• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Tinjauan kepustakaan berisi tentang pendapat dan analisis dari beberapa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Tinjauan kepustakaan berisi tentang pendapat dan analisis dari beberapa"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Tinjauan kepustakaan berisi tentang pendapat dan analisis dari beberapa penulis, ahli maupun pakar dalam bidang tertentu. Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari tinjauan kepustakaan yang didasarkan pada beberapa sumber sejarah dan disiplin ilmu sosial seperti Sosiologi, Ekonomi, dan Antropologi. Dalam bab ini penulis memaparkan beberapa literatur yang digunakan sebagai acuan berpikir terhadap penulisan skripsi yang berjudul “Perkembangan Kesenian Tari Topeng Gegesik di Kecamatan Gegesik Kabupaten Cirebon pada tahun 1980-2000 (suatu kajian historis sosial budaya)”.

2.1Pengertian Kesenian

Buku pertama yang digunakan adalah karya Harsojo yang berjudul Pengantar Antropologi (1984). Buku ini menjelaskan tentang pengertian kesenian yang dalam pengertian sehari-hari istilah kesenian dan kebudayaan sering diartikan sama. Padahal berdasarkan pemikiran ilmu sosial, kesenian terkandung nilai-nilai, norma, pengetahuan dan kepercayaan yang terintegrasi dalam kebudayaan sehari-hari masyarakat guna mencapai tujuan idealnya. Tujuan utamanya adalah menambah interpretasi dan melengkapi kehidupan. Ada kalanya pada suatu waktu dijadikan alat bantu untuk tujuan lainnya, seperti perjuangan, agama, propaganda simbolisme dan keharmonisan tatanan kemasyarakatan. Kesenian juga merupakan ciri-ciri universal manusia, artinya setiap manusia

(2)

secara naluriah mempunyai rasa seni. Hal tersebut menyebabkan setiap individu mempunyai bakat untuk mencipta seni, karena berkesenian merupakan kebutuhan setiap manusia.

Sebagai salah satu kebutuhan hidup setiap manusia seni akan terus diciptakan, dipertahankan dan dikembangkan dalam lingkup kehidupannya. Perkembangan seni akan selalu sejalan dan selaras dengan perkembangan kebutuhan dan kehidupan manusia dari dulu sampai masa yang akan datang. Hal ini disebabkan oleh peranan penting manusia sebagai pendukung utama dalam mengembangkan seni dari masa ke masa dan mengakibatkan keberadaan seni dengan kebutuhan kehidupan manusia sangat sulit untuk dilepaskan atau dihilangkan. Hal tersebut ditegaskan Harsojo bahwa:

Meskipun kesenian bukanlah hal “luks” dalam kehidupan manusia tetapi adalah pokok dan penting bagi kehidupan kebudayaan. Kesenian merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan dan integritas, kreativitas kultural, sosial maupun individual (Harsojo, 1984: 223)

Tumbuh dan berkembangnya kesenian dipengaruhi oleh kondisi setempat, sehingga kesenian berbeda-beda di setiap tempat. Kesenian pun menggambarkan budaya setempat dan memberi warna pada masyarakat di tempat itu, serta memberi gambaran umum tentang wujud suatu bangsa. Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat majemuk, pada setiap kelompok muncul berbagai jenis kesenian yang bersifat khas identitas kebudayaan masing-masing.

Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa, berkesenian merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari manusia. Seni juga sering muncul dalam kerja keseharian, misalnya dalam kegiatan keagamaan, sosial dan ekononomi. Seni sering menjadi pengiring dan menjadi hal yang sulit untuk dilepaskan atau

(3)

dihilangkan. Karena buku ini mengkaji mengenai dasar-dasar antropologi maka pengertian kesenian tidak begitu dijelaskan secara spesifik hanya pengertian kesenian secara umum saja.

Berdasarkan pandangan ilmu-ilmu sosial kesenian hanyalah salah satu bagian dari kebudayaan. Namun, jika dilihat dari isi, misi dan visi masing-masing maka kesenian merupakan ekspresi hasrat kebutuhan manusia. Demikian pula dengan anggapan bahwa kesenian merupakan arti sempit dari kebudayaan. Mengandung arti bahwa kesenian merupakan cermin kepribadian dan interpretasi dari nilai-nilai luhur suatu masyarakat.

Kesenian diciptakan oleh manusia pada awalnya tidak semata-semata atas dasar keindahan akan tetapi terdorong oleh suatu kebutuhan untuk memperoleh gambaran, perlambangan dan wujud-wujud tertentu. Kesenian juga sebagai objek yang jelas mudah dikenali dan dipahami oleh mereka dalam melaksanakan kehidupan religious sesuai dengan kepercayaan yang telah diyakininya. Hal tersebut sesuai dengan buku kedua yang digunakan yaitu buku karya Rasjoyo yang berjudul Pendidikan Seni Rupa (1994). Menurut Rasjoyo seni adalah:

1. Seni untuk tujuan keagamaan

Pencipta karya seni yang didasari keagamaan bahwa setiap konsep atau kaidah, aturan atau tuntutan di dalam agama dapt dijadikan sebagai inspirasi, ide atau gagasan, imijanisi atau keinginan untuk mewujudkannnya ke dalam bentuk hasil karya seni. Hasil karya seni tersebut dapat dijadikan sebagai keperluan atau kebutuhan di dalam kegiatan kegamaan (sakral atau religius).

2. Seni untuk tujuan ekspresivitas

Kesenian dapat dijadikan alat atau media untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan pengalaman tersebut ke dalam berbagai karya seni musik, tari, teater dan lain sebagainya. Dengan demikian bahwa ekspresi tersebut ada yang dapat dilakukan secara spontan, ada juga yang dikaitkan dengan kegiatan seni yakni dengan cara melukis, menari, bermain musik dan sebagainya.

(4)

3. Seni untuk tujuan simbolis

Dalam proses penciptaannya karya seni ditujukan untuk memberikan arti atau makna sebagai bentuk perlambangan yang dapat berfungsi dalam kegiatan keagamaan atau kegiatan-kegiatan sosial dalam kehidupan sehari-hari.

