker

mudah terpengaruh pada stimulus yang tidak relevan dan menyimpannya di dalam memori. Secara spesifik, penggunaan media multitasking dengan frekuensi tinggi cenderung memiliki kemampuan shifting yang kurang efektif dibanding pengguna dengan frekuensi penggunaan yang rendah. Kemampuan yang kurang ini terjadi pada saat perpindahan dari tugas yang irrelevant menuju tugas yang relevant dimana waktu reaksinya akan lebih lama ada kelompok yang kurang efektif yaitu HMM.

Rubinstain, Meyer, dan Evans (2001) berpendapat bahwa mengerjakan pekerjaan secara multitasking memang secara permukaan terlihat lebih efektif, namun sebenarnya multitasking membutuhkan waktu yang lebih untuk menyelesaikan tugas. Akhirnya, multitasking bukan membantu Individu untuk memaksimalkan strategi, tetapi justru

memberikan beban terhadap kemampuan shifting. Sebagai contoh kecelakaan yang

diakibatkan penggunaan telepon saat mengemudi. Pada kondisi mengemudi tanpa menelepon, individu mungkin akan mudah menghindari rintangan di jalan karena individu

cepat melakukan task switching dari mengemudi menjadi menginjak rem. Ketika

melakukan dua aktivitas ini secara bersamaan justru akan membuat fokus terbagi dan mobil tidak dalam kendali penuh. Hasilnya, individu mengalami keterlambatan atau justru gagal merespons rintangan di jalan sebab kemampuan shifting pengemudi terbebani oleh penggunaan telepon. Fakta pun menunjukan, berdasarkan data dari Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, sebanyak 90 persen kecelakaan diakibatkan oleh daktor kelalaian yang salah satunya adalah penggunaan ponsel saat mengemudi. Tercatat sepanjang 2014 ada

(10)

sekitar 5.887 kecelakaan terjadi akibat pengemudi dan 3.728 di antaranya lengah dalam perjalanan (Rizal, 2015).

Dewasa ini, penggunaan media-multitasking memang sudah menjadi kebutuhan. Poppy (2015) melakukan penelitian yang melihat perbedaan media-multitasking terhadap working memory diperoleh bahwa skor untuk LMM pada Mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2013 sebesar 5.359951 pada Media Multitasking Index. Skor sebesar 5.359951 menunjukan bahwa Mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2013 dapat menggunakan 5 sampai 6 media dalam waktu bersamaan pada kelompok LMM. Nilai untuk LMM ini terbilang tinggi jika melihat standar skor LMM yang diajukan Ophir (2009) yaitu < 4,82 baru digolongkan ke dalam LMM. Artinya, menggunaan media yang terbilang cukup atau jarang di populasi Mahasiswa Fakultas Psikologi pun secara skor tetap berada di atas standar skor LMM yang seharusnya, sehingga ini menggambarkan tingginya penggunaan media. Hal ini pun diperparah dengan peningkatan jumlah penggunaan media seperti telepon genggam.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Kominfo di seluruh Indonesia dengan jumlah sempel responden sebanyak 400 orang dengan usia 10-19 tahun yang mewakili wilayah pedesaan dan perkotaan. Dari survei tersebut diketahui 79,5 persen diantaranya menggunakan internet. Kemudian survei ini juga mengungkapkan bahwa 52 persen responden menggunakan ponsel sebagai media untuk mengakses internet (Broto, 2014).

Millward (2014) mengatakan bahwa pengguna telepon genggam khususnya smartphone di

Indonesia memang memiliki pertumbuhan pengguna yang cukup besar, di bawah China dan India. Indonesia pun diprediksi akan memiliki lebih dari 100 juta pengguna aktif pada

tahun 2018. Dengan penggunaan telepon genggam khususnya smartphone tentu

menjadikan masyarakat Indonesia semakin terfasilitasi untuk melakukan

(11)

Berdasarkan pemaparan di atas dijelaskan bahwa kemampuan shifting dan media-multitasking dekat dan memiliki dampak yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, peneliti bermaksud mereplikasi penelitian Ophir et al. (2009) dengan melibatkan kemampuan shifting dan media-multitasking sebagai hal yang diteliti. Penelitian ini pun menjadikan Heavy Media-Multitasker (HMM) dan Light

Media-Multitasker (LMM) sebagai individu yang akan dibandingkan kemampuannya. HMM

merupakan individu yang menggunakan media secara berlebih dan LMM merupakan individu yang menggunakan media secara cukup atau kurang. Kemudian penelitian ini akan melihat waktu reaksi pada tugas shifting sebagai aspek yang akan diukur, serta memfokuskan pada individu pada rentang perkembangan dewasa awal. Dewasa awal dipilih lantaran dalam suatu penelitian yang menguji kemampuan shifting pada rentang usia yang berbeda, diketahui bahwa kemampuan shifting di dewasa awal memiliki kemampuan yang optimal dan lebih cepat terutama dalam pemrosesan (Cepeda, 2001).

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kemampuan shifting antara

Heavy Media-Multitasker (HMM) dan Ligth Media-Multitasker (LMM)

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi kajian psikologis terkait dengan perilaku media-multitasking dan kaitannya dengan fungsi eksekutif, khususnya shifting. Kajian, penelitian, serta pembahasan mengenai dua hal ini

(12)

masih sangat baru dan jarang dijumpai khusunya pada populasi masyarakat Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah keterampilan dalam melakukan eksperimen, baik bagi penulis maupun bagi penelitian selanjutnya dalam menggunakan number-letter task. Hasil dan pembahasan dari penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan tambahan informasi dan berguna bagi penelitian selanjutnya. Diharapkan penelitian ini dapat mendorong diadakannya penelitian selanjutnya yang mampu mengembangkan penelitian yang relevan terkait dengan media-multitasking dan shifting.

Referensi

Dokumen terkait

Dapat dilihat dari tabel anava nilai signifikansi 0,042&lt;0,05 artinya signifikan pengaruhnya terhadap konsumsi bahan

Permasalahan  dasar  adanya  gap  antara  akademi  dan  industri  adalah  karena  karakter  dan  sudut 

Dalam tahapan ini melakukan perubahan proses yang sebelumnya dilakukan secara konvensional menjadi lebih terintegrasi yang diimplementasikan dalam sebuah sistem

Perubahan tutupan/penggunaan lahan periode 2004-2012 menunjukkan adanya trend peningkatan dan penurunan luasan. Peningkatan luasan terjadi pada beberapa jenis

Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Melek Huruf dan Buta Huruf Menurut Jenis Kelamin di Kota Malang

Untuk menghitung besarnya energi yang dibangkitkan pada pompa hidram, kita tinjau kondisi di masing – masing titik saat awal pengoperasian pompa hidram, dimana

Model administrasi negara sebagai alat negara dan bukan aparat pemerintah ini dapat dilihat pada administrasi negara Jerman, yang juga dijadikan rujukan oleh Menteri Pemberdayaan

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas membantu dan meluangkan waktunya untuk penulis, baik itu dari segi