KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berbagai nikmat Iman, Islam dan kesehatan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Soekarnoputri Dalam Memperingati Hari Perempuan Internasional Di Harian Kompas (Jakarta 9 Maret 2015)”.
Skripsi ini disusun sebagai syarat utama kelulusan program studi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama) dengan konsentrasi Jurnalaistik, guna mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Komunikasi.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan penulis berharap skripsi ini bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk menambah nilai kesempurnaan dari skripsi ini.
Penullis,
Ranita
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah puja dan puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga Skripsi dapat diselesaikan. Dalam menyusun skripsi ini, penulis dibantu oleh banyak pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Sunarto, M.Si, selaku Rektor UPDM(B) yang turut berjasa dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
2. Dr. H. Hanafi Murtani, MM, selaku Dekan Fikom UPDM(B) yang telah bersedia mengembaan tanggung jawab untuk memimpin Fikom UPDM(B) untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
3. Dr. Hendry Prasetya, M.Si, selaku Kepala Program Studi, Fikom UPDM(B).
4. Dwi Ajeng Widarini, S.Sos, M.Ikom, selaku Kepala Jurusan Jurnalistik, Fikom UPDM(B)
5. Dr. Hj. Sally Astuti Wardhani, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi I, yang telah memberikan bimbingannya agar penyusunan skripsi ini menjadi lebih baik lagi.
6. Dr. Bambang Winarso, M.Sc , selaku dosen pembimbing skripsi II, yang telah membimbing dan meluangkan waktunya demi kelancaran dalam menyusun skripsi ini.
7. Krisna Sofiandi (Ayah) dan Siti Aminah (Ibu) yang telah mendukung moril maupun materil yang tidak pernah akan terbalas oleh penulis.
8. Seluruh staf dan karyawan Fikom UPDM(B) atas bantuannya untuk kelancaran penyusunan skripsi saya.
9. Denis Abdi, selaku partnermate yang juga ikut memberi dukungan kepada penulis.
10. Indra Akuntono, selaku Penulis berita di Harian Kompas.
11. Dedy Rahmady Ramly selaku kerabat yang selalu membantu penulis.
12. Tak lupa untuk sahabat yang selalu mendukung agar skripsi ini cepat selesai, Ais dan Fenny.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu demi kelancaran, hingga skripsi ini tersusun, yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis,
Ranita
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……….. i
UCAPAN TERIMA KASIH…..……….. ii
DAFTAR IS……… iv
DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR GAMBAR……….. viii
DAFTAR LAMPIRAN... ix
ABSTRAK... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian……… 1
1.2 Fokus Penelitian………14
1.3 Pertanyaan Penelitian………..14
1.4 Tujuan Penelitian………...15
1.5 Signifikasi Penelitian 1.5.1 Signifikansi Teoritis……….15
1.5.2 Signifikasi Praktis………16
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka……….17
2.2 Kerangka Konsep Penelitian Dan Teori………..25
2.2.1 Komunikasi………...26
2.2.2 Surat Kabar……….30
2.2.3 Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk…………. 32
2.2.4 Konstruksi Realitas Sosial………40
2.2.4.1 Proses Konstruksi Realitas………...40
2.2.4.2 Bahasa Sebagai Elemen Konstruksi Realitas………....42
2.2.4.3 Konstruksi Realitas Perempuan Oleh Media Massa………..42
2.2.5 Kesetaraan Gender Dan Politik………44
2.2.5.1 Politik Penandaan Oleh Media Massa……49
BAB III Metodologi Penelitian 3.1 Paradigma Penelitian………. 51
3.2 Metode Penelitian……… 52
3.3 Objek dan Subjek Penelitian………. 54
3.4 Teknik Pengumpulan Data……… 55
3.5 Teknik Keabsahan Data……… 56
3.6 Teknik Analisis Data………... 57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian………. 60
4.1.1 Sejarah Kompas………... 60
4.1.2 Visi Dan Misi Kompas……….. 61
4.1.3 Struktur Organisasi Kompas……….. 64
4.2 Deskripsi Subjek Penelitian……… 65
4.2.1 Profil Informan……….. 65
4.3 Deskipsi Hasil Penelitian………. 66
4.3.1 Hasil Penelitian Analisis Teks……… 66
4.3.2 Hasil Penelitian Kognisi Sosial……….. 71
4.3.3 Hasil Penelitian Konteks Sosial………. 77
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian………. 80
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan……….89 5.2 Saran………...91
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Perempuan Dalam Lembaga-Lembaga Politik Formal Di
Indonesia Tahun 2002………..8
Tabel 1.2 Jumlah Perempuan Di Dpr Ri………..9
Tabel 1.3 Perempuan Di Dpr Berdasarkan Fraksi Pada Tahun 1992- 2004………...10
Tabel 2.1 Penelitian Sejenis Terdahulu……….22
Tabel 2.2 Skema Penelitian Teun A. Van Dijk………..38
Tabel 2.3 Skema Penelitian Teun A. Van Dijk………..39
Tabel 4.1 Profil Informan………..66
Tabel 4.2 Analisis Struktur Tematik, Skematik, Dan Sematik………67
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Grafik Presentase Anggota DPR RI 2009-2014 Berdasarkan
Jenis Kelamin Per Parpol………..11 Gambar 2 Diagram Model Analisis Teun A. Van Dijk………..37 Gambar 3 Konstruksi Realitas Perempuan Oleh Media Massa………….44 Gambar 4 Model Analisis Data Interaktif………58
DAFTAR LAMPIRAN
1. Transkrip wawancara dengan Indra Akuntono tanggal 2 November 2015 2. Transkrip wawancara dengan Adelia Krisan tanggal 5 Oktober 2015 3. Transkrip wawancara dengan Deddy Rahmady Ramly tanggal 7 Oktober
2015
4. Transkrip wawancara dengan Diana Martini tanggal 9 Oktober 2015 5. Lembar berita “Megawati Imbau Perempuan Masuk Politik” (Koran
Kompas edisi 9 Maret 2915)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Setiap media massa memiliki tata caranya sendiri dalam menyampaikan pesan kepada khalayak. Tata cara ini juga mempengaruhi sudut pandang media massa menyajikan berita dalam suatu peristiwa.
Pemilihan kata dan narasumber, juga pemilihan foto atau gambar sebagai penguat dalam berita tersebut menunjukan apakah media massa sepakat atau tidak mengenai suatu peristiwa.
Fungsi media massa sebagai sarana informasi bagi masyarakat, sangat membantu memenuhi kebutuhan informasi dalam kehidupan sehari-hari. Segala peristiwa yang terjadi di sekitar dapat disampaikan dan diketahui oleh masyarakat melalui media sebagai alat untuk menyampaikan pesan yang mencakup berbagai macam aspek seperti aspek sosial dan budaya. Seperti satu yang dimuat pada harian Kompas 9 Maret 2015 di dalamnya mengenai “Pidato Budaya Megawati Soekarnoputri Saat Hari Perempuan Internasional”.
Pemberitaan pidato budaya Megawati Soekarnoputri saat memperingati Hari Perempuan Internasional pada Harian Kompas
(Jakarta 9 Maret 2015) membahas tentang Megawati Soekarnoputri yang menghimbau perempuan untuk masuk ke dunia politik.
