• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KEPROTOKOLAN DALAM KEGIATAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN KEPROTOKOLAN DALAM KEGIATAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat –Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara OLEH :

HAZZA AZHAR ARRIJAL NIM: 160200326

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2020

(2)
(3)
(4)

i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada rahmat Allah SWT yang mana atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Peran Keprotokolan Dalam Kegiatan Diplomatik Ditinjau Dari Hukum Internasional”. Dan juga tidak lupa shalawat beriringan salam penulis panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan yang syafa’atnya selalu diharapkan seluruh umatnya.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan penulisan skripsi ini, agar kelak penulis dapat lebih baik dalam penulisan karya ilmiah lainnya.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari telah banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

3. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum., selaku Snekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I, yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaika

8. Arif, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan sepenuh hati membimbing serta memberikan masukan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini

9. Seluruh dosen pengajar serta pegawai administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan pengetahuan dan telah membantu Penulis selama menjalani perkuliahan 10. Direktorat Protokol Kementerian Luar Negeri yang telah memberikan

saya pengalaman dan ilmu mengenai Keprotokolan Diplomatik melalui Magang

11. Biro Protokol Sekretariat Wakil Presiden yang telah memberikan kesempatan dan waktunya untuk memberikan data yang berkaitan

(6)

iii

dengan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

12. Teristimewa untuk orang tua tercinta Papa Taufiqur Rijal, S.H., dan Mama Nur Anisah Wahid, S.H., penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga atas semua dukungan, masukan, serta doa yang tiada henti untuk penulis

13. Teman dekat penulis Nia Khairunnisya, SH yang sudah memberikan bantuan doa, semangat, dukungan, motivasi, serta masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

14. Kepada seluruh stakeholder Badan Ta’mirul Musholla Aladdinsyah,SH yang telah berkontribusi besar di dalam perkembangan saya selama di kampus

15. Kepada seluruh punggawa ILSA Commander yang telah mengajarkan saya arti dedikasi tanpa pamrih

16. Kepada seluruh stakeholder Rumah Kepemimpinan Regional 6 Medan yang telah menempah diri saya menjadi lebih baik selama 2 tahun belakangan ini

17. Kepada seluruh pengurus SATMA Ikatan Pemuda Karya Fakultas Hukum USU di bawah pimpinan Ketua Jek yang telah memberikan saya arti dari kesetiaan dan kebersamaan

18. Kepada seluruh pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arti sebenarnya pergerakan tanpa pengkhianatan

(7)

19. Kepada seluruh anggota Koalisi Nusantara-Rabbani (Nurani) yang telah memberikan arti kepercayaan tanpa keraguan dan solidaritas tanpa batas 20. Kepada seluruh pengurus Pemerintahan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Kabinet Sinergitas Paripurna dibawah pimpinan Abangda Wira dan Abangda Hendra yang telah mengajarkan saya arti bertanggung jawab dan totalitas dalam bekerja

21. Dan seluruh teman-teman seperjuangan 2016 bersatu yang telah mendukung dan berjuang bersama selama proses perkuliahan di kampus, serta berbagi ilmu dalam proses penulisan skripsi.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan yang tentu saja tidak disengaja, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan baik saran maupun kritik dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Medan, Februari 2020

Hazza Azhar Arrijal 160200326

(8)

v ABSTRAK Hazza Azhar Arrijal*

Sutiarnoto**

Arif***

Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta tokoh masyarakat tertentu berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan. Keprotokolan dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan internasional yang kemudian dibakukan dan diundangkan sebagai pegangan dalam berperilaku khususnya dalam pergaulan diplomatik. Aspek hukum internasional melekat pada keprotokolan dikarenakan induk dari keprotokolan itu sendiri yaitu kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional khususnya dalam hukum diplomatik. Peran keprotokolan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keberhasilan suatu kegiatan diplomatik. Adapun rumusan masalah dari penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan hukum diplomatik terkait keprotokolan, bagaimana aspek hukum internasional dari keprotokolan, dan bagaimana peran keprotokolan dalam kegiatan diplomatik.

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode normatif yakni dengan mengkaji studi dokumen seperti peraturan perundang-undangan, perjanjian internasional, putusan hakim, teori hukum dan pendapat sarjana yang berhubungan dengan peran keprotokolan dalam kegiatan diplomatik dari perspektif hukum internasional.

Aturan keprotokolan yang diaplikasikan dan diimplementasikan dalam suatu kegiatan diplomatik memiliki peran positif yaitu ikut menentukan terciptanya suasana yang mempengaruhi keberhasilan suatu acara. Keprotokolan juga berperan menciptakan tata pergaulan yang mendekatkan negara satu dengan yang lainnya. Juga yang terlebih penting ialah keprotokolan memberikan rasa perlindungan, ketertiban, keamanan dan kenyamanan bagi seluruh perwakilan diplomatik yang menjalani tugasnya.

