• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS INDEKS DESENTRALISASI FISKAL PADA SATUAN WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI JAWA TIMUR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS INDEKS DESENTRALISASI FISKAL PADA SATUAN WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI JAWA TIMUR."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Ekonomi Pembanguanan

Oleh:

RAHADYAN YUNAN 0511010099/FE/IE

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAWA TIMUR

(2)

yang diajukan

Rahadyan Yunan 0511010099

Telah disetujui untuk diseminarkan oleh:

Pembimbing Utama

Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi

(3)

WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI JAWA TIMUR

yang diajukan

RAHADYAN YUNAN 0511010099FE/IE

Telah disetujui untuk diseminarkan oleh:

Pembimbing Utama

Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi

(4)

WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) VII PROPINSI JAWA TIMUR

yang diajukan

RAHADYAN YUNAN 0511010099/FE/IE

Telah diseminarkan dan disetujui untuk menyusun skripsi oleh:

Pembimbing Utama

Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi

(5)

yang diajukan

RAHADYAN YUNAN 0511010099/FE/IE

disetujui untuk Ujian Lisan oleh:

Pembimbing Utama

Dra. Ec. Titiek Nurhidayati Tanggal : ...

Mengetahui

Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Jawa Timur

(6)

atas rahmat serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga

peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini

merupakan salah satu kewajiban mahasiswa untuk memenuhi tugas

dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi

khususnya Jurusan Ilmu Ekonomi. Dalam penelitian skripsi ini

peneliti mengambil judul “Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal

Pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII Propinsi Jawa

Timur”.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa didalam penyusunan

skripsi ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan karena

masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang ada.

Atas terselesaikannya skripsi ini, peneliti menyampaikan rasa

hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1.

Bapak Dr.Ir.Teguh Sudarto,MP, selaku Rektor Universitas

(7)

Timur.

3.

Ibu Dra.Ec Niniek Imaningsih,MP, selaku Ketua Program Studi

Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

4.

Ibu Drs.Ec Titik Nurhidayati.selaku Dosen Pembimbing dan Dosen

Wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan

mendampingi peneliti selama menempuh pendidikan didalam

perkuliahan.

5.

Segenap staf pengajar dan staf kantor Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang telah dengan ikhlas

memberikan ilmu pengetahuannya dan pelayanan akademik bagi

peneliti.

6.

Ayah dan Bunda tercinta yang telah sabar mendidik dan

membesarkan peneliti dengan penuh kasih sayang baik moral,

material, maupun spiritual, dan juga untuk adik peneliti, semua

(8)

membutuhkan, semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal.

Wassallamualaikum Wr.Wb

Surabaya, Mei 2012

(9)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAKSI ... x

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang ...

1

1.2

Perumusan Masalah ...

7

1.3

Tujuan Penelitian ...

7

1.4

Manfaat Penelitian ...

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu... 8

2.2 Landasan Teori ... 12

(10)

2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah ... 28

2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan

Pendapatan Daerah ... 32

2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal... 33

2.2.3 Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) 34

2.2.4 Sumbangan Daerah ... 40

2.2.4.1 Dana Alokasi Umum ... 40

2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus... 43

2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah

... 45

2.2.6 Perwilayahan ... 47

2.3 Kerangka Pikir ... 50

2.4 Hipotesis ... 52

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 53

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 54

3.2.1 Jenis Data ... 54

(11)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Deskripsi Obyek Penelitian ……….. 57

4.1.1 Gambaran Umum Wilayah ... 57

4.1.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Tulungagung .…. 57

4.1.1.1.1 Letak Geografis ………. 57

4.1.1.1.2 Penduduk ……….. 58

4.1.1.2 Kondisi Umum Kabupaten Kediri... 59

4.1.1.2.1 Letak Geografis ………. 59

4.1.1.2.2 Penduduk ……….. 60

4.1.1.3 Kondisi Umum Kabupaten Blitar………...….. 61

4.1.1.3.1 Letak Geografis ………. 61

4.1.1.3.2 Penduduk ……….. 62

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 63

4.2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah ... 63

4.2.2 Pajak Daerah... 67

4.2.3 Restribusi Daerah ... 68

4.2.4 Laba Perusahaan Daerah ... 69

(12)

4.4 Alasan Naik Turunnya Indek Desentralisasi Fiskal ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 79

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA

(13)
(14)

2.1

Perjalanan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ... 18

2.2

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal ... 22

2.3

Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah ... 47

4.1 Perkembangan

Penerimaan

Daerah Tahun 2009/2010 ... 65

4.2

Rasio Keuanagn Daerah Kabupaten Tulungagung 2009/2010 ... 73

4.3

Rasio Keuangan Daerah Kabupaten Kediri 2009/2010 ... 74

(15)

pemberian otonomi bagi daerah adalah untuk menambah kelancaran pembangunan didaerah dan terciptanya suatu kesinambungan pertumbuhan pembangunan yang dicapai serta pemerataan hasil-hasilnya.Dengan berlakunya Otonomi Daerah maka sebaiknya pemerintah daerah otonom diwajibkan untuk menggali sunber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Dengan demikian maka pemerintah daerah otonom dapat merencanakan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri sesuai dengan kebijaksanaan serta inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya dan harus bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya sendiri untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD sebagian besar masih berasal dari bantuan pemerintah pusat berupa Dana Perimbangan salah satunya adalah Dana Alokasi Umum.Selayaknya Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII menggembangkan sumber daya lokal dan menggurangi ketergantungan dari pusat.

Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan kemandirian suatu daerah pada SWP VII.Analisa yang dinggunakan adalah analisa kuantitatif,yaitu analisa yang sifatnya,menjelaskan secara uraian atau dalam bentuk kalimat-kalimat dan analisa kualitatif,yaitu analisa dengan menggunakan rumus-rumus dan analisa pasti.Analisa kuantitatif meliputi analisa Indeks Desentralisasi Fiskal (tingkat kemandirian daerah) sehingga dapat menggetahui di daerah SWP VII mempunyai kemandirian fiskal.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Indeks Desentralisasi Fiskal SWP VIII rata-rata menunjukan rendah sekali.Pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah di kabupaten / kota di SWP VII adalah pola hubungan intruktif dan konsultatif. Sehingga dapat di katakan selama periode penelitian SWP VII belum mampu membawa daerahnya / kurang mandiri.

(16)

atas rahmat serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga

peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini

merupakan salah satu kewajiban mahasiswa untuk memenuhi tugas

dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi

khususnya Jurusan Ilmu Ekonomi. Dalam penelitian skripsi ini

peneliti mengambil judul “Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal

Pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII Propinsi Jawa

Timur”.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa didalam penyusunan

skripsi ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan karena

masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang ada.

Atas terselesaikannya skripsi ini, peneliti menyampaikan rasa

hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1.

Bapak Dr.Ir.Teguh Sudarto,MP, selaku Rektor Universitas

(17)

Timur.

3.

Ibu Dra.Ec Niniek Imaningsih,MP, selaku Ketua Program Studi

Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

4.

Ibu Drs.Ec Titik Nurhidayati.selaku Dosen Pembimbing dan Dosen

Wali yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan

mendampingi peneliti selama menempuh pendidikan didalam

perkuliahan.

5.

Segenap staf pengajar dan staf kantor Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang telah dengan ikhlas

memberikan ilmu pengetahuannya dan pelayanan akademik bagi

peneliti.