4. Seni untuk tujuan kreatif

Dengan menggunakan cipta, rasa dan karsa yang dimiliki setiapa manusia, seni juga bias ditujukan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru sebagai jalan keluar untuk menemukan bentuk-bentuk baru sebagai pengembangan kemampuan dalam mengolah suatu bentuk karya yang sudah ada menjadi suatu bentuk yang baru, unik dan orisinil.

5. Seni untuk tujuan keindahan

Keindahan seni ditujukan untuk menimbulkan rasa senang, rasa haru, rasa terpesona, atau rasa kagum terhadap berbagai hasil karya manusia. 6. Seni untuk tujuan komersil

Sebuah karya seni diciptaka untuk diamati, dipahami, dinilai, dan juga direspon oleh apresiator terhadap karya seni tersebut (Rasjoyo, 1995: 14)

Buku ketiga dan keempat yang dijadikan rujukan penulis adalah buku karya Sakri (1990) dan Kamaril (1998) yang memiliki judul yang sama yaitu Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan Tangan. Dalam buku ini dibahas mengenai pengertian seni berdasarkan pernyataan ahli seni dan filosofi yang memuat rumusan tentang batasan seni. Menurut keduanya meskipun pengertian seni yang meliputi seni rupa, seni musik, seni tari dan seni drama tidak mudah untuk dijabarkan secara sederhana, karena sifat seni yang terbuka dan memiliki kemungkinan-kemungkinan yang berubah-ubah. Berikut ini adalah batasan seni menurut Dewey dalam buku Sakri dan Kamaril:

a. Dewey dalam Sakri (1990:11), mengatakan bahwa kesenian adalah mutu suatu perbuatan serta hasilnya dibuat melibatkan kegiatan lahir batin. b. Kamaril (1998: 15), menyatakan bahwa seni adalah hasil proses kerja atau

(5)

indera, kepekaan hati dan berpikir dalam menciptakan sesuatu yang indah dan selaras. Dalam hal ini, pada pembuatan topeng diperlukan ketrampilan-ketrampilan khusus dan teknik tertentu dalam menyusun unsur-unsur seni rupa baik secara fisik, warna, bidang, dan jenis maupun seperti dalam mengatur komposisi warna, wanda atau karakter topeng.

Berdasarkan pendapat pertama diketahui bahwa kesenian itu tidak hanya berupa wujudnya saja, akan tetapi juga sifat perbuatan pencipta atau penikmat seni terhadap karya seni. Inti dari batasan pertama ini adalah dalam seni terkandung moral dan etika. Pendapat yang kedua menjelaskan bahwa seni tidak hanya sebatas keindahan tetapi seni bersentuhan langsung dengan perasaan dan sifat unik sehingga seni bearti bersifat momumental dan unik. Kelemahan dari kedua buku tersebut adalah lebih banyak mengkaji kesenian secara pedagogik sehingga tidak membahas kesenian secara umum dan detail.

2.2Arti, Bentuk dan Fungsi Topeng 2.2.1 Arti Istilah Topeng

Arti dan asal-usul penggunaan istilah topeng di Indonesia dapat ditelusuri dari beberapa sumber pustaka dan catatan-catatan tempo dulu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tertulis topeng atau kedok adalah penutup muka yang terbuat dari kayu (kertas dan sebagainya) berupa orang, binatang dan sebagainya (Poerwadarminta, 1976: 1087). Sedangkan dalam Ensiklopedia Indoensia dijelaskan dalam Bahasa Jawa, topeng bearti kedok yaitu hasil seni ukir, berupa kedok atau penutup wajah, lazimnya dari kayu berwujud tokoh legendaris,

(6)

wayang dan sebagainya. “Pada umum raut muka pada topeng dibentuk karakteristik (dilebih-lebihkan untuk memperoleh citra yang berkesan” (Shaddly, 1984: 2359). Menurut kata sifat topeng ialah sikap kepura-puraan untuk menutupi maksud yang sebenarnya (Prayitno, 1999: 111).

Kata Topeng dalam Ensiklopedia Tari Indonesia berasal dari kata “tup” yang bearti tutup. Kemudian karena gejala bahasa yang disebut pembentukan kata (formative form) kata tup ini ditambah dengan kata “eng” yang kemudian menjadi tupeng. Tupeng kemudian mengalami beberapa perubahan sehingga menjadi “topeng” kata lain dari topeng di Indonesia dalam bahasa Sunda adalah kedok yang berdekatan dengan wedak sebagai sesuatu yang diletakkan pada muka seseorang (Ensiklopedia Tari Indonesia, 1986: 1996-1997). Buku pertama yang digunakan penulis dalam mengkaji arti dan fungsi topeng adalah buku karya Maman Suryaatmadja berjudul Topeng Cirebon (1980). Menurutnya secara etimologis kata topeng terbentuk dari asal kata: ping, peng, pung dan sebagainya yang artinya ” bergabung ketat kepada sesuatu” (1980: 27).

Dalam buku Suryaatmadja tersebut dibahas mengenai asal-usul munculnya kesenian Topeng Cirebon, penyebarannya, pelaku dan tata cara pembuatan Topeng Cirebon secara detail dan lengkap. Sehingga buku ini memiliki kontribusi yang besar dalam penulisan skripsi penulis. Namun keterbatasan cetakan dan minimnya penulisan buku mengenai kesenian lokal Cirebon menyebabkan penulis mengalami kesulitan dalam membaca buku ini karena kondisi buku yang sudah cukup tua, usang dan lecek sehingga hasil fotokopinya kurang bagus.

(7)

Istilah lain yang berkaitan dengan kata topeng diantaranya terdapat dalam bahasa Sunda tepung (bertemu atau bersambung), napel (melekat, menempel). Dalam bahasa Bali tapel atau topeng artinya terbentuk dari asal kata pel yang bearti melekat pada sesuatu; menempel pada sesuatu. Di daerah Lampung Selatan dikenal istilah “tuping” yang merupakan gabungan dari kata tup (artinya tutup) dan kata pung (artinya merapatkan pada sesuatu atau menekan kepadanya).

