• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pemberdayaan masyarakat merupakan pendekatan yang mengedepankan keterlibatan masyarakat dalam semua tahapan pembangunan. Pendekatan pemberdayaan ini menjadikan masyarakat tidak hanya penerima manfaat pembangunan melainkan menempatkan masyarakat sebagai pelaku dalam pembangunan. Prinsip top-down tidak lagi efektif diterapkan pada program-program pembangunan yang di danai oleh pemerintah. Pembangunan itu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat bukan disesuaikan dengan keinginan masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat harus benar-benar memperhatikan proses dari suatu program.

Metode pembangunan melalui pendekatan alternatif pemberdayaan masyarakat di Indonesia, telah dimulai sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kesejahteraan Sosial. Pada pasal 1 disebutkan bahwa setiap warga Negara berhak atas kesejahteraan sosial yang layak dan berkewajiban ikut serta dalam mewujudkan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Seiring berkembang problematika kehidupan ekonomi bangsa dan negara, peraturan tersebut disempurnakan dengan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Usaha kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial

1

. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat sebagai suatu pendekatan pembangunan yang diatur secara formal baru mulai pada saat undang-undang ini disahkan.

Pemberdayaan sosial dimaksudkan oleh undang-undang tersebut adalah untuk meningkatkan kemampuan individu, kelompok dan masyarakat yang memiliki masalah kesejahteraan, dan meningkatkan peran serta perorangan atau lembaga masyarakat untuk menyelenggarakan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Batasan ini memberikan pemahaman bahwa perlu

1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

(2)

adanya kolaborasi kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam melakukan kegiatan pemberdayaan tersebut. Perguruan tinggi sebagai lembaga kemitraan memiliki andil untuk melakukan penelitian terukur secara ilmiah untuk membantu pemerintah dan swasta menemukan desain (model) program pemberdayaan masyarakat. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini. Studi komparatif ini diharapkan nanti tidak sebatas mendeskripsikan model pemberdayaan yang diselenggarakan oleh pemerintahan, melainkan diharapkan mampu melahirkan sebuah desain yang akan menjadi solusi dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat.

Pada penelitian ini, peneliti memilih dua daerah otonomi yang secara administratif berbeda namun memiliki kesamaan pada kultur (budaya), agama, sosial, dan demografi yaitu Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan. Padangsidimpuan secara administrasi merupakan wilayah perkotaan namun kehidupan masyarakatnya secara umum tinggal dan menetap di pedesaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Padangsidimpuan menyebutkan bahwa dari jumlah penduduk

2

, 216.013 jiwa terdiri dari laki-laki 105.293 orang dan perempuan 110.720 orang.

Adapun komposisinya adalah 65,96 % (persen) yang berjenis kelamin perempuan adalah usia produktif dan usia produktif laki-laki 64,95 % persen

3

.

Persoalan yang muncul dari kondisi demografi tersebut adalah tingkat kemiskinan di pedesaan pinggir kota. Terjadi pergeseran lapangan kerja dari pekerjaan primer; pertanian ke sektor sekunder; perdagangan dan tersier; jasa.

Terjadi penurunan sektor pertanian padi sawah dan non sawah diiringi dengan penyempitan lahan pertanian. Tren perubahan ini menuntut seperangkat pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat desa pinggir kota Di sisi lain, Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan kabupaten induk yang melingkupi wilayah Kota Padangsidimpuan. Masyarakat kedua daerah

2 BPS Kota Padangsidimpuan, Statitstik Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2018, (BPS; Padangsidimpuan, 2018), hlm. 6

3 BPS Kota Padangsidimpuan, Statitstik Kesejahteraan Rakyat Kota Padangsidimpuan Tahun 2018, (BPS; Padangsidimpuan, 2018), hlm. 7

(3)

ini adalah identik secara agama, budaya, sosial dan hanya dipisahkan oleh administratif pemerintahan. Data BPS Kabupaten Tapanuli Selatan menyebutkan bahwa daerah berpenduduk 278.587,

4

jiwa itu memiliki tingkat kesejahteraan yang memprihatinkan yakni di angka 10,60 % (persen) masyarakatnya hidup berada di bawah garis kemiskinan

5

.

Kabupaten Tapanuli Selatan dengan jumlah penduduk yang hampir sama besar dengan jumlah penduduk Kota Padangsidimpuan, namun Kabupaten Tapanuli Selatan dengan karakteristik wilayah yang luas dan tingkat kepadatan penduduknya masih rendah. Dengan demikian, potensi pertumbuhan pedesaannya sangat besar. Akan tetapi, potensi desa yang besar dengan jumlah penduduk melimpah jika tidak diberdayakan dengan tepat maka akan menjadi beban bagi pembangunan.

Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan di atas, menggelitik akademis penulis untuk menganalisis model pemberdayaan masyarakat desa di dua daerah tersebut melalui metode yang terukur, sistematis dan metodologis dengan judul penelitian, “Studi Komparatif Model Pemberdayaan Masyarakat Desa di Kota Padangsidimpuan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Bagaimanakah komparasi model pemberdayaan masyarakat desa di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan?”

Masalah penelitian ini dibatasi pada:

1. Komparasi model pemberdayaan masyarakat desa pada bidang formal di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan?

2. Komparasi model pemberdayaan masyarakat desa pada bidang penyelenggaraan program di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan?

4 BPS Kabupaten Tapanuli Selatan, Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan, (BPS; Tapanuli Selatan, 2017), hlm. 16

5 BPS Kabupaten Tapanuli Selatan, Indikator Kesejahteraan… hlm. 23

(4)

3. Komparasi model pemberdayaan masyarakat desa pada bidang monitoring dan evaluasi program di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengungkap perbedaan model pemberdayaan masyarakat desa pada bidang formal di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan?

2. Mengungkap perbedaan model pemberdayaan masyarakat desa pada bidang penyelenggaraan program di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan?

3. Mengungkap perbedaan model pemberdayaan masyarakat desa pada bidang monitoring dan evaluasi program di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan?

D. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan

Kajian penelitian terdahulu ini ada dua bidang penting yang dijelaskan, yaitu studi komparatif dan kajian pemberdayaan masyarakat desa.

1. Tinjauan Penelitian Terkait dengan Studi Komparatif

Studi komparatif masih jarang dilakukan oleh akademisi di Indonesia.

