• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Air Asam Tambang

Air asam tambang atau acid mine drainage (AMD) merupakan cairan (air limpasan) yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida yang menghasilkan asam sulfat. Mineral sulfida tersebut di antaranya pirit dan markasit (FeS2), kalkopirit (CuFeS2), dan arsenopirit (FeAsS) (Skousen et al., 1998). Di

lokasi pertambangan batu bara mineral sulfida yang umum dijumpai adalah pirit dan markasit (FeS2). Mineral ini ketersediaannya cukup signifikan di dalam

lapisan batu bara, overburden, dan interburden. Sehingga, pirit merupakan penghasil air asam tambang utama di lokasi pertambangan batu bara (Salomons, 1995, ICARD, 1997, dalam Nguyen, 2008).

Watzlaf et al. (2004) menyatakan bahwa oksidasi pirit (FeS2) akan

membentuk ion ferro (Fe2+), sulfat, dan beberapa proton pembentuk keasaman, sehingga kondisi lingkungan menjadi asam. Stumm dan Morgan (1981) menguraikan reaksi oksidasi pirit (FeS2) dalam reaksi berikut:

FeS2(s)+ 3,5 O2 + H2O → Fe+2 + 2 SO4-2 + 2H+ (1)

Fe+2 + 0,25 O2 + H+ → Fe+3 + 0,5 H2O (2)

FeS2(s)+14 Fe+3 + 8 H2O → 15 Fe+2 +2 SO4-2 + 16 H+ (3)

Fe+3 + 3 H2O ↔ 2 Fe(OH)3(s) + 3 H+ (4)

Pada reaksi (1) pirit (FeS2) dioksidasi membentuk besi ferro (Fe2+), sulfat

(SO42-) dan beberapa proton penyebab kemasaman (H+), sehingga lingkungan

menjadi lebih masam. Menurut Higgins dan Hard (2003) pada pH air yang cukup masam bakteri-bakteri acidophilic yang merupakan pengoksidasi besi dan sulfat yang dapat mempercepat proses oksidasi pirit akan tumbuh pesat (reaksi 1). Thiobacillus ferrooxidans merupakan salah satu contoh dari bakteri tersebut.

Bakteri pengoksidasi besi seperti Thiobacillus ferrooxidan mempercepat proses oksidasi pirit melalui dua mekanisme, yaitu: oksidasi langsung melalui persamaan reaksi (1), dan secara tidak langsung, di mana terlebih dahulu Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ (reaksi 2) yang akan mengoksidasi pirit secara abiotik (reaksi 3). Selanjutnya, reaksi (4) akan berlangsung jika pH air mencapai > 2,8.

(2)

Dalam reaksi ini, Fe3+ akan dihidrolisis dan membentuk endapan besi hidroksida (Fe(OH)3) yang disebut ‘yellow boy’ (Watzlaf et al., 2004).

Selain besi (Fe) Watzlaf et al. (2004) menyebutkan bahwa mineral lain yang dapat menyumbangkan kemasaman pada AAT adalah mineral-mineral yang mengandung alumunium (Al). Alumunium ini dapat terhidrolisis dan menghasilkan H+ melalui reaksi berikut:

Al3+ + 3H2O → Al(OH)3 + 3H+ (5)

Air yang terkontaminasi dengan AAT biasanya mengandung logam dalam konsentrasi yang tinggi yang dapat meracuni organisme perairan. Nilai pH air yang rendah (2,0 – 4,5) merupakan tingkatan beracun bagi beberapa kehidupan perairan (Kimmel, 1983, Hill, 1974, dalam Jenning et al., 2008).

Pengelolaan Air Asam Tambang

Air asam tambang dari kegiatan penambangan batu bara dan mineral merupakan masalah yang pelik dan memakan banyak biaya dalam penanganannya (US-EPA, 1994). Penambangan batu bara menyebabkan terjadinya oksidasi pirit dan mineral sulfida lainnya menghasilkan air asam tambang dengan kandungan besi, mangan, dan alumunium dalam konsentrasi tinggi (Watzlaf et al., 2004). Pengelolaan air asam tambang pada intinya bertujuan untuk meningkatkan pH dan menghilangkan logam terlarut (Skousen et al., 1998).

Pengelolaan AAT dapat dilakukan secara abiotik dan biotik (Gambar 1) pada sistem aktif dan pasif. Dasar pertimbangan penggunaan metode ini adalah jenis AAT yang akan dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005).

Metode yang paling banyak digunakan dalam pengelolaan AAT adalah dengan abiotik sistem aktif atau banyak dikenal dengan ‘active treatment’ yang dilakukan dengan penambahan bahan kimia penetral. Metode ini sangat efektif untuk pengelolaan AAT dengan kandungan logam berat tinggi (Coulton et al., 2003). Namun, kelemahan pengelolaan secara aktif ini adalah memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan sludge sebagai hasil sampingannya. Sludge ini akan mengandung polutan-polutan termasuk logam berat sesuai dengan komposisi yang ada pada AAT yang dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005).