Dalam kepustakaan Jawa dan Jawa Tengahan seperti kitab Negara Kertagama (1365 M) dikenal istilah “raket” yang menjelaskan sesuatu permainan tari topeng. Dalam kidung sunda disebut istilah “patapelan” menunjukan kepada pegelaran drama tari topeng, dalam pararaton terdapat istilah “tapuk” dan “anapuk” artinya menari topang (Suryaatmadja, 1980: 27).

Menurut Soedarsono istilah topeng berakar dari kata tapuk yang berarti topeng. Tapuk secara harfiah berarti “menampar” dan biasanya yang dikenai adalah muka. Oleh karena itu, Soedarsono berkeyakinan bahwa matapukan berarti menyajikan tari topeng dan hatapukan berarti penyaji tari topeng.

Untuk sumber kedua yang digunakan penulis adalah tesis karya Usep Kustiawan yang berjudul Topeng Sebagai Bentuk Seni Rupa dalam Kesenian Tradisional Cirebon, dalam tesis tersebut dikatakan bahwa istilah topeng dalam kaitannya dengan asal kata tapuk dan tapel yang berhubungan dengan drama tari topeng terdapat dalam beberapa prasasti dari abad ke-9 seperti pada prasasti Wahara Kuti (840 M) terdapat istilah “atapukan” artinya topeng atau petugas yang berkuasa tentang pertunjukan topeng. Pada prasasti Candi Perot (850 M) tertulis kata “manapel” berasal dari kata tapuk atau tapel yang berarti topeng. Pada

(8)

prasasti Bebetin (896 M) terdapat kata “patapukan” yang berarti perkumpulan topeng. Pada prasasti Mantiasih (904 M) terdapat istilah “matapukan” dan “manapukan” yang artinya berhubungan dengan penyajian drama dari topeng (Kustiawan, 1996: 32).

Memperhatikan asal-usul istilah topeng dan pemakaian asal kata tapuk dan tapel mengarah pada pengertian penutup muka. Maka dapat disimpulkan bahwa pengetian topeng adalah penutup muka hasil seni ukir berbentuk wajah manusia atau binatang yang terbuat dari kayu, logam, kertas dan sebagainya.

2.2.2 Bentuk dan Ukuran Topeng

Dalam perkembangan topeng di Indonesia muncul dalam tiga ukuran yaitu:

a. Topeng Besar

Topeng besar yakni topeng yang berbeda ukuran, posisi dan gerak muka pemainnya atau ukutannya lebih besar daripada ukuran wajah. Termasuk topeng jenis ini yaitu Topeng Reog Ponorogo yang besar dan beratnya 35 kg, ondel-ondel dari Betawi yang posisi topengnya berada diatas kepala dan sebagainya.

b. Topeng Kecil

Topeng kecil yaitu topeng yang ukurannya sesuai dengan ukuran muka. Umumnya merupakan topeng-topeng yang digunakan utuk properti tari atau seni pertunjukan lainnya. Jenis topeng ini ada juga yang disebut setengah muka yaitu yang menutupi bagian muka dari hidung atau bibir sampai ke atas sedangkan

(9)

bagian bawahnya bibir bawah dan dagu merupakan muka pemainnya. Sehingga pemainnya dapat berbicara sendiri dengan bebas.

c. Topeng Barong

Topeng barong ukurannya besar dan menutupi seluruh bagian tubuh pemainnya. Biasanya topeng ini mewakili makhluk pada dongeng dan bentuknya bias alamiah atau aneh. Contohnya Topeng Barongsai dari Tionghoa, Topeng Barong dari Bali dan Topeng Berokan dari Cirebon.

2.2.3 Fungsi Topeng

Berdasarkan sifatnya topeng dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu topeng yang bersifat religiomagis dan topeng yang bersifat profan. Untuk pembahasannya penulis menggunakan buku sumber karya Sal M. Murgiyanto dan A. M Munardi yang berjudul Topeng Malang, Pertunjukan Dramatari Tradisional di Daerah Kabupaten Malang (1980). Dalam buku tersebut dibahas mengenai perkembangan pertunjukan dramatari yang menggunakan topeng sebagai perlengkapan dramatarinya terutama di daerah Malang. Dalam perkembangan topeng secara umum dibahas mengenai asal mula topeng yang kemudian menyebar ke daerah Malang. Buku ini juga memiliki kontribusi yang besar bagi penulis karena memudahkan penulis dalam menganalisis perkembangan topeng di Indonesia selanjutnya. Sedangkan kelemahannya karena buku ini membahas mengenai Topeng Malang maka sudah pasti yang banyak dibahas mengenai perkembangan Topeng Malang saja.

(10)

a. Topeng yang bersifat religiomagis

Topeng jenis ini umumnya berfungsi sebagai topeng upacara atau seremonial, kematian dan hiasan magis. Bentuk topeng ini menggambarkan citra nenek moyang, dewa-dewa, bintang totem, dan siluman. Pemakaian topeng sacral ini hanya ketua adat, dukun atau ahli mantra yang umumnya laki-laki karena jenis topeng ini dianggap memiliki kekuatan magis. Jika tidak dipakai topeng ini harus terbungkus rapi untuk disimpan atau dikeramatkan. Secara garis besar topeng religiomagis meliputi:

1) Topeng sebagai media peragaan dalam upacara

Topeng upacara ini tercipta berdasarkan gagasan yang muncul dari kepercayaan masyarakat primitif terhadap kekuatan nenek moyang atau dewa-dewa yang menguasai alam.