6.

Ayah dan Bunda tercinta yang telah sabar mendidik dan

membesarkan peneliti dengan penuh kasih sayang baik moral,

material, maupun spiritual, dan juga untuk adik peneliti, semua

(18)

membutuhkan, semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal.

Wassallamualaikum Wr.Wb

Surabaya, Mei 2012

(19)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAKSI ... x

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang ...

1

1.2

Perumusan Masalah ...

7

1.3

Tujuan Penelitian ...

7

1.4

Manfaat Penelitian ...

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu... 8

2.2 Landasan Teori ... 12

(20)

2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah ... 28

2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan

Pendapatan Daerah ... 32

2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal... 33

2.2.3 Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) 34

2.2.4 Sumbangan Daerah ... 40

2.2.4.1 Dana Alokasi Umum ... 40

2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus... 43

2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah

... 45

2.2.6 Perwilayahan ... 47

2.3 Kerangka Pikir ... 50

2.4 Hipotesis ... 52

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 53

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 54

3.2.1 Jenis Data ... 54

(21)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Deskripsi Obyek Penelitian ……….. 57

4.1.1 Gambaran Umum Wilayah ... 57

4.1.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Tulungagung .…. 57

4.1.1.1.1 Letak Geografis ………. 57

4.1.1.1.2 Penduduk ……….. 58

4.1.1.2 Kondisi Umum Kabupaten Kediri... 59

4.1.1.2.1 Letak Geografis ………. 59

4.1.1.2.2 Penduduk ……….. 60

4.1.1.3 Kondisi Umum Kabupaten Blitar………...….. 61

4.1.1.3.1 Letak Geografis ………. 61

4.1.1.3.2 Penduduk ……….. 62

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 63

4.2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah ... 63

4.2.2 Pajak Daerah... 67

4.2.3 Restribusi Daerah ... 68

4.2.4 Laba Perusahaan Daerah ... 69

(22)

4.4 Alasan Naik Turunnya Indek Desentralisasi Fiskal ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 79

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA

(23)
(24)

2.1

Perjalanan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ... 18

2.2

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal ... 22

2.3

Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah ... 47

4.1 Perkembangan

Penerimaan

Daerah Tahun 2009/2010 ... 65

4.2

Rasio Keuanagn Daerah Kabupaten Tulungagung 2009/2010 ... 73

4.3

Rasio Keuangan Daerah Kabupaten Kediri 2009/2010 ... 74

(25)

pemberian otonomi bagi daerah adalah untuk menambah kelancaran pembangunan didaerah dan terciptanya suatu kesinambungan pertumbuhan pembangunan yang dicapai serta pemerataan hasil-hasilnya.Dengan berlakunya Otonomi Daerah maka sebaiknya pemerintah daerah otonom diwajibkan untuk menggali sunber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Dengan demikian maka pemerintah daerah otonom dapat merencanakan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri sesuai dengan kebijaksanaan serta inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya dan harus bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya sendiri untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD sebagian besar masih berasal dari bantuan pemerintah pusat berupa Dana Perimbangan salah satunya adalah Dana Alokasi Umum.Selayaknya Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) VII menggembangkan sumber daya lokal dan menggurangi ketergantungan dari pusat.

Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan kemandirian suatu daerah pada SWP VII.Analisa yang dinggunakan adalah analisa kuantitatif,yaitu analisa yang sifatnya,menjelaskan secara uraian atau dalam bentuk kalimat-kalimat dan analisa kualitatif,yaitu analisa dengan menggunakan rumus-rumus dan analisa pasti.Analisa kuantitatif meliputi analisa Indeks Desentralisasi Fiskal (tingkat kemandirian daerah) sehingga dapat menggetahui di daerah SWP VII mempunyai kemandirian fiskal.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Indeks Desentralisasi Fiskal SWP VIII rata-rata menunjukan rendah sekali.Pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah di kabupaten / kota di SWP VII adalah pola hubungan intruktif dan konsultatif. Sehingga dapat di katakan selama periode penelitian SWP VII belum mampu membawa daerahnya / kurang mandiri.

(26)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap daerah di Indonesia diberikan hak untuk melakukan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Oleh karena itu tumpuan dan harapnnya adalah dengan cara menggali dan mengoptimalisasikan Pendapatan Asli Daerah. Ada beberapa daerah yang mempunyai obsesi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan cara memberdayakan rakyat atau mengembangkan potensi yang ada seperti potensi budaya, obyek wisata serta industri rumah tangga yang banyak ragamnya dan selama ini sepertinya dibiarkan berjalan sendiri, seharusnya didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

(27)

otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah. Menurut bentuk-bentuk desentralisasi dalam era otonomi daerah adalah sebagai berikut; desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, desentralisasi politik, dan desentralisasi pelayanan.

(28)

Selain itu juga isu desentralisasi yang dianggap sebagai jalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi telah menarik perhatian dari banyak ahli, antara lain dikemukakan oleh Tiebout, Oates, Tresch, Breton, Weingast, dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al dalam Sidik (2002) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena :

1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya. 2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap

kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat.

3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.

(29)

Dalam melaksanakan upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah, perlu diadakan analisis faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah Satuan Wilayah Pembangunan (SWP VII) yaitu Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar.

Pembangunan nasional harus dilakukan melihat berbagai potensi yang ada dan harus dimanfaatkan seefisien mungkin. Mengingat keterbatasan tenaga yang professional maupun dana yang tersedia maka pembangunan nasional dilaksanakan secara bertahap melalui perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang. Pembangunan itu sendiri tentunya memerlukan biaya yang sangat besar. Kondisi yang demikian itu akan mendorong para pelaku pembangunan untuk lebih berorientasi kepada kemampuan sendiri. Dengan mengacu pada pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tentang asas desentralisasi maka dalam rangka melaksanakan pembangunan yang merata, berdaya guna dan berhasil guna maka dibentuklah daerah otonomi.

(30)

Diharapkan terjadi perubahan paragdigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Dari budaya petunjuk menjadi penekanan prinsip demokrasi, prakasa, dan aspirasi masyarakat daerah. UU No. 22 dan 25 tahun 1999, beserta serangkaian Peraturan Pemerintah, mencoba memberikan alternatif format otonomi daerah yang baru.Ini terlihat dari adanya kesadaran bahwa ”pembangunan di daerah” tidak identik dengan ”pembangunan daerah”. Perubahan struktural yang layak di catat berkat UU ini adalah pelaksanaan otoda secara utuh dan luas di kabupaten dan kota, sedang provinsi hanya memiliki otonomi daerah terbatas.

Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah tahun 1999, sumber keuangan daerah baik propinsi, kabupaten, maupun kotamadya menurut UU nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan Asli Daerah (PAD). 2. Bagi hasil pajak dan non pajak.

3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II 4. Pinjaman daerah.

