• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN HAMPALA (Hampala macrolepidota) DI SUNGAI ASAHAN KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN HAMPALA (Hampala macrolepidota) DI SUNGAI ASAHAN KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN HAMPALA (Hampala macrolepidota) DI SUNGAI ASAHAN

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

FAJAR SHIDDIQ 170805002

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

(2)

POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN HAMPALA (Hampala macrolepidota) DI SUNGAI ASAHAN

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

FAJAR SHIDDIQ 170805002

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

(3)

i

PERNYATAAN ORISINALITAS

POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN HAMPALA (Hampala macrolepidota) DI SUNGAI ASAHAN

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2021

Fajar Shiddiq 170805002

(4)

i

(5)

ii

POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN HAMPALA (Hampala macrolepidota) DI SUNGAI ASAHAN

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Ikan hampala sebagai salah satu ikan yang berhabitat di sungai asahan dan sering di konsumsi oleh masyarakat sekitar sungai asahan. Banyak nya terdapat aktivitas manusia disekitar sungai asahan seperti PLTA, perkebunan sawit, dan pemukiman sedikit banyak akan berpengaruh terhadapa kualitas perairan sungai asahan. Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis hubungan panjang berat, jumlah populasi pola pertumbuhan, faktor kondisi, juga korelasi antara pola pertumbuhan ikan Hampala macrolepidota dengan faktor kondisi lingkungan di sungai Asahan. Metode yang digunakan adalah metode electro fishing menggunakan alat electro fishing, tanggok dan pakaian safety dengan 1 kali pengambilan sampel ikan (Hampala macrolepidota) di 4 stasiun yang berbeda. Ikan hampala (Hampala macrolepidota) merupakan salah satu jenis ikan yang dapat ditemukan pada sungai-sungai di pulau sumatera dan banyak ditemui di hulu Sungai, ikan ini memiliki status Least concern (resiko rendah) berdasarkan IUCN (International Union for Concervation of Nature).

Sampel yang didapat pada ke empat stasiun menunjukkan ikan hampala memiliki sifat pol pertumbuhan yaitu allometrik negatif pada 3 stasiun dan 1 stasiun bersifat allometrik. Dari penelitian ini di dapatkan nilai faktor kondisi sebesar 2,3413-3,637, dengan besaran nilai tersebut maka ikan hampala yang didapat pada masing-masing stasiun tergolong memiliki badan yang kurang pipih. Menurut baku mutu untuk air kelas III didapatkan kualitas air yang tidak melampaui ambang batas yang tertuang didalam peraturan pemerintah no 82 tahun 2001, dalam hal ini perairan sungai asahan masih berpotensi sebagai habitat ikan hampala (Hampala macrolepidota).

Kata Kunci : Hampala, Pola pertumbuhan, Faktor kondisi, Hampala macrolepidota, Sungai asahan.

(6)

iii

GROWTH PATTERNS AND CONDITION FACTORS OF HAMPALA FISH (Hampala macrolepidota) IN ASAHAN RIVER,

ASAHAN REGENCY, NORTH SUMATRA PROVINCE

ABSTRACT

The hampala fish is one of the fish that lives in the Asahan River and is often consumed by the people around the River. There are many human activities around the Asahan river such as hydropower, oil palm plantations, and settlements that affect on the quality of the river. This study aims to analyze the relationship between length, weight, population growth patterns, condition factors, as well as the correlation between growth patterns of Hampala macrolepidota fish and environmental conditions in the Asahan river. The method used was the electro fishing method using electro fishing tools, tanggok and safety clothing with one time sampling at 4 different stations. Hampala fish (Hampala macrolepidota) is a type of fish that can be found in several rivers in Sumatera, especially in the Upper Asahan River, North Sumatera and the species is the Least Concern category (low risk) based on the IUCN (International Union for Concervation of Nature). Negative allometric, except at station 1 (positive allometric). The condition factor value of hampala fish ranges from 2.3413 to 3.637 so it is included in the range of K values between 1-3, namely the body shape is less flat.

Water quality at each station meets the quality standard for class III water based on government regulation No. 82 of 2001 so that it still supports the life of the hampala fish (Hampala macrolepidota) in the Asahan river.

Keywords: Hampala, Growth pattern, Condition factors, Hampala macrolepidota, Asahan river.

(7)

iv PENGHARGAAN

Alhamdulillahirobbil’alamin saya ucapkan atas rahmat dan karunia Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang memiliki judul “Pola Pertumbuhan Dan Faktor Kondisi Ikan Hampala (Hampala Macrolepidota) Di Sungai Asahan Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains pada Fakulas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Aalam Universitas Sumatera Utara, Medan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, MSc selaku dosen pembimbing tercinta yang telah memberikan banyak ilmu, nasihat, serta semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah selalu melimpahkan berkah dan kesehatan kepada beliau. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, Msi ,dan ibu Dra. Denny Supriharti, MSc selaku dosen penguji atas segala bimbingan, masukan, dan arahan yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Yurnaliza, S.Si, M.Si selaku Ketua Departemen Biologi beserta seluruh dosen Departemen Biologi dan staf administrasi Departemen yang telah membantu penulis dalam masa perkuliahan hingga mampu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak dapat diungkapkan dengan kata- kata kepada ayah dan ibu tercinta, ayah saya Suyadi dan ibu saya Murni S.pd juga untuk abang dan kakak saya, Ahmad Fauzi Syahputra Yani S.Pd, M.Pd dan Siti May Syarah S.Si yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang serta senantiasa mendoakan dan memberikan semangat tanpa henti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini dengan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh Staf Laboratorium Shafera (Kak Yola, Kak Aisyah, Bang Edward, Bang Doni, Bang Aries) yang memberikan arahan, bimbingan, pelajaran, ilmu, serta motivasi yang sangat berharga untuk penulis hingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian ini.

Ucapan terima kasih kepada sahabat-sahabat saya “NOMADEN” (Miquel Johannes, Juplin Ericcson, Bang Fernando, Febriansyah, Bang Bagus, Farhan dan

(8)

v Almayda) dan terkhusus Pacar saya Riska Annisa Putri Br Sitepu yang tak henti- hentinya memberikan dorongan semangat, bantuan, doa, dan motivasi kepada penulis agar dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang selalu setia menemani dan memberi semangat dalam pengerjaan penelitian ini. Terima kasih kepada Abang –abang saya ( Bang Pekki, Bang Ade, Bg Sutris, dan Bang Ilham) yang selalu memotivasi dan memarahi saya untuk cepat menyelesaikan skripsi saya. Dan terima kasih kepada stambuk saya “Biochrome” atas pelajaran hidup dan kenangan selama masa perkuliahan.

Penulis meminta maaf sebesar-besarnya apabila dalam penulisan skripsi ini masih terdapat begitu banyak kekurangan dan kesalahan karena manusia tempat nya khilaf dan salah. Terima kasih atas perhatian dari pembaca sekalian.