Kata Kunci : Peran, Keprotokolan, Kegiatan Diplomatik

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(9)

v

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR SINGKATAN ... vii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang………... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II: PENGATURAN HUKUM DIPLOMATIK TERKAIT KEPROTOKOLAN A. Pengertian, dan Sejarah Keprotokolan ... 19

B. Landasan Hukum Keprotokolan ... 25

C. Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup Keprotokolan ... 31

BAB III: ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM KEPROTOKOLAN DIPLOMATIK A. Pengertian, Sejarah, dan Sumber Hukum Diplomatik ... 43

B. Bentuk-Bentuk Kegiatan Diplomatik ... 59

C. Keprotokolan Diplomatik dari Aspek Hukum Internasional ... 66

(10)

vi

BAB IV: PERAN KEPROTOKOLAN DALAM KEGIATAN DIPLOMATIK DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

A. Tugas dan Tanggung Jawab Protokoler dalam Kegiatan

Diplomatik ... 71 B. Dampak Positif dan Negatif Keprotokolan Dalam Kegiatan

Diplomatik ... 88 C. Pengecualian Aturan Keprotokolan dalam Kegiatan Diplomatik .... 92 BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 96 B. Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA

(11)

vii

DAFTAR SINGKATAN

ASEAN Association of Southeast Asian Nations ADB Asian Development Bank

APEC Asia-Pacific Economic Cooperation APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ECA Economic Commission for Africa

ECCAC Ethnic and Cultural Communities Advisory FAO Food and Agriculture Organization

GCC Gulf Cooperation Council

ICAO International Civil Aviation Organization ILO International Labour Organization IMO International Maritime Organization ITU International Telecommunication Union IMF International Monetary Fund

KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia KPN Kepala Protokol Negara

KADIN Kamar Dagang dan Industri KTT Konferensi Tingkat Tinggi LO Liaison Officer

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia OAU Organization of African Unity

OC Organizing Committee

OIC Organization of Islamic Cooperation PBB Persatuan Bangsa-Bangsa

PIF Pacific Island Forum RUU Rancangan Undang-Undang WHO World Health Organization WTO World Trade Organization

UN United Nations

UNESCO United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization VVIP Very Very Important Person

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan anugerah Allah Subhanahu Wata’ala berkat perjuangan bangsa Indonesia untuk menumpas bentuk-bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sejak diproklamasikan hingga saat ini bahkan sepanjang zaman nilai-nilai Kemanusiaan akan terus dilestarikan dan bahkan ditingkatkan dalam aplikasi dan implementasinya, Penghormatan dan perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan kedudukannya itu adalah salah satu aspek dari nilai-nilai kemanusiaan. Setiap manusia berhak memperoleh penghormatan dan perlakuan sebagai mana mestinya karena hal itu konsisten dengan sila kedua dari Pancasila yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab1 dan yang lebih mendalam lagi bahwa hal itu menyangkut dengan hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah “Serangkaian hak dasar yang secara kodrati melekat dalam hakekat manusia yang pada prinsipnya adalah pemberian dari Tuhan yang Maha Esa yang tidak boleh dirampas oleh siapapun, karena sebagai bekal utama untuk pengembangan diri”

Bentuk atau perwujudan pemberian penghormatan dan perlakuan terhadap seseorang yang berkedudukan sebagai Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, dan Tokoh Masyarakat diterapkan pada suatu kegiatan acara oleh penyelenggara keprotokolan dengan aturan protokol yang ada, baik oleh institusi maupun

1 Sila ke-2 Pancasila

(13)

organisasi yang meliputi pengaturan penyambutan, urutan tempat, susunan acara, penggunaan pakaian serta pemberian perlindungan, ketertiban, keamanan, dan penyediaan sarana yang diperlukan.2

Masalah protokoler ditujukan pada keberhasilan pelaksanaan suatu kegiatan dan pada hal-hal yang mengatur seluruh manusia yang terlibat dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Suatu kegiatan apapun pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari hasil kerja tahapan-tahapan sebelumnya. Tahapan-tahapan tersebut diperlukan untuk menunjang suksesnya puncak acara.3

Aturan-aturan keprotokolan itu sendiri pada dasarnya merupakan rangkaian aturan yang dibuat dan disepakati dengan tujuan menertibkan setiap peristiwa/acara yang melibatkan satu atau lebih pihak agar berjalan lancar, tertib dan sesuai tata cara. Pada tingkat Nasional (domestik), selama ini berbagai pola hubungan dalam berbagai acara dan peristiwa resmi diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan. Keprotokolan pada tingkatan Internasional, Nasional ataupun lokal mengacu pada prinsip kelancaran, ketertiban, dan tata cara di dalam pelaksanaan berbagai kegiatan yang bersifat resmi yang pelakunya bisa berasal dari elemen masyarakat yang luas, resmi maupun tidak resmi.

