• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAHAMAN PENDERITA, KELUARGA PENDERITA DAN PENYEMBUH MENGENAI GANGGUAN JIWA SERTA PENGOBATAN ALTERNATIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMAHAMAN PENDERITA, KELUARGA PENDERITA DAN PENYEMBUH MENGENAI GANGGUAN JIWA SERTA PENGOBATAN ALTERNATIF"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAHAMAN PENDERITA, KELUARGA PENDERITA

DAN PENYEMBUH MENGENAI GANGGUAN JIWA

SERTA PENGOBATAN ALTERNATIF

OLEH

RUTH LENA SEPTARIA RAHINA PUTRI 802014169

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

PEMAHAMAN PENDERITA, KELUARGA PENDERITA

DAN PENYEMBUH MENGENAI GANGGUAN JIWA

SERTA PENGOBATAN ALTERNATIF

Ruth Lena S. R. Putri Aloysius L. S. Soesilo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

ABSTRAK

Pada kasus masalah kejiwaan, pusat pengobatan alternatif, tradisional ataupun keagamaan yang dilakukan sebagai pengganti dari pengobatan nonkonvensional, layanan kesehatan jiwa tidaklah tersedia (Human Right Watch, 2016). Penelitian ini hendak mengidentifikasikan pemahaman baik pengasuh dan penderita serta penyembuh mengenai gangguan jiwa dan mendeskripsikan dasar keputusan mereka untuk mencapai kesembuhan penderita. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini di mana observasi dan wawancara dilakukan serta data dianalisis sesuai prosedur analisis data sistematis Moustakas. Partisipan yang terlibat yaitu dua penyembuh berbasis keagamaan yang pernah menangani penderita gangguan jiwa dan dua keluarga penderita, yakni pengasuh serta penderita yang menderita gangguan jiwa selama 10-12 tahun dan menempuh pengobatan alternatif sebagai upaya penyembuhan. Temuan menunjukkan bahwa keluarga penderita maupun penyembuh masih mengaitkan gangguan jiwa dengan gangguan supernatural sebagai sebab utama di samping sebab lainnya. Berdasarkan pemahaman keluarga penderita, keputusan serta peralihan pengobatan alternatif menuju pengobatan medis dilatarbelakangi oleh budaya, pengalaman, tingkat pendidikan, SES, keterlibatan orang sekitar serta evaluasi terhadap pengobatan. Selanjutnya pemahaman akan gangguan jiwa bergerak dari gangguan supernatural menuju suatu yang transenden, mengakui sebagai cobaan dari Tuhan. Penderita juga meyakini adanya gangguan sistem saraf hanya saja informasi mengenai gangguan tidak diberikan secara tepat sehingga mereka tetap bersandar pada persepsi masing-masing. Dari sisi penyembuh alternatif, beberapa metode penanganan yang tidak jauh berbeda dengan keyakinan dan praktik keagamaan mereka yang didasarkan pada “ketulusan” dan “keikhlasan”. Beberapa metode digunakan untuk menyembuhkan penderita dan praktik keagamaan menjadi faktor proteksi agar terhindar dari gangguan supernatural.

(9)

ii

ABSTRACT

In psychological problem’s cases, alternative medicine center, traditional medication, or religious treatment that are done as substitution of non-conventional medication, mental health service are not provided (Human Right Watch, 2016). This research’s purposes are to find out the understanding (thought) of mental illness from the patients, their caregiver, and the alternative healers, and also to know their reason and principles behind their decision in getting over the mental illness. Qualitative method has been used in this research by doing observation and interview and the data has been analyzed with Moustakas’s systematic analysis. The participants who involved were two religious alternative healers who had treated patients with mental illness, two patients and their caregivers whose patients have been suffering from mental illness for 10-12 years and have been taking alternative medicines to get over the mental illness. The result presented that both patient’s family and healer still connecting mental illness and supernatural interference as its cause besides the other causes. Based on the patient’s family understanding, the decision and the shift from alternative to medical treatment are caused by culture, experiences, level of education, social economic status (SES), the role of people around patient and treatment’s evaluation. Furthermore, their understanding of mental illness has changed from supernatural interference to God’s Temptation. They also believe that there is neuron disorder, but the information was not given properly so they still rely on their own perception. On healer’s side, they provide some method that are inseparable from their religious beliefs and practices which the basic elements are “ketulusan” and “keikhlasan”. Some methods are used to heal the patient and religious practices are used as the protective factors to avoid supernatural interference.

(10)

1

PENDAHULUAN

Gangguan jiwa didefinisikan sebagai sindrom gangguan signifikan secara klinis pada kognitif, regulasi emosi, atau perilaku individu yang merefleksikan disfungsi pada proses psikologis, biologis, atau proses perkembangan yang mendasari fungsi mental (DSM-5, 2013). Tahun 2018, tercatat tujuh dari 1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa yang meningkat dari tahun 2013 (Riskesdas, 2013; Riskesdas, 2018). Jumlah penderitanya semakin besar, namun informasi mengenai kesehatan mental dan gangguan jiwa masih minim serta layanan kesehatan yang sulit untuk diakses di mana hampir 90% orang tidak bisa mengakses layanan kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan dalam Human Right Watch, 2016). Salah satu dampaknya yaitu pada pengetahuan masyarakat mengenai gangguan jiwa yang tak jarang gejalanya dikaitkan dengan hal yang irasional dan supernatural seperti kerasukan setan, diguna-guna, kutukan (Sarwono & Subandi, 2013), karena perbuatan amoral yang pernah dilakukan ataupun kurang iman (HRW, 2016) sehingga penderita mendapatkan stigma dari keluarganya maupun masyarakat. Stigma sendiri adalah kumpulan dari sikap, keyakinan, pikiran, dan perilaku negatif yang berpengaruh pada individu atau masyarakat umum untuk takut, menolak, menghindar, berprasangka, dan membedakan seseorang (Pamungkas, Linawati, & Sutarjo, 2016). Pandangan keliru ini akhirnya mengarahkan keluarga untuk mengurung penderita di dalam atau luar rumah bahkan memasung karena dianggap berbahaya dan mengancam keselamatan dirinya sendiri ataupun orang lain, ada juga yang membawa penderita ke dukun atau kiai atau pendeta sebagai upaya pengobatan secara alternatif dan upaya pencarian bantuan medis seringkali menjadi pilihan terakhir yang ditempuh (HRW, 2016). Sementara kondisi penderita dapat semakin buruk jika rentang waktu antara pertama kali gejala muncul sampai dengan penanganan medis yang diperoleh semakin lama, yang disebut duration of untreated psychosis atau DUP (Sarwono & Subandi, 2013).

Pengobatan alternatif merupakan setiap bentuk praktik pengobatan yang berada di luar bidang dan praktik pengobatan kedokteran modern yang mencakup

(11)

secara luas falsafah penyembuhan, pendekatan serta berbagai jenis dan teknik terapi (Hadibroto & Alam, 2006). Namun juga mengacu pada obat-obatan atau teknik penyembuhan yang belum teruji atau masih dalam tahap uji coba oleh para ahli kedokteran modern. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2003 telah mengeluarkan peraturan terkait praktik terapi tradisional yang dibuat oleh Menkes RI No. 1076/ Menkes / SK / VII / 2003 (Menkes, 2003). Menkes dalam peraturan tersebut mengklasifikasikan pengobat tradisional menjadi empat jenis yaitu pengobat tradisional keterampilan (pijat urut, patah tulang, sunat, dukun bayi, refleksi, akupresure, akupuntur, chiropraksi, dan metode lainnya yang sejenis), pengobat tradisional ramuan (jamu, gurah, tabib, shinshe, homoepathy, aromaterapi, dan metode lainnya yang sejenis), pengobat tradisional pendekatan agama (dengan pendekatan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Buddha), dan pengobat tradisional supernatural (tenaga dalam (prana), paranormal, reiky master, qigong, dukun kebatinan, dan metode lainnya yang sejenis), serta tercatat 30,4% RT (rumah tangga) telah memanfaatkannya (Riskesdas, 2013). Pada kasus masalah kejiwaan, pusat pengobatan alternatif, pengobatan tradisional atau pengobatan keagamaan yang dilakukan sebagai pengganti dari pengobatan nonkonvensional, layanan kesehatan jiwa tidaklah tersedia (HRW, 2016). Penelitian yang dilakukan Yatiningsih (2016) menunjukkan bahwa salah satu keluarga partisipan menganggap penyakit penderita disebabkan karena penyalahgunaan ilmu yang diberikan oleh ayahnya sehingga ia seolah-olah menjadi “nakal”. Dengan demikian, penyakit akan sembuh dengan menghilangkan hal mistik sehingga pengobatan alternatif ditempuh dari satu tempat ke tempat lain. Ritual pada pengobatan yang pertama, penderita diminta untuk membawa air dari tujuh mata air yang berbeda dan kemudian air tadi didoakan dan diminum, sedangkan sisanya digunakan sebagai campuran untuk mandi penderita. Kedua, keluarga meminta bantuan orang pintar supaya ilmu kekebalan penderita dihilangkan, dan ketiga, penderita diruqyahkan. Berbagai pengobatan alternatif yang ditempuh tidak memberikan kesembuhan dan akhirnya keluarga membawa ke puskesmas untuk mendapatkan penanganan medis dari psikiater. Penelitian yang dilakukan oleh Subu (2015) melaporkan bahwa beberapa penderita dipaksa untuk memakan makanan yang tidak wajar seperti

(12)

telur mentah, cabai, dan daun-daunan. Selain itu, dukun melakukan pijat keras pada seluruh tubuh penderita dengan tujuan melepaskan setan dari tubuh penderita.