Dalam penelusuran pada situs google scholar

6

(database raksasa berbasis online) hanya 10 judul penelitian dan jurnal ilmiah;

JUDUL PENELITIAN ATAU ARTIKEL ILMIAH

PENULIS

Analisis investasi dan penentuan portofolio saham optimal di Bursa Efek Indonesia (studi komparatif penggunaan model indeks tunggal dan model random pada saham LQ-45)

Yeprimar Risnawati

6 Google Scholar, Kata Kunci: Studi Komparatif, diakses pada 13 Agustus 2019

(5)

Analisis Pengaruh Beta Saham, Growth Opportunities, Return On Asset dan Debt to Equity Ratio Terhadap Return Saham (Studi Komparatif Pada Perusahaan di BEJ yang Masuk LQ-45 Tahun 2001-2004 Periode Bullish Dan Bearish)

Dian Rachmatika

Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Perbankan Syariah dengan Metode CAMEL di ASEAN (Studi Komparatif:

Indonesia, Malaysia, Thailand)

Susanto Wibowo

Dongeng Timun Emas (Indonesia) Dan Dongeng

Sanmai No Ofuda

(Jepang)(Studi Komparatif Struktur Cerita Dan Latar Budaya)

Yuliani Rahmah

Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Quran dan Hadis

M. Yusuf Qardawi Salman Harun Didin Hafidhuddin Hassanuddin Muhammad Azhar Metode Islamic Studies: Studi

Komparatif Antara Islamization

of Knowledge dan

Scientification of Islam Studi Komparatif Kinerja Keuangan Pada Bank Konvensional dan

Desy Rosiana

Nyoman Triaryati

Wahyu Nurcahyanti

(6)

Bank Syariah di Indonesia Studi Komparatif Model Z-Score Altman, Springate Dan

Zmijewski Dalam

Mengindikasikan Kebangkrutan Perusahaan Yang Terdaftar di BEI

Studi Komparatif Tentang Zina Dalam Hukum Indonesia Dan Hukum Turki.

Dian Andriasari

Studi Komparatif: Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal Bersama Keluarga dan Panti

Suci Tutuy Putri Lisna Anisa Fitriana Ayu Ningrum

Berdasarkan penelitian dan jurnal ilmiah tersebut, ada dua pendekatan yang digunakan penulis, yaitu pendekatan kuantitatif komparatif dan pendekatan kualitatif komparatif. Adapun penelitian yang termasuk pada pendekatan kuantitatif adalah Yeprimar Risnawati, Dian Rachmatika, Susanto Wibowo, Desy Rosiana dan Nyoman Triaryati, dan Wahyu Nurcahyanti.

Sementara itu, Yuliani Rahmah, M. Yusuf Qardawi et.all, Muhammad Azhar, Dian Andriasari dan Suci Tuty Putri et.all menggunakan pendekatan kualitatif.

Adapun perbedaan studi komparatif yang penulis gunakan dengan studi komparatif dengan karya ilmiah terdahulu adalah pada bidang kajian, yang mana penulis mencoba mengaplikasikan pendekatan kualitatif dengan analisis komparatif untuk mengelaborasi desain program pemberdayaan masyarakat desa

2. Tinjauan Penelitian Bidang Kajian Pemberdayaan Masyarakat

Penelitian terdahulu yang pernah terlacak dalam database

internasional seperti google scholar, adalah penelitian tentang

Problematika Pendamping Desa Profesional Dalam Pemberdayaan

(7)

Masyarakat Desa di Kota Padangsidimpuan

7

. Penelitian tersebut di laksanakan di salah satu lokasi penelitian dalam proposal ini, yaitu Kota Padangsidimpuan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Dianto (2018) adalah pada fokus permasalahan, subjek dan sumber data.

Penelitian Dianto terfokus pada problematika tenaga pendamping desa profesional, menggunakan metode kualitatif deskritif. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa problematika pendamping desa professional terletak pada aspek kualitatif dan kuantitatif, serta pembagian kerja yang tidak jelas dan koordinasi yang tidak efektif. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian dalam proposal ini terletak pada fokus masalah, metode, sumber data dan subjek penelitian.

Penelitian selanjutnya adalah Yunastiti Purwaningsih dengan judul Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan, dan Pemberdayaan Masyarakat.

8

Hasil penelitiannya yang menarik adalah bahwa rumah tangga pedesaan memiliki kerentanan terhadap sumber pangan, pembangunan ekonomi pedesaan terabaikan, dan sektor pertanian mengalami pengacuhan (ignorance) oleh pengambil kebijakan, padahal masyarakat pedesaan sebagian besar hidup bertani.

E. Konsep atau Teori yang Relevan 1. Pemberdayaan Masyarakat

Definisi Pemberdayaan dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek bahasa (etimologis) dan aspek istilah (epistemologi). Secara bahasa kata pemberdayaan memiliki kata dasar „daya‟ yang artinya memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk melakukan tindakan.

9

Kata daya mendapatkan awalan “ber” sehingga menjadi

7 Icol Dianto, Problematika Pendamping Desa Profesional Dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa di Kota Padangsidimpuan, Dimas, Vol 5 No 2, 2018

8 Yunastiti Purwaningsih, Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan, dan Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 9 No 1, Juni 2008, hlm. 10-11

9 Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Arti Kata daya,”

http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=daya&varbidang=all&vardialek=all&varragam=a ll&varkelas=all&submit=tabel (akses 13 Agustus 2019)

(8)

berdaya

10

. Berarti (a) berkekuatan; berkemampuan; bertenaga; (b) mempunyai akal untuk mengatasi sesuatu. Selanjutnya, kata berdaya kembali mendapatkan imbuhan pe-an, sehingga menjadi kata pemberdayaan. Pemberdayaan berarti to give power or authority to artinya memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain atau to give ablity or enable artinya upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Pemberdayaan dalam bahasa Inggris disebut empower artinya memberi kuasa atau wewenang kepada (orang lain). Istilah pemberdayaan masyarakat sebagai terjemahan dari kata empowerment mulai ramai dibicarakan bersandingan dengan pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) Theresia Aprillia et.el

11

.

Sementara itu, definisi pemberdayaan dari aspek istilah atau epistemologi dapat dilihat sebagai berikut:

a. Dahl, 1993

Empowerment berhubungan dengan power (kekuatan/kekuasaan) karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan kekuatan atau kemampuan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain.

b. Paul, 1987

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai pembagian kekuasaan yang adil agar yang lemah memiliki kesadaran berpolitik serta dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.

c. Fear and Schwarzweller (1985)

Pemberdayaan adalah proses menjadikan perubahan bagi kelompok sosial yang mana kehidupan satu kelompok menjadi lebih membaik dengan tidak mengganggu kelompok lainnya.

d. Robbins, Chatterje dan Canda

10 http://artikata.com/arti-362279-berdaya.html

11 Aprilia Theresia, etal. Pembangunan Berbasis Masyarakat (Bandung: Alfabeta, 2014), hlm. 115

(9)

Pemberdayaan adalah proses yang mana individu dan kelompok mendapatkan kekuasaan, akses ke sumber daya dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri.

e. Jim Ife

Pemberdayaan adalah menyiapkan kepada masyarakat sumber daya, kesempatan/ peluang, pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat itu dalam menentukan masa depan mereka serta untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakat itu sendiri

12

f. World Bank (2001) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan pendapat, ide atau gagasan-gagasannya serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) sesuatu (konsep, metode, produk, tindakan, dll) yang terbaik bagi pribadi, keluarga dan masyarakatnya, dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat merupakan proses meningkatkan kemampuan dan sikap kemandirian masyarakat. Pengertian yang dikemukakan World Bank, pemberdayaan mengandung arti perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan setiap individu dan masyarakat baik dalam arti perbaikan ekonomi terutama kecukupan pangan, perbaikan kesejahteraan sosial, kemerdekaan dari segala bentuk penindasan, terjaminnya keamanan, terjaminnya hak asasi manusia yang bebas dari rasa takut dan kekhawatiran.