Medan, Desember 2021

Fajar Shiddiq

(9)

vi DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ABSTRACT PENGHARGAAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN

i

ii iii iv vi viii ix x xi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2 1.3 Tujuan Penelitian 2 1.4 Manfaat Penelitian 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai 3

2.2 Ikan 4

2.3 Ikan Hampala (Hampala macrolepidota) 5

2.4 Pola Pertumbuhan Ikan 6

2.5 Faktor Kondisi 7

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 8

3.2 Lokasi Pengambilan Sampel 8

3.2.1 Stasiun I 8

3.2.2 Stasiun II 8

3.2.3 Stasiun III 9

3.2.4 Stasiun IV 9

3.3. Metode Penelitian 10

3.3.1 Pengambilan Sampel Ikan 10

3.3.2 Identifikasi 10

3.4 Analisis Data 11

3.4.1 Pengukuran Panjang dan Berat Ikan 11

3.4.2 Pengukuran Faktor Kondisi 11

3.4.3 Pengukuran Faktor Fisika Kimia 12

3.4.3.1 Dissolved Oxygen (DO) (mg/l) 12

3.4.3.2 Potensial of Hydrogen (pH) 13

3.4.3.3 Temperatur (oC) 13

3.4.3.4 Penetrasi Cahaya (m) 13

3.4.3.5 Intensitas Cahaya (cd) 13

3.4.3.6 Kecepatan Arus (m/s) 13

(10)

vii

3.4.3.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD5) (mg/l) 14

3.4.3.8 Kekeruhan (NTU) 14

3.4.3.9 Kadar Nitrat (NO3) (mg/l) 14

3.4.3.10 Kadar Fosfat (PO4) (mg/l) 14

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hubungan Panjang Berat Ikan Hampala (Hampala macrolepidota) 15 4.2 Faktor Kondisi 20

4.3 Faktor Fisika Kimia Perairan 21

4.3.1 Dissolved Oxygen (DO) (mg/l) 22

4.3.2 pH 23

4.3.3 Temperatur (oC) 23

4.3.4 Penetrasi Cahaya (m) 24

4.3.5 Intensitas Cahaya (cd) 24

4.3.6 Kecepatan Arus (m/s) 25

4.3.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD5) (mg/l) 26

4.3.8 Kekeruhan (NTU) 26

4.3.9 Kadar Nitrat (NO3) (mg/l) 27

4.3.10 Kadar Fosfat (PO4) (mg/l) 28

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 29

5.2 Saran 29 DAFTAR PUSTAKA 30 LAMPIRAN 33

(11)

viii DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Halaman

3.1 Parameter dan Metode Pengukuran Faktor Fisika Kimia 12 4.1 Hubungan Panjang Berat Ikan Hampala (Hampala 15

Macrolepidota) Berdasarkan Stasiun Penelitian

4.2 Faktor Kondisi Ikan Hampala (Hampala macrolepidota) 20 4.3 Nilai Faktor Fisika Kimia Perairan Sungai Asahan Pada 22

Setiap Stasiun

(12)

ix DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Halaman

2.1 Hampala macrolepidota 5

3.1 Stasiun Baturangin 8

3.2 Stasiun Parhitean 9

3.3 Stasiun Hula-huli 9

3.4 Stasiun Tangga 10

4.1 Hubungan Panjang Berat Ikan Hampala (Hampala 16

Macrolepidota) Pada Stasiun 1 4.2 Hubungan Panjang Berat Ikan Hampala (Hampala 17

Macrolepidota) Pada Stasiun 2 4.3 Hubungan Panjang Berat Ikan Hampala (Hampala 18

Macrolepidota) Pada Stasiun 3 4.4 Hubungan Panjang Berat Ikan Hampala (Hampala 19

Macrolepidota) Pada Stasiun 4

(13)

x DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Judul Halaman

1. Peta Penelitian 33

2. Foto Kerja 34

3. Bagan Kerja Winkler Untuk Mengukur BOD5 35 4. Bagan Kerja Untuk Menganalisis Nitrat (NO3) 36 5. Bagan Kerja Untuk Menganalisis Fosfat (PO4) 37

6. Hasil Pengukuran BOD5 , Nitrat dan Fosfat 38 7. Data Hubungan Panjang Berat Ikan Hampala 39

(Hampala macrolepidota)

(14)

xi DAFTAR SINGKATAN

ADP : Adhenosine Triphosfate ATP : Adhenosine Triphosfate BOD : Biologycal Oxygen Demand BT : Bujur Timur

LU : Lintang Utara

pH : Potencial of Hydrogen

PLTA : Pembangkit Listrik Tenaga Air

(15)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang beragam. Indonesia memiliki keanekaragaman jenis ikan air tawar yang sangat banyak, dengan setidaknya ada 44%

jenis ikan dari jumlah keseluruhan yang telah teridentifikasi di Asia Tenggara. Dari sekitar 2917 jenis ikan yang telah teridentifikasi di Asia Tenggara, Jenis-jenis ikan yang menghuni perairan air tawar di Indonesia yang telah teridentifikasi serta dikoleksi oleh Museum Zoologi Bogor terdapat sekitar 1300 jenis. Di pulau Sumatera sendiri terdapat kurang lebih 272 jenis ikan air tawar dengan 30 jenis nya merupakan endemik (Kottelat et al., 1993).

Sungai merupakan suatu perairan yang memiliki aliran air memanjang dan diawali dari hulu menuju hilir, air sungai mengalir secara terus menerus sepanjang alirannya. Sungai memberikan banyak manfaat bagi manusia yang hidup disekitarnya.

(Mardhia, 2018). Sungai Asahan merupakan sungai yang terletak di provinsi Sumatera Utara, sungai ini mengalir dari mulut danau toba melintasi porsea hingga kota Tanjung Balai dan berakhir di Selat Malaka. Sungai Asahan sebagai salah satu sungai terbesar di provinsi Sumatera Utara memiliki letak geografis 2º 56’ 46,2” LU dan 99º 51’ 51,4”

BT (Loebis,1999).

Di Indonesia masih banyak ikan yang memiliki potensi sebagai ikan budidaya, khususnya ikan-ikan yang terdapat di sungai. Namun Perairan indonesia yang semakin hari semakin tercemar menyebabkan semakin sulit di temukannya ikan di habitat asli nya di alam. Ikan sebagai sumber daya alam perairan di Indonesia yang penting harus sering dilakukan penelitian jumlah populasinya dialam sebagai contohnya ikan hampala (Hampala macrolepidota). Ikan Hampala sebagai salah satu ikan yang cukup sering ditangkap untuk dikonsumsi dagingnya oleh masayarakat sekitar sungai asahan.

Umumnya ikan jenis ini didapat dengan menggunakan pancing atau jala di sepanjang aliran sungai baik yang berarus deras maupun diarus tenang. Sekilas pada ukuran

(16)

2

dewasa ikan ini mirip dengan ikan batak ataupun ikan jenis ciprinidae lainnya karena

pola hitam pada tubuhnya yang memudar seiring dengan pertambahan ukuran.

1.2 Permasalahan

Hampala macrolepidota atau dengan beberapa nama lokal seperti hampala, adungan, kerabau dan lain sebagainya adalah satu dari sekian banyak ikan yang sering dikonsumsi oleh sebagin besar masyarakat yang menetap atau bergantung di sepanjang aliran sungai Asahan. Sebagian masyarakat di sekitar aliran sungai Asahan umunya tidak asing dengan jenis ikan ini, namun masih kurangnya kesadaran akan keberlangsungan populasi ikan ini di sungai Asahan. Lingkungan yang semakin hari semakin tercemar oleh aktivitas masyarakat disepanjang aliran sungai Asahan seperti pembangunan PLTA, perkebunan sawit, dan pemukiman juga berperan penting dengan jumlah populasi ikan ikan di alam. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang pola pertumbuhan dan faktor kondisi dari ikan jenis Hampala macrolepidota di Sungai Asahan Provinsi sumatera Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis jumlah populasi ikan Hampala macrolepidota di sungai Asahan.

2. Menganalisis pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan Hampala macrolepidota di sungai Asahan..

1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan Hampala macrolepidota di sungai Asahan.

2. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan terkait dengan keberadaan ikan Hampala macrolepidota di sungai Asahan ikan Hampala macrolepidota di sungai Asahan

3. Sebagai dasar dalam pengelolaan sumber daya ikan khususnya Hampala macrolepidota di sungai Asahan.

(17)

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Sebagai penyokong kehidupan makhluk hidup, Sungai terus mengalami penurunan kualitas setiap waktunya, dalam hal ini tentunya manusia yang paling bertanggung jawab. Aktivitas manusia terutama di sektor industri yang menghasilkan bahan polutan yang berbahaya bagi lingkungan dan secara perlahan menurunkan kualitas air di perairan sungai. Contoh biota yang dapat dijadikan indikator biologi adalah ikan, yang merupakan kelompok vertebrata yang peka terhadap polusi di perairan sungai, mulai dari adanya pengendapan lumpur yang sangat berat karena adanya penebangan hutan di daerah tangkapan air, ph rendah karena hujan asam akibat dari pencemaran udara seperti SO2 dan NO yang berasal dari pembuangan asap motor atau kondisi BOD yang tinggi karena beban organik yang tinggi di perairan (Latuconsina,2019).

