• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI Tahun 1945), “Negara Indonesia ialah Negara Hukum.” Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa segala tindakan yang dilakukan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan ketatanegaraan haruslah senantiasa berlandaskan pada hukum. Penggunaan istilah negara hukum ini dikenal dengan konsep Rechtsstaat di Eropa Kontinental; atau The Rule Of Law di negara-negara Anglo Saxon; dan di negara-negara sosialis disebut sebagai Socialist Legality.

1

Implikasi dari pernyataan suatu negara yang menyatakan dirinya sebagai

negara hukum adalah segala tindakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara haruslah senantiasa berlandaskan pada hukum dan warga negara selaku manifestasi dari suatu negara berhak untuk melakukan pernyataan keberatan atas segala tindakan pemerintah melalui mekanisme yang diajukan pada suatu badan peradilan.

Selain secara tegas menyatakan kedudukannya sebagai negara hukum, Indonesia juga dengan tegas menyatakan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 bahwa ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.”

dan Pasal 37 ayat (5) “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin kokoh setelah dilaksanakan amandemen dalam UUD NRI Tahun 1945, yang

1

Achmad Ruslan, 2011, “Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia”, Rangkang Education, Yogyakarta, Hlm. 19.

(2)

diawali dari adanya kesepakatan MPR yang salah satunya yaitu tidak mengganti bunyi Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sedikitpun dan terus mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi bentuk final negara Indonesia.

Meskipun Indonesia adalah negara kesatuan namun terdapat pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong otonomi daerah dan mendorong pembangunan daerah menjadi lebih pesat. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dapat dijalankan secara langsung. Pemerintah pusat memiliki wewenang sepenuhnya dalam hal pertahanan, keamanan, moneter dan politik luar negeri.

2

Pemerintah memiliki beban yang sangat berat dalam menjalankan sistem pemerintahan dalam bingkai aturan yang telah tertuang dalam konstitusi.

Amandemen UUD NRI Tahun 1945, mengamanatkan adanya kebijakan pemerintahan daerah yang mengalami perubahan mendasar. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh adanya kehendak untuk mewadahi semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Otonomi daerah seharusnya mendapat perhatian yang tidak kalah penting dalam pembaharuan UUDNRI Tahun 1945.

3

Laica Marzuki dalam Ni’matul Huda mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi. Istilah otonomi berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni autos yang berarti sendiri dan

2

Ray Pratama Siadari, 2010, “Konsepsi Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan”, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, Vol. 3 No. 012. Tahun 2010, Makassar, Hlm. 87.

3

Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII,

Yogyakarta, Hlm. 3.

(3)

nomos yang berarti undang-undang.

4

Otonomi daerah memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah akan sangat bergantung kepada kesiapan pemerintah dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Menata sistem pemerintahan dengan tujuan agar tercipta pembangunan yang efektif, efesien, transparansi, akuntabel dan mendapatkan apresiasi dari publik akan pencapaian pembangunan tersebut.

Dalam rangka menjalankan serta mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut diharapkan mampu mewujudkan percepatan dan pemerataan pembangunan daerah. Selain itu, pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat, serta daya saing daerah juga dapat tercapai melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggara daerah dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah dan antar daerah.

Perkembangan regulasi terkait tentang pemerintah daerah yang terus menerus berubah sejalan dengan perkembangan keadaan memberikan dampak yang besar bagi daerah khususnya daerah pedesaan. Perhatian pemerintah pusat terhadap desa tercermin dalam beberapa langkah kebijakan yang dikeluarkan meskipun berbagai pihak menilai bahwa hal ini justru memberikan tantangan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mensinergikan program pembangunan nasional.

4

Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, Hlm. 83.

(4)

Kontinuitas perkembangan sejarah desentralisasi di Indonesia ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disingkat UU Desa) pada tanggal 18 Desember 2013. Hal ini menjadikan tantangan akan pembangunan otonomi daerah mengalami perkembangan dan mengukuhkan desa dalam mengatur otonominya sendiri. Perkembangan ini tentu akan memberikan ruang kepada desa dalam rangka melakukan pembangunan sesuai dengan potensi daerah masing-masih. Namun demikian, lahirnya UU Desa tidak serta merta memberikan peluang tetapi juga sejalan dengan tantangan yang akan dihadapi.