(3)

Sejak 30 tahun yang lalu, konsep pengelolaan AAT dengan metode passive treatment telah dikembangkan dari mulai skala percobaan sampai kepada aplikasinya di lapang pada ratusan tempat di seluruh dunia (Younger, 2000). Hasil akhir dari passive treatment adalah meningkatkan proses ameliorasi secara alami, sehingga teknik ini harus dilakukan dalam suatu sistem dan bukan secara langsung pada badan air (seperti sungai dan danau).

Rawa Buatan

Rawa adalah suatu daerah yang terendam oleh air permukaan atau air tanah dalam suatu periode tertentu yang memungkinkan terjadinya kondisi jenuh air pada tanah tersebut. Karakteristik dan fungsi rawa dapat dibedakan dari posisi dalam suatu bentang lahan, iklim, hidrologi, vegetasi, dan tanahnya (Reddy dan DeLaune, 2008).

Rawa buatan adalah suatu sistem yang dibangun dan dirancang menyerupai rawa alami untuk keperluan pengolahan air tercemar. Proses pengolahan air tercemar pada rawa buatan merupakan suatu proses alamiah yang melibatkan tumbuhan air, sedimen, dan mikroorganisme, dengan matahari sebagai sumber energi (Vymazal , 2008).

REMEDIASI AAT Abiotic Sistem aktif Biotic Sistem pasif

Rawa Buatan Aerobik Reaktor/ Rawa buatan

kompos

Permeable reactive barriers

Biorektor ‘packet bed

iron-oxidation’

Bioreaktor ‘off-line sulfidogenic’

Sistem pasif ; seperti anoxic

Sistem aktif ; aerasi dan penambahan

kapur

Gambar 1 Strategi pengelolaan AAT secara abiotik dan biotik (Johnson dan Hallberg, 2005)

(4)

Pembangunan rawa buatan di sekitar tambang bertujuan untuk menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah-tanah galian beserta senyawa logam-belerang (seperti pirit) yang dapat berpotensi menjadi asam tambang. Bila tanah dan batuan di sekitarnya tidak dapat menetralisir asam, maka asam-asam beserta dengan toksistas logam (bila ada) dapat dinetralisir di rawa buatan tersebut (Khiatuddin, 2003).

Novotny dan Olem (1994) menguraikan proses-proses yang terjadi di dalam rawa buatan secara lengkap yang meliputi proses fisik, fisika-kimia, dan biokimia. Proses-proses fisik terdiri dari sedimentasi, filtrasi padatan tersuspensi oleh sedimen dan tumbuhan air, serta pemanasan dan volatilisasi. Proses fisika-kimia terdiri dari proses adsorpsi bahan pencemar oleh tumbuhan air, sedimen, dan substrat organik. Proses biokimia terdiri dari proses penguraian zat tercemar oleh bakteri yang menempel pada permukaan substrat/sedimen, perakaran tumbuhan, dan serasah (bahan organik).

Keberhasilan rawa buatan dalam menghasilkan kualitas air yang bagus tergantung dari sifat kimia air yang dikelola, kapasitas mengalirkan air, dan desain dari rawa buatan (Hedin et al., 1994). Sistem pengelolaan limbah dipengaruhi oleh konstruksi rawa buatan. Secara umum, konstruksi rawa buatan untuk pengelolaan AAT dapat dikelompokkan menjadi rawa buatan aerobik dan anaerobik (Gambar 2).

Bahan Organik Batu Gamping Substrat (tanah)

Rawa Buatan Aerobik Rawa Buatan Anaerobik (Aliran Permukaan)

Air

Air Air Air

: Perpindahan polutan secara difusi Keterangan : ±15 cm } ±15 cm

{

{ 15-30 cm { 30-60 cm

Gambar 2 Skema penampang melintang rawa buatan aerobik dan anaerobik (aliran permukaan) (modifikasi dari Skousen et al., 1998)

Air limbah Air

(5)

Rawa buatan aerobik merupakan rawa yang ditanami dengan Typha sp. atau jenis tanaman lain pada kedalaman kurang 30 cm, sedangkan pada rawa buatan anaerobik, tanaman-tanaman tersebut ditanam pada kedalaman lebih dari 30 cm. Selain itu, pada rawa buatan aerobik sedimen (substrat) terdiri dari tanah dan liat, sementara pada rawa buatan anaerobik, substrat terdiri dari campuran tanah dan berbagai macam bahan organik seperti gambut, kompos, serbuk gergaji, kotoran ternak, jerami dan sebagainya yang dicampur dengan batu gamping (Skousen et al., 1998).

Sistem lahan basah anaerobik menggunakan komposisi reaktif material berupa kompos, serasah daun, dan serbuk gergaji, yang ditambahkan lumpur aktif yang akan menstimulasi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat untuk meningkatkan alkalinitas dan menyisihkan logam dalam bentuk endapan sulfida (Benner et al., 1997 dalam Henny, 2009).

Tumbuhan Rawa

Tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat penting, seperti (1) konsolidasi substrat: akar tanaman memegang substrat bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland; (2) stimulasi proses jasad renik: tanaman menyediakan tapak untuk menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya, dan menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof; (3) habitat satwa liar: tanaman memasok pakan dan perlindungan bagi hewan; (4) estetika: wetland dengan pertanamannya lebih enak dipandang mata; (5) akumulasi logam (Skousen et al., 1998).

