• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS VEGETASI, KARAKTERISTIK TANAH DAN KOLONISASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA YANTI NOVERA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS VEGETASI, KARAKTERISTIK TANAH DAN KOLONISASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA YANTI NOVERA"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS VEGETASI, KARAKTERISTIK TANAH DAN

KOLONISASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA)

PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH

DI PULAU BANGKA

YANTI NOVERA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Analisis Vegetasi,

Karakteristik Tanah dan Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka” adalah benar hasil karya

sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2008

Yanti Novera G351060041

(3)

ABSTRACT

YANTI NOVERA. Analysis of Vegetation, Soil Characteristics and Arbuscular

Mycorrhizal Fungi (AMF) Colonization of Post Tin Mining Land in Bangka Island. Supervised by IBNUL QAYIM and NAMPIAH SUKARNO

Tin mining activity caused changing in physical, chemical and biological characteristics of the soils that were not suitable for growth of plants. Tin mining activity produced two types of soil e.g. tailing and overburden. Tailing is the soil containing 90% sand, whereas overburden is the soil resulted from stripping of soil layers during mining activity. The aim of this research was to study the composition and vegetation structure, and physical, chemical and biological soil properties after revegetation program of the post tin mining land in Bangka Island. Nine sites were selected in this experiment. Eight sites were post tin mining lands and a secondary forest land. Three stages of revegetated land, 3,16 and 28 years old, were used as revegetation program treatment. The secondary forest and nonrevegetated land were used as control treatments. Composition and vegetation structure were studied to analyse diversity of plants, soil textures were measured to analyze soil physical characteristics, whereas pH, C, N, C/N Ratio, P2O5, cation exchange capacity (CEC) were measured to analyze soil chemical characteristics. The biological characteristic studied was Arbusclar Mychorrizal Fungi (AMF) since this fungi is obiquitos in nature and assosiated with most of the plants in the world. The AMF analysis was carried out only for predominant trees grown in all sites tested. The results indicated that composition and vegetation structure were differed at all sites tested. Acacia mangium was predominant species on all revegetated land and secondary forest. Older revegetated land tended to have less sand, higher nutrient content and CEC. All plants except Melaleuca leucadendron and Eucalyptus urophyla were colonized by AMF. The AMF fungi isolated were Glomus, Gigaspora and Scutellospora. Glomus was predominant genera at all sites studied.

Key Words : post mining tin land, revegetation, soil characteristic, arbuscular mycorrhizal fungi (AMF)

(4)

RINGKASAN

YANTI NOVERA. Analisis Vegetasi, Karakteristik Tanah dan Kolonisasi Fungi

Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan NAMPIAH SUKARNO

Kegiatan penambangan timah di Pulau Bangka dilakukan sejak zaman Belanda dengan cara tambang semprot. Kegiatan ini menyebabkab perubahan sifat fisika, kimia dan biologi tanah sehingga tanah tidak mendukung pertumbuhan vegetasi pada lahan tersebut. Tanah pada daerah pasca penambangan timah umumnya mengalami kerusakan yang sangat berat karena bahan tambang biasanya berada di bagian bawah tanah, sehingga untuk mendapatkannya dilakukan pengangkatan tanah yang berada di atasnya. Oleh karena itu penambangan timah menghasilkan lahan bekas tambang berupa hamparan pasir tailing dan overburden. Tailing ialah tanah sisa galian tambang yang berupa tumpukan pasir dan kerikil yang dibuang setelah mengalami pencucian. Lahan ini mengandung fraksi pasir lebih dari 90%. Overburden merupakan material yang dipindahkan pada waktu pengupasan (stripping) yang terdiri dari campuran tanah, bahan induk tanah, pasir, kerikil dan lain-lain. Lahan ini memiliki sifat heterogen dan tidak kompak.

Tujuan penelitian ini ialah untuk mempelajari struktur dan komposisi vegetasi, sifat fisika, kimia dan biologi tanah pada lahan bekas tambang timah yang sudah direvegetasi selama 3, 16, dan 28 tahun. Lahan yang belum ditambang (hutan sekunder) dan lahan pasca penambangan yang belum direvegetasi digunakan sebagai kontrol.

Analisis kuantitatif terhadap struktur dan komposisi vegetasi dilakukan pada dua puluh petak contoh (plot) dengan teknik pengambilan contoh menggunakan metode kuadrat. Komposisi vegetasi ditentukan oleh jumlah individu dan jumlah spesies tumbuhan. Struktur vegetasi dihitung dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Dominansi spesies tumbuhan untuk semua fase pertumbuhan vegetasi ditentukan dengan menghitung indeks nilai penting (INP). Berdasarkan INP selanjutnya dihitung indeks keanekaragaman spesies menggunakan indeks keanekaragaman Shanon. Sifat fisika tanah yang dianalisis ialah persentase kadar pasir, debu dan liat (tekstur tanah), sedangkan sifat kimia tanah meliputi pH tanah, kadar N, C, rasio C/N, P2O5, Ka, Ca, Na, Al dan kapasitas tukar kation (KTK). Analisis sifat biologi tanah dilakukan dengan cara mempelajari keragaman kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada tumbuhan fase pohon dan keragaman funginya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan struktur dan komposisi vegetasi pada semua lokasi penelitian. Acacia mangium merupakan spesies tumbuhan yang dominan pada semua lokasi penelitian, baik pada lahan bekas tambang yang sudah direvegetasi maupun pada hutan sekunder. Tanah pada lahan bekas tambang yang sudah direvegetasi selama 3, 16 dan 18 tahun masih merupakan lahan marginal. Peningkatan sifat fisika dan kimia tanah terjadi seiring bertambahnya usia revegetasi. Makin lama usia revegetasi fraksi pasir semakin kecil, kadar bahan organik dan KTK tanah makin tinggi.

(5)

Analisis kolonisasi FMA pada sembilan spesies tumbuhan menunjukkan semua spesies kecuali Melaleuca leucadendron dan Eucalypthus urophylla terkolonisasi FMA. Struktur kolonisasi FMA yang ditemukan pada akar tumbuhan A. mangium, Schima wallichii, Paraserianthes falcataria dan Hevea brasiliensis ialah tipe arum. Struktur kolonisasi yang ditemukan pada akar tumbuhan Bridelia tomentosa ialah tipe paris. Kombinasi kolonisasi tipe Arum dan tipe Paris ditemukan pada spesies Dyera costulata dan Breynia cernua. Pada ke dua spesies tumbuhan ini terdapat arbuskula yang terbentuk secara interkalar dari hifa yang tumbuh secara longitudinal pada ruang antar sel dan dari hifa koil. Fungi mikoriza arbuskula yang berhasil diidentifikasi terdiri dari tiga genus yaitu Glomus, Gigaspora dan Scutellospora. Glomus merupakan genus yang dominan pada semua lokasi penelitian.

Kata kunci: lahan bekas tambang, revegetasi, karakteristik tanah, fungi mikoriza arbuskula (FMA)

(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

ANALISIS VEGETASI, KARAKTERISTIK TANAH DAN

KOLONISASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA)

PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH

DI PULAU BANGKA

YANTI NOVERA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(8)

Judul Tesis : Analisis vegetasi, Karakteristik Tanah dan Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka

Nama : Yanti Novera

NRP : G351060041

Departemen : Biologi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ibnul Qayim Dr. Ir. Nampiah Sukarno Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sangatlah sulit untuk menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr.Ir. Ibnul Qayim dan Dr. Ir. Nampiah Sukarno selaku pembimbing atas ilmu, waktu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. 2. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, selaku penguji atas kritik dan sarannya untuk

kesempurnaan tesis ini.

3. Departeman Agama RI atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan. 4. Direktur dan seluruh karyawan PT Koba Tin atas kerjasamanya dalam

penelitian ini.

5. Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati & Bioteknologi (PPSHB) IPB, Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, Laboratorium Mikologi, dan Laboratorium Terpadu Biologi IPB atas fasilitas penelitian yang telah disediakan.

6. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang diberikan kepada Dr. Ir. Nampiah Sukarno atas bantuan dana untuk melaksanakan sebagian dari penelitian ini.