5. Sisa lebih anggaran tahun lalu.

6. Lain-lain penerimaman daerah yang sah.

(31)

sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu

Bagian ini berisikan tentang hasil penelitian mengenai

pendapatan asli daerah yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti:

1. Sophiayani (1997 : 90), dengan judul penelitian “ Implementasi

pembangunan Daerah Tingkat I Dalam Kaitan pengembangan

Perwilayahan Pembangunan di satuan Wilayah Pembangunan VII

Madiun, dengan menggunakan analisa Locationt Quotient dan indeks

Fungsional Wilkinson dapat di tarik kesimpulan : Pertama, sektor

pertanian secara umum sektor ini menjadi corak bagi perekonomian

seluruh daerah dan berperan sangat menonjol terhadap PDRB di daerah –

daerah tingkat II se-Satuan Wilayah Pembangunan VII Madiun (IF ≥

0,33). Kedua, sektor Perdagangan, hotel dan restoran secara umum

menjadi corak bagi perekonomian seluruh Daerah Tingkat I di Satuan

Wilayah Pembangunan VII Madiun ( IFS ≥ 0,33 0.

2. Mohammad Riduansyah (2003 ) dengan judul “Konstribusi Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna Mendukung

Pelaksanaan Otonomi Daerah.” Dengan menggunakan location Quatient

dapat disimpulkan: pertama total kontribusi komponen pajak daerah

(33)

Kontribusi terbesar terhadap total penerimaan APBD diberikan oleh

pajak hotel dan restaurant serta pajak hiburan. Kedua kontribusi

komponen retribusi daerah terhadap total penerimaan APBD dalam kurun

waktu tahun anggaran 1993/1994-2000. Kontribusi retribusi terhadap

total penerimaan APBD diberikan oleh retribusi pasar dan retribusi

terminal. Dari data yang diperoleh, terlibat bahwa kontribusi pajak daerah

dan retribusi daerah terhadap penerimaan APBD pemerintah daerah kota

Bogor sangat fluktuatif. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah,

kiranya perlu bagi pemerintah daerah Bogor untuk memperhatikan

peluang yang ada. Langkah ini merupakan bentuk inovasi yang baik

disamping tentunya mengintensifkan pelaksanaan penarikan pajak daerah

dan retribusi daerah yang telah diberlakukan sebelumnya.

3. Fuad (2004 : IX) dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah di Jawa Timur”. Dari hasil

penelitian melalui analisis regresi secara simultan variabel bebas

berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dengan F hitung = 112,874 >

F tabel = 3,59 dengan menggunakan Level of Signifikant () sebesar

0,05. Sedangkan dari uji secara parsial menggunakan uji t dengan 2

=

0,025, sehingga dapat diketahui variabel bebas produk Domestik

Regional Bruto (PDRBP (X1) berpengaruh secara nyata terhadap variabel

(34)

disebabkan karena kenaikan jumlah penduduk yang tidak diperoleh untuk

memenuhi kebutuhan hidup daripada membayar pajak dimana pajak

adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah, sedangkan variabel

pembangunan (X3) diperoleh thitung = 2,275 > ttabel = 2,201 yang berarti

bahwa pengeluaran pembangunan berpengaruh secara nyata terhadap

Pendapatan Asli Daerah.

4. Sari (2006:X) dengan judul “Faktor-faktor yang mempengaruhi

pendapatan Asli Daerah (PAD) di kabupaten Lamongan” dari hasil

penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa :

Hasil analisis data menunjukkan bahwa variable bebas secara simultan

berpengaruh nyata terhadap pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten

Lamongan. Hal ini diketahui dari uji F, yaitu diperoleh Fhitung = 117,80 +

Ftabel = 3,35% secara parsial menunjukkan investasi, pengeluaran

pemerintah dan Pendaptan domestic regional Bruto (PDRB) berpengaruh

nyata terhadap pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lamongan. Dimana

t hitung untuk variable investasi = 5,897 > t tabel (2,201) t hitung untuk

pengeluaran pemerintah = 4,459 > ttabel (2,201) dan t hitung untuk variable

PDRB = -2,207 < + t table )-2,201), sedangkan jumlah tenaga kerja sector

Industri tidak berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten

Lamongan, dimana t hitung yang di hasilkan -0,098 < t table (2,201). Hasil

analisis dengan r2 parsial menunjukkan bahwa variable investasinya

berpengaruh dominant terhadap pendapatan asli daerah (y) di kabupaten

(35)

5. I Wandana (2006:X) dengan judul “Analisis beberapa factor yang

mempengaruhi pendapatan Asli Daerah (PAD) di kabupaten Gresik” dari

hasil penelitian disimpulkan bahwa :

Melalui analisis regresi linier berganda dapat diperoleh persamaan

regresi dengan menggunakan uji regresi secara simultan. Variable bebas

berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat dengan Fhitung =

18,946 > Ftabel = 3,48 dengan menggunakan level of significant (x)

sebesar 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t

dengan penduduk (x1) tidak berpengaruh secara nyata terhadap

pendapatan asli daerah di Kabupaten Gresik (Y) dengan thitung = 0,040 <

ttabel = 2,220 (untuk inflasi variabel bebas inflasi (x2) diperoleh thitung =

-0,622 > t table = -2,228 sehingga secara parsial inflasi tidak berpengeruh

dan secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gresik

untuk variabel jumlah tenaga kerja (x3) diperoleh thitung = 3,833 > ttabel =

2,228 sehingga secara parsial dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kerja

berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Gresik.

Untuk variabel produk Domestik Regional Bruto (xy) di ketahui t hitung =

2,665 > t table = 2,220 sehingga secara parsial dapat diketahui bahwa

produksi domestic regional bruto berpengaruh secara nyata terhadap

(36)

2.2 Landasan teori

2.2.1 Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi yang mengandung arti penyerahan wewenang

pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonomi dalam kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut UU No.5 tahun 1974, desentralisasi adalah suatu

perpindahan jasa administrasi dari pemerintah pusat atau dari suatu

pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang

lebih rendah untuk menjadi jasa regional.

Desentralisasi sering mengandung arti apapun juga sesuai dengan

orang yang menggunakan istilah tersebut untuk kepentingannya sendiri

Bird(1993). Dalam Khusaini,(2006).

Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat ke level pemerintahan yang ada dibawahnya. Secara teoritis ada

beberapa tipe desentralisasi yaitu desentralisasi politik, desentralisasi

administrative dan desentralisasi fiskal. Dalam Khusaini,(2006).

Desentralisasi berarti memberikan sebagaian dari wewenang

pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan dan

menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan menyangkut

kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang

menyangkut kepentingan dan tanggung jawab suatu daerah, misalnya :

a. Urusan umum dan pemerintahan

(37)

Jadi desentralisasi merupakan sebuah bentuk pemindahan

tanggung jawab, wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personil,

dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke level pemerintah daerah.

Dasar dari inisiatif seperti ini adalah desentralisasi dapat

memindahkan proses pengambilan keputusan ketingkat pemerintah

yang lebih dekat dengan masyarakat.

Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan

kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang

sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun

pemanfaatannya di atau atau dilakukan oleh pemerintah pusat.

Dengan terjadinya pelimpahan sebagaian kewenangan terhadap

sumber-sumber penerimaan Negara kepada pemerintahan di daerah, di

harapkan daerah-daerah akan dapat melaksanakan tugas-tugas rutin,

pelayanan public, dan meningkatkan investasi yang produktif (capital

investment) di daerahnya.

Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam

bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber

penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses

pengintesifikasian peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam

pembangunan. Desentralisasi fiskal memerlukan pengeseran beberapa

(38)

pemerintah daerah diberi wewenang (otonomi) untuk menentukan

alokasi atas pengeluaran sendiri.

