BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Secara terminologi kedokteran abortus ialah suatu keadaan yang tidak direncanakan, diduga atau terjadi tiba-tiba gugurnya janin dalam kandungan sebelum janin dapat hidup diluar rahim. Ada beberapa definisi tentang abortus
Eastman menyatakan “Abortus merupakan suatu keadaan dimana terputusnya
kehamilan pada saat janin tidak sanggup untuk bertahan hidup sendiri diluar uterus, dengan berat antara 400-1000 gr atau saat usia kehamilan kurang dari 28 minggu.
Holmer mendefinisikan ”Abortus sebagai terputusnya kehamilan sebelum
minggu ke 16 dimana plasentasi belum selesai” 2,10
Pada tahun 1977 WHO mendefinisikan abortus sebagai keluarnya janin dari rahim dengan berat kurang dari 500 gr yaitu sekitar usia kehamilan 20-22 minggu. Di Indonesia diperkirakan abortus spontan terjadi sekitar 10-15%.2,10
2.2. INSIDENS ABORTUS
Sekitar 12- 15 % kehamilan secara klinis berakhir dengan abortus spontan pada usia 4-20 minggu usia kehamilan. Meski demikian tingkat abortus yang sesungguhnya termasuk abortus dini adalah 2 hingga 4 kali lebih besar tergantung usia ibu.
2.3. ABORTUS SPONTAN 6,11
Abortus spontan merupakan kejadian yang paling sering dialami, insidensnya sekitar 50 % dari semua kehamilan. Abortus yang dialami pada minggu-minggu pertama kehamilan lebih sering disebabkan oleh kelainan kromosom sebanyak 50-60%, diikuti oleh faktor endokrin sekitar 10-15%, faktor servik inkompeten sebanyak 8-15%, immunologis dan infeksi 3-5% serta kelainan uterus 1-3%.
Jika keguguran pertama kali disebabkan oleh kelainan kromosom, maka kemungkinan untuk abortus kedua dengan sebab yang sama meningkat menjadi 80%.
11,12
Sementara abortus spontan yang terjadi pada trimester kedua lebih sering disebabkan oleh faktor maternal, kelainan plasenta, dan keadaan lain.
Beberapa faktor resiko penyebab abortus spontan ini termasuk jumlah paritas, usia ibu, dan hamil dengan jarak kurang dari 3 bulan dari kehamilan sebelumnya dan keadaan umum dan gizi ibu.
Terlepas dari riwayat obstetrik sebelumnya, resiko abortus spontan bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Resiko secara relatif lebih rendah pada wanita usia dibawah 30 tahun, yaitu sekitar 7-15%. Pada wanita berusia abtara 30-34 tahun sekitar 8-21%, lalu meningkat tajam pada wanita berusia antara 35-40 tahun yaitu 17-28% , dan pada wanita berusia 35-40 keatas sebanyak 75%.
13
8,9
2.4. PEMBAGIAN SECARA GEJALA KLINIS
Tiap kejadian perdarahan yang dialami pada awal kehamilan bisa disebabkan oleh sebab yang berbeda-beda, seperti kehamilan ektopik, hamil mola, dan
cervisitis, tetapi belum tentu setiap perdarahan pada kehamilan, dikatakan keguguran. Dari anamnese dan pemeriksaan klinis, dapat diketahui pembagian abortus untuk membantu penegakan diagnosa dan penentuan terapi selanjutnya. 2
a. Threatened Abortion
Dari arti katanya sendiri merupakan abortus yang mengancam, abortus yang akan terjadi. Sekitar 25% kejadian perdarahan yang ditemui merupakan
threatened abortion.