7. Herbarium Bogoriense-LIPI, Dr. Kartini Karmadibrata atas bantuan yang dalam penyelesaian tesis ini.

8. Suami tercinta Samsul Rizal SE, atas segala cinta, dorongan, doa dan pengorbanan yang diberikan.

9. Keluarga yang penulis banggakan Ibunda Haidar, Ayahanda H. Syahfiar saudaraku Buray, Cuniang, Itam atas segala kasih sayang yang senantiasa dilimpahkan dan doa yang selalu dikirimkan.

10. Rekan-rekan BUD Depag angkatan 2006 yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, Amin Ya Rabbal Alamin.

Bogor, September 2008

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 29 November 1969 sebagai anak ke tiga dari lima bersaudara keluarga ayah H. Syahfiar dan ibu Haidar. Lulus pendidikan Sekolah Menengah Atas tahun 1988 di SMA Negeri Padang Panjang, dan pada tahun yang sama penulis menjadi mahasiswa di Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Padang. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1992.

Tahun 1995 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil ditempatkan di Madrasah Aliyah Negeri Koto Baru Padang Panjang sebagai guru mata pelajaran Biologi. Tahun 2006 melalui beasiswa utusan daerah (BUD) DEPAG, penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Kerangka Pemikiran ... 2 Tujuan Penelitian ... 4 Hipotesis Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Penambangan Timah dan Lahan Bekas Penambangan ... 5

Struktur dan Komposisi Vegetasi ... 6

Mikoriza... 9

Pengertian Mikoriza ... 9

Peranan Mikoriza ... 9

Mikoriza Arbuskula... 10

DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis ... 15

Iklim dan Cuaca ... 16

Kabupaten Bangka Tengah dan PT Koba Tin ... 16

Keadaan Tanah... 17

METODOLOGI PENELITIAN... 18

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat... 18

Metode Penelitian... 19

Analisis Vegetasi dan Pengambilan Contoh Tanah ... 19

Penyuburan (Trapping)... 21

Pewarnaan Akar ... 21

Isolasi Spora ... 22

Identifikasi Spora ... 22

Jenis dan Sumber Data ... 22

Analisis Data Vegetasi ... 22

Analisis Kolonisasi FMA ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN... 24

Analisis Vegetasi... 24

Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Relatif (DR)... 25

Dominansi Relatif (DR) ... 29

(12)

Analisis sifat Fisika Tanah... 36

Analisis Sifat Kimia Tanah... 38

Analisis Kolonisasi (FMA)... 42

Keragaman FMA... 47

SIMPULAN DAN SARAN ... 53

Simpulan... 53

Saran... 54

DAFTAR PUSTAKA... 55

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Lokasi analisis vegetasi dan pengambilan contoh tanah... 18

2 Nilai Kerapatan Relatif (KR) tertinggi berdasarkan usia revegatasi ... 26

3 Nilai Frekuensi Relatif (FR) tertinggi berdasarkan usia revegetasi... 28

4 Nilai Dominansi Relatif (DR) tertinggi berdasarkan usia revegetasi ... 29

5 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada ROB-3 ... 30

6 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada RTL-3 ... 30

7 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada ROB-16 ... 31

8 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada RTL-16 ... 31

9 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada ROB-28 ... 31

10 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada RTL-28 ... 32

11 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada R... 32

12 Indeks Keanekaragaman Jenis pada tiap lokasi penelitian... 33

13 Jenis jenis tumbuhan bawah pada R ... 34

14 Jenis jenis tumbuhan bawah pada ROB-3... 34

15 Jenis jenis tumbuhan bawah pada RTL-3 ... 34

16 Jenis jenis tumbuhan bawah pada ROB-16... 35

17 Jenis jenis tumbuhan bawah pada RTL-16... 35

18 Jenis jenis tumbuhan bawah pada ROB-28... 35

19 Jenis jenis tumbuhan bawah pada RTL-28... 36

20 Hasil analisis tekstur tanah hutan sekunder (R) dan Tailing (RTL) ... 37

21 Hasil analisis tekstur tanah overburden (ROB) ... 37

22 Hasil analisis sifat kimia tanah hutan sekunder (R) dan tailing (RTL)... 39

23 Hasil analisis sifat kimia tanah overburden (ROB) ... 40

24 Struktur kolonisasi FMA pada sembilan jenis tanaman... 44

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3

2 Peta kabupaten dan kota di Pulau Bangka... 15

3 Desain unit contoh vegetasi... 20

4 Komposisi vegetasi di semua lokasi penelitian ... 25

5 Perbandingan fraksi pasi, debu dan liat tanah pada lokasi penelitian... 38

6 Perbandingan C-organik, N total dan ratio C/N pada lokasi penelitian... 40

7 Perbandingan nilai pH dan KTK tanah pada lokasi penelitian... 42

8 Penyuburan FMA pada sapihan dari pohon dominan... 43

9 Beberapa struktur kolonisasi FMA ... 46

10 Glomus sp1 ... 48 11 Gomus sp2 ... 48 12 Glomus sp3 ... 48 13 Glomus sp4 ... 48 14 Glomus sp5 ... 49 15 Glomus sp6 ... 49 16 Glomus sp7 ... 50 17 Glomus sp8 ... 50 18 Glomus sp9 ... 50 19 Glomus sp10 ... 50 20 Gigaspora sp... 51 21 Scutellospora sp1 ... 51 22 Scutellospora sp2 ... 51

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada R ... 61

2 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada R ... 61

3 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada R ... 62

4 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada R ... 62

5 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada RTL-3 ... 62

6 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada RTL-3 ... 62

7 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada ROB-3... 63

8 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada ROB-3... 63

9 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada RTL-16 ... 63

10 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada RTL-16 ... 64

11 Nilai KR, FR, DR dan INP fae tiang pada RTL-16 ... 64

12 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada RTL-16 ... 64

13 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada ROB-16... 64

14 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada ROB-16... 65

15 Nilai KR, FR, DR dan INP tiang pada ROB-16... 65

16 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada ROB-16... 65

17 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada RTL-28 ... 66

18 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada RTL-28 ... 66

19 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada RTL-28 ... 66

20 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada RTL-28 ... 66

21 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada ROB-28... 67

22 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada ROB-28... 67

23 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada ROB-28... 68

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertambangan dan pengolahan mineral merupakan bidang-bidang utama dalam kegiatan ekonomi Indonesia. Saat ini industri pertambangan berperan dalam menghasilkan bagian yang cukup besar dalam penerimaan ekspor negara, dan peranan ini terus meningkat. Luas permukaan daratan Indonesia yang telah diizinkan untuk kegiatan pertambangan relatif kecil (1.336 juta ha atau 0.7 % dari area daratan total), bahkan luas areal total penambangan yang masih aktif dan sudah selesai ditambang lebih kecil lagi (36.743 ha atau 0.0019 dari area daratan total). Sekalipun areal total yang terusik secara nasional relatif kecil, kebanyakan kegiatan penambangan menerapkan teknik penambangan di permukaan (surface mining) yang dengan sendirinya mengakibatkan usikan terhadap lanskap setempat, areal-areal vegetasi yang ada dan habitat fauna menjadi rusak, dan pemindahan lapisan atas yang menutupi cadangan mineral menghasilkan perubahan yang nyata dalam topografi, hidrologi dan kestabilan lansekap (PKRLT. Fakultas Pertanian UGM 2006).

Kegiatan penambangan umumnya menggunakan lahan yang luas, memanfaatkan sumberdaya tak terbarukan dan menghasilkan banyak limbah serta menciptakan lahan terdegradasi yang tidak produktif. Proses penambangan timah di Pulau Bangka dilakukan dengan cara tambang semprot. Kegiatan penambangan ini berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan, mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah dan tanah menjadi terdegradasi dalam jangka panjang. Kegiatan penambangan timah juga menyebabkan perubahan komponen iklim mikro seperti suhu, air, kelembaban tanah dan aerasi tanah serta kandungan hara tanah. Selain itu juga menurunkan kesuburan tanah, mengurangi areal hutan, berkurangnya ketersediaan hasil hutan dan hilangnya vegetasi.