Keberadaan tumbuhan dengan sistem perakarannya mampu menyokong pertumbuhan mikroba dalam sistem yang juga akan mendegradasi senyawa-senyawa logam berat (Kadlec dan Knight, 1996 dalam Henny, 2009). Dalam sistem rawa buatan untuk pengelolaan AAT secara aerobik tanaman Typha sp. dan Phragmites sp. lebih banyak digunakan, namun peran langsung dari kedua tanaman ini dalam memperbaiki kualitas air masih dipertanyakan (Johnson dan Hallberg, 2005). Tumbuhan rawa mempunyai kemampuan untuk menyerap > 0,5 % berat kering dari kadar unsur alami tersebut dalam jaringan (Zayed et al., 1998 dalam Yang dan Ye, 2009).

(6)

Reduksi dan Potensial Redoks

Reduksi adalah perolehan elektron, sedangkan oksidasi adalah kehilangan elektron. Reaksi oksidasi biasanya berkaitan erat dengan kondisi tanah berdrainase baik. Di lain pihak, reduksi berhubungan dengan kondisi drainase buruk atau apabila terdapat air berlebih. Proses reduksi yang umumnya berlaku pada kondisi anaerob menghasilkan reduksi beberapa unsur hara. Akibat reduksi ini, besi direduksi menjadi Fe2+ dan mangan menjadi Mn2+ (Tan, 1992).

Reduksi dapat terjadi jika ada bahan organik, tidak ada pasokan oksigen, dan adanya mikroorganisme anaerob dalam lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya (Wang dan Hagan, 1981). Intensitas reduksi tergantung kepada jumlah bahan organik yang mudah terurai dan suhu tanah. Semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin tinggi intensitas reduksinya. Potensial redoks merupakan parameter yang berguna untuk mengukur intensitas reduksi pada tanah dan mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Sanchez, 1976). Potensial redoks mempengaruhi: 1) konsentrasi oksigen, 2) pH, 3) ketersediaan P dan Si, 4) konsentrasi Fe2+, Mn2+, Cu+, dan SO42- secara langsung, 5) pembentukan

asam-asam organik, sulfida organik, dan hidrogen sulfida (De Datta, 1981).

Potensial redoks secara kuantitatif mengukur kecenderungan untuk mengoksidasi atau mereduksi bahan-bahan yang rentan (Faulkner dan Patrick, 1992). Potensial redoks (Eh) diukur sebagai perbedaan potensial antara elektrode platina dan standar elektrode hidrogen yang dinyatakan dalam satuan miliVolt (mV). Redoks potensial juga dapat dinyatakan dalam pe (-log aktivitas elektron) yang nilainya setara dengan mol/l. Namun, dalam literatur ilmu tanah, Eh lebih banyak digunakan dalam menyatakan hubungan redoks (Lindsay, 1979).

Reduksi Sulfat

Pada sistem rawa alami, belerang atau sulfur (S) sangat berperan dalam proses biogeokimia yang meliputi reduksi sulfat, pembentukkan pirit, siklus logam, dan emisi gas (Reddy dan DeLaune, 2008). Reduksi sulfat adalah proses mikrobiologi di mana sulfat direduksi menjadi sulfida. Oleh karena itu, reduksi sulfat tidak lepas dari peranan bakteri pereduksi sulfat (Widdel, 1988 dalam Drury, 2006).

(7)

Bakteri pereduksi sulfat dicirikan oleh respirasi anaerobik dengan menggunakan sulfat sebagai pusat penerima elektron. Greben et al. (2005) menggambarkan bahwa reduksi sulfat dapat terjadi melalui proses berikut :

2C2H5OH + SO42- → 2CH3COOH + S2- + 2H2O (6)

Reduksi sulfat merupakan penyebab utama dalam netralisasi pH dan pengurangan sulfat dan logam beracun (Machemer dan Wilderman, 1992, McIntire et al., 1990, dalam Drury, 2006). Bakteri pereduksi sulfat menghasilkan kira-kira 2 mol alkalinitas per satu mol sulfat yang direduksi, jumlah mol yang dihasilkan akan sangat beragam tergantung kepada struktur donor elektron. Produksi alkalinitas dapat dilihat pada contoh reaksi (7) di mana asetat sebagai donor elektron.

2CH3COO- + SO42- + H+ ---→ H2S + 2HCO3- (7)

Satu mol sulfida akan dihasilkan dari satu mol sulfat pada proses reduksi sulfat, sulfida ini akan mengendapkan logam berat dengan membentuk logam sulfida dengan kelarutan rendah.

M2+ + H2S → MS↓ + 2H+ (8)

Pada konsentrasi sulfat 500 – 1.500 mg/l, reduksi sulfat dapat berjalan sangat cepat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh: (i) sulfida yang dihasilkan dari reduksi sulfat lebih toksik terhadap bakteri metanogenik yang merupakan kompetitor utama bagi bakteri pereduksi sulfat dalam menggunakan donor elektron, (ii) peningkatan konsentrasi sulfida menyebabkan terjadinya peningkatan ‘thermodynamic driving force’ reduksi sulfat yang diakibatkan oleh menurunnya potensial redoks (Greben et al., 2005).