Diawali dengan pemeriksaan β-Hcg, pemeriksaan fisik untuk melihat asal perdarahan dan ada atau tidaknya pembukaan jalan lahir, dan dengan ultrasonografi / USG dapat diketahui masih ada atau tidaknya kantong gestasi. Dengan USG transabdominal dapat diidentifikasi kantong gestasi jika β-Hcg kuantitatif mencapai 5000-6000 IU/ml, sementara dengan transvaginal kehamilan sudah dapat diditeksi lebih awal, yaitu pada kadar β-Hcg 1500 IU/ml. Biasanya terlihat kantong ketuban masih baik dan dapat dilihat tanda-tanda kehidupan janin.6,11,14
b. Inevitable Abortion
Abortus ini didefinisikan jika keguguran sudah tidak dapat dicegah, yaitu telah terjadi dilatasi servik, dan ketuban sudah pecah. Keadaan ini biasanya
diikuti dengan timbulnya kontraksi dan pengeluaran hasil konsepsi. Pada keadaan ini penanganan harus segera untuk mencegah infeksi. 2,11,14
c. Incomplete Abortion
Pada keadaan ini, sebagian hasil konsepsi telah keluar dari uterus. Pada usia kehamilan kurang dari 10 minggu, janin dan plasenta dapat keluar secara bersamaan. Setelah usia kehamilan 10 minggu, janin dan plasenta dapat keluar secara terpisah dan meninggalkan sisa konsepsi didalam kavum uteri. Sisa jaringan atau hasil konsepsi yang tertinggal mengakibatkan rasa nyeri dan perdarahan. 10,14
d. Complete Abortion
Merupakan keadaan dimana baik jaringan dan hasil konsepsi telah keluar seluruhnya.6
e. Missed Abortion
Pada beberapa kasus kegagalan kehamilan pada trimester pertama, sisa embrio atau janin yang tidak berkembang beberapa lama sebelum adanya tanda-tanda keguguran. 6
2.5. PENANGANAN ABORTUS
Ada berbagai cara penatalaksanaan abortus, masing-masing disesuaikan dengan keadaan yang dijumpai.10
a. Threatened Abortion
Tindakan awal yang dilakukan pada abortus ini adalah dengan bantuan USG untuk menentukan kesejahteraan janin. USG transvaginal sangat membantu untuk mendeteksi kehamilan awal 4-5 minggu. Gerak jantung janin dapat dilihat pada embrio > 5 mm. USG dapat menentukan apakah kehamilan masih dapat dipertahankan atau tidak. 10,14
Pada threatened abortion gambaran ultrasonografi akan menampilkan kantong kehamilan yang normal, namun jika gambaran yang ditampilkan berupa kantong kehamilan yang irreguler dan bentuk janin yang tidak normal, adanya darah pada retrochorionic dan detak jantung janin yang < 85 bpm, maka kemungkinan besar kehamilan tidak dapat diteruskan. Jika janin masih hidup, 94 % kemungkinannya untuk terus bertahan. Hospitalisasi tidak diperlukan pada keadaan ini, namun dianjurkan untuk dilakukan USG ulangan 1 minggu kemudian. 10,14
b. Inevitable abortion
Pada keadaan ini pasien harus dirawat dirumah sakit, pemberian antibiotik dan analgetik diperlukan disini, USG diperlukan untuk membedakan antara
inevitable abortion atau incomplete abortion. Pengeluaran sisa hasil
konsepsi harus segera dilakukan.2,10
Pada incomplete abortion gambaran ultrasonografi biasanya kantong kehamilan sudah pecah dan irreguler, tampak sisa-sisa plasenta pada kavum uteri. Sejak tahun 1930, penanganan incomplete abortion dilakukan dengan tehnik pembedahan. Sepuluh tahun terakhir ini, banyak peneliti mulai menggunakan analog prostaglandin sintetik.1,2,10
Salah satu yang paling efektif adalah Misoprostol, yang dengan pemberian secara oral dapat menurunkan insidensi evakuasi dengan tehnik bedah sebanyak 50 % terlebih lagi komplikasi yang biasanya timbul pada tehnik evakuasi pembedahan, menurun secara bermakna dengan pemberian Misoprostol. Misoprostol telah ditetapkan sebagai terapi utama pada semua penanganan kasus abortus karena dapat menghindari tehnik evakuasi pembedahan dan menurunkan tingkat morbiditas. 15
Dosis tunggal sebanyak 400 μg secara oral atau 600 μg disarankan sebagai penatalaksanaan incomplete abortion pada wanita dengan besar uterus sebesar kehamilan 12 minggu. Kedua dosis ini telah menunjukkan tingkat keberhasilan dan kenyamanan yang sama. 10
Crenin dkk (1997) mengadakan penelitian acak yang membandingkan
antara pemberian peroral dan intravagina pada kasus incomplete abortion dan menemukan bahwa pemberian intravagina berkaitan secara bermakna dalam pengosongan kavum uteri namun pada waktu yang bersamaan meningkatkan efek samping sistemik. Namun pada penelitian ini dosis
intravagina dua kali lipat dibandingkan oral sehingga menyulitkan interpretasi hasil.15
d. Missed Abortion
Diagnosa dapat ditegakkan dengan bantuan USG, jika diagnosa sudah ditegakkan, pengeluaran sisa hasil konsepsi harus segera dilakukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya sepsis, gangguan pembekuan darah, dan perdarahan lebih lanjut.
e. Blighted Ovum
Jika dengan USG ditemukan suatu kantong kehamilan dengan diameter lebih dari 30 mm, tanpa dijumpai janin maka diagnosa blighted ovum dapat ditegakkan untuk selanjutnya dilakukan tindakan pengeluaran hasil konsepsi.