Lahan bekas penambangan timah dapat berupa hamparan pasir tailing dan overburden. Tailing merupakan lahan yang mengandung fraksi pasir lebih dari 94%, fraksi liat kurang dari 3%, kandungan bahan organik kurang dari 2%, C- organik dan daya permiabilitas air sangat rendah. Overburden mempunyai sifat heterogen yang tidak kompak, merupakan material yang dipindahkan pada waktu pengupasan (stripping) yang terdiri dari campuran tanah, bahan induk tanah, pasir,

(17)

kerikil dan lain-lain. Kondisi lahan bekas tambang seperti ini akan sangat berpengaruh terhadap struktur dan komposisi vegetasi serta keragaman mikroba tanah termasuk fungi mikoriza yang ada di lingkungan itu. Adanya kegiatan pra penambangan, saat penambangan dan setelah penambangan menyebabkan hilangnya sejumlah besar vegetasi di areal penambangan.

Suksesi yang berlangsung secara alami untuk mengembalikan lahan pada kondisi mendekati semula memerlukan waktu puluhan tahun. Elfis (1998) menyatakan dari analisis sifat fisika dan kimia tanah pada berbagai kelompok umur bekas penambangan timah di Pulau Singkep, pemulihan sifat fisika dan kimia tanah membutuhkan waktu 150 tahun agar terbentuk vegetasi kerangas.

Revegetasi pada lahan bekas tambang timah dilakukan agar lahan ini dapat dimanfaatkan kembali. Revegetasi merupakan satu cara untuk mempercepat proses rehabilitasi pada lahan bekas tambang yang memiliki sifat fisika dan kimia tanah yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Revegetasi lahan bekas tambang diharapkan dapat memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah, sehingga tanah dapat menjadi media tumbuh yang kondusif bagi tumbuhan.

Informasi tentang lahan bekas tambang timah yang sudah direvegetasi selama ini masih jarang didapatkan, karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan mempelajari struktur dan komposisi vegetasi, karakteristik tanah serta kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada lahan bekas tambang timah yang sudah direvegetasi selama 3, 16 dan 28 tahun.

Kerangka Pemikiran

Kegiatan penambangan timah, di samping menghasilkan bahan tambang yang bernilai ekonomi juga menyisakan lahan bekas tambang berupa pasir tailing dan overburden yang memiliki sifat-sifat yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Lahan bekas tambang merupakan lahan marginal dengan tekstur pasir, memiliki pori berukuran makro sehingga daya ikat terhadap air rendah. Selain itu lahan bekas tambang juga memiliki pH rendah, miskin unsur hara sehingga tidak mendukung bagi pertumbuhan tanaman sehingga lahan ini memiliki vegetasi dan mikroflora tanah yang rendah.

(18)

Keberhasilan revegetasi lahan bekas tambang dapat dilihat dari struktur dan komposisi vegetasi, sifat fisika, kimia dan biologi tanah serta mikroflora tanah setelah beberapa lama kegiatan ini dilaksanakan.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari struktur dan komposisi vegetasi, sifat tanah dan kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada lahan bekas tambang yang telah direvegetasi selama 3, 16 dan 28 tahun. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan pertimbangan untuk kegiatan revegetasi lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Kegiatan Penambangan

Produk Tambang

Lahan Bekas Tambang

Bernilai ekonomi Hasil Tambang Analisis ekologi - analisis vegetasi - analisis tanah - analisis CMA

Menghasilkan data awal dan merekomendasikan jenis tumbuhan untuk

revegetasi lahan bekas tambang timah

Overburden dan Tailing

Penurunan keragaman vegetasi

Sifat fisika – kimia tanah rendah. Tanah tercemar logam

berat Mempengaruhi keragaman dan kolonisasi fungi mikoriza arbuskula 3

(19)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1.Mempelajari perbedaan struktur dan komposisi vegetasi pada tiga tingkat umur revegetasi lahan pasca penambangan timah.

2.Mempelajari perbedaan sifat fisika dan kimia tanah pada tiga tingkat umur lahan revegetasi pasca penambangan timah.

3.Mempelajari kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada tiga tingkat umur revegetasi lahan pasca penambangan timah.

Lahan bekas tambang timah yang menjadi objek penelitian ini adalah tailing dan overburden yang belum direvegetasi, yang telah direvegetasi selama 3, 16 dan 28 tahun. Lahan bekas tambang timah yang belum direvegetasi dan hutan sekunder digunakan sebagai kontrol.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah :

1.Terdapat perbedaan struktur dan komposisi vegetasi pada beberapa tingkat umur revegetasi lahan bekas tambang timah.

2.Terdapat perbedaan tekstur, sifat fisika dan kimia tanah pada beberapa tingkat umur revegetasi lahan bekas tambang timah.

3.Terdapat perbedaan kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada beberapa tingkat umur revegetasi lahan bekas tambang timah.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Penambangan Timah dan Lahan Bekas Penambangan

Kegiatan pertambangan pada berbagai bahan mineral mengakibatkan tanah menjadi rusak dan kehilangan kesuburannya, karena tanah harus disingkirkan terlebih dahulu untuk mendapatkan bahan yang ditambang. Lapisan atas dan lapisan bawah tanah (top soil dan sub soil) dibalik dan digusur sehingga bahan induk akan muncul di permukaan (Bradshaw dan Chadwick 1989, diacu dalam Kusumastuti 2005).

Penambangan mengakibatkan keseimbangan unsur hara terganggu sedangkan kelarutan unsur yang bersifat racun meningkat. Tanah pada daerah pasca penambangan umumnya mengalami kerusakan yang hebat karena bahan tambang biasanya berada di bagian bawah tanah, sehingga untuk mendapatkan bahan yang dimaksud tanah harus disingkirkan terlebih dahulu (stripping) dan ditimbun / ditumpuk pada lokasi lain yang dipakai sebagai areal penimbunan sisa penggalian tambang (overburden dan tailing). Lapisan overburden (batuan limbah) adalah tanah atau batuan yang menutupi lapisan deposit mineral di bagian bawahnya. Tailing pada penambangan timah adalah sisa galian tambang yang berupa tumpukan pasir dan kerikil yang dibuang setelah mengalami pencucian (PT. Timah 1991).

Saptaningrum (2001) dalam penelitiannya di pulau Bangka (Kota Pangkal Pinang dan Sungai Liat) mendapatkan sifat fisik dan kimia tanah yang rendah dalam menunjang pertumbuhan tanaman yang digunakan PT. Tambang Timah dalam upaya reklamasi. Tailing setelah penambangan mempunyai kadar pasir yang sangat tinggi, pH menjadi masam (3.8 – 4.3), peningkata kadar Al-dd, penurunan nilai KTK dan kadar C-organik tanah, kandungan P tersedia menurun drastis, basa-basa dalam tanah yang awalnya tergolong rendah juga mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tanah asli sebelumnya.

Aktivitas pertambangan oleh manusia dapat berpengaruh destruktif terhadap lahan, tumbuhan dan hewan. Dalam pencarian mineral dan lain sebagainya, tidak hanya vegetasi, hewan dan tanah lapisan atas yang disingkirkan, tetapi juga sering bentuk lahan (landform) diubah. Ekosistem alami terganggu dan yang akan

(21)

tertinggal hanyalah lubang-lubang kosong, timbunan limbah atau keduanya (Bradshaw 1983, diacu dalam Ervayendri 2005).

Sifat tailing yang merugikan bagi pertumbuhan tumbuhan adalah konsentrasi logam berat dan garam yang tinggi, kurangnya unsur hara penting dan mikroorganisme, sifat dan struktur tanah yang membatasi aerasi dan infiltrasi serta tingginya daya pemantulan sinar atau absorpsi panas (PT. Timah 1991).