Ekosistem Sungai adalah ekologi yang sebagai lingkungan fisiknya didominasi oleh air. Ekosistem perairan umumnya dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu penetrasi cahaya matahari, substrat, temperatur dan jumlah material terlarut. Garam terlarut merupakan faktor penentu utama dalam ekosistem perairan. jika mengandung kadar garam yang tinggi, maka disebut ekosistem laut Sebaliknya, Jika perairan tersebut sedikit mengandung garam terlarut maka disebut ekosistem air tawar. Dengan perbedaan material terlarut di suatu ekosistem perairan pastinya menyebabkan perbedaan jenis organisme yang berada di perairan tersebut. (Firdhausi,2018).

Perairan air tawar di indonesia termasuk dalam ekosistem air tawar yang merupakan salah satu dari ekosistem air yang dapat dikatakan ekosistem yang kecil jika disandingkan dengan ekosistem lain seperti darat dan lautan. Kehidupan manusia sangat bergantung dengan kondisi dan kualitas air sehingga ekosistem air tawar mempunyai peran yang dapat dikatakan sangat penting untuk menunjang kehidupan manusia. Secara umum ekosistem air tawar dibagi menjadi perairan lentik (tidak berarus) dan periran lotik (berarus). Kualitas sungai mempengaruhi kehidupan

(18)

4

organisme yang menghuninya sehingga sedikit banyaknya memiliki dampak terhadapa manusia yang tinggal dan mengambil keuntungan dari sungai (Rafi`I, 2018).

2.2 Ikan

Ikan merupakan organisme yang dapat bermanfaat untuk sumber nutrisi bagi manusia juga sebagai indikator kualitas suatu perairan maka kelestariannya harus selalu dijaga. Untuk menentukan jenis suatu ikan maka harus dilakukan identifikasi terlebih dahulu dengan melihat ciri serta morfologi tubuhnya. Setiap jenis Ikan memiliki ciri taksonomi yang beragam sesuai dengan takson nya masing-masing.

Identifikasi ikan bertujun untuk mengetahui jenis individu dan spesies ikan yang ditemukan dengan membandikan ciri morfologi dengan kunci determinasi yang telah diketahui sebelumnya untuk membantu dalam suatu penelitian. Kegiatan ini harus dilakukan dengan teliti serta tekun agar menghasilkan data yang akurat (Layli, 2006).

Ikan termasuk kedalam organisme yang memiliki tulang belakang (vertebrata) juga diklasifikasikan pada filum Chordata, dapat dilihat pada struktur tubuhnya yang memiliki insang sebagai alat bernafas juga dilengkapi sirip untuk berenang dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di dalam air. Jenis ikan yang tersebar diseluruh dunia memeiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi perairan tempat tinggalnya. Tipe perairan dalam hal ini faktor lingkungan sangat menentukan karakteristik dari jenis ikan yang mendiami lingkungan tersebut (Adrim, 2010).

Ikan memiliki alat berupa gurat sisi atau garis lateral (lateral line) yang berfungsi dalam mengatur kesimbangan tubuh. Kemudian didalam tubuh ikan juga terdapat gelembung udara yang berfungsi untuk mengatur posisi ikan dalam kedaan mengapung, melayang atupun menuju dasar perairan. Di bumi ikan tersebar diberbagai macam perairan, hal ini disebabkan oleh sifat ikan yang mempunyai daya adaptasi yang tinggi dengan kondisi perairan (Barus,2004).

Ikan adalah salah satu kelompok hewan bertulang belakang yang bernafas menggunakan insang dan tinggal diperairan. Salah satu ciri dari kelompok ikan yaitu memiliki sisik yang menutupi sebagian besar tubuh, memiliki tulang sejati dan tulang rawan, satu atau sepasang sirip dan pelindung insang berupa operculum. Memiliki pembagian tubuh yang jelas antara lain kepala (caput), badan (truncus), serta ekor (caudal), pada beberapa jenis tidak memiliki sisik (Rupawan, 1999).

(19)

5

2.3 Hampala (Hampala macrolepidota)

Klasifikasi ikan hampala menurut Kottelat (1993) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae

Genus : Hampala Gambar 2.1 Hampala macrolepidota

Spesies : Hampala macrolepidota

Hampala merupakan salah satu jenis ikan yang tergolong dalam family Cyprinidae, adapun karakteristik pada kelompok ikan ini adalah mempunyai ciri mulut tipe subterminal ataupun terminal, kemudian bibir atas dipisahkan dari mulut oleh lekukan yang cukup jelas, umumnya memiliki jumlah sisik berkisar 25-30 buah, bentuk sirip membulat pada perut depan, pada sirip anal memiliki pertulangan bercabang sejumlah 5 buah dan pada sirip punggung tidak terdapat duri. Kebanyakan ikan dari kelompok Cyprinidae tersebar luas di perairan air tawar seperti sungai dan danau salah satunya yaitu ikan jenis hampala (Kottelat at al., 1993).

Hampala adalah ikan yangg banyak terdapat di perairan sungai asahan dan banyak dimanfaatkan untuk konsumsi,secara umum terbagi menjadi tiga jenis yang terdapat di alam, pembagian ini berdasarkan warna dan pola yang berwarna hitam di tubuh ikan hampala. Yang pertama yaitu Hampala yang mempunyai nama lokal hampala ampalong, ikan ini memiliki dua pola seperti garis hitam di tubuhnya yang masing-masing terletak di sekitar sirip punggung dan yang satunya berdekatan dengan sirip anal.Jenis yang kedua yaitu Hampala bimaculata dengan nama lokal kebarau, pada jenis ini ditubuhnya juga terdapat dua pola berbentuk garis berwarna hitam yang memanjang di sisi tubuhnya, pola hitam yang pertama di dekat sirip vektoral dan pola lainyya di dekat sirip ekor. Jenis yang terakhir yaitu Hampala macrolepidota yang sering disebut oleh masyarakat lokal sebagai ikan hampala adalah jenis yang paling umum dikenal oleh masyarakat sekitar sungai asahan, jenis ikan yang satu ini memiliki

(20)

6

perawakan yang relatif besar dari pada jenis hampala yang lain. Pola yang terdapat pada macrolepidota terdapat di sekitar sirip dorsal dan sirip ventral, pada ikan yang berukuran sangat besar pola dapat menjadi kabur (Weber and Beaufort, 1916).

2.4 Pola Pertumbuhan Ikan

Secara umum pola pertumbuhan pada ikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yang pertama adalah isometrik dimana n=3. Kemudian yang kedua yaitu pola pertumbuhan yang memiliki persamaan n>3 atau n<3 yaitu allometrik, dimana pada pola pertumbuhan ini panjang dan berat ikan memiliki pertambahan yang terjadi secara seimbang yang berarti tidak ada yang lebih menonjol diantara keduanya, apabila pertumbuhan ikan tergolong dalam kelompok ini maka ikan tersebut dapat dikatakan sangat sehat dan memiliki bobot diatas normal dikarenakan ikan ini lebih cepat mengalami pertambahan berat jika dibandingkan dengan ikan lainya yang mempunyai panjang yang sama. Jika pola pertumbuhannya n<3 ikan tergolong memiliki berat yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan sejeninya yang mempunyai panjang yang sama dan dapat dikatakan kurus (Effendie, 1997).

Dalam ilmu biologi pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran tubuh suatu makhluk hidup secara kuantitas baik itu panjang, tinggi, berat, dan lebar yang bersifat irreversible atau tidak dapat kembali ke ukuran semula dalam jangka waktu tertentu , sedangkan pertumbuhan populasi adalah bertambahnya jumlah suatu individu makhuk hidup sejenis dalam suatu komunitas ataupun ekosistem. Adapun dalam memperkirakan pertumbuhan makhluk hidup dapat digunakan model pertumbuhan dari Von Bertalanffy, Terdapat dua pola pertumbuhan makhluk hidup yang umum digunakan yaitu pola pertumbuhaan isometric dan allometric. Adapun yang dimaksud pola pertumbuhan yang bersifat isometric yaitu apabila dari hubungan panjang berat didapatkan nilai dari b=3, maka makhluk hidup di golongkan dalam isometric apabila penambahan panjang tubuh dan bobot relatif seimbang dan tidak saling mendominasi.