Abu Huraerah

13

merangkum pendapat para ahli mengenai pemberdayaan, sebagai berikut, pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris yaitu empowerment yang secara harfiah bisa diartikan sebagai

12 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, danPoskolonial, (Jakarta: Rajawali Press, 2011)

13 Abu Huraerah, Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat (Bandung:Humaniora,1997), hlm. 96

(10)

pemberkuasaan dalam arti pemberian atau peningkatan “kekuasaan”

(power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantaged). Empowerment aims to increase the power of disadvantaged, demikian menurut Jim Ife. Swift dan Levin mengatakan pemberdayaan menunjuk pada usaha realocation of power melalui perubahan struktur sosial. Selanjutnya, Rappaport mengungkapkan pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya. Craig dan Mayo mengatakan bahwa konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep- konsep kemandirian (selfhelp), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking) dan pemerataan (equity)

Upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu 1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi

masyarakat berkembang (enabling).

2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).

3) Memberdayakan mengandung pula arti melindungi (advokasi).

Maksudnya, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat.

14

Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu kegiatan dapat dikatakan sebagai kegiatan pemberdayaan jika mengandung tiga unsur pokok, yakni enabling, empowering dan advokasi. Banyak institusi yang mengklaim melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat, namun mengabaikan tiga unsur itu. Dengan adanya batasan tersebut, maka jelaslah mana kegiatan pemberdayaan dan mana kegiatan yang bukan pemberdayaan masyarakat.

2. Pemberdayaan Daerah

14 Teresiah, et al, Pembangunan Berbasis Masyarakat… hlm. 119-120

(11)

Pemberdayaan daerah dapat dilihat dari dua aspek yaitu koordinasi antar instansi dan keterkaitan hubungan kota-desa

15

. Pertama, hubungan antar instansi baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota seringkali tidak seirama dan terbinanya hubungan yang vertikal. Selain itu, setiap instansi hanya bertanggungjawab atas program yang dirumuskan oleh instansinya tanpa mau melakukan sinkronisasi program lintas lembaga. Hubungan yang efektif dalam program pembangunan masyarakat adalah membina hubungan yang horizontal dan terbinanya koordinasi yang baik. Hubungan yang demikian itu akan melahirkan keuntungan yaitu; 1). Terhindarnya duplikasi program dan imitasi rencana, 2). Menjaga kesinambungan program dan mencegah kesenjangan antara pembangunan fasilitas dengan penggunaan tenaga ahli yang diperlukan oleh instansi, 3). Menciptakan pelayanan yang memuaskan karena kelemahan program masing-masing instansi dapat disempurnakan dan keunggulan strategi pun dapat ditularkan.

Kedua, keterkaitan kota dengan desa dalam pembangunan.

Pemerintah berasumsi bahwa pembangunan kota dengan desa tidak memiliki hubungan sehingga pada umumnya pemerintah menggunakan strategi yang menempatkan pembangunan desa suatu yang terpisah dari pembangunan perkotaan. Padahal, ada hubungan signifikan antara desa dan kota, yaitu 1) peningkatan hasil pertanian di pedesaan akan membawa dampak bagi pertumbuhan dan kemajuan perkotaan. 2) peningkatan dan variasi produksi pertanian di pedesaan akan memicu tumbuhnya pusat- pusat perdagangan di perkotaan, 3) fluktuasi kesempatan kerja dan penyempitan lahan pertanian di desa akan memicu arus urbanisasi karena di perkotaan lapangan kerja tersedia luas dan lebih beragam. Hubungan- hubungan tersebut memberikan pemahaman bahwa terdapat hubungan timbal balik kemajuan desa dengan kota. Pembangunan pedesaan hendaknya dapat memperkuat kota sebagai tempat yang akan memasarkan

15 Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta;

Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 15-18

(12)

hasil-hasil pertanian ke semua lapisan masyarakat dan penampung tenaga kerja yang berlebihan di pedesaan serta penyuplai kebutuhan pertanian bagi masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan desa haruslah memperhatikan tingkat kemampuan kota dan tidak sekedar mempertahankan swasembada pangan semata.

F. Rencana Pembahasan

Kerangka Konseptual

Keterangan Bagan;

1. Model Pemberdayaan

Dalam bagan di atas yang dimaksud dengan model pemberdayaan adalah model/ pola program pemberdayaan masyarakat desa yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah di wilayah penelitian

2. Kota Padangsidimpuan

MODEL PEMBERDAYAAN

KOTA

PADANGSISIMPUAN

KAB. TAPANULI SELATAN

PENYELENGGARAAN 1. PERENCANAAN 2. PELAKSANAAN 3. HASIL

FORMAL/DASAR HUKUM

MONITORING EVALUASI

HASIL ANALISIS INDIKATOR

PEMBANDING (KOMPARASI)

DESAIN HASIL PENELITIAN

PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

(13)

Merupakan daerah administrasi perkotaan yang berada di bagian selatan Provinsi Sumatera Utara dan merupakan wilayah penelitian yang penulis ajukan dalam proposal ini

3. Kabupaten Tapanuli Selatan

Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah administrasi daerah tingkat II/ kabupaten, terletak melingkari Kota Padangsidimpuan, dan menjadi wilayah penelitian dalam rancangan penelitian ini

4. Indikator Komparasi

Indikator komparasi maksudnya indikator yang dijadikan pembanding terhadap model program pemberdayaan yang dilaksanakan pada dua wilayah penelitian, yaitu formal (dasar hukum program), penyelenggaraan program (perencanaan, pelaksanaan, dan hasil), dan monitoring dan evaluasi

5. Hasil Analisis

Pemaparan analisis data penelitian dan dilanjutkan dengan merancang model yang ideal program pemberdayaan masyarakat untuk kedua daerah tersebut. Pada analisis ini bisa saja dilakukan dengan cara tambal sulam atau dengan duplikasi model serta komplementerisme yaitu saling menyadur strategi unggulan dari program pemberdayaan masyarakat desa pada wilayah penelitian tersebut

6. Desain Program Pemberdayaan Masyarakat Desa dari Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melahirkan desain baru program

pemberdayaan masyarakat desa yang lebih fleksibel, efektif dan efisien

yang dapat diimplementasikan pada wilayah penelitian.

(14)

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR dan ASUMSI DASAR

A. Konsep Partisipasi Masyarakat

Partisipasi sebagai suatu konsep dalam pengembangan masyarakat, digunakan secara umum dan luas. Di dalam kamus besar bahasa indonesia partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan (keikutsertaan).

Partisipasi menurut menurut Nogi (2005) adalah keterlibatan seseorang dalam kegiatan bersama yang berkaitan dengan pelaksanaan proses pembangunan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.