Lahan pasca penambangan umumnya mempunyai sifat fisika dan kimia yang tidak menguntungkan, bertesktur pasir, berkerikil atau berbatu, kemampuan menahan air kurang dari 20%, kandungan unsur hara rendah, pH rendah, kapasitas tukar kation rendah, kandungan logam berat seperti aluminium, besi dan mangan tinggi. Hasil penelitian Kusumastuti (2005) di Pulau Bangka menunjukkan bahwa kandungan logam berat pada tailing timah cukup tinggi yaitu: 3040 ppm Fe, 15.8 ppm Mn, 1.9 ppm Cu, 6.29 ppm Pb, 0.02 ppm Cd, 0.37 ppm Co, dan 1.43 ppm Cr pada tailing yang berumur satu tahun. Penelitian Amriwansyah (1990) pada tiga lokasi tambang di Pulau Bangka melaporkan bahwa aktivitas penambangan berpengaruh nyata meningkatkan persentase pasir dan menurunkan persentase debu, liat, bahan organik tanah, air tersedia, pH tanah, aluminium dapat ditukar, nitrogen total, fosfor tersedia, kalium tersedia serta kapasitas tukar kation.

Struktur dan Komposisi Vegetasi

Dalam penyimpanan unsur hara, vegetasi di daeah tropis lebih penting daripada tanahnya yang hanya menyimpan 5-20% unsur hara yang ada, sedang di daerah beriklim sedang tanah merupakan tempat persediaan hara. Hal ini disebabakan karena tanah tropis sangat peka dan cepat berubah akibat adanya hujan, matahari dan angin yang dapat mengikis humus sebagai pembentuk tanah tersebut, sehingga kondisi fisiknya turun. Kebanyakan tanah di daerah tropis dapat berfungsi sebagai penyimpan unsur hara jika tanah tertutup terus menerus oleh tumbuhan (Neugabeur 1987). Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya.

(22)

Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:

1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.

2. Sebaran horisontal spesies-spesies penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.

3. Kelimpahan (abundance) setiap spesies dalam suatu komunitas.

Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor, seperti: flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain lain), waktu dan kesempatan (Marsono 1999).

Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan/komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan, termasuk juga sejarah vegetasi dan prediksi perkembangan vegetasi. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan (Growth form), stratifikasi dan penutupan tajuk (coverage) (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Analisis vegetasi memerlukan data-data spesies, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan, pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas spesies dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman spesies dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith 1983).

Berbagai kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan menentukan komposisi spesies berbagai komunitas tumbuhan disebut faktor-faktor habitat. Kata habitat semula digunakan untuk menunjukkan macam tempat yang ditumbuhi oleh tumbuhan tertentu, tetapi sebagai istilah ekologi arti habitat telah berubah menjadi jumlah semua faktor yang menentukan

(23)

kehadiran suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan. Faktor-faktor ini mencakup kondisi fisik dan kimia serta berbagai organisme yang berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan (Loveless 1999). Menurut Setiadi dan Muhadiono (2001) perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi spesies tumbuhan terutama dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan spesies lain serta kondisi pertumbuhan yang berbeda dengan spesies lainnya. Interaksi dari faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator penduga sifat lingkungan yang bersangkutan.

Perubahan habitat yang terjadi akibat kegiatan penambangan menyebabkan revegetasi lahan bekas tambang relatif sulit, karena tanah di lahan pasca tambang menjadi marginal oleh pengupasan tanah lapisan atas saat penyiapan lahan operasi tambang. Kesulitan lain yang juga sering dihadapi di lahan bekas tambang adalah pencemaran oleh limbah yang dihasilkan atau akibat aktivitas tambang itu sendiri. Menurut Kustiawan (2001) di Kalimantan Timur tidak ada satupun spesies vegetasi yang tumbuh pada lahan satu tahun pasca tambang batubara. Adapun pada lahan tiga tahun pasca tambang batubara, kondisi tanah masih sangat keras, sangat sulit ditembus air, pH tanah sangat tinggi yaitu 8.51 dan hanya ditumbuhi oleh satu spesies tumbuhan saja, yaitu seri (Muntingia calambura) dari genus Tiliaceae.

Kelimpahan spesies ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap spesies. Penguasaan suatu spesies terhadap spesies-spesies lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara 1998).

Frekuensi suatu spesies menunjukkan penyebaran suatu spesies dalam suatu areal. Spesies yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya spesies-spesies yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu spesies merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu spesies per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu spesies, makin banyak

(24)

individu spesies tersebut per satuan luas. Dominasi suatu spesies merupakan nilai yang menunjukkan peguasaan suatu spesies terhadap komunitas.

Suatu daerah yang didominasi hanya oleh spesies-spesies tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antara spesies yang tinggi. Lebih lanjut dikatakan, keanekaragaman merupakan ciri dari suatu komunitas terutama dikaitkan dengan jumlah spesies dan jumlah individu tiap spesies pada komunitas tersebut. Keanekaragaman spesies menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi spesies tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah spesies dan kelimpahan relatif dari setiap spesies.

Pengertian Mikoriza

Mikoriza adalah bentuk simbiosis yang menguntungkan antara akar tumbuhan dan fungi tanah. Fungi mikoriza (mikobion) untuk tumbuh dan berkembang memerlukan karbohidrat dari tumbuhan dan tumbuhan (fitobion) memerlukan unsur hara dan air dalam tanah melalui hifa fungi selama siklus hidupnya. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, spesies fungi maupun penyebarannya. Mikoriza tersebar dari artiktundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan sekitar 80 - 90% spesies tumbuhan yang ada.

Fungi pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah. Bahkan pada lingkungan yang tecemar limbah berbahaya fungi mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya.

Peranan Mikoriza

Bagi tanaman inang, adanya asosiasi dengan fungi mikoriza dapat memberikan manfaat yang sangat besar, baik secara langsung maupun tidak

(25)

langsung. Secara tidak langsung mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung fungi mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara dan melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham 1994). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza diduga dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa fungi.

Sieverding (1991) mengemukakan bahwa mikoriza berperan dalam hal : 1) penyerapan nutrisi (hara dan mineral terutama unsur P) bagi tumbuhan; 2) peningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang tidak cocok, tertekan (stress) oleh iklim seperti suhu tinggi dan kekeringan; 3) pemeliharaan interaksi antara berbagai spesies mikroorganisme tanah dan dapat mengendalikan mikroorganisme patogen; 4) perbaikan agregasi tanah dan 5) produksi hormon dan zat pengatur tumbuh tanaman. Selain itu mikoriza juga dapat membentuk sistem jembatan hifa yang berfungsi mengalirkan nutrisi dari tumbuhan inang ke anakan inang, sehingga dengan demikian mikoriza berperan dalam mendukung kelangsungan hidup tumbuhan.

Finlay (2004) menyatakan dalam ekosistem mikoriza memiliki beberapa peran peting seperti peningkatan serapan unsur hara bagi tanaman, peningkatan toleransi tanaman terhadap faktor lingkungan yang ekstrim, mobilisasi N dan P dari senyawa-senyawa organik polimer, siklus karbon, berintegrasi dengan mikroorganisme lain serta mempengaruhi komunitas tumbuhan.

Mikoriza Arbuskula

Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar (tipe) yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Pola asosiasi antara fungi mikoriza dengan akar tanaman inang menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar antara ektomikoriza dan endomikoriza. Pada ektomikoriza jaringan hifa fungi tidak sampai masuk ke dalam sel tapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk hartig net dan mantel di permukaan akar. Simbiosis ini biasanya terjadi pada akar

(26)

spesies-spesies pohon yang dapat dibedakan sistem perakarannya, yaitu tumbuhan yang memiliki akar panjang dan akar pendek. Akar yang dikolonisasi oleh fungi ektomikoriza sebagian mengalami perubahan dalam morfologi dan anatominya. Pada umumnya kolonisasi fungi pada ektomikoriza menyebabkan akar menjadi gemuk dan pendek. Ektomikoriza biasanya ditemukan pada akar melinjo (Gnetum gnemon) Pinus sp., Dipterocarpaceae dan Eucalyptus sp. Fungi ektomikoriza terdiri atas basidiomiset, askomiset dan satu anggota zigomiset yaitu Endogone (Brundrett et al. 1994). Pada endomikoriza kolonisasi fungi terjadi secara interseluler dan intraseluler. Pada mikoriza vesikula arbuskula, setelah penetrasi hifa ke dalam jaringan korteks akar akan membentuk struktur arbuskula yang merupakan percabangan dikotom yang intensif dari hifa intraseluler yang berperan dalam transfer nutrisi antara fungi dan tumbuhan inang. Kadang-kadang juga membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesikula. Vesikula merupakan organ fungi yang berfungsi sebagai penyimpan makanan cadangan.

