• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 TAHUN 2013 TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK KESEHATAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS KUSTA DI RSK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "6 TAHUN 2013 TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK KESEHATAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS KUSTA DI RSK"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

EVALUASI IMPLEMENTASI PERDA NO. 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK KESEHATAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS KUSTA DI RSK. Dr. TADJUDDIN CHALID MAKASSAR

ANDI NURUL RAHMADANI K111 13 080

ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN 2017

(2)
(3)
(4)

RINGKASAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN MAKASSAR, JULI 2017 ANDI NURUL RAHMADANI

‘‘EVALUASI IMPLEMENTASI PERDA NO.6 TAHUN 2013 TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK KESEHATAN DISABILITAS KUSTA DI RSK.

dr. TADJUDDIN CHALID MAKASSAR”

Dibimbing oleh Darmawansyah dan Sukri Palutturi (xi + 96 Halaman + 9 Lampiran)

Kelainan fisik ataupun mental yang dialami oleh sebagian kecil warga Indonesia bukanlah menjadi alasan untuk mereka tidak memperoleh haknya dari pemerintah ataupun warga negara sendiri. Namun, penyandang disabilitas acap kali mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya mereka terima. Maka pemerintah khususnya kota Makassar menerapkan kebijakan lainnya untuk lebih menekankan penerapan segala hal yang terdapat di Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Kebijakan tersebut adalah Peraturan Daerah No.

6 Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk implementasi Perda tersebut telah diterapkan di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar.

Jenis penelitian yang digunakan ini adalah jenis kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Informan dalam penelitian ini yaitu petugas dan pasien RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar sehingga diperoleh informan sebanyak 13 orang. Pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan Focus Group Discuccion (FGD). Untuk keabsahan data dilakukan triangulasi sumber dan metode analisis data menggunakan content analysis yang disajikan secara naratif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil evaluasi yang dilakukan berdasarkan efektifitas, efesiensi, kecukupan, responsivitas dan ketepatan diperoleh Perda No.6 Tahun 2013 telah diimplementasikan dengan cukup baik di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar. Hasil ini berdasarkan dari observasi dan wawancara mendalam kepada petugas kesehatan dan pasien. Adapun saran berdasarkan hasil temuan dan kesimpulan adalah sebaiknya pihak rumah sakit menambah fasilitas kesehatan bagi pasien kusta berupa penambahan kursi roda setiap bangsal dan pegangan di setiap jalan yang menanjak dan menurun untuk memudahkan pasien kusta yang belum bisa berjalan dengan normal dan berusia tua. Selain itu, pihak rumah sakit juga perlu mempertahankan pelayanan kesehatan yang sudah baik agar tetap sesuai dengan implementasi pada peraturan tentang pelayan kesehatan yang berlaku.

Jumlah pustaka : 27 (1999-2015)

Kata Kunci : Perda No.6 Tahun 2013, Kusta, RSK Dr. Tadjuddin Chalid Makassar

(5)

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberi rahmat dan hidayah kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Merupakan karunia Allah SWT dan rasa syukur yang berlimpah ketika skripsi ini yang berjudul “Evaluasi Implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar” dapat diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Ucapan syukran wajazakumullahu khairan katsiran serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tuaku tercinta Ibunda Kameriah dan Etta Andi Muh. Amin, atas segala pengorbanan, cinta kasih, serta doa yang tak putus-putusnya kepada penulis sehingga skripsi ini selesai dan dapat kupersembahkan. Terima kasih terdalam juga kepada kakak Andi Ismail Amri dan adik Andi Muh. Zulfikar yang selalu memberiku motivasi dan semangat. Terima kasih untuk kalian keluargaku tersayang atas doa, perhatian dan dukungannya selama ini.

Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Bapak Wahiduddin, SKM, M.Kes sebagai penasehat akademik atas segala motivasi dan dukungannya untuk terus meningkatkan prestasi akademik dari awal semester perkuliahan hingga sekarang.

(6)

2. Kepada Bapak Dr. Darmawansyah, SE, MS sebagai Pembimbing I dan Bapak Sukri Palutturi, SKM, M.Kes, M.Sc.PH, Ph.D sebagai Pembimbing II yang selalu memberikan masukan, bimbingan dan memberikan arahan serta motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Bapak Muh. Yusri Abadi, SKM, M. Kes, Dr. Lalu Muh. Saleh, SKM, M. Kes dan Sudirman Nasir, MWH, Ph. D sebagai dosen penguji atas segala masukan, kritik dan sarannya serta motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

4. Bapak Dr. Darmawansyah SE, MS selaku ketua jurusan bagian Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin beserta seluruh staf.

5. Prof. Dr. Drg. Andi Zulkifli Abdullah, M.Kes selaku dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin beserta jajaran dan seluruh staf atas bantuannya selama menempuh pendidikan.