“Banyak orang masih menganggap bahwa politik hanya urusan lelaki dan tabu untuk perempuan. Padahal kaum perempuan di Indonesia banyak yang berperan dalam perjuangan bangsa. Politik bagi perempuan itu tidak tabu. Bahkan negeri ini sebenarnya tidak pernah kering dari perempuan revolusioner,” kata Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri, saat menyampaikan pidato budaya “Tahun Penentuan bagi Perempuan Indonesia” dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (8/3).
Saat ini peran perempuan sangat dibutuhkan dalam dunia politik.
Sebab, permasalahan yang ada dalam hidup ini juga tidak lepas dari masalah-masalah keperempuanan. Maka dengan masuknya perempuan dalam kancah politik, diharapkan mampu membuat berbagai kebijakan yang tidak biasa terhadap permasalahan dengan solusinya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa disamping laki-laki yang sukses, ada peran aktif perempuan yang mampu memberikan motivasi dan kekuatan kepada laki-laki, sehingga negara akan mengalami kemajuan yang pesat.
Akan tetapi, bagi sebagian laki-laki yang disampingnya tidak ada peran aktif perempuan, maka kemungkinan besar negara akan mengalami kehancuran. Oleh karena itu, perempuan harus terjun untuk berpolitik dan masuk ke dalam struktur pemerintahan. Perempuan harus mampu memposisikan diri menjadi pemimpin.
Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk lebih dari 200 juta jiwa, keberhasilan pembangunan suatu Negara tidak terlepas dari peran serta warganya tanpa terkecuali. Namun kenyataannya perempuan
belum bisa menjadi mitra sejajar laki-laki, karena sistem budaya masyarakat Indonesia yang cenderung patriarki. Menurut Kamla Basin (Suparno,2005: 16) secara harfiah, kata patriarki berarti aturan bapak atau “patriarch”, dan pada mulanya digunakan untuk menunjukkan etnis tertentu rumahtangga besar (household) patriarki yang meliputi perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan pembantu rumahtangga yang semuanya berada di bawah aturan laki-laki yang dominan.
Dalam budaya patriarki, dunia politik dimaknai sebagai dunia laki- laki sementara dunia perempuan tersingkir. Kaum laki-lakilah yang memutuskan dan menetapkan berbagai kebijakan perundang-undangan termasuk yang menyangkut hak-hak dan kepentingan perempuan.
Perempuan dipandang sebelah mata jika dihadapkan sebagai pihak pengambil keputusan. Menurut Biro Pusat Statistik, pada tahun 2010 jumlah penduduk perempuan Indonesia sebanyak 127.700.802 orang atau 51 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Namun jumlah perempuan dalam posisi strategis untuk pengambilan keputusan sangat minim. Pada setiap pemilu, jumlah perempuan yang terpilih berkisar 8 sampai 10 persen.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah berupaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dengan mengembangkan kebijakan nasional yang responsif gender. Kesetaraan gender merupakan konsep yang menyatakan bahwa semua manusia baik laki-laki maupun
perempuan bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku dan prasangka-prasangka. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan sedangkan keadilan gender adalah keadilan dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup perlakuan yang setara atau perlakuan yang berbeda tetapi diperhitungkan ekuivalen dalam hak, kewajiban, kepentingan dan kesempatannya (Dwi, 2009: 34). Definisi kebijakan yang responsif gender adalah kebijakan yang memihak pada satu jenis kelamin yang tertinggal (Dwi, 2009: 65).
Hal tersebut diatas ditegaskan pula dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 dan Instruksi Presiden No.
9 Tahun 2000 tentang Pengurusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional.
Pelaksanaan pengurusutamaan gender dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 diinstruksikan kepada lembaga pemerintah baik departemen maupun non departemen di pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, untuk mengintegrasikan gender menjadi salah satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional demi terwujudnya kesetaraan gender. Sedangkan Undang- Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Legislatif telah mengamanatkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik. Pada Pasal 2 Undang- Undang No. 2 Tahun 2011 disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30 persen keterwakilan.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mengamanatkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik. Pada Pasal 2 Undang-Undang No.
2 Tahun 2011 disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Lebih lanjut pada Pasal 20 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang kepengurusan Partai politik ditegaskan pula tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30 persen.
Pada pasal 8 di Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 menyebutkan, penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk menjadi peserta pemilu. Sementara pada Pasal 53 Undang Undang tersebut juga menyatakan bahwa daftar calon memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Ditegaskan pula pada Pasal 66 yang menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional.
Lebih tegas dalam Peraturan KPU No 18 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu Tahun 2009, mengatur ketentuan persyaratan dan sanksi kepada Parpol yang tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut yaitu:
1. Jika daftar bakal calon yang diajukan tidak memuat sekurang- kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan, Parpol diberi kesempatan untuk memperbaiki daftar calon tersebut sehingga memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan selama masa perbaikan, yakni 10-16 September 2008. Jika sampai pada batas waktu yang ditentukan selama perbaikan Parpol tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut, maka KPU akan mengumumkan secara luas melalui media massa cetak dan elektronik nama-nama Parpol yang tidak memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam Daftar Calon Sementara (DCS) maupun Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, yaitu angka persentase keterwakilan perempuan masing-masing Parpol yang dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 57 UU No 10 Tahun 2008.
2. Jika penyusunan daftar bakal calon yang tidak menyertakan setiap tiga bakal calon anggota legislatif yang diajukan oleh Parpol, terdapat sekurang-kurangnya satu bakal calon perempuan, sampai batas waktu yang ditentukan tidak dipenuhi;
maka KPU akan memutuskan alasan yang disampaikan oleh Parpol dapat atau tidak dapat diterima. KPU juga akan mengumumkan secara luas melalui media massa Parpol yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam DCS/DCT dan dinyatakan melanggar Pasal 55 ayat (2) UU No 10 Tahun 2008.
(Ratnawati, 2004: 302)
Bahkan Depkum & HAM, sebagai lembaga verifikator legalitas Parpol, maupun KPU yang memverifikasi Parpol menjadi peserta Pemilu
2009, diberi kewenangan oleh Undang-Undang yang berlaku untuk tidak meloloskan Parpol yang tidak memenuhi syarat tersebut.