Pada dasarnya memang keprotokolan amatlah terfokus pada penghormatan dan penghargaan, baik kepada perorangan, lembaga, ataupun simbol-simbol yang melekat pada perorangan dan lembaga tersebut. Dengan penerapan keprotokolan yang benar, diharapkan bahwa tidak akan terjadi kesalahpahaman atau

2 Meiliana, Etika Keprotokolan, (Jakarta, Perpustakaan Nasional, 2010), hlm. 1

3 Situs Resmi Kabupaten Buleleng, Memahami Ruang Lingkup Keprotokolan, diakses dari https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/memahami-ruang-lingkup-keprotokolan-67 pada tanggal 5 Januari 2020, pukul 22:50.

(14)

3

kesalahpengertian yang dapat mengarah pada situasi-situasi yang kurang bersahabat, ketersinggungan dan ketidakterimaan pihak-pihak yang terlibat, yang justru akan sangat berlawanan dengan cita-cita awal yaitu meningkatkan hubungan baik dan kerjasama.4

Selain daripada itu, protokol itu sendiri juga penting diterapkan dalam hubungan antarnegara/ hubungan diplomatik. Hubungan diplomatik itu sendiri merupakan instrumen hubungan luar negeri, yang merupakan kebutuhan bagi setiap negara, hal ini didasarkan pertimbangan bahwa sejak dahulu sampai saat ini tidak ada satu pun negara yang dapat berdiri sendiri tanpa mengadakan hubungan internasional. Agar semua pihak yang melakukan hubungan patuh dengan ketentuan, maka hubungan tersebut harus diatur berdasarkan hukum. Dengan penerapan hukum diplomatik yang tepat, maka masyarakat dunia dapat menikmati perdamaian karena para pihak yang berdiplomasi saling mengupayakan penghormatan terhadap hak dan pemenuhan kewajiban-kewajibannya.5

Dalam rangka mengupayakan penghormatan terhadap hak daripada masing- masing negara, maka pengaturan keprotokolan menjadi sangat amat penting dalam hubungan diplomatik tersebut, sebagaimana keprotokolan itu sendiri merupakan serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan yang berfungsi sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya

4 Ni Made Widhi Sugianingsih dan Narulita Syarweni, Penerapan Keprotokolan Dalam Penyelenggaraan Berbagai Kegiatan/Acara Di Kantor Pemerintah Daerah Kota Depok, Artikel Penelitian, April 2009, Politeknik Negeri Jakarta, Kampus UI Depok, hlm. 34

5 Muhammad-Basheer dan A. Ismail, Islamic Law and Transnational Diplomatic Law: A Quest for Compleementarity in Devergent Legal Theories (UK, Palgrave Macmillan, 2016), hlm.

14

(15)

dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat.6

Dalam hubungan antarnegara dan antarbangsa (hubungan diplomatik) diperlukan peraturan sopan santun yang berdasarkan atas pengertian yang fundamental mengenai give and take, atau dalam asas hukum internasional dikenal sebagai asas resiprositas (timbal balik). Kongres Perdamaian Westphalia pada 1648 yang mengakhiri Perang 30 tahun di Eropa Barat, merupakan suatu konferensi internasional pertama yang mengacu kearah diplomasi modern.

Pertemuan ini dihadiri oleh para wakil dari negara-negara: Australia, Prancis, dan Swedia serta beberapa negara lainnya, yang memakan waktu enam tahun untuk mengakhirinya. Kongres tersebut memakan waktu yang sedemikian lama-nya karena belum ada peraturan protokol yang dipergunakan sebagai pedoman. Wakil- wakil dari negara-negara yang kecil, siapa yang berkedudukan lebih tinggi, dan bagaimana urutannya, dapat menimbulkan persoalan lain pula.

Oleh karena itu, timbul gagasan untuk mempergunakan apa yang disebut

“meja bundar”, namun ini pun tidak menyelesaikan masalah keprotokolan, karena berebut ingin duduk dekat pintu. Akhirnya suatu peraturan keprotokolan tercipta dengan menentukan “preseance” atau “order of precedence”. Setelah itu, konferensi-konferensi internasional yang kemudian diselenggarakan berlangsung dengan lebih tertib dan lancar.7

Kemudian dikarenakan permasalahan protokol ini dianggap sangat penting dalam hubungan antar negara, maka pada tahun 1815, hal mengenai keprotokolan tersebut diundangkan melalui Vienna Convention of Diplomatic Relation yang

6 Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Pedoman Keprotokolan Negara, 2015, hlm. 5

7 Syahmin, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, (Jakarta, Rajawali Pers, 2008), hlm. 265

(16)

5

berisikan tentang pengaturan apabila kita berkunjung ke suatu negara, walaupun mempunyai kekebalan diplomatik, tetapi kita tidak dapat dengan bebas dalam bertindak di Negara tersebut, karena hal tersebut telah diatur, dimana kita dituntut untuk menghargai hukum setempat dan orang yang mengatur semua itu adalah protokol.8

Sejarah kongres Westphalia dan lahirnya Vienna Convention of Diplomatic Relation pada tahun 1815 tersebut di atas memperkuat argumen bahwa aturan keprotokolan dalam hubungan antarnegara/hubungan diplomatik terbukti sangat diperlukan dan penting, khususnya dalam keberlangsungan kegiatan-kegiatan pertemuan antar negara/kegiatan diplomatik agar berjalan dengan lancar, efisien dan efektif.