6. Para Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama penulis menempuh pendidikan perkuliahan di FKM Unhas.

7. dr. Asnadah, MARS selaku direktur RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar beserta jajaran dan seluruh staf atas bantuannya selama penelitian berlangsung.

8. Seluruh informan yang telah memberikan waktunya selama penelitian ini berlangsung.

9. Teman-teman seperjuangan di jurusan AKK angkatan 2013 yang saling memberikan dorongan dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi.

10. Teman dan sahabat Nurmisuari. S yang selalu memberikan doa, support dan menemani dalam suka dan duka selama meneliti. Terima kasih atas segalanya.

11. Sahabat-sahabatku Nur Afni Kapitalola, Arifah Maharany Nur, Nurul Fadhilah Idris, Siti Khadijah K dan Fadila Rizki yang telah sama-sama berjuang dari masa ke masa dari maba sampai sekarang saling mendukung dan mendoakan dalam suka maupun duka. Semoga persahabatan kita tak

(7)

lupuk dari waktu ke waktu dan selalu bersama sampai akhir hayat. Terkhusus Nur Afni Kapitalola yang sudah membantu dalam mengarahkan pembuatan skripsi ini.

12. Teruntuk sahabat dan saudara ku Sukmawati M. yang tak sedarah. yang selalu sama-sama dan saling membantu dari maba, PBL, maupun KKN dalam suka maupun duka dalam menyusun skripsi. Terima kasih atas semuanya, semoga persahabatan kita tidak lekang oleh waktu.

13. Serta teman-teman seperjuangan REMPONG yang tidak sempat saya sebutkan satu persatu, terima kasih banyak karena telah hadir mengoreskan kisah kedalam kehidupan saya selama menempuh bangku kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeristas Hasanuddin Makassar.

Wassalamu‘alaykum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Makassar, Juli 2017

Penulis

(8)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

RINGKASAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan Umum ... 7

2. Tujuan Khusus... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan ... 9

1. Implementasi Kebijakan ... 9

2. Model Implementasi Kebijakan ... 11

B. Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas ... 13

C. Tinjauan Umum Tentang Evaluasi ... 14

1. Pengertian Evaluasi Kebijakan... 14

2. Pendekatan Evaluasi ... 15

3. Kriteria Evaluasi ... 17

(9)

4. Kerangka Teori Penelitian. ... 23

D. Tinjauan Umum Tentang Penyandang Disabilitas ... 24

1. Pengertian Penyandang Disabilitas ... 24

2. Masalah Penyandang Disabilitas ... 25

3. Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas ... 25

E. Tinjauan Umum Tentang Kusta ... 27

F. Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit ... 29

BAB III KERANGKA KONSEP ... 33

A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti ... 33

B. Kerangka Konsep ... 35

BAB IV METODE PENELITIAN ... 36

A. Jenis Penelitian ... 36

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

C. Pemilihan Informan ... 37

D. Pengumpulan Data ... 37

E. Instrumen Penelitian... 38

F. Analisis Data ... 40

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 41

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 42

B. Hasil Penelitian ... 44

C. Pembahasan ... 77

D. Keterbatasan Penelitian ... 93

(10)

BAB VI PENUTUP ... 94 A. Kesimpulan ... 94 B. Saran ... 95 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Penyandang Disabilitas di Kota Makassar Tahun 2015-2016 ... 5

Tabel 2. Kriteria Penlilaian Kinerja Kebijakan ... 17

Tabel 3. Matriks Pengumpulan Data Primer ... 39

Tabel 4. Karakteristik Informan ... 45

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori William N. Dunn, 1999 ... 23 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Teori William N. Dunn, 1999... 35

(13)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Pedoman Wawancara dan Observasi Lampiran 2. Matriks Wawancara

Lampiran 3. Surat Pengambilan Data Awal Lampiran 4. Surat Izin Peneliti dari Fakultas

Lampiran 5. Surat Rekomendasi Peneliti dari BKPMD Lampiran 6. Surat Izin Penelitian dari Rumah Sakit

Lampiran 7. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Lampiran 8. Foto Kegiatan

Lampiran 9. Daftar Riwayat Hidup

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh pejabat dan badan bidang pemerintah, dan memusatkan pada tindakan oleh/untuk pemerintah. Kebijakan tidak hanya melibatkan keputusan untuk memenuhi beberapa masalah tertentu, tetapi juga meliputi keputusan yang berkenaan dengan penyelenggaraan dan implementasinya. Kebijakan perlu tindakan nyata, bukan sekadar pernyataan yang bersifat populis (Wendra, 2011).

Kebijakan kesehatan mencakup tindakan yang berefek pada kedudukan institusi, organisasi, jasa/pelayanan, dan pertutan keuangan dari suatu sistem pelayanan kesehatan. Namun kebijakan tidak pernah terlepas dari kepentingan pihak-pihak tertentu. Baik dari kalangan pemerintah sendiri, industri, dunia usaha, akademis, maupun elemen-elemen masyarakat lainnya (Wendra, 2011 ).