Secara umum ada tiga faktor yang cukup signifikan untuk menentukan keterwakilan perempuan, yaitu sistem pemilu, peran dari organisasi partai-partai politik serta penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action) yang bersifat wajib atau sukarela. Saat itu upaya yang dianggap paling strategis untuk memposisikan perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan melalui affirmative action, yaitu alat penting untuk mempertahankan paling tidak 30 persen perempuan agar tetap berada pada tingkat pembuat keputusan (Ratnawati, 2004:
304)
Adanya kebijakan yang responsif gender akan mempermudah akses perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Faktor penting pendukung suksesnya implementasi kebijakan tersebut, khususnya kebijakan keterwakilan perempuan, tidak hanya dari kaum perempuan itu sendiri tetapi juga berasal dari partai politik peserta pemilu. Pada pemilu- pemilu sebelumnya banyak partai kurang memperhatikan kebijakan keterwakilan perempuan. Mereka menganggap hal tersebut hanya sekedar anjuran atau himbauan yang tidak mengikat karena tidak ada sanksi hukum bagi pelanggarannya. Hal itu menjadi salah satu penyebab kurangnya keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Berikut ini data yang menunjukkan komposisi jumlah perempuan di parlemen selama ini:
Tabel 1.1
Perempuan dalam Lembaga-Lembaga Politik Formal di Indonesia Tahun 2002
No Lembaga Perempuan Laki-Laki
JUMLAH persen JUMLAH Persen
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 MPR 18 9,2 117 90,8
2 DPR 44 8,8 455 91,2
3 MA 7 14,8 40 85,2
4 BPK 0 0 7 100
5 DPA 2 4,4 43 95,6
6 KPU 2 18,1 9 81,9
7 GUBERNUR 0 0 30 100
8 WALIKOTA/BUPATI 5 1,5 331 98,5
9 ESELON III & IV 1.883 7,0 25.110 93
10 HAKIM 536 16,2 2.775 83,8
11 PTUN 35 23,3 150 76,6
Sumber: (Ratnawati. 2004:301)
Tabel 1 menjelaskan, prosentase tertinggi jumlah perempuan di lembaga politik formal di Indonesia tahun 2002 terdapat pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yaitu 23 persen, sedangkan prosentase terendah bahkan tidak ada perempuannya (0persen) di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Gubernur.
Tabel 1.2
Jumlah Perempuan di DPR RI
No Periode Perempuan
(Orang)
Jumlah Anggota
(Orang)
Presentase (persen)
(1) (2) (3) (4) (5)
1 1950 – 1955 (DPRS) 1955 – 1960
9 17
236 272
3,8 6,3 2 1956 – 1959
(Konstituante)
25 488 5,1
3 1971 – 1977 36 460 7,8
4 1977 – 1982 29 460 6,3
5 1982 – 1987 39 460 8,5
6 1987 – 1992 65 500 13
7 1992 – 1997 62 500 12,5
8 1997 – 1999 54 500 10,8
9 1999 – 2004 45 500 9
10 2004 – 2009 61 550 11
Sumber: (Ratnawati. 2004:298)
Menurut tabel 2 jumlah perempuan di DPR RI mengalami peningkatan 6 kali mulai periode 1955-1960 hingga 1987-1992. Tapi pada periode berikutnya mengalami penurunan jumlah perempuan di DPR RI sebanyak 3 kali yaitu tahun 1992-1997 hingga 1999-2004. Kemudian pada periode 2004-2009 jumlah perempuan di DPR RI mengalami peningkatan kembali. Prosentase terbesar jumlah perempuan di DPR RI pada periode 1987-1992 yaitu 13 persen sedangkan prosentase terendah ada pada periode 1950-1955 yaitu 3,8 persen.
Tabel 1.3
Perempuan di DPR berdasarkan Fraksi Pada Tahun 1992-2004 No Fraksi 1992-1997 1997-1999 1999-2004
Orang persen Orang persen Orang persen
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 PPP 4*
(62**)
6,4 6*
(89**)
6,7 3*
(58**)
5,2 2 GOLKAR 48*
(282**)
17 43*
(325**)
13,2 16*
(120**)
13,3 3 PDI-P 6*
(56**)
10,7 1*
(11**)
9 15*
(153**)
9,8 4 ABRI/TNI 4*
(100**)
4 4*
(75**)
5,3 3*
(38**)
7,9 5 Total 62*
(500**)
12,4 54*
(500**)
10,8 45*
(400**)
9
Sumber: (Ratnawati. 2004:300) Keterangan:
* Perempuan ** Total
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa prosentase jumlah perempuan dalam DPR mengalami penurunan di tiap periodenya. Fraksi goklar menyumbangkan prosentase keterwakilan perempuan terbesar dibandingkan dengan ketiga fraksi yang lain.
Gambar 1
Sumber : Internet – google.com
Wartafeminis.com/page/9/?archives-list&archives-type=months Sabtu,10 Oktober 2015 (13:51 WIB)
Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui bahwa presentase laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan sebagai Anggota DPR RI 2009-2014. Ini menunjukkan bahwa minat perempuan masih kurang di dunia politik. Laki-laki masih memegang kedudukan yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan.
Adanya peraturan perundang-undangan semakin mempertegas kebijakan keterwakilan perempuan, pemberlakuan pasal-pasal afirmatif diharapkan dapat memberikan implikasi signifikan terhadap peningkatan jumlah perempuan dalam parlemen. Hal tersebut tentu saja tidak terlepas
113
88 77
54
39 33
21 22
14 35
18 17
3 7 5 7 4 3
Demokrat Golkar PDIP PKS PAN PPP PKB Gerindra Hanura
Grafik Presentase Anggota DPR RI 2009-2014 Berdasarkan Jenis Kelamin per Parpol
laki-laki perempuan
dari peran parpol, sebagai salah satu pilar demokrasi memiliki fungsi pendidikan dan rekruitmen, serta sosialisasi politik harus ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar politik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang signifikan seperti laki-laki.
Sudah saatnya memperkuat kebijakan politik, yang membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi perempuan Indonesia. Pendidikan adalah jalan pembebasan bagi kaum perempuan Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya. Demikian halnya, terkait dengan kebutuhan pokok rakyat. Ketika Megawati diberi kesempatan memimpin negeri ini, satu hal yang terus menjadi perjuangan pentingnya stabilitas harga kebutuhan pokok. Ini menjadi salah satu tolak ukur bagi Megawati, apakah sudah berdaulat di bidang pangan, atau sebenarnya hanya bicara ketahanan pangan. Pilihan ideologis atas persoalan ini adalah bahwa negara harus berdaulat di bidang pangan. Negara harus memastikan kesediaan pangan yang cukup dengan harga terjangkau.
Megawati paham, hal ini bukanlah masalah sederhana. Diperlukan tekad politik yang kuat untuk berani menolak impor misalnya; Integrasi kebijakan hulu-hilir di sektor produksi dan distribusi pangan, serta adanya politik anggaran yang berpihak agar berbagai persoalan terkait dengan infrastruktur pertanian dapat secepatnya diselesaikan. Kepeloporan
kaum perempuan di sektor ini sangatlah penting. Kaum Perempuan dengan seluruh daya kreasinya, mampu mengemas, ketersediaan sumber pangan yang bergizi dan bervariasi bagi keluarganya. Intermezo:
harga kebutuhan pokok yang semakin tingi (beras, cabe dll) dan bagaimana berupaya menyajikan menu makanan yang murah dan bergizi dari sumber dalam negeri.
Persoalan lain yang dihadapi kaum perempuan Indonesia adalah tingginya angka kematian Ibu yang melahirkan. Angka kematian bahkan melampaui target MDG‟s yang mematok 102 per setiap 100 ribu kelahiran. Sementara, di Indonesia terjadi 359 kematian dari setiap 100 ribu kelahiran. Berdasarkan catatan dari BKKBN, angka kelahiran di Indonesia 4 sampai 5 juta setiap tahunnya. Artinya, 1.436 saudara perempuan meninggal setiap tahun karena melahirkan. Lebih dari 69 tahun merdeka, dan Indonesia masih jauh tertinggal di dalam memberikan jaminan kehidupan bagi warga bangsanya. Diperlukan perubahan revolusioner mencakup aspek mental, adat istiadat, pendidikan, kesehatan, dan perhatian yang begitu besar terhadap Ibu-ibu hamil agar terpenuhilah seluruh gizi dan jaminan kesehatan yang diperlukan.
