SKRIPSI
Diajukan Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Jurusan Ekonomi Pembanguanan
Oleh:
RAHADYAN YUNAN 0511010099/FE/IE
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAWA TIMUR
yang diajukan
Rahadyan Yunan 0511010099
Telah disetujui untuk diseminarkan oleh:
Pembimbing Utama
Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi
WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI JAWA TIMUR
yang diajukan
RAHADYAN YUNAN 0511010099FE/IE
Telah disetujui untuk diseminarkan oleh:
Pembimbing Utama
Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi
WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI JAWA TIMUR
yang diajukan
RAHADYAN YUNAN 0511010099/FE/IE
Telah diseminarkan dan disetujui untuk menyusun skripsi oleh:
Pembimbing Utama
Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi
yang diajukan
RAHADYAN YUNAN 0511010099/FE/IE
disetujui untuk Ujian Lisan oleh:
Pembimbing Utama
Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...
Mengetahui
Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur
atas rahmat serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga
peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini
merupakan salah satu kewajiban mahasiswa untuk memenuhi tugas
dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi
khususnya Jurusan Ilmu Ekonomi. Dalam penelitian skripsi ini
peneliti mengambil judul “Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal
Pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII Propinsi Jawa
Timur”.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa didalam penyusunan
skripsi ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan karena
masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang ada.
Atas terselesaikannya skripsi ini, peneliti menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak Dr.Ir.Teguh Sudarto,MP, selaku Rektor Universitas
Timur.
3.
Ibu Dra.Ec Niniek Imaningsih,MP, selaku Ketua Program Studi
Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
4.
Ibu Drs.Ec Titik Nurhidayati.selaku Dosen Pembimbing dan Dosen
Wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan
mendampingi peneliti selama menempuh pendidikan didalam
perkuliahan.
5.
Segenap staf pengajar dan staf kantor Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang telah dengan ikhlas
memberikan ilmu pengetahuannya dan pelayanan akademik bagi
peneliti.
6.
Ayah dan Bunda tercinta yang telah sabar mendidik dan
membesarkan peneliti dengan penuh kasih sayang baik moral,
material, maupun spiritual, dan juga untuk adik peneliti, semua
membutuhkan, semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal.
Wassallamualaikum Wr.Wb
Surabaya, Mei 2012
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
ABSTRAKSI ... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...
1
1.2
Perumusan Masalah ...
7
1.3
Tujuan Penelitian ...
7
1.4
Manfaat Penelitian ...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu... 8
2.2 Landasan Teori ... 12
2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah ... 28
2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan
Pendapatan Daerah ... 32
2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal... 33
2.2.3 Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) 34
2.2.4 Sumbangan Daerah ... 40
2.2.4.1 Dana Alokasi Umum ... 40
2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus... 43
2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
... 45
2.2.6 Perwilayahan ... 47
2.3 Kerangka Pikir ... 50
2.4 Hipotesis ... 52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 53
3.2 Jenis dan Sumber Data ... 54
3.2.1 Jenis Data ... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Obyek Penelitian ……….. 57
4.1.1 Gambaran Umum Wilayah ... 57
4.1.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Tulungagung .…. 57
4.1.1.1.1 Letak Geografis ………. 57
4.1.1.1.2 Penduduk ……….. 58
4.1.1.2 Kondisi Umum Kabupaten Kediri... 59
4.1.1.2.1 Letak Geografis ………. 59
4.1.1.2.2 Penduduk ……….. 60
4.1.1.3 Kondisi Umum Kabupaten Blitar………...….. 61
4.1.1.3.1 Letak Geografis ………. 61
4.1.1.3.2 Penduduk ……….. 62
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 63
4.2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah ... 63
4.2.2 Pajak Daerah... 67
4.2.3 Restribusi Daerah ... 68
4.2.4 Laba Perusahaan Daerah ... 69
4.4 Alasan Naik Turunnya Indek Desentralisasi Fiskal ... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ... 79
5.2 Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA
2.1
Perjalanan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ... 18
2.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal ... 22
2.3
Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah ... 47
4.1 Perkembangan
Penerimaan
Daerah Tahun 2009/2010 ... 65
4.2
Rasio Keuanagn Daerah Kabupaten Tulungagung 2009/2010 ... 73
4.3
Rasio Keuangan Daerah Kabupaten Kediri 2009/2010 ... 74
pemberian otonomi bagi daerah adalah untuk menambah kelancaran pembangunan didaerah dan terciptanya suatu kesinambungan pertumbuhan pembangunan yang dicapai serta pemerataan hasil-hasilnya.Dengan berlakunya Otonomi Daerah maka sebaiknya pemerintah daerah otonom diwajibkan untuk menggali sunber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Dengan demikian maka pemerintah daerah otonom dapat merencanakan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri sesuai dengan kebijaksanaan serta inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya dan harus bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya sendiri untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD sebagian besar masih berasal dari bantuan pemerintah pusat berupa Dana Perimbangan salah satunya adalah Dana Alokasi Umum.Selayaknya Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII menggembangkan sumber daya lokal dan menggurangi ketergantungan dari pusat.
Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan kemandirian suatu daerah pada SWP VII.Analisa yang dinggunakan adalah analisa kuantitatif,yaitu analisa yang sifatnya,menjelaskan secara uraian atau dalam bentuk kalimat-kalimat dan analisa kualitatif,yaitu analisa dengan menggunakan rumus-rumus dan analisa pasti.Analisa kuantitatif meliputi analisa Indeks Desentralisasi Fiskal (tingkat kemandirian daerah) sehingga dapat menggetahui di daerah SWP VII mempunyai kemandirian fiskal.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Indeks Desentralisasi Fiskal SWP VIII rata-rata menunjukan rendah sekali.Pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah di kabupaten / kota di SWP VII adalah pola hubungan intruktif dan konsultatif. Sehingga dapat di katakan selama periode penelitian SWP VII belum mampu membawa daerahnya / kurang mandiri.
atas rahmat serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga
peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini
merupakan salah satu kewajiban mahasiswa untuk memenuhi tugas
dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi
khususnya Jurusan Ilmu Ekonomi. Dalam penelitian skripsi ini
peneliti mengambil judul “Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal
Pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII Propinsi Jawa
Timur”.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa didalam penyusunan
skripsi ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan karena
masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang ada.
Atas terselesaikannya skripsi ini, peneliti menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak Dr.Ir.Teguh Sudarto,MP, selaku Rektor Universitas
Timur.
3.
Ibu Dra.Ec Niniek Imaningsih,MP, selaku Ketua Program Studi
Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
4.
Ibu Drs.Ec Titik Nurhidayati.selaku Dosen Pembimbing dan Dosen
Wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan
mendampingi peneliti selama menempuh pendidikan didalam
perkuliahan.
5.