Stabilitas Besi dalam Larutan

Stabilitas besi dalam larutan merupakan fungsi dari pH dan potensial redoks (Eh) hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. Potensial redoks dan pH digunakan untuk menetapkan hubungan stabilitas antara mineral-mineral oksida besi dan hidroksida besi. Ferri (Fe3+) dalam kondisi tereduksi akan menghasilkan ferro (Fe2+), hal ini terjadi pada potensial redoks kurang dari 770 mV (Lindsay, 1979).

(8)

Besi ferri (Fe3+) berada dalam kondisi teroksidasi dan membentuk Fe(OH)3, sedangkan besi ferro (Fe2+) berada dalam kondisi tereduksi dan

membentuk FeCO3 dan Fe(OH)2. Besi mengendap pada kisaran pH 4,0 - 12,0

dalam bentuk Fe(OH)3, FeCO3, dan Fe(OH)2 (Evangelou, 1998). Menurut

Brinkman (1978), Fe2+ tidak semua tinggal dalam larutan, melainkan menggantikan kation-kation yang dapat dipertukarkan, yang sebagian tercuci yakni ion monovalen dan divalen.

Pada sistem rawa dengan kandungan bahan organik tinggi, memungkinkan terjadi pembentukan kompleks antara logam terlarut dengan bahan organik terlarut (dissolved organic matter) yang banyak ditemukan pada kondisi redoks yang rendah. Kompleks yang terbentuk antara Fe2+ dengan bahan organik terlarut dapat membawa Fe2+ tetap terlarut selama beberapa hari walaupun pada kondisi aerobik (Reddy dan DeLaune, 2008).

Gambar 3 Stabilitas besi dalam bentuk terlarut dan padatan yang merupakan fungsi dari pH dan Eh pada tekanan udara 1 atm dan suhu 25oC (Elder, 1985 dalam Brooke, 2011).

(9)

Stabilitas Mangan dalam Larutan

Seperti halnya besi, stabilitas mangan pada larutan juga merupakan fungsi dari pH dan potensial redoks (Eh), hal ini dijelaskan pada Gambar 4. Pada kondisi anaerob, mangan bervalensi tinggi (Mn4+ dan Mn3+) tereduksi menjadi Mn2+. Reduksi Mn4+ mendahului Fe3+, karena Mn4+ lebih mudah larut daripada Fe3+ (Ponnamperuma, 1965).

Pada kondisi tereduksi Mn2+ akan membentuk MnCO3 dan Mn(OH)2,

MnCO3 sangat stabil pada kisaran pH 7,5 - 11,2. Selain itu, pengendapan mangan

dipengaruhi oleh konsentrasi Fe. Hal ini dikarenakan besi ferro (Fe2+) dapat bereaksi dengan mangan oksida (MnO2) yang tidak larut, mengikuti reaksi di

bawah ini:

MnO2 + 4H+ + 2Fe2+ —→ Mn2+ + 2Fe3+ +2H2O (9)

Fe3+ + 3H2O —→ Fe(OH)3 + 3H+ (10)

Reaksi di atas menunjukkan Fe2+ terlarut dapat mereduksi mangan oksida ke dalam bentuk Mn2+ yang larut (Stumm dan Morgan, 1981).

O2 H2O MnO2 Mn2O3 Mn3O4 MnCO3 Mn(OH)2 H2 H2O Mn2+ 1200 800 400 0 -400 2 4 6 8 10 12 pH P ot en si al R edo ks ( m V )

(10)

Konsentrasi mangan terlarut dalam air berada pada kisaran 10 – 10.000 µg/l. Konsentrasi mangan pada badan-badan air jarang yang melebihi 10.000 µg/l, dan biasanya kurang dari 200 µg/l. Pada tanah mangan berada pada konsentrasi kurang dari 1 mg/kg sampai 4000 mg/kg (per berat kering tanah), dengan konsentrasi rata-rata 300 – 600 mg/kg (Howe et al., 2005).

Peran Bahan Organik dalam Remediasi Air Asam Tambang

Kapasitas sedimen dalam menjerap dan mengikat bahan kontaminan tergantung kepada: kandungan bahan organik, kandungan besi dan mangan, kandungan karbonat sebagai buffer pH seperti halnya mineral liat. Pada sistem rawa, mobilisasi logam dipengaruhi oleh mekanisme faktor percepatan dan hambatan. Faktor percepatan meliputi pengaruh dari pH yang rendah dan perubahan kondisi redoks, kompleks organik dan anorganik, dan transformasi yang dimediasi oleh mikroorganisme. Degradasi bahan organik dalam sedimen dapat juga menjadi “kekuatan pendorong” untuk mempercepat interaksi antara sedimen dan logam (Calmano et al., 1990, Förstner, 1995, Salomons dan Brils, 2004, dalam Nguyen, 2008).