Menjadi seorang pemimpin harus mempunyai keteladanan dan penuh pengabdian. Seorang pemimpin tidak boleh hanya dikenal karena popularitas di media massa saja, tetapi juga intelektual, bermoral dan spiritual. Selain itu, peran dan kerja nyata dalam masyarakat juga sangat
diperlukan. Megawati Soekarnoputri sebagai perempuan yang berpengaruh di Indonesia memiliki harapan besar kepada bangsa Indonesia khususnya perempuan-perempuan Indonesia untuk mau berkiprah di bidang politik.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis akan menganalisis mengenai “Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Soekarnoputri Dalam Memperingati Hari Perempuan Internasional Di Harian Kompas (Jakarta 9 Maret 2015).”
1.2 Fokus Penelitian
Judul yang dipilih dalam penelitian ini “Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Soekarnoputri Dalam Memperingati Hari Perempuan Internasional Di Harian Kompas (Jakarta 9 Maret 2015).” Adapun fokus penelitianya adalah bagaimana pidato yang disampaikan Megawati Soekarnoputri dikaitkan dalam proses kegiatan politik sesungguhnya di Negara Indonesia.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Menggunakan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) menggunakan model analisis wacana kritis dari Teun A. Van Dijk, penulis akan mengungkap:
1. Bagaimana surat kabar harian Kompas menggambarkan realitas yang terjadi dalam Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Saat Memperingati Hari Perempuan Internasional ?
2. Apa saja yang ditonjolkan atau focus berita pada Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Saat Memperingati Hari Perempuan Internasional pada surat kabar harian Kompas?
1.4 Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini, penulis mencoba meneliti Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Saat Memperingati Hari Perempuan Internasional pada surat kabar harian kompas. Adapun tujuannya adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pemberitaan Pidato Budaya Megawati Saat Memperingati Hari Perempuan Internasional pada surat kabar harian kompas.
2. Untuk mengetahui dan mengkritisi pemberitaan seperti apa yang dikembangkan dan realitas apa saja yang ditonjolkan atau menjadi focus berita pada pemberitaan Pidato Budaya Megawati Saat Memperingati Hari Perempuan Internasional pada surat kabar harian Kompas.
1.5 Signifikansi Penelitian
1.5.1 Signifikansi Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk penelitian lanjutan mengenai pemberitaan oleh media massa, khususnya mengenai Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Saat Memperingati Hari Perempuan Internasional pada surat kabar harian kompas dan juga untuk memperkaya wacana penelitian terhadap kajian mengenai pemberitaan melalui analisis. Penelitian ini juga diharapkan memperkaya jenis penelitian komunikasi yang terdapat di FIKOM UPDM (B).
1.5.2 Signifikasi Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan terhadap media massa khususnya media cetak (surat kabar) didalam mengemas suatu berita agar lebih obyektif dalam memberitakan atau menyajikan suatu realitas social sehingga media massa yang berfungsi sebagai control social dapat terpenuhi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.3 Kajian Pustaka dan Penelitian Sejenis
Kajian pustaka adalah berupa ringkasan, rangkuman dan teori yang ditemukan dari sumber literatur yang ada kaitannya dengan tema yang diangkat dalam penelitian. Dalam bab ini penulis menguraikan beberapa tinjauan literatur yang merujuk kepada hal-hal yang dianggap penting dan mempunyai keterkaitan dengan permasalahan di dalam penelitian ini.
Kajian pertama dilakukan oleh Rosarina Muri (Universitas Sebelas Maret 2009), judul penelitian “Evaluasi Respon Partai Politik Terhadap Pemenuhan Kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan dalam Pencalonan Anggota Legislatif pada Pemilu 2009”. Adapun masalah penelitiannya, bagaimana partai politik merespon pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif pada pemilu 2009. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan studi evaluasi, lebih tepatnya menggunakan desain single program after only. Tujuan penelitian yaitu, mengevaluasi
respon partai politik memenuhi kuota 30persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif pada pemilu 2009 dan mengetahui ada tidaknya kesenjangan gender dalam partai politik dilihat dalam aspek peran, akses, kontrol dan manfaat. Perbedaan yang relevan pada penelitian ini membahas mengenai Pemenuhan Kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan dalam Pencalonan Anggota Legislatif pada Pemilu 2009. Hasil penelitian yang dilakukan Partai politik memberikan respon positif terhadap pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif pada pemilu 2009. Pada dasarnya baik partai yang berideologi nasionalis ataupun Islam telah melakukan system zipper, sesuai dengan Undang-Undang No. 10 tahun 2008, tetapi bagi partai Golkar dan PPP, kesulitan mencari caleg perempuan sehingga tidak bisa memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Hal ini karena rendahnya minat perempuan untuk terjun dalam dunia politik.
Kajian kedua dilakukan oleh Haiatul Umam (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 2009), judul penelitian “Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Terhadap Skenario Film “Perempuan Punya Cerita”.
Masalah penelitian yaitu bagaimana pesan teks skenario film
”Perempuan Punya Cerita” menurut analisis wacana Teun A. Van Dijk?, bagaimana kognisi sosial skenario film ”Perempuan Punya Cerita”
menurut analisis wacana Teun A. Van Dijk?. Metodologi penelitian yang digunakan ialah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tujuan
penelitian untuk mengetahui idealisme pembuat film dalam memproduksi film (termasuk membuat skenario) dan menampilkan realita tentang perempuan di film ”Perempuan Punya Cerita”. Teori penelitian yang digunakan Critical Theory (Teori-Teori Kritis). Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk. Perbedaan yang relevan Pada penelitian ini membahas mengenai Skenario Film “Perempuan Punya Cerita”. Hasil penelitian yang dilakukan Tema umum yang terdapat dalam film ”Perempuan Punya Cerita” adalah mengenai masalah yang menimpa perempuan, diantaranya masalah hak-hak perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan kesehatan reproduksi perempuan, skema dalam film
”Perempuan Punya Cerita” adalah membahas mengenai alur cerita dari pendahuluan sampai akhir, dan skenario film ”Perempuan Punya Cerita”, antara bagian teks dilihat saling mendukung dan mengandung arti yang koheren satu sama lain.
Kajian ketiga oleh Desy Setyowati (Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) 2013), dengan judul “Analisis wacana kritis pemberitaan perempuan dalam kasus korupsi di detik.com periode februari-maret 2013”. Masalah penelitian memfokuskan pada bagaimana posisi perempuan yang masuk dalam pusaran kasus korupsi. Metodologi penelitian yang digunakan ialah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tujuan penelitian adalah mengetahui bagaimana posisi perempuan yang masuk dalam pusaran kasus korupsi ditempatkan dalam berita oleh Detik.com, sehingga dapat dipahami hal-hal yang menjadi
fokus berita tersebut,. Teori paradigm penelitian yang digunakan Critical Theory (Teori-Teori Kritis). Analisis Wacana Model Teun Sara Mills.