Pola pertumbuhan allometric dapat terjadi jika terdapat nilai b≠3 maka dapat disimpulkan pada maakhluk hidup tersebut penambahan panjang dan berat nya terjadi secara tidak seimbang atau ada salah satu yang mendominasi diantara keduanya dalam pertumbuhan. Pada Pola pertumbuhan allometrik jika nilai b>3 maka pertumbuhan panjang lebih lambat dari pada pertumbuhan berat badan organisme tersebut, sebaliknya jika b<3 pertumbuhan berat yang lebih lambat (Sarfila et al., 2018).

(21)

7

2.5 Faktor Kondisi

Faktor kondisi merupakan nilai atau angka yang digunakan untuk menentukan apakah suatu individu dapat dikatakan memiliki bobot atau berat yang normal. Dapat disimpulkan bahwa faktor kondisi mempunyai banyak peranan sebagai suatu parameter yang dapat secara singkat memperlihatkan perubahan kondisi dari ikan atau organisme laain sepanjang tahun. Parameter faktor kondisi ikan merupakan suatu komponen yang penting untuk memahami siklus hidup ikan di alam yang bersinggungan langsung dengan manusia ataupun makhluk hidup lain juga memberikan manfaat yang besar dalam sektor pengelolaan ikan. Faktor kondisi ikan berssifat tidak tetap dan menyesuaikan dengan lingkungan dan keterediaan makanan dialam, bila kondisi ikan di suatu ekosistem baik artinya lingkungan tersebut memiliki ketersediaan makanan yang cukup dan jumlah populasi yang tidak terlalu padat di area tersebut begitu pun sebaliknya. Faktor kondisi ikan di daerah tercemar lebih rendah dibandingkan daerah yang bebas cemaran (Simanjuntak dan Rahardjo, 2008).

Nitrat, fosfat dan nitrogen termasuk sebagai sumber nutrisi yang dibutuhkan oleh biota perairan untuk sumber energi oleh organisme. Organisme membutuhkan nutrisi dalam bentuk fosfat dan nitrat. Itu bentuk nutrisi sedimen dibagi menjadi 3 bentuk yaitu di permukaan sedimen, di sedimen dan larut dalam air pori sedimen (Yeanny, 2021).

Selain berfungsi menunjukan apakah suatu organisme tergolong gemuk atau tidak, faktor kondisi juga memperlihatkaan apakah ikan tersebut dalam keadaan sehat dan dapat mempertahankan hidupnya dan juga bereproduksi. Faktor nutrisi, suhu dan tekanan fisiologis berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan. Bertambah ukuran ikan, kemampuan renang dalam mencari sumber pakan lebih luas dan kemampuan menghindar serangan pemangsa dilingkungan lebih baik (Harteman, 2015).

Faktor kondisi atau faktor K juga biasa diseut dengan indeks ponderal merupakan salah satu faktor penting dari pertumbuhan suatu individu ikan. Faktor kondisi dapat memperlihatkan keadaan dari ikan dalam segi kegemukan tubuhnya untuk bertahan hidup atau berkembang biak. Penggunaan nilai faktor kondisi memiliki arti penting menentukan kualitas dan kuantitas daging ikan (Effendie 2002).

(22)

8

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2021 s/d Juni 2021 di perairan sungai Asahan Sumatera Utara serta di Laboratorium Shafera Enviro Sumatera Utara, Medan.

3.2 Lokasi Pengambilan Sampel

Pada Penelitian ini terdapat 4 titik lokasi pengambilan sampel ikan yang berbeda, penentuan masing-masing stasiun berdasarkan dengan aktivitas/kegiatan manusia di dekat lokasi tersebut.

3.2.1 Stasiun I

Lokasi Stasiun satu berdekatan dengan air terjun, berada di Baturangin, kecamatan Pintu Pohan Meranti, kabupaten Toba Samosir, dimana letak geografisnya pada N: 02 33'28" LU / E: 099 18'38" BT.

Gambar 3.1 Sungai Baturangin 3.2.2 Stasiun II

Stasiun ini adalah sungai utama yang disekitarnya adalah perkebunan kelapa sawit, dimana letak geografisnya pada N: 02 33'52" LU / E: 099 20'04" BT, berlokasi di desa Parhitean, kecamatan Pintu Pohan Meranti, kabupaten Toba Samosir.

(23)

9

Gambar 3.2 Sungai Parhitean 3.2.3 Stasiun III

Stasiun ketiga terletak pada N: 02 33'41" LU / E: 099 21'13" BT berada di sungai Hula Huli, kecamatan Pintu Pohan Meranti, kabupaten Asahan. Daerah ini umumnya lahan perkebunan kelapa sawit.

Gambar 3.3 Stasiun Hula Huli 3.2.4 Stasiun IV

Stasiun ini merupakan daerah bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) PT. Inalum. secara geografis terletak pada 02º 33’34,3” LU dan 99º 18’36,7”

BT Terletak di sungai Tangga, kecamatan Pintu Pohan Meranti, kabupaten Asahan.

Sungai ini merupakan gabungan dari aliran sungai Ponot dan sungai Baturangin

(24)

10

dimana pinggiran sungai ini masih alami (belum terjadi gangguan) dan daerah ini jauh dari pemukiman masyarakat.

Gambar 3.4 Stasiun PLTA 3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel Ikan

Pengambilan sampel ikan diambil dari 4 stasiun yang telah ditentukan di Sungai Asahan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan alat electrofishing dengan dilengkapi tanggok dan pakaian safety yang dilakukan selama 2 hari dengan 1 kali pengulangan, pada pukul 09.00-11.00 dan 13.00-15.00 WIB pada pinggiran sungai berlawanan dengan arus air. Kemudian sampel dimasukan ke dalam plastik 10 kg dan diberi nama sesuai dengan stasiunnya. Setelah itu sampel yang didapatkan ditimbang berat dan diukur panjang totalnya, lalu disusun di atas wadah untuk kemudian difoto dan dicatat jumlah individu yang didapatkan.

3.3.2 Identifikasi

Identifikasi sampel ikan dilakukan dengan mengukur panjang dan berat ikan kemudia dilihat ciri-ciri morfologi untuk menentukan jenis ikan yang didapat. Panjang total diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip ekor yang paling belakang.

Pada pengukuran panjang ikan dilakukan menggunakan papan ukur, sampel yang didapat diletakkan di atas alat tersebut kemudia diukur panjang nya, sedangkan untuk mengukur berat total ikan menggunakan timbangan digital.

(25)

11

3.4 Analisis Data

3.4.1 Pengukuran Panjang dan Berat Ikan

Dalam menganalisis hubungan panjang berat ikan maka akan didapat sifat pola pertumbuhan di alam. Dalam mencari hubungan panjang berat menggunakan persamaan exponensial yaitu (Effendie, 1997):

W = aLb atau LogW = Loga+b(LogL)

Dimana: W = berat badan ikan (gr)

L = panjang total badan ikan (cm) a dan b = konstanta

Dari analisisi hubungan panjang berat ikan di dapatkan nilai dari konstanta b dan a, jika nilai konstanta b sama dengan 3, maka didapatkan sifat pola pertumbuhan isometrik, dimana pertambahan berat badan ikan sejalan dengan pertambahan panjang badan ikan. Sifat pola pertumbuhan dapat dikatakan allometrik jika pada hubungan panjang berat ikan didapat nilai konstanta b tidak sama dengan 3, jika nilai konstanta b lebih besar dari 3 pola pertumbuhan dari ikan tersebut adalah allometrik positif, dimana pertambahan panjang badan ikan tersebut lebih lambat daripada pertambahan berat badan ikan. Sebaliknya jika nilai konstanta b lebih kecil dari 3 maka pola pertumbuhan ikan tersebut adalah allometrik negatif, dimana pertambahan berat badan ikan lebih lambat dari pertambahan panjang badan ikan (Effendie, 1997).