Keberadaan UU Desa juga diharapkan dapat memberikan kekuatan kepada desa agar semakin berdaya dan mampu menarik simpati generasi muda untuk berkarya dan mengembangkan desa. Selain itu, dari proses penganggaran di desa juga dapat menghasilkan program yang produktif dan berorientasi jangka panjang, seperti, peningkatan kualitas pendidikan, potensi ekonomi daerah dan perbaikan infrastruktur dasar. UU Desa mengatur 10% alokasi anggaran dari APBN untuk kemudian disalurkan ke desa. Pemberian alokasi anggaran tersebut tidak serta merta diberikan tanpa memenuhi segala bentuk aturan yang tercantum dalam peraturan pelaksana UU Desa. Pelaksanaan UU Desa harus segera diberlakukan seiring disahkannya UU tersebut. Namun, pemerintah tidak memperhatikan lebih jauh proses yang akan dihadapi dalam menerapkan UU ini.

Kesiapan perangkat desa dalam mengimplementasikan UU Desa merupakan

salah satu tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Perangkat desa dalam hal

ini kepala desa, sekretaris dan bendahara serta staf yang ada di kantor desa

diharapkan mampu mengimplementasikan UU Desa tersebut secara tepat dan terukur

(5)

sesuai dengan amanat yang terkandung dalam kebijakan ini. Sinergitas semua pihak di desa akan memberikan pelayanan yang maksimal terhadap seluruh warga sehingga kebutuhan penanganan terhadap persoalan kesiapan SDM mutlak dilakukan untuk mewujudkan pelayanan yang prima di tingkat desa.

Kebijakan pemerintah dalam mengimplementasikan UU Desa merupakan suatu keharusan. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan salah satu bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap desa. Dengan demikian, implementasi undang- undang tersebut harus diarahkan pada bagaimana meningkatkan kesejahteraan di desa. Namun, implementasi dari kebijakan tersebut mengalami kendala seiring dengan berbagai persoalan yang dialami dan terjadi di tingkat desa sendiri termasuk kesiapan SDM atau aparatur desa terkait dengan kehadiran UU Desa.

Pemberdayaan desa sebagai salah satu unsur penting dan utama dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan yang menopang terwujudnya penyelenggaraan otonomi daerah merupakan suatu keharusan. Namun demikian, pemberdayaan desa tidak hanya dilakukan dari aspek perundang-undangan yang mengaturnya saja, namun harus juga memperhatikan kesiapan pemerintah desa selaku pihak yang akan berperan aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Selain itu, pemerintah pusat juga harus siap memberikan dukungan terhadap pemerintah desa dalam kaitannya dengan implementasi UU Desa.

Sinegritas antara pemerintah pusat dan pemerintah desa selaku pelaksana otonomi

daerah terkecil haruslah di landaskan pada asas perwujudan kemandirian. Sehingga

ke depannya desa tidak lagi bergantung pada sejauhmana pemerintah pusat

memberikan bantuan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, melainkan

(6)

mampu menjadi penopang terhadap pemerintahan yang ada di atasnya. Tentunya hal tersebut tidaklah mudah, 70 (tujuh puluh) tahun sejak pernyataan kemerdekaan bangsa ini, permasalahan terkait pemerintahan desa masih terus mengalami hambatan, baik dari segi perundang-undangan yang mengaturnya maupun dari segi kesiapan pemerintahan desa dalam pelaksanaan kewenangannya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang diteliti dalam penelitian ini meliputi 2 (dua) hal, yaitu:

1. Bagaimana tingkat kesiapan perangkat desa di Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar dalam pengimplementasian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa?

2. Bagaimana kedudukan dan konsekuensi kewenanangan perangkat desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014?

C. Tujuan Penelitian

Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui tingkat kesiapan perangkat desa terkait dengan pengimplementasian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dalam hal ini penelitian ini merespon lebih jauh persoalan kesiapan SDM baik dari aspek kuantitas maupun kualitas yang ada di desa.

2. Untuk mengetahui kedudukan dan konsekuensi dari kewenangan perangkat

desa sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa. Hal ini juga terkait erat dengan posisi desa dalam struktur

pemerintahan daerah.

(7)

D. Manfaat Penelitian

Apabila tujuan penelitian tersebut tercapai, maka manfaat dan keuntungan yang didapatkan meliputi :

1. Manfaat akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam proses perkembangan ilmu hukum khususnya dalam mendeskripsikan kedudukan dan kewenangan serta kesiapan perangkat desa dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Demikian pula diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang diharapkan menjadi informasi awal bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang desa.