Perbedaan yang relevan Pada penelitian ini membahas mengenai pemberitaan perempuan dalam kasus korupsi di detik.com periode februari-maret 2013. Hasil penelitian yang diakukan yaitu Pemberitaan perempuan dalam kasus korupsi di Detik.com periode Februari-Maret 2013 diberitakan secara terbuka dan jelas sehingga pembaca mendapatkan informasi yang aktual. Memberi gambaran mengenai posisi perempuan yang masuk dalam pusaran kasus korupsi, dimana media memotret sebuah fenomena yang dikemas dan dihadirkan menjadi sebuah “realitas” yang diketahui oleh khalayak.
Kajian keempat dilakukan oleh Ranita Universitas Prof. Dr.
Moestopo (Beragama) 2015, dengan judul “Analisis Wacana Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Soekarnoputri Dalam Memperingati Hari Perempuan Internasional Di Harian Kompas (Jakarta 9 Maret 2015)”.
Masalah penelitian dalam penelitian deskriptif kualitatif ini memfokuskan pada Wacana Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Saat Memperingati Hari Perem-puan Internasional. Metodologi penelitian yang digunakan ialah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tujuan penelitian yaitu melakukan analisis wacana kritis menggunakan metode analisis wacana model Van Dijk terhadap Pemberitaan Pidato Budaya Megawati Saat Memperingati Hari Perempuan Internasional pada surat kabar harian kompas. Melakukan penelitian dan mengkritisi pemberitaan seperti apa
yang dikem-bangkan dan realitas apa saja yang ditonjolkan atau menjadi focus berita pada Pemberitaan tersebut. Teori yang digunakan Critical Theory (Teori-Teori Kritis). Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk. Hasil penelitian yang dilakukan yaitu perempuan boleh masuk ke dunia politik asalkan punya kemauan, kemampuan dan lebih aktif. Perempuan masuk ke dunia politik tidak lagi dianggap tabu, karena perempuan Indonesia sekarang telah banyak yang berperan dalam perjuangan bangsa.
Masuknya perempuan ke dunia politik akan dapat mengisi keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen dan perempuan seharusnya dapat berkiprah di Indonesia yang telah merdeka, bukan lagi zamannya bagi perempuan untuk datang, duduk, dan diam.
Tabel 2.1
Penelitian Sejenis Terdahulu No Peneliti
Unsur Yang Diteliti
Rosarina Muri (Universitas Sebelas Maret
2009)
Haiatul Umam (Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
2009)
Desy Setyowati (Universitas
Prof. Dr.
Moestopo (Beragama)
2013)
Ranita (Universitas
Prof. Dr.
Moestopo (Beragama)
2015)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Judul Penelitian
Evaluasi
Respon Partai Politik
Terhadap Pemenuhan Kuota 30 persen
Keterwakilan Perempuan dalam Pencalonan Anggota
Legislatif pada Pemilu
2009
Analisis Wacana Teun A. Van Dijk
Terhadap Skenario Film
“Perempuan Punya Cerita”
Analisis wacana kritis pemberitaan perempuan dalam kasus korupsi di detik.com periode februari- maret 2013
Analisis Wacana Pemberitaan Pidato
Budaya Megawati Soekarnoputri Dalam
Memperingati Hari
Perempuan Internasional Di Harian Kompas (Jakarta 9 Maret 2015) 2 Masalah
Penelitian
Bagaimana partai politik merespon
pemenuhan kuota 30 persen
keterwakilan perempuan dalam pencalonan
-Bagaimana pesan teks skenario film
”Perempuan Punya Cerita”
menurut analisis wacana Teun A. Van Dijk?
Bagaimana posisi perempuan yang masuk dalam
pusaran kasus korupsi.
Bagaimana wacana Pemberitaan Pidato
Budaya Megawati Saat
Memperingati Hari Perem- puan
anggota
legislatif pada pemilu 2009.
-Bagaimana kognisi sosial skenario film
”Perempuan Punya Cerita”
menurut analisis wacana Teun A. Van Dijk?
Internasional.
3 Metodologi Penelitian
Studi evaluasi, menggunakan desain single program after only.
Jenis penelitian deskriptif, analisis pendekatan kualitatif.
Jenis penelitian deskriptif analisis pendekatan Kualitatif.
Jenis penelitian deskriptif, analisis pendekatan Kualitatif.
4 Tujuan Penelitian
1. Mengevaluas i respon partai politik di Surakarta memenuhi kuota 30 persen
keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif pada pemilu 2009.
2. Mengetahui ada tidaknya kesenjangan gender
dalam partai politik dilihat dalam aspek peran, akses, kontrol dan manfaat.
Untuk mengetahui idealisme pembuat film dalam
memproduksi film
(termasuk membuat skenario) dan menampilkan realita
tentang perempuan di film
”Perempuan Punya Cerita”.
Mengetahui bagaimana posisi perempuan yang masuk dalam
pusaran kasus korupsi ditempatkan dalam berita oleh
Detik.com, sehingga dapat
dipahami hal- hal apa yang menjadi fokus berita tersebut.
1. Untuk mengetahui bagaimana pemberitaa n Pidato Budaya Megawati Saat Mempering ati Hari Perempuan Internasion al pada surat kabar harian kompas.
2. Untuk mengetahui dan
mengkritisi pemberitaa n seperti apa yang dikembang kan dan realitas apa saja yang ditonjolkan atau
menjadi
focus berita pada
pemberitaa n Pidato Budaya Megawati Saat Mempering ati Hari Perempuan Internasion al pada surat kabar harian Kompas.
5 Teori Paradigma Penelitian
Critical Theory (Teori-Teori Kritis). Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk
Critical Theory (Teori-Teori Kritis).
Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk
Critical Theory (Teori-Teori Kritis).
Analisis Wacana Model Teun Sara Mills
Critical
Theory (Teori- Teori Kritis).
Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk 6 Perbedaan
Yang Relevan
Pada penelitian ini membahas mengenai Pemenuhan Kuota 30 persen
Keterwakilan Perempuan dalam Pencalonan Anggota
Legislatif pada Pemilu 2009
Pada
penelitian ini membahas mengenai Skenario Film
“Perempuan Punya Cerita”
Pada
penelitian ini membahas mengenai pemberitaan perempuan dalam kasus korupsi di detik.com periode februari- maret 2013
Pada
penelitian ini membahas mengenai Pidato Budaya Megawati Soekarnoputri Dalam
Memperingati Hari
Perempuan Internasional 7 Hasil
Penelitian
1. Partai politik memberikan respon positif terhadap pemenuhan kuota 30 persen
keterwakilan perempuan dalam
Tema umum yang
terdapat dalam film
”Perempuan Punya Cerita”
adalah mengenai masalah
Pemberitaan perempuan dalam kasus korupsi di Detik.com periode februari- maret 2013 diberitakan secara
pencalonan anggota legislatif pemilu 2009.
2. Pada dasarnya baik partai yang
berideologi nasionalis ataupun Islam telah melakukan system zipper, sesuai dengan Undang- Undang No.