Kebijakan kesehatan perlu selalu di perhatikan apakah kebijakan tersebut sesuai dengan penerapan yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan evaluasi. Evaluasi adalah suatu yang digunakan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi dijalankan untuk mengetahui outcome dan dampak dari kebijakan yang telah ditetapkan selama dalam kurun waktu tertentu dimana yang dilihat adalah efektifitasnya. Dalam melakukan evaluasi berarti melakukan proses penilian-penilian terhadap suatu program atau kegiatan sehingga dibutuhkan cara-cara pengukuran dalam

(15)

evaluasi. Menurut Brigman dan Davis ada indicator pokok dalam evaluasi yaitu input, process, output dan outcomes (Angelia, 2012).

Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan tahap yang sangat menentukan dalam proses kebijakan (Birkland, 2001). Pandangan tersebut dikuatkan dengan pernyataan Edwards III (1984) bahwa tanpa implementasi yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan.

Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat (Akib, 2010).

Pemahaman umum mengenai implementasi kebijakan dapat diperoleh dari pernyataan Grindle (1980) bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.

Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran. Jika pemahaman ini diarahkan pada lokus dan fokus (perubahan) dimana kebijakan diterapkan akan sejalan dengan pandangan Van Meter dan van Horn yang dikutip oleh Parsons (1995) dan Wibawa, dkk. (1994) bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh (organisasi) pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan (Akib, 2010). Seperti halnya dengan implementasi kebijakan dalam pelayanan

(16)

kesehatan disabilitas. Implementasi kebijakan kesehatan disabilitas mengalami berbagai kendala yang masih belum diatasi dengan baik.

Disabilitas merupakan sebuah istilah baru untuk menjelaskan mengenai keadaan seseorang yang memiliki ketidak mampuan berupa keadaan fisik, mental, kognitif, sensorik, emosional, perkembangan atau kombinasi dari beberapa keadaan tersebut (Sulastri, 2014). Terkait dengan masalah disabilitas, dalam penelitian ini akan dikaji salah satu masalah disabilitas yaitu penyakit kusta.

Menurut data dari Kementrian Kesehatan RI tentang penyakit kusta di Indonesia pada tahun 2015 ditemukan bahwa angka prevalensi per 100.000 penduduk dalam 3 tahun terakhir menunjukkan kondisi yang relatif statis.

Pada tahun 2013, 2014 dan 2015 ditemukan bahwa angka prevalensi penyakit kusta sebesar 0,79 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015).

Seperti yang tertuang pada Undang Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat bahwa:“Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan,”

Pada pasal tersebut jelas menerangkan bahwasanya setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama dengan warga lainnya, tidak ada disksirminasi dan pembedaan. Karena HAM tidaklah bertumpu pada perbedaan suku, agama, bahkan kelainan fisik sekalipun.

Kelainan fisik ataupun mental yang dialami oleh segelintir warga Indonesia bukanlah menjadi alasan untuk mereka tidak memperoleh haknya dari pemerintah ataupun warga Negara sendiri. Namun, nyatanya mereka

(17)

yang dalam hal ini adalah penyandang disabilitas acap kali mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya mereka terima. Bahkan mereka yang harusnya mendapatkan perhatian lebih, malah tak jarang menemukan diskriminasi. Selain kasus di atas, dalam aturan lain juga diatur tentang bagaimana penyadang cacat memperoleh perlindungan hukum. Hal di atas jelas cukup untuk menggambarkan bahwa penyandang cacat dimanapun di tempatkan harusnya memperoleh perlakuan khusus.

Namun, perlakuan khusus inilah bukanlah menjadi sikap diskriminatif bagi masyarakat lain atau non disabillitas. Alasannya hanya satu, UU membolehkan mereka yang penyandang disabilitas untuk memperoleh perlakuan khusus lantaran disabilitas yang mereka alami. Tapi, hal ini ternyata tidak sesuai dengan realita. Bagi penyandang disabilitas nyatanya tidak memperoleh pelayanan khusus, bahkan seringkali termarginalkan (Sulastri, 2014).

Maka pemerintah khususnya kota Makassar menerapkan kebijakan lainnya untuk lebih menekankan penerapan segala hal yang terdapat di Undang-Undang No. 4 Tahun 1997. Kebijakan tersebut adalah Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2013. Dalam Perda No. 6 Tahun 2013 dimana pada Bab IV Pasal 13 memaparkan bahwa penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama dalam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah Kota dan masyarakat dan telah terjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

(18)

Berdasarkan data dari Dinas Sosial Makassar (2016), Untuk Kota Makassar sendiri pada tahun 2015-2016 jumlah penyandang disabilitas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1.

Jumlah Penyandang Disabilitas di Kota Makassar Tahun 2015-2016 No. Jenis

Kecacatan

Laki-laki Perempuan Jumlah Ket.