Beragam hal melatarbelakangi keputusan keluarga dalam membawa penderita menuju pengobatan alternatif sebagai sarana penyembuhan dan banyak pula metode pengobatan alternatif yang ditawarkan dalam masyarakat. Penelitian ini hendak mengetahui apa pemahaman penderita gangguan jiwa dan keluarga mengenai gangguan jiwa yang dialami oleh penderita di kota Salatiga; apa yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan penderita dan keluarga untuk menempuh pengobatan alternatif sebagai upaya penyembuhan penderita; dan apa pemahaman penyembuh pengobatan alternatif yaitu penyembuh berbasis keagamaan, mengenai gangguan jiwa serta apa yang menjadi dasar penyembuh dalam memberikan penanganan tertentu sebagai upaya penyembuhan penderita.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemahaman penderita dan keluarga serta penyembuh mengenai gangguan jiwa. Penelitian ini juga hendak mendeskripsikan dasar keputusan penderita dan keluarga untuk menempuh pengobatan alternatif serta mendeskripsikan dasar penyembuh dalam memberikan metode penanganan sebagai upaya penyembuhan gangguan penderita.

METODE PENELITIAN Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 6 orang yaitu dua keluarga penderita gangguan jiwa dengan masing-masing pengasuhnya dan dua penyembuh alternatif namun antara penyembuh dan penderita tidak saling terkait. Keluarga pertama terdiri dari partisipan keluarga atau pengasuh yang akan disebut PK1 (ibu, 70 tahun) dan partisipan penderita yang disebut PP1 (laki-laki, 38 tahun). Keluarga kedua yakni pengasuh atau PK2 (ayah, 67 tahun) dan penderita atau PP2 (laki-laki, 38 tahun). Dari dua keluarga penderita yang mau diwawancarai hanya PP2. PP1 dan PP2 sudah lebih dari 10 tahun menderita

(13)

gangguan jiwa di mana PP1 sudah menempuh empat tempat pengobatan alternatif dan sekali dirawat di RSJ sedangkan PP2 menempuh tiga tempat pengobatan alternatif dan dua kali dirawat di RSJ. Selain itu, terdapat dua penyembuh alternatif berbasis agama Islam yang akan disebut PA1 (laki-laki, 50 tahun) dan PA2 (laki-laki, 35 tahun).

Teknik pengumpulan dan analisis data

Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis digunakan untuk memahami sudut pandang penderita dan keluarga yang mengasuh mengenai pengalaman gangguan jiwa dan perjalanan pengobatan khususnya pengobatan alternatif. Dengan pendekatan ini, dapat membantu dalam memahami dari sisi penyembuh mengenai gangguan jiwa serta dasar penanganannya. Pengumpulan data menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam (in-depth interview) yang mana proses wawancara direkam secara audio menggunakan

handphone. Wawancara dilakukan dengan seizin partisipan dari bulan Maret-Desember 2018 untuk kelima partisipan dengan waktu wawancara berkisar 50-80 menit dan 1-3 kali wawancara tiap partisipannya. Catatan observasi selalu dilakukan baik saat proses wawancara maupun saat kunjungan rumah.

Data yang diperoleh disusun menjadi transkrip dan dianalisis sesuai prosedur analisis data sistematis Moustakas (1994, dalam Creswell, 2015) yaitu mengidentifikasi pernyataan penting, merumuskan makna dan deskripsi menyeluruh mengenai esensi dari fenomena sesuai konteks penelitian.

HASIL

Proses pemaknaan psikologis pada transkrip wawancara tiap partisipan memberikan bingkai cerita yang dibentuk dalam beberapa kategori. Dari kategori akan memunculkan tema-tema sentral yang digunakan dalam penyusunan narasi baik dari sisi keluarga penderita gangguan jiwa maupun penyembuh.

Deskripsi Partisipan Keluarga Penderita

PP1 merupakan anak nomor dua dari dua bersaudara yang menderita gangguan jiwa sejak tahun 2007. Ia diasuh oleh ibunya yang akan disebut PK1,

(14)

yang menjanda sejak Maret 2019 lalu. PP1 memiliki kakak perempuan yang sudah menikah dan ia tinggal berdua dengan PK1 di sebuah rumah yang berlantai tanah di dusun Krompakan. Kegiatan PP1 adalah berkunjung ke rumah paman dekat rumah, berkunjung ke salon pria milik temannya dan terkadang ia menemani anak-anak kecil bermain di sekitar rumahnya. Selain itu, PP1 ikut berpartisipasi dalam beberapa acara kampung seperti acara memperingati Kemerdekaan RI.

PK1 bekerja sebagai buruh tani dengan upah Rp30.000,00/hari dan karena sudah tidak terlalu kuat, terkadang PP1 membantunya membawa padi. Penghasilan tadi digunakan untuk mencukupi kebutuhan makan, listrik, PDAM dan rokok PP1 yang dapat menghabiskan ±Rp5000,00/hari. Bantuan pemerintah diterima dalam bentuk perbaikan rumah, raskin serta pelayanan kesehatan bagi PP1. Kegiatan lain yang diikuti PK1 adalah pengajian ibu-ibu dan menonton TV di rumah tetangga.

PP2 merupakan anak pertama yang menderita gangguan jiwa yang diasuh ayahnya yang disebut PK2. Ia menderita gangguan jiwa sejak usia 27 tahun yaitu 11 tahun lalu. Ia memiliki tiga adik, yang pertama perempuan dan yang lain laki-laki. PP2 tinggal bersama kedua orangtua dan dua adiknya karena adik perempuannya sudah menikah. Semua adik PP2 sudah bekerja dan beberapa waktu yang lalu pun ia sempat berjualan celana training ke tetangga sekitar, namun karena ia merasa cepat lelah, ia memutuskan untuk tinggal di rumah. Ketika rawat jalan ke RS DKT, ia mengutarakan keluhannya dan telah diberi vitamin B complex, namun masih merasa lelah seperti mau jatuh kalau jalan terlalu lama. Adapun medikasi yang dijalani selama ini merupakan salah satu bantuan pemerintah yang diterima PP2.

PK2 dan PP2 merupakan perokok aktif yang menghabiskan rokok seilai Rp10.000,00/hari, PP2 sendiri dapat menghabiskan 30 batang sehari dan dampaknya terlihat pada beberapa gigi bagian atas yang berwarna hitam dan kuku jari telunjuk kirinya yang menguning. PK2 adalah buruh bangunan namun sejak

(15)

anaknya menderita gangguan jiwa, ia hanya menerima pesanan jendela dan pintu karena dengan begitu ia dapat menjaga anaknya di rumah. Kesehariannya PK2 merawat anak sapi dan terkadang PP2 membantunya mencarikan rumput di belakang rumah terutama ketika PK2 tidak enak badan. Sedangkan istri PK2 setiap pagi pergi mengaji lalu siangnya membantu membuat kue di dekat rumahnya. Dalam beribadah, PP2 selalu melaksanakan sholat lima waktu, sementara PP1 sudah cukup lama tidak sholat dan mengatakan bahwa dirinya adalah kafir. Namun, pada ritual kedukaan di kampungnya seperti kenduren

(kenduri), PP1 hadir menggantikan bapaknya.

Deskripsi Partisipan Penyembuh

PA1 merupakan mantan preman yang menerapkan ilmu Kejawen secara menyimpang. Kesombongan dan rasa kewalahan terutama disadari saat membantu kliennya menghadapi beberapa dukun menjadi salah satu alasan yang mendorongnya untuk belajar agama kembali serta melakukan praktik pengobatan. Agama ia pelajari dengan bimbingan guru gaib atau supernatural. Segala apa yang diajarkan guru tersebut diterima dan diilhamkan melalui hati yang dicocokkan dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Dalam praktik kehidupannya, ia berorientasi hanya pada Tuhan dan nilai-nilai ilmu Kejawen masih dipegang yang dianggap tidak melenceng dari agama. Sejak tahun 2000, ia membantu orang dalam belajar agama dan mengobati penyakit fisik serta jiwa di pondoknya yang terletak di kecamatan Banyubiru. Pengobatan yang dilakukan berbasis agama Islam dan juga pengobatan supernatural.

PA2 adalah seorang santri yang mengawali pengobatan berbasis keagamaan karena memiliki saudara dan tetangga yang mengalami gangguan jiwa. Keprihatinan pada kondisi penderita yang tidak tertangani dengan tepat selama bertahun-tahun karena tinggal di desa dengan SES/ status ekonomi sosial rendah dan akses kesehatan yang sulit dijangkau mendorongnya untuk belajar di pondok pesantren sehingga dapat melakukan penyembuhan alternatif berbasis agama pada tahun 2000. Tidak berhenti dengan belajar kepada para ustadz di pondok pesantren, ia juga mencari referensi lain serta mengikuti beberapa

(16)

perkuliahan yang berhubungan dengan psikologi serta beberapa sarasehan. Ia menjadi salah satu pengurus yayasan pendidikan, melatih kader-kader dalam bidang kesehatan sembari menjalankan pengobatan terapi ruqyah di rumahnya yang terletak di Tingkir. Selain terapi ruqyah, PA2 juga melakukan pengobatan akupuntur, accupressure, totok wajah, totok kepala, bekam, SEFT (Spiritual Emotional Freedom Techinique), dan layanan konsultasi.

Perspektif Keluarga dan Penderita

Relasi penderita dengan anggota keluarga

Sejak kecil, PP1 jarang berinteraksi dengan orangtuanya dan bicara kalau ia memiliki kebutuhan baik kepada bapak maupun PK1. Setelah lulus SD, PP1 memutuskan untuk bekerja dan selama itu PK1 mengatakan bahwa anaknya tidak pernah mengeluh ataupun memilih-milih pekerjaan, baik sebagai buruh ternak, buruh bangunan maupun buruh tani. PP1 memiliki kakak perempuan yang lebih tua 4 tahun, kakaknya bekerja dari pagi sampai malam sehingga komunikasi di antara mereka jarang terjalin. Interaksi di rumah pun jarang terjalin. “Iya, iya,

kalo ditanyai, sampe sekarang ya, ndak ditanyai ya ndak pernah ngomong sama

makne. Mbegogog ya cuma, kalo di rumah orang bertiga ya mbegogog ya udah,

mbegogog, hahaha (tertawa). Kalo mau tidur ya terus tidur (PK1W1, 14)”.