Desentralisasi fiskal terutama di maksudkan untuk memindahkan

atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan factor-faktor

pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan.

Dengan membawa pemerintah lebih dekat ke masyarakat, desentralisasi

fiskal diharapkan dapat mendorong efesiensi sector public, juga

akuntabilitas public, dan transportasi dalam penyediaan jasa public serta

pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis (Demelo, 2000)

Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal akan berjalan dengan baik

dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :

a. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan

pengawasan.

b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan

dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.

Desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah

daerah dalam memungut pajak.

Tujuan peningkatan desentralisasi adalah untuk mengembangkan

perencanaan dan pelaksanaan pelayanan public dengan menggabungkan

kebutuhan dan kondisi local yang sekaligus untuk mencapai obyektifitas

pembangunan sosial, ekonomi pada tingkat daerah dan nasional,

(39)

sosial dan ekonomi diharapkan dapat digunakan dengan lebih efektif

dan efesien. Untuk memenuhi kebutuhan local.

Asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

menurut UU No.22 tahun 1999 mencakup paling tidak empat hal,yaitu:

Pertama, memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada

daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Keleluasaan otonomi

artinya mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam

penyelenggaraan pemerintahan termasuk penyusunan perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

Kedua, otonomi yang nyata, artinya daerah punya keleluasaan

untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu

yang secara nyata ada, dibutuhkan tumbuh, hidup dan berkembang di

daerah.

Ketiga, otonomi yang bertanggung jawab, berarti sebagai

konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan kepada daerah

dalam pemberian pelayanan kepada public dan peningkatan

kesejahteraan bagi rakyat daerahnya.

Keempat, otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara

terbatas, yaitu (a) kewenangan lintas kabupaten/kota; (b) kewenangan

(40)

kewenangan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil

pemerintah. Asas tugas pembantuan adalah pemberian kewenangan oleh

pemerintah kepada daerah dan desa.

Desentralisasi saat ini telah menjadi perhatian pokok dan

merupakan fenomena bagi Negara-negara di dunia, baik di Negara

berkembang maupun di Negara-negara maju. Desentralisasi seakan

menjadi suatu resep atas kebijakan-kebijakan yang dapat mengatasi

berbagai persoalan yang dihadapi suatu Negara. Negara-negara di eropa

timur dan tengah saat ini banyak mengalami proses transisi dalam

membenahi sistem keuangan. Pemerintah daerah dan perimbangan

keuangan pusat dan daerah (Bird, ebel, dan wallich, 1995)

Perhatian kepada Desentralisasi Fiskal sudah demikian

mengglobal saat ini banyak Negara yang merubah tata pemerintahannya

dari sentralistik menuju desentralistik, di antaranya adalah Meldova

(IMF, 1999), Uganda (Livingstone dan chalton, 2001) Indonesia

(Boedjonegoro dan Asanuma, 2000). Filipina (Eatan, 2001), da Afrika

Selatan (Ahmad, 1998) dalam Khusaini,2006

2.2.1.1 Sejarah Desentralisasi Fiskaldi Indonesia

Sejarah perkembangan sistem tata pemerintah di Indonesia telah

mengalami pasang surut mengikuti irama rezim yang sedang

berkuasasaat itu. Sejak pemerintahan Republik Indonesia berdiri

(41)

telah ditetapkan silih berganti untuk mencari bentuk dan sistem

pemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada

saat itu, sampai tahun 1959 berlaku de facto federalism, yaitu lemahnya

kekuasaan pusat atas daerah seiring dengan turunnya efektivitas

kekuasaan pusat dan merebaknya gerakan separatisme di Indonesia.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai sentralisasi sepenuhnya berada di

(42)

Tabel 2.1

Perjalanan Desentralisasi di Indonesia

Periode

Konfigurasi

Politik UU Desentralisasi

Hakikat Desentralisasi Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949) Demokrasi

UU No. 1 Tahun 1945

UU No. 22 tahun 1948

Otonomi luas

Pasca

Kemerdekaan (1950-1959)

Demokrasi UU No. 1 tahun 1957 Otonomi Luas

Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Otorotarian

Perpres No.6 tahun 1959

UU No. 18 tahun 1965

Otonomi terbatas

Orde Baru

(1965-1998) Otorotarian UU No. 5 tahun 1974 Sentralisasi

Pasca Orde Baru(1998-sekarang)

Demokrasi

UU No. 22 Tahun 1999

UU No. 25 tahun 1999

UU No. 32 Tahun 2004

UU No. 33 tahun 2004

Otonomi Luas

(43)

Sesuai UU No.32 tahun 2004, daerah diberikan kewenangan

untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali

kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik

luar negeri, yustisi, moneter, dan fiskal nasional serta agama. Dengan

pembagian kewenangan / fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan di

daerah di laksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentasi,

dan tugas pembantuan. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU

tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Dijelaskan daftar tugas, baik untuk provinsi maupun

kabupaten/kota.

b. Memuat daftar urusan wajib untuk provinsi dan kabupaten/kota.

c. Departemen dalam Negeri menentukan daerah penghasil sumber

daya alam antara provinsi dan kabupaten/kota.

d. Memuat pembagian hasil sumber daya alam antara provinsi dan

kabupaten/kota.

e. Daerah tidak dapat secara langsung mengajukan pinjaman hutang

luar negeri tetapi daerah dapat melakukan pinjaman dari

pemerintah daerah lain.

f. Mengatur tentang pemilihan langsung kepala daerah/wakil kepala

(44)

2.2.1.2 Indikator Desentralisasi Fiskal

Dalam membahas mengenai indicator desentralisasi fiskal,

terdapat tiga variable yang merupakan reprerensi desentralisasi fiskal di

Indonesia, ketiga variable tersebut adalah sebagai berikut:

a) Desentralisasi Pengeluaran

Variable didefiniskan sebagai rasio pengeluaran total.

Masing-masing kabupaten/kota (APBD) terdapat total pengeluaran pemerintah

(APBN) (Kerk dan Waller, 1997, zhang dan zou, 1998). Hal ini

menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah

daerah dengan pemerintah pusat. Hasil study yang dilakukan Zhang dan

Zou (1998), menunjukkan bahwa variable ini mempunyai pengaruh

negative terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini

mengimplementasikan bahwa desentralisasi fiskal gagal mendorong

pertumbuhan ekonomi di China, hal ini mungkin merefleksikan bahwa

pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan

investasi di sector infrastruktur. Sementara studi yang dilakukan oleh

Phillips dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negative

desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada

Negara-negara maju. Dan mereka gagal menjelaskan efek desentralisasi fiskal

terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara-negara berkembang.

b) Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran

(45)

total pengeluaran pembangunan Nasional (APBN) (Zhang dan Zou,

1998). Variabel ini menunjukkan besaran relative pengeluaran

pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Di

samping itu, variable ini juga mengekspresikan besarnya alokasi

pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari

rasio ini juga dapat diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi

yang baik untuk melaksanakan investasi sector public atau tidak. Jika

terdapat hubungan positif antara variable ini terhadap pertumbuhan

ekonomi, maka pemerintah local dalam posisi yang baik untuk

melakukan investasi di sektor public.

c) Desentralisasi Penerimaan

Variable ini didefenisikan sebagai rasio antara total penerimaan

masing-masing kabupaten/kota (APBD) tidak termasuk subsidi terhadap

total penerimaan pemerintah (Phillips dan Woller, 1997). Variable ini

mengekspresikan besaran relative antara pendapatan pemerintah daerah

(46)

Tabel 2.2

Skala Interval Derajat Desentralisasi fiskal

PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah

0,00 – 10,00 Sangat Kurang

10.01 - 20.00 Kurang

20,01 - 30-00 Sedang

30,01 – 40,00 Cukup

40,01 – 50,00 Baik

 50,00 Sangat Baik

Sumber : Fisipol UGM ,1991

Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom itu mampu

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,(Syamsi 1986:199)

menegaskan beberapa ukuran :

1. Kemampuan struktural organisasinya.

Struktur organisasi Pemerintah Daerah harus mampu menampung

segala aktifitasnya dan tugas-tugas yang menjadi beban dan

tanggung jawabnya.jumlah unit-unit beserta macamnya cukup

mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan

tanggung jawab yang cukup jelas.