Relevansi tinjauan hukum internasional dalam keprotokolan itu sendiri ialah dikarenakan keprotokolan dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan internasional yang kemudian dibakukan sebagai pegangan dalam berperilaku. Sesuai dengan yang disebutkan didalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan bagian umum bahwa Ketentuan mengenai Keprotokolan bagi Tamu Negara, tamu pemerintah dan/atau tamu lembaga negara lain yang berkunjung ke negara Indonesia merupakan penghormatan kepada negaranya dan dilaksanakan sesuai dengan asas timbal balik, norma-norma, dan/atau kebiasaan dalam pergaulan internasional dengan tetap memperhatikan nilai sosial dan budaya bangsa Indonesia yang berkembang, tanpa mengabaikan kebiasaan yang berlaku dalam pergaulan internasional.9

8 Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia Provinsi Jawa Barat, Panduan Layanan Keprotokolan, 2014, hlm. 3

9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan

(17)

Berdasarkan latar belakang diatas, Skripsi ini berfokus untuk menganalisis dan menjelaskan mengenai bagaimana peran keprotokolan dalam kegiatan diplomatik dari perspektif hukum internasional. Dimana banyak dari berbagai kalangan yang belum mengetahui bahwa keprotokolan menjadi sangat amat penting dalam kesuksesan sebuah kegiatan diplomatik. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut lagi dengan memilih judul “Peran Keprotokolan Dalam Kegiatan Diplomatik Ditinjau Dari Hukum Internasional”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang diuraikan pada latar belakang diatas, maka masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Terkait Keprotokolan?

2. Bagaimana Aspek Hukum Internasional Dalam Keprotokolan Diplomatik?

3. Bagaimana Peran Keprotokolan Dalam Kegiatan Diplomatik Ditinjau Dari Hukum Internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari permasalahan tersebut di atas adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terkait keprotokolan

2. Untuk mengetahui aspek hukum internasional dalam keprotokolan diplomatik

3. Untuk mengetahui peran keprotokolan dalam kegiatan diplomatik ditinjau dari hukum internasional

Adapun manfaat penulisan yang dapat diambil dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

(18)

7

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan terkait keprotokolan, khususnya menyangkut keprotokolan diplomatik dalam dunia internasional. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya pada bidang yang sama.

2. Secara Praktis

Penulisan ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat agar mempunyai pandangan dan pemahaman mengenai aspek hukum internasional terkait dengan keprotokolan, khususnya bagaimana peran keprotokolan dalam keberlangsungan kegiatan diplomatik, dimana keprotokolan tersebut dapat mensukseskan atau bahkan menghambat kegiatan diplomatik tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Penulis dalam membuat judul skripsi yang berjudul “Peran Keprotokolan Dalam Kegiatan Diplomatik Ditinjau Dari Hukum Internasional”, dalam hal ini melihat perkembangan hukum mengenai keprotokolan dan menghubungkannya dengan dasar-dasar hukum yang bersumber dari peraturan perundang-perundangan, serta literatur dan bahan bacaan dari berbagai referensi yang diperoleh dari perpustakaan, internet, maupun dokumen negara.

Penulis dapat meyakinkan keaslian penulisan karya ilmiah ini dengan memastikan bahwa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak ada judul karya ilmiah atau skripsi yang sama dengan apa yang ditulis oleh penulis.

Dengan demikian, penulis meyakini bahwa skripsi ini adalah merupakan murni karya asli dari penulis.

Namun, adapun beberapa penelitian yang penulis telusuri yang memiliki

(19)

keterkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan khususnya dalam pembahasan diplomatik, yaitu sebagai berikut:

1. Nama: Faisal Anshari Dwana, NIM: 120200022, Tahun: 2016, dengan judul skripsi “Implementasi Fungsi Perwakilan Diplomatik Dalam Perlindungan Warga Negara”. Penelitian ini di dalam Bab kedua membahas mengenai tinjauan umum terkait perwakilan diplomatik, yang mana sedikit banyaknya turut dibahas di dalam Bab ketiga di skripsi yang penulis tulis ini.

2. Nama: Roy Kinayanta Sitepu, NIM: 000200163, Tahun: 2004, dengan judul skripsi “Penerapan Prinsip Inviolabilitas Dalam Kaitannya Dengan Kekebalan Dan Hak-Hak Istimewa Diplomatik Oleh Negara Penerima”. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana seorang perwakilan diplomatik mendapatkan kekebalan dan hak-hak istimewa sesuai dengan yang tercantum di dalam Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, sedangkan dalam skripsi yang penulis tulis membahas bagaimana seorang perwakilan diplomatik mendapat penghormatan khusus melalui pengaturan keprotokolan yang juga bersumber dari Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, jurnal-jurnal, informasi dari internet, maupun dokumen negara. Untuk menghindari penafsiran ganda, maka penulis memberikan penegasan batasan pengertian dari judul penelitian yang diambil dari sudut ilmu hukum, penafsiran secara etimologis,