PP2 merupakan anak pertama dari empat bersaudara yang selisih umurnya 7, 13, dan 16 secara berurutan, adik pertamanya adalah perempuan dan lainnya laki-laki. Oleh karena ia memiliki 3 adik, setelah lulus SMP ia tidak melanjutkan pendidikannya dan bekerja untuk membantu keluarganya. “Iya, konveksi…. wong

dengan saudara, anak saya itu, adik-adiknya itu baik semua, kasihan dia itu. Kalo bisa kerja ya, itu, pasti, tiap bayaran itu pasti ngasih uang (PK2W1, hlm.7)”.

Hubungan PP2 dengan adik perempuannya dekat. "Sebab itu, dengan adiknya yang putri itu kan kasih sayangnya bener-bener. Iya, adiknya persis. Wong saya kira dulu itu cuma dia sama adiknya itu tok (PP2W1, hlm.11)". PK2 sendiri terutama di rumah, sering menawarkan PP2 untuk makan agar anaknya merasa diperhatikan.

(17)

Pemahaman awal keluarga dan peran orang sekitar mengenai kondisi gangguan yang dialami penderita

Saat usianya beranjak 23 tahun, PP1 sering melamun, duduk diam di sudut ruangan sambil merokok dan enggan bersosialisasi yang membuat PK1 merasa khawatir serta curiga kalau anaknya menggunakan kekuatan yang tidak benar karena tidak tahu apa yang terjadi pada anaknya. Beberapa tetangga mengatakan bahwa suatu malam, anaknya melempar batu pada seorang perempuan yang juga tetangganya dan kemudian perempuan serta saudara laki-lakinya datang memarahi PP1 di depan masjid dekat rumahnya. Namun, karena tidak mendengar dan tidak melihatnya langsung, PK1 kurang percaya. Pada waktu lainnya, PP1 pergi sampai larut malam dan tidak pamit, yang memicu kekhawatiran dan rasa tidak berdaya pada PK1. Dengan rasa syukur PK1 berterima kasih pada seorang polisi yang mengantar anaknya pulang. Ketidaktahuan ini disebabkan karena PK1 bekerja dan tidak bisa memantau anaknya.

Sekitar usia 25 tahun, PP2 bekerja di Jakarta, di suatu konveksi tempat saudaranya juga bekerja selama kurang lebih satu tahun. Oleh karena tidak cocok dengan tempat kerja pertama, ia pindah tempat kerja pada kedatangannya yang kedua. Setelah lama bekerja, ia pulang ke Salatiga dan keluarga masih tidak menemukan perubahan pada diri PP2. Ketika ada tetangga yang meninggal, PP2 melayat, beberapa temannya mendapati perubahan dalam PP2 berinteraksi namun keluarga tidak mengetahui. Sampai tetangga memberitahukan kepada PK2.

“….dipandang… pembicaraannya itu ndak biasanya. … Jadi... kok sikapnya kan, boleh, kok berubah. Kata-katanya selalu keras.….Kasarnya itu bukan menyakiti, bukan ndak apa-apa, tapi suaranya itu keras terus. Kenceng. Lha itu. Jadi, “Eh, kae kok ngomonge kok selalu kenceng terus, keras terus ki, perasaane kok karo mbek wong liya barang ora nduwe isin.” Kan gitu. Itu waktu pertama. Ya itu, ng nganu, ketauannya waktu

dia mau terjadi penyakit itu…. Tetangga-tetangga taunya kan pas ada orang meninggal, itu….” (PK2W1, hlm.4)

Selain itu, PP2 sempat bekerja sebagai buruh bangunan di daerah dekat rumahnya dan berkenalan dengan perempuan berinisial F2. Saat itu, ia merasa takut karena akan dikejar dan dipukuli. Ia juga memiliki ketakutan pada orang lain serta tidak percaya terhadap orang lain kecuali keluarganya di rumah karena ia

(18)

yakin ketika ia memiliki kekasih, hubungannya akan diganggu. Perasaan takut ini mendorong PP2 meminta maaf kepada semua orang yang ditemuinya bahkan sampai mendatangi rumah-rumah untuk meminta maaf. “Iya dari kerja di Mburu

itu, iya itu, setelah itu tu, sepertinya itu, apa, seperti ketakutan gitu lho. Takut sama orang gitu lho. Gitu. Mau dikeroyok gitu. Terus saya minta maaf sama orang-orang itu. Gitu kan, saya minta maaf sama orang-orang (PP2W1, hlm.9)”.

Keluarga PP2 tidak mengetahui penyebab gangguannya, walaupun demikian, PK2 sebelumnya sempat mengira bahwa gagalnya hubungan PP2 menjadi penyebab gangguannya. Ketidaktahuan kedua keluarga juga dilatarbelakangi karena tidak adanya riwayat gangguan jiwa pada keluarga.

Keterlibatan keluarga besar serta orang sekitar dalam pengobatan alternatif yang dijalani untuk memperoleh kesembuhan penderita

Keluarga 1

Saudara ipar PP1 merasa kasihan dan hendak menolong PP1 sehingga PP1 dibawa ke Cebongan untuk menempuh pengobatan alternatif. Awalnya PP1 menolak sehingga salah satu tetangganya pun membantu membujuk PP1. PP1 diminta seorang pengobat tradisional supernatural atau dukun di sana untuk menginap selama menjalani tritmen pengobatan, tetapi ia tidak mau sehingga mereka pulang setelah PP1 diberi mantra. Beberapa waktu setelahnya, tak jarang PP1 pergi pagi dan pulang menjelang magrib, ketika ditanya hanya menjawab

dolan. PK1 membujuknya agar tinggal di rumah namun ia tidak mau yang menyebabkan PK1 menjadi khawatir dan terbebani karena berpikiran yang tidak-tidak. Oleh karena itu, PK1 bersama menantunya meminta bantuan seorang kiai (pengobat tradisional supernatural) di suatu desa yang informasinya diperoleh dari teman menantunya. PK1 diminta untuk melakukan slametan sega kluban ataunasi gudangan di mana nasi yang ditanak dengan menggunakan panci nantinya akan diambil sendiri oleh para tamu. Setelah melaksanakan ritual tersebut, PK1 merasa PP1 nampak agak tenang dan pikirannya sudah tidak melantur lagi.

PK1 mendapati anaknya kembali duduk diam dan melamun seperti orang bingung yang membuatnya khawatir. Salah satu tetangganya memberitahukan dan

(19)

menolong untuk membawa PP1 menuju pengobat tradisional supernatural di daerah Ambarawa sebanyak dua kali, namun PK1 tidak ikut serta. PP1 diberi air oleh penyembuh dan diminta untuk meminumnya. Selain itu, PK1 diminta untuk mengambil air dari sumur di sembarang masjid serta melaksanakan tukon pasar.

Tukon pasar sendiri merupakan suatu ritual dengan membeli aneka macam jajanan dengan jumlah sembarang yang dibagikan kepada anak-anak kecil sekitar rumahnya. Sedangkan air akan diminum PP1 tanpa takaran tertentu dan tak harus dimasak terlebih dahulu. Setiap air habis, PK1 diminta untuk mengambil kembali di sumur masjid dan dilakukan selama berbulan-bulan. Terdapat perbedaan sedikit yang nampak pada PP1 yang diyakini oleh PK1 dari kondisi sebelumnya.

“Iya air itu, tapi diminta untuk ambil di sumur, pokoknya di masjid, mbak… nanti diminum sama dia itu. Beberapa botol aqua itu, pokoknya kalo habis saya ambilkan lagi, saya ambilkan lagi… itu ya disuruh

nyarati, diminta untuk membelikan tukon pasar, diminta dibagikan ke anak-anak kecil itu. Iya, pulang dari Ambarawa langsung itu, saya belikan

tukon pasar, saya bagikan anak-anak kecil itu.” (PK1W2, hlm.4)

Selang beberapa waktu, PP1 kembali duduk dan melamun di sudut-sudut rumah, hal ini mendorong PK1 untuk kembali mengusahakan kesembuhan anaknya dengan pergi ke tiyang sepuh atau dukun (pengobat tradisional supernatural) di dekat rumahnya. Penyembuh mendoakan dari sana untuk mageri

(memberikan perlindungan terutama pada rumahnya) rumah PK1 sehingga PP1 tidak bertingkah seperti yang ia lihat. PP1 sudah tidak duduk di sudut rumah lagi sehingga diyakini bahwa perubahan tersebut merupakan dampak yang diperoleh setelah meminta bantuan dari tiyang sepuh yang terjadi secara perlahan.

“Rumahnya saya minta mageri, gitu. Orang Pulutan itu (volume suara pelan). Saya minta mageri. Iya. Sudah ndak sering, melamun gitu, mbak. Iya (diucapkan dengan panjang), sedikit-sedikit to, mbak. Ndak langsungan. Sedikit-sedikit (volume suara pelan) (PK1W2, hlm.7)”. Setelah beberapa saat, PP1 pergi meninggalkan rumah selama dua bulan tanpa pamit. PK1 meminta bantuan orang pintar atau seorang pengobat tradisional supernatural agar anaknya dapat kembali lagi ke rumah dan akhirnya PP1 pulang. Sesampainya di rumah, ia langsung mencari PK1 dan bersujud meminta maaf kepadanya. Sejak setelah itu, PP1 sudah tidak pergi lagi dari rumah namun duduk diam dan jika ditanya ataupun diajak

(20)

bicara sering tidak menjawab. Ketika diminta untuk membantu persiapan pernikahan sepupu samping rumahnya pun ia tidak menjawab dan enggan bangkit dari posisinya.