2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah.

Aparat Pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya

dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian

(47)

3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat.

Pemerintah Daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau

berperan serta dalam kegiatan pembangunan.

4. Kemampuan keuangan daerah.

Pemerintah Daerah Harus mampu membiayai semua kegiatan

pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai

pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri.

Sumber-sumber dananya apa saja, apakah PAD atau sebagian dari

subsidi Pemerintah pusat.

2.2.1.3 Keuntungan dan Kerugian Desentralisasi

a) Keuntungan Desentralisasi

Sistem penerimaan yang terdesentralisasi dapat dilihat melalui

aspek ekonomi, administrative, dan politik. Dari sisi ekonomi,

desentralisasi mempunyai implikasi bahwa program-program

pembangunan pemerintah dalam bidang ekonomi lebih diarahkan pada

kepentingan local dan disesuaikan dengan lingkungan daerah setempat.

Hal ini terjadi karena penguasa local dengan jelas lebih knowledge able

tentang keadaan local daripada penguasa pusat yang jauh dari mereka.

Dari sisi administrative, decentralization dapat meningkatkan

sistem administrasi di daerah, karena pemerintah local dapat

(48)

Dari sisi politik, desentralisasi dapat meningkatkan demokrasi

melalui partisipasi masyarakat secara langsung, mendidik masyarakat

tentang proses pengambilan keputusan dan meningkatkan persatuan

dalam Negara yang multicultural.

(http://www.worldbank.org/publicsector/seminar2001.ppt).

b) Kerugian Desentralisasi

Ada masalah potensial lain yang berkaitandengan desentralisasi,

beberapa penelitian telah menemukan bahwa sistem pemerintahan yang

terdesentralisasi bertendensi menimbulkan korupsi, kolusi, dan juga

instabilitas makro ekonomi.

Pelajaran dari pengalaman internasional berkaitan dengan

desentralisasi:

Pertama, desentralisasi dapat memperburuk suhu politik antara

daerah jika terdapat perbedaan pendapat (revenue capacity) yang

mencolok antar daerah.

Kedua, munculnya masalah yang berkaitan dengan tax

assignment dan expenditure.

Ketiga, terdapat masalah pengawasan pengeluaran pemerintah,

karena sistem desentralisasi lebih complicated daripada sistem yang

(49)

Bahaya dari sistem decentralization adalah mulai dari

mismanagement macro ekonomi, korupsi dan melebarkan kesenjangan

antara daerah yang kaya dan miskin (Huther dan Shah (1998))

Decentralization akan melebarkan disparitas regional dalam

pengeluaran sosial (social expenditure) jika pemerintah local

bertanggung jawab untuk pembiayaan dan pengeluarannya (azfar,

et.ali, 1999)

2.2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan adalah jumlah seluruh uang yang diterima oleh

seorang atau rumah tangga dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu

tahun). Pendapatan terdiri dari upah atau penerimaan kerja, pendapatan

dari kekayaan seperti sewa bunga atau devidan serta pembayaran atau

penerimaan dari pemerintah seperti tunjangan sosial atau asumsi

pengangguran (Nordhaus, 1993 : 58)

Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang menunjukkan

kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana

untuk membiayai kegiatan baik rutin maupun pembangunan. Jadi

pengertian dari usaha-usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan

potensi-potensi keuangan daerahnya untuk membiayai tugas dan

tanggung jawabnya (Anonim, 1999 : 20).

(50)

(Anonim,1999:79).

Dari keempat pengertian diatas dapat disimpulkan pendapatan

asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber

pendapatan daerah yang digali dan dikelola sendiri oleh pemerintah

daerah dengan pola menggunakan pungutan-pungutan yang berdasarkan

peraturan-peraturan yang ditetapkan.

Jadi dapat disimpulkan pendapatan asli daerah adalah pendapatan

yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai

kegiatan-kegiatan tersebut, semakin tinggi pendapatan asli daerah maka

semakin tinggi kualitas otonominya.

Peraturan pemerintah No.5 tahun 1975 pasal 12 sampai dengan

pasal 20 yang penyusunannya masuk dalam anggaran pendapatan dan

belanja daerah (APBD) yang disesuaikan dalam undang-undang No.22

tahun 1999 tentang pemerintah daerah otonomi pasl 86. Pendapatan

aerah diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1999 pasal 79 sampai

dengan pasal 86.

Menurut Basri (1999 : 112) adapun langkah-langkah nyata yang

harus ditempuh pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan Asli

daerah adalah:

1. Mengenali dengan baik potensi daerah sendiri dan menggalang

kemampuan untuk menguatkan potensi tersebut.

2. Menitikberatkan kepada penerimaan yang besar saja.

(51)

pendapatan pencapaian optimalisasi kapasitas produksi.

4. Memperhitungkan segala sesuatunya dari tinjauan yang lebih

makroskopis.

5. Peningkatan kemampuan apratur Dinas Pendapatan Daerah yang

disertai penyempurnaan administrasi dan sistem akuntansi.

6. Mengefektifkan pengenaan local user changes.

Selama ini, PAD dalam pembiayaan kebutuhan daerah

disebagian besar daerah kurang dari 10% dan sangat bervariasi antar

daerah dari 10% hingga 50%. Penguasaan sumber-sumber penerimaan

pajak oleh pemerintah pusat pada dasarnya dengan administrasi

pemungutan, mobilitas objek pajak, fungsi stabilisasi, dan distribusi dari

pajak. Hal ini menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah pusat untuk

memiliki basis pajak-pajak yang besar.

Permasalahan lain yang berkaitan dengan PAD adalah

kewenangan perpajakan (taxing power) daerah yang sangat terbatas

yang tercermin dari rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD.

Keadaan ini kurang mendukung akuntabiitas dari penggunaan anggaran

daerah dimana keterbatasan dana transfer dari pusat untuk membiayai

kebutuhan daerah idealnya dapat ditutup oleh daerah dengan

(52)

2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah

Pada umumnya fungsi-fungsi yang berifat nasional berada

ditangan pemerintah pusat, sedang sedang fungsi-fungsi yang bersifat

lokal biasanya diserahkan kepadala pemerintah daerah, dengan tujuan

untuk mendekatan pelayanan kepada masyarakat seperti halnya dengan

pendidikan dasar, pembangunan jalan lokal dan sebagainya.