Topeng dalam upacara-upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat primitif, erat sekali hubungannya dengan impresonasi roh-roh dengan perantaraan manusia. Topeng pada mulanya dipakai untuk menyembunyikan identitas asli pemakainya dan bukan semata-mata untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu sebuah lakon (Murgiyanto, 1980: 19). Dalam upacara pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dewa digunakan topeng yang berfungsi sebagai alat untuk memanggil roh nenek moyang atau dewa agar memasuki topeng itu. Ketika para pemuja memakai topeng pada upacara tertentu, masyarakat percaya bahwa roh-roh leluhurnya benar-benar telah hadir menemui mereka untuk member berkah dan kekuatan kepada yang mengikuti upacara tersebut. Dalam perkembangannya pertunjukan topeng ini sering dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam siklus

(11)

kehidupan manusia, misalnya dalam upacara kematian dan kelahiran bayi.

Topeng untuk upacara kematian diciptakan berdasarkan kepercayaan adanya kehidupan setelah mati, dan masih ada hubungannya antara yang masih hidup dengan sudah mati. Untuk menjaga hubungan ini kerabat yang ditinggal membuatkan benda-benda sebagai citra dari yang mati, di antaranya berupa topeng yang dapat menjadi rumah roh yang telah meninggal. Perwujudan topeng sebagai rumah roh dibuat mendekati atau mirip dengan wajah yang sudah mati. Bagi kerabat yang telah ditinggalkan, topeng ini merupakan monument yang mengingatkan mereka terhadap jasad yang sudah mati. Pada waktu-waktu tertentu diadakan upacara untuk memanggil roh yang mati ditengah-tengah mereka melalui sebagai rumahnya. Topeng ini juga dipercaya dapat melindungi yang mati dari gangguan roh-roh jahat dan dapat menuntun kehidupan selanjutnya bagi mendiang.

2) Topeng sebagai hiasan magis

Jenis topeng ini tercipta berdasarkan kepercayaan bahwa raut muka memiliki daya sakti. Bentuk topeng sebagai hiasan magis biasanya menggambarkan citra nenek moyang atau leluhur, dewa, siluman dan berbentuk binatang totem.

Bentuk topeng atau wajah manusia sebagai motif hias sering tampil pada alat-alat upacara kepercayaan biasanya terbuat dari batu. Motif topeng sebagai hiasan magis ini dianggap sebagai bala atau penangkal pengaruh jahat.

(12)

b. Topeng yang bersifat profan

Topeng jenis ini umumnya berfungsi sebagai alat perlengkapan drama tari, pesta atau festival, hiasan dinding, dan sebagai benda tontonan atau pajangan. Bentuk topeng ini menekspresikan wajah tokoh yang bersumber dari suatu cerita. Penggunaannya pada suatu pertunjukan untuk memperkuat adegan tari dan dialog dengan bahasa sehari-hari. Secara garis besar fungsi topeng yang bersifat profan meliputi:

1) Topeng sebagai kelengkapan drama

Topeng drama tari semula tercipta dari kebutuhan alat upacara religious yang digunakan oleh penari. Semula bentuk topeng menggambarkan dewa, tokoh cerita pahlawan dan cerita mitos. Perkembangan selanjutnya topeng ini berfumgsi menggantikan ekspresi wajah penari yang memerankan karakter tokoh tertentu. Kemudahan tari topeng dikemas sebagai tontonan dengan alur cerita dari kehidupan masyarakat.

2) Topeng sebagai alat untuk pesta

Topeng pesta pada awalnya dipakai dalam perayaan religious, hari-hari bersejarah dalam kehidupan manusia sering diperingati dengan pesta topeng. Perayaan ini ada yang sifatnya syukuran, biasanya diiringi dengan puasa, meditasi dan mengucapkan doa-doa. Sedangkan perayaan yang bersifat suka cita misalnya untuk hari ulang tahun, keberhasilan dalam musim panen, suasana terasa meriah dengan diiringi acara tari, musik, parade dan karnaval dengan jamuannya.

(13)

3) Topeng sebagai benda hias

Topeng dekoratif muncul berdasarkan pertimbangan estetis sebagai benda pajangan. Fungsi topeng ini lebih bersifat sekuler karena lebih menekankan pada unsure penikmatan. Termasuk dalam topeng ini ialah topeng cinderamata yang mengandung nilai ekonomis.

2.3Proses Perubahan Pada Tari Topeng 2.3.1 Penyebaran (difusi)

Sebuah kebudayaan pasti akan mengalami sebuah proses perubahan. Perubahan tersebut terjadi diakibatkan oleh adanya banyak faktor diantaranya keadaan masyarakat dimana kebudayaan itu lahir. Salah satu cabang kebudayaan yakni kesenian khususnya seni tari yang telah mengalami perubahan melalui perpindahannya dari satu tempat ke tempat lain yaitu kesenian topeng. Proses penyebaran topeng menggunakan cara bebarang yang berawal dari Topeng Dalang dan Topeng Babakan, seperti yang diungkapkan oleh Narawati (2003: 34) dalam Wajah Tari Sunda sebagi berikut.

Terciptanya tari topeng berawal dari pertunjukan Topeng Dalang dan Topeng Babakan di Cirebon yang disebabkan oleh adanya difusi budaya tari dari Majapahit dan kemudian dari Mataram Islam. Kontak antara tari di Jawa Barat dengan budaya priyayi dan tari Jawa tampak jelas pada masa Kesultanan Cirebon yang bias diamati dari pertunjukan Topeng Dalang, Wayang Wong, serta Topeng Babakan.

Difusi atau lebih dikenal dengan penyebaran merupakan salah satu yang mempengaruhi perubahan terhadap kebudayaan dalam hal ini kesenian Topeng Gegesik. Menurut Frans Boas dalam Narawati (2003: 116) mengungkapkan bahwa proses difusi dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu sebagai berikut:

(14)

1. Symbiotic, dimana penyebaran terjadi diakibatkan adanya pertemuan antara individu yang berbeda kelompok.

2. Penetration Pasifique, dimana penyebaran terjadi melalui penerobosan secara damai, biasanya terjadi antar agama.

3. Stimulus Difllusion, dimana penyebaran meliputi wilayah yang luas melalui pertemuan antar suku.

Secara garis besar pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa difusi merupakan proses penyebaran kebudayaan dari satu daerah ke daerah lain yang dibawa oleh masyarakat pendukungnya yang kemudian akan menetap di suatu daerah dan akan diakui sebagai miliknya. Pernyataan di atas diperkuat oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa difusi adalah sebuah proses penyebaran atau perembesan sesuatu (kebudayaan, teknologi, ide) dari satu pihak ke pihak lainnya . Proses tersebut dialami pula oleh tari topeng yang pada saat ini berada di wilayah Priangan dan merupakan hasil proses penyebaran dari Cirebon. Selain itu juga, merupakan hasil dari difusi yang berasal dari Majapahit dan Mataram Islam yang kemudian di Cirebon diawali dengan adanya Topeng Babakan atau Babaran.