Segenap staf pengajar dan staf kantor Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang telah dengan ikhlas
memberikan ilmu pengetahuannya dan pelayanan akademik bagi
peneliti.
6.
Ayah dan Bunda tercinta yang telah sabar mendidik dan
membesarkan peneliti dengan penuh kasih sayang baik moral,
material, maupun spiritual, dan juga untuk adik peneliti, semua
membutuhkan, semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal.
Wassallamualaikum Wr.Wb
Surabaya, Mei 2012
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
ABSTRAKSI ... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...
1
1.2
Perumusan Masalah ...
7
1.3
Tujuan Penelitian ...
7
1.4
Manfaat Penelitian ...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu... 8
2.2 Landasan Teori ... 12
2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah ... 28
2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan
Pendapatan Daerah ... 32
2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal... 33
2.2.3 Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) 34
2.2.4 Sumbangan Daerah ... 40
2.2.4.1 Dana Alokasi Umum ... 40
2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus... 43
2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
... 45
2.2.6 Perwilayahan ... 47
2.3 Kerangka Pikir ... 50
2.4 Hipotesis ... 52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 53
3.2 Jenis dan Sumber Data ... 54
3.2.1 Jenis Data ... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Obyek Penelitian ……….. 57
4.1.1 Gambaran Umum Wilayah ... 57
4.1.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Tulungagung .…. 57
4.1.1.1.1 Letak Geografis ………. 57
4.1.1.1.2 Penduduk ……….. 58
4.1.1.2 Kondisi Umum Kabupaten Kediri... 59
4.1.1.2.1 Letak Geografis ………. 59
4.1.1.2.2 Penduduk ……….. 60
4.1.1.3 Kondisi Umum Kabupaten Blitar………...….. 61
4.1.1.3.1 Letak Geografis ………. 61
4.1.1.3.2 Penduduk ……….. 62
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 63
4.2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah ... 63
4.2.2 Pajak Daerah... 67
4.2.3 Restribusi Daerah ... 68
4.2.4 Laba Perusahaan Daerah ... 69
4.4 Alasan Naik Turunnya Indek Desentralisasi Fiskal ... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ... 79
5.2 Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA
2.1
Perjalanan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ... 18
2.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal ... 22
2.3
Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah ... 47
4.1 Perkembangan
Penerimaan
Daerah Tahun 2009/2010 ... 65
4.2
Rasio Keuanagn Daerah Kabupaten Tulungagung 2009/2010 ... 73
4.3
Rasio Keuangan Daerah Kabupaten Kediri 2009/2010 ... 74
pemberian otonomi bagi daerah adalah untuk menambah kelancaran pembangunan didaerah dan terciptanya suatu kesinambungan pertumbuhan pembangunan yang dicapai serta pemerataan hasil-hasilnya.Dengan berlakunya Otonomi Daerah maka sebaiknya pemerintah daerah otonom diwajibkan untuk menggali sunber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Dengan demikian maka pemerintah daerah otonom dapat merencanakan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri sesuai dengan kebijaksanaan serta inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya dan harus bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya sendiri untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD sebagian besar masih berasal dari bantuan pemerintah pusat berupa Dana Perimbangan salah satunya adalah Dana Alokasi Umum.Selayaknya Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII menggembangkan sumber daya lokal dan menggurangi ketergantungan dari pusat.
Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan kemandirian suatu daerah pada SWP VII.Analisa yang dinggunakan adalah analisa kuantitatif,yaitu analisa yang sifatnya,menjelaskan secara uraian atau dalam bentuk kalimat-kalimat dan analisa kualitatif,yaitu analisa dengan menggunakan rumus-rumus dan analisa pasti.Analisa kuantitatif meliputi analisa Indeks Desentralisasi Fiskal (tingkat kemandirian daerah) sehingga dapat menggetahui di daerah SWP VII mempunyai kemandirian fiskal.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Indeks Desentralisasi Fiskal SWP VIII rata-rata menunjukan rendah sekali.Pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah di kabupaten / kota di SWP VII adalah pola hubungan intruktif dan konsultatif. Sehingga dapat di katakan selama periode penelitian SWP VII belum mampu membawa daerahnya / kurang mandiri.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap daerah di Indonesia diberikan hak untuk melakukan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Oleh karena itu tumpuan dan harapnnya adalah dengan cara menggali dan mengoptimalisasikan Pendapatan Asli Daerah. Ada beberapa daerah yang mempunyai obsesi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan cara memberdayakan rakyat atau mengembangkan potensi yang ada seperti potensi budaya, obyek wisata serta industri rumah tangga yang banyak ragamnya dan selama ini sepertinya dibiarkan berjalan sendiri, seharusnya didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah. Menurut bentuk-bentuk desentralisasi dalam era otonomi daerah adalah sebagai berikut; desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, desentralisasi politik, dan desentralisasi pelayanan.
Selain itu juga isu desentralisasi yang dianggap sebagai jalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi telah menarik perhatian dari banyak ahli, antara lain dikemukakan oleh Tiebout, Oates, Tresch, Breton, Weingast, dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al dalam Sidik (2002) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena :
1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya. 2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap
kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat.
3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.
Dalam melaksanakan upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah, perlu diadakan analisis faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah Satuan Wilayah Pembangunan (SWP VII) yaitu Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar.
Pembangunan nasional harus dilakukan melihat berbagai potensi yang ada dan harus dimanfaatkan seefisien mungkin. Mengingat keterbatasan tenaga yang professional maupun dana yang tersedia maka pembangunan nasional dilaksanakan secara bertahap melalui perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang. Pembangunan itu sendiri tentunya memerlukan biaya yang sangat besar. Kondisi yang demikian itu akan mendorong para pelaku pembangunan untuk lebih berorientasi kepada kemampuan sendiri. Dengan mengacu pada pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tentang asas desentralisasi maka dalam rangka melaksanakan pembangunan yang merata, berdaya guna dan berhasil guna maka dibentuklah daerah otonomi.
Diharapkan terjadi perubahan paragdigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Dari budaya petunjuk menjadi penekanan prinsip demokrasi, prakasa, dan aspirasi masyarakat daerah. UU No. 22 dan 25 tahun 1999, beserta serangkaian Peraturan Pemerintah, mencoba memberikan alternatif format otonomi daerah yang baru.Ini terlihat dari adanya kesadaran bahwa ”pembangunan di daerah” tidak identik dengan ”pembangunan daerah”. Perubahan struktural yang layak di catat berkat UU ini adalah pelaksanaan otoda secara utuh dan luas di kabupaten dan kota, sedang provinsi hanya memiliki otonomi daerah terbatas.
Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah tahun 1999, sumber keuangan daerah baik propinsi, kabupaten, maupun kotamadya menurut UU nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan Asli Daerah (PAD). 2. Bagi hasil pajak dan non pajak.
3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II 4. Pinjaman daerah.