Berdasarkan asas desentralisasi hal-hal yang menyangkut

kebijaksanaan, perencanaan, pengawasan maupun pembiayaan

kegiatan-kegiatan pemerintah daerah menjadi tugas dan wewenang

pemerintah daerah. Keuangan daerah dengan adanya penyelenggara

fungsi-fungsi pemerintah, yang dilaksanakan dalam dua atau lebih

tingkat pemerintahan berdasarkan atas desentralisasi. Dengan demikian

pemerintah perlu memiliki sumber-sumber keuangan agar hal-hal

tersebut di atas dapat diselenggarakan sebaik mungkin.

Sebelum dikemukakan mengenai sumber pendapatan daerah

akan dijelaskan mengenai pengertian. Pendapatan daerah pada

umumnya. Balasan pengertian pendapatan daerah secara tegas sebelum

ada yang memutuskan.

Pengertian daerah menurut undang-undang No.5 tahun 1974

adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunya batasi wilayah

tertentu yang berhak, berwenang sendiri. Selanjutnya untuk dapat

meningkatkan sumber pendapatan daerah, maka pemerintah daerah

(53)

pengelolaannya maupun penggunaannya hal ini sesuai dengan apa yang

dikatakan oleh Manullang: bagi kehidupan suatu Negara masalah

keuangan Negara sangat penting. Makin baik keuangan Negara, maka

makin baik pula kedudukan pemerintahan dalam Negara tersebut.

Sebaliknya kalau keuangan suatu Negara kacau, maka pemerintah akan

menghadapi berbagai macam kesulitan dalam menyelenggarakan segala

kewajiban yang diberikan kepada Negara. Demikian juga bagi suatu

pemerintah daerah keuangan merupakan suatu masalah penting bagi

daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya (Kaho,

1988 : 61).

Pemerintah daerah tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan

efektif dan efisien tanpa posisi keuangan yang cukup. Dan keuangan

inilah salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata

kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri (Kaho, 1988

: 123). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Syamsi (1988 :

198) yang menempatkan keuangan daerah sebagai salah satu indikator

untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengurus rumah

tangganya sendiri.

Keuangan daerah mempunyai posisi yang sangat penting dan

perlu disadari oleh pemerintah. Alternatif cara mendapatkan keuangan

yang memadai telah dipertimbangkan oleh pemerintah. Hal ini dapat

(54)

sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Bahwa tidak semua sumber

pembiayaan dapat diberiken kepada daerah, maka kepada daerah

diwajibkan untuk menjadi sumber-sumber keuangan sendiri

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sumber-sumber keuangan daerah dapat diperoleh melalui

berbagai cara yaitu:

1. Pemerintah daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah

yang telah disetujui oleh pemerintah pusat.

2. Pemerintah daerah dapat mengambil bagian dalam pendapatan

pajak sentral yang dipungut oleh daerah tersebut.

3. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga,

pasar, bank atau pemerintah pusat.

4. Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari

pemerintah pusat (Kaho, 1988 : 125).

Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah

tahun1999, sumber keuangan daerah, baik propinsi, kabupaten, maupun

kotamadya menurut UU Nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan asli daerah (PAD).

2. Bagi hasil pajak dan non pajak.

3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II.

4. Pinjaman daerah.

5. Sisa lebih anggaran tahun lalu.

(55)

Sedangkan sesuai dengan pasal 79 UU Nomor 22 tahun1999 dan

pasal 3, 4, 5 dan pasal 6 UU Nomor 25 tahun 1999, sumber pendapatan

daerah terdiri atas sebagai berikut:

1. Pendapatan Asli Daerah.

Pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam

menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan baik rutin

maupun pembangunan, terdiri atas:

a. Hasil pajak daerah.

b. Hasil restribusi daerah.

c. Hasil perusahaan daerah.

d. Penerimaan lain-lain dan pendapatan dinas-dinas.

2. Dana Perimbangan, terdiri dari:

a. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan

(PBB), Bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB).

b. Dana alokasi umum (DAU).

c. Dana alokasi khusus (DAK)

3. Pinjaman Daerah

Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan

penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal),

daerah yang dapat melakukan pinjaman, baik dari dalam negeri (pusat

dan lembaga keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan

(56)

daerah adalah sebagai berikut:

a. Pinjaman jangka panjang, untuk membiayai pembangunan

prasarana yang merupakan asset daerah, yang dapat

menghasilkan penerimana untuk pembayaran pinjaman yang

bersangkutan, serta memberikan manfaat bagi pelayanan

umum.

b. Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka

pengelolaan kas daerah.

4. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah

Pendapatan daerah di Indonesia diklasifikasikan sebagai

pendapatan rutin dan pembangunan, klasifikasi ini disesuaikan dengan

jenis pembiayaan kegiatan dari pemerintah daerah. Pendapatan rutin

berasal dari pendapatan asli daerah, subsidi dari pemerintah pusat dan

pendapatan rutin lainnya. Pendapatan asli daerah meliputi pendapatan

yang berasal dari pajak dan bukan pajak.

2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan Pendapatan Daerah

Pengertian mengenai pendapatan asli daerah selama ini secara

tegas belum ada yang merumuskan. Berikut ini batasan pengertian

pendapatan asli daerah sendiri oleh Ibnu Syamsi (1988 : 213) yaitu,

pendapatan asli daerah sendiri adalah: pendapatan yang berasal dari

dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai kegiatan-kegiatan

daerah tersebut. Semakin tinggi pendapatan asli daerah, maka semakin

(57)

2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal

Menyebabkan rendahnya PAD sehingga terjadi ketergantungan

fiskal daerah terhadap pusat.

Ada lima penyebab rendahnya PAD yang pada gilirannya

menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat:

a. Kurangnya berperannya perusahaan daerah sebagai sumber

pendapatan daerah.

b. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan (semua

pajak utama yang paling produktif dan buoyant, baik pajak

langsung dan tak langsung ditarik oleh pusat).

c. Kendati pajak cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa

diandalkan sebagai sumber penerimaan. Pajak daerah saat itu

berjumlah 50 jenis pajak, tetapi yang dianggap bersifat ekonomis

bila dilakukan pemungutannya hanya terdiri dari 12 jenis pajak

saja. Davey, (1979), dalam Kuncoro, (2004).

d. Bersifat politis ada kekhawatiran apabila daerah mempunyai

sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya dis

integrasi dan separatisme.

e. Adanya ketergantungan tersebut adalah kelemahan dalam

pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah

(58)

Alternative solusi yang ditawarkan adalah :

a) Meningkatkan peran BUMN.

b) Meningkatkan penerimaan daerah.

c) Mengubah pola pemberian subsidi.

d) Meningkatkan pinjaman daerah (kuncoro et.al, 1994.

2.2.3. Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)

Bagian pendapatan daerah yang diperoleh dari penerimaan bagi

hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak.

1. Bagi hasil pajak.

a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah

dengan rincian:

1) 16,2% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan

disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi.

2) 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan

disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota,

dan 9% untuk biaya pemungutan.

3) 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan

kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan

atas realitas penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan

(59)

a) 65% dibagikan secara merata kepada seluruh

daerah kabupaten dan kota, dan

b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah

kabupaten dan kota yang realisasi tahun

sebelumnya mencapai/melampaui rencana

penerimaan sektor tertentu.

b). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Dana Bagi Hasil dari penerimaan (BPHTB) adalah 80% untuk

daerah dengan rincian sebagai berikut:

1) 16% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan

disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi.