Wagaarachchi P T meneliti 56 wanita dengan diagnosa missed abortion dan
blighted ova. Dosis sebesar 400 μg diberikan lalu dilakukan pengulangan tiga jam kemudian, dengan dosis maksimal tiga kali pemberian. Angka keberhasilan
complete abortion mencapai 84,1%, dan 90% dari peserta lebih memilih
pemberian secara oral dibandingkan intravagina.
2.6. PENATALAKSANAAN
a. Dilatasi dan Kuretase
Diawali dengan dilatasi servik lalu mengeluarkan jaringan dengan melakukan kerokan pada uterus dengan alat kuret, atau dengan aspirasi vakum, atau
bahkan keduanya. Komplikasi penyerta termasuk perforasi, laserasi servik, perdarahan, atau pengeluaran janin dan plasenta tidak lengkap semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan.Dengan alasan ini, tindakan kuretase dilakukan sebelum usia kehamilan 14 minggu. Aspirasi vakum digunakan pada kehamilan trimester pertama.2,10,16,17,18
b. Dilatasi Hygroscopic
Trauma dari dilatasi dapat diminimalisasi dengan pemakaian alat yang secara perlahan mendilatasi servik. Cara kerja alat ini dengan menyerap air pada jaringan servik hingga terbuka dan melunak secara perlahan.16,19
c. Laparotomy
Dalam beberapa keadaan, hysterotomy atau abdominal hysterectomy lebih dipilih dibanding tehnik diatas. Hal ini dilakukan jika terdapat penyakit pada uterus, atau pasien ingin disteril.1
2.7. KOMPLIKASI a. Cervical shock b. Perforasi c. Perdarahan d. Hematometra 2.8. MISOPROSTOL
Penatalaksanaan pada kejadian abortus tidak mengalami perubahan yang berarti dalam 60 – 70 tahun ini. Evakuasi sisa jaringan dengan cara dilatasi dan kuretase tetap menjadi pilihan utama sejak tahun 1930, namun prosedur ini dapat menyebabkan morbiditas iatrogenik. Seiring dengan perkembangan pengobatan, prostaglandin analog (seperti misoprostol) menunjukkan tingkat efektivitas yang baik terhadap evakuasi jaringan.14,15
Misoprostol telah digunakan secara luas pada bidang Obstetri dan Ginekologi antara lain sebagai pematangan servik dan penatalaksanaan abortus. Berawal dari analog prostaglandin E1 yang semula ditujukan untuk pengobatan peroral
ulcus pepticus. Untuk kasus abortus dan pematangan servik, pemberian melalui
vaginal merupakan pilihan. Banyak penelitian menyatakan pemberian intravagina lebih efektif dibandingkan pemberian peroral. Hal ini didukung oleh penelitian farmakokinetik yang menunjukkan sistem bioavailibilitas misoprostol intravagina tiga kali lebih tinggi dibanding pemberian peroral. 15,21
a. Farmakokinetik
Misoprostol merupakan turunan PGE1, pemberian secara oral lebih cepat diserap, dibanding pemberian intravaginal, dengan konsentrasi plasma puncak dicapai lebih lambat, dan bertahan selama 4 jam. Dengan pemberian oral misoprostol dengan cepat diabsorbsi dengan waktu paruh 20- 40 menit. Konsentrasi plasma asam misoprostol bervariasi, nilai rata-rata setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan terdapat hubungan linier dengan kisaran dosis 200 – 400 μg. Konsentrasi plasma maksimum dapat
berkurang jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan, atau obat antasida. 14,15
b. Farmakodinamik
Misoprostol merupakan zat sintetik, analog dengan prostaglandin, larut dalam air dan cairan kental, bersifat uterotonika, serta stabil pada suhu ruangan.15,22
Terdapat lebih dari 30 regimen dosis penggunaan misoprostol dalam bidang obstetri dan ginekologi. Regimen-regimen ini setidaknya mempunyai tiga cara pemberian yang berbeda. Walaupun demikian, tablet misoprostol dapat diserap, baik melalui oral, vaginal maupun rektal.