Endomikoriza dibedakan menjadi enam kelompok, yaitu: ektendomikoriza, mikoriza arbuskula (MA), mikoriza arbutoid, mikoriza monotropoid, mikoriza ericoid, mikoriza anggrek (orchid) (Smith & Read 1997). Dari ke tujuh tipe mikoriza, MA merupakan mikoriza yang paling umum dijumpai. Sembilan puluh lima persen tumbuhan di dunia membentuk simbiosis mikoriza. Sebagian besar tumbuhan bermikoriza ialah mikoriza arbuskula.

Mikoriza arbuskula terbentuk hampir pada semua spesies tumbuhan seperti: Bryophyta, Pteridophyta, Gymnospermae dan Angiospermae. Hanya beberapa tumbuhan yang tidak berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula, terutama tumbuhan yang membentuk ektomikoriza (misalnya Pinaceae, Betulaceae) atau yang membentuk tipe endomikoriza lainnya (Harley & Smith 1983).

Kolonisasi fungi mikoriza arbuskula ditandai oleh adanya struktur arbuskula, vesikula, hifa koil, hifa interseluler dan intraseluler yang tidak memiliki septat ( Harley & Smith 1983). Gallaud (1995) dalam Smith dan Read (1997) membagi struktur internal fungi mikoriza arbuskula menjadi dua kelompok yaitu tipe arum dan tipe paris. Perbedaan tipe arum dan tipe paris ditentukan oleh dominansi hifa interseluler dan arbuskula yang terbentuk. Pada tipe arum, arbuskula terbentuk secara terminal di dalam sel-sel korteks dari hifa yang tumbuh

(27)

secara longitudinal di antara sel-sel korteks, pada tipe paris arbuskula terbentuk secara interkalar pada hifa koil di dalam sel-sel kortek akar (Brundrett et al. 1995). Menurut Menoyo et al. (2007) tipe arum ditandai oleh hifa intersel, vesikula intersel atau intrasel dan arbuskula terminal pada cabang hifa intrasel. Tipe paris ditandai oleh hifa intrasel, vesikula intrasel, hifa koil intrasel dan arbuskul intrasel yang terbentuk dari hifa koil intrasel. Dickson (2004) menyatakan kolonisasi tipe arum terdiri dari hifa interseluler dan arbuskula, tipe paris terdiri dari hifa intraseluler, hifa koil dan arbuskula yang terbentuk dari koil. Menurut Cavagnaro et al.( 2001) pada tipe arum fungi membentuk hifa interseluler diantara sel-sel korteks dan arbuskula intraseluler di dalamnya, sedangkan pada tipe paris fungi membentuk hifa koil dan arbuskula koil dalam jaringan korteks, dan tidak terbentuk hifa interseluler pada fase kolonisasi.

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang berasosiasi dengan akar tumbuhan termasuk dalam filum Glomeromycota yang terdiri dari ordo Glomerales, Diversisporales, Archaeosporales, dan Paraglomales (Redecker & Raab 2006).

Berdasarkan analisis ribosomal RNA, FMA berkerabat dekat dengan Ascomycota dan Basidiomycota namun tidak monofiletik dengan Zygomycota karena tidak membentuk zigospora. Oleh sebab itu Schüβler et al. (2001) merevisi ordo Glomales menjadi filum Glomeromycota dan secara tata bahasa berdasarkan ketentuan Internasional Code of Botanical Nomenclature, nama ordo Glomales berubah menjadi Glomerales (Schüβler et al. 2001; Redecker & Raab 2006). FMA tergolong ke dalam filum Glomeromycota, kelas Glomeromycetes yang terdiri atas 4 ordo yaitu Glomerales, Paraglomales, Archaeosporales dan Diversisporales (Schüβler et al. 2001). Genus dari filum Glomeromycota diantaranya ialah Glomus, Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora, Entrophospora, Pacispora, Diversispora, Archaeospora, dan Paraglomus (Redecker & Raab 2006).

Fungi pembentuk mikoriza arbuskula merupakan fungi simbion obligat, dengan demikian fungi ini memerlukan bahan organik dari inang yang masih hidup. Adanya simbiosis mutualisma antara FMA dengan perakaran tanaman dapat membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, terutama pada tanah marginal. Hal ini disebabkan FMA efektif dalam peningkatan penyerapan unsur

(28)

hara, memperbaiki stabilitas atau struktur tanah, meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan dan faktor pengganggu lain seperti salinitas tinggi, logam berat dan ketidakseimbangan hara di dalam tanah.

Pada akar tumbuhan yang hidup di lahan yang tercemar minyak bumi terdapat koloni fungi mikoriza arbuskula (Cabello 2001; Nicolotti & Egli 1998). FMA pada tempat berminyak mampu mendukung keberadaan spesies tumbuhan tingkat tinggi dan dapat memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi tanahnya (Colgan et al. 2004). Khan (1993) menyatakan bahwa mikoriza arbuskula atau mikoriza vesikula arbuskula dapat terjadi secara alami pada tanaman pionir di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya.

Beberapa peran penting FMA adalah sebagai berikut:

1. Perbaikan nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan. Fungi ini memiliki kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% spesies tanaman dan telah terbukti mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman mampu meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara dan air. Posfat merupakan unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman bermikoriza, serta unsur-unsur mikro sepeti Cu, Zn dan Bo (Sieverding 1991).

Posfat adalah salah satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tanaman, tetapi ketersediaannya terutama pada tanah-tanah masam menjadi terbatas, sehingga sering kali menjadi salah satu pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tanaman. Kemampuan FMA dalam memperbaiki status nutrisi tanaman dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk efisiensi penggunaan pupuk buatan, terutama posfat.

2. Sebagai pelindung hayati (bio-protection).

Selain perbaikan nutrisi (terutama posfat), FMA juga mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tular tanah. FMA juga dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat, seperti pada lahan-lahan pasca tambang. Dengan demikian selain berfungsi sebagai bio-protection, FMA juga berfungsi penting sebagai bioremediator bagi

(29)

tanah yang tercemar logam berat. Selain itu fungi ini juga mampu meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan (Hetrick 1984).

3. Terlibat dalam siklus biogeokimia

FMA di alam dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alami pada habitat yang mendapat gangguan ekstrim (Allen & Allen 1992). Keberadaan FMA juga mutlak diperlukan karena berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara (nutrient cycle) sehingga dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk mempertahankan stabilitas ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati. 4. Sinergis dengan mikroorganisme lain.

FMA pada tanaman leguminosa diperlukan karena pembentukan bintil akar dan efektivitas penambatan nitrogen oleh bakteri Rhizobium/Bradyrhyzobium yang terdapat di dalamnya dapat ditingkatkan. FMA juga dapat bersinergis dengan mikroba potensial lainnya seperti bakteri penghambat N bebas dan bakteri pelarut posfat, serta sinergis dengan mikroba selulotik seperti Trichoderma sp. (Bethlenfavay 1992). Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman atau rizosfir.

5. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan.

FMA berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar ke akar tanaman lain yang berdekatan melalui struktur yang disebut hyphal bridge (Allen & Allen 1992). Transfer nutrisis ini berlangsung dari induk ke anakan. Dengan demikian aplikasi FMA tidak hanya terbatas pada pola tanaman monokultur, tetapi dapat diintegrasikan dalam unit manajemen pola tanaman campuran (Setiadi 2003).

(30)

DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN

PULAU BANGKA

Gambar 2 Peta kabupaten dan kota di Pulau Bangka (PT. Koba Tin 2004).

