Universitas Kristen Maranatha iii
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan teknik survey. Penarikan sampel menggunakan teknik accidental sampling, dengan jumlah sampel 48 orang.
Alat ukur yang digunakan merupakan terjemahan dari Scale of Psychological Well-Being (SPWB) dari Carol Ryff (1989) dan terdiri atas 84 item. Berdasarkan hasil uji validitas item dengan SPSS Statistic 22.0 melalui uji Rank Spearman, maka diperoleh 64 item yang valid dengan validitas item berkisar 0312-0,743. Reliabilitas alat ukur diukur dengan Alpha Cronbach menggunakan SPSS Statistic 22.0 dan diperoleh reliabilitas sebesar 0,750 yang artinya alat ukur ini memiliki reliabilitas yang tergolong tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung 50% menunjukkan derajat PWB yang tinggi dan 50% menunjukkan derajat PWB yang rendah. Derajat yang tinggi pada dimensi akan diikuti peningkatan pada derajat PWB dan begitu juga sebaliknya. Peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara dukungan sosial, status marital, pekerjaan dan penghasilan ibu terhadap derajat dimensi PWB.
Peneliti menyarankan agar pihak sekolah mengadakan seminar atau pelatihan bagi para ibu agar dapat meningkatan kesejahteraan hidupnya disamping memiliki anak tunagrahita. Bagi para ibu untuk berpatisipasi secara aktif dalam acara seminar atau pelatihan baik yang diadakan oleh pihak sekolah ataupun di luar sekolah.
Universitas Kristen Maranatha iv
ABSTRACT
This Research is conducted to gather insights about Psychological Well-Being in Mothers who had a child with mental retardation at SLB-C Bandung City. The Method that used in this research is “Descriptive” with Survey method. While sampling, using “Accidental Sampling” Method, with 48 persons as samples.
The Measuring instruments that being use is a translation from “Scale of Psychological Well-Being (SPWB) from Carol Ryff (1989) which consists of 84 items. Based on validity test with SPSS Statistic 22.0 using Rank Spearman test, then obtained 64 items which valid with the validity items up to 0,312-0,743. The reliability of the measurement tools is measured with “Alpha Cronbach” using SPSS Statistic 22.0 and the result is 0,750 which means this measurement tools had a reliability that classified high enough.
Based on the research results, it is known that mother who had mental retardation child in SLB-C Bandung 50% shows high PWB degree and 50% shows low PWB degree. Researchers advise there should be another next step research about relation between social support, marital status, occupation and mother’s income about PWB degree.
Researcher also advise that couples, schools, and social community can support each other in emotional, rewarding, instrumental, or informational support in accordance with each of their role so it can help mothers with mental retardation in raising their children.
Universitas Kristen Maranatha v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR BAGAN ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 10
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10
1.3.1 Maksud Penelitian ... 10
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Kegunaan Penelitian... 10
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11
1.5 Kerangka Pikir ... 11
Universitas Kristen Maranatha vi
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Teori Psychological Well-Being ... 21
2.1.1 Perkembangan Pemikiran Psychological Well-Being ... 21
2.1.2 Gambaran Umum Psychological Well-Being ... 23
2.1.3 Definisi Psychological Well-Being ... 24
2.1.4 Dimensi Psychological Well-Being ... 24
2.1.5 Faktor-faktor yang Memengaruhi Psychological Well-Being ... 29
2.2 Tunagrahita ... 33
2.2.1 Pengertian Anak Tunagrahita ... 33
2.2.2 Karakteristik Tunagrahita ... 33
2.2.3 Klasifikasi Anak Tunagrahita ... 35
2.2.4 Penyebab Tunagrahita ... 37
2.3 Tahap Perkembangan Dewasa ... 37
2.3.1 Dewasa Awal (Early Adulthood) ... 37
2.3.2 Dewasa Madya (Middle Adulthood) ... 38
2.3.3 Dewasa Akhir (Late Adulthood) ... 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Prosedur Penelitian... 40
3.2 Skema Rancangan Penelitian ... 40
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 41
3.3.1 Variabel Penelitian ... 41
3.3.2 Definisi Operasional ... 41
Universitas Kristen Maranatha vii
3.4.1 Kuesioner Psychological Well-Being ... 42
3.4.2 Prosedur Pengisian ... 44
3.4.3 Sistem Penilaian ... 44
3.4.4 Data Penunjang ... 45
3.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46
3.5.1 Validitas Alat Ukur ... 46
3.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 46