2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemangku kebijakan dalam merumuskan dan mengimplemantasikan kebijakan menyangkut desa secara lebih terarah dan luas.

E. Keaslian Penelitian

Dari beberapa penelitian yang ada penulis menemukan tiga kecenderungan pokok terkait dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

1. Tesis dengan judul “Kedudukan dan Pengujian Peraturan Desa Dalam Sistem Hukum Perundang-undangan di Indonesia” yang ditulis oleh Frengky Alexander Hendra Zachawerus tahun 2014 pada Universitas Gadjah Mada.

5

Terdapat dua rumusan masalah yaitu, Pertama, bagaimana kedudukan peraturan desa dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

5

Alexander Hendra Zachawerus, 2014, “Kedudukan dan Pengujian Peraturan Desa dalam Sistem

Hukum Perundang-undangan di Indonesia” Tesis, MH FH UGM, Yogyakarta.

(8)

Kedua, bagaimana sistem pengujian peraturan desa dalam sistem hukum

perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan menitikberatkan pada jenis penelitian yuridis normatif. Pada akhir penelitian ini, penulis tersebut berkesimpulan bahwa peraturan desa diakui dan memilki kekuatan hukum yang mengikat sebagai salah satu peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya, peraturan desa yang dibentuk tidak bertentetangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.

2. Skripsi dengan judul “Kedudukan dan Kewenangan Desa Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia” yang tulis oleh Muhammad Farid Alwajdi tahun 2013 pada Universitas Gadjah Mada.

6

Terdapat dua rumusan masalah yakni : Pertama, bagaimana kedudukan desa dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Kedua, bagaimana konsekuensi kewenangan desa dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Dalam skripsi ini disimpulkan bahwa kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang terus menerus mengalami perubahan serta dengan kewenangan hak asal usul yang dimiliki.

3. Skripsi dengan judul “Kedudukan Peraturan Desa Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011” yang ditulis oleh Muhammad Nurcholis Alhadi tahun

6

Muhammad Farid Alwajdi, 2013, “Kedudukan dan Kewenangan Desa dalam pelaksanaan Otonomi

Daerah di Indonesia”, Skripsi, MH FH UGM, Yogyakarta.

(9)

2014 pada Universitas Gadjah Mada

7

dengan dua rumusan masalah yakni : Pertama, bagaimana kedudukan peraturan desa pasca Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kedua, bagaimana mekanisme pengujian peraturan desa. Penelitian ini menggunakan model penelitian hukum normatif. Dalam skripsi ini disimpulkan bahwa peraturan desa menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 bukan lagi bagian dari peraturan daerah, melainkan peraturan perundang-undangan tersendiri dan diakui berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Kemudian, konsekuensi peraturan desa sebagai peraturan perundang- undangan yang diakui maka peraturan desa dapat dilakukan pengujian terhadap peraturan yang lebih tinggi. Bentuk pengujian peraturan desa yaitu judicial review di Mahkamah Agung.

Dari ketiga penelitian di atas peneliti belum menemukan kajian mendalam mengenai persoalan-persoalan yang melibatkan kesiapan SDM dalam implementasi kebijakan desa apalagi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan produk hukum yang relatif baru.

7

Muhammad Nurcholis Alhadi, 2014, “Kedudukan Peraturan Desa pasca UU Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” Skripsi, MH FH UGM, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini di latar belakangi dari kenyataan hasil belajar di lapangan yang tidak sesuai dengan harapan, yakni masih banyak siswa yang mendapatkan nilai di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan gaya kepemimpinan dan kinerja antara auditor pria dan auditor wanita yang dilihat dari komitmen organisasi,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa scalding dalam lilin panas pada pencabutan bulu itik tidak berpengaruh terhadap nilai susut masak dan sobek kulit namun

Salah satu ketentuan yang dinilai akan menghambat industri rokok khususnya rokok kretek di Indonesia adalah ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012

1) Perilaku verbal adalah saluran tunggal, perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Kata-kata datang dari satu sumber, tetapi isyarat nonverbal dapat

1) Dalam penelitian tersebut difokuskan pada proses pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elekronik, pada penulisan hukum ini difokuskan pada

Tulisan tersebut juga berbeda dengan tulisan penulis, perbedaannya yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Asyurah menitik-beratkan kepada bentuk

Dalam dunia hukum, istilah main hakim sendiri dikenal dengan istilah Eigenrichting yang berarti melakukan tindakan kepada orang lain dengan maksud menghukum orang tersebut