Sepanjang menempuh beberapa pengobatan alternatif, PK1 merasa rikuh karena kondisi anaknya dan ia merasa tidak nyaman di mana ia mengalami kesulitan untuk menyampaikan keluhan kepada penyembuh. “…. Ngomong.

Minta anune itu, perasaannya sini itu kayak ndak sampe gitu lho, mbak. Yang ngomong itu kayaknya ndak sampe gitu i lho, mbak. Ndak isa anu, yang mau

minta gitu itu lho, mbak. Yang minta itu lho. (PK1W2, hlm.13)”. Hal ini di latarbelakangi juga oleh pemikiran PK1 mengenai kiai di mana ia menganggap kiai sebagai orang besar. Namun demikian, ia tetap bertekad demi kesembuhan anaknya dengan mencari beberapa pengobatan alternatif yang hasilnya diyakini nampak perlahan pada PP1.

Keluarga 2

Saat masih kecil, PK2 sering bermain dengan anak seorang muazin yang tinggal di desanya, banyak yang mendatangi muazin untuk mendapatkan kesembuhan, keselamatan dan sebagainya, “Se-ti-ap (diucapkan patah-patah) ada

penderita datang. Itu kalo ditambani dia itu pasti sembuh. Entah penyakit apa (PK2W1, hlm.11)”. Selain itu, dulu nenek PK2 juga pernah mengalami pengalaman diganggu oleh makhluk supernatural di mana ia "perot" sampai dengan meninggalnya. Pengalaman mistis inilah yang mendorong PK2 menempuh pengobatan alternatif untuk kesembuhan anaknya.

Pengobatan alternatif pertama ditempuh ke salah satu kiai (pengobat tradisional supernatural) di Demak yang ia ketahui dari keponakannya. Saat itu ia diminta membawa kembang setaman yakni kembang kanthil, mawar, kenanga

yang akan didoakan oleh kiai. Di dalam rumah kiai, kiai tersebut memanggil penunggu daerah tersebut yang tidak disukai PP2. PP2 merasa ingin ikut tinggal atau hidup bersama adiknya yang perempuan walaupun ia sudah bersuami. Setelah pulang yaitu malam hari, PP2 diminta untuk mandi dengan kembang

(21)

setaman tadi. Namun demikian, PP2 merasa tidak mengikuti anjuran yang berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh PK2 yang mana PP2 langsung mandi. Sehari setelahnya, diadakan slametan di rumahnya, di mana terdapat makanan berjejeran dan beberapa orang berkumpul. Selanjutnya, berdasar informasi dari keponakannya, PK2 membawa PP2 berobat ke dukun (pengobat tradisional supernatural) di Ampel. Sebelum dibawa kesana, PP2 merasa bahwa akan terjadi kiamat karena ia melihat satu kaki Dajjal di dalam rumahnya yang diyakini akan menginjak dirinya. PP2 juga merasa memiliki lima agama dan dapat menjadi salah satu pemimpin agama di satu waktu, walaupun ia hanya ingin memiliki satu agama saja. Selain itu, ia juga berkeinginan untuk mengetahui jodohnya dan nampak dua perempuan yang berinisial F. Di Ampel, PP2 mengatakan bahwa dukunnya masih muda dan menggunakan laptop, namun di sana ia tidak disuruh apa-apa. Sementara PK2 mengatakan bahwa dukun menempelkan sebuah gunting di leher PP2 sambil membacakan mantra. Ketika berada di sana, PP2 merasa melihat perempuan yang ia kenal, F1 yang merupakan istri dari sepupunya, yang tinggal di dekat rumahnya dan ingin ikut dengannya.

Makam keramat Kiai Lanjar (pengobatan tradisional supernatural) di Nggaras selanjutnya ditempuh dengan syarat membawa kembang setaman dan rokok seikhlasnya. Malam itu, mereka bertemu juru kunci makam dan PP2 sempat merasa takut kalau kerasukan namun hal tersebut tidak terjadi. Mereka diarahkan untuk berdoa sesuai kepercayaan yang dianut kepada Kiai Lanjar dengan menyebut namanya. PK2 meyakini bahwa kiai tersebut menguasai segala umat.

Selain berdoa mendoakan kiai tersebut dan meminta kesembuhan untuk PP2, mereka juga membacakan surat Yasin dan tahlilan. Kiai Lanjar akan memberikan petunjuk lewat mimpi namun tidak diterima sampai saat ini. Menurut PK2, terkabulnya permohonan dari penderita dalam praktik pengobatan alternatif terutama ketika ia meminta kepada seseorang yang telah meninggal yang dihormati dan dikeramatkan memiliki kemampuan yang memiliki batas waktu tertentu dan juga ada campur tangan Tuhan dalam penyembuhannya baik ketika diberikan kesembuhan ataupun ketika belum dikabulkan.

“Boleh dikatakan, segala yang orang minta, entah untuk penyakit, untuk apa itu, terus terkabul, boleh dikatakan. Waktu sementara, beberapa

(22)

tahun. Ya boleh dikatakan sekarang pengobatan alternatif lah. Itu kalo

memang dia itu baru dikabulkan, sama Tuhan, itu segala ucapan saja lah, pasti, terkabul. Tapi kalo memang Tuhan sudah, ini batas waktunya, kamu

itu hanya dua tahun. Sebab itu, ya sudah, diam saja. Itu kebanyakan kayak gitu.” (PK2W1, hlm.10)

Selama menempuh pengobatan alternatif, wajah PP2 nampak menakutkan dan hendak mengamuk. Kendati sudah bermacam-macam pengobatan alternatif yang ditempuh, namun belum nampak kesembuhan dan PP2 merasa semakin parah “Makin lama, makin menjadi ok. Iya, makin lama makin menjadi (PP2W1, hlm.22)”. Dengan kondisi semacam itu, PP2 tidak menceritakan pada keluarganya karena ia memiliki pemikiran bahwa ia akan membebani mereka.

Peralihan dari pengobatan alternatif ke pengobatan medis Keluarga 1

Hingga suatu hari, tetangga-tetangga PK1 menawarkan supaya PP1 menempuh pengobatan di RSJ Semarang dan mengajukan bantuan untuk membawanya. Namun karena merasa tidak tega, PK1 memutuskan untuk tinggal sementara di rumah anak perempuannya di Mranggen dan mengizinkan anaknya dibawa serta ke Semarang sehari setelahnya yang didampingi oleh suaminya. Namun begitu, PK1 tidak mengetahui mengapa anaknya harus dibawa untuk medikasi ke RSJ. Selama PP1 menjalani rawat inap 15 hari, PK1 datang saat menjemput anaknya. Menurut PK1 anaknya nampak sumringah, cerah dan pikirannya sudah “normal” yang nampak ketika diajak berbicara dan sudah mau

berkumpul atau bersosialisasi dengan tetangga serta mau membantu kegiatan kampung seperti ketika ada lelayu dan pernikahan.

”Ya selisihnya banyak to, mbak… (PK1W1, hlm.17) ”. “Bedanya tu setelah dari Semarang itu lho, mbak. Iya cayane ki abang, mripate ki pun, bening. Sudah ndak diubeng-ubeng, pokoknya gitu. Wajahnya itu merah terus nganu itu sumringah gitu. Cayane itu mukanya, mbak. Abang, ceria gitu itu. iya, seperti waras gitu lho, mbak. Udah waras.” (PK1W1, hlm.30)

Selain itu, PP1 sudah nampak tenang yaitu mau tinggal dan tidak pergi-pergi lagi dari rumah. Untuk rawat jalan, PK1 meminta bantuan tetangganya

(23)

dengan memberi uang untuk mengantar PP1 ke Semarang sampai sekitar lima kali sebelum akhirnya dirujuk ke puskesmas sehingga PK1 dapat mengambil sendiri obatnya. Anjuran dokter dan petugas kesehatan di sana adalah agar obat yang dikonsumsi oleh PP1 tidak boleh terlambat dan PK1 meyakini obat tersebut merupakan obat penenang sehingga ia akan tenang dan tidak pergi-pergi dari rumah. Obat yang dikonsumsi adalah Chlorpromazine HCl 100 mg, Haloperidol 5 mg dan satu obat lagi yang hanya dibungkus dengan plastik klip yang nampaknya adalah vitamin. “….Anak itu sudah minum obat, saya udah tenang gitu lho, mbak.

Udah bisa tenang. Kan obatnya obat penenang apa to, mbak, itu kan’an?! Bisa tenang. Bisa tenang ndak pergi-pergi gitu lho, mbak (volume suara pelan dari awal) (PK1W1, hlm.28)”. Kurang lebih enam kali berjalan, PP1 selalu ikut menjalani rawat jalan dengan ikut ke puskesmas, namun setelah itu ia enggan dan tidak mau lagi datang kesana. Akan tetapi, obat yang diterima selalu disediakan oleh PK1 dengan secangkir teh manis dan selalu dipastikan untuk diminum PP1 sesuai anjuran dokter yaitu dua kali sehari, pada pagi dan sore hari. Sempat sekali PP1 enggan minum obat yang membuat PK1 menjadi terbebani dan tidak tenang yang akhirnya membawa PK1 untuk meminta pil barokah kepada seorang kiai untuk memintakan air yang sudah didoakan. Setelah PP1 meminumnya, sisanya digunakan untuk membasuh muka, akhirnya ia tidur seharian dan ketika bangun, ia mau mengonsumsi obat kembali yang juga melegakan PK1. PK1 pun bertekad untuk membujuk anaknya dengan halus ketika ia tidak mau meminum obatnya lagi serta meminta bantuan kiai karena terdapat beberapa kiai di sekitar rumahnya yang ia ketahui. Hal ini dilakukan karena PK1 yakin obat tersebut dapat memberikan ketenangan bagi PP1 dan ini berhubungan dengan kekambuhan yang akan dialami PP1 yaitu ketika ia pergi dari rumah.