5. Sisa lebih anggaran tahun lalu.
6. Lain-lain penerimaman daerah yang sah.
sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Bagian ini berisikan tentang hasil penelitian mengenai
pendapatan asli daerah yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti:
1. Sophiayani (1997 : 90), dengan judul penelitian “ Implementasi
pembangunan Daerah Tingkat I Dalam Kaitan pengembangan
Perwilayahan Pembangunan di satuan Wilayah Pembangunan VII
Madiun, dengan menggunakan analisa Locationt Quotient dan indeks
Fungsional Wilkinson dapat di tarik kesimpulan : Pertama, sektor
pertanian secara umum sektor ini menjadi corak bagi perekonomian
seluruh daerah dan berperan sangat menonjol terhadap PDRB di daerah –
daerah tingkat II se-Satuan Wilayah Pembangunan VII Madiun (IF ≥
0,33). Kedua, sektor Perdagangan, hotel dan restoran secara umum
menjadi corak bagi perekonomian seluruh Daerah Tingkat I di Satuan
Wilayah Pembangunan VII Madiun ( IFS ≥ 0,33 0.
2. Mohammad Riduansyah (2003 ) dengan judul “Konstribusi Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna Mendukung
Pelaksanaan Otonomi Daerah.” Dengan menggunakan location Quatient
dapat disimpulkan: pertama total kontribusi komponen pajak daerah
Kontribusi terbesar terhadap total penerimaan APBD diberikan oleh
pajak hotel dan restaurant serta pajak hiburan. Kedua kontribusi
komponen retribusi daerah terhadap total penerimaan APBD dalam kurun
waktu tahun anggaran 1993/1994-2000. Kontribusi retribusi terhadap
total penerimaan APBD diberikan oleh retribusi pasar dan retribusi
terminal. Dari data yang diperoleh, terlibat bahwa kontribusi pajak daerah
dan retribusi daerah terhadap penerimaan APBD pemerintah daerah kota
Bogor sangat fluktuatif. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah,
kiranya perlu bagi pemerintah daerah Bogor untuk memperhatikan
peluang yang ada. Langkah ini merupakan bentuk inovasi yang baik
disamping tentunya mengintensifkan pelaksanaan penarikan pajak daerah
dan retribusi daerah yang telah diberlakukan sebelumnya.
3. Fuad (2004 : IX) dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah di Jawa Timur”. Dari hasil
penelitian melalui analisis regresi secara simultan variabel bebas
berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dengan F hitung = 112,874 >
F tabel = 3,59 dengan menggunakan Level of Signifikant () sebesar
0,05. Sedangkan dari uji secara parsial menggunakan uji t dengan 2
=
0,025, sehingga dapat diketahui variabel bebas produk Domestik
Regional Bruto (PDRBP (X1) berpengaruh secara nyata terhadap variabel
disebabkan karena kenaikan jumlah penduduk yang tidak diperoleh untuk
memenuhi kebutuhan hidup daripada membayar pajak dimana pajak
adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah, sedangkan variabel
pembangunan (X3) diperoleh thitung = 2,275 > ttabel = 2,201 yang berarti
bahwa pengeluaran pembangunan berpengaruh secara nyata terhadap
Pendapatan Asli Daerah.
4. Sari (2006:X) dengan judul “Faktor-faktor yang mempengaruhi
pendapatan Asli Daerah (PAD) di kabupaten Lamongan” dari hasil
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
Hasil analisis data menunjukkan bahwa variable bebas secara simultan
berpengaruh nyata terhadap pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten
Lamongan. Hal ini diketahui dari uji F, yaitu diperoleh Fhitung = 117,80 +
Ftabel = 3,35% secara parsial menunjukkan investasi, pengeluaran
pemerintah dan Pendaptan domestic regional Bruto (PDRB) berpengaruh
nyata terhadap pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lamongan. Dimana
t hitung untuk variable investasi = 5,897 > t tabel (2,201) t hitung untuk
pengeluaran pemerintah = 4,459 > ttabel (2,201) dan t hitung untuk variable
PDRB = -2,207 < + t table )-2,201), sedangkan jumlah tenaga kerja sector
Industri tidak berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten
Lamongan, dimana t hitung yang di hasilkan -0,098 < t table (2,201). Hasil
analisis dengan r2 parsial menunjukkan bahwa variable investasinya
berpengaruh dominant terhadap pendapatan asli daerah (y) di kabupaten
5. I Wandana (2006:X) dengan judul “Analisis beberapa factor yang
mempengaruhi pendapatan Asli Daerah (PAD) di kabupaten Gresik” dari
hasil penelitian disimpulkan bahwa :
Melalui analisis regresi linier berganda dapat diperoleh persamaan
regresi dengan menggunakan uji regresi secara simultan. Variable bebas
berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat dengan Fhitung =
18,946 > Ftabel = 3,48 dengan menggunakan level of significant (x)
sebesar 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t
dengan penduduk (x1) tidak berpengaruh secara nyata terhadap
pendapatan asli daerah di Kabupaten Gresik (Y) dengan thitung = 0,040 <
ttabel = 2,220 (untuk inflasi variabel bebas inflasi (x2) diperoleh thitung =
-0,622 > t table = -2,228 sehingga secara parsial inflasi tidak berpengeruh
dan secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gresik
untuk variabel jumlah tenaga kerja (x3) diperoleh thitung = 3,833 > ttabel =
2,228 sehingga secara parsial dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kerja
berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Gresik.
Untuk variabel produk Domestik Regional Bruto (xy) di ketahui t hitung =
2,665 > t table = 2,220 sehingga secara parsial dapat diketahui bahwa
produksi domestic regional bruto berpengaruh secara nyata terhadap
2.2 Landasan teori
2.2.1 Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi yang mengandung arti penyerahan wewenang
pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonomi dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut UU No.5 tahun 1974, desentralisasi adalah suatu
perpindahan jasa administrasi dari pemerintah pusat atau dari suatu
pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang
lebih rendah untuk menjadi jasa regional.
Desentralisasi sering mengandung arti apapun juga sesuai dengan
orang yang menggunakan istilah tersebut untuk kepentingannya sendiri
Bird(1993). Dalam Khusaini,(2006).
Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat ke level pemerintahan yang ada dibawahnya. Secara teoritis ada
beberapa tipe desentralisasi yaitu desentralisasi politik, desentralisasi
administrative dan desentralisasi fiskal. Dalam Khusaini,(2006).
Desentralisasi berarti memberikan sebagaian dari wewenang
pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan dan
menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan menyangkut
kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang
menyangkut kepentingan dan tanggung jawab suatu daerah, misalnya :
a. Urusan umum dan pemerintahan
Jadi desentralisasi merupakan sebuah bentuk pemindahan
tanggung jawab, wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personil,
dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke level pemerintah daerah.