3.6 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 47
3.6.1 Populasi Sasaran ... 47
3.6.2 Karakteristik Populasi ... 47
3.6.3 Teknik Penarikan Sampel ... 48
3.7 Teknik Analisis Data ... 48
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 49
4.1.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 49
4.1.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 49
4.1.3 Gambaran Subjek Berdasarkan Status Marital ... 50
4.1.4 Gambaran Subjek Berdasarkan Pekerjaan ... 50
4.1.5 Gambaran Subjek Berdasarkan Penghasilan ... 51
4.2 Hasil Penelitian ... 51
4.2.1 Gambaran PWB Subjek dan Dimensinya ... 51
Universitas Kristen Maranatha viii
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ... 67
5.2 Saran ... 69
5.2.1 Saran Teoritis ... 69
5.2.2 Saran Praktis ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 71
Universitas Kristen Maranatha ix
DAFTAR BAGAN
Universitas Kristen Maranatha x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur SPWB ... 43
Tabel 3.2 Skor Pilihan Jawaban SPWB ... 44
Tabel 3.3 Kategori Skor PWB ... 45
Tabel 3.4 Kriteria Validitas ... 46
Tabel 3.5 Kriteria Reliabilitas ... 47
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 49
Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 50
Tabel 4.3 Gambaran Subjek Berdasarkan Status Marital... 50
Tabel 4.4 Gambaran Subjek Berdasarkan Pekerjaan ... 50
Tabel 4.5 Gambaran Subjek Berdasarkan Penghasilan ... 51
Tabel 4.6 Gambaran PWB Subjek Penelitian ... 51
Universitas Kristen Maranatha xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kuesioner Psychological Well-Being
Lampiran 2 : Hasil Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Lampiran 3 : Kuesioner Psychological Well-Being Setelah Validitas
Lampiran 4 : Idenitas Subjek Penelitian
Lampiran 5 : Skor Total PWB dan Dimensinya
Lampiran 6 : Skor Total PWB dan Dimensinya Setelah Pembobotan
Lampiran 7 : Derajat Psychological Well-Being dan Dimensi-dimensinya
Lampiran 8 : Gambaran Tambahan Subjek Penelitian
Lampiran 9 : Hasil Tabulasi Silang
Lampiran 10 : Lembar Pernyataan Pengambilan Data
1 Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada umumnya pasangan suami dan istri yang sudah menikah mengharapkan kehadiran anak dalam pernikahan mereka. Kehadiran anak dalam
suatu pernikahan dianggap sebagai hasil cinta pasangan suami isri, pencapaian dan pelengkap dalam suatu kehidupan pernikahan (Ross, 1964,1975:15). Anak juga merupakan generasi penerus yang diharapkan dalam suatu kehidupan
pernikahan. Semua orangtua berharap untuk bisa mendapatkan anak yang normal dan sehat namun tidak semua orangtua mendapatkan anak yang sesuai dengan
harapannya. Harapan orangtua untuk memiliki anak normal bisa berubah menjadi kekecewaan ketika mengetahui bahwa anaknya memperlihatkan masalah dalam perkembangan. Salah satu masalah yang dapat terjadi adalah tunagrahita.
Menurut American Association on Intellectual and Development Dissabilities (AAID) dua karakteristik major dari seorang anak tunagrahita
(Scholock et al, 2010, dalam Turnbull, Ann P., 2013), yaitu adanya keterbatasan yang siginifikan dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif. Keterbatasan fungsi intelektual membuat anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam
mempelajari suatu informasi sedangkan adanya keterbatasan dalam perilaku adaptif membuat anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam situasi kehidupan
2
Universitas Kristen Maranatha DSM IV-TR membagi tingkat keparahan tunagrahita menjadi empat kelompok, yaitu mild, moderate, severe, dan profound. Klasifikasi ini dibagi
berdasarkan tingkat kecerdasan (IQ). Mild mental retardation (tunagrahita ringan) adalah individu yang memiliki IQ 50-55 sampai kurang lebih 70, sedangkan
moderate mental retardation (tunagrahita sedang) memiliki IQ 25-40 sampai
dengan 50-55. Severe mental retardation (tunagrahita berat) memiliki IQ 20-25
sampai 30-40 dan profound mental retardation (tunagrahita sangat berat) memiliki IQ di bawah 20-25 (American Psychiatric Association, 2000).
Keberadaan anak tunagrahita di Kota Bandung sendiri belum diketahui
secara pasti. Berdasarkan Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 diperkirakan terdapat 790 jiwa penyandang tunagrahita di Kota Bandung yang berasal dari 30
kecamatan namun terdapat beberapa kecamatan yang tidak menyediakan data mengenai jumlah penyandang tunagrahita di kecamatannya. Berdasarkan data yang diperoleh tidak didapatkan klasifikasi penyandang tunagrahita berdasarkan
usia oleh karena itu tidak diketahui secara pasti berapa jumlah anak penyandang tunagrahita di tingkat SD.