2.3.2 Percampuran atau Penyatuan (akulturasi)

Kebudayaan yang masuk ke dalam suatu daerah melalui proses difusi secara tidak langsung akan menjadi milik masyarakat sekitar. Dalam hal ini proses difusi tersebut masuk dan akan menyatu dengan kebudayaan yang sebelumnya sudah ada, karena daerah yang dimasuki oleh kebudayaan melalui proses penyebaran bukan merupakan daerah yang kosong budaya maka terjadilah sebuah akulturasi budaya. Pada akhirnya oleh masyarakat sekitar dan disesuaikan dengan kebudayaan sendiri namun tidak menghilangkan ciri khasnya dan tercipta kebudayaan yang baru. Proses akulturasi juga terjadi pada kesenian Topeng

(15)

Gegesik yang awalnya merupakan kesenian keraton kemudian dijadikan milik rakyat Cirebon walau masih tetap terlihat adanya ciri khas keraton, baik dari segi koreografi, busana maupun iringan musiknya.

2.4Perkembangan Topeng di Indonesia

Topeng merupakan salah satu hasil dari kebudayaan Indonesia yang telah ada sejak zaman prasejarah. seiring dengan perkembangan zaman, topeng pun mengalami perubahan dalam segi bentuk sesuai dengan daerah asalnya tanpa meninggalkan fungsinya. Dalam pembahasan ini penulis menggunakan dua buku sumber yang ditulis oleh orang yang sama namun dalam karya yang berbeda. Buku tersebut adalah karya dari Wiyono Yudoseputro yang berjudul Sejarah Seni Rupa Indonesia (1991) dan Topeng Nusantara (1993). Kedua buku tersebut dijadikan rujukan penulis karena memuat secara lengkap dan gamblang sejarah perkembangan topeng di Indonesia mulai dari masa prasejarah hingga topeng yang ada pada zaman modern.

2.4.1 Topeng pada Zaman Prasejarah

Selama beribu-beribu tahun manusia hidup dalam masa prasejarah. Pada waktu itu tumbuh pandangan hidup bahwa alam merupakan sesuatu yang gaib dan manusia selalu menyembah kegaiban tersebut. Kehidupan manusia pada tingkat awal prasejarah masih sangat sederhana tempat tinggalnya, mereka berpindah-pindah tergantung pada situasi dan kondisi alam setempat ang dapat memberikan kehidupan. Pada umumnya mereka mendapatkan makanan dari umbi-umbian dan daging binatang dengan cara berburu di huan liar untuk memenuhi kebutuhan

(16)

batin dan kepuasan jiwa. Dalam menghadapi berbagai hal yang berada di luar jangkauan pikiran mereka, munculah pikiran tentang kekuatan-kekuatan gaib dan arwah yang disebut dengan animisme dan dinamisme. Hal ini tercermin dari hasil-hasil karya yang dapat digolongkan ke dalam benda seni rupa, baik yang berlatar belakang gagasan magis maupun religius yang lebih mempertimbangkan unsur praktis ketimbang estetis.

Dari kehidupan masa yang paling awal ini benda seni rupa yang banyak dihasilkan berupa benda-benda dari bahan baru, sehingga masa ini disebut zaman batu. Benda seni rupa peninggalan zaman batu diantaranya berupa bangunan-bangunan batu yang meliputi tugu batu, meja batu, perkakas batu, kuburan batu yang bermotif hias magis dengan patung nenek moyangnya, lukisan dinding gua dan peralatan serta senjata sederhana dari bahan tulang yang hanya sedikit diubah dari bentuk aslinya. Dalam hubungannya dengan topeng, dari lukisan, pahatan, goresan pada dinding gua, pada benda-benda dari bahan batu, merupakan petunjuk awal bahwa topeng atau kedok sudah dikenal sejak masa prasejarah zaman batu di Indonesia.

Ditinjau dari nilai kegunaanpraktis sejak zaman prasejarah, topeng sudah dipergunakan dalam upacara kepercayaan, lukisan dinding gua dalam tema perburuan dan peperangan. Dari zaman batu dapat menjelaskan adanya kebiasaan pemakaian topeng sebagai media peragaan dalam berbagai upacara (Yudoseputro, 1991: 12). Hal ini juga dibuktikan dengan adat dari topeng dalam masyarakat yang meneruskan tradisi prasejarah. Topeng atau kedok semula tercipta berdasarkan gagasan-gagasan yang bersifat religiomagis dan digunakan sebagai

(17)

media peragaan dalam upacara pemujaan.

Topeng yang diperagakan dalam tarian yang diiringi dengan bunyi-bunyian menimbulkan ketegangan suasana yang sesuai dengan tujuan upacara. Semua kegiatan ini hadir terpadu sebagai sarana dalam berbagai ritual yang bersifat religiomagis (Yudoseputro, 1991: 1). Hal tersebut sesuai dengan kepercayaan masyarakat waktu itu bahwa agar berhasil dalam melakukan suatu kegiatan harus didahului dengan rangkaian upacara tertentu.

Kebiasaan berburu untuk mendapatkan makanan daging binatang dari hutan, merupakan kegiatan rutin manusia prasejarah yang selalu didahului dengan upacara. Topeng menjadi salah satu media peragaan dalam upacara menjelang perburuan. Para penari memakai topeng yang menggambarkan binatang tertentu sambil bergerak mengelilingi patung perwujudan binatang yang akan diburu dengan tujuan dapat berhasil dalam berburunya.