Dasar dari inisiatif seperti ini adalah desentralisasi dapat
memindahkan proses pengambilan keputusan ketingkat pemerintah
yang lebih dekat dengan masyarakat.
Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan
kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang
sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun
pemanfaatannya di atau atau dilakukan oleh pemerintah pusat.
Dengan terjadinya pelimpahan sebagaian kewenangan terhadap
sumber-sumber penerimaan Negara kepada pemerintahan di daerah, di
harapkan daerah-daerah akan dapat melaksanakan tugas-tugas rutin,
pelayanan public, dan meningkatkan investasi yang produktif (capital
investment) di daerahnya.
Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam
bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber
penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses
pengintesifikasian peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam
pembangunan. Desentralisasi fiskal memerlukan pengeseran beberapa
pemerintah daerah diberi wewenang (otonomi) untuk menentukan
alokasi atas pengeluaran sendiri.
Desentralisasi fiskal terutama di maksudkan untuk memindahkan
atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan factor-faktor
pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan.
Dengan membawa pemerintah lebih dekat ke masyarakat, desentralisasi
fiskal diharapkan dapat mendorong efesiensi sector public, juga
akuntabilitas public, dan transportasi dalam penyediaan jasa public serta
pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis (Demelo, 2000)
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal akan berjalan dengan baik
dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :
a. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan
pengawasan.
b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan
dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah
daerah dalam memungut pajak.
Tujuan peningkatan desentralisasi adalah untuk mengembangkan
perencanaan dan pelaksanaan pelayanan public dengan menggabungkan
kebutuhan dan kondisi local yang sekaligus untuk mencapai obyektifitas
pembangunan sosial, ekonomi pada tingkat daerah dan nasional,
sosial dan ekonomi diharapkan dapat digunakan dengan lebih efektif
dan efesien. Untuk memenuhi kebutuhan local.
Asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
menurut UU No.22 tahun 1999 mencakup paling tidak empat hal,yaitu:
Pertama, memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada
daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Keleluasaan otonomi
artinya mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyelenggaraan pemerintahan termasuk penyusunan perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Kedua, otonomi yang nyata, artinya daerah punya keleluasaan
untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu
yang secara nyata ada, dibutuhkan tumbuh, hidup dan berkembang di
daerah.
Ketiga, otonomi yang bertanggung jawab, berarti sebagai
konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan kepada daerah
dalam pemberian pelayanan kepada public dan peningkatan
kesejahteraan bagi rakyat daerahnya.
Keempat, otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara
terbatas, yaitu (a) kewenangan lintas kabupaten/kota; (b) kewenangan
kewenangan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah. Asas tugas pembantuan adalah pemberian kewenangan oleh
pemerintah kepada daerah dan desa.
Desentralisasi saat ini telah menjadi perhatian pokok dan
merupakan fenomena bagi Negara-negara di dunia, baik di Negara
berkembang maupun di Negara-negara maju. Desentralisasi seakan
menjadi suatu resep atas kebijakan-kebijakan yang dapat mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapi suatu Negara. Negara-negara di eropa
timur dan tengah saat ini banyak mengalami proses transisi dalam
membenahi sistem keuangan. Pemerintah daerah dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah (Bird, ebel, dan wallich, 1995)
Perhatian kepada Desentralisasi Fiskal sudah demikian
mengglobal saat ini banyak Negara yang merubah tata pemerintahannya
dari sentralistik menuju desentralistik, di antaranya adalah Meldova
(IMF, 1999), Uganda (Livingstone dan chalton, 2001) Indonesia
(Boedjonegoro dan Asanuma, 2000). Filipina (Eatan, 2001), da Afrika
Selatan (Ahmad, 1998) dalam Khusaini,2006
2.2.1.1 Sejarah Desentralisasi Fiskaldi Indonesia
Sejarah perkembangan sistem tata pemerintah di Indonesia telah
mengalami pasang surut mengikuti irama rezim yang sedang
berkuasasaat itu. Sejak pemerintahan Republik Indonesia berdiri
telah ditetapkan silih berganti untuk mencari bentuk dan sistem
pemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada
saat itu, sampai tahun 1959 berlaku de facto federalism, yaitu lemahnya
kekuasaan pusat atas daerah seiring dengan turunnya efektivitas
kekuasaan pusat dan merebaknya gerakan separatisme di Indonesia.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai sentralisasi sepenuhnya berada di
Tabel 2.1
Perjalanan Desentralisasi di Indonesia
Periode
Konfigurasi
Politik UU Desentralisasi
Hakikat Desentralisasi Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949) Demokrasi
UU No. 1 Tahun 1945
UU No. 22 tahun 1948
Otonomi luas
Pasca
Kemerdekaan (1950-1959)
Demokrasi UU No. 1 tahun 1957 Otonomi Luas
Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Otorotarian
Perpres No.6 tahun 1959
UU No. 18 tahun 1965
Otonomi terbatas
Orde Baru
(1965-1998) Otorotarian UU No. 5 tahun 1974 Sentralisasi
Pasca Orde Baru(1998-sekarang)
Demokrasi
UU No. 22 Tahun 1999
UU No. 25 tahun 1999
UU No. 32 Tahun 2004
UU No. 33 tahun 2004
Otonomi Luas
Sesuai UU No.32 tahun 2004, daerah diberikan kewenangan
untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali
kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik
luar negeri, yustisi, moneter, dan fiskal nasional serta agama. Dengan
pembagian kewenangan / fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan di
daerah di laksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentasi,
dan tugas pembantuan. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU
tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Dijelaskan daftar tugas, baik untuk provinsi maupun
kabupaten/kota.
b. Memuat daftar urusan wajib untuk provinsi dan kabupaten/kota.
c. Departemen dalam Negeri menentukan daerah penghasil sumber
daya alam antara provinsi dan kabupaten/kota.
d. Memuat pembagian hasil sumber daya alam antara provinsi dan
kabupaten/kota.
e. Daerah tidak dapat secara langsung mengajukan pinjaman hutang
luar negeri tetapi daerah dapat melakukan pinjaman dari
pemerintah daerah lain.
f. Mengatur tentang pemilihan langsung kepala daerah/wakil kepala
2.2.1.2 Indikator Desentralisasi Fiskal
Dalam membahas mengenai indicator desentralisasi fiskal,
terdapat tiga variable yang merupakan reprerensi desentralisasi fiskal di
Indonesia, ketiga variable tersebut adalah sebagai berikut:
a) Desentralisasi Pengeluaran
Variable didefiniskan sebagai rasio pengeluaran total.