Kondisi Geografis

Pulau Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Selatan, berbatasan dengan Laut Cina Selatan di sebelah utara, Pulau Belitung di sebelah timur dan Laut Jawa di sebelah selatan, yaitu 1° 20’- 3° 7’ Lintang Selatan dan 105° - 107° Bujur Timur, memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang lebih kurang 180 km. Pulau ini terdiri dari rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit dan pada puncak bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau. Rawa daratan pulau Bangka tidak berbeda jauh dengan rawa di pulau Sumatera, sedangakan keistimewaan pantainya dibandingkan dengan daerah lain adalah pantainya yang landai dengan hamparan batu granit. Wilayah Kabupaten Bangka Tengah memiliki luas lebih 215.677 ha. Secara administratif wilayah Kabupaten Bangka Tengah berbatasan langsung dengan daratan wilayah kabupaten/kota lainnya di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu dengan wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, dan Bangka Selatan.

(31)

Iklim dan Cuaca

Menurut data Meteorologi Pangkalpinang pada tahun 1998, iklim di Pulau Bangka adalah iklim tropis tipe A dengan curah hujan 107.6 hingga 343.7 mm per bulan. Kemudian menurut Schmidt-Ferguson, pada tahun 1999 variasi curah hujan menjadi antara 70.10 hingga 384.50 mm per bulan. Dengan musim hujan rata-rata terjadi pada bulan Oktober sampai April. Musim penghujan dan kemarau di pulau Bangka juga dipengaruhi oleh dua musim angin, yaitu Muson Barat dan Muson Tenggara. Angin Muson Barat yang basah pada bulan November, Desember dan Januari banyak mempengaruhi bagian utara Pulau Bangka. Sedangkan angin Muson Tenggara yang datang dari laut jawa mempengaruhi cuaca di bagian selatan Pulau Bangka. Kabupaten Bangka Tengah beriklim Tropis Type A dengan variasi curah hujan antara 72.2 hingga 410.2 mm tiap bulan untuk tahun 2005, dengan curah hujan terendah pada bulan Februari. Suhu rata-rata daerah Kabupaten Bangka Tengah berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi Pangkalpinang menunjukkan variasi antara 25.70 hingga 27.70 oC. Sedangkan kelembaban udara bervariasi antara 78 hingga 87% pada tahun 2005. Sementara intensitas penyinaran matahari pada tahun 2005 rata-rata bervariasi antara 19.0 hingga 57.3% dan tekanan udara antara 1008.9 hingga 1011.4 mb (Pemkab Bangka Tengah 2005).

Kabupaten Bangka Tengah dan PT Koba TIN

Kabupaten Bangka Tengah dibentuk berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003, merupakan Pemerintah Daerah Tingkat II dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dengan wilayah seluas 2 155.77 km2 memiliki potensi sumber daya mineral timah placer yang dapat diandalkan untuk penunjang utama pengembangan perekonomian otomi daerah. Terinventarisasi bahwa usaha penambangan di wilayah kabupaten ini dilakukan secara resmi terutama oleh PT. Koba Tin dan PT Timah Tbk. PT. Koba Tin berdiri tahun 1971 sebagai Perusahaan Modal Asing (PMA) dengan status Kontrak Karya I yang ditandatangani pada tahun 1973 dengan perioda tigapuluh tahun (1973-2003). Pada tahun 2002, PT Koba Tin sebagian besar (75%) dimiliki oleh Perusahaan Malaysia Smelting Corporation Bhd dan sisanya (25%) oleh PT Timah Tbk.

(32)

Perjanjian kontrak karya diperpanjang selama sepuluh tahun dari 2003 hingga 2013, dengan wilayah pertambangan seluas 41 680 hektar termasuk ke dalam Kabupaten Bangka Tengah dan Selatan.

Keadaan Tanah

Berdasarkan Peta Satuan Lahan dan Tanah Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor (1990), Kabupaten Bangka Tengah memiliki bentuk wilayah (land form) berupa dataran dengan bahan induk tanah batuan sedimen kasar masam, relief datar sampai berombak (lereng < 8%) agak tertoreh. Spesies tanah di wilayah kabupaten ini terdiri dari Hapludox (50 – 75%), Kandiudult (25 – 50%), Dystropepts (< 10%) dan Tropohumods.

Tanah di daerah Kabupaten Bangka Tengah mempunyai pH rata-rata di bawah 5, didalamnya mengandung mineral biji timah dan bahan galian lainnya seperti: Pasir Kwarsa, Kaolin, Batu Gunung dan lain-lain. Bentuk dan keadaan wilayah kabupaten Bangka Tengah adalah sebagai berikut: 1). Empat persen berbukit seperti Bukit Mangkol dengan spesies tanah perbukitan tersebut adalah Komplek Podsolik Coklat Kekuning-kuningan dan Litosol berasal dari Batu Plutonik Masam. 2). Lima puluh satu persen berombak dan bergelombang dengan spesies tanah Asosiasi Podsolik Coklat Kekuning-kuningan dengan bahan induk Komplek Batu pasir Kwarsit dan Batuan Plutonik Masam. 3). Dua puluh persen lembah/datar sampai berombak dengan spesies tanah asosiasi Podsolik berasal dari Komplek Batu Pasir dan Kwarsit. 4). Dua puluh lima rawa dan bencah/datar dengan spesies tanah Asosiasi Alluvial Hedromotif dan Glei Humus serta Regosol Kelabu Muda berasal dari endapan pasir dan tanah liat ( Pemkab Bangka Tengah 2005).

(33)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di lahan bekas tambang timah yang sudah direvegetasi oleh PT Koba Tin, Kabupaten Bangka Tengah, Propinsi Bangka Belitung (Tabel 1), laboratorium Ekologi dan Mikologi Departemen Biologi – IPB. Analisis sifat fisika dan kimia tanah di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor dan identifikasi tumbuhan di Herbarium Bogoriense – LIPI, Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 12 bulan (Agustus 2007 – Juni 2008).

Tabel 1 Lokasi analisis vegetasi dan pengambilan contoh tanah

No. Lokasi Kode

Lokasi Usia Revegetasi Ketinggian (m dpl) Koordinat Geografis S 02° 32' 45.2" 1 Jongkong 5E Hutan sekunder R 7 E 106° 25' 32.9" S 02° 32' 44.5" 2 Jongkong 5E

Overburden ROB-0 0 tahun 7 E 106° 25' 38" S 02°32' 43.7" 3 Jongkong 5 E

Tailling RTL-0 0 tahun 7 E 106°25' 40.0" S 02° 33' 05.4" 4 Jongkong 24

overburden ROB-3 3 tahun 5 E 106° 25' 43.3" S 02° 33' 07.2" 5 Jongkong 24

Tailling RTL-3 3 tahun 4 E 106° 25' 38.8" S 02° 33' 39.8" 6 Jongkong 1

Overburden ROB-16 16 tahun 9 E 106° 24' 07.7" S 02° 33' 37.6" 7 Jongkong 1

Tailling RTL-16 16 tahun 7 E 106° 24' 15.5" S 02° 32' 21.8"

8 Nibung 2

Over burden ROB-28 28 tahun 5 E 106° 22' 46.4" S 02° 32' 21.9" 9 Nibung 2

Tailling RTL-28 28 tahun 5 E 106° 22' 57.6"

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar yang diambil dari hutan sekunder dan lahan bekas tambang timah di pulau Bangka, zeolit, PVLG, sukrosa 50% (b/v), alkohol 70% (v/v), anakan tumbuhan dari lapang, KOH 2.5% (b/v), 10% (b/v) dan 20% (b/v), H2O2 alkalin, gliserin 50% (v/v) dan pewarna biru tripan.

(34)

Alat yang digunakan adalah kompas, GPS, Clinometer, pita meteran, tali rafia, bor tanah, kantong plastik, saringan tanah bertingkat berukuran 500, 250, 90 dan 63 µm, sentrifus, mikroskop stereo dan mikoroskop binokuler, cawan petri, gelas objek, gelas penutup, pinset, pinset spora, tabung film dan tabung reaksi.

Metode Penelitian

Secara garis besar penelitian dibagi menjadi dua bagian. Kegiatan di lapang meliputi analisis vegetasi, pengambilan contoh tanah dari rizosfir dan tumbuhan yang akan digunakan untuk biakan FMA dan analisa sifat fisika dan kimia tanah. Kegiatan di rumah kaca dan laboratorium meliputi analisis tanah, isolasi dan identifikasi FMA dengan menggunakan perbanyakan biakan pot dengan menggunakan anakan tanaman dari lapang sebagai inang.