Peperangan antara kelompok wilayah karena perebutan wilayah, tempat tinggal dan sebagainya merupakan peristiwa yang sering terjadi pada masa prasejarah. Topeng merupakan perlengkapan yang dipakai ketika berperang waktu itu,baik sebagai alat penutup muka maupun sebagai hiasan magis pada peralatan perang. Hal ini dibuktikan dari adanya bentuk topeng pada perisai sebagai peralatan perang masyarakat yang masih meneruskan tradisi budaya prasejarah. Kepercayaan mereka bahwa memakai topeng dengan penampilan yang fanatik dan seram akan menimbulkan kekuatan bagi yang memakainya. Sehingga, dianggapnya akan mudah mengalahkan dan menaklukkan musuhnya. Sebagai sarana dalam pengobatan baik yang disebabkan oleh pengaruh alam maupun

(18)

karena kecelakaan. Dalam praktek proses penyembuhannya, para leluhur atau ketua adat dibantu para penari topeng untuk memanggil roh leluhur atau dewa untuk masuk ke dalam topeng itu. Selain itu juga untuk memberikan berkah dan kesembuhan pada yang sakit.

Kehadiran topeng semula sangat berkaitan erat dengan kepercayaan manusia waktu itu. Yaitu sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang. Jadi topeng semula dipergunakan untuk alat pemujaan terhadap roh nenek moyang agar memasuki topeng itu untuk berbuat kebaikan atau mendatangkan keselamatan. Upacara pemanggilan roh nenek moyang tersebut dipimpin oleh orang yang memiliki kemampuan khusus di bidang itu, yaitu para dukun atau ketua adat dari masyarakat tersebut. Oleh karene itu topeng dipandang bersifat magis (Yudoseputro, 1991: 4).

Dalam pemujaan memanggil roh nenek moyang dengan memakai topeng, para ketua adat dan dukun melakukan gerakan-gerakan tertentu seperti menari. Dari gerakan-gerakan ketua adat dan dukun inilah diperkirakan kemudian jadi berkembang gerakan tari topeng. Dengan demikian budaya topeng terbukti berumur amat panjang, hal tersebut dibuktikan dengan penelitian sejarah yang menemukan manuskrip-manuskrip lama yang mengandung banyak informasi mengenai topeng.

Sebuah topeng terbuat dari lempengan emas yang ditemukan di Pasir Angin, Jawa Barat diyakini telah digunakan pada zaman prasejarah sebagai penutup wajah orang yang meninggal. Ini membuktikan bahwa fungsi dari penggunaan topeng pada awalnya sebagai sarana tarian atau upacara ritual dengan landasan religiomagis.

(19)

2.4.2 Topeng Pada Zaman Hindu

Berakhirnya zaman prasejarah tidak merupakan akhir dari perkembangan topeng. Keberadaan topeng sebagai bentuk karya seni rupa zaman prasejarah masih terus berkembang pada zaman Hindu di Indonesia. Fungsi dari penggunaan baik sebagai ragam hias, peragaan, sarana dalam upacara maupun sebagai salah satu kelengkapan dalam pertunjukan drama tari masih berlanjut pada zaman Hindu. Nilai-nilai yang bersifat religiomagis dari seni prasejarah masih tampil pada topeng zaman ini.

Sebagai ragam hias yang mengandung nilai magis, topeng pada zaman Hindu di Indonesia, tampak pada motif hias “Kala” atau “Kirtimukha”. Kala merupakan motif raut muka raksasa, biasanya berada di bagian atas dari lubang pintu masuk atau pelengkung relung pada dinding bangunan candi. Menurut pemahaman agama Hindu, Kala dianggap sebagai hiasan penolak bala.

Sebagai karya seni rupa Indonesia-Hindu yang mengandung nilai perlambangan, topeng juga tampil sebagi media pemujaan roh leluhur yang disebut upacara “Sharaddha” dengan salah satu alat kelengkapannya menggunakan topeng yang disebut topeng “Sang Hyang Puspasharira”. Upacara Sharaddha dilaksanakan 12 tahun sesudah meninggalnya Sri Rajapathi. Untuk keperluan upcara tersebut dibuatkan Sang Hyang Puspasharira berupa boneka yang terbuat dari bahan logam (emas atau logam atau kayu cendana) yang bentuknya merupakan perwujudan dari wajah leluhur yang diupacarakan. Upacara Sharaddha dilakukan di malam hari dengan mengucapkan mantra-mantra untuk memanggil dewa-dewa atau arwah nenek moyang agar turun dan masuk ke dalam

(20)

boneka Puspasharira.

Dengan adanya upacara Sharaddha yang menggunakan topeng sebagai salah satu alat untuk memanggil dewa atau roh leluhur, menunjukan bahwa topeng telah dikenal sejak zaman Majapahit. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan topeng sebagai sarana drama tari. Menurut kepercayaan zaman itu, orang memanggil roh nenek moyang sudah diiringi dengan bunyi-bunyian gamelan dengan irama yang khidmat. Roh nenek moyang sangat dihormati sebagai cikal bakal yang merupakan peindung adat dan keselamatan anggota keluarga.

Sebagai media peragaan dalam drama tari, topeng pada saat itu merupakan perlamban hinduistik yang bersumber dari cerita wayang. Unsur ekspresi topeng dalam drama tari tidak berdiri sendiri. Sebab ia merupakan media rupa yang berfungsi sebagai alat penutup muka penari yang penampilannya sangat ditentukan oleh perlengkapan lain dalam memerankan tokoh tertentu. Berikut makna topeng menurut Yudoseputro:

Topeng sebagai karya seni rupa mempunyai arti yang luas, tidak hanya arti sakral, tetapi juga sebagai bentuk pernyataan seni dengan nilai profane yang penting kedudukannya dalam kehidupan berbagai cabang seni, kesusastraan, mitologi, legenda dan sejarah (Yudoseputro, 1991: 3)

2.4.3 Topeng pada Zaman Islam

Berdasarkan hasil penelitian para ahli, tersebarnya agama Islam di Indonesia melalui jalinan kerjasama perdagangan. Diperkirakan para pedagang muslim sudah mulai berdatangan ke Indonesia pada abad ke-7, sedangkan agama

(21)

Islam mulai tersebar di Indonesia sekitar abad ke-12. Menurut sejarah Cina, orang Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman Majapahit. Terbukti dengan ditemukannya batu nisan di Tuban yang bertuliskan tahun 1082 M yang menunjukan makam orang Islam.