Pada kondisi tergenang, kenaikan nilai pH dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (i) adanya pelepasan ion-ion hidroksil yang akan mengikat ion H+, dengan demikian ion kemasamam akan berkurang; dan (ii) pemberian bahan organik, yang mempunyai peran sebagai kapasitas penyangga (buffering capacity) sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan pH lingkungannya (Stevenson, 1982).

Faktor pembatas biologis dalam pengelolaan air asam tambang adalah tingkat dekomposisi bahan organik, yang digunakan sebagai sumber karbon (Waybrant et al., 1998 dalam Johnson dan Halberg, 2005). Kandungan protein, karbohidrat, dan lemak pada bahan organik memiliki korelasi positif terhadap kapasitas bahan tersebut sebagai donor elektron dalam proses reduksi sulfat, sedangkan kandungan lignin berkorelasi negatif (Coetser et al., 2006).

(11)

Bakteri pereduksi sulfat biasanya mengandalkan senyawa karbon sederhana sebagai asam organik atau alkohol untuk menyediakan donor elektron pada reduksi sulfat, walaupun sebagian dapat menggunakan hidrogen (Gambar 5) (Logan et al., 2005). metanogenesis Cellulolysis Selulosa Collobiose Glukosa Laktat Asetat H2 CO2 CO2 CH4 CO2 Cellobiohydrolysis Reduksi Sulfat Fermentasi H2S SO4 2- M 2-MS(s)

Gambar 5 Proses mikrobiologi yang mengakibatkan reduksi sulfat dalam sebuah substrat karbon organik (Logan et al., 2005).

(12)

Metode Penelitian

Survei Pendahuluan

Kegiatan survei dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum lokasi penelitian. Informasi yang dikumpulkan pada tahap ini adalah karakteristik air asam tambang, ketersediaan lahan untuk konstruksi rawa buatan, bahan-bahan in situ yang dapat digunakan dalam pembuatan rawa buatan, dan jenis tanaman yang tersedia di sekitar lokasi penelitian.

Rancangan rawa buatan

Rancangan rawa buatan dibuat berdasarkan hasil survei pendahuluan. Rawa buatan dirancang menyerupai kolam-kolam yang saling menyambung yang terdiri dari dua organic wall dan tiga kolam pertumbuhan yang batasi dengan tanggul (Gambar 6).

a. Organic wall

Organic wall merupakan tumpukan bahan organik segar yang ditempatkan pada parit dengan kedalaman ± 0,6 meter dan lebar 1 meter, dengan panjang disesuaikan dengan lokasi. Organic wall berfungsi sebagai area yang dapat mempercepat kondisi reduktif pada rawa buatan.

b. Kolam Pertumbuhan

Kolam pertumbuhan (KP) merupakan area yang ditanami dengan tanaman rawa. Kolam pertumbuhan dibuat dalam ukuran yang berbeda. Perbedaan ukuran merupakan penyesuaian terhadap bentuk lokasi yang ada dan fungsi kolam. Kolam pertama ditanami dengan Ekor Kucing (Typha sp.), kolam kedua ditanami dengan Darendeng (Cyperus sp.), dan pada kolam terakhir ditumbuhkan Eceng Gondok (Eichornia crassipes).

c. Tanggul

Setiap komponen rawa buatan dibatasi oleh tanggul berupa tumbukan material overburden yang disusun dengan lebar permukaan 1 meter. Untuk memperkecil kemiringan tanggul dan bahaya longsoran material, tanggul dibuat bertingkat dengan lebar teras (bench) 0,5 meter (Gambar 7).

(13)

Organic wall dan kolam dihubungkan dengan pipa paralon PVC berdiameter 4 inchi (±10 sentimeter) yang dipasang di bawah tanggul (Gambar 7). Pipa juga dipasang pada pintu air di inlet, sedangkan di outlet saluran berupa parit tidak dipasangi pipa.

3 m 0,2 m 1 m 0,5 m 1 m 1 m 1 m 1 m 1 m 1 m 3 m 0.5 m

Gambar 7 Penampang melintang konstruksi tanggul, parit dan kolam

Parit Kolam

Tanggul

Pintu Air (overflow) Sekat kolam

Gambar 6 Layout konstruksi rawa buatan di lokasi penelitian 22 m 8 m 8 m Sediment pond 2 m KP 1 4m 23 m 28 m 7m 7 m Organic Wall Hutan Tanggul Keterangan : Settling pond KP 2 Pipa Inlet Outlet KP 3 Area Genangan AAT Area Genangan AAT

(14)

Konstruksi Rawa Buatan

Proses pembangunan rawa buatan terdiri atas beberapa tahap kegiatan yang dilakukan secara berurutan, yaitu:

a. Penimbunan Area Genangan

Penimbunan dilakukan terhadap area genangan untuk memperoleh lahan yang kering, sebagai dasar bagi konstruksi rawa buatan. Kegiatan penimbunan sepenuhnya dilakukan dengan menggunakan excavator PC 200. Bahan timbunan berupa material overburden (OB) yang tidak berpotensi menghasilkan kemasaman atau Non Acid Formation (NAF). Penimbunan dilakukan dengan mengeruk lumpur dari area genangan sampai diperoleh dasar keras. Lumpur ditranslokasi ke tempat penampungan sementara yang lokasinya tidak jauh dari lokasi konstruksi. Material OB dimasukkan ke dalam rawa sambil dimampatkan. Hal ini dilakukan setahap demi setahap sampai diperoleh luasan area timbunan yang diinginkan.