Analisis Vegetasi dan Pengambilan Contoh Tanah

Luas minimum area sebesar 0.2 ha ditentukan dengan kurva spesies area (Setiadi & Muhadiono 2001). Analisis kuantitatif terhadap stuktur dan komposisi vegetasi dilakukan pada dua puluh petak (plot) dengan teknik pengambilan contoh kuadrat (Cox 2002). Plot yang dibangun berbentuk bujur sangkar yang berlainan ukurannya untuk setiap fase pertumbuhan vegetasi dengan menggunakan metode plot bersarang (nested plot method). Plot berukuran 1 m x 1 m, 5 m x 5 m, 10 m x 10 m dan 20 m x 20 m berturut-turut digunakan untuk menghitung vegetasi fase semai (seedling), sapihan (sapling), tiang (poles) dan pohon (trees) (Kusmana 1997). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan semai adalah permudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1.5 m, sapihan adalah permudaan dengan tinggi > 1.5 m sampai pohon muda berdiameter <10 cm, tiang adalah pohon muda berdiameter 10 – 20 cm, dan pohon adalah pohon yang berdiameter > 20 cm.

Tingkat keragaman vegetasi akan diuji dengan menggunakan indeks Shanon (Shanon CE 1948, diacu dalam Brower et al. 1990). Parameter yang diamati meliputi jenis, jumlah individu yang ada dan diameter batang untuk tingkat tiang dan pohon. Selain itu juga dilakukan pendataan terhadap herba sebagai tumbuhan bawah. Jenis-jenis vegetasi yang belum diketahui, bagian tumbuhan diambil untuk kemudian diidentifikasi.

(35)

Pengamatan di lapang juga meliputi kajian faktor edafik. Untuk faktor edafik dilakukan pengambilan contoh top soil untuk memperoleh data sifat fisika dan kimia tanah. Sifat fisika meliputi kadar pasir, kadar debu, kadar liat (tekstur tanah). Sedangkan sifat kimia mencakup pH tanah, KTK, kadar N total, kadar C- organik, CN ratio, P2O5, Ka, Ca, Mg, Na dan Al pada beberapa tingkat umur revegetasi lahan bekas tambang. Pengambilan contoh tanah dan tumbuhan mengikuti metoda kuadrat untuk analisis vegetasi. Tumbuhan yang digunakan untuk analisis kolonisasi FMA adalah tiga tumbuhan yang memiliki INP tertinggi pada fase pohon, kecuali pada ROB-3 dan RTL-3. Pada ke dua lokasi ini tumbuhan yang dianalisis FMA adalah tumbuhan pada fase sapihan. Nilai INP didapatkan dari hasil hasil analisis vegetasi yang dilakukan.

1 10 m 2 3 arah transek 20m

20m

Gambar 3 Desain unit contoh vegetasi.

d

c b a

Ket: a. Plot 1 m x 1m untuk semai dan tumbuhan bawah b. Plot 5 m x 5 m untuk sapihan.

c. Plot 10 m x 10 m untuk tiang d. Plot 20 m x 20 m untuk pohon

(36)

Contoh tanah yang dianalisis adalah satu contoh komposit untuk masing-masing petak contoh. Contoh komposit tersebut diambil pada lima titik dari setiap plot. Contoh tanah diambil rata dari permukaan atas sampai kedalaman 20 cm sebanyak 1 kg per tumbuhan per plot dicampur dengan contoh dari plot lain, dari hasil mencampur tersebut diambil 1 kg komposit untuk dianalisis.

Penyuburan (Trapping)

Anakan yang diperoleh dari lapangan dengan cara diputar ditanam dalam pot berukuran 2 kg yang berisi zeolit steril. Selanjutnya tanaman dipelihara sekitar empat sampai enam bulan di dalam rumah plastik. Setelah berumur empat sampai enam bulan, dilakukan penyaringan spora dengan metode tuang saring basah bertingkat. Spora selanjutnya dihitung dan diidentifikasi menggunakan buku panduan identifikasi Shenck dan Peres (1990).

Pewarnaan Akar

Akar yang dibawa dari lapang dan hasil biakan pot dibersihkan dan direndam dalam larutan alkohol 50%. Selanjutnya dibuat 20 potongan akar dengan ukuran panjang 1 cm. Potongan-potongan akar diwarnai mengikuti metode pewarnaan biru tripan (Kormanik & McGraw 1982) yang dimodifikasi untuk mengetahui struktur koloni fungi mikoriza. Pertama-tama potongan-potongan akar direndam dalam KOH 2.5% dan dipanaskan sampai 90 °C selama 30 – 60 menit. Kemudian buang larutan KOH dan jika akar masih berwarna gelap tambahkan larutan alkalin H2O2. Setelah akar kelihatan jernih bilas dengan air lalu direndam dalam HCl 1% dan dipanaskan selama 15 menit pada suhu 70 °C Setelah itu HCl dibuang dan akar diwarnai pewarna biru tripan. Selanjutnya akar direndam dalam asam gliserol 50% untuk mengurangi kelebihan zat warna. Setiap potongan akar diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100-400 kali untuk melihat ada tidaknya struktur kolonisasi fungi mikoriza arbuskula. Adanya kolonisasi FMA ditandai minimal oleh satu struktur berikut: hifa internal, arbuskula, vesikula atau hifa koil.

(37)

Isolasi Spora

Isolasi spora dilakukan dengan metode tuang saring basah dan dilanjutkan dengan metode sentrifugasi (Brundrett et al. 1994). Media dari biakan pot dicampur sampai homogen, kemudian 100 gr media disuspensikan dalam 1 liter air steril. Setelah itu disaring dengan saringan bertingkat. Saringan yang digunakan berdiameter 500, 250, 90 dan 63 µm. Media yang tertinggal pada saringan yang berukuran 250, 90 dan 63 µm dimasukkan ke dalam cawan petri, selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Supernatan dibuang dan pelet diresuspensikan ke dalam larutan sukrosa 50% (b/v) dan disentrifus selama 2 menit pada kecepatan 2000 rpm. Supernatan dituang ke dalam saringan 63 µm, dibilas dengan air mengalir dan spora hasil penyaringan dimasukkan dalam cawan petri lalu diamati di bawah mikroskop disekting untuk diidentifikasi. Spora yang lengkap struktur morfologinya diisolasi. Beberapa spora yang sudah diisolasi selanjutnya dibuat preparat untuk diidentifikasi. Isolasi spora juga dilakukan pada rizosfir yang dibawa dari lapang.

Identifikasi Spora

Spora FMA dari hasil saringan diamati menggunakan mikroskop disekting. Spora yang baik dipilih dan diletakkan pada kaca objek dengan media polivinil asam laktat gliserol (PVLG). Identifikasi dilakukan berdasarkan kepada bentuk spora, warna spora, ukuran spora dan permukaan spora (Schenck & Perez 1988).

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari penelitian langsung di lapangan dan di laboratorium, sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber lain (PT Koba Tin, Pemda setempat, hasil penelitian lain, dan dari media massa).