(20)

9

maupun pendapat dari para serjana terhadap beberapa pokok pembahasan maupun materi yang akan dijabarkan dalam skripsi ini antara lain yaitu:

1. Pengertian Peran

Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (KBBI) mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh seorang yang berkedudukan di masyarakat.”10

Kata peran sering dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang atau peran dikaitkan dengan apa yang dimainkan oleh seorang aktor dalam suatu drama. Kata ‘peran’ atau role (dalam bahasa Inggris) diambil dari dramaturgy atau seni teater. Kata ‘peran’ atau ‘role’ dalam kamus Oxford Dictionary diartikan: “Actor’s part; one’s task or function, yang berarti aktor;

tugas seseorang atau fungsi.11

Menurut J.S Poerwadarminta: “Kata peran ini dapat dibubuhi dengan kata imbuhan yaitu akhir ‘an’, yang akhirnya memunculkan kata ‘peranan’ yang dapat dibuat sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan, terutama dalam terjadinya suatu hal atau peristiwa”.12

Pengertian ‘peranan’ menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut:

“peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.13

10 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 854

11 The New Oxford Ilustrated Dictionary, (Oxford University Press, 1982), hlm. 1466.

12 W.J.S Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1982), hlm.

271

13 Puline Pubjiastiti, Sosiologi untuk SMA Kelas X. (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 39

(21)

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, peran yang dimaksud oleh penulis dalam skripsi ini ialah bagaimana tugas atau kewajiban protokoler dalam menjalankan tugasnya sebagai protokol, dan juga bagaimana fungsi aturan keprotokolan itu sendiri dalam keberlangsungan kegiatan diplomatik.

2. Pengertian Protokol

Menurut KBBI, ada 4 versi pengertian daripada protokol. Yang pertama ialah protokol merupakan surat-surat resmi yang memuat hasil perundingan (persetujuan dan sebagainya). Yang kedua, peraturan upacara di istana kepala negara atau berkenaan dengan penyambutan tamu-tamu negara dan sebagainya. Yang ketiga ialah tata cara (upacara dan sebagainya) yang secara internasional berlaku dalam hubungan diplomatik. Yang keempat ialah orang yang bertugas mengatur jalannya upacara.14

Dari berbagai pengertian tersebut di atas, tampak bahwa inti dari pengertian keprotokolan adalah pengaturan yang berisi norma-norma atau aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan mengenai tata kerja agar suatu tujuan yang telah disepakati dapat dicapai. Dengan kata lain protokol dapat diartikan sebagai tata cara untuk menyelenggarakan suatu acara agar berjalan tertib, khidmat, rapi, lancar dan teratur serta memperhatikan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional.15

Awalnya, istilah protokol berarti halaman pertama yang dilekatkan pada sebuah manuskrip atau naskah. Sejalan dengan perkembangan jaman, pengertiannya berkembang semakin luas tidak hanya sekedar halaman pertama

14 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Protokol, diakses dari https://kbbi.web.id/protokol, pada tanggal 1 Januari 2020, pukul 18:35

15 Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit, hlm.3

(22)

11

dari suatu naskah, melainkan keselurahan naskah yang isinya terdiri dari catatan, dokumen persetujuan, perjanjian, dan lain-lain dalam lingkup secara nasional maupun internasional.

Perkembangan selanjutnya, protokol berarti kebiasan-kebiasaan dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan formalitas, tata urutan dan etiket diplomatik. Aturan-aturan protokoler ini menjadi acuan institusi pemerintahan dan berlaku secara universal.16

Dalam konteks kenegaraan, maka protokol dapat diartikan sebagai norma- norma yang mengatur terciptanya suatu hubungan baik di dalam bangsa dan negara maupun dalam berhubungan dengan bangsa dan negara lain. Definisi protokol menurut Encyclopedia Britanica 1962 juga memberikan pengertian terhadap aspek kenegaraan atau pemerintahan, yaitu “Protocol is a body of ceremonial rules to be observed in all witten or personal official intercourse between the Heads of different States or their Ministers. It lays down the styles and titles of states, their Heads and Public Ministers and indicates the forms and customary courtesies to be observed in all international acts”. (Protokol adalah serangkaian aturan-aturan keupacaraan dalam segala kegiatan resmi yang diatur secara tertulis maupun dipraktekkan, yang meliputi bentuk-bentuk penghormatan terhadap Negara, Kepala Negara atau menteri yang lazim dijumpai dalam seluruh kegiatan antar bangsa).17

Adapun pengertian protokol menurut buku Protocol: The Complete Handbook of Diplomatic and Social Usage, yaitu “Protocol is the set of rules prescribing good manners in official life and in ceremonies involving government

16 Situs Resmi Kabupaten Buleleng, loc. cit

17 Encyclopedia Britanica 1962, loc. cit

(23)

and nations and their representatives”. (Protokol adalah seperangkat aturan tentang perilaku dalam tata kehidupan resmi dan dalam upacara yang melibatkan pemerintah dan negara serta wakil-wakilnya)18