1. Tuna Daksa 7 15 22 orang Belum

dapat bantuan

2. Tuna Netra 108 66 174 orang 15orang

telah dapat bantuan 3. 3 Tuna Rungu

Wicara

24 25 49 orang 10 orang

telah dapat bantuan 4. Disabilitas

Ringan

264 181 445 orang Sudah dapat

jaminan Kemensos 5. Disabilitas Berat 64 36 100 orang Sudah dapat

Bantuan dari APBD

6. EKS Kusta 405 295 700 orang Sudah

dapat bantuan

Jumlah 872 618 1.490 orang

Sumber: Dinas Sosial Makassar 2016

Berdasarkan hasil data dari Dinas Sosial mengenai jumlah penyandang disabilitas di Kota Makassar berjumlah 1.490 orang dengan penyandang cacat terbanyak adalah EKS Kusta sebanyak 700 orang. Selain itu data dari RSK. Dr.

Tadjuddin Chalid Makassar menunjukkan bahwa pasien kusta tiap tahun lebih

(19)

banyak pasien kusta dibandingkan dengan pasien umum. Data tersebut dapat dilihati dari grafik dibawah ini.

Grafik 1.

Perbandingan jumlah pasien kusta dengan pasien umum Tahun 2014-2016

Sumber: RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar 2017

Sesuai grafik diatas dapat dilihat bahwa jumlah pasien kusta menurun dalam 3 tahun terakhir namun jumlah pasien kusta tetap lebih tinggi dibandingkan dengan pasien umum. Jumlah pasien terbanyak terdapat pada tahun 2014 yaitu 23.781 pasien. Selain itu dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah pasien umum tahun 2016 dua kali lebih banyak dibanding dua tahun sebelumnya yaitu sebanyak 8.201 pasien, hal ini terjadi karena RSK.

Dr. Tadjuddin Chalid Makassar telah menjadi rumah sakit umum dalam segi pelayanan.

23781

18216

11556

4622 4389

8201

0 5000 10000 15000 20000 25000

2014 2015 2016

Pasien Kusta Pasien Umum

(20)

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji hal tersebut dalam bentuk penelitian yang berjudul “Evaluasi Implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar.

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan sebelumnya, dapat di rumuskan sebuah masalah yaitu bagaimana penerapan Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas Kusta dalam mengakses Pelayanan Kesehatan di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek efektivitas.

b. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek efisiensi.

(21)

c. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek kecukupan.

d. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek Resposivitas.

e. Untuk mengevaluasi implementasi Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Kesehatan Penyandang Disabilitas Kusta di RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dari aspek ketepatan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

Penelitian ini sebagai proses belajar bagi penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

2. Manfaat Ilmiah

Penelitian ini sebagai bahan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan masyarakat.

3. Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai pengalaman bagi peneliti dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan informasi yang telah diperoleh.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Kebijakan 1. Implementasi Kebijakan

Implementasi adalah Aktivitas atau usaha-usaha yang dilakukan untuk semua rencana dari kebijaksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan, dan dilengkapi segala kebutuhan alat-alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya, kapan waktu pelaksanaannya, kapan waktu mulai dan berakhirnya dan bagaimana cara yang harus dilaksanakan (Haerul, 2014).

Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana di kutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008), mengatakan bahwa implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian- kejadian.

Pandangan kedua ahli diatas dapat dikatakan bahwa suatu proses implementasi kebijakan itu sesugguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk

(23)

melaksanakan suatu program yang telah ditetapkan serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang terlibat, sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan.

Definisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang diraih.

Dye mendefisinikan kebijakan publik sebagai “whatever government choose to do or not to do” yang dalam bahasa Indonesia berarti apapun juga yang dipilih pemerintah, baik mengerjakan sesuatu ataupun tidak mengerjakan (mendiamkan) sesuatu (Fatkhur dkk, 2010).

Carl Frederic menjelaskan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat beberapa hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan kemungkinan

(24)

(kesempatan-kesempatan) di mana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud (Fatkhur dkk, 2010).

Implementasi kebijakan merupakan aspek terpenting dari keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan wujud nyata dari suatu kebijakan, karena pada tahap ini suatu kebijakan tidak hanya terbatas pada perwujudan secara riil dari kebijakan, tapi juga mempunyai kaitan dengan konsekuensi atau dampak yang akan mengarah pada pelaksanaan kebijakan tersebut. dengan demikian pembuat kebijakan tidak hanya ingin melihat kebijakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat, namun juga ingin melihat seberapa jauh kebijakan tersebut dapat memberikan konsekuensi mulai dari hal yang positif maupun negatif kepada masyarakat (Fatkhur dkk, 2010).

Pernyataan Edwards III (1984) bahwa tanpa implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil.