3.4.2 Pengukuran Faktor Kondisi

Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kondisi atau kemontokan ikan dalam angka. Faktor kondisi (K) dihitung berdasarkan pada panjang dan berat ikan. Jika pertumbuhan ikan bersifat isometrik, maka faktor kondisi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997): 𝐾 =

105 𝐿3

Jika pertumbuhan bersifat allometrik maka dapat dihitung mengunakan rumus

(Suwarni, 2009): 𝐾 = W

aLb

(26)

12

:

Dimana: Kn = Faktor kondisi W = Berat Tubuh (gr) L = Panjang Total (mm)

a dan b = Konstanta Ketentuan Faktor kondisi

3.4.3 Pengukuran Faktor Fisika-Kimia

Pengamatan dan pengukuran parameter kualitas air dilakukan bersamaan dengan waktu pengambilan contoh ikan secara langsung (in situ) dan (ex situ) lanjut dilakukan di laboratorium Shafera Enviro Sumatera Utara.

Tabel 3.1 Parameter dan metode pengukuran faktor fisika-kimia.

No Parameter Satuan Alat dan Metode Tempat

Analisis

1 DO (Dissolved Oxygen) mg/l YSI Multiprobe In-situ

2 pH - YSI Multiprobe In-situ

3 Suhu oC YSI Multiprobe In-situ

4 Penetrasi Cahaya m Keping Sechii In-situ

5 Intensitas Cahaya candella Lux meter In-situ

6 Kecepatan Arus m/s Flowatch fl-03 In-situ

7 BOD5 mg/l Inkubasi dan titrasi/winkler Ex-situ

8 Kekeruhan NTU Turbidity meter In-situ

9 Nitrat (NO3) mg/l Spektofotometer Ex-situ

10 Posfat (PO4) mg/l Spektofotometer Ex-situ

3.4.4 Dissolved Oxygen (DO) (mg/l)

Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilakukan dengan menggunakan DO meter YSI Multiprobe. Ujung DO meter yang berfungsi sebagai sensor di letakan kedalam air di suatu sampai batas tertentu selama beberapa saat hingga hasil pengukuran di perairan tersebut muncul dilayar alat tersebut kemudian dicatat hasil yang didapat.

(27)

13

3.4.5 Potensial of Hydrogen (pH)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan DO meter YSI Multiprobe.

Ujung DO meter yang berfungsi sebagai sensor di letakan kedalam air di suatu sampai batas tertentu selama beberapa saat hingga hasil pengukuran di perairan tersebut muncul dilayar alat tersebut kemudian dicatat hasil yang didapat.

3.4.6 Temperatur (

℃)

Pengukuran Temperatur (

) dilakukan dengan menggunakan DO meter YSI Multiprobe. Ujung DO meter yang berfungsi sebagai sensor di letakan kedalam air di suatu sampai batas tertentu selama beberapa saat hingga hasil pengukuran di perairan tersebut muncul dilayar alat tersebut kemudian dicatat hasil yang didapat.

3.4.7 Penetrasi Cahaya (m)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan keping sechii, dengan cara memasukkan keping sechii ke dalam badan perairan sampai keping sechii tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali dan dicatat hasilnya.

3.4.8 Intensitas Cahaya (cd)

Alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran intensitas cahaya adalah lux meter, alat tersebut diletakkan diruang terbuka sehingga cahaya matahari dapat terserap secara maksimal, setelah beberapa saat hasil intensitas cahaya akan didapat kemudian dicatat.

3.4.9 Kecepatan Arus (m/s)

Kecepatan arus diukur dengan menggunakan flowatch fl-03. Alat flowatch fl03 disiapkan dan kabel alat tersebut dibentangkan pada badan sungai dan posisi tegak lurus dengan arah arus air, kemudian baling-baling pada flowatch fl-03 akan berputar dengan kecepatan putaran sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, lalu dicatat jumlah waktu dan jumlah kecepatan arus air yang terdapat pada skala flow meter.

(28)

14

3.4.10 Biochemical Oxygen Demand (BOD5) (mg/l)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan metode winkler dan inkubasi. Sampel air yang diambil dari perairan dimasukkan ke dalam botol winkler, kemudian diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 oC. Setelah 5 hari dihitung kadar BOD5 dengan cara mengurangkan DO awal dengan DO akhir.

3.4.11 Kekeruhan (NTU)

Pada setiap lokasi pengambilan sampel dilakukan pegukuran kekeruhan air dengan alat datalogging spectrophotometer yang telah diatur pada ketentuan color 120 yang telah ditentukan untuk perairan yang tidak memiliki warna, sehingga dihasilkan gelombang P750 serta panjang λ= 860 nm. Dimasukan kuvet yang berisi aquabidest kedalam alat tersebut kemudian di tekan tombol read, kemudian kuvet tersebut dikeluarkan dan dibilas dengan sampel air lalu diisi sebanyak 25 ml sampel dan dimasukan kembali ke alat pengukur, tekan tombol read tunggu hingga hasil nya konstan lalu dicatat.

3.4.12 Kandungan Nitrat (NO3) (mg/l)

Diambil sampel air yang ingin diuji sebanyak 5 ml, dimasukan kedalam erlenmeyer, ditambahkan NaCL sebanyak 1ml, H2SO4 75% sebanyak 5 ml kemudian Brucine Sulfat Sulfanic Acid sebanyak 4 tetes. Larutan dipanaskan lalu setelah 25 menit didinginkan untuk diukur menggunakan spektrofotometer pada λ= 410 nm.

3.4.13 KandunganFosfat (PO4) (mg/l)

Diambil 5 ml sampel air yang ingin diuji kandungannya, dimasukan kedalam erlenmeyer ditambahkan Amstrong Reagen dan Ascorbic Acid masing-masing sebanyak 1 ml. didiamkan 20 menit kemudian diukur dengan panjang gelombang 880 nm menggunakan spektrofotometer.

(29)

15

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hubungan Panjang Berat Ikan Hampala (Hampala macrolepidota) Dari analisis hubungan panjang-berat dari sampel ikan hampala (Hampala macrolepidota) yang didapat pada 4 stasiun pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 4.1. Jumlah sampel yang didapat pada 4 stasiun yaitu 39 ekor, hal ini dipengaruhi oleh arus yang deras dan bebatuan pada dasar sungai yang menyulitkan pengambilan sampel pada stasiun-stasiun tersebut sehingga sampel yang didapat kurang memuaskan meskipun sudah memakai alat electro fishing. Adapun nilai b yang didapat pada setiap stasiun memiliki nilai b berkisar 2,3413 sampai 3,637 dengan R2 = 0,7689- 0,9974. Dari nilai b yang diperoleh di 4 lokasi pengambilan sampel pada penelitian ini didapatkan pola pertumbuhan allometrik negatif di 3 lokasi, dan allometrik positif di 1 lokasi.

Tabel 4.1 Hasil analisis hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota).

Stasiun N b R2 Pola Pertumbuhan

Baturangin 7 3,637 0,9053 Allometrik (+)

Parhitean 11 2,3413 0,7689 Allometrik (-)

Hula huli 13 2,9319 0,9974 Allometrik (-)

Tangga 8 2,6339 0,9605 Allometrik (-)

N: Jumlah Spesies, b: Konstanta, R2 : Kefisien Determinasi

Muttaqin et al. (2016) menyatakan bahwa perilaku ikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai b, dimana perilaku yang dimaksud disini yaitu aktif atau tidaknya ikan berenang. Ikan yang lebih aktif berenang (ikan pelagis) memiliki nilai b yang relaitf rendah jika dibandingkan dengan ikan yang tidak aktif berenang (ikan demersal). Jenning et al. (2001) menyatakan bahwa selain prilaku ikan faktor yang mempengaruhi nilaib adalah faktor lingkungan seperti DO, pH, geografis, suhu, ketersediaan makanan dan lain-lain. Faktor fisiologis ikan juga tidak jauh berpengaruh terhadap tinggi rendahnya nilai b, seperti perkembangan gonad dan lain sebagainya.