Melihat berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita para orangtua membutuhkan bantuan dan pendampingan khusus dari para ahli. Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 5 Ayat 1 dan 2 mengenai Sistem
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” serta “Setiap warga
3
Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan Undang-Undang tersebut, pemerintah mengadakan pendidikan khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang disebut sebagai
Sekolah Luar Biasa (SLB). Terdapat SLB–A, SLB–B, SLB–C, dan SLB–D yang diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan setiap anak. SLB–C merupakan SLB yang
dikhususkan bagi anak tunagrahita. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kota Bandung tahun 2014 terdapat 9 SLB–C swasta di Kota Bandung yang khusus
menangani anak tunagrahita dari tingkat ringan sampai sedang. Setiap SLB-C menyediakan tingkat pendidikan dari Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa
(SMPLB), dan Sekolah Menengah Akhir Luar Biasa (SMALB). Pada setiap tingkatan dibagi menjadi kelompok C yang diperuntukkan bagi anak dengan
tunagrahita ringan dan kalompok C1 bagi anak tunagrahita dengan derajat sedang. Program pembelajaran di SLB–C Kota Bandung sendiri dilaksanakan berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan kurikulum 2013
namun dalam pelaksanaanya tetap disesuaikan dengan kemampuan setiap anak. Berdasarkan hasil wawancara dengan SLB-C di Kota Bandung, pihak sekolah
juga membekali setiap siswa-siswinya keterampilan khusus, seperti bela diri, kesenian (menyanyi, menari, dan memainkan alat musik), membuat kerajinan tangan, dan kecakapan hidup (self-help). Melalui pelatihan ini siswa-siswi yang
mengalami tunagrahita diharapkan dapat mandiri dalam kehidupan pribadi, sosial serta ekonomi. SLB–C di Kota Bandung juga banyak dibantu oleh pemerintah
4
Universitas Kristen Maranatha anaknya di sekolah tersebut berasal dari ekonomi menengah kebawah. Setiap orangtua tidak dipaksakan untuk membayar uang sekolah dan biasanya hanya
membayar berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga masing-masing.
Kehidupan anak tunagrahita di SLB–C Kota Bandung tidak terlepas dari
peran orang tua terutama ibu. Ketika masa kehamilan ibu membangun gambaran akan seperti apa anaknya nanti dan mengharapkan bayi yang sempurna (Ross,
1964:14). Ketika mengetahui anaknya mengalami tunagrahita ibu akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan tuntutan kehidupan yang lebih berat dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak normal. Selain harus menerima
keberadaan anaknya, ibu juga dihadapkan pada pandangan masyarakat yang seringkali memandangang anaknya sebelah mata. Anak tunagrahita sering
diidentikkan dengan kemiskinan, ketidakberdayaan dan kebodohan (dikutip dari Kompasiana, 8 Desember 2011). Hal ini dapat menjadi beban bagi sebagian ibu dengan anak tunagrahita. Ibu mengalami perasaan malu serta keinginan ibu untuk
menjauh dari kehidupan sosialnya (Marijani, 2003).
Selain itu, permasalahan yang seringkali dihadapi ibu yang memiliki anak
tunagrahita adalah minimnya pengetahuan yang dimiliki mengenai anak tunagrahita. (dikutip dari Kompasiana, 4 April 2011). Informasi mengenai tunagrahita sangat diperlukan oleh seorang ibu agar ibu dapat mengetahui kondisi
anaknya serta penanganan dan pengasuhan apa yang paling tepat untuk membesarkan anaknya. Adanya keterbatasan informasi dan pengetahuan yang
5
Universitas Kristen Maranatha Berbagai kesulitan yang dialami ibu dengan anak tunagrahita pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan dirinya (Psychological Well-Being).
Pengalaman menjadi ibu dari anak tunagrahita akan dihayati berbeda-berbeda pada masing-masing ibu. Terdapat ibu yang dapat menilai keadaan ini sebagai
beban namun terdapat juga ibu juga masih dapat mensyukuri kehidupannya. Penilaian seseorang terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya dinamakan
Psychological Well-Being (Ryff & Singer, 2003). Psychological Well-Being
terdiri dari enam dimensi, yaitu Self-Acceptance, Positive Relation with Other, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life, dan Personal Growth.
Keenam dimensi akan membentuk Psychological Well-Being. Psychological Well-Being tidak berdiri sendiri melainkan dipengaruhi oleh faktor
sosiodemografis, seperti usia, status marital, status sosio-ekonomi (pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan), serta faktor dukungan sosial.
Berdasarkan hasil wawancara dengan lima ibu di salah satu SLB-C di
Kota Bandung, kelimanya merasa sedih, terkejut, kecewa, dan tidak percaya saat menerima diagnosis anaknya mengalami tunagrahita. Tiga diantaranya
menyalahkan dirinya sendiri karena merasa telah melakukan banyak kesalahan di masa lalu yang menyebabkan anaknya mengalami tunagrahita. Sementara itu, dua ibu berusaha untuk tetap tegar melewati kesulitan yang mereka hadapi saat ini dan
berusaha untuk melihat keberadaan anaknya sebagai suatu hal yang harus disyukuri. Mereka tidak menyesal dengan keadaan yang dialaminya dan
6
Universitas Kristen Maranatha memiliki anak tunagrahita terhadap kemampuan dirinya dalam melakukan penerimaan diri.
Sebanyak empat orang ibu yang memiliki anak tunagrahita pada SLB tersebut mengatakan bahwa walaupun dengan kesibukannya sehari-sehari mereka
memiliki hubungan yang akrab dengan orang-orang di sekitarnya, seperti tetangga dan orang tua murid lain di sekolah anaknya. Lingkungan di sekitar mereka
memahami bagaimana kondisi dirinya dan seringkali membantu mengawasi anaknya yang mengalami tunagrahita ketika mereka sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika memiliki masalah terkadang mereka juga saling
berbagi baik dengan anggota keluarga yang lain atau dengan sesama ibu yang memiliki anak tunagrahita. Hal ini membuat mereka merasa terbantu terutama
ketika mereka merasa jenuh dengan kondisi yang dihadapinya saat ini. Mereka merasa bahwa orang-orang di sekitarnya peduli dengan keadaan dirinya dan dapat diandalkan untuk membantu mereka.