Masing-masing kabupaten/kota (APBD) terdapat total pengeluaran pemerintah
(APBN) (Kerk dan Waller, 1997, zhang dan zou, 1998). Hal ini
menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat. Hasil study yang dilakukan Zhang dan
Zou (1998), menunjukkan bahwa variable ini mempunyai pengaruh
negative terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini
mengimplementasikan bahwa desentralisasi fiskal gagal mendorong
pertumbuhan ekonomi di China, hal ini mungkin merefleksikan bahwa
pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan
investasi di sector infrastruktur. Sementara studi yang dilakukan oleh
Phillips dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negative
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada
Negara-negara maju. Dan mereka gagal menjelaskan efek desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara-negara berkembang.
b) Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran
total pengeluaran pembangunan Nasional (APBN) (Zhang dan Zou,
1998). Variabel ini menunjukkan besaran relative pengeluaran
pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Di
samping itu, variable ini juga mengekspresikan besarnya alokasi
pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari
rasio ini juga dapat diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi
yang baik untuk melaksanakan investasi sector public atau tidak. Jika
terdapat hubungan positif antara variable ini terhadap pertumbuhan
ekonomi, maka pemerintah local dalam posisi yang baik untuk
melakukan investasi di sektor public.
c) Desentralisasi Penerimaan
Variable ini didefenisikan sebagai rasio antara total penerimaan
masing-masing kabupaten/kota (APBD) tidak termasuk subsidi terhadap
total penerimaan pemerintah (Phillips dan Woller, 1997). Variable ini
mengekspresikan besaran relative antara pendapatan pemerintah daerah
Tabel 2.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi fiskal
PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
0,00 – 10,00 Sangat Kurang
10.01 - 20.00 Kurang
20,01 - 30-00 Sedang
30,01 – 40,00 Cukup
40,01 – 50,00 Baik
50,00 Sangat Baik
Sumber : Fisipol UGM ,1991
Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom itu mampu
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,(Syamsi 1986:199)
menegaskan beberapa ukuran :
1. Kemampuan struktural organisasinya.
Struktur organisasi Pemerintah Daerah harus mampu menampung
segala aktifitasnya dan tugas-tugas yang menjadi beban dan
tanggung jawabnya.jumlah unit-unit beserta macamnya cukup
mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan
tanggung jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah.
Aparat Pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya
dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat.
Pemerintah Daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau
berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
4. Kemampuan keuangan daerah.
Pemerintah Daerah Harus mampu membiayai semua kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai
pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri.
Sumber-sumber dananya apa saja, apakah PAD atau sebagian dari
subsidi Pemerintah pusat.
2.2.1.3 Keuntungan dan Kerugian Desentralisasi
a) Keuntungan Desentralisasi
Sistem penerimaan yang terdesentralisasi dapat dilihat melalui
aspek ekonomi, administrative, dan politik. Dari sisi ekonomi,
desentralisasi mempunyai implikasi bahwa program-program
pembangunan pemerintah dalam bidang ekonomi lebih diarahkan pada
kepentingan local dan disesuaikan dengan lingkungan daerah setempat.
Hal ini terjadi karena penguasa local dengan jelas lebih knowledge able
tentang keadaan local daripada penguasa pusat yang jauh dari mereka.
Dari sisi administrative, decentralization dapat meningkatkan
sistem administrasi di daerah, karena pemerintah local dapat
Dari sisi politik, desentralisasi dapat meningkatkan demokrasi
melalui partisipasi masyarakat secara langsung, mendidik masyarakat
tentang proses pengambilan keputusan dan meningkatkan persatuan
dalam Negara yang multicultural.
(http://www.worldbank.org/publicsector/seminar2001.ppt).
b) Kerugian Desentralisasi
Ada masalah potensial lain yang berkaitandengan desentralisasi,
beberapa penelitian telah menemukan bahwa sistem pemerintahan yang
terdesentralisasi bertendensi menimbulkan korupsi, kolusi, dan juga
instabilitas makro ekonomi.
Pelajaran dari pengalaman internasional berkaitan dengan
desentralisasi:
Pertama, desentralisasi dapat memperburuk suhu politik antara
daerah jika terdapat perbedaan pendapat (revenue capacity) yang
mencolok antar daerah.
Kedua, munculnya masalah yang berkaitan dengan tax
assignment dan expenditure.
Ketiga, terdapat masalah pengawasan pengeluaran pemerintah,
karena sistem desentralisasi lebih complicated daripada sistem yang
Bahaya dari sistem decentralization adalah mulai dari
mismanagement macro ekonomi, korupsi dan melebarkan kesenjangan
antara daerah yang kaya dan miskin (Huther dan Shah (1998))
Decentralization akan melebarkan disparitas regional dalam
pengeluaran sosial (social expenditure) jika pemerintah local
bertanggung jawab untuk pembiayaan dan pengeluarannya (azfar,
et.ali, 1999)
2.2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan adalah jumlah seluruh uang yang diterima oleh
seorang atau rumah tangga dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu
tahun). Pendapatan terdiri dari upah atau penerimaan kerja, pendapatan
dari kekayaan seperti sewa bunga atau devidan serta pembayaran atau
penerimaan dari pemerintah seperti tunjangan sosial atau asumsi
pengangguran (Nordhaus, 1993 : 58)
Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang menunjukkan
kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana
untuk membiayai kegiatan baik rutin maupun pembangunan. Jadi
pengertian dari usaha-usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan
potensi-potensi keuangan daerahnya untuk membiayai tugas dan
tanggung jawabnya (Anonim, 1999 : 20).
(Anonim,1999:79).
Dari keempat pengertian diatas dapat disimpulkan pendapatan
asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber
pendapatan daerah yang digali dan dikelola sendiri oleh pemerintah
daerah dengan pola menggunakan pungutan-pungutan yang berdasarkan
peraturan-peraturan yang ditetapkan.
Jadi dapat disimpulkan pendapatan asli daerah adalah pendapatan
yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai
kegiatan-kegiatan tersebut, semakin tinggi pendapatan asli daerah maka
semakin tinggi kualitas otonominya.
Peraturan pemerintah No.5 tahun 1975 pasal 12 sampai dengan
pasal 20 yang penyusunannya masuk dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) yang disesuaikan dalam undang-undang No.22
tahun 1999 tentang pemerintah daerah otonomi pasl 86. Pendapatan
aerah diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1999 pasal 79 sampai
dengan pasal 86.
Menurut Basri (1999 : 112) adapun langkah-langkah nyata yang
harus ditempuh pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan Asli
daerah adalah:
1. Mengenali dengan baik potensi daerah sendiri dan menggalang
kemampuan untuk menguatkan potensi tersebut.
2. Menitikberatkan kepada penerimaan yang besar saja.
pendapatan pencapaian optimalisasi kapasitas produksi.
4. Memperhitungkan segala sesuatunya dari tinjauan yang lebih
makroskopis.
5. Peningkatan kemampuan apratur Dinas Pendapatan Daerah yang
disertai penyempurnaan administrasi dan sistem akuntansi.