(30)

16

Effendie (1997) menyatakan bahwa, nilai b sebagai indeks pola pertumbuhan ikan didapatkan dari perhitungan hubungan panjang total ikan (mm) dan berat badan ikan (gr). Dari nilai b tersebut didapatkan pola pertumbuhan yang sesuai dengan hubungan panjang dan berat ikan tersebut yang menggambarkan pertambahan panjang dan berat ikan. Nilai b sebagian besar menggambarkan hipotesis berdasarkan panjang dan berat terhadap pertambahan ukuran ikan, informasi kegemukan, pertumbuhan dan kemungkinan dapat diketahui perubahan lingkungan. Menurut Manik (2009), perbedaan nilai b bisa terjadi karena pengaruh faktor ekologis dan biologis, serta terjadinya perubahan faktor-faktor lingkungan dan kondisi ikannya maka hubungan panjang-berat akan sedikit menyimpang dari hukum kubik (b ≠3).

Rochmatin et al. (2014) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi cepat atau tidaknya pertumbuhan panjang dan berat badan ikan, faktor tersebut yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal adalah faktor biologis ikan seperti jenis kelamin dan genetik yang didapat dari induk ikan tersebut.

Kemudian terdapat faktor eksternal yang juga berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan ikan yaitu faktor lingkungan, ketersediaan makanan, kadar garam, dan kualitas perairan tempat tinggal suatu individu ikan.

Gambar 4.1 Analisis hubungan panjang-berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) pada stasiun 1.

y = 3,637x - 14,472 R² = 0,9053

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

4,5 4,55 4,6 4,65 4,7 4,75 4,8 4,85 4,9 4,95

Hubungan Panjang Berat

(31)

17

Hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) pada stasiun 1 yaitu sungai Baturangin dapat dilihat pada Gambar 4.1 Hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) dengan jumlah n= 7 ditunjukkan melalui persamaan Log W= 3,637x-14,472 (Log L), dengan nilai b= 3,437 dan R2 = 0,9053.

Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b > 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah Allometrik positif yang artinya pertambahan panjang total ikan tidak secepat dengan pertambahan berat badan ikan, hal ini disebabkan oleh banyak nya sumber makanan dan lokasi yang jauh dari aktivitas manusia sehingga selain nutrisi ikan yang tercukupi juga ikan cenderung enggan untuk berpindah tempat untuk mencari makan sehingga dapat dikatakan pasif. Berdasarkan persamaan koefisien determinasi (R2 ) di atas diketahui bahwa panjang ikan hampala (variable x) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan hampala (variabel y) sebesar 0.9053, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan hampala (Hampala macrolepidota) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 90,5%. Sedangkan 9,5% sisanya adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan hampala yang berada di luar persamaan. Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4.

Faktor fisika kimia secara keseluruhan pada stasiun 1 masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

Gambar 4.2 Hubungan panjang-berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) pada stasiun 2.

y = 2,3413x - 8,1746 R² = 0,7689

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

4,4 4,5 4,6 4,7 4,8 4,9 5 5,1

Hubungan Panjang Berat

(32)

18

Hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) pada stasiun 2 yaitu sungai Parhitean dapat dilihat pada Gambar 4.2. Hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) dengan jumlah n= 11 ditunjukkan melalui persamaan Log W= -8,1746+2,3413 (Log L), dengan nilai b= 2,3413 dan R2 = 0,7689.

Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b < 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang total ikan lebih cepat dari pertambahan berat badan ikan, hal ini disebabkan oleh sedikitnya ketersediaan makanan dan tempat berlindung sehingga ikan lebih aktif bergerak. Berdasarkan persamaan koefisien determinasi (R2 ) di atas diketahui bahwa panjang ikan hampala (variable x) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan hampala (variabel y) sebesar 0.7689 yang berarti nilai panjang total tubuh ikan hampala (Hampala macrolepidota) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 76,8%.

Sedangkan 23,2% sisanya adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan hampala yang berada di luar persamaan. Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4.

Faktor fisika kimia secara keseluruhan pada stasiun 2 masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

Gambar 4.3 Hubungan panjang-berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) pada stasiun 3.

y = 2,9319x - 11,107 R² = 0,9974

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5

0 1 2 3 4 5 6

Hubungan Panjang Berat

(33)

19

Hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) pada stasiun 3 yaitu sungai Hula-huli dapat dilihat pada Gambar 4.3 hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) dengan jumlah n= 13 ditunjukkan melalui persamaan Log W= -11,107+2,9319 (Log L), dengan nilai b= 2,9319 dan R2 = 0,9974 Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b < 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang total ikan lebih cepat dari pertambahan berat badan ikan, hal ini disebabkan oleh sedikitnya ketersediaan makanan dan tempat berlindung sehingga ikan lebih aktif bergerak.. Berdasarkan persamaan koefisien determinasi (R2 ) di atas diketahui bahwa panjang ikan hampala (variable x) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan hampala (variabel y) sebesar 0,9974 yang berarti nilai panjang total tubuh ikan hampala (Hampala macrolepidota) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 99,7%.

Sedangkan 0,3% sisanya adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan hampala yang berada di luar persamaan. Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4. Faktor fisika kimia secara keseluruhan pada stasiun 3 masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

Gambar 4.4 Hubungan panjang-berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) pada stasiun 4.

y = 2,6339x - 9,5876 R² = 0,9605

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5

4,4 4,6 4,8 5 5,2 5,4

Hubungan Panjang Berat

(34)

20

Hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) pada stasiun 4 yaitu sungai Tangga dapat dilihat pada Gambar 4.4 hubungan panjang berat ikan hampala (Hampala macrolepidota) dengan jumlah n= 8 ditunjukkan melalui persamaan Log W= -9,5876+2,6339 (Log L), dengan nilai b= 2.6339 dan R2 = 0,9605.

Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b < 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang total ikan lebih cepat dari pertambahan berat badan ikan, hal ini disebabkan oleh sedikitnya ketersediaan makanan dan tempat berlindung sehingga ikan lebih aktif bergerak. Berdasarkan persamaan koefisien determinasi (R2 ) di atas diketahui bahwa panjang ikan hampala (variable x) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan hampala (variabel y) sebesar 0,9605 yang berarti nilai panjang total tubuh ikan hampala (Hampala macrolepidota) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 96%.

Sedangkan 4% sisanya adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan hampala yang berada di luar persamaan. Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4. Faktor fisika kimia secara keseluruhan pada stasiun 4 masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan kriteria baku mutu air kelas III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

4.2 Faktor Kondisi

Berdasarkan hasil analisis data terhadap faktor kondisi ikan Hampala pada setiap stasiun penelitian maka didapatkan nilai faktor kondisi (FK) yang disajikan pada Tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2 Faktor kondisi ikan hampala (Hampala macrolepidota).

No Stasiun L(rata-rata) W(rata-rata) K

1 Baturangin 109,14 14,47 1,008809

2 Parhitean 113,63 19,76 1,021602

3 Hula-huli 111,23 24,58 1,002169

4 Tangga 127,5 29,48 1,010754

(35)

21

Dari hasil analisa faktor kondisi didapatkan nilai FK berkisar antara 1,0021–

1,0107. Perbedaan faktor kondisi ikan pada setiap stasiun diinterpretasikan sebagai indikasi dari berbagai sifat-sifat biologi dari ikan seperti kegemukan dan kesesuaian dari lingkungannya. (Manik, 2005) menyatakan bahwa besaran nilai faktor kondisi suatu individu ikan dapat memberikan informasi tentang kondisi ikan hampala (Hampala macrolepidota) memiliki bentuk badan agak pipih sesuai dengan hasil analisa hubungan panjang berat ikan yaitu bersifat allometrik.