Satu diantaranya mengatakan enggan untuk membuka diri dan menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain. Ia hanya memiliki hubungan yang
akrab dengan sedikit orang serta jarang menceritakan permasalahan yang dihadapinya kepada orang lain. Ibu juga merasa malu untuk membawa anaknya ke lingkungan masyarakat sehingga lebih membatasi kegiatannya di luar rumah.
Disisi lain, kelimanya mengatakan bahwa seringkali tidak peduli dan tidak dapat membantu permasalahan orang lain karena merasa keadaan hidup mereka sendiri
7
Universitas Kristen Maranatha anaknya yang mengalami tunagrahita, pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakan, dan kondisi finansial. Hal ini memberikan gambaran mengenai
penilaian ibu yang memiliki anak tunagrahita terhadap kemampuan dirinya dalam menjadi relasi sosial relasi dengan orang lain.
Pada usia yang semakin dewasa, individu diharapkan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan mengevaluasi dirinya berdasarkan
standar personalnya. Berdasarkan hasil survey awal empat diantaranya mengatakan bahwa mereka yang mengetahui bagaimana kondisi dirinya sendiri, terutama kondisi anak dan keluarganya sehingga mereka yang mengetahui
keputusan apa yang terbaik namun tetap mendiskusikan dengan pasangan masing-masing. Pasangan biasanya akan memberikan masukan apabila keputusan yang
diambil dirasa kurang tepat. Apabila terjadi perbedaan pendapat mereka akan berdiskusi dan mencari solusi bersama. Satu dari mereka mengatakan bahwa pasangan yang lebih banyak mengambil keputusan terutama dalam hal ekonomi
dan urusan rumah tangga. Begitu pula dalam hal perawatan dan pendidikan bagi anaknya yang mengalami tunagrahita. Ia merasa takut apabila keputusan yang
diambilnya dapat membuat kondisi menjadi semakin buruk.
Sebanyak lima orang ibu mengatakan bahwa sehari-hari mereka menghabiskan waktu sebagai ibu rumah dan merawat anaknya yang mengalami
tunagrahita. Kelimanya memutuskan berhenti dari pekerjaan agar dapat memberikan perhatian lebih bagi anaknya. Dalam menjalankan aktivitas
8
Universitas Kristen Maranatha banyaknya tuntutan yang harus dikerjakan setiap hari membuat mereka sulit untuk melakukan kegiatan yang mereka senangi. Empat diantaranya mengatakan
anggota keluarga yang lain seringkali ikut berpatisipasi dalam mengurus rumah tangga. Terkadang ibu juga mendapatkan bantuan dari tetangga untuk mengawasi
anaknya. Gambaran tersebut menunjukkan penilaian ibu terhadap kemampuan dirinya dalam mengelola kehidupan sekitar.
Diketahui juga bahwa kelima ibu memiliki tujuan hidup yang sama, yaitu ingin dapat melihat anaknya yang mengalami tunagrahita dapat tumbuh menjadi mandiri dan bersekolah di sekolah normal namun, kelimanya merasa pesimis
dengan harapannya tersebut. Hal ini karena anaknya kerapkali sulit diarahkan dan adanya keterbatasan intelegensi seringkali menghambat anaknya untuk
memahami suatu hal. Satu diantaranya mengatakan masih memiliki harapan untuk dapat meningkatkan taraf ekonomi keluarganya, dengan cara suatu hari nanti dapat memiliki toko kecil-kecilan di rumahnya. Kelimanya mengatakan
bahwa saat ini hanya menjalani hidupnya dengan pasrah dan tidak memiliki langkah-langkah tertentu untuk mencapai apa yang menjadi harapannya.
Selain itu, berdasarkan hasil survey awal didapatkan bahwa dua orang ibu masih berpatisipasi pada kegiatan-kegiatan di lingkungannya seperti mengikuti pengajian seminggu sekali. Mereka juga membawa anaknya ikut serta meskipun
seringkali anaknya menggangu kegiatan yang mereka sedang ikuti. Melalui kegiatan pengajian ini mereka merasa semakin dekat dengan Tuhan dan merasa
9
Universitas Kristen Maranatha pada acara pengajian. Ketika pihak sekolah mengadakan acara seminar atau pelatihan dalam mendampingi anak yang mengalami tunagrahita, mereka juga
selalu menyempatkan diri hadir. Melalui acara tersebut ibu merasa mendapatkan keterampilan baru dalam mendampingi anaknya yang mengalami tunagrahita.
Tiga diantaranya mengatakan bahwa semenjak kehadiran anaknya yang mengalami tunagrahita mereka lebih membatasi kegiatan yang mereka ikuti
karena seringkali merasa tidak nyaman apabila membawa anaknya ikut serta. Hal ini karena anaknya seringkali mengganggu dan merengek untuk pulang apabila dibawa pada acara-acara tertentu. Mereka juga tidak sering hadir ketika pihak
sekolah mengadakan acara seminar atau pelatihan karena seringkali acara tersebut diadakan di hari Sabtu sehingga mereka memilih untuk beristirahat di rumah atau
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hal ini menggambarkan penilaian ibu terhadap kemampuan dirinya dalam mengembangankan potensi dan bakat yang dimiliki.