6. Mengefektifkan pengenaan local user changes.
Selama ini, PAD dalam pembiayaan kebutuhan daerah
disebagian besar daerah kurang dari 10% dan sangat bervariasi antar
daerah dari 10% hingga 50%. Penguasaan sumber-sumber penerimaan
pajak oleh pemerintah pusat pada dasarnya dengan administrasi
pemungutan, mobilitas objek pajak, fungsi stabilisasi, dan distribusi dari
pajak. Hal ini menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah pusat untuk
memiliki basis pajak-pajak yang besar.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan PAD adalah
kewenangan perpajakan (taxing power) daerah yang sangat terbatas
yang tercermin dari rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD.
Keadaan ini kurang mendukung akuntabiitas dari penggunaan anggaran
daerah dimana keterbatasan dana transfer dari pusat untuk membiayai
kebutuhan daerah idealnya dapat ditutup oleh daerah dengan
2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah
Pada umumnya fungsi-fungsi yang berifat nasional berada
ditangan pemerintah pusat, sedang sedang fungsi-fungsi yang bersifat
lokal biasanya diserahkan kepadala pemerintah daerah, dengan tujuan
untuk mendekatan pelayanan kepada masyarakat seperti halnya dengan
pendidikan dasar, pembangunan jalan lokal dan sebagainya.
Berdasarkan asas desentralisasi hal-hal yang menyangkut
kebijaksanaan, perencanaan, pengawasan maupun pembiayaan
kegiatan-kegiatan pemerintah daerah menjadi tugas dan wewenang
pemerintah daerah. Keuangan daerah dengan adanya penyelenggara
fungsi-fungsi pemerintah, yang dilaksanakan dalam dua atau lebih
tingkat pemerintahan berdasarkan atas desentralisasi. Dengan demikian
pemerintah perlu memiliki sumber-sumber keuangan agar hal-hal
tersebut di atas dapat diselenggarakan sebaik mungkin.
Sebelum dikemukakan mengenai sumber pendapatan daerah
akan dijelaskan mengenai pengertian. Pendapatan daerah pada
umumnya. Balasan pengertian pendapatan daerah secara tegas sebelum
ada yang memutuskan.
Pengertian daerah menurut undang-undang No.5 tahun 1974
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunya batasi wilayah
tertentu yang berhak, berwenang sendiri. Selanjutnya untuk dapat
meningkatkan sumber pendapatan daerah, maka pemerintah daerah
pengelolaannya maupun penggunaannya hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Manullang: bagi kehidupan suatu Negara masalah
keuangan Negara sangat penting. Makin baik keuangan Negara, maka
makin baik pula kedudukan pemerintahan dalam Negara tersebut.
Sebaliknya kalau keuangan suatu Negara kacau, maka pemerintah akan
menghadapi berbagai macam kesulitan dalam menyelenggarakan segala
kewajiban yang diberikan kepada Negara. Demikian juga bagi suatu
pemerintah daerah keuangan merupakan suatu masalah penting bagi
daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya (Kaho,
1988 : 61).
Pemerintah daerah tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan
efektif dan efisien tanpa posisi keuangan yang cukup. Dan keuangan
inilah salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata
kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri (Kaho, 1988
: 123). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Syamsi (1988 :
198) yang menempatkan keuangan daerah sebagai salah satu indikator
untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengurus rumah
tangganya sendiri.
Keuangan daerah mempunyai posisi yang sangat penting dan
perlu disadari oleh pemerintah. Alternatif cara mendapatkan keuangan
yang memadai telah dipertimbangkan oleh pemerintah. Hal ini dapat
sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Bahwa tidak semua sumber
pembiayaan dapat diberiken kepada daerah, maka kepada daerah
diwajibkan untuk menjadi sumber-sumber keuangan sendiri
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sumber-sumber keuangan daerah dapat diperoleh melalui
berbagai cara yaitu:
1. Pemerintah daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah
yang telah disetujui oleh pemerintah pusat.
2. Pemerintah daerah dapat mengambil bagian dalam pendapatan
pajak sentral yang dipungut oleh daerah tersebut.
3. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga,
pasar, bank atau pemerintah pusat.
4. Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari
pemerintah pusat (Kaho, 1988 : 125).
Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah
tahun1999, sumber keuangan daerah, baik propinsi, kabupaten, maupun
kotamadya menurut UU Nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan asli daerah (PAD).
2. Bagi hasil pajak dan non pajak.
3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II.
4. Pinjaman daerah.
5. Sisa lebih anggaran tahun lalu.
Sedangkan sesuai dengan pasal 79 UU Nomor 22 tahun1999 dan
pasal 3, 4, 5 dan pasal 6 UU Nomor 25 tahun 1999, sumber pendapatan
daerah terdiri atas sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah.
Pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam
menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan baik rutin
maupun pembangunan, terdiri atas:
a. Hasil pajak daerah.
b. Hasil restribusi daerah.
c. Hasil perusahaan daerah.
d. Penerimaan lain-lain dan pendapatan dinas-dinas.
2. Dana Perimbangan, terdiri dari:
a. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan
(PBB), Bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB).
b. Dana alokasi umum (DAU).
c. Dana alokasi khusus (DAK)
3. Pinjaman Daerah
Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan
penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal),
daerah yang dapat melakukan pinjaman, baik dari dalam negeri (pusat
dan lembaga keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan
daerah adalah sebagai berikut:
a. Pinjaman jangka panjang, untuk membiayai pembangunan
prasarana yang merupakan asset daerah, yang dapat
menghasilkan penerimana untuk pembayaran pinjaman yang
bersangkutan, serta memberikan manfaat bagi pelayanan
umum.
b. Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka
pengelolaan kas daerah.
4. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Pendapatan daerah di Indonesia diklasifikasikan sebagai
pendapatan rutin dan pembangunan, klasifikasi ini disesuaikan dengan
jenis pembiayaan kegiatan dari pemerintah daerah. Pendapatan rutin
berasal dari pendapatan asli daerah, subsidi dari pemerintah pusat dan
pendapatan rutin lainnya. Pendapatan asli daerah meliputi pendapatan
yang berasal dari pajak dan bukan pajak.
2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan Pendapatan Daerah
Pengertian mengenai pendapatan asli daerah selama ini secara
tegas belum ada yang merumuskan. Berikut ini batasan pengertian
pendapatan asli daerah sendiri oleh Ibnu Syamsi (1988 : 213) yaitu,
pendapatan asli daerah sendiri adalah: pendapatan yang berasal dari
dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai kegiatan-kegiatan
daerah tersebut. Semakin tinggi pendapatan asli daerah, maka semakin
2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal
Menyebabkan rendahnya PAD sehingga terjadi ketergantungan
fiskal daerah terhadap pusat.