Sepanjang pengobatan yang ditempuh, PK1 sempat mendatangi rumah perempuan yang diceritakan dilempar batu oleh anaknya, yang merupakan tetangganya. Ia kesana untuk memintakan maaf untuk anaknya dan ia enggan untuk menanyakan mengenai kejadian pada malam tersebut ketika perempuan ini memarahi anaknya. Kejadian yang didengar PK1 mengenai dua orang ini membawa PK1 pada perasaan pasrah dan meyakini bahwa Tuhan Maha Adil.

(24)

“….Semuanya Tuhan Allah yang membalas, sudah, Tuhan Allah yang memberi kesembuhan, Tuhan Allah yang membalas, semoga... Ya. Yang membuat susahnya

orang ya semoga Tuhan Allah memberi apa, saya juga ndak tau. Membuat sakit

hatinya orang to, mbak, sama saja?! (PK1W1, hlm.23)”.

Keluarga 2

PP2 beberapakali mendatangi dan menunggu di depan rumah F1 yang dekat dengan rumahnya karena ia yakin F1 mengajaknya pergi keluar, padahal ia menyadari jika F1 tidak pernah berkata demikian. Saat mendatangi rumah F1, ia menempel pada orang di sana seperti mencari perlindungan yang memicu kecemburuan PP2. Ia bertanya pada F1 apakah ia menyukainya atau tidak dan dijawab tidak. PP2 melihat F1 pergi dibonceng suaminya dan ia ikuti, namun akhirnya ia mengubah arah menuju dukun di Kesanga dan meminta bantuan supaya tidak memiliki rasa suka terhadap F1 dan alhasil ia merasa takut ketika berada dekat F1 alih-alih tidak suka. PK2 menganggap PP2 telah mengganggu rumah tangga orang lain. Di waktu yang lain, PP2 naik dengan melompat atau salto ke atas atap mobil pamannya sambil menari-nari dan hampir telanjang. Saat itu PP2 tidak sadar dan ia sendiri juga tidak ingat yang diyakini kondisi PP2 sudah parah sehingga malam itu juga PK2 meminta bantuan keponakannya, suami F1 untuk membantu mengantar mereka ke RSJ Magelang.

“Terjadi, mobil diloncati, seperti salto, lalu. …Sudah mau telanjang. Habis itu kan, waktu itu kan terus saya bawa ke Magelang. Itu. Sebab dalam suasana, kondisi saya ndak tahan lho, lihat anak gitu (PK2W1, hlm.5)”.

“Parah (diucapkan dengan panjang) ya, penyakitnya itu parah....mengganggu keluarga. … Mengganggu keluarga. Dia itu melompat di atas mobil. Salto. Tapi setiap hari, setiap waktu. Itu dia pasti minta maaf. (diucapkan dengan volume pelan).” (PP2W1, hlm.18)

Ia dirawat selama 35 hari sebelum akhirnya dijemput oleh keluarga. Selama dirawat, menurut PK2, PP2 sempat diserang oleh makhluk supernatural dan kiai Lanjar membantu PP2 supaya terhindar dari gangguan tersebut. Dua tahun kemudian, PP2 dirawat kembali di RSJ selama 6 hari karena memukul sepupunya yang meninggalkan memar di bagian bawah mata. Saat itu, PK2 merasa

(25)

kecewa dengan respons keponakannya karena ia tidak melihat keadaan PP2 di mana PK2 yakin kalau anaknya tidak sadar ketika melakukannya. Pada hari keenam, PP2 kabur dari rumah sakit karena merasa tidak kerasan dan kemudian diantar sopir truk yang melewati PP2.

Vitamin B complex dan Clozapine 100 mg merupakan obat yang dikonsumsi oleh PP2 dengan setengah tablet tiap minum yakni pagi dan sore hari. PP2 menjalani rawat jalan di RSUD dan selalu mengambil obatnya sendiri karena tidak mau ditemani keluarganya.

Pemahaman akan kondisi penderita saat ini

Bertahun-tahun menjalani rawat jalan di puskesmas, PK1 meyakini bahwa anaknya mengalami gangguan jiwa karena owah pikirane (pikirannya geser) setelah dimarahi oleh dua orang pada suatu malam beberapa tahun silam. Oleh karena PP1 terus memikirkan hal tersebut dan tidak menceritakan pada orang lain atau dipendam sendiri, hal inilah yang membuatnya stres. Kondisi PP1 diyakini PK1 tidak bisa sembuh betul karena seperti luka yang sudah berbekas walaupun begitu ada ketenangan ketika PP1 mau tinggal di rumah. PK1 merasa bersyukur karena PP1 sudah lebih baik keadaannya, sudah tenang dan mau membantu serta mau bersosialisasi. Akan tetapi, ada kekecewaan dari PK1 karena anaknya hanya makan, main, tidur saja dan enggan untuk bekerja. Setelah menderita gangguan jiwa, PP1 pernah bekerja di proyek pembangunan dan baru sehari sudah tidak mau ikut lagi. PK1 enggan untuk menanyai anaknya karena khawatir dapat membuatnya kambuh.

“Mmm... nanti kalo diajak ngomong, ndak, dahhh. Saya diamkan saja, mbak, nanti ndak, nanti ndak pikirannya geser lagi gitu lho. Saya ndak pernah ngomong-ngomong, aku cuma ngomong, “Obate lek diombe.” Ya gitu. Setiap sudah saya siapkan obat, “Gaweke wedhang, mak.”

“Ya.”.”(PK1W1, hlm.21)

PK1 mengakui bahwa gangguan yang dialami oleh anaknya merupakan cobaan dari Tuhan, “Udah, semoga cuma anak saya aja to, mbak. Semoga

(26)

gitu aja…. (PK1W1, hlm.20)”. Hal ini serupa dengan PK2 yang meyakini bahwa kondisi gangguan jiwa yang dialami anaknya selain karena gangguan saraf, juga cobaan dari Tuhan sehingga ia mengaji bersama anaknya di daerah Blotongan setiap malam Jumat. Gangguan saraf diyakini PK2 membutuhkan proses pemulihan yang lama yang informasinya diperoleh dari tenaga kesehatan di puskesmas. Begitu pula PP2 yang meyakini gangguannya karena gangguan saraf seperti yang dikatakan oleh dukun yang juga tetangganya. Ia tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu mengenai gangguannya karena merasa takut.

“Tentang penyakitnya (volume suara pelan). Keliatannya ndak pengen tau. Ndak pengen tau. Hehehe (tertawa). Takut gitu (PP2W1, hlm.27)”.

Namun demikian, pada kedua keluarga ini, kedua penderita masih rutin menjalani medikasi dengan mengonsumsi obat. PK2 sendiri meyakini anaknya berbeda dengan orang dengan gangguan jiwa pada umumnya yang ia amati sehingga ia berusaha mencari tahu untuk mengupayakan kesembuhan anaknya seperti saat ia meminta bantuan penulis mengenai informasi terapi ataupun penanganan yang bisa ditempuh oleh anaknya kepada dosen penulis.

Perspektif Penyembuh Alternatif

Pemahamanan mengenai gangguan jiwa yang dikaitkan dengan makhluk supernatural dan secara medis

PA1 dan PA2 meyakini penyebab dari gangguan jiwa karena adanya makhluk supernatural atau non-medis dan gangguan pada sistem saraf atau medis. Menurut PA1 tingkat keparahan gangguan supernatural dibedakan dari tertinggi hingga terendah berdasarkan sumber gangguannya yaitu raja ifrit, ifrit, iblis, jin, dan bangsa lelembut lainnya. Kemungkinan gangguan dari bangsa iblis lebih besar dibanding dengan bangsa jin karena iblis “berkeliaran” di sekitar manusia sedangkan jin berada di tempat tertentu. Gangguan bangsa iblis menyebabkan gangguan jiwa total dan bangsa jin menyebabkan gangguan jiwa separo-separo yang perbedaannya terletak pada kendali diri penderita. Sementara gangguan saraf dapat dibuktikan dengan scanning yang menunjukkan kerusakan pada saraf-saraf penderita dan ia tidak mendukung penggunaan obat karena akan berdampak pada

(27)

munculnya penyakit baru setelah makhluk supernatural keluar. Adapula, kecerobohan, keterbatasan manusia, gangguan dari orang sekitar serta keimanan yang kurang juga menjadi penyebab lainnya. Usia rata-rata seseorang mengalami gangguan jiwa adalah usia balig yaitu sekitar belasan tahun yang dikaitkan dengan dosa yang sudah ditanggung individu yang memiliki perangai, kebiasaan buruk yang belum diperbaiki, pengalaman terbatas dalam menyelesaikan masalah, dan keimanan yang kurang.

“Nah, makanya, jadi, apa, ....kok kebanyakan orang yang sakit jiwa itu bukan, apa, disebabkan adanya faktor X.... karena memang .... iblis itu ya. Jadi iblis itu kan memang suka, jadi, seakan di situ memberikan tawaran-tawaran, lewat bisikan-bisikan, itu agar apa...., katanya kan gitu, agar masalahnya selesai, jadi dibisiki begini, begini, begini, begini, begini kan gitu……...Tidak ada tempat untuk bercerita, kan gitu…..” (PA1W3, hlm.3)

Gangguan supernatural menurut PA2 bersumber dari bangsa jin, setan dan dukun. Seseorang dapat menjadi tidak memiliki kendali dan nampak tidak memiliki akal serta melakukan hal yang bertentangan dengan aturan manusia, tak jarang mereka juga dapat melukai dirinya sendiri. Dukun diyakini dapat memberi kematian, gangguan jiwa dan penyakit sesuai permintaan kliennya. Saraf juga merupakan penyebab lainnya yang disadari PA2 sebagai keterbatasan terapi ruqyah karena penderita membutuhkan terapi obat, asupan gizi yang memadai, dan terapi yang dapat memberikan dampak kejut. Selain itu, satu atau dua gangguan dari jasmani, rohani dan akal manusia menurut PA2 juga berperan menjadi penyebab lainnya.