Melihat pentingnya penilaian ibu terhadap kemampuan dirinya, maka peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran masing-masing dimensi dari
10
Universitas Kristen Maranatha 1.2 Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini, ingin diketahui mengenai gambaran dimensi-dimensi
Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C
Kota Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di
SLB- C Kota Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat Psychological Well-Being berserta dimensi-dimensinya, yaitu Self-Acceptance, Positive Relationship
with Others, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life, dan Personal
Growth beserta faktor-faktor yang berpengaruh pada ibu yang memiliki anak
tunagrahita di SLB-C Kota Bandung
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
1. Memberikan masukan bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis
11
Universitas Kristen Maranatha 2. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak
tunagrahita.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada pihak sekolah SLB–C di Kota Bandung
mengenai gambaran dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di sekolah tersebut untuk mengembangkan pemahaman mengenai tindakan apa yang diperlukan
ketika ibu dihadapkan pada kesulitan dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita.
2. SLB-C di Kota Bandung dapat memanfaatkan informasi mengenai gambaran dimensi-dimensi Psychological Well-Being untuk membuat program konseling, seminar atau pelatihan sehingga para ibu dapat lebih
peduli terhadap kesejahteraan dirinya sendiri dan anaknya yang mengalami tunagrahita.
1.5 Kerangka Pikir
Ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung berada pada
usia dewasa awal dan dewasa madya. Menurut Santrock (2002), dewasa awal berlangsung dari usia 20-39 tahun. Ibu yang berada pada masa dewasa awal
12
Universitas Kristen Maranatha pendapat pribadi masing-masing. Ibu tidak lagi memandang dunia dalam dualisme pola polaritas mendasar, seperti benar/salah, kita/mereka, atau
baik/buruk (William Perry,1970 dalam Live-Span Development: 92). Ibu yang berada pada dewasa madya mengalami penurunan dalam kondisi fisik terutama
dalam hal pendengaran dan pengelihatan (Kline & Schieber, 1985 dalam Live-Span Development: 140). Selain itu, adanya penurunan dalam daya ingat akan
memengaruhi ibu dalam menjalankan tanggung jawab sehari-harinya.
Ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung dihadapkan pada tuntutan yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak
normal baik dari segi waktu, finansial, dan tenaga (Begab, 1966). Hal ini karena anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam fungsi intelektual dan perilaku
adaptif. Adanya keterbatasan intelegensi membuat anak tunagrahita mengalami kesulitan untuk mempelajari suatu informasi dan keterampilan untuk menyesuaikan diri dengan masalah atau situasi kehidupan yang baru. Selain itu,
adanya keterbatasan dalam hal perilaku adaptif membuat anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam melakukan suatu keterampilan, kapan untuk
melakukan suatu keterampilan dan faktor motivasional yang memengaruhi apakah keterampilan dapat dilakukan atau tidak (Schalock et.al, 2010). Maka dari itu, anak tunagrahita cenderung membutuhkan orang lain dalam kehidupan
sehari-harinya, terutama yang berasal dari ibu.
Berbagai tantangan yang dihadapi ibu yang memiliki anak tunagrahita
13
Universitas Kristen Maranatha terhadap tuntutan kehidupan melainkan juga penilaian terhadap pengalaman kesuksesan dan kebahagiaan yang terjadi di dalam kehidupannya. Hal inilah yang
disebut dengan Psychological Well-Being. Psychological Well-Being merupakan penilaian seseorang terhadap kehidupan yang mereka jalani (Ryff, 1995).
Penilaian ibu yang memiliki anak tunagrahita akan memengaruhi enam dimensi Psychological Well-Being, yaitu Self-Acceptanc, Positive Relation with Other,
Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life, dan Personal Growth.
Self-Acceptance merupakan penilaian ibu yang memiliki anak tunagrahita
di SLB-C Kota Bandung terhadap kemampuan dirinya dan pengalaman masa
lalunya (Ryff, 1989). Ibu yang menilai dirinya mampu akan dapat menerima dirinya secara positif dan tidak menyalahkan dirinya sendiri karena keadaan
anaknya yang mengalami tunagrahita. Ia juga memiliki rasa percaya diri dalam mengasuh dan membesarkan anaknya yang tunagrahita ataupun dalam kehidupan sehari-harinya. Hal-hal buruk yang pernah terjadi dalam kehidupannya tidak
dijadikan penyelesalan melainkan menjadi suatu proses pembelajaran. Kondisi sebaliknya terjadi pada ibu yang menilai dirinya tidak mampu, yang artinya ia
akan terus menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab keadaan anaknya yang mengalami tunagrahita. Kesalahan yang pernah dilakukannya di masa lalu dijadikan penyesalan dan membuat dirinya tidak berani dalam melihat masa
depan. Ia juga terus membandingkan kehidupan dirinya dengan kehidupan orang lain yang dirasanya memiliki kehidupan yang lebih baik dari dirinya.