Kebudayaan agama Islam semakin menunjukan keberadaannya sejak kerajaan Hindu seperti Majapahit dan Sriwijaya mengalami keruntuhan dan kekuasaan di kota-kota pelabuhan Pulau Jawa berganti menjadi kerajaan Islam. Ini bermula dari kekacauan politik yang terjadi di pusat kerajaan Majapahit. Para adipati pesisir sebagai daerah jajahan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat dan menjalin kerjasama melalui hubungan dagang secara langsung dengan para pedagang Gujarat yang beragama Islam. Para adipati ini memeluk agama Islam bahkan kemudian menjadi penyebar Islam. Maka Islamisasi melalui golongan raja atau bangsawan di pesisir tersebut mempercepat penyebaran agama Islam di Indonesia. Hal tersebut mempengaruhi kebudayaan di daerah pesisir yang merupakan peninggalan masa pra-Hindu dan masa Hindu. Dengan datangnya kebudayaan Islam, kebudayaan Hindu di pantai utara Jawa mengalami asimilasi dan akulturasi kebudayaan yang lazim dinamakan kebudayaan pesisiran.

Berdasarkan sumber babad dan cerita tradisional, pembawa dan penyebar agama Islam di Pulau Jawa ialah para wali. Diantara sekian wali yang paling terkenal adalah Wali Sanga, karena jumlahnya ada Sembilan orang. Mereka semua keturunan Jawa. Bahkan ada di antara Wali Sanga ini menjadi raja, seperti Sunan Gunung Jati atau Syarief Hidayatullah dengan gelar Pandita Ratu di Cirebon.

(22)

Seperti pada zaman Hindu, para raja dan bangsawan pada zaman Islam melanjutkan dan mengembangkan bahkan menyempurnakan berbagai bentuk seni yang sudah dikenal sebelumnya yang disesuaikan dengan kepentingan Islam. Sesuai dengan fungsi seni sebagai media dakwah, penyebaran seni rupa Islam semakin giat dilakukan ke daerah-daerah yang makin luas. Percampuran seni rupa Islam di Indonesia dengan tradisi seni etnik setempat tidak dapat dihindari, sehingga banyak gaya seni rupa Indonesia yang bernafaskan Islam. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Rasjoyo berikut ini.

Islam disebarkan dengan pendekatan kompromistis tanpa kekerasan. Bahkan para wali yang menyebarkannya dengan berusaha mengakulturasikan ajaran Islam dengan kebudayaan setempat yang sudah ada sebelumnya sehingga penyebaran agama Islam tidak kontradiktif contohnya adalah dimasukkannya ajaran Islam dalam cerita wayang sehingga tidak heranlah jika nama tokoh Islam muncul dalam cerita wayang (Rasjoyo, 1994: 92).

Seni topeng yang telah dikenal sejak zaman prasejarah dan berkembang di zaman Hindu, oleh para raja Islam dan wali terus dikembangkan dan disempurnakan. Dalam perkembangan sampai mencapai bentuk dan jenis seni topeng di zaman Islam di Indoensia, sebenarnya sudah mulai berkembang di kalangan istana sejak abad ke-9 M. kemudian berkembang menjadi tontonan atau kesenian rakyat dan menjadi popular sejak abad ke-11 M. Mulai pada abad ke-15 topeng memasuki lingkungan Istana dan menjadi kesenian keraton yang berkembang dan popular sekitar abad ke-19.

Sama halnya dengan kesenian wayang, kesenian topeng oleh para raja Islam dan Wali diberi sentuhan-sentuhan nilai baru, baik nilai kesenirupaan maupun nilai drama tarinya. Unsur-unsur kesenian topeng lama diolah dan

(23)

dikembangkan berdasarkan kebutuhan baru yang didukung oleh keyakinan terhadap hikmah kebenaran dari tasawuf dan mistikisme Islam.

Nilai-nilai baru pada topeng sebagai bentuk karya seni rupa Islam Indonesia, dengan munculnya corak dan nafas baru dari bentuk dan ekspresi topeng. Corak dan nafas baru dari topeng pada zaman Islam dicapai dengan menerapkan kaidah estetik yang mengandung nilai filosofis tentang simbol perwatakan manusia berdasarkan pandangan Islam di Indonesia.

Meskipun ada anggapan bahwa Islam tidak membenarkan melukiskan makhluk hidup secara nyata, hal ini tidak menjdi hambatan dalam perkembangan seni topeng di Indonesia. Bentuk dan ekspresi dalam penggarapannya disamarkan melalui perubahan bentuk. Bentuk topeng yang sebelumnya lebih terasa realistis, setelah adanya pengaruh Islam, bahwa sesuatu kreasi yang bentuknya distortif tidak sama dengan keadaan rupa sebenarnya.

Seni tari topeng yang mengandung nilai-nilai budaya yang luhur, dalam kedudukannya sebagai kelengkapan pertunjukan drama tari dikembangkan berdasarkan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam mengembangkan syariat Islam.karena itu topeng menjadi penting kedudukannya, karena drama tari topeng menjadi alat yang ampuh untuk digunakan oleh para wali dalam mendakwahkan ajaran Islam, sebagai sarana pendidikan moral dan etika ke pelosok masyarakat. Jelas sekali bahwa peranan para wali turut menyempurnakan rumusan kaidah seni topeng klasik, sebagai manifestasi dari perpaduan unsur-unsur tradisi seni Indonesia dengan kaidah ajaran Islam.

(24)

Ada pendapat bahwa yang pertama kali menciptakan topeng pada zaman Islam ialah Sunan Kalijaga seperti yang dikemukakan oleh Pigeaud dalam Pringgokusumo.