2) 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan di

salurkan ke Rekening Kas Umum Daerah

Kabupaten/Kota.

3) 20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB

dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh

Kabupaten/Kota.

4) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib

(60)

Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal

25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh

Pasal 21 adalah 20% dengan rincian:

a) 60% untuk kabupaten/kota.

b). 40% untuk propinsi, sedangkan yang diterima pemerintah

pusat sebesar 80 %.

1. Bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam)

A. Kehutanan.

1) Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi

Sumber Daya Hutan (PSDH).

Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak

Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

untuk daerah adalah 80% dengan rincian:

a. 16% untuk propinsi.

b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil.

(61)

2. Dana reboisasi

Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi

adalah 40% untuk daerah dengan rincian:

a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan.

b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil.

c) 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk

kabupaten/kota. lainnya dalam propinsi yang bersangkutan.

Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 60%.

B. Pertambangan Umum.

1. Iuran Tetap (Land-rend)

Penerimaan Iuran Tetap untuk daerah adalah 80% dengan

rincian:

a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan.

b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil.

Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%.

2. Iuran Eksplorasi dan Iuran eksploitasi (Royalty)

Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty)

untuk daerah adalah 80% dengan rincian:

a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan.

b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil.

(62)

Sedangkan yang diterima pemerintah pusat adalah 20%.

C. Perikanan.

Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi

dengan imbangan:

a. 20% untuk pemerintah pusat.

D. Pertambangan Minyak Bumi

Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan

dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi

dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan

imbangan:

1. 84,5% untuk pemerintah pusat.

2. 15,5% untuk daerah, dengan rincian:

a). 3% untuk propinsi yang bersangkutan.

b). 6% untuk kabupaten/kota penghasil.

c). 6% dibagikan untuk kabupaten/kota lain dalam

(63)

d). 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran

pendidikan dasar.

E. Pertambangan Gas Bumi

Penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari

wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan

komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dibagi dengan imbangan :

1. 69.5% untuk pemerintah pusat.

2. 30.5% untuk daerah, dengan rincian:

a. 6% untuk propinsi yang bersangkutan.

b. 12% untuk kabupaten/kota penghasil.

c. 12% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam

propinsi yang bersangkutan.

d. 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran

pendidikan dasar.

F. Pertambangan Panas Bumi.

Penerimaan pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari

(64)

1. 20% untuk pemerintah pusat.

2. 80% unuk daerah, dengan rincian:

a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan.

b. 32% untuk kabupaten/kota penghasil.

c. 32% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam propinsi

yang bersangkutan.

2.2.4. Sumbangan Daerah

Sumbangan/bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi

Khusus (DAK).

2.2.4.1 Dana Alokasi Umum

Hal penting lain dari pengaturan keuangan menurut UU No.

25/1999 adalah provisi berupa transfer antar pemerintah dari pusat ke

kabupaten dan kota yang disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU)

dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Diperkenalkannya DAU dan DAK

berarti menghapus Subsidi Daerah Otonom dan dana Inpres yang

diperkenalkan pada era Soeharto.

DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua

kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas

(65)

berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum

mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima

lebih banyak daripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting

alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan

penyediaan pelayanan publik antar Pemda di Indonesia. UU No.25/1999

pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban

menyalurkan paling sedikit 25% dari Penerimaan Dalam Negerinya

dalam bentuk DAU.

Secara definisi, Dana Alokasi Umum dapat diartikan sebagai

berikut (Sidik, 2003,dalam Kuncoro,2004).

Komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang

pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau

Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan

Kapasitas Fiskal.

1. Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan

antar-daerah dan penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh

daerah.

2. Equalization grant, berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan

kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak, dan

(66)

yang diatur dalam PP 84/2001 sebagai perubahan atas PP 104/2000

tentang Dana Perimbangan (digunakan dalam perhitungan DAU TA

2002). Selain dengan formula Kesenjangan Fiskal, perhitungan DAU

juga ditentukan dengan menggunakan Faktor Penyeimbang (FP) berupa

Alokasi Minimum (AM).

Ditetapkan dalam rapat Panitia Anggaran DPR-RI dengan

Pemerintah tanggal 10 Juli 2002, bahwa penyempurnaan formula dan

perhitungan DAU dilakukan dengan:

1. Meningkatkan akurasi data dasar yang digunakan.

2. Mengurangi porsi DAU dalam perhitungan AM dan

memperbesar porsi DAU yang dialokasikan untuk

mengurangi kesenjangan keuangan antar daerah

(perhitungan DAU dengan formula dalam PP 84/2001).

3. Mengupayakan untuk tetap mempertahankan bahwa

tidak ada daerah yang menerima DAU TA 2003 kurang

dari atau minimal sama dengan DAU plus Dana

Penyeimbang TA 2002. Oleh karena itu, diberikan

tambahan dana melalui Dana Penyeimbang TA 2003.

Berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No.25/1999, plafon DAU

ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari PDN dalam APBN. Dalam

(67)

1. Dibagi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan rasio 10%

Provinsi dan 90% Kabupaten/Kota. (Pasal 7 ayat (2) UU

No.25/1999).

2. Dalam implementasinya, plafon DAU untuk provinsi (10%)

lebih kecil dari kebutuhan DAU-nya. Kenyataannya, plafon DAU

TA 2002 Provinsi (10%) sebesar Rp. 6.911,41 miliar ternyata lebih

kecil dibandingkan DAU Provinsi TA 2001 ditambah Dana

Kontinjensi yang mencapai Rp. 7.465,46 miliar.

Untuk mengkompensasi kekurangan, dana ditambahkan melalui

Dana Penyeimbang. Dengan asumsi terdapat tambahan dana untuk

DAU melalui Dana Penyeimbang, sebenarnya kebutuhan plafon DAU

lebih besar dari 25% PDN netto dalam APBN.

2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus

DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan

khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat

sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus.

Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:

1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang

tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain.

(68)

3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah

pesisir kepulauan tidak memadai.

4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi

dampak kerusakan lingkungan.

UU No. 25/1999 pasal 8 menggariskan bahwa kebutuhan khusus

yang dapat dibiayai dengan DAK antar lain kebutuhan yang tidak dapat

diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU atau

kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Empat puluh persen dari penerimaan negara yang berasal

dari Dana Reboisasi disediakan kepada daerah sebagai DAK. DAK

diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah dengan

penyediaan Dana Pendamping 10% yang berasal dari penerimaan umum

APBD (kecuali untuk DAK Reboisasi). Untuk APBN Tahun Anggaran

2001 dan 2002, DAK hanya berasal dari Dana Reboisasi (DR)

masing-masing dengan jumlah Rp 700,6 miliar dan Rp 817,3 miliar. APBN

Tahun Anggaran 2003 dianggarkan Rp 2.616,6 miliar yang terdiri dari

DAK-DR sebesar Rp 347,6 miliar dan DAK non DR sebesar Rp 2.269

miliar.

Persyaratan untuk memperoleh DAK adalah sebagai berikut:

Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai

seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagi Hasil

(69)

a) Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%

dari kegiatan yang diajukan (kecuali untuk DAK dari Dana

Reboisasi).

b). Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/ kegiatan yang

ditetapkan oleh Menteri Teknis /Instansi terkait.