3. Pengertian Diplomasi atau Diplomatik

Istilah diploma berasal dari bahasa latin dan Yunani yang dapat diartikan sebagai surat kepercayaan. Perkataan diplomasi kemudian menjelma menjadi istilah diplomat, diplomasi, dan diplomatik.19

Dalam kajian lain, kata diplomasi diyakini berasal dari Bahasa Yunani

“diploun” artinya melipat. Pada masa Kekaisaran Romawi semua paspor, termasuk surat-surat jalan untuk melewati jalan-jalan di wilayah negara tersebut dicetak pada piringan logam kemudian dilipat dan dijahit menjadi satu sehingga berbentuk khas. Surat jalan dan paspor tersebut dinamakan diplomas. Orang yang mengelola diplomas disebut diplomaticus atau diplomatique.20

Kemudian pada akhir abad ke-18 penggunaan kata diplomasi sudah berkonotasi pada pengertian politik hubungan luar negeri. Menyikapi perubahan penggunaan kata diplomasi yang makin meluas tersebut, banyak ahli hukum internasional mencoba memberi pengertian istilah diplomasi dari berbagai sudut kajian, misalnya Sir Ernest Satow, Lord Strang, dan H.A. Salim.

Menurut Sir Ernest Satow diplomasi adalah penerapan kemampuan keterampilan serta intelegensi dalam pelaksanaan hubungan luar negeri antar

18 Pauline Innis, Mary Jane Mc Caffree, Richard M. Sand, Protocol: The Complete Handbook of Diplomatic, Official and Social Usage, (Texas: Durban House Publishing Ci. Inc, 2002), hlm.1

19 C.S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 71

20 Harold Nicholson, Diplomacy, (London: Oxford University Press, 1970), hlm. 55

(24)

13

pemerintah dari negara-negara yang berdaulat.21

Lord Strang mengartikan diplomasi sebagai pelaksanaan hubungan antarpemerintah dari berbagai negara melalui wakil-wakil yang ditunjuk oleh masing-masing negara, Menurut River pengertian diplomasi dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

a. diplomasi sebagai ilmu dan seni dalam mewakili negara sambal berunding;

b. diplomasi sebagai seluruh upaya mewakili negara termasuk kementerian luar negeri dan/atau seluruh agen politik suatu negara;

c. dan diplomasi sebagai karir atau profesi seorang diplomat.22

Dalam pengertian klasik, diplomasi diartikan sebagai disiplin ilmu mengenai hubungan luar negeri berdasar ketentuan dalam diploma-diploma, yaitu dokumen-dokumen tertulis dari raja. Sedangkan H.A. Salim mengartikan diplomasi sebagai cara untuk memperoleh segala sesuatu sesuai dengan kehendak pelaku.23

Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik inti bahwasanya diplomatik adalah perwakilan yang kegiatannya mewakili negaranya dalam melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu organisasi internasional.

4. Pengertian Hukum Internasional

Hukum Internasional adalah keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinisip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-

21 Sir Ernest Satow, Satow’s Guide to Diplomatic Practice, (New York: Longeman Group Limited, 1981), hlm.35

22 Ian Brownlie, The Principles of International Law: Third Edition, (London: Oxford University Press Nations, 1979), hlm.345

23 Widodo, Hukum Diplomatik dan Mahkamah Pidana Internasional, (Yogyakarta:

Aswaja Pressindo, 2017), hlm.14

(25)

negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain24, meliputi:

a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga- lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu; dan

b. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.

F. Metode Penelitian

Metode merupakan cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. Maksud metode ini ialah supaya kegiatan praktis dapat terlaksana secara rasional dan terarah agar mencapai hasil optimal.25

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu atas permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.26

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode normatif yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti studi pustaka, peraturan

24 J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm.3

25 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), hlm. 15

26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; UI press, 1986), hlm.43

(26)

15

perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, jurnal, artikel dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.27

2. Sumber Data

Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan kepustakaan (data sekunder). Metode penelitian hukum secara normatif menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut terdiri atas:

a) Bahan Hukum Primer (Primary Research/ Authoritative Records)28 Merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi dan traktat.29 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keprotokolan, perjanjian internasional mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, dan guidelines organisasi internasional mengenai keprotokolan diantaranya adalah:

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan

c. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1990 tentang Ketentuan Keprotokolan

d. Undang-Undang Nomor 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri e. Keputusan Presiden Nomor 32/1971 tentang Protokol Negara

27 Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2009), hlm. 35.