Khan R-U (2004) menyatakan dalam penelitiannya bahwa secara
farmakokinetik, misoprostol diserap paling baik secara intra-vaginal, sementara pemberian melalui oral mencapai konsentrasi puncak dengan sangat cepat namun turun kembali.23
1. Oral
Awalnya, penelitian tentang misoprostol bertujuan untuk mengetahui sifat farmakokinetik setelah pemberian oral. Setelah dikonsumsi, misoprostol dengan cepat dan hampir seluruhnya diabsorbsi disaluran pencernaan. Namun, ternyata misoprostol berhasil melalui metabolisme dengan cepat hingga membentuk asam misoprostol. Pada pemberian dengan dosis 400 μg, kadar plasma meningkat tajam dan berada di puncak selam 30 menit, lalu selama 120 menit mengalami penurunan dan tetap dalam keadaan rendah.15,22,23
2. Intravagina
Terbukti dari studi klinis bahwa pemberian secara intravagina lebih efektif jika dibandingkan dengan pemberian secara oral. Zieman dkk dalam penelitiannya melakukan perbandingan cara pemberian, dan menyatakan, berlawanan dari pemberian oral, konsentrasi plasma meningkat secara perlahan pada pemberian intravagina, dan mencapai kadar maximum 70-80 menit setelahnya sebelum akhirnya turun perlahan dengan kadar yang masih terdeteksi setelah 6 jam. 24
MISOPROSTOL Sebagai Zat Abortif
Pemberian obat-obatan untuk mengevakuasi jaringan sangat membantu mencegah terjadinya komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh prosedur pembedahan, Hal ini sangat berguna terutama di negara-negara berkembang. Misoprostol berbiaya murah, mudah didapat dan stabil pada suhu ruangan. Sementara Mifepristone lebih mahal dan hanya terdapat di negara tertentu. Misoprostol ternyata cukup efektif untuk evakuasi hasil konsepsi pada trimester pertama. Dari 20 wanita yang diberi misoprostol 400 μg oral atau 800 μg intra vaginal, sebanyak 25% persen mengalami abortus komplit 48 jam setelah pemberian oral sedangkan pada wanita yang diberi intravaginal mencapai 88%.
24
Tidak dijumpai komplikasi berupa perdarahan hebat atau incomplete abortion. Misoprostol yang digunakan pada incomplete abortion, sebanyak 24 wanita yang diberikan 400 μg misoprostol peroral, 95% mengalami complete
a. Efek pada uterus
Semula, reaksi yang ditimbulkan pada uterus dan servik berupa uterotonika dan pematangan servik dianggap sebagai efek samping dari kerja obat. Namun karena efek samping yang ditimbulkan ini misoprostol sekarang digunakan secara luas.
Arronson, Gemzell-Danielson meneliti efek misoprostol yang
menyebabkan kontraksi uterus, menyatakan setelah dosis tunggal yang diberikan peroral, ditemukan tonus uterus yang meningkat, namun, kadar plasma harus tetap dijaga hingga memerlukan dosis ulangan. Reaksi dari pemberian secara intra-vaginal sama dengan pemberian peroral, namun, setelah 1-2 jam kemudian, kontraksi uterus mulai teratur. Hal ini menggambarkan bahwa absorpsi intra-vaginal tidak konsisten. Pada kenyataannya, sisa tablet sering ditemukan beberapa jam setelah pemberian, mengindikasikan penyerapan bervariasi dan tidak menyeluruh.
25,26
Kondisi ini dapat disebabkan perbedaan situasi dan kadar Ph pada tiap-tiap wanita. Variasi dalam jumlah perdarahan juga dapat mempengaruhi penyerapan misoprostol melalui mukosa vagina.22,27,28
2.9. EFEK SAMPING
Pang M W ( 2001) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa efek samping
yang ditimbulkan melalui pemberian per-oral meningkatkan insidensi diare.
Zieman et al (1997) menyatakan bahwa puncak konsentrasi plasma
intravaginal. Diyakini bahwa tingginya kadar plasma mempengaruhi tingginya efek samping.22
Pada saluran cerna, efek samping yang ditimbulkan berupa diare, nyeri perut dan kram. Sementara pada jantung, walaupun jarang dijumpai, berupa nyeri dada, hipotensi, arritmia, dan pingsan. Disrefleksia juga dapat timbul akibat rangsangan tonus otot kemih yang meningkat. Ruptur uteri, perdarahan, dan kontraksi uterus merupakan efek samping yang timbul pada organ reproduksi wanita.
2.10. TOKSISITAS
Misoprostol merupakan obat yang aman. Seperti halnya obat lain, Misoprostol mempunyai tingkat toksisitas tersendiri. Dosis sebanyak 1600 μg merupakan dosis terbanyak yang masih bisa ditolerir. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat overdosis biasanya dyspnoe, kejang, tremor, hipotensi dan bradikardi.23,29,30