10 tahun 2008, tetapi bagi partai Golkar dan PPP
kesulitan mencari caleg perempuan sehingga tidak bisa memenuhi kuota 30 persen
keterwakilan perempuan karena rendahnya minat perempuan untuk terjun dalam dunia politik.
yang menimpa perempuan, diantaranya masalah hak-hak perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan
kesehatan reproduksi perempuan.
Skema dalam film
”Perempuan Punya
Cerita”
adalah membahas mengenai alur cerita dari
pendahuluan sampai akhir. Dalam skenario film
”Perempuan Punya Cerita”, antara
bagian teks dilihat saling mendukung dan
mengandung arti yang koheren satu sama lain.
terbuka dan jelas
sehingga pembaca mendapatkan informasi yang aktual.
Serta member gambaran mengenai posisi perempuan yang masuk dalam
pusaran kasus korupsi.
Dimana media memotret sebuah fenomena kemudian dikemas dan dihadirkan menjadi sebuah
“realitas”
yang diketahui oleh khalayak.
2.4 Kerangka Konsep Penelitian dan Teori
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo,2002). Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah penelitian.
Penyusunan kerangka konsep akan membantu untuk membuat hipotesis, dan membantu peneliti dalam menghubungkan hasil penemuan dengan teori yang telah diamati (Sugiyono 2011:60).
Kerangka teori berfungsi untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori adalah “Pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa dan asas,aturan serta hukum yang menjadi dasar untuk melakukan sesuatu.
Snelbecker mendefinisikan: “teori sebagai proposisi yang berinteraksi secara sintaksi, yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis dengan lainnya dengan data atas dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk menjelaskan fenomena yang diamati”. (1974:31)
Dari segi fungsi teori menurut Snelbecker ada beberapa fungsi suatu teori yaitu : (1) Mensistematiskan penemuan-penemuan suatu teori, (2) Menjadi pendorong untuk menyusun hipotesis dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban serta membuat ramalan-ramalan atas dasar penemuan. (3) Sebagai penyaji penjelasan dalam menjawab pertanyaan.
2.4.1 Komunikasi
Komunikasi merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, sehari-hari karena manusia selalu melakukan kegiatan komunikasi dalam setiap aktifitas yang dilakukannya. Tanpa komunikasi kehidupan manusia akan terasa hampa dan interaksi sosial mustahil terjadi. Manusia selain sebagai makhluk individu , juga disebut sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lain. Melalui komunikasi manusia dapat menyampaikan informasi, opini, ide perasaan serta sikap kepada sesamanya secara timbal balik.
Komunikasi merupakan salah satu unsur penting dalam berinteraksi, baik secara verbal maupun non verbal. Dengan komunikasi yang baik maka interaksi yang terjadi akan semakin mudah dan berjalan sesuai tujuan.
Istilah komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin, yaitu “communicatio” yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata
Sifatnya “communis”, yang bermakna umum atau bersama-sama.
(Wiryanto, 2004). Hoveland (1948) mendefinisikan komunikasi sebagai proses dimana individu mentransmisikan stimulus untuk mengubah perilaku individu yang lain.
Definisi lain dari Bernard Berelson dan Gary A.Steiner (1964), komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi. Komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Pendapat lain dari Raymond S.Ross (1983), mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan oleh sang komunikator.
Menurut Everett M.Rogers dan Lawrence Kincaid (1981) menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam. Harold Lasswell menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut, Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With
What Effect? atau siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dengan pengaruh bagaimana? (Mulyana,2001:62).
Dari definisi yang telah disampaikan oleh Lasswell tersebut, kemudian dapat dirumuskan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu:
a) Sumber (source)
Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber dapat berupa orang, lembaga, buku dan sejenisnya. Sumber (source) sering juga disebut sebagai comunicator, encoder, maupun sender.
b) Pesan (message)
Pesan (message) adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh sumber kepada penerima. Pesan ini mempunyai inti pesan (theme) yang sebenarnya menjadi pengarah di dalam usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku penerima.
c) Media (channel)
Media merupakan alat atau saluran penyampaian pesan yang digunakan oleh sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.
d) Penerima (receiver)
Receiver adalah pihak yang menerima pesan dari sumber.
Receiver ini dapat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu orang per orang (personal), kelompok, dan massa.
e) Efek (effect)
Efek adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yakni sikap dan tingkah laku orang, sesuai atau tidak sesuainya dengan yang diinginkan oleh sumber. Bila sikap dan tingkah laku penerima pesan sesuai, maka itu berarti komunikasi berhasil, demikian pula sebaliknya. Efek dari komunikasi ada dua jenis, yaitu efek primer dan efek sekunder. Efek primer terdiri dari terpaan, perhatian, dan pemahaman. Sedangkan efek sekunder terdiri dari perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap) dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). (Widjaja, 1987:57-65)
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi berupa gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol yang kemudian terjadi saling pengertian antara komunikan dan komunikator.
Proses komunikasi yang dilakukan oleh setiap individu, memiliki fungsi dan tujuan. R. Wayne Pace, Brent D. Peterson and M.Dallas Burnett dalam bukunya, ”Techniques For Effective Communication”,
menyatakan bahwa tujuan komunikasi terdiri dari empat tujuan utama, yaitu :
Perubahan Sikap (attitude change) Perubahan Pendapat ( Opinion change) Perubahan Perilaku (Behaviour Change)
Perubahan Sosial (Social Change) (Nurudin, 2004: 192).
Untuk mengubah perilaku seseorang, kegiatan komunikasi dapat dilakukan melalui empat cara :
a. Secara Persuasive (bujukan)
Komunikasi yang dilakukan dengan bujukan terhadap sasaran komunikasi, terutama menyentuk aspek emosinya secara bertahap dan berkelanjutan sehingga sasaran mau melakukan apa yang dikehendaki oleh komunikator.
b. Secara Pervation (pengulangan)
Komunikasi dilakukan dengan melakukan pengulangan pesan sehingga sasaran melakukan apa yang dikehendaki oleh komunikator.
c. Secara Compulsion (paksaan)
Teknik pemaksaan secara tidak langsung terhadap sasaran dengan menciptakan kondisi-kondisi yang membuat sasaran harus mengikuti kehendak komunikator.
d. Secara Coersion (paksaan dengan sanksi)
Teknik pemaksaan secara langsung dengan memberikan sanksi baik berupa hukuman maupun hadiah kepada sasaran komunikasi bila tidak melakukan atau melakukan apa yang dikehendaki oleh komunikator. Misalnya pemberian penghargaan pada peserta KB (Rejeki dan Herawati, 1999:9-10).
2.4.2 Surat Kabar
Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan media elektronik. “media cetak yang dapat memenuhi kriteria sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah.
Sedangkan media elektronik yang memenuhi criteria media massa adalah radio siaran, televise, film, media on-line (internet). Setiap media cetak memiliki karakteristik yang khas.”(Elvinaro,2007:103)
Disamping munculnya media-media baru dengan kemajuan teknologi surat kabar tetap menjadi salah satu sumber informasi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat, surat kabar dituntut menjadi wakil dari masyarakat yang senantiasa membela kebenaran dan membela kum yang lemah dari kekuatan yang besar.