(38)

Analisis Data Vegetasi

Data vegetasi yang telah terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui kerapatan jenis, kerapatan relatif, dominansi jenis, dominansi relatif, frekuensi jenis dan frekuensi relatif serta Indeks Nilai Penting menggunakan rumus sebagai berikut (Cox 2002) : Kerapatan jenis (K) contoh petak total Luas jenis suatu individu Jumlah = K. Relatif (KR) x100% jenis seluruh total K jenis suatu K = Dominansi (D) contoh petak Luas jenis suatu penutupan Luas = D. Relatif (DR) x100% jenis seluruh D jenis suatu D = Frekuensi (F) contoh petak seluruh Jumlah jenis diduduki yang petak Jumlah = F. Relatif (FR) x100 jenis seluruh F jenis suatu F =

Indeks Nilai Penting atau INP = KR + DR + FR

Nilai penting merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif yang berkisar antara 0 sampai 300 (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Untuk menentukan tingkat keanekaragaman jenis digunakan indeks Shannon dengan rumus sebagai berikut :

(H) = - Σ Pi log Pi,

dimana peluang kepentingan untuk tiap spesies (Pi) =

total INP

INPi

Analisis Kolonisasi FMA

Persentase kolonisasi FMA pada akar dihitung dengan rumus sebagai berikut: % kolonisasi FMA = pandang bidang seluruh Jumlah asi terkolonis pandang bidang Jumlah x 100 % 23

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Vegetasi

Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan pada sembilan lokasi penelitian, tercatat 37 spesies tumbuhan pada fase semai, 30 spesies pada fase sapihan, 19 spesies pada fase tiang dan 17 spesies pada fase pohon. Analisis vegetasi terhadap jumlah spesies yang ada dalam berbagai fase pertumbuhan vegetasi menunjukkan bahwa komposisi vegetasi pada lahan bekas tambang yang telah direvegetasi tidak lagi mengikuti pola umum vegetasi hutan tropik. Hutan tropik memiliki komposisi vegetasi yang menggambarkan dinamika regenerasi yang terjadi secara alami, dimana vegetasi pada fase semai (seedling) memiliki jumlah spesies yang paling tinggi, selanjutnya jumlah spesies tersebut berkurang pada fase sapihan (sapling), tiang (poles) dan pohon (trees) (Ogawa et al. 1987 ;Yamada 1975). Pada lokasi ROB-3 dan RTL-3 tidak ditemukan vegetasi pada tingkat tiang dan pohon, sedangkan pada lahan bekas tambang yang belum direvegetasi baik overburden maupun tailing (ROB-0 dan RTL-0) tidak terdapat tumbuhan sama sekali. Hasil analisis vegetasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1-24. Inventarisasi vegetasi dilakukan juga terhadap tumbuhan bawah. Terdapat perbedaan jenios tumbuhan bawah yang ditemukan pada setiap lokasi penelitian (Tabel 13-19).

Komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan pada setiap lokasi adalah bervariasi (Gambar 4). Spesies tumbuhan pada fase semai paling banyak ditemukan pada R (19 spesies), fase sapihan pada ROB-16 (20 spesies), fase tiang pada pada R (10 spesies) dan fase pohon pada R (9 spesies). Dari keseluruhan hasil analisis vegetasi yang dilakukan terlihat bahwa jumlah spesies tumbuhan pada hutan sekunder lebih tinggi dari lahan bekas tambang yang sudah direvegetasi. Jumlah spesies tumbuhan paling rendah terdapat pada lahan tailing. Perbedaan struktur dan komposisi vegetasi disebabkan adanya perbedaan karakter masing-masing tumbuhan. Selain itu variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi antara lain oleh fenologi tumbuhan, dispersal dan natalitas (Kimmins 1987).

(40)

0 5 10 15 20 25

ROB-0 RTL-0 ROB-3 RTL-3 ROB-16 RTL-16 ROB-28 RTL-28 R

LOKASI J U M L A H J E N IS

Semai Sapihan Tiang Pohon

Gambar 4 Komposisi vegetasi di semua lokasi penelitian.

Keanekaragaman spesies yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan. Menurut Odum (1971), kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini disebabkan terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya. Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam lingkungan yang tidak menunjukkan adanya faktor khusus, maka komunitas yang menduduki lingkungan yang bersangkutan akan menunjukkan tingkat keanekaragaman spesies yang tingi.

Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Relatif (FR)

Nilai kerapatan setiap spesies pada masing-masing lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok (Tabel 2). Kerapatan adalah nilai yang menunjukkan jumlah individu dari spesies-spesies yang menjadi anggota dari suatu komunitas tumbuhan dalam luasan tertentu ( Setiadi et al.1989). Namun demikian nilai kerapatan belum dapat menggambarkan distribusi dan penyebaran tumbuhan pada suatu komunitas. Nilai yang menggambarkan derajat penyebaran spesies dalam komunitas disebut frekuensi. Nilai frekuensi diperoleh dari perbandingan jumlah petak contoh yang diduduki oleh satu spesies terhadap keseluruhan petak contoh yang dibuat dalam analisis vegetasi.

(41)

Tabel 2 Nilai Kerapatan Relatif (KR) tertinggi berdasarkan usia revegetasi Kerapatan Relatif (%)

Spesies Tumbuhan

ROB-3 RTL-3 ROB-16 RTL-16 ROB-28 RTL-28 R Fase semai Betur (Callophyllum sp 1) 26.09

Bintangor (Callophyllum lanigerum) 18.84

Kayu Menulang (Cionanthus ramiflorus) 13.04

Akasia (Acacia mangium) 94.12 88 66.67 97.46 66.67 95.83 Jelet (Bridelia tomentosa) 3.92

Pelaik (Dyera costulata) 1.96

Kayu Putih (Melaleuca leucadendron) 12

Pengengkang (Eleocarpus stipularis) 10.61

Samak (Eugenia sp) 6.06

Pevila (Eucalypthus urophylla) 1.69

Kenidae (Bridelia tomentosa) 16.67

Fase sapihan

Merapin (Rhodamnia cinerea) 14.12

Pelangas (Aporosa actandra) 26.27 10.59

Pahala (Eurya acuminata) 14.12

Akasia (Acacia mangium) 55.56 54.67 19.35 11.11 66.15

Pevila (Eucalyptus urophylla) 10.67 44.44

Seru (Schima wallichii) 33.87

Ulas (Guioa pubescens ) 4.84

Kenidae (Bridelia tomentosa) 15.56

Selampit (Eugenia lineata) 8.89

Jeled (Microcos tomentosa) 26.15

Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis) 6.15

Fase Tiang

Mensira (Ilex cymosa) 24.14

Seru (Schima wallichii) 7.41 13.79

Akasia (Acacia mangium) 55.56 100 42.86 90 13.79

Karet (Hevea brasiliensis) 18.52

Kenidae (Bridelia tomentosa) 35.71

Kayuputih (Melaleuca leucadendron) 7.14

Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis) 10

Fase Pohon

Akasia (Acacia mangium) 76.6 86.87 79.31 100 35.71

Seru (Schima wallichii) 10.64 28.57

Pelaik (Dyera costulata) 7.14

Karet (Hevea brasiliensis) 5.32

Pevila (Eucalyptus urophylla) 13.34 9.2

Sengon (Paraserianthes falcataria) 9.2

Kenidae (Bridelia tomentosa) 4.6

Terdapat perbedaan spesies-spesies tumbuhan dan nilai KR pada semua lokasi penelitian baik pada fase semai, fase sapihan, fase tiang, maupun pada fase pohon (Tabel 2). Spesies yang paling banyak ditemukan memiliki nilai KR tertinggi.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 2   Peta kabupaten dan kota di Pulau Bangka (PT. Koba Tin 2004).
Gambar  3 Desain unit contoh vegetasi.
Gambar 4  Komposisi vegetasi di semua lokasi penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Individu yang mempunyai pendidikan lebih tinggi dari masyarakat sekitar akan mengalami mobilitas sosial vertikal.. Masyarakat akan memberikan kedudukan tertentu di

Bagian tengah atau isi berita ini dibedah menggunakan naskah transkip yang berisi segment, rangkuman berita per segment, dan unsur 5W + 1 H untuk menentukan jenis

Aspek penelitian yang kedua di bidang animasi wajah adalah mengenai ide produksi animasi wajah yang alamiah dengan melakukan pemindahan gerak dari satu wajah ke wajah karakter yang

Dari Gambar 12 dapat disimpulkan bahwa pengaktivasi yang baik digunakan pada arang aktif untuk mengadsorbsi logam Timbal (Pb) adalah pengaktivasi dengan menggunakan larutan asam

Ardi Pramono, Sp.An selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan juga selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak

Aastatel 2005–2011 läbis Eestis kehavälise viljastamise protseduuri 4445 naist, kelle protseduuride ja ravimite eest tasuti Eesti Haigekassa eelarvest ja riigieelar- vest..

Salah satu batik daerah yang memiliki keunikan ialah batik Lorog, yang terdapat di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Sentra Batik Lorog terdapat di Kecamatan Ngadirojo. Perkembangan

Simpulan yang didapat adalah bahwa aplikasi web yang dibuat sangat membantu dalam perhitungan biaya dimana total biaya pembangkit yang dihasilkan lebih optimal