b. Perhitungan Elevasi

Perhitungan elevasi dilakukan untuk menentukan titik inlet dan outlet. Titik outlet rawa buatan yang harus dibuat lebih tinggi atau minimal sejajar dengan daerah sekitarnya. Berdasarkan perhitungan diperoleh beda tinggi antara inlet dan outlet yang digunakan untuk menetapkan letak dan ketinggian masing-masing pintu air di setiap komponen rawa buatan.

c. Konstruksi Komponen Rawa

Konstruksi bangunan rawa diawali dengan pembuatan tanggul pembatas antara area yang sudah ditimbun dengan area genangan AAT untuk mencegah adanya aliran air ke dalam area yang sudah ditimbun. Konstruksi komponen rawa buatan diawali dengan pembuatan parit satu untuk penempatan organic wall satu, komponen ini merupakan yang paling dekat dengan titik inlet. Pembuatan parit untuk penempatan organic wall dilakukan dengan menggali permukaan timbunan sampai kedalaman 0,6 meter. Material hasil penggalian digunakan untuk pembuatan tanggul pembatas. Konstruksi kolam pertumbuhan juga dibuat dengan menggali sampai kedalaman 0,5 meter (untuk kolam pertumbuhan satu), 0,2 meter untuk kolam pertumbuhan dua, dan 0,5 meter untuk kolam pertumbuhan tiga.

(15)

d. Pengisian Komponen Rawa

Pada tahap ini dilakukan pengisian rawa dengan material pengisi, yang terdiri dari: batu gamping, lumpur AAT, bahan organik segar dan bahan organik yang sudah dikeringkan. Pengisian komponen rawa dilakukan setelah konstruksi masing-masing komponen selesai. Komposisi bahan pengisi untuk masing-masing komponen rawa buatan dapat dilihat pada Gambar 8.

e. Perapihan Konstruksi Rawa

Pada tahap ini dilakukan perapihan terhadap tanggul, meliputi pemeriksaan kondisi tanggul dan perbaikan terhadap tanggul yang berpotensi rusak. Upaya pencegahan kerusakan tanggul terutama pada tanggul terluar dilakukan dengan pemasangan siring atau pelapisan tanggul terluar dengan menggunakan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Pada tahap ini juga dilakukan pemasangan pipa PVC berdiameter 4 inchi sebagai penghubung antar komponen termasuk pada pintu masuk dari titik inlet ke rawa buatan. Pipa dilengkapi dengan pintu air sederhana sehingga sewaktu-waktu dapat ditutup dan dibuka.

Batu kapur (CaCO3)

Bahan organik segar

Bahan organik kering Lumpur endapan settling pond Kolam

Pertumbuhan satu Pertumbuhan dua Kolam

Organic Wall satu

Organic Wall dua

Lumpur endapan AAT

10cm 50 cm 20cm 20cm 50cm 30cm 60cm 20cm 30cm 30cm 10cm 10cm 40cm Permukaan air Pipa Keterangan :

Gambar 8 Komposisi bahan pengisi pada komponen rawa buatan

Kolam Pertumbuhan

(16)

Inkubasi Anaerob

Inkubasi dilakukan dengan menggenangi seluruh area rawa buatan dalam sistem tertutup. Inkubasi dilakukan dua kali yaitu dengan air hujan dan AAT. Penggenangan dengan air hujan dilakukan untuk meratakan permukaan substrat padat sebelum penanaman. Sedangkan inkubasi berikutnya dilakukan setelah rawa buatan lengkap, di mana kolam pertumbuhan telah selesai ditanami. Inkubasi ini dilakukan sampai diperoleh kondisi rawa buatan yang reduktif di bawah cekaman AAT.

Selama proses inkubasi dilakukan pemantauan terhadap nilai potensial redoks (Eh), pH dan konsentrasi sulfat yang terlarut dalam air. Potensial redoks merupakan parameter utama untuk mengukur intensitas reduksi, dan mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Sanchez 1976). Inkubasi anaerob dilakukan sampai rawa buatan dinyatakan dalam keadaan tereduksi. Mengacu kepada Patrick dan Mahapatra (1968), nilai Eh untuk keadaan tereduksi adalah kurang dari +100 mV. Pada kondisi tereduksi, pH air genangan akan stabil pada nilai 6 sampai 7.

Penanaman

Penanaman dilakukan setelah rawa buatan diinkubasi dengan air hujan selama beberapa hari. Kolam pertumbuhan pertama ditanami dengan tumbuhan ekor kucing (Typha sp.) dengan jarak tanam 75 sentimeter x 75 sentimeter, kolam pertumbuhan dua ditanami dengan Darendeng (Cyperus sp.) dengan jarak tanam 30 sentimeter x 30 sentimeter, dan pada kolam pertumbuhan tiga ditumbuhkan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) yang disebar langsung di atas kolam.