28 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta; PT RajaGrafindo Parsada, 2006) hlm. 113-114

29 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, loc.cit

(27)

f. Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961 g. Vienna Convention on Consular Relations, 1963 h. UN Protocol Guidelines

i. ASEAN Protocol Guidelines j. dan lain-lain

b) Bahan Hukum Sekunder (Secondary Research/ not Authoritative Records)

Merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan hukum sekunder dalam hal ini adalah bahan kepustakaan yang menjelaskan bahan hukum primer, termasuk di dalamnya majalah, jurnal ilmiah, koran dan lain sebagainya. Bahan hukum sekunder terdiri dari:

a. Buku-buku tentang Keprotokolan b. Buku-buku tentang Hukum Diplomatik c. Buku-buku tentang Hukum Konsuler d. Jurnal Hukum Nasional

e. Jurnal Hukum Internasional f. dan lain-lain

c) Bahan Hukum Tersier (Tertiary Research)

Merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder.30 Bahan hukum tersier terdiri dari:

a. Kamus umum Bahasa Indonesia b. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia

30 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, loc.cit

(28)

17

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, perjanjian internasional, literatur-literatur, tulisan- tulisan para pakar, dan dokumen negara.31

Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah untuk mendapatkan pasal-pasal, kaidah-kaidah yang mengatur tentang keprotokolan, hubungan diplomatik, serta ketentuan-ketentuan dan aturan, dan kebiasaan internasional dalam keprotokolan diplomatik.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini adalah analisis kualitatif, dimana data-data yang telah dikumpulkan kemudian dipisah-pisahkan menurut kategori masing- masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban dari masalah penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I: Bab pertama adalah bab yang menerangkan mengenai latar belakang yang menjelaskan alasan pemilihan judul penelitian kemudian akan dilanjutkan dengan perumusan masalah dan diikuti dengan tujuan penelitian serta manfaat dari penelitian. Bab ini juga membahas mengenai keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan serta

31 Ibid hlm.24

(29)

metodelogi penelitian yang digunakan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II: Bab kedua membahas tentang pengertian dan sejarah keprotokolan, landasan hukum keprotokolan, serta asas, tujuan, dan ruang lingkup keprotokolan.

BAB III: Bab ketiga akan membahas mengenai pengertian, sejarah, dasar hukum diplomatik, dan bentuk-bentuk kegiatan diplomatik, serta membahas mengenai keprotokolan diplomatik dari aspek hukum internasional.

BAB IV: Bab keempat membahas mengenai peran keprotokolan dalam kegiatan diplomatik, yang berisikan tentang tugas dan tanggung jawab protokoler dalam kegiatan diplomatik, kemudian dampak positif dan negatif keprotokolan dalam kegiatan diplomatik, dan juga pengecualian aturan keprotokolan dalam kegiatan diplomatik.

BAB V : Bab kelima berisi kesimpulan dari seluruh jawaban atas rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya dan saran dari penulis yang diharapkan dapat bermanfaat bagi keprotokolan secara luas khususnya menyangkut dengan peran keprotokolan dalam kegiatan diplomatik ditinjau dari hukum internasional.

(30)

19 BAB II

PENGATURAN HUKUM TERKAIT KEPROTOKOLAN A. Pengertian, dan Sejarah Keprotokolan

Dari berbagai literatur, disebutkan bahwa istilah “Protokol” pada awalnya dibawa ke Indonesia oleh bangsa Belanda dan Inggris pada saat mereka menduduki wilayah Hindia Belanda, yang mengambilnya dari Bahasa Perancis Protocole. Bahasa Perancis mengambilnya dari Bahasa Latin Protokollum, yang aslinya berasal dari Bahasa Yunani, yaitu dari kata-kata protos dan kolla. Protos berarti “yang pertama” dan kolla berarti “lem” atau “perekat”. Mula-mula perkataan ini digunakan bagi lembaran pertama dari suatu gulungan papyrus atau kertas tebal yang ditempelkan atau dilekatkan. Kemudian perkataan protokol digunakan untuk semua catatan dokumen negara yang bersifat nasional dan internasional. Dokumen tersebut memuat himpunan persetujuan antar negara kota (city states) dan kemudian antar bangsa. Dengan demikian perkataan protokollum yang mulanya digunakan untuk istilah gulungan-gulungan dokumen baru, kemudian digunakan bagi isi dari persetujuan-persetujuan itu sendiri (misalnya persetujuan utama yang dewasa ini sudah berbentuk: convention, treaties, charter, statue, declaration, dan lain sebagainya, sedangkan persetujuan-persetujuan tambahan misalnya Two Protocols Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949).32

Pada Situasi yang berbeda, perkataan protokollum itu tidak digunakan untuk persetujuan-persetujuan pokok, melainkan untuk dokumen-dokumen tambahan dari persetujuan-persetujuan pokok. Perkataan protokol juga digunakan bagi suatu

32 Frits Kalshoven dan Liesbeth Zegveld, Constraints on The Waging of War - An Introduction to International Humanitarian Law, (Geneva, ICRC, 2001), hlm.83

(31)

proses verbal, yaitu notulen atau catatan resmi (official minutes) yang mencatat jalannya perundingan dan kemudian pada tiap akhir siding ditandatangani semua peserta. Tiap persetujuan (agreement) yang akan menjadi perjanjian (treaty) juga disebut protokol, seperti Protokol Jenewa, Protokol Paris, Protokol Kyoto.