Implementasi kebijakan adalah aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcome bagi masyarakat (Imronah, 2005).

2. Model Implementasi Kebijakan

Meter dan Horn, menawarkan suatu model dasar yang mempunyai enam variable yang membentuk kaitan (lingkage) antara kebijakan dan kinerja (performance). variable tersebut adalah (Ariantika dkk, 2013) :

(25)

1) Standard dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan, 2) Sumber daya,

3) Karakteristik organisasi pelaksana, 4) Sikap para pelaksana,

5) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan,

6) Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik.

Menurut Edwards III, terdapat empat variable yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan (Ariantika dkk, 2013), yaitu :

1) Komunikasi 2) Sumber daya 3) Diposisi

4) Struktur birokrasi

Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan. Pandangan mengenai model (teori) implementasi kebijakan banyak kita temukan dalam berbagai literatur. Secara garis besar Parsons (1997) membagi model implementasi kebijakan menjadi empat yaitu (Phaksy dkk, 2013):

1) The Analysis of failure (model analisis kegagalan),

2) Model rasional (top-down) untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang membuat implementasi sukses,

(26)

3) Model pendekatan (bottom-up) kritikan terhadap model pendekatan top-down dalam kaitannya dengan pentingnya faktor- faktor lain dan interaksi organisasi,

4) Teori-teori hasil sintesis (hybrid theories).

B. Perda No. 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkadaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

Sebagai warga negara Indonesia kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat adalah sama dengan warga lainnya. Oleh karena itu, peningkatan peran pada penyandang cacat dalam pembangunan nasional sangat penting untuk mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana mestinya. Perlindungan yang diberikan pada Undang-Undang dalam memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban dan peran para penyandang cacat sebagai berikut :

Pada Bab IV Pasal 13 tentang Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas meliputi:

a. Penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama dalam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah Kota dan Masyarakat;

(27)

b. Pemerintah Kota menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

C. Tinjauan Umum Tentang Evaluasi 1. Pengertian Evaluasi Kebijakan

Evaluasi adalah suatu kegiatan yang digunakan untuk melihat tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi dijalankan untuk mengetahui outcome dan dampak dari kebijakan yang telah ditetapkan selama dalam kurun waktu tertentu dimana yang dilihat adalah efektifitasnya (Angelina, 2012).

Evaluasi dilakukan melalui penilaian-penilaian terhadap suatu program atau kegiatan yang membutuhkan pengukuran. Menurut Brigdman dan Davis ada indikator pokok dalam evaluasi yaitu input, process, output dan outcomes (Angelina, 2012).

Evaluasi kebijakan publik menurut Muhadjir merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil, misalnya dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan publik yang ditentukan.

Bingham dan Felbinger, Howlet dan Ramesh (1995) mengelompokkan evaluasi menjadi tiga (Anggraeni dkk, 2011), yaitu :

a) Evaluasi administratif, berkenaan dengan evaluasi dari sisi administratif-anggaran, efisiensi, biaya-serta proses di dalam institusi yang meliputi :

(28)

1) effort evaluation, menilai dari sisi input program

2) performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program

3) adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation, meniliai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan

4) efficiency evaluation, menilai biaya program dan keefektifan biaya tersebut

5) process evaluations, menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program

b) Evaluasi judicial, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia.

c) Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituen politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

2. Pendekatan Evaluasi

Menurut (Dunn, 1999) evaluasi kebijakan mempunyai dua aspek yang saling berhubungan: penggunaan berbagai macam metode untuk memantau hasil kebijakan publik dan program dan aplikasi serangkaian nilai untuk kegunaan hasil terhadap beberapa orang, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Dunn membedakan tiga jenis pendekatan dalam evaluasi antara lain:

(29)

a. Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Asumsi utamanya adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri atau tidak kontroversial.

b. Evaluasi formal (formal evaluation) merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utamanya bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.

c. Evaluasi keputusan teoritis (decision-theoretic evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode- metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggung jawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagaimacam pelaku kebijakan. Perbedaan pokok evaluasi ini dengan dua jenis pendekatan di atas adalah evaluasi ini berusaha

(30)

memunculkan tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau nampak.

3. Kriteria Evaluasi Kebijakan

William N. Dunn (1999) mengemukakan beberapa kriteria dalam menilai kinerja kebijakan, sebagai berikut:

Tabel 2.

Kriteria Penilaian Kinerja Kebijakan

Tipe kriteria Pertanyaan Ilustrasi

Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?

Unit pelayanan Efisiensi Seberapa banyak usaha

diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?

Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat Kecukupan Seberapa jauh pencapaian

hasil yang diinginkan memecahkan masalah?

Biaya tetap (masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II) Perataan Apakah biaya dan manfaat

di distribusikan dengan merata kepada kelompok- kelompok tertentu?

Kriteria Pareto Kriteria kaldor-Hicks Kriteria Rawls

Resposivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?