Positive Relation with Others adalah penilaian ibu yang memiliki anak
14
Universitas Kristen Maranatha hubungan yang berkualitas dengan orang lain (Ryff, 1989). Ibu yang menilai dirinya mampu menjalin relasi sosial dengan orang lain tidak akan merasa sendiri
di tengah permasalahan hidupnya karena memiliki tempat bagi dirinya untuk berbagi permasalahan yang sedang dihadapi. Bukan hanya itu, ia juga menilai
dirinya mampu berempati terhadap permasalahan yang orang lain hadapi dan tidak hanya terfokus pada permasalahan pribadinya. Sebaliknya ibu yang menilai
dirinya tidak mampu menjalin relasi dengan orang lain akan merasa ragu ketika harus menjalin relasi dengan orang lain. Ia juga lebih banyak menuntut perhatian dan pengertian dari orang lain terhadap permasalahan yang dihadapinya.
Selain itu, dalam Psychological Well-Being juga terdapat dimensi Autonomy, yaitu penilaian ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota
Bandung terhadap kemandirian dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku (Ryff dan Singer, 1989). Ibu yang menilai dirinya mampu melakukan Autonomy berani untuk menolak tekanan yang berasal dari lingkungannya untuk berpikir dan
berprilaku dengan cara-cara tertentu, ia tidak takut untuk mengutarakan opininya meskipun berbeda dengan orang lain. Ia dapat mengevaluasi keputusan yang
diambil berdasarkan standar pribadinya. Ibu yang tidak menilai dirinya tidak mampu untuk melakukan autonomy akan mengalami kesulitan dalam mengutarakan opininya dan cenderung bersikap konformis. Ia juga mengalami
kesulitan dalam pengambilan keputusan karena banyak bergantung pada penilaian dan pendapat orang lain.
Environmental Mastery mengacu pada penilaian ibu yang memiliki anak
15
Universitas Kristen Maranatha mengelola kehidupan dan lingkungan sekitar. Ibu yang menilai dirinya mampu akan dapat mengatur waktunya secara efisien dan membuat langkah-langkah
efektif dalam mengerjakan tugas sehari-hari meskipun dengan segala tanggung jawab yang harus dijalaninya setiap hari. Dalam hal misalnya, ibu mampu
membagi waktu antara mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mendampingi anak, dan berelasi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Ibu juga dapat melihat
kesempatan dengan efektif dan menciptakan kondisi lingkungan sekitar sesuai dengan kebutuhan dirinya. Sementara ibu yang menilai dirnya tidak mampu akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-harinya serta mengabaikan
kesempatan yang datang untuk mengembangkan diri. Hal ini membuat ibu merasa tidak puas dengan kehidupan yang dijalaninya, baik dalam kehidupan berkeluarga
ataupun dalam relasi.
Purpose in Life mengacu pada penilaian ibu terhadap kemampuannya
dalam menentukan dan mencapai tujuan hidup (Ryff dan Singer, 1989). Ibu yang
menilai dirinya mampu pada dimensi ini bukan hanya sekedar memiliki tujuan hidup namun juga merasa optimis bahwa dirinya mampu untuk mencapai apa
yang menjadi tujuannya. Keberadaan anaknya yang mengalami tunagrahita tidak membuatnya merasa pesimis untuk dapat memiliki kehidupan yang lebih baik. Ia juga secara aktif membuat dan menjalankan apa yang sudah direncanakan agar
tujuannya dapat tercapai serta menikmati hal tersebut. Masa lalu dan masa kini dilihat sebagai suatu tantangan dalam merencanakan kehidupan yang lebih baik.
16
Universitas Kristen Maranatha apa yang menjadi tujuannya. Ia juga lebih banyak terpaku pada kehidupannya saat ini dan membuat tujuan hidup dianggap sebagai suatu hal yang membuang waktu.
Dimensi yang terakhir adalah Personal Growth, yaitu penilaian ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung terhadap usahanya dalam
mengembangkan potensi dan talenta yang dimiliki (Ryff, 1989). Ibu menilai dirinya memiliki ketertarikan untuk mengembangkan potensi dan wawasannya.
Keberadaan anaknya yang mengalami tunagrahita membuat mereka sadar bahwa perlunya suatu informasi yang dapat mengembangkan wawasan mereka mengenai pengasuhan apa yang tepat, yaitu dengan mengikuti seminar atau pelatihan
tertentu. Usia yang terus bertambah tidak membatasinya untuk mencoba pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengalaman hidupnya, ibu akan semakin
mengenal dirinya sehingga ia akan belajar dari pengalaman tersebut untuk menentukan cara-cara yang lebih tepat dalam menghadapi masalah. Di sisi lain terdapat ibu yang menilai dirinya tidak mampu untuk melakukan pengembangan
diri, ibu merasa jenuh dan tidak tertarik untuk melakukan perubahan dalam kehidupannya. Ia merasa tidak nyaman apabila dihadapkan pada situasi baru yang
menuntutnya untuk merubah kebiasaan lama dalam melakukan suatu hal sehingga ia cenderung bertahan dengan cara pikir dan tingkah laku tertentu.
Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak
tunagrahita dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor sosio demografis yang terdiri dari usia, status sosio-ekonomi, dan status marital serta faktor dukungan
17
Universitas Kristen Maranatha Environmental Mastery, Purpose in Life, dan Personal Growth. Bertambahnya
usia pada ibu yang memiliki anak tunagrahita akan membuat ibu merasa dirinya
lebih matang dan mandiri. Hal ini akan menyebabkan ibu merasa lebih yakin dengan keputusan yang dibuatnya. Selain itu, ibu juga belajar untuk
mengembangkan kemampuan dirinya sehingga dapat lebih menguasai tuntutan kehidupan sehari-harinya (Environmental Mastery). Disamping itu, usia yang
bertambah akan membuat ibu yang memiliki anak tunagrahita kehilangan keinginan untuk merencanakan kehidupan yang lebih baik (Purpose in Life) dan keterbukaan pada pengalaman baru (Personal Growth). Hal ini karena ibu
cenderung sudah merasa nyaman dengan kondisinya saat ini sehingga kurang terpacu untuk menetapkan tujuan dan mengembangkan dirinya.
Faktor status sosio-ekonomi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita, seperti tingkat pendidikan maupun ekonomi akan berpengaruh pada dimesi Psychological Well-Being seperti Self-Acceptance , Purpose in Life, dan Personal
Growth (Ryff, 2001). Ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
cenderung memiliki tujuan hidup yang lebih tinggi dan cara pandang yang lebih
terbuka serta mampu untuk menentukan langkah-langkah sistematis untuk mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya sehingga dapat mengarahkan pada kondisi hidup yang lebih baik (Purpose in Life). Selain itu, ibu yang memiliki
tingkat ekonomi dari kalangan menengah ke atas merasa memiliki hal yang dapat ia banggakan disamping kekurangan yang dimiliki. Hal ini akan membuat ibu
18
Universitas Kristen Maranatha Kemampuan ibu yang memiliki anak tunagrahita untuk menetapkan tujuan hidup (Purpose in Life) dipengaruhi oleh status marital (Biermal et.al, 2006). Ibu
yang menikah akan memiliki derajat yang lebih tinggi pada dimensi Self-Acceptance, Environmental Mastery, dan Purpose in Life dibandingkan dengan
ibu bercerai (Jurnal:Factors Influencing Women’s Pscyhological Well-Being within a Positive Functioning Framework; Moe, Krista.,2012). Ibu dengan status
bercerai disamping harus merawat anaknya yang mengalami tunagrahita sendiri, ia juga harus membiayai kehidupan ekonomi keluarganya. Hal ini akan berdampak pada kemampuan ibu untuk mengelola kehidupannya (Environmental
Mastery). Selain itu, adanya pasangan dapat menjadi tempat untuk berbagi keluh
kesah sehingga ibu yang berada pada SLB-C Kota Bandung tidak merasa sendiri
ditengah permasalahan hidupnya serta dapat berbagi tanggung jawab sehari-hari. Faktor dukungan sosial juga turut berpengaruh terhadap dimensi Psychological Well-Being (Jurnal Social Support and Psychological Well in
Fathers of Children with Autism Spectrum Disorders; University of
Wisconsin-Madison, Emily., 2001). Ibu yang berada di SLB-C Kota Bandung bisa
mendapatkan dukungan dari pasangan, anak, pihak sekolah, tetangga, komunitas yang diikuti, dan lain-lain. Menurut House (1981, dalam Vaux 1988) terdapat empat jenis dukungan yang bisa didapatkan seseorang, yaitu dalam bentuk
informasi (informational support), ungkapan empati (emotional support), biaya (instrumental support), dan penghargaan (esteem support). Dukungan yang
19
Universitas Kristen Maranatha bergantung ketika mengalami kesulitan. Tidak adanya dukungan dari orang-orang sekitarnya akan membuat ibu merasa sendiri di tengah permasalahan hidupnya
karena merasa tidak ada yang dapat diandalkan untuk membantu dirinya.
Bagan 1.1 Kerangka Pikir
1.6 Asumsi
1. Derajat Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak
tunagrahita di SLB-C Kota Bandung dapat diukur melalui 6 dimensi, Ibu yang memiliki anak
tunagrahita di SLB-C Kota Bandung
Psychological Well-Being
Dimensi ; 1.Self-Acceptance
2.Positive Relation with Others
3.Autonomy
4. Environmental Mastery
5.Purpose in Life
6. Personal Growth
Tidak Mampu Mampu
Faktor yang memengaruhi ; 1. Sosio Demografis
(Usia, status marital, sosio-ekomomi)
20
Universitas Kristen Maranatha yaitu Self-Acceptance, Positive Relationship with Others, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life, dan Personal Growth.
2. Derajat dimensi Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor sosio
demografis (usia, status sosio-ekonomi, dan status marital) serta faktor dukungan sosial.
67 Universitas Kristen Maranatha BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil interpretasi dan analisis yang
telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological
Well-Being (PWB) pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung,
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Sebagian ibu (50%) yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung memiliki derajat PWB yang tinggi dan juga sebagian ibu (50%) memiliki derajat PWB yang rendah.