Menurut Effendie (1997), faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan secara kualitas, dimana perhitungannya didasarkan pada panjang dan berat ikan. Weatherly (1972) menyatakan bahwa ketersediaan makanan, kematangan gonad, umur, dan jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya nilai faktor kondisi. Lagler (1972), menyatakan bahwa kemontokan ikan yang didapat dari nilai faktor kondisi dinyatakan dalam bentuk angka. Effendie (1979), menyatakan bahwa nilai faktor kondisi dipengaruhi oleh faktor biologis dan lingkungan, besaran nilai faktor kondisi tersebut dapat menunjukan bentuk badan seperti ikan agak pipih jika nilai faktor kondisi berkisar antara 2 – 4. Untuk bentuk badan yang kurang pipih besar nilai faktor kondisi berkisar antara 1-3. Ikan-ikan yang badannya kurang pipih harga K berkisar antara 1 – 3.

Beberapa penyebab lain yang menjadi faktor terjadinya fluktuasi dan variasi nilai faktor kondisi ikan adalah perbedaan ukuran, umur ikan, faktor kondisi suatu perairan atau ketercukupan nutrisi dalam suatu ekosistem (Enchina & Granado- Lorencio, 1997). Selama musim pemijahan ikan tidak melakukan aktifitas makan, tetapi menggunakan cadangan lemak yang dikumpulkannya sebelum melakukan reproduksi untuk suplai energi hal ini juga menjadi salah satu faktor yang menentukan nilai dari faktor kondisi individu ikan dan tentunya berpengaruh terhadap bentuk badan ikan (Tzikas et al., 2007)

4.3 Faktor Fisika-Kimia Perairan

Faktor fisika dan kimia air pada prinsipnya mencerminkan kualitas perairan dan lingkungan. Berdasarkan penelitian ini telah dilakukan pengukuran faktor fisika dan kimia air pada setiap stasiun penelitian, hasil pengukuran faktor fisika-kimia dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut.

(36)

22

Tabel 4.3 Nilai faktor fisika-kimia perairan sungai Asahan pada setiap stasiun.

NO Parameter St 1 St 2 St 3 St 4

1 DO (mg/l) 7,28 7,86 7.85 8,12

2 pH 7,48 7,29 7,47 7,58

3 Temperatur (oC) 23 27,2 24,5 24,9

4 Penetrasi Cahaya (m) 0,783 2,586 2,130 1,110 5 Intensitas Cahaya (Candela) 620 1160 370 800

6 Kecepatan Arus (m/s) 1,1 0,5 0,6 1,2

7 BOD5 (mg/l) 0,8 0,6 0,7 0,3

8 Kecerahan (NTU) 45 76 50 70

9 Nitrat (NO3) (mg/l) 1,02 1,01 1,05 1,04

10 Posfat (PO4) (mg/l) 0,012 0,009 0,013 0,015

4.3.1 Dissolved Oxygen (DO)

Dari hasil pengukuran nilai oksigen terlarut (DO) pada setiap stasiun penelitian diperoleh nilai DO berkisar antara 7,28–8,12 mg/l. Nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu sungai Baturangin dan tertinggi di stasiun 4 yaitu sungai Tangga. Secara keseluruhan nilai DO pada keempat stasiun penelitian masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan baku mutu air golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan batas minimum nilai DO adalah 3.

Menurut Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti temperatur, penetrasi cahaya, arus, dan lain sebagainya. Kandungan zat organik yang tinggi disuatu perairan akan menyebabkan jumlah oksigen terlarut menurun karena oksigen digunakan oleh mikroorganisme untuk melakukan penguraian. Jika oksigen terlarut di perairan semakin rendah maka organisme di dalamnya akan sedikit demi sedikit mengalami kematian dan menghasilkan bahan seperti metana atau hidrogen sulfida. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015) menyatakan jika DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Menurut Siburian et al (2017) DO merupakan variabel kimia yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan biota air sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota.

(37)

23

4.3.2 pH

Berdasarkan hasil pengukuran pada setiap lokasi pengambilan sampel menunjukan besaran nilai pH berkisar 7,29 – 7,58. Pada lokasi pengambilan sampel ke-2 yaitu sungai parhitean didapatkan nilai paling rendah sebesar 7,29 dan pada lokasi ke-4 yaitu sungai tangga dengan nilai tertinggi sebesar 7,58. Kondisi perairan berdasarkan nilai pH tersebut dapat dikatakan masih dalam kondisi normal dan dapat menunjang kehidupan ikan dimana kisaran pH normal berkisar antara 6-9 berdasarkan PP No. 82 tahun 2001.

Menurut Salim et al (2017), nilai pH di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kadar CO2 yang berada pada perairan tersebut. Aktivitas fotosintesis yang dilakukan oleh organisme air merupakan salah satu faktor yang dapat dikatakan sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kadar CO2 dalam suatu perairan.

Menurut Siburian (2017) tinggi rendah nya nilai pH sangat berpengaruh sebagai penentu kondisi yang menunjang kehidupan makhluk hidup di suatu ekosistem perairan. Nilai pH dalam suatu perairan dapat digolongkan normal jika memiliki nilai yang berkisar antara 6,5 – 8,5. Barus (2004) menyatakan bahwa pH di perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup organisme yang mendiaminya, salah satu organisme tersebut adalah ikan. Nilai pH 6,5 – 7,5 pada air merupakan kondisi yang ideal untuk kehidupan ikan. Pada air di pegunungan umumnya memiliki nilai pH yang tinggi namun jika lebih dari 8,5 atau kurang dari 6 maka air tersebut besar kemungkinan mengalami pencemaran dan dapat menyebabkan terganggunya metabolisme dan penyerapan oksigen pada ikan.

4.3.3 Temperatur

Berdasarkan hasil pengukuran pada setiap stasiun penelitian diperoleh temperatur berkisar 23 oC–27,2 oC, dengan temperatur terendah pada stasiun 1 yaitu sungai Baturangin dan temperatur tertinggi di stasiun 2 yaitu sungai Parhitean.

Cahyono (2010) menyatakan bahwa temperatur air pada ekosistem perairan sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme aquatik. Jika temperatur terlalu tinggi atau terlalu rendah tentu dapat menyebabkan tidak normalnya pertumbuhan organisme yang menghuni perairan tersebut. Termperatur normal untuk ikan yang

(38)

24

menghuni daerah tropis umumnya berkisar antara 150oC – 30oC, dengan perbedaan suhu antara siang dan malam kurang dari 50oC.

Romimohtarto dan Juwana (2009) menyatakan bahwa temperatur perairan memiliki peranan penting terhadap kehidupan ikan. Ikan akan mengalami kondisi setres jika suhu terlalu tinggi atau terlalu rendah. Nilai suhu yang baik untuk organisme perairan berkisar antara 27 – 30 ºC. Metabolisme organisme aquatik akan mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan suhu air.

4.3.4 Penetrasi Cahaya

Berdasarkan hasil pengukuran penetrasi cahaya pada setiap stasiun penelitian diperoleh nilai berkisar 0,783-2,586 m. Nilai penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu sungai Baturangin dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sungai Parhitean.

Menurut Taqwa (2010), interaksi antara faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman perairan akan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan, sehingga berpengaruh langsung pada kecerahan, selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan fauna.

Barus (2004) menyatakan bahwa, pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa pada titik kompensasi cahaya ini, konsentrasi karbondioksida dan oksigen berada dalam keadaan relatif konstan.

4.3.5 Intensitas Cahaya

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai intensitas cahaya berkisar antara 370–1160 Candella. Intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu sungai Hula-huli dan tertinggi pada stasiun 2 yaitu sungai Parhitean. Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun 3 dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekitar sungai. Pada pinggiran sungai banyak pepohonan sehingga mengurangi nilai intensitas cahaya pada badan sungai.

Rifai et al (1983) menyatakan bahwa cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme

(39)

25

dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan.

Menurut Barus (2004), faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat optis dari air. Sebagai cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yangmenyebabkan kolam air yang jernih terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini lebih baik ditransmisi dari dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optik dalam air selain dipengruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air.