Partisipasi menurut Steele adalah:

Merupakan unsur kunci pembangunan, pengertian partisipasi bukan semata-mata melalui pilihan umum saja, ia juga mengandung suatu sistem yang benar-benar menjamin terwujudnya hak sosial dan ekonomi, setelah hak-hak sipil dan politik serta pendidikan kewarganegaraan. Di dalamnya harus ada budaya partisipasi (aculture of participation) di mana rakyat membutuhkan sejumlah kemampuan dan sumber daya untuk berperan.

Sedangkan menurut Keith Davis mengemukakan bahwa partisipasi adalah “Participation can be defined as mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to group goals and share responbility in them”. Artinya partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian dan ikut bertanggung jawab di dalamnya.

Dalam definisi tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental

dan emosi. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang

di ikut sertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga

ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat

kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun

(15)

bidang mental serta penentuan kebijaksanaan. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi serta fisik peserta dalam memberikan respon terhadap kegiatan yang melaksanakan dalam proses belajar mengajar serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggung jawab atas keterlibatannya.

Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan disekitarnya dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, dan keinginan. Manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannnya, Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat. Istilah

“rakyat” menunjuk pada adanya jumlah yang besar dari “penduduk” yang memiliki kehendak umum bersama (masyarakat sipil) dan dihadapkan pada pemerintah yang mengatur dan memerintah kehendak tadi. Sehingga dengan demikian terdapat kepentingan akan terprioritas yang jelas. Menurut Budiarjo bahwa masyarakat adalah keseluruhan antara hubungan-hubungan yang di tata (societymeans a system of ordered relation)”. Menurut Ralp masyarakat adalah setiap kelompok yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya dalam suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan menjadi hal yang sangat

penting ketika diletakkan di atas keyakinan bahwa masyarakatlah yang paling

penting tahu apa yang menjadi kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh

masyarakat. Maka di dalam partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat

dibagi dalam empat tahapan yaitu: (1) Partisipasi dalam Proses Pembuatan

Keputusan, dalam tahap ini partisipasi masyarakat sangat penting, terutama

karena putusan politik yang diambil menyangkut nasib mereka secara

keseluruhan. Masyarakat hanya akan terlihat dalam aktivitas selanjutnya

apabila mereka merasa ikut andil dalam menentukan apa yang akan

dilaksanakan. (2) Partisipasi dalam Pelaksanaan, partisipasi ini merupakan

tindakan selanjutnya dari tahap pertama, partisipasi dalam pembangunan akan

terlihat ketika masyarakat ikut serta dalam memberi kontribusi guna

(16)

menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud tenaga, uang, barang material, ataupun informasi yang berguna bagi pelaksana pembangunan. (3) Partisipasi dalam Memanfaatkan Hasil Pembangunan.

Tujuan pembangunan adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka dalam tahap ini masyarakat masyarakat secara bersama akan menikmati hasil pembangunan dengan adil tanpa ada pengecualian. Setiap masyarakat akan mendapatkan bagian sebesar kontribusi atau pengorbanan yang diberikan. Manfaat yang dapat diterima dalam pembangunan ini yaitu manfaat materialnya; manfaat sosialnya; dan manfaat pribadi. (4) Partisipasi dalam Evaluasi, suatu kegiatan dapat dinilai apabila memberi manfaat yang sepantasnya bagi masyarakat. Maka dalam tahap ini, masyarakat diberi kesempatan untuk menilai sendiri hasil yang sudah didapat dalam pembangunan, dan masyarakat menjadi hakim yang adil dan jujur dalam menilai hasil yang ada.

Berdasarkan teori di atas yang dikemukakan oleh Bintoro dapat dilihat empat aspek penting dalam rangka partisipasi dalam pembangunan yaitu: (1) Terlibatnya dan ikut sertanya rakyat tersebut sesuai dengan mekanisme prose politik dalam suatu negara turut menentukan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang di lakukan oleh pemerintah. (2) Meningkatnya artikulasi (kemampuan) untuk merumuskan tujuan-tujuan dan terutama cara-cara dalam merencanakan tujuan itu yang sebaiknya. Oleh karena itu pemerintah perlu dikembangkan kemampuan masyarakat dan terutama organisasi masyarakat sendiri untuk mendukung pembangunan. (3) partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan nyata yang konsisten dengan arah, strategi dan rencana yang telah ditentukan dalam proses politik. (4) adanya perumusan dan pelaksanaan program-program partisipatif dalam pembangunan yang berencana.

Menurut Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia partisipasi meliput: (1) Disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata. (2) Dijadikan stimulus terhadap masyarakat yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban yang dikehendaki.

(3) Dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi membangkitkan

(17)

tingkah laku yang dikehendaki secara berlanjut, misalnya partisipasi horizontal. (4) Proyek pembangunan yang dirancang secara sederhana dan mudah dikelola oleh masyarakat dan menyalurkan aspirasi rakyat. (6) Peningkatan peran masyarakat dalam pembangunan.

Menurut Sastropoetro dalam partisipasi masyarakat ternyata terdapat unsur-unsur penting yaitu:

a. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif atau berhasil.

b. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran.

c. Kesadaran yang didasarkan kepada perhitungan dan pertimbangan.

d. Antusias atau partisipasi (Enthoussiasme) yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan dipaksa orang lain.

e. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.

Menurut Bintoro hasil pencapaian tujuan-tujuan pembangunan memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat pada umumnya. Keterlibatan aktif ini juga disebut partisipasi, ada tiga aspek dalam partisipasi yaitu:

(1) Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah. (2) keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam mobilisasi sumber- sumber pembiayaan pembangunan, kegiatan produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan dan lain-lain. (3) Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Bagian-bagian daerah ataupun golongan masyarakat tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam kegiatan produktif mereka, melalui kesempatan-kesempatan dan pembinaan tertentu.

Sedangkan Sastropoetro mengemukakan bahwa dasar atau alasan adanya partisipasi masyarakat yaitu:

(1) Pemerintah sebagai lembaga yang terbesar dan mempengaruhi kehidupan

dan tujuan hidup masyarakat, didirikan untuk melayani kepentingan

kesejahteraan umum dari rakyatnya yang merupakan sumber terbesar bagi

(18)

setiap negara, sehingga karenanya rakyat itu haruslah dilibatkan dan didorong untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. (2) Untuk mencapai tujuan dasar tersebut, biasanya pemerintah melancarkan rencana-rencana pembangunan desa yang bertujuan untuk memperbaiki tingkat hidup di daerah pedesaan yang merupakan pemukiman sebagian terbesar rakyat. (3) Namun demikian sifat-sifat khusus dari suatu proyek pembangunan desa, program-program sedemikian mungkin tidak akan berhasil, kecuali bila terdapat partisipasi masyarakat yang cukup. (4) Mengingat kepada luas lingkup nyata dari suatu rencana pembangunan desa, pemerintah sekalipun tidak dapat secara berhasil memenuhi jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk melaksanakan program tersebut, namun baginya partisipasi masyarakat tetap diperlukan karena faktor itu merupakan sumber tenaga manusia terbesar dengan biaya sedikit.