2. Ibu yang memiliki derajat PWB yang tinggi menunjukkan derajat yang tinggi pada dimensi, yaitu Self-Acceptance, Positive Relation with Others,
Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life, dan Personal Growth
sedangkan ibu yang memiliki derajat PWB rendah menunjukkan derajat yang rendah pada keenam dimensi tersebut.
3. Dimensi Self-Acceptance memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh status marital dan dukungan sosial. Ibu yang menikah dan mendapatkan
68
Universitas Kristen Maranatha 4. Dimensi Autonomy memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh penghasilan dan pekerjaan ibu, serta dukungan sosial. Ibu yang tidak bekerja dan tidak
memiliki penghasilan menunjukkan derajat yang rendah pada dimensi ini. Selain itu, adanya dukungan yang didapatkan ibu dari pihak sekolah (guru)
dan komunitas yang diikuti akan menunjukkan derajat yang tinggi pada dimensi ini.
5. Dimensi Environmental Mastery memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh status marital, dukungan sosial, dan derajat tunagrahita yang dialami anak. Ibu yang memiliki pasangan menunjukkan derajat Environmental
Mastery yang lebih tinggi dibandingkan yang bercerai. Ibu yang
mendapatkan dukungan dari rumah (suami), keluarga besar (orangtua) dan
masyarakat (tetangga) menunjukkan derajat yang tinggi pada dimensi Environmental Mastery. Selain itu, ibu yang memiliki anak tunagrahita
dengan derajat ringan menunjukkan derajat yang lebih tinggi pada dimensi
ini dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak tunagrahita dengan derajat sedang.
6. Dimensi Purpose in Life memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh derajat tunagrahita anak dan dukungan sosial. Ibu yang memiliki anak tunagrahita dengan derajat ringan menunjukkan derajat Purpose in Life
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak tunagrahita dengan derajat sedang. Selain itu, adanya dukungan yang
69
Universitas Kristen Maranatha 7. Dimensi Personal Growth memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh dukungan sosial. Ibu yang mendapatkan dukungan dari masyarakat
(komunitas pengajian) menunjukkan derajat yang tinggi pada dimensi Personal Growth.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
1. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial, status marital, pekerjaan dan penghasilan ibu, serta derajat tunagrahita yang dialami anak terhadap dimensi PWB pada ibu
yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung.
5.2.2 Saran Praktis
1. Bagi pihak SLB-C di Kota Bandung disarankan untuk menyelenggarakan seminar atau pelatihan bagi para ibu yang memiliki anak tunagrahita yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman ibu mengenai tindakan dan
pengasuhan apa yang paling tepat dalam membesarkan anaknya yang mengalami tunagrahita.
2. Bagi ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Kota Bandung untuk mengikuti seminar atau training mengenai pengenalan terhadap dirinya serta mengikuti pendidikan edukasi mengenai anak tunagrahita
(Self-Acceptance dan Environmental Mastery) baik yang diadakan oleh pihak
sekolah ataupun yang berada di luar sekolah. Ibu juga bisa mencoba untuk
70
71 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association (APA). (2002). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th ed., rev). Washington DC: Author. Bradburn, Norman. 1969. The Structure of Psychological Well-Being. Chicago:
Aldine Publishing Company.
Brown, K.W.; Ryan, R.M (2003). : “The benefit of Being Present: Mindfulness and its Role in Psychological Well-Being”. Journal of Personality and Social Psychology 84 (4):822-848.
Gargiulo, M. 1985. Working with Parents of Exceptional Children: A Guide for Profesional. Boston: Houghton Mifflin Company.
Hickey, Emily. 2001. Social Support and Psychological Well in Fathers of Children with Autism Spectrum Disorders.(Research) Madison: University of Wisconsin.
Keyes & Shmotkin. 2002. Jurnal Optimizing Well-Being : The Empirical Ecounter of Two Traditions.
Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-By-Step Guide for Beginner. New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd.
Ling Siu, Oi. 1999. Jurnal A Study of Familiy Support, Friendship, and Psychological Well-Being. Hongkong: Lingnan University.
Moe, Krista. 2012. Factors Influencing Women’s Psychological Well-Being Within a Positive Functioning Framework. Disertasi. p.18-26 Lexington, Kentucky: University of Kentucky.
Ryff, Carol. 1989. Scales of Psychological Well-Being. University of Wisconsin: Institute on Aging.
Ryff, Carol. 1989. Happiness is Everything or Is it? Explorations on the Meaning of Pscyhological Well-Being. “Journal of Personality and Social
Psychology”. (Vol 57 :1069-1081). University of Wisconsin: American
Psychological Association.
Ryff, Carol & Keyes. 1995. The Stucture of Psychological Well-Being Revisited
72
Universitas Kristen Maranatha Somantri, Sutjihati. 2012. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Santrock, 2002. Life-Span Development Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Siegel, Sidney. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
73 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Kompasiana. 08 Desember 2011. Disabilitas dan Pandangan Masyarakat (Online), (http://www.kompasiana.com)
Kompasiana. 04 April 2011 2011. Anak Berkebutuhan Khusus (Online), (http://www.kompasiana.com)
Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. 2008. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional.2003. Jakarta