“Surat kabar adalah lembaran tercetak yang memuat laporan yang terjadi di masyarakat dengan cirri-ciri, terbit secara periodic, bersifat umum, isinya missal atau actual, mengenai apa saja dan dimana saja di seluruh dunia yang mengandung nilai untuk diketahui khalayak pembaca.”(Effendi,2003:241)
Lima syarat surat kabar menurut Karl Natwitzch yang harus dipenuhi:
1. Publisitas artinya surat kabar tersebut diterbitkan oleh public, masyarakat umum untuk siapa saja.
2. Perioderitas artinya surat kabar tersebut terbit pada waktu-waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
3. Aktualitas artinya isi dari surat kabar actual belum pernah dimuat sebelumnya. Isi surat kabar terdiri dari isi bidang redaksi dan isi bidang perusahaan. Isi bidang redaksi merupakan hal-hal yang hangat dan baru.
4. Universal artinya isi dari surat kabar tidak mengenai satu persoalan saja, isinya mengenai semua yang menjadi persoalan yang menjadi perhatiaan manusia.
5. Kontinuitas artinya isi dari surat kabar berkesinambungan.
(Effendi,1989:241)
Surat kabar selaku media cetak juga memiliki syarat yang mengatur suatu lembaga pers dalam melakukan penerbitan.
Gultung dan Ruge menjelaskan, bahwa: “Organisasi kantor berita modern cenderung lebih menyenangi peristiwa yang memenuhi criteria sebagai berikut: memiliki tenggang waktu yang singkat (bersifat mendadak atau tiba-tiba) memiliki skala intensitas dan berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak, jelas dan tidak meragukan, tidak diharapkan sebelumnya, secara budaya dekan dengan public sasaran, memiliki kesinambungan telah pernah diberitakan dan tetap sesuai dengan gambaran dan dugaan terdahulu”. (McQuail,1991;166)
Organisasi kantor berita modern terlebih-lebih bekerja semakin maksimal, terlihat dari semakin baiknya kinerja dari menejemen organisasinya. Luckmman juga menambahkan bahwa laporan berita harus factual, dapat diuji, serta bila memungkinkan dapat dikaitkan langsung kepada sumber wewenang yang dapat dipercaya. Setidaknya ada suatu penekanan terhadap sifat-sifat isi yang sejalan dengan kegiatan perolehan antara lain: siap diperoleh dan biayanya murah dan sesuai dengan harapan. Dekat hubunganya dengan kekuasaan dan penguasa serta memiliki daya yang tidak mengganggu. Akurasi kepercayaan dari suatu berita dikatakan langsung pada sumber
berwenang agar diperoleh tujuan yang sesuai dengan tujuan pemberitaan.
2.4.3 Analisis Wacana Model Teun A. Van Dijk
Secara etimologi, istilah wacana seperti yang dikutip Dedy Mulyana berasal dari bahasa sansekerta wac/wak/vak, yang memiliki arti
‟berkata‟ atau „berucap‟. Kemudian kata tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata ‟ana‟ yang berada dibelakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna membedakan (nominalisasi). Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan.
Dalam kamus bahasa Jawa kuno Indonesia karangan Wojowasito terdapat kata waca berarti baca, wacaka berati mengucapkan dan kata wacana berarti perkataan (Mulyana,2005: 3).
Analisis wacana atau discourse analysis adalah cara atau metode untuk mengkaji wacana yang terdapat atau terkandung di dalam pesan-pesan komunikasi baik, secara tekstual maupun kontekstual.
Analisis wacana berkenaan dengan isi pesan komunikasi, yang sebagian di antaranya berupa teks (Pawito,2007:170). Di samping itu, analisis wacana juga dapat memungkinkan melacak variasi cara yang digunakan oleh komunikator (penulis, pembicara, sutradara) dalam upaya mencapai tujuan atau maksud-maksud tertentu melalui pesan-pesan berisi wacana-wacana tertentu yang disampaikan.
Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisiannya hanya kepada soal kalimat dan baru belakangan ini sebagian ahli bahasa memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana. Meskipun pendefinisian mengenai wacana kenyataannya memang berbeda-beda sesuai dengan perspektif teori yang digunakan, pada umumnya disepakati bahwa wacana sebenarnya adalah proses sosiokultural sekaligus juga proses linguistik. Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan pada ”How the ideological significance of news is part and parcel of the methods used to process news” (bagaimana signifikasi ideologis merupakan bagian dan menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media). (Pawito,2007: 171)
Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini selain demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan lingkungan hidup. Akan tetapi, seperti umumnya banyak kata, semakin tinggi disebut dan dipakai kadang bukan semakin jelas, tetapi semakin membingungkan dan rancu. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat (Eriyanto,2008: 1).
Menurut Collins English Dictionary, wacana adalah komunikasi verbal, ucapan dan percakapan. Sedangkan menurut J.S.Badudu wacana merupakan rentetan kalimat yang berkaitan, yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.
Van Dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah bangun teoritis yang abstrak (The abstract theoritical construct) dengan begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan fisik bahasa.
Adapun perwujudan wacana adalah teks (Abdul,2004).
Secara ringkas dan sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan. Oleh karena itu dinamakan analisis wacana.
Sebuah kalimat bisa terungkap bukan karena ada orang yang membentuknya dengan motivasi atau kepentingan subjektif tertentu.
Terlepas dari apa pun motivasi atau kepentingan orang ini, kalimat yang dituturkannya tidaklah dapat dimanipulasi semau-maunya oleh yang bersangkutan. Kalimat itu hanya dibentuk, hanya akan bermakna, selama ia tunduk pada sejumlah ”aturan” gramatika yang berada di luar kemauan, atau kendali si pembuat kalimat. Aturan- aturan kebahasan tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang bagaimana pun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik.
Istilah wacana sekarang ini dipakai sebagai terjemahan dari perkataan bahasa Inggris discouse. Kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti lari kian kemari, yang bisa diartikan komunikasi dengan pikiran, dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau
gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan. (Abdul,2004)
Ismail Muhaimin (2004) mengartikan wacana sebagai
”kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya, dan komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur”. Jika definisi dipakai sebagai pegangan, maka dengan sendirinya semua tulisan yang teratur, yang menurut urut-urutan yang semestinya, atau logis, adalah wacana.
Karena itu, sebuah wacana harus punya dua unsur penting, yakni kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence).
Sebuah tulisan adalah sebuah wacana. Tetapi, apa yang dinamakan wacana itu tidak perlu hanya sesuatu yang tertulis seperti diterangkan dalam kamus Websters; Sebuah pidato pun adalah wacana juga. Jadi, wacana dikenal lisan dan wacana tertulis. Istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaraan dimuka umum, tulisan, serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon.
Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman terntentu yang tersebar luas. Diskursus atau analisis wacana merupakan sebuah tindakan social yang didalamnya terdapat dialog (baik berupa tulisan atau pun tertulis) yang bersifat social.