Konsistensi dengan survai warga Negara

Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

Program publik harus merata dan efisien Sumber: Dunn (1999)

(31)

Kriteria-kriteria di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan oleh William N. Dunn untuk setiap kriterianya. Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

a. Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

efektivitas dsebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai (Herlina, 2009).

Menurut William N. Dunn menyatakan bahwa : “ Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya”.

Jika suatu kebijakan telah dilaksanakan namun ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat, maka bisa dikatakan kebijakan tersebut tidak berhasil. Tetapi juga hasil dari suatu kebijakan yang efektif dalam jangka panjang sehingga membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan Mahmudi mengartikan bahwa efektivitas yang merupakan hubungan antara output dengan

(32)

tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan.

b. Efisiensi

Kriteria selanjutnya adalah efisiensi yang erat kaitannya dengan efektivitas. Adapun menurut William N. Dunn berpendapat bahwa

“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien” (Dunn, 2003).

Pendapat Markus Zahnd (2006) juga menyebutkan bahwa efisiensi berarti tepat atau sesuai untuk mengerjakan sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga dan biaya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka efisiensi dapat diartikan sebagai suatu standar untuk menilai seberapa besar usaha yang dilakukan oleh pelaksana suatu kegiatan atau kebijakan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang akan dicapai (Lukman, 2015).

c. Kecukupan

Kecukupan yang dalam konteks kebijakan publik dapat diartikan bahwa tujuan yang telah dicapai setelah pelaksanaan kebijakan tersebut

(33)

dirasakan sudah dapat menyelesaikan masalah yang terdapat pada objek kebijakan tersebut. William N. Dunn (2003) berpendapat bahwa kecukupan (adequacy) berarti seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa kecukupan memiliki hubungan dengan efektivitas yang memprediksi jauh tidaknya alternatif kebijakan yang ada, dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi (Lukman, 2015).

Dalam kriteria kecukupan, hal ini menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut berkenaan dengan empat tipe masalah (Dunn, 2003) yaitu:

1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan efektivitas yang berubah dari kebijakan.

2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas yang sama dan biaya yang berubah dari kebijakan.

3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan efektivitas yang berubah dari kebijakan.

4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga efektivitas tetap dari kebijakan.

Dari penjelasan tipe-tipe masalah di atas, dapat diketahui bahwa masalah yang terjadi dari suatu kebijakan termasuk pada salah satu dari keempat tipe masalah tersebut. Maka dapat diartikan bahwa sebelum

(34)

suatu kebijakan itu dirumuskan harus dilakukan analisis masalah yang terjadi di tengah masyarakat sebagai suatu sasaran yang akan dicapai, sehingga bisa dirumuskan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

d. Perataan

Perataan yang bisa diartikan dengan keadilan yang diperoleh sasaran kebijakan publik sebagai objek kebijakan terhadap pelaksana kebijakan tersebut. Kriteria perataan (equity) erat hubungannya dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003).

Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya dan manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran (Herlina, 2009).

Dalam melaksanakan suatu kebijakan, keadilan harus menjadi dasar utamanya, dalam arti semua sektor serta semua lapisan masyarakat yang menjadi sasaran dan objek kebijakan harus sama-sama dapat merasakan hasil dari kebijakan tersebut (Lukman, 2015).

e. Responsivitas

Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan.

(35)

Menurut William N. Dunn, responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu (Dunn, 1999).

Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.

Dunn pun mengemukakan bahwa:

“Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan”

(Dunn, 1999).

Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.

f. Ketepatan

Kriteria evaluasi yang terakhir adalah ketepatan suatu kebijakan terhadap pemecahan masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

William N. Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah: “Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif

(36)

yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak.

Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut” (Dunn, 2003).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa ketepatan merupakan penilaian suatu tujuan dari sebuah kebijakan yang menjadi solusi dari masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sehingga bisa dilihat apakah dapat memecahkan masalah tersebut atau justru menimbulkan masalah yang lain (Lukman, 2015).

4. Kerangka Teori Penelitian

Efektivitas

Efisiensi

Evaluasi

Kecukupan

Perataan

Responsivitas

Ketepatan

(37)

Gambar 2.1 Kerangka Tori William N. Dunn, 1999

Sumber: Modifikasi Teori William N. Dunn, 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik

D. Tinjauan Umum tentang Penyandang Disabilitas 1. Pengertian Penyandang Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam beriteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman yakni, setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang mental, penyandang cacat fisik dan mental.

(38)

2. Masalah Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas dalam masyarakat masih mengalami masalah- masalah (Angela, 2014). Masalah-masalah tersebut antara lain:

a. Keluarga yang menyembunyikan anggota keluarganya yang difabel (disabilitas), sehingga terkadang penyandang disabilitas tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.

b. Masyarakat yang masih menganggap bahwa penyandang disabilitas merupakan suatu keanehan, sehingga penyandang disabilitas seperti didiskriminasikan.

c. Pengusaha maupun pemerintah kurang menyadari bahwa penyandang disabilitas juga merupakan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan yang dapat diberdayakan untuk perkembangan diri mereka.

d. Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas masih belum diperhatikan.

3. Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas

The Convention on The Rights of Persons with Disabilitas (CRPD) merupakan Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada siding ke-61 tanggal 13 Desember 2006. Pemerintah Indonesia telah mendatangani Convention on The Rights of Persons with Disabilitas (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Kemudian pada Tahun 2011 Indonesia

(39)

meratifikasi konvensi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Penyandang Disabilitas.

Pasal 25 ayat (1) dalam konvensi menyebutkan “Negara-Negara Pihak mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai tanpa diskriminasi atas dasar disabilitas mereka. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang diperlukan untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap pelayanan kesehatan yang sensitive gender, termasuk rehabilitas kesehatan. Secara khusus, Negara-Negara Pihak harus:

a. Menyediakan bagi penyandang disabilitas, program, dan perawatan kesehatan gratis atau terjangkau, dengan jangkauan, kualitas dan standar yang sama dengan yang disediakan bagi yang lainnya, termasuk dalam bidang kesehatan seksual dan reproduksi serta program kesehatan publik berbasis kependudukan;

b. Menyediakan pelayanan kesehatan khusus yang dibutuhkan penyandang disabilitas yang dimilki, termasuk identifikasi awal dan intervensi yang sesuai serta pelayanan yang dirancang untuk meminimalkan dan mencegah disabilitas lebih lanjut, termasuk bagi anak-anak dan orang-orang lanjut usia;

c. Menyediakan pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan komunitas penyandang, termasuk diwilayah perdesaan;

d. Mewajibkan para professional di bidang kesehatan untuk menyediakan perawatan dengan kualitas sama kepada penyandang

(40)

disabilitas sebagaimana tersedia bagi lainnya, termasuk atas dasar persetujuan yang bebas dan diberitahukan dengan cara, antara lain, meningkatkan kesadaran akan hak asasi manusia, martabat, kemandirian, dan kebutuhan penyandang disabilitas melalui pelatihan dan penerapan standar etika untuk layanan kesehatan pemerintah dan swasta;

e. Melarang diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di dalam penyediaan asuransi kesehatan dan asuransi kehidupan yang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum nasional, yang wajib tersedia secara adil dan layak;

f. Mencegah penolakan diskriminatif untuk memperoleh layanan atau perawatan kesehatan atau makanan dan zat atas dasar disabilitas.

E. Tinjauan Umum tentang Kusta

Penyakit kusta menurut Widiyoo (2005) merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih merupakan masalah kesehatan yang sangat kompleks di Indonesia. Masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, sera keamanan dan ketahanan social (Angelina, 2012). Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun disebabkan oleh kuman Mycobacterim leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.A. Hansen dalam tahun 1873 (Depkes, 2007). Penyakit kusta bila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat, dan keadaan ini menjadi penghalang bagi penderita kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya

(41)

(Tarmisi dkk, 2016). Penyakit kusta masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan (Depkes, 2007).

Penyakit kusta juga menimbulkan masalah yang sangat kompleks, masalah yang dimaksudkan bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah social, ekonomi, psikologis, budaya, keamanan dan ketahanan nasional (Depkes RI, 2005). Menurut Munir (2001) Kecatatan yang berlanjut dan tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang tidak baik akan menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang normal serta kehilangan status social secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya (Soedarjatmi dkk, 2009).

Sedangkan secara psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit penderita membentuk paras yang menakutkan. Kecatatannya juga memberikan gambaran yang menakutkan menyebabkan penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan menyendiri bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya.

Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk keadaan (Depkes RI, 2005).

World Helath Organization (WHO) melaporkan prevalensi kusta secara global pada tahun 2012 sebesar 232.857 kasus.Sedangkan pada tahun 2013 sebesar 215.656 kasus. Awal tahun 2014 sebesar 180.618 kasus. Angka tersebut menunjukkan penurunan prevalensi kejadian penyakit kusta tiap tahun, namun masih dikategorikan tinggi.

(42)

Melihat sejarah, penyakit kusta merupakan penyakit yang ditakuti masyarakat dan keluarga. Saat itu telah terjadi perngasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu (stigma). Disamping itu masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau pengertian juga kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta. Masyarakat masih banyak beranggapan bahwa kusta disebabkan oleh kutukan, guna-guna, dosa, makanan ataupun keturunan.

Diera modern ini muncul istilah “stigmatisasi’ yang lebih mencerminkan

“kelas” daripada fisik. Proses inilah yang pada akhirnya membuat para penderita terkucil dari masyarakat, dianggap menjijikan dan harus dijauhi.