Sedangkan mekanisme yang dapat melancarkan timbulnya partisipasi dalam masyarakat yaitu:

(1) Bila mungkin, maka suara aklamasi di dalam proses pengambilan keputusan, merupakan faktor ideal yang akan menjamin keberhasilan dari setiap program, oleh karena hal demikian menunjukkan telah tercapainya keterlibatan yang bersifat menyeluruh dari masyarakat yang bersangkutan. Namun demikian, faktor ideal tersebut sangat bergantung kepada aspek budaya, kebiasaan, tradisi dan sistem nilai yang berlaku bagi masyarakat di suatu negara. (2) Tingkat desa, konsultasi sederhana melalui suatu pertemuan dalam bentuk “rumbuk desa” yang besar sangat perlu diadakan. Pertama-tama untuk mencapai “feedback” yang maksimal dan gagasan-gagasan dari masyarakat yang mungkin tidak dapat menyertai suatu rapat desa yang besar, namun demikian hasil dari konsultasi yang bersifat sederhana itu, kemudian dapat lebih diuraikan dalam rapat-rapat yang lebih besar. (3) Semua rencana pembangunan desa wajiblah berorientasi dan bersifat konsisten dengan filsafat nasional, prinsip-prinsip dan tujuan negara. (4) Pemrakarsa atau “change again”

yang bukan merupakan warga dari daerah operasinya, haruslah dilatih

(19)

terlebih dahulu dalam hal keterampilan, keahlian teknik dan pengetahuan teknologi pengembangan sumber daya manusia guna melancarkan partisipasi masyarakat secara maksimal.

Pandangan Sastropoetro di atas mencerminkan bahwa partisipasi masyarakat dalam tahapan-tahapan pembangunan pada prinsipnya merupakan tahapan pengambilan keputusan tentang rencana yang dilakukan. Tahapan selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan yaitu menerima manfaat secara proporsional, dan mengawasi program pembangunan yang dilaksanakan. Berdasarkan perencanaan pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat, berarti sudah mempertimbangkan kebutuhan dan situasi lingkungan masyarakat. Hal ini penting dalam tahapan proses selanjutnya, dimana masyarakat akan melaksanakan program yang direncanakan. Jika mereka merasa ikut memiliki dan merasakan manfaat program tersebut, maka diharapkan masyarakat dapat secara aktif melakukan pengawasan terhadap program. Sehingga penyimpangan penyimpangan dapat lebih dihindarkan, guna mencapai keberhasilan pembangunan sesuai tujuan yang telah direncanakan.

Terkait dengan masyarakat dalam tahapan kegiatan pembangunan, (Siagian, 1989:108) menyatakan bahwa partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan proses dalam memilih alternatif yang diberikan semua unsur masyarakat, lembaga sosial dan lain-lain.

Ini berarti bahwa partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat penting, karena masyarakat dituntut untuk dapat menentukan apa yang ingin dicapai, permasalahan apa yang dihadapi, alternatif apa yang kiranya dapat mengatasi masalah itu, dan alternatif mana yang terbaik harus dilakukan guna mengatasi permasalahan tersebut.

Maka disadari bahwa dalam perencanaan pembangunan peran

masyarakat sangat penting, namun kemampuan masyarakat pada umumnya

masih relatif terbatas. Masih kurang dapat membedakan antara kebutuhan dan

keinginan sehingga diskusi intensif antara pihak berkepentingan (stakholder),

baik dari unsur pemerintah, akademi, lembaga swadaya masyarakat, dunia

(20)

usaha terkait perlu di selenggarakan untuk dapat saling melengkapi informasi dan menyamakan persepsi tentang kebijakan yang akan diputuskan oleh aparat tersebut. Pusic (dalam Adi, 2001: 206-207) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan tanpa memperhatikan partisipasi masyarakat akan menjadi perencanaan di atas kertas. Berdasarkan pandangannya, partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan desa dapat dilihat dari 2 hal yaitu:

(1) Partisipasi dalam perencanaan, segi positif dari partisipasi dalam perencanaan adalah program-program pembangunan desa yang telah di rencanakan bersama sedangkan segi negatifnya adalah adanya kemungkinan tidak dapat dihindari pertentangan antar kelompok dalam masyarakat yang dapat menunda atau bahkan menghambat tercapainya keputusan bersama. Di sini dapat ditambahkan bahwa partisipasi secara langsung dalam perencanaan hanya dapat dilaksanakan dalam masyarakat kecil, sedangkan untuk masyarakat yang besar sukar dilakukan. Namun dapat dilakukan dengan sistem perwakilan benar-benar mewakili warga masyarakat. (2) Partisipasi dalam pelaksanaan, segi positif dari partisipasi dalam pelaksanaan adalah warga bahwa bagian terbesar dari program (penilaian kebutuhan dan perencanaan program) telah selesai dikerjakan. Tetapi segi negatifnya adalah kecenderungan menjadikan warga negara sebagai objek pembangunan, dimana warga hanya dijadikan pelaksana pembangunan tanpa di dorong untuk mengerti dan menyadari permasalahan yang mereka hadapi dan tanpa ditimbulkan keinginan untuk mengatasi masalah. Sehingga warga masyarakat tidak secara emosional terlibat dalam program, yang berakibat kegagalan seringkali tidak dapat dihindari.

B. Konsep Peran

Dalam penelitian ini, peran yang dimaksud yaitu Peran merupakan

tugas utama yang di harapkan oleh masyarakat berupa penanganan masalah

pembangunan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang memiliki

jabatan dalam menangani masalah kegiatan pembangunan dan pemberdayaan

yang dilaksanakan oleh pihak lembaga yang terlibat dalam upaya

(21)

pemberdayaan masyarakat. Peran dalam ilmu sosial terkait mengenai peran aktif yang berdampak positif bagi kehidupan sosial.

Menurut Siagian (Sjafari, 2007: 151) peran serta adalah keterlibatan langsung dari warga tanpa adanya dorongan yang kuat dari pihak luar. Dalam hal ini peran serta yang diharapkan tumbuh dan berkembang dari seluruh warga masyarakatnya hendaknya meliputi:

1. Peran serta dalam pemikiran, misalnya dalam identifikasi masalah-masalah yang perlu segera dibangun, membuat perencanaan pembangunan, dan sebagainya.

2. Peran serta dalam perhimpunan dana, misalnya memberikan sumbangan uang dan bahan-bahan guna pembangunan.

3. Peran serta dalam penyelesaian tenaga, misalnya turut serta dalam kegiatan kerja bakti melaksanakan pembangunan.

Sarwono (2006:215-230) menyatakan bahwa:

“Teori peran adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal dari dan masih tetap di gunakan dalam sosiologi dan antroplogi. Istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seseorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk berprilaku secara tertentu. Posisi aktor dalam teori itu kemudian dianalogikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan dari padanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan orang-orang lain yan berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari sudut pandang inilah disusun teori-teori peran.”

Dalam teorinya Biddle & Thomas dalam Sarwono (2006:224) yang

dimaksud dengan peran adalah “Serangkaian rumusan yang membatasi

perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu”. Masih

dalam buku Sarwono (2006:215) pada teori Biddle & Thomas ini terbagi

peristilahan dalam teori peran kedalam empat golongan, yaitu:

(22)

a. Orang-orang yang mengambi bagian dalam interaksi sosial.

b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut.

c. Kedudukan orang-orang dalam perilaku.

d. Kaitan antara orang dan perilaku.