Diagnosis yang dilakukan oleh penyembuh pada penderita

Aura yang dirasakan atau “rasa” digunakan PA1 dalam menentukan gangguan pada penderita. Rasa panas api yang tinggi dikaitkan dengan gangguan bangsa jin dan mereka tidak dapat memasuki atau berada di luar tubuh seseorang serta tidak dapat menguasai pikiran sehingga pasien masih memiliki separuh kendali dirinya. Sedangkan gangguan iblis dapat mengendalikan pikiran seseorang yang dimasukinya, dan terkadang diikuti perasaan tak nyaman, terkadang pula

(28)

tidak disertai dengan perasaan apapun. Iblis dapat masuk dengan berbagai cara, terkadang PA1 merasa terganggu pernapasannya sehingga terasa sesak, gangguan pada titik-titik napsu seperti ketidaknyamanan yang dirasakan sekitar dada. “Rasa” yang ditangkap ini bukanlah insting yang kepastian akan kebenaran masih 50:50 melainkan diperoleh dengan melakukan ibadah juga ajaran-ajaran Islam dengan tulus sehingga berdampak pada hati yang bersih dan menghasilkan kepekaan yang akhirnya membuat PA1 lebih mawas diri juga dapat membantu PA1 untuk “merasakan” keberadaan hal supernatural di sekitarnya.

Gejala yang dinampakkan penderita gangguan jiwa total seperti mudah marah dan mudah tersinggung sehingga mengamuk, berteriak-teriak, tertawa-tawa sendiri, sifatnya sombong, serta nampak melamun. Ketika melamun, diyakini penderita sedang dibawa ke alam iblis sehingga mereka tertawa atau tersenyum sendiri. Sedangkan gangguan jin dapat menyebabkan penderita mengamuk yang disebabkan rasa sakit karena jin biasanya meminta gendhong sehingga bagian tubuh tertentu terasa berat.

PA2 mendiagnosis penderitanya dengan menanyai keluarga dan penderita mengenai kewajiban seorang Muslim seperti ibadah yang dilakukan penderita dan hal yang berkaitan dengan lima rukun Islam sehingga ia dapat menentukan apakah gangguan tersebut berasal dari gangguan supernatural dan psikologis atau medis. Perilaku yang nampak pada seseorang dengan gangguan supernatural antara lain berlari, nampak gelisah, tidak tenang saat masuk rumah PA2, dan matanya akan melotot saat bersalaman dengan penyembuh. “…Dihalusi kan, itu sudah, matanya

sudah, itu merah, sudah mau ngamuk saja kan. Baru itu sudah, Insyaallah ini memang baru diganggu. Saya gitu, langsung menyimpulkan… (PA2W1, hlm.13)”. Ketika medis atau psikologis sebagai sumber gangguan, maka diyakini terdapat setidaknya satu unsur dari tiga unsur pada individu yang bermasalah, unsur rohani yang tidak sehat atau bermasalah mengakibatkan seseorang merasa tidak tenang, penasaran, galau berlebihan dan akan mencari sesuatu yang membuat hati menjadi tenang. Berbeda ketika jasmani yang mengalami gangguan, yang nampak misalnya ketika seseorang hanya bisa berbaring dan tidak berbuat

(29)

apa-apa, yang cenderung tidak puas terhadap diri sendiri. Satu unsur lainnya adalah akal di mana seseorang akan cenderung melakukan aktivitas dengan tidak benar seperti melakukan ibadah sholat dengan tidak benar.

Penanganan yang berfokus pada penyembuhan penderita yang dikaitkan dengan hal supernatural

Tenaga dalam, zikir, mandi malam dan atau mandi tobat, serta media air digunakan PA1 untuk mengeluarkan supernatural. Dalam penyembuhan, bacaan yang digunakan bersumber pada petunjuk yang diterima dan tidak bergantung pada doa-doa tertentu. Petunjuk tersebut diperoleh PA1 dengan melakukan ibadah dan ajaran-ajaran agama dengan ketulusan dan keikhlasan. Dua hal tadi juga menjadi faktor utama dalam setiap penanganannya. Dalam praktiknya, PA1 banyak menangani rawat jalan, namun rawat inap diberikan sejauh keluarga mendampingi penderita. PA1 meyakini ada hubungan antara hilangnya makhluk supernatural yang diikuti dengan perasaan nyaman atau “plong” dengan

kesembuhan penderita dan disebut sembuh total.

Penanganan pertama untuk mengusir gangguan supernatural dari diri penderita dilakukan dengan tenaga dalam. Penanganan yang dilakukan sekali biasanya karena penderita hanya ketempel atau tingkat gangguan supernatural-nya rendah, sedangkan kekuatan dan tingkatan supernatural yang tinggi dapat dilakukan berulang kali bahkan sampai menahun. Terkadang makhluk supernatural keluar dari diri penderita setelah ditarik dengan tenaga dalam, namun kadang kekuatan tersebut dapat semakin besar karena makhluk supernatural dengan tingkat tinggi baru mengeluarkan kekuatannya setelah tingkatan yang rendah “kalah”. Oleh karenanya, ada dua kemungkinan dalam proses ini. Metode lainnya adalah berzikir yang dilakukan dengan mengingat dan menyebut nama Tuhan serta mengikuti petunjuk yang PA1 terima. Ketika penderita masih belum stabil, ia diminta untuk membaca doa dan berzikir yang maksudnya untuk melatih konsentrasi. PA1 tidak berpatokan pada doa-doa tertentu karena diyakini doa berkesan memerintah Tuhan yang dapat memperburuk keadaan penderita dan juga menyekutukan Tuhan yang akan mendatangkan makhluk supernatural dan bukan

(30)

kekuatan kesembuhan dari Tuhan. “...Karena tidak perlu kita meminta secara

khusus. Pada waktu kita berzikir dengan ketulusan itu pun akan berpengaruh pada faktor X... Karena itu sudah menjadi hukum alam. Bila kebenaran itu datang, maka batilan itu akan hancur… (PA1W2, hlm.29)”. Petunjuk yang terima selalu diilhamkan melalui hati yang datang secara spontan, juga dapat muncul sebagai suatu fakta kejadian tertentu yang disertai perasaan nyaman, lega dan tenang. Oleh karena itulah, setiap penanganan yang diberikan PA1 beranekaragam dan tidak semua metode digunakan pada satu penderita serta antarpenderita dapat berbeda satu dengan yang lain.

Mandi malam dilakukan selama 1-2 jam setelah pukul 24.00 untuk penderita yang masih belum stabil yang kendali dan kesadaran diri masih rendah sehingga diharapkan dapat mengeluarkan makhluk supernatural. Selain itu, penderita yang masih parah akan dilakukan setiap malam dan kedinginan merupakan tanda kalau ia mulai sembuh. Aliran air deras yang dipancurkan di atas kepala diyakini dapat menghidupkan kembali saraf-saraf terutama bagi penderita yang terbukti mengalami kerusakan pada sarafnya di mana terdapat iblis yang takut terhadap air sehingga dapat menghilangkan makhluk supernatural. Mandi tobat dilakukan hampir sama dengan mandi malam, bedanya penderita sudah stabil, sadar, dan tak ada patokan durasinya. Penderita diminta beristighfar serta memohon ampunan atas kesalahan yang dilakukan sehingga diharapkan penderita bersih baik raga dan batinnya. Selain secara medis diyakini baik untuk tubuh, mandi setelah jam 24.00, mandi tobat pada jam ini dipandang memiliki kesungguhan karena niat yang lebih.

Bagi penderita rawat jalan, dilakukan melalui media air dengan mengadu kepada Tuhan sehingga diperoleh petunjuk seperti membaca 2 (dua) kalimat syahadat yang ditiupkan pada air putih tersebut. Penderita diminta untuk mengonsumsinya di pagi dan sore hari, dan tidak ada takaran yang ditetapkan serta tidak ada yang perlu dilakukan penderita sebelum meminumnya. Air ini lebih baik diminum dua kali dalam sehari, namun jika tidak bisa dua kali, maka lebih baik satu kali dan diminum pada sore. Konsumsi di pagi hari dapat

(31)

memberikan pencerahan serta membawa kesadaran pada penderita dan sore hari untuk mencegah masuknya makhluk supernatural karena menjelang magrib, iblis sering keluar berkeliaran.

Metode PA2 untuk mengeluarkan makhluk supernatural antara lain dengan ruqyah, media air serta pengobatan herbal dengan media daun Bidara atau minyak Sidr dan kurma Ajwa. Bacaan terapi ruqyah mengacu pada doa dan bacaaan tertentu dalam Al-Quran. Penanganan yang dilakukan hanya sebatas rawat jalan yang dilakukan di suatu ruangan di rumahnya. Dalam menentukan kesembuhan, ia mengacu pada laporan penderita, selagi penderita merasa tidak nyaman, maka ia dapat terapi kembali.