Sebenarnya stigma ini timbul karena adanya suatu persepsi tentang penyakit kusta yang keliru (Soedarjatmi dkk, 2009).

F. Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit

Rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medic (WHO, 2010).

Rumah sakit menurut UUD RI Nomor 44 Tahun 2009 mengatakan bahwa Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat. Adapun Asas dan tujuan Rumah sakit adalah diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan

(43)

kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan, keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Kemenkes RI, 2010). Rumah Sakit yang memiliki pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas kusta adalah RSK. Dr. Tadjuddin Chalid Makassar.

Pada awal terbentuknya RSK Dr. Tadjuddin Chalid Makassar dimulai dengan Prakarsa Menteri Kesehatan tahun 1980, selanjutnya menteri kesehatan menginstruksikan kepada Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular untuk mendirikan Rumah Sakit Kusta Ujung Pandang.

Pada tanggal 24 Desember 1982, Rumah Sakit Kusta Ujung Pandang di dirikan berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 568/Menkes/SK/1982 dan merupakan unit organik dalam lingkungan Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan. Disamping itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 270/Menkes/SK/VI/1985 tentang Wilayah Binaan Rumah Sakit Kusta, maka wilayah binaan Rumah Sakit Kusta Ujung Pandang adalah seluruh Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya (Profil RSK Dr.

Tadjuddin Chalid Makassar, 2017)

Adapun alasan menteri kesehatan perlunya membangun Rumah Sakit Kusta adalah antara lain:

(44)

1. Banyaknya penderita kusta di propinsi lain (Kalimantan, Maluku, NTT, NTB, dll)

2. Prevalensi penyakit kusta cukup tinggi di Sulawesi Selatan dan kawasan Timur Indonsia pada umumnya.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 297/Menkes/SK/III/2008, Rumah Sakit Kusta Makassar berubah nama menjadi Rumah Sakit Kusta (RSK) Dr. Tadjuddin Chalid Makassar sesuai dengan Permenkes Nomor 009 Tahun 2012 Tentang Struktur Oganisasi dan Tata Kerja RSK Dr. Tadjuddin Chalid Makassar sampai dengan sekarang.

Rumah Sakit ini berada dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.05/2010, RSK Dr.

Tadjuddin Chalid Makassar ditetapkan sebagai Instansi Pemerintah yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum serta pada tanggal 31 Mei 2010 diberikan kesempatan untuk membuka pelayanan umum melalui Surat Keputusan Dirjen Bina Pelayanan Medik No:

HK.03.05/I/2835/110.

Hasil laporan tahunan RSK Dr. Tadjuddin Chalid Makassar, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, terhitung dari tahun 2013-2015 didapatkan beberapa permasalahan yang ditemukan terkait kinerja pelayanan rumah sakit, diantaranya adalah:

(45)

1. Pelayanan unggulan berupa pelayanan rehabilitas medik belum sampai pada titik utama pelayanan;

2. Pelaksanaan standar mutu pelayanan maksimal belum terpenuhi dengan baik;

3. Keterampilan tenaga medis dan paramedis sebagai ujung tambak pelayanan belum mencapai standar pelayanan yang maksimal;

4. Kegiatan promosi kepada masyarakat luas tentang pelayanan kusta secara paripurna belum dilaksanakan secara maksimal;

5. Pelaksanaan standar mutu pelayanan maksimal belum terpenuhi dengan baik;

6. Ketidakmampuan menetapkan prioritas kerjasama dengan stakeholder;

7. Rendahnya koordinasi antar unit dalam pelaksanaan mutu pelayanan dan keselamatan pasien;

8. Rendahnya kualitas sumber daya manusia tentang mutu pelayanan;

9. Belum maksimalnya sistem informasi dalam publikasi data sehingga kontrol mutu pelayanan tidak maksimal pula;

10. Belum lengkapnya sarana prasarana yang mendukung pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

Referensi

Dokumen terkait

2004 Analisis terhadap polimorfisme gen AgRP Ala67Thr dan kaitannya dengan IMT pada populasi kaukasia di Kanada dan Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara

Nurmaya Sari. Analisis Kepuasan Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten terhadap Pelayanan SPP Online Bank BTN Cabang Cilegon. Di bawah bimbingan Arif

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh tingkat suku bunga kredit bermasalah melalui inflasi terhadap penyaluran kredit UMKM dan untuk menguji dan

Melaksanakan  Algoritma  berarti  mengerjakan  langkah‐langkah  di  dalam  Algoritma  tersebut.  Pemroses  mengerjakan  proses  sesuai  dengan  algoritma  yang 

[r]

Pada kenyataannya ada siswa yang memiliki MI cenderung mengarah ke kecerdasan naturalis, maka dibutuhkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang sesuai dengan

Dari output diagram path t test di atas menunjukkan hubungan antara variable laten kepemimpinan mempunyai hubungan yang signifikan dengan variable observed X26, X27