Topeng-topeng itu diciptakan Sunan Kalijaga, ia mengikuti bentuk wayang gedog, tetapi dari depan, dan hanya wajahnya yang dibuatnya. Ia hanya membuat 9 yaitu: Panji Ksatrian, Candrakirana, Gunungsari, Andaga, Reton (seorang raja), Klana, Danawa, Benco, Turas. Tari topeng tertua di zaman dahulu dimainkan oleh dua orang laki-laki yang asalnya dalang dari Sela (Grobogan-Purwodadi) bertempat tinggal di desa Palat. Mereka diberi pelajaran oeh Sunan Kalijaga, kemudian diberi nama Widiguna dan Widiyana.

Setelah mereka mempelajari berbagai jenis topeng dan sudah mengetahui sejarah Kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan, dan Singosari, tentang Kelana dari Bali, dan mengetahui cerita-cerita wayang gedog, dua orang itu diangap telah memiliki pengetahuan yang paling tinggi tentang tari topeng. Pembuatan topeng-topeng itu selesai pada tahun 1058 saka (tahun Jawa) atau tahun 1586 Masehi (Pigeaud dalam Pringgokusumo, 1991: 45-46).

Bentuk topeng yang pertama kalinya diciptakan pada zaman itu belum diukir pada kayu dan belum dilukis dengan berbagai macam warna. Muka hanya ditandai dengan warna merah atau hitam saja. Berperannya para wali dalam perkembangan topeng Cirebon telah memunculkan interpretasi yang berbeda pada tokoh topeng yang dibawakan. Topeng tidak hanya menggambarkan tokoh-tokoh dan cerita panji, tetapi juga susunan tarian pada pertunjukan tari topeng Cirebon ditafsirkan sebagai gambaran perkembangan jiwa manusia yang baik dan yang buruk (Masunah dan Karwati, 2003: 12).

Memasuki abad ke-17 ada gejala seni topeng di lingkungan istana atau keraton mulai menurun, akan tetapi di kalangan masyarakat banyak topeng sebagai bentuk seni pertunjukan masih terus bertahan sesuai dengann tradisi daerah masing-masing. Sebagai contoh di Madura, Malang, Bali, Yogyakarta,

(25)

Lampung Selatan, Cirebon, Indramayu, Majalaengka, dan Sumedang masih ditemukan adanya kesenian topeng.

Perkembangan tarian topeng yang ada di Cirebon meruapakan peninggalan budaya Islam yang tersebar di beberapa desa seperti Losari, Slangit, Gegesik, Indramayu dan Majalengka. Tari Topeng Cirebon terdiri dari topeng panji atau topeng kecil dan tarian wayang wong atau topeng besar. Adapun hubungan dengan topeng yang menjadi objek peneltian penulis adalah topeng yang digunakan pada tarian topeng kecil di Gegesik, yaitu:

1. Panji, pangeran dari Jongjola (di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Jenggala)

2. Pamindo atau Samba, putra Prabu Kresna, sama dengan peranan Gunung Sari dari Jawa Tengah.

3. Rumyang atau Parumayangan.

4. Patih atau Tumenggung, patih dari Jongjola. 5. Kelana, raja dari Bewarna.

6. Jinggan Anom, patih dari Bewarna

Kemudian kadangkala ditambah dengan penampilan topeng lawak yaitu: Pentul, Enyo (Temben), Jungkring, Petruk, dan Aki-aki.

(26)

2.4.4 Topeng pada Zaman Modern

Kesenian topeng tidak hanya dimiliki budaya tradisional. Sampai sekarang berbagai bentuk topeng bermunculan, mulai dari karya seniman modern sampai karya anak-anak. Bahannya pun sangat beraneka ragam mulai dari bahan emas, kayu, kertas sampai barang bekas. Bahkan dalam kehidupan keseharian pun, baik dewasa maupun anak-anak, kehadiran topeng dapat kita saksikan. Kesimpulannya topeng dikenal sejak zaman prasejarah sampai sekarang,baik dalam dunia seni panggung ritual masyarakat maupun kehidupan sehari-hari.

Terlepas dari fungsinya sebagai seni pertunjukan, sekarang topeng bukan sengaja dibuat untuk pertunjukan kesenian. Simbol atau gambar yang berbentuk topeng terdapat dalam banyak hal seperti alat-alat upacara, hiasan, perkakas kerja dan pelindung kerja. Contoh masker, helm, topeng untuk olahraga anggar, hoki, baseball, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam observasi berikut menghasilkan data yaitu sebuah proses pendidikan guru merupakan salah satu komponen yang sangat penting, selain komponen lainya seperti tujuan,

Apabila ditelusuri dari bagian paling puncak, Sabo Dam GE-C12 termasuk bangunan sabo awal yang diharapkan dapat menahan sedimen yang mengalir apabila terjadi

Setelah mesin siap operator membuka kertas design dan membentangkan kertas design di atas meja press, setelah itu operator mengambil kain yang telah di potong sesuai

PENGARUH PEMBERIAN Nigella sativa TERHADAP KADAR IGE, IL-6 PLASMA SERTA SKOR ASTHMA CONTROL TEST PADA ANAK ASMA RINGAN DAN SEDANG.. Fadilah Mutaqin*  , Wisnu Barlianto**,

Daun : Warna hijau, merupakan daun majemuk dengan bentuk elliptical, kedudukannya mengelompok pada batang, panjang daun mencapai 30 cm, lebar 0,5-2 cm, jumlah daun 2-8 helai,

Tidak diperkenankan untuk menawarkan kapal yang masih dalam keadaan disewa oleh Pertamina dengan akhir masa sewa (plus 15 hari) jatuh pada laycan yang telah ditentukan,

Pada diatas, dapat dilihat bahwa hasil fermentasi cincalok udang rebon yang dibuat dengan metode Backslopping berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air, abu,

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan ekstrakurikuler karawitan di SDN Palur 02. Jenis penelitian kualitatif dengan desain penelitian deskriptif