Ada lima penyebab rendahnya PAD yang pada gilirannya
menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat:
a. Kurangnya berperannya perusahaan daerah sebagai sumber
pendapatan daerah.
b. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan (semua
pajak utama yang paling produktif dan buoyant, baik pajak
langsung dan tak langsung ditarik oleh pusat).
c. Kendati pajak cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa
diandalkan sebagai sumber penerimaan. Pajak daerah saat itu
berjumlah 50 jenis pajak, tetapi yang dianggap bersifat ekonomis
bila dilakukan pemungutannya hanya terdiri dari 12 jenis pajak
saja. Davey, (1979), dalam Kuncoro, (2004).
d. Bersifat politis ada kekhawatiran apabila daerah mempunyai
sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya dis
integrasi dan separatisme.
e. Adanya ketergantungan tersebut adalah kelemahan dalam
pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah
Alternative solusi yang ditawarkan adalah :
a) Meningkatkan peran BUMN.
b) Meningkatkan penerimaan daerah.
c) Mengubah pola pemberian subsidi.
d) Meningkatkan pinjaman daerah (kuncoro et.al, 1994.
2.2.3. Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)
Bagian pendapatan daerah yang diperoleh dari penerimaan bagi
hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak.
1. Bagi hasil pajak.
a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah
dengan rincian:
1) 16,2% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi.
2) 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota,
dan 9% untuk biaya pemungutan.
3) 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan
kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan
atas realitas penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan
a) 65% dibagikan secara merata kepada seluruh
daerah kabupaten dan kota, dan
b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah
kabupaten dan kota yang realisasi tahun
sebelumnya mencapai/melampaui rencana
penerimaan sektor tertentu.
b). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan (BPHTB) adalah 80% untuk
daerah dengan rincian sebagai berikut:
1) 16% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi.
2) 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan di
salurkan ke Rekening Kas Umum Daerah
Kabupaten/Kota.
3) 20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh
Kabupaten/Kota.
4) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal
25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
Pasal 21 adalah 20% dengan rincian:
a) 60% untuk kabupaten/kota.
b). 40% untuk propinsi, sedangkan yang diterima pemerintah
pusat sebesar 80 %.
1. Bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam)
A. Kehutanan.
1) Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH).
Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak
Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi.
b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil.
2. Dana reboisasi
Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi
adalah 40% untuk daerah dengan rincian:
a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan.
b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil.
c) 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk
kabupaten/kota. lainnya dalam propinsi yang bersangkutan.
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 60%.
B. Pertambangan Umum.
1. Iuran Tetap (Land-rend)
Penerimaan Iuran Tetap untuk daerah adalah 80% dengan
rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan.
b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil.
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%.
2. Iuran Eksplorasi dan Iuran eksploitasi (Royalty)
Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty)
untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan.
b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil.
Sedangkan yang diterima pemerintah pusat adalah 20%.
C. Perikanan.
Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi
dengan imbangan:
a. 20% untuk pemerintah pusat.
D. Pertambangan Minyak Bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan
dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi
dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan
imbangan:
1. 84,5% untuk pemerintah pusat.
2. 15,5% untuk daerah, dengan rincian:
a). 3% untuk propinsi yang bersangkutan.
b). 6% untuk kabupaten/kota penghasil.
c). 6% dibagikan untuk kabupaten/kota lain dalam
d). 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran
pendidikan dasar.
E. Pertambangan Gas Bumi
Penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan
komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dibagi dengan imbangan :
1. 69.5% untuk pemerintah pusat.
2. 30.5% untuk daerah, dengan rincian:
a. 6% untuk propinsi yang bersangkutan.
b. 12% untuk kabupaten/kota penghasil.
c. 12% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam
propinsi yang bersangkutan.
d. 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran
pendidikan dasar.
F. Pertambangan Panas Bumi.
Penerimaan pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari
1. 20% untuk pemerintah pusat.
2. 80% unuk daerah, dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan.
b. 32% untuk kabupaten/kota penghasil.
c. 32% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam propinsi
yang bersangkutan.
2.2.4. Sumbangan Daerah
Sumbangan/bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK).
2.2.4.1 Dana Alokasi Umum
Hal penting lain dari pengaturan keuangan menurut UU No.
25/1999 adalah provisi berupa transfer antar pemerintah dari pusat ke
kabupaten dan kota yang disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Diperkenalkannya DAU dan DAK
berarti menghapus Subsidi Daerah Otonom dan dana Inpres yang
diperkenalkan pada era Soeharto.
DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua
kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum
mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima
lebih banyak daripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting
alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan
penyediaan pelayanan publik antar Pemda di Indonesia. UU No.25/1999
pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban
menyalurkan paling sedikit 25% dari Penerimaan Dalam Negerinya
dalam bentuk DAU.
Secara definisi, Dana Alokasi Umum dapat diartikan sebagai
berikut (Sidik, 2003,dalam Kuncoro,2004).
Komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang
pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau
Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan
Kapasitas Fiskal.
1. Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar-daerah dan penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh
daerah.
2. Equalization grant, berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan
kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak, dan
yang diatur dalam PP 84/2001 sebagai perubahan atas PP 104/2000
tentang Dana Perimbangan (digunakan dalam perhitungan DAU TA
2002). Selain dengan formula Kesenjangan Fiskal, perhitungan DAU
juga ditentukan dengan menggunakan Faktor Penyeimbang (FP) berupa
Alokasi Minimum (AM).
Ditetapkan dalam rapat Panitia Anggaran DPR-RI dengan
Pemerintah tanggal 10 Juli 2002, bahwa penyempurnaan formula dan
perhitungan DAU dilakukan dengan:
1. Meningkatkan akurasi data dasar yang digunakan.
2. Mengurangi porsi DAU dalam perhitungan AM dan
memperbesar porsi DAU yang dialokasikan untuk
mengurangi kesenjangan keuangan antar daerah
(perhitungan DAU dengan formula dalam PP 84/2001).
3. Mengupayakan untuk tetap mempertahankan bahwa
tidak ada daerah yang menerima DAU TA 2003 kurang
dari atau minimal sama dengan DAU plus Dana
Penyeimbang TA 2002. Oleh karena itu, diberikan
tambahan dana melalui Dana Penyeimbang TA 2003.
Berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No.25/1999, plafon DAU
ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari PDN dalam APBN. Dalam
1. Dibagi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan rasio 10%
Provinsi dan 90% Kabupaten/Kota. (Pasal 7 ayat (2) UU
No.25/1999).
2. Dalam implementasinya, plafon DAU untuk provinsi (10%)
lebih kecil dari kebutuhan DAU-nya. Kenyataannya, plafon DAU
TA 2002 Provinsi (10%) sebesar Rp. 6.911,41 miliar ternyata lebih
kecil dibandingkan DAU Provinsi TA 2001 ditambah Dana
Kontinjensi yang mencapai Rp. 7.465,46 miliar.