Terapi ruqyah syariyah digunakan oleh PA2 dalam menangani penderitanya yang merupakan jampi-jampi yang dianjurkan oleh agama dan niatnya hanya diarahkan kepada Allah. Dalam pelaksanaannya, pertama-tama dilakukan wudhu, setelah itu makhluk supernatural dalam diri penderita diberikan peringatan lewat bacaan-bacaan ruqyah saat orang tersebut tidak sadar sama sekali. Makhluk supernatural diperingatkan mengenai azab Allah yang pedih sehingga diminta untuk segera bertobat. Kendati peringatan tak selalu memberikan jera, PA2 biasanya berdakwah dan memperingatkan kembali mengenai azab bangsa mereka, yakni bangsa kafir akan terkena azab api neraka. Ketika mereka mau bertobat, maka Allah akan memberikan jaminan surga dan akan mendapatkan hidayah atau bimbingan Allah. Kemungkinan makhluk supernatural itu masih menantang pernah ditemui PA2 dan ia memberikan “pukulan” tertentu dengan menyebut nama Allah selain juga dapat diberikan air yang sudah didoakan. “…Nah, kalo yang masih betul-betul sulit, ya boleh,

pukulan tertentu. Pukulan di sana, menyebut nama Allah terus kemudian dengan pukulan ringan tu, bagi mereka sudah dipukul sekeras-kerasnya…(PA2W1, hlm.12)”. Selama terapi ruqyah berlangsung, penderita diminta untuk mendengarkan penyembuh membacakan bacaan ruqyah secara berulang-ulang untuk terus mengingatkan makhluk supernatural. Keluarga dilibatkan terutama dalam membantu memegangi tubuh penderita ketika meronta yang merupakan

(32)

respons makhluk supernatural selain berteriak dan mengkritik pelafalan penyembuh ketika ia membacakan bacaan ruqyah kepada penderita tersebut. Oleh karenanya, diperlukan keikhlasan pada diri penyembuh juga penderita yang memasrahkan ikhtiarnya pada penyembuh karena diyakini dapat berdampak pada proses penyembuhan. “…penderita itu betul-betul memasrahkan ikhtiarnya

kepada apa, terapisnya, sehingga te, terapisnya sebagai wasilah memohon doa kepada Tuhan-nya untuk memohon kesembuhan (volume suara pelan)… (PA2W1, hlm.6)”. Keikhlasan menjadi faktor utama dalam penyembuhan yang dilakukan PA2. Upaya lain dalam kesembuhan penderitanya yaitu berserah kepada Tuhan dengan mendoakan mereka saat melaksanakan sholat lima waktu.

Minyak Sidr atau daun Bidara dan Kurma Ajwa juga diminta untuk dikonsumi sebanyak 7 (tujuh) buah yang dipercaya dapat menghindarkan penderita dari gangguan supernatural karena bangsa mereka membenci dan mereka tidak akan kuat sehingga metode ini diyakini sangat manjur. Penderita yang mengalami gangguan karena perantara dukun dapat memuntahkan benda-benda tidak lazim seperti paku, kawat, kawat berkarat setelah ia mengonsumsi kurma Ajwa maupun minyak Sidr atau daun Bidara dan ketika dilakukan rontgen, nampak benda-benda itu bersarang di tubuh penderita.

Penanganan untuk mencegah kekambuhan penderita dengan pendekatan keagamaan

Pembinaan rohani diberikan PA1 untuk pencegahan kekambuhan penderita yang dilakukan dengan ketulusan, keikhlasan sebagai faktor utama sehingga kekuatan Allah datang untuk memberikan kesembuhan penderita yang juga menjadi dasar utama untuk setiap penanganannya. Penderita rawat inap yang sudah stabil, sadar atau sudah dapat menerima informasi, terutama yang beragama Islam akan diajarkan 5 Rukun Islam. Penyembuh mengajarkan cara menyebut dua kalimat syahadat dengan benar yaitu dengan tulus, memaknai juga mengakui ke-Esa-an Tuhan, menyimpan dalam hati dan menghasilkan perasaan tentram, nyaman dan nantinya memiliki kekuatan dalam menghadapi permasalahan. Dengan metode ini diharapkan seseorang tidak akan menyekutukan Tuhan yang

(33)

menjadi faktor proteksi agar tidak terlena goda dan rayu iblis serta menjadi dasar untuk tahap selanjutnya, yaitu cara-cara beribadah yang benar. Penderita diajarkan cara wudhu serta tata cara berdoa yang benar sehingga mengakui Tuhan sebagai pegangan hidupnya dan ketika mendapatkan masalah maka penderita akan langsung mengadu kepada Tuhan saja untuk memohon pertolongan. Selain itu, penderita diajarkan berzikir dan memohon ampunan yang benar. Pada pembinaan rohani ini, diperlukan “rasa membutuhkan” pada penderita yang akan diyakini dapat memengaruhi proses. Penyembuhan pada penderita non-Muslim dilakukan dengan metode yang sama dengan niat dan tujuan yang diarahkan kepada Tuhan serta mengajarkan ketulusan dan keikhlasan.

“Nah, makanya kenapa, makanya pentingnya membangun keimanan kepada Tuhan di situ. Jadi termasuk untuk menanggulangi agar tidak mudah terkena gangguan. Lha faktor X itu kan cenderung akan mengajak kita lari dari Tuhan. Itu faktor X. .... Rata-rata itu mengajak kita agar lari dari? Tuhan. Kalo kita sudah lari dari Tuhan, otomatis mudah diperdaya. Mudah dikelabuhi, makanya otomatis untuk penanggulangannya untuk pembinaan keimanan kepada Tuhan, kepada Allah.” (PA1W1, hlm.11)

PA2 meminta penderita dan keluarganya melakukan ruqyah mandiri dengan diberikan doa-doa yang nantinya akan dibimbing oleh keluarga di rumah. Ketika penanganan ini dilakukan secara tidak langsung keluarga memberikan perhatian pada anggota keluarganya yang mengalami gangguan dan menunjukkan ikhtiar maksimal yang akan berdampak pada kestabilan atau menjaga kondisi penderita sehingga tidak kambuh. Penyembuh mengharapkan adanya istiqomah yakni istiqomah rajin dalam beribadah dan membaca doa serta mengontrol diri. Pengajaran yang dilakukan PA1 dan PA2 dalam mengupayakan agar penderita tidak kambuh karena menyadari, terutama penderita perempuan yang mengalami menstruasi cenderung rentan terpapar gangguan supernatural karena mereka dalam kondisi kotor dan diibaratkan pintu yang terbuka lebar untuk datangnya gangguan supernatural. “….kalo perempuan, kalo lagi, sering, haid-nya misal

kan, haid, orang haid itu kan posisi baru, ibarat pintu terbuka lebar gitu. Dan mudah sekali mereka keluar-masuk… (PA2W1, hlm.20)”.

(34)

PEMBAHASAN Perspektif Keluarga dan Penderita

Dalam pengambilan keputusan berobat, beberapa hal turut berperan seperti ketidaktahuan keluarga pada kedua partisipan pengasuh mengenai deteksi awal gangguan jiwa yang mengarahkan pada pemahaman dan tindakan yang kurang tepat seperti membawa ke pengobatan alternatif atau terlambat mendapat tritmen medis. Selain dari itu, sosial budaya, SES (Ismail, 2015), pengalaman masa lalu, pengetahuan, tradisi (Asi, Saragih, & Ranimpi, 2018), usia, jenis kelamin, sikap, sumber informasi dan ketersediaan serta keyakinan atau kepercayaan (Ervina & Ayubi, 2018) mengambil andil pada persepsi sakit dan memengaruhi pemilihan pengobatan alternatif pada masyarakat. Konsep penyakit menurut tradisi Jawa mengarahkan pada pemahaman penyakit karena adanya guna-guna (Yitno, 1985 dalam Sudardi, 2012), melakukan perbuatan amoral serta kurang iman (HRW, 2016), juga kerasukan setan dan kutukan yang sering dikaitkan dengan gangguan jiwa (Sarwono & Subandi, 2013). Masyarakat cenderung merespons masalah kesehatan berdasarkan kebiasaan masyarakat yang sesuai dengan norma dan nilai mereka (Singh, 2011). Banyak keluarga penderita yang mencari ahli agama, tokoh masyarakat, serta dukun dalam menghadapi masalah psikologis (Subandi & Utami, 1996). Pengalaman yang dimiliki oleh PK2 dan keyakinan karena pernah melihat langsung gangguan supernatural pada neneknya yang perot bahkan sampai meninggalnya dan muazin yang berhasil menyembuhkan penderitanya berperan dalam pengambilan keputusan ditempuhnya pengobatan alternatif. Selain itu, ketersediaan atau tersedianya pengobatan alternatif baik di dekat maupun jauh dari tempat tinggal juga memberikan peran, di mana kedua keluarga tetap menempuh pengobatan di daerah yang jauh dari rumah.

Ketika pertama kali mengetahui salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa macam respons keluarga dapat berupa bingung, susah atau sedih, kasihan, malu, kaget, jengkel, merasa terpukul dan tidak tenang, yang mana mereka tidak tahu bagaimana cara mengatasi situasi kritis yang dihadapi (Subandi & Utami 1996). Namun demikian, kedua keluarga partisipan tidak pasif dalam menghadapi situasi tersebut yang dapat disebabkan karena budaya Jawa

(35)

dan agama Islam yang mereka anut di mana ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa setiap “penyakit ada obatnya” yang mendorong manusia untuk berusaha mendapatkan kesembuhannya (Utami, 2017). Selain itu, peran orang sekitar seperti keluarga dan tetangga juga berpengaruh di mana seseorang dalam kondisi dan situasi ini umumnya sangat suggestible sehingga berbagai saran yang diberikan oleh sekitar akan dilakukan untuk memperoleh kesembuhan (Subandi & Utami 1996).

Pengalaman langsung PK2 mengenai kesembuhan penderita setelah mendapatkan bantuan penyembuh alternatif membentuk keyakinannya akan manfaat atau dampak yang baik ketika ia berperilaku sehat yang mana dipersepsikan dengan menempuh pengobatan alternatif, yang menurut teori yang dikembangkan Hochbaum, health belief model (Hayden, 2014) disebut dengan

perceived benefits. Suatu keyakinan akan manfaat atau memberikan dampak yang baik untuk menurunkan risiko penyakit jika ia mengubah perilakunya. Tidak adanya riwayat dalam keluarga dan ketidaktahuan informasi mengenai gangguan jiwa, tidak mengarahkan kedua keluarga pada pengobatan medis melainkan pengobatan alternatif. Setiap ritual yang diminta oleh penyembuh alternatif dilakukan oleh pengasuh dan penderita, hal ini karena pengasuh mempersepsikan dampak positif (perceived benefits) yaitu kesembuhan ketika melakukan anjuran atau ritual yang diminta dilakukan oleh penyembuh alternatif seperti membagikan beberapa macam jajanan kepada anak-anak kecil di sekitar rumah keluarga 1, PK1 mengambil dan PP1 diminta untuk meminum air dari sumur masjid, meminum air yang sudah didoakan penyembuh alternatif, melakukan syukuran dengan syarat tertentu pada keluarga 1, mandi kembang setaman yang dilakukan oleh PP2, lalu berdoa di makam keramat oleh keluarga 2.