Pertama, orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial dapat dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:

a. Aktor (actor, pelaku) yaitu orang yang sedang berperilaku menuruti suatu peran.

b. Target (sasaran) atau orang lain (other) yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor dan perilakunya.

Aktor maupun target bisa berubah individu maupun individu (kelompok). Hubungan antara kelompok dengan kelompok misalnya terjadi antara sebuah paduan suara (aktor) dan pendengar (target).

Kedua, menurut Biddle & Thomas dalam Sarwono (2006:216), ada lima istilah tentang perilaku dalam kaitannya dengan peran:

a. Expectation (harapan)

Harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku yang pantas, yang ditujukan pada orang yang memiliki peran-peran tertentu dalam masyarakat

b. Norm (norma)

Menurut Secord dan Backman (1964) dalam sarwono norma hanya merupakan salah satu bentuk harapan. Jenis-jenis harapan menurut Secord dan Backman adalah sebagai berikut :

1) Harapan yang bersifat meramalkan (anticipatory), yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi

2) Harapan normatif adalah keharusan yang menyertai peran Biddle dan Thomas membagi lagi harapan normatif ini ke dalam dua jenis yakni a) Harapan yang terselubung (covert): harapan itu tetap ada walaupun

tidak diucapkan.

b) Harapan yang terbuka yaitu harapan yang diucapkan

c. Performance (wujud perilaku)

(23)

Wujud perilaku yaitu peran yang diwujudkan oleh aktor, Goffman dalam sarwono (2006:220) meninjau perwujudan peran ini dengan memperkenalkan istilah permukaan (front), yaitu untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang lain mengetahui dengan jelas peran si pelaku (aktor)

d. Evoluation (penilain) dan sanction (sanksi)

Penilaian dan sanksi agak sulit dipisahakan jika dikaitkan dengan peran.

Biddle & Thomas dalam Sarwono (2006:220) menyatakan bahwa kedua hal tersebut didasarkan pada harapan masyarakat (orang lain) tentang norma. Berdasarkan norma itu, orang memberikan kesan negatif atau positif terhadap suatu perilaku. Kesan negatif dan positif inilah yang dinamakan penilaian peran. Sedangkan yang dimaksud dengan sanksi adalah usaha orang untuk mempertahankan suatu nilai positif atau agar perwujudan peran diubah sedemikian rupa sehingga hal yang tadinya dinilai negatif menjadi positif

C. Definisi Model

Menurut Deutsch dalam Severin dan Tankard (2008), “Model adalah struktur simbol dan aturan kerja yang diharapkan selaras dengan serangkaian poin yang relevan dalam struktur atau proses yang ada.

16

Model sangat vital untuk memahami proses yang lebih kompleks”. Jadi, berdasarkan pandangan Deutsch, model merupakan struktur simbol dalam sebuah proses guna memahami proses yang sifatnya kompleks. Struktur ini bisa terlihat bila divisualisasikan.

Sedangkan menurut Severin and Tankard, (2008),

“Model didefinisikan sebagai representasi dunia nyata dalam bentuk yang teoretis dan disederhanakan. Model bukan alat untuk menjelaskan, tetapi bisa digunakan untuk membantu merumuskan teori. Model menyiratkan suatu hubungan yang sering dikacaukan dengan teori karena hubungan antara model dengan teori begitu dekat. Model memberi kerangka kerja yang bisa

16 Severin, W. J., Tankard, J. W. (2008). Teori Komunikasi, Sejarah, Metode dan Terapan di dalam Media Massa (Edisi Kelima). Jakarta: Kencana Media Group.

(24)

digunakan untuk mempertimbangkan satu masalah meskipun dalam versi awalnya model tidak akan membawa kita menuju prediksi yang berhasil”.

Dapat dipahami, bahwa model merupakan gambaran dunia nyata yang kompleks dan secara teoretis disederhanakan. Karena begitu dekat dengan teori, terutama dalam relasi antar unsur atau komponen yang bisa berupa konsep atau bahkan variabel, maka model bisa tersamar sebagai teori. Tetapi meskipun model bisa digunakan untuk mempertimbangkan dalam bentuk prediksi suatu masalah, berbeda dengan teori yang memang sejak awal sudah

“meyakinkan” karena sudah teruji. Jadi model bisa digunakan untuk mempertimbangkan relasi variabel, tetapi tidak sekuat teori dalam hal prediksi.

Menurut Dedy Mulyana, (2007); “Model adalah representasi suatu fenomena, baik nyata atau abstrak dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena tersebut. Sebagai alat untuk menjelaskan fenomena komunikasi, model mempermudah penjelasan tersebut”.

Jadi model menurut. Mulyana adalah wakil dari gejala dengan menonjolkan unsur unsur yang dianggap penting oleh pembuatnya. Aubrey Fisher dalam Mulyana, (2007) merumuskan, “Model adalah analogi yang mengabstrasikan dan memilih bagian dari keseluruhan unsur, sifat atau komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model. Model adalah gambaran informal untuk menjelaskan atau menerapkan teori”.

17

Fisher menganggap model sebagai analogi dari fenomena dengan memilih bagian, sifat atau komponen yang dianggap penting untuk diabstraksikan sebagai gambaran informal. Mc Quail dan Windahl (1981) menulis, “Model adalah penggambaran tentang suatu bagian atau sebuah realita yang sengaja dibuat sederhana dalam bentuk grafik”.

18

Definisi Mc Quail dan Windahl ini yang lebih eksplisit bahwa model adalah gambar (bukan sekedar gambaran) berupa grafik tentang suatu bagian atau keseluruhan realita yang disederhanakan..

17 Mulyana, D. (2007). Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya.

18 McQuail, D., Windhal, S. (1985). Model-Model Komunikasi (terjemahan; Putu Laxman Pendit). Jakarta: Uni Primas

(25)

Berdasarkan definisi dan penjelasan beberapa ahli tersebut, model adalah visualisasi berupa grafik atau diagram tentang realita baik proses maupun struktur (di dalamnya juga terdapat teori dan fomula) yang disederhanakan agar mudah dipahami dengan menonjolkan unsur atau elemen yang dianggap penting. Model juga bisa jadi skema teori agar bisa diaplikasikan untuk diuji atau diturunkan menjadi proposisi. Jadi, model bisa berupa visualisasi dari proses, struktur, definisi, formula, bahkan teori agar sederhana dan mudah dipahami sehingga bisa dijadikan acuan kerangka kerja.