Untuk mengkompensasi kekurangan, dana ditambahkan melalui
Dana Penyeimbang. Dengan asumsi terdapat tambahan dana untuk
DAU melalui Dana Penyeimbang, sebenarnya kebutuhan plafon DAU
lebih besar dari 25% PDN netto dalam APBN.
2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus
DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan
khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat
sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus.
Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:
1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang
tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain.
3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah
pesisir kepulauan tidak memadai.
4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi
dampak kerusakan lingkungan.
UU No. 25/1999 pasal 8 menggariskan bahwa kebutuhan khusus
yang dapat dibiayai dengan DAK antar lain kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU atau
kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Empat puluh persen dari penerimaan negara yang berasal
dari Dana Reboisasi disediakan kepada daerah sebagai DAK. DAK
diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah dengan
penyediaan Dana Pendamping 10% yang berasal dari penerimaan umum
APBD (kecuali untuk DAK Reboisasi). Untuk APBN Tahun Anggaran
2001 dan 2002, DAK hanya berasal dari Dana Reboisasi (DR)
masing-masing dengan jumlah Rp 700,6 miliar dan Rp 817,3 miliar. APBN
Tahun Anggaran 2003 dianggarkan Rp 2.616,6 miliar yang terdiri dari
DAK-DR sebesar Rp 347,6 miliar dan DAK non DR sebesar Rp 2.269
miliar.
Persyaratan untuk memperoleh DAK adalah sebagai berikut:
Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai
seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagi Hasil
a) Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%
dari kegiatan yang diajukan (kecuali untuk DAK dari Dana
Reboisasi).
b). Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/ kegiatan yang
ditetapkan oleh Menteri Teknis /Instansi terkait.
Kegiatan DAK berdasarkan PP 104/2000 meliputi:
a. DAK digunakan untuk membiayai investasi pengadaan dan atau
peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan
umur ekonomis yang panjang.
b. Dalam keadaan tertentu, DAK dapat membantu membiayai
pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu
untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.
2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah harus dilakukan sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah dalam membiyai pelaksanaan
pemerintahan dan pembagunan daerahnya, walaupun pengukurannya
kemampuan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Ada empat
macam pola hubungan yang dapat digunakan dalam pelaksanaan
1. Pola Hubungan Instruktif
Pola hubungan ini menunjukkan peranan pemerintah pusat lebih
dominan daripada kemandirian pemerintah daerah tersebut
(daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).
2. Pola Hubungan Konsultatif
Pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah mulai
berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi.
3. Pola Hubungan Partisipatif
Pola hubungan ini peranan pemerintah pusat semakin berkurang,
mengingat tingkat kemandirian daerah yang bersangkutan
mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
4. Pola Hubungan Delegatif
Pada pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dalam
melaksanakan otonomi. Adanya potensi sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia yang berbeda menyebabkan terjadinya
perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah.
Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dan tingkat
kemandirian daerah (dari sisi keuangan) dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3
Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
0-25
25-50
50 - 75
75-100
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
(Halim,2004:189 )
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan derajat
otonomi fiskal menunjukan kepada kemampuan daerah dalam
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, sebagai salah satu indikator
kemampuan otonomi daerah tingkat kabupaten atau kota.Salah satu
ukuran yang di gunakan untuk mengukur derajat otonomi fiskal daerah
adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan APBD tanpa
sumbangan dan bantuan pemerintah pusat serta tercemin melalui angka
Indeks Kemampuan Rutin (IKR) yaitu proposi antara PAD dengan
pengeluaran rutin tanpa transfer dari Pemerintah Pusat.
2.2.6 Perwilayahan
Pembangunan ekonomi selain dilihat dari segi sektoralnya juga
dilihat dari segi perwilayahannya. Pembangunan ekonomi daerah adalah
antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu
lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
dalam wilayah tersebut adapun tujuan utama dari pembangunan
ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang
kerja untuk masyarakat daerah dan merangsang pertumbuhan ekonomi
dalam wilayah tersebut. Sehinga perlu diperhatikan juga aspek ruang
(space) atau lokasi dalam pelaksanaannya, dengan demikian
pembangunan ekonomi selain bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan juga untuk meningkatkaii target pemerataan (Arsyad,
1999 : 109).
Prioritas lokasi pembangunan dilakukan dengan melihat kondisi
fisik alami dan social ekonomi penduduknya, sehingga diusahakan laju
pertumbuhan dan pengembangan daerah dapat berjalan secara
seimbang, sedangkan perwilayahan pembangunan membagi Jawa Timur
menjadi sembilan sektor wilayah pembangunan dan masing-masing
pusat pengembangannya. Kota Surabaya adalah ibukota sekaligus pusat
ekonomi Jawa Timur dan Kawasan Indonesia Timur.
Masing-masing Satuan Wiiayah Pembangunan ( SWP ) tersebut
antara lain adalah sebagai:
1. SWP I meliputi Gerbang Kertosusila, meliputi Kota Surabaya dan
Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan,
Bangkalan, dan Gresik dengan pusatnya di Surabaya.
Sumenep, Pamekasan dan Sampang dengan pusatnya di Sumenep.
3. SWP III meliputi Banyuwangi sekaligus sebagai pusatnya.
4. SWP IV meliputi Jember dan sekitarnya, meliputi Kabupaten :
Jember, Bondowoso dan Situbondo serta Jember sebagai pusatnya.
5. SWP V meliputi Probolinggo - Lumajang dan pusatnya
Probolinggo.
6. SWP VI meliputi Malang - Pasuruan, dengan pusatnya di Malang.
7. SWP VII meliputi Kediri dan sekitarnya, meliputi Kota : Kediri
dan Blitar serta Kabupaten Kediri, Tulungagung dengan pusatnya
di Kodya Kediri.
8. SWP VIII meliputi Madiun dan sekitarnya, meliputi Kota /
Kabupaten Madiun serta Kabupaten Ponorogo, Magetan,
Ngawi dengan pusatnya di Kota Madiun.
9. SWP IX meliputi Tuban dan Bojonegoro, meliputi Kabupaten
Tuban dan Bojonegoro dengan pusatnya di Tuban.
Daerah penelitian difokuskan pada Satuan Wilayah
Pembangunan I Jawa Timur, karena salah satu daerah yang tergabung
dalam SWP I adalah ibukota propinsi Jawa Timur yaitu Kota Surabaya.
Di Surabaya banyak kebijakan-kebijakan strategis yang dibuat dan
secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi daerah lainnya.
Sehingga mampu menggerakkan banyak sektor di tiap wilayah
dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan, proses pembangunan
dapat dilanjutkan ke SWP yang lain dari II sampai dengan SWP IX,
setelah pembangunan antar wilayah tersebut membuahkan hasil, maka
secara otomatis akan tercipta pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh
di Jawa Timur.
Keberhasilan pernbangunan ekonomi suatu daerah diukur dengan
melihat besarnya nlai PDRB, yang menunjukan total nilai produksi