Informasi yang diperoleh merupakan suatu cues to action bagi kedua keluarga penderita untuk menempuh pengobatan, terutama pengobatan alternatif supernatural, yang hampir semua informasi diperoleh dari pihak keluarga dan tetangga, walaupun PK1 juga mengetahui dan menempuh pengobatan di penyembuh alternatif yang berada di dekat rumahnya. Cues to action dapat berupa

(36)

kejadian, orang, dan hal-hal yang mendorong seseorang untuk mengubah perilakunya, yang terjadi pada kedua keluarga penderita, informasi bersumber dari tetangga, begitu pula yang akhirnya mendorong PP1 memperoleh pengobatan medis. Sedangkan pada PK2, ia mempersepsikan keparahan (perceived severity), yaitu suatu keyakinan personal mengenai keseriusan atau keparahan dari suatu penyakit dan PK2 mempersepsikan kerentanan (perceived susceptibility), persepsi mengenai risiko yang akan diterima atau kerentanan mengenai suatu penyakit yang mana merupakan bentuk persepsi yang paling memberikan dampak untuk mengadopsi perilaku sehat. PK2 melihat kondisi penderita yang tidak mendapatkan hasil setelah menempuh beberapa pengobatan alternatif dan perilaku dipersepsikan semakin parah di mana penderita naik ke atas atap mobil dan hampir telanjang. Selain itu, pengasuh juga mempersepsikan penyakit saraf yang dapat dialami oleh penderita setelah beberapa pengobatan alternatif gagal membuahkan hasil.

Dalam mencari bantuan, seseorang dapat berpindah dari profesional satu ke profesional lain atau sebaliknya bagi pengguna bantuan non-profesional, dari dukun satu ke dukun lainnya. Namun pada akhirnya orang beralih ke tenaga profesional. Hal ini merupakan hasil evaluasi penderita terhadap pengobatan atau bantuan yang telah diperoleh (Subandi & Utami, 1996) yang disebut John Janzen (dalam Nyanto, 2015) dengan proses sosial. Hal ini juga nampak pada kedua keluarga penderita yang melibatkan peran orang sekitar dalam proses pengobatan yang ditempuh terutama pada keluarga penderita pertama pada hampir semua pengobatan yang ditempuh dan keluarga dua karena hasil evaluasi dari pengobatan alternatif yang tidak memberikan dampak yang akhirnya membawa penderita untuk memperoleh pengobatan secara profesional atau medis yang biasanya sudah dalam kondisi yang parah seperti yang disampaikan oleh PK2.

Kedua keluarga partisipan sudah menempuh dan mengusahakan pengobatan selama lebih dari 10 tahun dan bentuk perilaku coping pada umumnya akan berubah menjadi lebih emosional dan bersifat pasrah serta transendensi dengan anggapan bahwa gangguan merupakan cobaan dari Tuhan dan meyakini

(37)

bahwa gangguan tidak dapat disembuhkan secara total (Subandi & Utami, 1996). Mereka cenderung menumbuhkan sikap narimo ing pandum yang sesuai dengan nilai yang ada di Jawa yang mana bersyukur, sabar dan menerima sebagai unsur-unsurnya (Prasetyo & Subandi, 2014). Pengasuh kedua keluarga bersyukur atas kondisi penderita saat ini walaupun PK1 juga mengeluhkan penderita yang hanya main, makan dan tidur saja, namun ia bersyukur akan kondisi PP1 terlepas dari hal tadi. Keluarga lebih mencari makna positif dari pemasalahan dan fokus pada pengembangan diri dan hal-hal yang bersifat religius, mereka lebih berusaha menerima dengan ikhlas masalah yang muncul (Wanti, Widianti. & Fitria, 2016). PK2 yang mengarahkan penderita untuk mengaji dan sholat rutin dan PK1 yang juga rutin atau aktif mengikuti pengajian yang diadakan di kampungnya.

Dukungan keluarga memberikan dampak pada kemenurutan atau kerutinan minum obat pada penderita sehingga dapat mencegah kekambuhan (Yatiningsih, 2016). Pada keluarga ini, mereka meyakini bahwa dengan penderita minum obat kondisinya menjadi baik seperti tidak mudah marah, tidak pergi dari rumah dan tidak diam melamun, dan ketika terlambat dapat menyebabkan kekambuhan sehingga ia hanya memastikan obat tidak boleh terlambat yang serupa dengan temuan Subandi dan Utami (1996) pada keluarga penderita skizofrenia mengenai evaluasi mereka terhadap medikasi. Berdasarkan penjelasan Bandura (1989), dengan learning by doing, apakah tindakan atau aksi bekerja atau tidak, seseorang akhirnya menyusun suatu konsepsi dari pola-pola perilaku baru dan kapan itu tepat untuk dilakukan. Namun demikian, edukasi pada kedua keluarga mengenai gangguan yang dialami oleh penderita masih kurang yang mana mereka masih tidak tahu nama serta gejala dari gangguan yang dapat mengarahkan masyarakat tetap berdiri pada perspektifnya masing-masing (Putri, Wibhawa, & Gutama, 2015). Hal ini yang juga menjadi salah satu alasan mengapa PK1 meminta bantuan pada kiai ketika anaknya tidak mau minum obatnya.

Walaupun kedua penderita rutin mengonsumsi obat, PP1 nampak menghindar pada tenaga kesehatan seperti tidak mau mengikuti rawat jalan dan pergi keluar ketika hendak dijemput oleh pihak puskesmas untuk mengikuti

(38)

kegiatan puskesmas. Begitu juga PP2 yang walaupun rutin rawat jalan, namun ia takut menghadapi kondisi atau mengetahui informasi mengenai gangguannya dan cenderung tidak mau mencari informasi mengenai gangguannya. Minimnya informasi bahkan ketidaktahuan keluarga juga penderita mengenai gangguan penderita tentunya memberikan dampak pada perawatan dan rehabilitasi penderita. Mengingat pada gangguan skizofrenia terdapat gejala, terutama halusinasi di mana terdapat situasi atau pikiran tertentu yang menjadi pencetus munculnya gejala tersebut dan bersifat intermittent (Suryani, 2013). Untuk itu dengan mengetahui informasi mengenai gangguan dengan tepat terutama tanda gejala, pengasuh atau keluarga dapat mengontrol kondisi penderita (Suryani, Komariah, & Karlin, 2014).

Perspektif Penyembuh Alternatif

Keyakinan dan praktik penyembuhan merupakan bagian integral dalam kehidupan masyarakat (Nyanto, 2015), dan apa yang dilakukan oleh penyembuh saat menyembuhkan tak terpisah dari keyakinan dan praktik keagamaan mereka (Mbiti, 1969 dalam Nyanto, 2015). Mardliyah (2016) menerangkan seorang sufi atau penyembuh memberikan pelayanan kepada orang lain dengan rasa syukur karena mendapatkan kesempatan melayani orang lain, sehingga ketulusan dan keikhlasan menjadi dasar ataupun faktor utama kedua penyembuh dalam pengobatannya. Sikap dan perilaku penyembuh yang ramah, perhatian, mau mendengarkan keluhan serta rasa kekeluargaan menciptakan kenyamanan baik secara fisik maupun psikologis yang mendorong individu untuk melakukan pengobatan di tempat mereka (Pemana, 2012). Oleh karenanya, penyembuh (medicine men) memainkan peran penting dalam penyembuhan di suatu masyarakat (Feierman, 1990 dalam Nyanto, 2015).

Kedua penyembuh yakin bahwa gangguan supernatural merupakan penyebab utama gangguan jiwa atau disebut dengan faktor personalistik (Foster & Anderson dalam Sudardi, 2012) di mana gangguan disebabkan karena adanya agen seperti dewa, lelembut, makhluk halus, dan manusia. Kebiasaan buruk yang tidak diperbaiki menjadi lebih baik seperti mendekatkan diri pada Tuhan dan

Referensi

Dokumen terkait

〔商法五九六〕株主総会に取締役解任議案を提出するための取締役会決議において、解任対象の

Dari definisi-definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa ekspor adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan mengeluarkan barang atau jasa dari

menunjukan bahwa; 1) pelaksanaan program PKB di kota Tebing Tinggi terlaksana melalui perintah secara pesan lisan oleh Kepala Sekolah kepada guru PJOK mengenai pengaktifan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai bagaimana pengaruh citra merek (brand image) dan kepuasan pelanggan (customer

Dari pernyataan ini, menjadi semakin jelas bahwa, pembedaan konsep nature dan nurture atau kodrati dan bukan kondrati sebagai penolakan atas sifat-sifat nature atau kodrati yang

Nilai rata-rata siswa yang diberi tes preliminary lisan yang memiliki kemampuan generik sains tinggi sama dengan 71,4 lebih tinggi dari hasil belajar fisika

Perlu dilakukan analisis penetrasi garam dalam telur asin yang di inkubasi dengan berbagai media yang biasa digunakan oleh masyarakat dan menggunakan garam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Harapan Mahasiswa Terhadap Kualitas Pelayanan Perpustakaan Jurusan pada Bidang Rekayasa dan Non Rekaysa di Politeknik Negeri Sriwijaya .... 4.2