Pengoperasian Sistem Rawa Secara Kontinyu

Pengoperasian secara kontinyu dilakukan setelah tahap inkubasi anaerob dengan AAT selesai. Sebelum pengoperasian, air genangan dari dalam rawa buatan dialirkan melalui titik outlet. Pengoperasian dilakukan dengan mengalirkan AAT masuk ke sistem rawa melalui titik inlet dan keluar dari titik outlet. Debit AAT dikontrol melalui pintu air di inlet. Monitoring kualitas air dilakukan dua hari sekali pada titik-titik pengamatan yang telah ditentukan (Gambar 9).

(17)

Pengambilan contoh dan Pengukuran

Contoh yang diambil dan dilakukan pengukuran meliputi contoh: material overburden, air, substrat padat, dan tanaman. Masing-masing contoh yang telah diambil kemudian dianalisis di laboratorium, metode pengukuran contoh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Metode pengukuran contoh

Jenis Contoh Parameter Analisis Metode Pengukuran Overburden Potensi kemasaman NAG-test

Air pH dan Eh Elektroda

Sulfat terlarut Turbidimetri Fe dan Mn terlarut AAS

Substrat padat pH Elektroda

Sulfat Turbidimetri

Fe dan Mn terlarut AAS

Tanaman Produktivitas Berat biomassa ubinan Total Sulfur Turbidimetri

Fe dan Mn Total AAS

a. Contoh Material Overburden

Pengambilan contoh dilakukan terhadap material overburden (OB) pada disposal yang menjadi penyebab timbulnya AAT di lokasi penelitian dan material OB yang digunakan untuk penimbunan area genangan. Contoh OB dari disposal diambil secara komposit dengan dua kali ulangan pada disposal yang paling dekat dengan lokasi penelitian, sementara contoh OB untuk penimbunan diambil secara komposit pada tumpukan material yang telah ditranslokasi dari pit tambang aktif ke lokasi penelitian. Analisis dilakukan terhadap potensi OB dalam memproduksi asam secara kuantitatif yang ditetapkan dengan uji net acid generation (NAG-test). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.

(18)

b. Contoh Air

Pengambilan contoh air dilakukan pada saat rawa buatan diinkubasi dengan AAT dan pada tahap pengoperasian sistem rawa secara kontinyu. Pengamatan karakteristik air pada tahap inkubasi dilakukan setiap hari selama 10 hari. Awal inkubasi dihitung pada 2 minggu setelah penanaman. Pengamatan pada tahap pengoperasian rawa secara kontinyu dilakukan dua hari sekali selama 3 minggu yang dihitung dari satu hari setelah inkubasi selesai. Gambar 9 menggambarkan posisi titik pengambilan contoh air pada setiap komponen rawa buatan. Contoh air diambil pada kedalaman ± 10 centimeter yang dilakukan secara komposit dari tepi dan tengah. Contoh air dikemas pada botol sample ± 600 ml, kemudian disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu ± 4oC sampai contoh dianalisis. Penetapan pH dan Eh air dilakukan langsung di lapang (on site) dengan menggunakan pH dan Eh meter. Analisa kadar sulfat terlarut dilakukan dengan metode turbidimetri, yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 435 nm. Penetapan kadar besi dan mangan dilakukan dengan menggunakan AAS.

c. Contoh Substrat Padat

Contoh substrat padat diambil sebelum inkubasi dan sesudah pengoperasian rawa buatan secara kontinyu. Contoh sedimen diambil sebelum inkubasi dan sesudah pengoperasian secara kontinyu. Pengambilan contoh sedimen pada parit dilakukan dengan komposit. Contoh sedimen di kolam, diambil dari daerah perakaran tanaman yang dijadikan contoh (Gambar 9). Contoh diambil sebanyak ± 1 kilogram dan dikemas tertutup pada plastik sample. Sifat substrat padat yang dianalisis yaitu: pH, total sulfur (sebagai sulfat), dan konsentrasi besi dan mangan terlarut. Penetapan pH substrat dilakukan terhadap pH aktual (pH H2O) yang diukur dengan pH meter. Penetapan total

sulfur dilakukan terhadap ekstraktan contoh menggunakan KH2PO4 (500 ppm

P), pengukuran total sulfur dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Penetapan konsentrasi besi dan mangan dilakukan terhadap ekstraktan contoh dengan pelarut HCl 0,05 N yang diukur dengan AAS.