D. Fungsi Model

Fungsi adalah tugas pokok dari sesuatu. Jadi fungsi model berarti tugas pokok dari model. Menurut Deutsch dalam Severin and Tankard (2008), fungsi model adalah: (1) Mengorganisasi, yakni mengatur dan menghubungkan data yang tidak terlihat sebelumnya. (2) Heuristic, yakni memberi kemungkinan menuju metode baru yang belum dikenal. (3) Prediktif, yakni melakukan prediksi yang bersifat kuantitatif mengenai kapan dan seberapa banyak. (4) Pengukuran, data yang diperoleh dengan bantuan sebuah model bisa menjadi suatu ukuran baik sekedar ranking atau sekala rasio penuh,

19

Sedangkan menurut Gordon, Wiseman dan Larry Barker dalam (Mulyana, 2007), model komunikasi mempunyai tiga fungsi; pertama melukiskan proses komunikasi; kedua, menunjukkan hubungan visual; dan ketiga, membantu dalam menemukan dan memperbaiki kemacetan komunikasi.

20

E. Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang berarti kekuatan atau

“kemampuan”, yang sama dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan

“power”. Selanjutnya dikatakan pemberdayaan atau empowerment, karena

19 Severin, W. J., Tankard, J. W. (2008). Teori Komunikasi, Sejarah, Metode dan Terapan di dalam Media Massa (Edisi Kelima). Jakarta: Kencana Media Group

20 Mulyana, D. (2007). Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda Karya.

(26)

memiliki makna perencanaan, proses dan upaya penguatan atau memampukan yang lemah.

Pemberdayaan merupakan sebuah konsep yang muncul sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat barat, terutamanya Benua Eropa. Konsep ini muncul sejak decade 70-an dan kemudian terus berkembang sampai saat ini.

21

Konsep pemberdayaan diartikan sebagai proses melepaskan situasi atau keadaan ketertekanan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, kehilangan atau ketiadaan otoritas, keterpinggiran, ketersisihan, kebangkitan dari kekalahan, dan hal-hal yang berkaitan dengan kelemahan/powerless. Dengan diberdayakan diharapkan dapat memberikan energi dan kekuatan baru untuk dapat mereposisi status yang lemah menjadi setara dan sejajar dengan status yang diharapkan.

22

Pemberdayaan tidak sekedar memberikan kewenangan atau kekuasaan kepada pihak yang lemah saja. Pada pemberdayaan terkandung makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu hidup mandiri.

Pemberdayaan adalah menyiapkan kepada masyarakat berupa sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat di dalam menentukan masa depan mereka, serta berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

23

Saat pelaksanaanya, pemberdayaan memiliki makna: dorongan atau motivasi, bimbingan, atau pendampingan dalam meningkatkan kemampuan individu atau masyarakat untuk mampu mandiri. Upaya tersebut merupakan sebuah tahapan dari proses pemberdayaan dalam mengubah perilaku,

21 Saifuddin Yunus, Suadi dan Fadli, “Model Pemberdayaan Masyarakat Terpadu,”

Cetakan I (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2017), 1.

22 Nyoman Sumaryadi, “Sosiologi Pemerintahan Dari Perspektif Pelayanan, Pemberdayaan, Interaksi, dan Sistem kepemimpinan Pemerintahan Indonesia” (Bogor: Ghalia Indonesia, 2018), 57–58.

23 “Pemberdayaan Masyarakat Di Era Global.”

(27)

mengubah kebiasaan lama menuju perilaku baru yang lebih baik, dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.

24

Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an Surat Ar-Ra‟d ayat 11.

Artinya : “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

25

Menurut pendapat penulis dari pengertian konsep pemberdayaan di atas adalah memberdayakan masyarakat lemah yang tadinya tidak berdaya menjadi berdaya, pemberdayaan yang maksimal tentunya sangat membutuhkan sumber daya manusia yang berpotensi dalam ekonomi, karena istilah pemberdayaan dapat dikatakan sebagai konsep pembangunan.

Dubois dan Miley (1997) mengemukakan bahwa dasar-dasar pemberdayaan antara lain sebagai berikut:

a. Kompetensi diperoleh atau diperbaiki melalui pengalaman hidup, pengalaman khusus yang kuat daripada keadaan yang menyatakan apa yang dilakukan.

b. Pemberdayaan meliputi jalan ke sumber-sumber penghasilan dan kapasitas untuk menggunakan sumber-sumber pendapatan tersebut dengan cara efektif.

c. Pemberdayaan adalah proses kerja sama antar klien dan pelaksana kerja secara bersama-sama yang bersifat mutual benefit.

d. Proses pemberdayaan memandang sistem klien sebagai komponen dan kemampuan yang memberikan jalan ke sumber penghasilan dan memberikan kesempatan.

24 Ibid.,hal. 50.

25 Al-Qur‟an, 13:11.

(28)

e. Pemberdayaan adalah pencapaian melalui struktur-struktur parallel dari perseorangan dan perkembangan masyarakat.

26

Sumodiningrat (1999) berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui 3 jalur, yaitu:

1) Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (Enabling)

2) Menguatkan potensi dan daya yang dimiliki masyarakat (Empowering)

3) Memberikan perlindungan (Protecting).

Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar mampu mewujudkan kemandirian dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan serta keterbelakangan.

Di samping pentingnya pemberdayaan masyarakat, terdapat beberapa permasalahan yang dapat mengganggu pengimplementasian pemberdayaan masyarakat dalam tataran praktis, menurut Prasojo (2004), yaitu:

a) Menyangkut ketiadaan konsep yang jelas mengenai apa itu pemberdayaan masyarakat

b) Batasan masyarakat yang sukses melaksanakan pemberdayaan c) Peran masing-masing pemerintah

d) Masyarakat dan swasta e) Mekanisme pencapainnya.

27

Dalam melaksanakan pemberdayaan di suatu tempat, wilayah ataupun kelembagaan harus memiliki indikator keberhasilan untuk mengetahui bahwa pemberdayaan tersebut berhasil atau tidak.

Menurut Sumodiningrat (1999) indikator keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah:

26 Aziz Muslim, “Metodologi pengembangan Masyarakat,” Cetakan I (Yogyakarta: Teras, 2009), 113–16.

27 Dwi Pratiwi Kurniawati, Bambang, Imam Hanafi, “Pemberdayaan Masyarakat Di Bidang Usaha Ekonomi (studi pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Mojokerto),” Jurnal Administrasi Publik (JAP) Vol. 1, No. 4 (n.d.): 10–11.

(29)

(1) Berkurangnya jumlah penduduk miskin

(2) Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan uang dilakukan penduduk dengan memanfaatkan sumber daya yang ada

(3) Meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya

(4) Meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif, makin kuatnya permodalan kelompok, serta makin rapinya sistem administrasi kelompok (5) Meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan

yang ditandai oleh peningkatan pendapatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pokok dan modal sosial dasarnya.

28

F. Pendekatan-Pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat

Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dianggap perlu agar pemberdayaan itu sendiri menjadi tepat sasaran. Dalam buku Suharto (2005:

67). Pelaksana proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan yang dapat disingkat 5P, yaitu:

1. Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekar-sekar kultural dan struktural yang menghambat.

2. Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan- kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka.

3. Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap

28 Kholidah Attina Yopa, “Model pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Desa Wisata Budaya Di Kebon Dalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah” (Yogyakarta, UNY, 2017).

(30)

kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.

4. Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya.

Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh kedalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.

5. Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.