4.3.6 Kecepatan Arus

Hasil pengukuran terhadap kecepatan arus didapatkan berkisar antara 0,5–1,2 m/s, nilai arus masing-masing tergolong ke dalam perairan lotik (berarus kuat), dimana kisaran nilai arus kategori cepat 0,5-1 m/s. Nilai kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 4 sungai Tangga dengan kecepatan 1,2 m/s dan nilai tertinggi pada stasiun 2 sungai Parhitean dengan kecepatan 0,5 m/s. Rendahnya kecepatan arus pada stasiun 4 disebabkan karena kondisi sungai yang berbatu sehingga gerakan air melambat karena benturan batu. Pada stasiun 2 kecepatan arus tinggi karena kondisi sungai yang terjal sedikit berbatu sehingga gerakan air lebih lurus.

Menurut Barus (2004) sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada daerah aliran tertentu akan terdapat suatu kondisi dengan gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat di belakang batu-batuan di dasar perairan. Arus sangat dipengaruhi oleh sifat air itu sendiri, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, dan gerakan rotasi bumi. Arus air yang ada dalam suatu perairan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dari parameter kualitas air itu sendiri.

(40)

26

Menurut Suin (2002), kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh jenis kemiringan topografi perairan, jenis batuan besar, debit air, dan curah hujan. Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecepatan arus juga mempengaruhi jenis organisme atau individu yang tinggal disuatu perairan. Kecepatan arus juga berpengaruh terhadap kandungan oksigen terlarut.

4.3.7 Biologycal Oxygen Demand (BOD5)

Nilai BOD5 yang didapatkan berdasarkan penelitian pada setiap stasiun berkisar antara mg/l. Nilai BOD5 terendah didapatkan di stasiun yaitu sungai dan tertinggi di stasiun yaitu sungai . Adanya perbedaannilai BOD5 pada setiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut dipakai mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik.

Ali et al. (2013) menyatakan BOD5 adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bakteri pengurai untuk menguraikan bahan organik di dalam air.

Rahayu dan Tantowi (2009) menyatakan bahwa semakin besar kadar BOD5 di perairan sungai menandakan bahwa perairantersebut telah tercemar yang diakibatkan oleh buangan limbah domestik dan pertanian. Menurut Yudo (2010) semakin besar konsentrasi BOD5 suatu perairan, menunjukan konsentrasi bahan organik juga tinggi.

Lee, et al. (1978) menerangkan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5 dimana kandungan ≤ 2,9 mg/l merupakan perairan yang tidak tercemar, kandungan 3,0-5,0 mg/l merupakan perairan yang tercemar ringan, kandungan 5,1–14,9 mg/l merupakan perairan yang tercemar sedang dan kandungan ≥ 15,0 mg/l merupakan perairan yang tercemar berat.

4.3.8 Kekeruhan

Dari hasil penelitian pada setiap stasiun didapatkan nilai kekeruhan berkisar antara 45–76 cm. Rendahnya nilai kekeruhan (kurang dari 1 meter) diakibatkan karena kelima lokasi penelitian merupakan sungai yang dangkal dengan kedalaman 1-2 meter.

Kedalaman yang rendah mengakibatkan terjadinya pengadukan air sehingga menjadi keruh. Kekeruhan terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu sungai Baturangin dan tertinggi di stasiun 2 yaitu sungai Parhitean sebesar 76 cm. Pada stasiun 1 kondisi stasiun dikelilingi oleh pohon-pohon dan semak belukar yang memungkinkan

(41)

27

terjadinya penutupan badan air serta pelapukan akibat jatuhnya dedaunan pohon dan semak pada badan air. Pada stasiun 2 nilai kecerahan tinggi hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sungai yang sedikit pepohonan dan pengukuran dilakukan pada saat kondisis cuaca cerah.

Kordi (2004) menyatakan bahwa dengan mengetahui kecerahan suatu perairan dapat diketahui sampai dimana kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan.

Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton.

Barus (2001) menyatakan bahwa kisaran kekeruhan perairan di kawasan hutan Barambai sebesar 12,47 – 43,43 NTU. Kekeruhan juga memengaruhi produktivitas primer, apabila kekeruhan meningkat maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme akuatik untuk melakukan aktifitas metabolisme.

4.3.9 Nitrat (NO3)

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar nitrat pada kelima stasiun berkisar antara 1,01–1,05 mg/l. Secara umum nilai nitrat pada keempat stasiun penelitian masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan baku mutu air golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan nilai nitrat sebesar 20 mg/l.

Risamasu dan Hanif (2011) menyatakan konsentrasi nitrat di lapisan permukaan yang lebih rendah dibandingkan di lapisan dekat dasar disebabkan karena nitrat dilapisan permukaan lebih banyak dimanfaatkan atau dikonsumsi oleh fitoplankton. Selain itu, konsentrasi nitrat yang sedikit lebih tinggi di dekat dasar perairan juga dipengaruhi oleh sedimen. Di dalam sedimen nitrat diproduksi dari biodegradasi bahan-bahan organik menjadi amonia yang selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat.

Menurut Effendi (2003) nitrat (NO3 -N) adalah bentuk nitrogen utama diperairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrient senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi diperairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersedian nutrient. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi

(42)

28

nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob.

4.3.10 Fosfat (PO4)

Berdasarkan hasil pengukuran pada setiap stasiun didapatkan nilai fosfat berkisar antara 0,009– 0,015 mg/l. Nilai fosfat terendah didapatkan di stasiun 2 yaitu sungai Parhitean. Sedangkan yang tertinggi di stasiun 4 yaitu sungai Tangga. Secara umum nilai fosfat yang terdapat pada keseluruhan stasiun penelitian masih dapat mendukung kehidupan ikan di sungai tersebut, hal ini sesuai dengan standard baku mutu air golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan nilai fosfat berada pada batas 1 mg/l.

Menurut Alaerts dan Sri (1987), untuk mencapai pertumbuhan plankton yang optimal diperlukan konsentrasi fosfat pada kisaran 0,27–5,51 mg/l dan akan menjadi faktor pembatas apabila kurang dari 0,02 mg/l. Kadar fosfat pada air alam yang sangat rendah (<0,01 mg) mengakibatkan pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang keadaan inilah yang dinamakan oligotrop, sedangkan bila kadar fosfat dan nutrient lainnya tinggi, maka pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas lagi.

Keadaan inilah yang dinamakan eutotrop sehingga tanaman tersebut akan dapat menghabiskan oksigen dalam sungai atau kolam pada malam hari.

Gambar

Gambar 3.1 Sungai Baturangin  3.2.2  Stasiun II
Gambar 3.2 Sungai Parhitean  3.2.3  Stasiun III
Gambar 3.4 Stasiun PLTA  3.3  Metode Penelitian
Gambar 4.1  Analisis  hubungan  panjang-berat  ikan  hampala  (Hampala         macrolepidota) pada stasiun 1
+4

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Cross calibration based on spectral matching requires spectral response function of the referenced sensor and target sensor are similar, such as the center wavelength

Pada penelitian ini, bioinsektisida yang diuji toksisitasnya terhadap ulat grayak adalah ekstrak metanol daun mustajab ( Rhinacanthus nasutus L.Kurz.) konsentrasi 1%, 2%,

1. Identifikasi Masalah, merupakah langkah yang digunakan untuk mendapatkan data dari berbagai sumber mengenai konseli, latar belakang, hingga masalah yang dialami

[r]

Berdasarkan pada analisis dan pembahasan yang telah dibahas pada Bab 4 tentang Pengaruh Sanksi Pajak, Sistem Pelayanan Perpajakan, Norma Subjektif, dan Norma Moral

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, diharapkan kepada wakil perusahaan yaitu Direktur/Wakil Direktur/Kuasa Direktur yang namanya tercantum dalam akte

Manajemen usaha KUD Berkat kurang berjalan baik karena pengurusnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya profesional, baik itu dalam kelola usahanya dari

Rancangan sistem anggaran biaya yang akan dibangun bertujuan untuk membuat suatu anggaran yang akan digunakan selama periode tertentu dan tanpa adanya perubahan