(19)

Gambar 9 Lokasi pengambilan contoh air, substrat, dan tanaman

Lokasi Pengambilan Contoh Air :

Inlet : kode titik contoh air sebelum masuk

ke rawa buatan

1: kode titik contoh pada organic wall satu 2 : kode titik contoh pada kolam

pertumbuhan satu

3 : kode titik contoh pada organic wall dua 4 : kode titik contoh pada kolam

pertumbuhan dua

5 : kode titik contoh pada kolam pertumbuhan tiga

Outlet : kode titik contoh air setelah masuk

ke rawa buatan

a : posisi titik pada komponen rawa buatan yang lebih dekat ke inlet

b : posisi titik pada komponen rawa buatan yang lebih dekat ke outlet

Lokasi Pengambilan Contoh Substrat : OW1: kode titik contoh pada organic

wall satu

KP1 : kode titik contoh pada kolam pertumbuhan satu

OW2 : kode titik contoh pada organic

wall dua

KP2 : kode titik contoh pada kolam pertumbuhan dua

1, 2, 3, 4 : ulangan pengambilan contoh substrat T2 T1 T4 T3 E1 Inlet Outlet 1a 1b 2a 2b 3a 3b 4a 4b 5 C1 C2 C4 C3 OW1-3 KP1-1 KP1-2 E2

= Lokasi Pengambilan Contoh Air = Lokasi Pengambilan Contoh Tanaman = Lokasi Pengambilan Contoh Substrat Keterangan :

Lokasi Pengambilan Contoh Tanaman : T : kode contoh tanaman Typha sp C : kode contoh tanaman Cyperus sp E : kode contoh tanaman Echornia

crassipes

1, 2, 3, 4 : ulangan pengambilan contoh tanaman OW1-2 OW1-1 KP1-4 KP1-3 OW2-1 OW2-2 OW2-3 KP2-2 KP2-1 KP2-3 KP2-4

(20)

d. Contoh Tanaman

Pengambilan contoh tanaman dilakukan setelah tahap pengoperasian secara kontinyu selesai. Pada saat itu, tanaman berumur 42 hari. Pemanenan tanaman dilakukan dengan cara ubinan. Ukuran plot ubinan 1,5 meter x 1,5 meter untuk tanaman Typha sp. sedangkan untuk Cyperus sp. plot ubinan berukuran 0,6 meter x 0,6 meter. Pengukuran berat tanaman dilakukan terhadap tanaman yang diambil per ubinan yang akan dikonversi ke dalam produktivitas tanaman (ton/ha). Penetapan total sulfur dilakukan terhadap ekstraktan contoh tanaman yang diperoleh dari pengabuan basah, pengukuran dilakukan dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Penetapan konsentrasi besi dan mangan dilakukan terhadap ekstraktan contoh tanaman yang diperoleh dari pengabuan kering dengan pelarut HCl 0,1 N, pengukuran dilakukan dengan AAS.

Analisis dan Penyajian Data

Data hasil pengukuran baik yang dilakukan di lapang maupun di laboratorium disajikan dalam bentuk grafik dan tabel untuk melihat trend data dari titik inlet sampai outlet pada setiap parameter yang dianalisis. Analisis data juga dilakukan terhadap hasil pengukuran konsentrasi besi, mangan, dan sulfat pada air untuk mengetahui persentase pengurangan atau efisiensi reduksi (R) dari kadar unsur-unsur tersebut setelah dikelola dalam sistem rawa buatan.

Keterangan :

R (Removal) = Efesiensi Reduksi (%)

[Me]water in = Konsentrasi bahan polutan pada inlet

[Me]water out = Konsentrasi bahan polutan pada outlet

X 100% [Me]water in – [Me]water out

[Me]water in R (%) =

Gambar

Gambar 3  Stabilitas besi dalam bentuk terlarut dan padatan yang merupakan  fungsi dari pH dan Eh pada tekanan udara 1 atm dan suhu 25 o C  (Elder, 1985 dalam Brooke, 2011)
Gambar 4 Diagram Eh – pH untuk pasangan redoks Mn(IV) dan Mn(II)
Gambar 5  Proses mikrobiologi yang mengakibatkan reduksi sulfat dalam  sebuah substrat karbon organik (Logan et al., 2005)
Gambar 6 Layout konstruksi rawa buatan di lokasi penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sejatinya kehidupan adalah saling memiliki ketergantungan antara sesame manusia dan dalam kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari aturan- aturan, baik yang bersumber dari

Bahwa, sekarang para pemohon merasa sangat perlu akte Perkawinan tersebut, untuk membuat /memperbaiki akta kelahiran ketiga anak pemohon tersebut dan para

Waran berdasarkan prinsip syariah adalah efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang efek yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah

Awalnya penjualan eceng gondok oleh penduduk Desa Kebondowo dikirimkan ke Yogyakarta dalam bentuk basah dan kering, namun setelah berdirinya KUPP Karya Muda

Untuk membuktikan bahwa layanan penyampaian menurut Peraturan Dirjen Pajak PER-29/PJ/2014 yaitu secara langsung ke kantor pelayanan pajak, dropbox, jasa ekspedisi

Di Indonesia, dalam upaya mempercepat pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup khususnya jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, maka pada tanggal 21

Kecuali jumlah aktiva yang digunakan ikut diperhitungkan , pihak managemen senior akan sulit untuk membandingkan kinerja laba dari suatu unit usaha dengan unit usaha yang lain,

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, peneliti dapat menyimpulkan upaya yang sudah dilakukan oleh pihak RUTAN dalam meningkatkan harapan hidup warga