Dubois dan Miley dalam bukunya Suharto (2005: 68). Memberi beberapa titik atau teknik yang lebih spesifik yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat:

1. Membangun relasi pertolongan yang merefleksikan respon empati, menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self- determination), menghargai perbedaan dan keunikan individu, menekankan kerja sama klien (client partnership)

2. Membangun komunikasi yang menghormati martabat dan harga diri klien, mempertimbangkan keragaman individu, berfokus pada klien, dan menjaga kerahasiaan klien.

3. Terlibat dalam pemecahan masalah yang memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah, menghargai hak-hak klien, merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar dan melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.

4. Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui ketataan

terhadap kode etik profesi, keterlibatan dalam pengembangan profesional,

riset, dan perumusan kebijakan, penerjemahan kesulitan-kesulitan pribadi

ke dalam isu-isu publik, penghapusan segala bentuk diskriminasi dan

ketidaksetaraan kesempatan.

(31)

Berdasarkan dari penjelasan di atas adalah bahwa banyak cara yang dilakukan dalam tahap pemberdayaan masyarakat masing-masing tahap tentunya memberikan gambaran bahwa dengan melakukan tahapan tersebut pemberdayaan masyarakat akan berjalan dengan sesuai harapan. Namun dalam tahapan pemberdayaan masyarakat yang paling penting adalah konsistensi dengan tujuan karena terkadang kondisi masyarakat yang tidak selalu sama sewaktu-waktu dapat menyebabkan kegagalan dalam pemberdayaan masyarakat.

G. Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

Terdapat beberapa prinsip dalam pemberdayaan yaitu menurut Ife dan Kartasasmita dalam bukunya Indrawijaya dan Pranoto (2011: 64-65), yaitu:

1. Prinsip partisipasi, bahwa kegiatan pemberdayaan dalam pelaksanaannya harus lebih banyak melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat miskin sendiri mulai dari tahap perencanaan program, pelaksanaan, pengawasan sampai tahap memetik hasil.

2. Prinsip sustainability, mengarahkan hasil-hasil yang dicapai melalui kegiatan pemberdayaan hendaknya dapat di lestarikan masyarakat sendiri sehingga menciptakan pemupukan modal dalam wadah sosial ekonomi setempat

3. Prinsip demokratis, menghendaki agar rakyat dalam kegiatan pemberdayaan perlu diberikan kesempatan dan keleluasaan kepada dalam hal untuk menentukan sendiri strategi dan arah pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang mereka miliki.

4. Prinsip transparansi, mengisyaratkan bahwa kegiatan pemberdayaan itu melibatkan berbagai pihak sehingga dalam pengelolaan sumber daya- sumber daya. Terutama keuangan harus dilakukan secara transparan, (terbuka) agar semua pihak ikut memantau dan mengawasi penyaluran dan mulai dari pihak sponsor sampai pada masyarakat sasaran.

5. Prinsip akuntabilitas, mengharuskan pengelolaan keuangan harus dapat

dilakukan oleh masyarakat dan pelaksana secara terpusat atau

(32)

tersentralisasi dengan petunujuk dan aturan yang ketat yang dilakukan oleh pemerintah.

6. Prinsip desentralisasi, dimaksudkan bahwa pelaksanaan kegiatan pemberdayaan bukan lagi dilakukan secara terpusat atau tersentralisasi dengan petunjuk dan aturan yang ketat yang dilakukan oleh pemerintah.

7. Prinsip profitable, memberikan pendapat yang memadai dan mendidik masyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis.

8. Prinsip acceptable, mengarahkan agar bantuan yang diberikan kepada kelompok sasaran hendaknya dikelola sedemikian rupa agar mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana serta pengelola.

9. Prinsip replicable, mengisyaratkan agar pengelola program pemberdayaan agar dapat memperhatikan aspek pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.

Peran program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui bantuan dana yang dapat diciptakan dari kegiatan sosial ekonomi dengan menganut beberapa prinsip sebagai berikut:

1. Mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat kelompok sasaran (acceptable).

2. Dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat di pertanggungjawabkan (accountable)

3. Memberikan pendapatan yang memadai dan mendidik masyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis (profitable)

4. Hasilnya dapat dilestarikan oleh masyarakat (sustainable)

5. Pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas (replicable). (Gunawan Sumodiningrat, 1999).

Sumodiningrat (1999) juga mengemukakan indikator keberhasilan

yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat

yang mencakup:

(33)

1. Berkurangnya jumlah penduduk miskin.

2. Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

3. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya.

4. Meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya pemodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta makin luasnya interaksi sosial dengan kelompok lain.

5. Meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai dengan peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya

Kesimpulan dalam penjelasan prinsip pemberdayaan masyarakat adalah bahwa dalam mengukur keberhasilan sebuah pemberdayaan masyarakat diperlukan indikator-indikator yang telah di jelaskan di atas namun indikator yang terpenting dalam mengukur sebuah keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya kemandirian masyarakat dimana masyarakat dapat mengatasi sendiri permasalahan yang ada di lingkungannya tanpa bergantung kepada pemerintah sehingga dalam hal ini pemerintah tidak lagi menjadi fasilitator seperti yang saat ini kebanyakan terjadi.

H. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Suharto (2010: 59-60) pemberdayaan adalah sebuah proses

dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk

memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat,

termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai

tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin

dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya,

memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun

sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi,

(34)

mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.

Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai proses. Schuler, Hashemi dan Riley dalam bukunya Suharto (2010: 63-66), mengembangkan delapan indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau index pemberdayaan. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan cultural dan politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: kekuasaan di dalam (power within), kekuasaan untuk (power to), kekuasaan atas (power over), kekuasaan dengan (power with). Tabel merangkum indikator pemberdayaan.

1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi keluar rumah atau wilayah tempat tinggalnya. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.

2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari

3. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier.

4. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga.

5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga.

6. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui salah seorang pegawai pemerintah desa, anggota DPRD setempat, presiden, mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.

7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes seseorang dianggap

berdaya jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain

melakukan protes.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur dan membandingkan biaya operasi kendaraan (BOK) dengan kinerja pelayanan travel (shuttle service) rute Bandung-Jakarta

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Pertumbuhan

Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :”(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan

Studi pustaka adalah melakukan riset dari berbagai bentuk pustaka seperti buku, jurnal, surat kabar. Dalam proses studi pustaka ini penulis mempngumpulkan beberapa fenomena

Hasil penelitian Kuntoro, dkk (2007) diperoleh dalam penelitian tentang Pengaruh Pemberian Jus Buah Belimbing dan Mentimun Terhadap Penurunan Tekanan Darah Sistolik dan

Implementasi merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan, karena tanpa adanya implementasi maka perencanaan dari suatu kebijakan yang dibuat akan sia-sia karena

Pengujian sistem kendali fuzzy dilakukan dengan tiga tahap, yaitu pengujian variasi fungsi keanggotaan nilai masukan fuzzifikasi yang disajikan pada Tabel 5, variasi fungsi

In short, based on the result of the research it can be concluded that, teaching writing by using guided writing strategy gives significant effect toward students‟