Artinya pertanyaan yang dibuat, kata-kata yang digunakan bergantung dimana dan pada keadaan apa pernyataan tersebut dibuat, kata-kata
yang digunakan bergantung bagaimana dan pada keadaan apa pernyataan tersebut dibuat. Dengan kata lain, analisis wacana dibentuk secara sosial dan secara historis, akibatnya akan terdapat diskursus yang berbeda-beda tergantung institusi dan praktek sosial yang membentuknya, dan dengan posisi siapa yang berbicara serta ditunjukkan kepada siapa.
Memperhatikan kenyataan bahwa diskursus tidak pernah netral, maka implikasi penelitian dengan analisis diskursus berguna untuk menyibak permasalahan ketidakseimbangan yang terjadi dalam masyarakat (ketidakseimbangan yang mendasar tentang kelas, memaksakan ketidakseimbangan dalam hal, ras, gender dan religi).
Banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh para ahli Eriyanto (2001) dalam buku analisis wacana-nya, misalnya, menyajikan model-model analisis wacana yang dikembangkan oleh Theo Van Leeuwen (1986), Sara Milles (1992), Norman Faiclough (1998), dan Teun A. Van Dijk (1998). Dari sekian banyak model analisis wacana, model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Mungkin karena Van Dijk memiliki elemen-elemen yang bisa diaplikasikan secara praktis.
Model yang dipakai Teun A. Van Dijk kerap disebut sebagai
”kognisi sosial”. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Nama pendekatan semacam ini tidak dapat
dilepaskan dari karakteristik pendekatan yang diperkenalkan oleh Van Dijk. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarakan pada analisis atau teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati Baik struktur teks, kognisi sosial, maupun konteks sosial adalah bagian yang integral dalam kerangka Van Dijk. Kalau digambarkan, maka diagram model analisis Teun A. Van Dijk adalah sebagai berikut:
Gambar 2
Diagram Model Analisis Teun A. Van Dijk
(Sumber : Eriyanto,2009; 225) Konteks Sosial
Kognisi Sosial Teks
Skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam kerangka van Dijk adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2
Skema Penelitian Teun A. Van Dijk
STRUKTUR METODE
Teks
Menganalisis bagaimana strategi wacana yang dipakai untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu.
Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk menyingkirkan atau memarginalkan suatu kelompok, gagasan, atau peristiwa tertentu.
Critical linguistics
Kognisi Sosial
Menganalisis bagaimana kognisi pembuat teks dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis
Wawancara mendalam
Konteks Sosial
Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi peristiwa seseorang atau digambarakan.
Studi pustaka, penelusuran sejarah
(Sumber : Eriyanto,2009;275)
Melalui berbagai karyanya, Van Dijk membuat analisis wacana yang dapat didayagunakan. Ia melihat bagian teks suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya ke dalam tiga tingkatan:
1) Struktur Makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema
wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.
2) Superstruktur adalah kerangka suatu teks: Bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.
3) Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya. (Eriyanto,2009;227)
Struktur wacana yang dikemukakan Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 2.3
Skema Penelitian Teun A. Van Dijk Struktur
Wacana
Hal Yang Diamati Elemen Struktur Makro TEMATIK
(Apa yang dikatakan?)
Topic Superstruktur SKEMATIK
(Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai?)
Skema
Struktur Mikro SEMANTIK
(Makna yang ingin
ditekankan dalam teks berita)
Latar, maksud, detail,
peranggapan, nominalisasi Struktur Mikro SINTAKSIS
(Bagaimana pendapat di sampaikan?)
Bentuk kalimat, kohersi, kata ganti
Struktur Mikro STILISTIK
(Pilihan kata apa yang dipakai?)
Leksikon
Struktur Mikro RETORIS
(bagaimana dan dengan cara apa penelitian dilakukan)
Grafis, metafora, ekspresi Sumber : (Sobur,2006:74)
Dalam pandangan Van Dijk, segala teks bisa dianalisis dengan menggunakan elemen tersebut. Meski terdiri dari beberapa elemen. Semua elemen itu merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan, dan mendukung satu sama lainnya.
2.4.4 Konstruksi Realitas Sosial
Membahas teori konstruksi social (social construction), tentu tidak terllepas dari bangunan teoritik yang dikemukakan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckmann. Peter L. Berger merupakan sosiolog dari New York for Social Research,New York. Sementara Thomas Luckmann adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi social sejatinya dirumuskan oleh kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teotitis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Berger dan Luckmann meyakini bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi social terhadap dunia social disekelilingnya, “reality is socially constructed”.
2.4.4.1 Proses Konstruksi Realitas
Proses komunikasi realitas, pada prinsipnya merupakan suatu upaya untuk “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda, tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik atau mengkonstruksikan realitas. Karena sifat dan
faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa, maka seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan. Karena pembuatan berita pada dasarnya adalah penyusunan realitas sehingga membentuk sebuah wacana yang bermakna. (Hamad,2004)
Proses konstruksinya, dari perspektif teori Berger dan Luckmann berlangsung melalui interaksi social yang dialektis, dari tiga bentuk realitas yakni:
a. Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideology dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.
b. Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industry media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitupun yang ada di film-film.
c. Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi.
Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis yang melibatkan diri dari proses eksternalisasi, atau proses interaksi social dengan individu lain dalam sebuah struktur social.
(Hidayat,2003)
Berger juga menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialetika, yang dikenal dengan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
(Bungin,2008:5)
2.4.4.2 Bahasa Sebagai Elemen Konstruksi Realitas
Menurut Stuart Hall, ada dua titik perhatian dalam proses pembentukan realitas. Pertama, bahasa yang merupakan system penandaan sebagaimana pemahaman kalangan strukturalis. Kedua, politik pendandaan yakni bagaimana praktik sosial dalam membentuk makna, mengontrol, dan menentukan makna.(Eriyanto,2009:29-31)
Didalam konstruksi realitas, bahasa adalah unsure utama yang menjadi instrument pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah konsuptualisasi dan alat narasi. Pada kenyataanya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik didalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas social itu memiliki makna, ketika realitas diikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas sebagai objektif. Jadi individu mengonstruksikan realitas tersebut berdasarkan subjektivitas individu lain yang berada didalam institusi sosialnya.
2.4.4.3 Kontruksi Realitas Perempuan Oleh Media Massa
Dalam banyak kasus , Alex Sobur mengungkapkan bahwa pemberitaan media , terutama yang berhubungan dengan peristiwa yang melibatkan pihak dominan, selalu disertai dengan penggambaran buruk pihak minoritas. Perempuan, sebagaimana digambarkan oleh Herliany, begitu dekat dengan idiom-idiom seperti keterkungkunga, ketertindasan, dan bahkan terlanjur
diterima oleh “objek” dan bukan “subjek” pada “konsep” kultur masyarakat kita. (Ibrahim,1998)
Salah satu media yang sempat potensial dalam menyebarkan dan melestarikan ideology gender ini adalah televise. Media massa terus menerus memproyeksikan peran- peran berdasarkan gender secara stereotip. Larry A. Samover dan Richard E. Poster (2001) mendefinisikan stereotip sebagai
“Persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk.”
Media massa sebagai cermin dan refleksi dari masyarakat secara umum, juga bertindak sebagai subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan keberpihakanya.
Seperti ungkapan Tony Bennett (2001), bahwa media dipandang sebagai agen konstrukksi social yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.