 Kegiatan DAK berdasarkan PP 104/2000 meliputi:

a. DAK digunakan untuk membiayai investasi pengadaan dan atau

peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan

umur ekonomis yang panjang.

b. Dalam keadaan tertentu, DAK dapat membantu membiayai

pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu

untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.

2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah

Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah

pusat dengan pemerintah daerah harus dilakukan sesuai dengan

kemampuan keuangan daerah dalam membiyai pelaksanaan

pemerintahan dan pembagunan daerahnya, walaupun pengukurannya

kemampuan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Ada empat

macam pola hubungan yang dapat digunakan dalam pelaksanaan

(70)

1. Pola Hubungan Instruktif

Pola hubungan ini menunjukkan peranan pemerintah pusat lebih

dominan daripada kemandirian pemerintah daerah tersebut

(daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).

2. Pola Hubungan Konsultatif

Pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah mulai

berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu

melaksanakan otonomi.

3. Pola Hubungan Partisipatif

Pola hubungan ini peranan pemerintah pusat semakin berkurang,

mengingat tingkat kemandirian daerah yang bersangkutan

mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

4. Pola Hubungan Delegatif

Pada pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah

tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dalam

melaksanakan otonomi. Adanya potensi sumberdaya alam dan

sumberdaya manusia yang berbeda menyebabkan terjadinya

perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah.

Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dan tingkat

kemandirian daerah (dari sisi keuangan) dapat dilihat pada Tabel 2.3

(71)

Tabel 2.3

Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah

Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan

Rendah Sekali

Rendah

Sedang

Tinggi

0-25

25-50

50 - 75

75-100

Instruktif

Konsultatif

Partisipatif

Delegatif

(Halim,2004:189 )

Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan derajat

otonomi fiskal menunjukan kepada kemampuan daerah dalam

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, sebagai salah satu indikator

kemampuan otonomi daerah tingkat kabupaten atau kota.Salah satu

ukuran yang di gunakan untuk mengukur derajat otonomi fiskal daerah

adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan APBD tanpa

sumbangan dan bantuan pemerintah pusat serta tercemin melalui angka

Indeks Kemampuan Rutin (IKR) yaitu proposi antara PAD dengan

pengeluaran rutin tanpa transfer dari Pemerintah Pusat.

2.2.6 Perwilayahan

Pembangunan ekonomi selain dilihat dari segi sektoralnya juga

dilihat dari segi perwilayahannya. Pembangunan ekonomi daerah adalah

(72)

antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu

lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi

dalam wilayah tersebut adapun tujuan utama dari pembangunan

ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang

kerja untuk masyarakat daerah dan merangsang pertumbuhan ekonomi

dalam wilayah tersebut. Sehinga perlu diperhatikan juga aspek ruang

(space) atau lokasi dalam pelaksanaannya, dengan demikian

pembangunan ekonomi selain bertujuan untuk meningkatkan

pertumbuhan juga untuk meningkatkaii target pemerataan (Arsyad,

1999 : 109).

Prioritas lokasi pembangunan dilakukan dengan melihat kondisi

fisik alami dan social ekonomi penduduknya, sehingga diusahakan laju

pertumbuhan dan pengembangan daerah dapat berjalan secara

seimbang, sedangkan perwilayahan pembangunan membagi Jawa Timur

menjadi sembilan sektor wilayah pembangunan dan masing-masing

pusat pengembangannya. Kota Surabaya adalah ibukota sekaligus pusat

ekonomi Jawa Timur dan Kawasan Indonesia Timur.

Masing-masing Satuan Wiiayah Pembangunan ( SWP ) tersebut

antara lain adalah sebagai:

1. SWP I meliputi Gerbang Kertosusila, meliputi Kota Surabaya dan

Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan,

Bangkalan, dan Gresik dengan pusatnya di Surabaya.

(73)

Sumenep, Pamekasan dan Sampang dengan pusatnya di Sumenep.

3. SWP III meliputi Banyuwangi sekaligus sebagai pusatnya.

4. SWP IV meliputi Jember dan sekitarnya, meliputi Kabupaten :

Jember, Bondowoso dan Situbondo serta Jember sebagai pusatnya.

5. SWP V meliputi Probolinggo - Lumajang dan pusatnya

Probolinggo.

6. SWP VI meliputi Malang - Pasuruan, dengan pusatnya di Malang.

7. SWP VII meliputi Kediri dan sekitarnya, meliputi Kota : Kediri

dan Blitar serta Kabupaten Kediri, Tulungagung dengan pusatnya

di Kodya Kediri.

8. SWP VIII meliputi Madiun dan sekitarnya, meliputi Kota /

Kabupaten Madiun serta Kabupaten Ponorogo, Magetan,

Ngawi dengan pusatnya di Kota Madiun.

9. SWP IX meliputi Tuban dan Bojonegoro, meliputi Kabupaten

Tuban dan Bojonegoro dengan pusatnya di Tuban.

Daerah penelitian difokuskan pada Satuan Wilayah

Pembangunan I Jawa Timur, karena salah satu daerah yang tergabung

dalam SWP I adalah ibukota propinsi Jawa Timur yaitu Kota Surabaya.

Di Surabaya banyak kebijakan-kebijakan strategis yang dibuat dan

secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi daerah lainnya.

Sehingga mampu menggerakkan banyak sektor di tiap wilayah

(74)

dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan, proses pembangunan

dapat dilanjutkan ke SWP yang lain dari II sampai dengan SWP IX,

setelah pembangunan antar wilayah tersebut membuahkan hasil, maka

secara otomatis akan tercipta pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh

di Jawa Timur.

Keberhasilan pernbangunan ekonomi suatu daerah diukur dengan

melihat besarnya nlai PDRB, yang menunjukan total nilai produksi

Gambar

Tabel 2.1 Perjalanan Desentralisasi di Indonesia
Tabel 2.2
Tabel 2.3
GAMBAR KERANGKA PIKIR
+3

Referensi

Dokumen terkait

فئاظولا عاونأ عيم نم ذيفنتلا فقو عم حَرمو راهنلا ءانثأ ادج ليم براقأاو ةرسأا نم ةلماكلا ةمد ا ىلع لوص

singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain.. atau merusak milik orang

Konsumen pada saat situasi beli dan tidak memiliki pengetahuan terhadap sebuah merek dengan sendirinya akan memilih merek produk yang memberikan promosi harga dan berasal dari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persoalan hukum yang terjadi dalam pelimpahan wewenang dokter kepada bidan yg dilakukan melalui telepon serta tanggung jawab hukum bidan

Ganesa digambarkan duduk dalam sikap utkutika di atas padmasana, bertangan empat buah, tangan kanan belakang memegang cakra, tangan kiri belakang memegang

We had some hypotheses in this research: (1) refl ection of diffi cult life experience plays a role in achieving one’s wisdom, (2) wisdom is infl uenced by refl ection, refl

Return Saham Pada Periode Bullish dan Bearish Indeks Harga Saham.. Gabungan, Jurnal Akuntansi dan Keuangan ,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Penerapan program Sekolah Lapang Iklim Tahap ke-3 dilihat dari aspek konteks capaian keberhasilannya adalah sangat