Pengertian protokol seperti ini sampai sekarang masih berlaku.33

Menurut Sumaryo Suryokusumo, dalam tulisannya menjelaskan makna istilah protokol dalam tiga pengertian, yaitu:34

1. Aturan-aturan di dalam etika diplomatik dan praktik-praktik lainnya yang bersifat seremonial, termasuk formalitas-formalitas diplomatic;

2. Suatu persetujuan pendahuluan yang ditandatangani oleh wakil dari dua negara atau lebih mengenai kesepakatan yang dicapai dari pembicaraan;

3. Bagian dari perjanjian atau instrument hukum internasional lainnya yang dibuat oleh negara-negara (contoh Protokol Tambahan – Additional Protocol; Protokol Pilihan – Optional Protocols).

Dari berbagai pengertian tersebut di atas, tampak bahwa inti dari pengertian keprotokolan adalah pengaturan yang berisi norma-norma atau aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan mengenai tata kerja agar suatu tujuan yang telah disepakati dapat dicapai. Dengan kata lain protokol dapat diartikan sebagai tata cara untuk menyelenggarakan suatu acara agar berjalan tertib, khidmat, rapi, lancar dan teratur serta memperhatikan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional. Dengan meningkatnya hubungan antar bangsa, lambat-laun orang mulai mencari suatu tatanan yang dapat mendekatkan suatu bangsa dengan bangsa lainnya dan dapat diterima secara merata oleh semua pihak.

33 C. S. T. Kansil, op.cit, hlm. 351

34 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Dalam Teori dan Kasus, (Bandung, PT Alumni, 1995), hlm. 172

(32)

21

Esensi di dalam tatanan tersebut, antara lain mencakup: 35

a. Tata cara, yang menentukan tindakan yang harus dilakukan dalam suatu acara tertentu.

b. Tata krama, yang menentukan pilihan kata-kata ucapan, dan perbuatan yang sesuai dengan tinggi rendahnya jabatan seseorang.

c. Norma-norma dan tradisi/kebiasaan yang telah ditentukan secara universal ataupun di dalam suatu bangsa.

Dalam konteks kenegaraan, maka protokol dapat diartikan sebagai norma- norma yang mengatur terciptanya suatu hubungan baik di dalam bangsa dan negara maupun dalam berhubungan dengan bangsa dan negara lain. Definisi protokol menurut Encyclopedia Britanica 1962 juga memberikan pengertian terhadap aspek kenegaraan atau pemerintahan, yaitu:

“Protocol is a body of ceremonial rules to be observed in all written or personal official intercourse between the Heads of different States or their Ministers. It lays down the styles and titles of states, their Heads and Public Ministers and indicates the forms and customary courtesies to be observed in all international acts”. 36

(Protokol adalah serangkaian aturan-aturan keupacaraan dalam segala kegiatan resmi yang diatur secara tertulis maupun dipraktekkan, yang meliputi bentuk-bentuk penghormatan terhadap Negara, Kepala Negara atau menteri yang lazim dijumpai dalam seluruh kegiatan antar bangsa).

Pendapat lain yang juga memberikan perhatian bahwa pengertian protokol berkaitan erat dengan aspek negara dan pemerintahan tercantum dalam buku Protocol: The Complete Handbook of Diplomatic and Social Usage (Protokol : Panduan Lengkap Penggunaan dalam Dunia Diplomatik dan Sosial) bahwa:

“Protocol is the set of rules prescribing good manners in official life and in

35 Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, loc.cit

36 Encyclopedia Britannica, 1962

(33)

ceremonies involving government and nations and their representatives”.37 (Protokol adalah seperangkat aturan tentang perilaku dalam tata kehidupan resmi dan dalam upacara yang melibatkan pemerintah dan negara serta wakil-wakilnya).

Sedangkan dalam Wikipedia ensiklopedia bebas menyebutkan bahwa Protokoler etiket berdiplomasi dan urusan negara. Sebuah protokol adalah sebuah aturan yang membimbing bagaimana sebuah aktivitas selayaknya dijalankan terutama dalam bidang diplomasi. Dalam bidang diplomatik dan pemerintahan protokol usaha seringkali garis pembimbing yang tak tertulis. Protokol membahas kebiasaan yang layak dan diterima-umum dalam masalah negara dan diplomasi, seperti menunjukkan rasa hormat kepada kepala negara, diplomat utama dalam urutan kronologikal dalam pengadilan, dan lain-lain.38

Keberadaan protokoler sendiri diperlukan oleh karena adanya kebutuhan di dalam kehidupan masyarakat, demikian juga halnya dalam hubungan antarnegara dan antarbangsa, diperlukan peratur-an yang berlandaskan pada kesopanan dan kesantunan yang berdasarkan atas pengertian yang fundamen-tal mengenai give and take. Seperti diketahui bahwa Kongres Perdamaian Westphalia pada tahun 1642 yang mengakhiri Perang 30 tahun merupakan suatu Konperensi Internasional pertama yang mengacu ke arah diplomasi modern. Pertemuan ini dihadiri oleh para wakil dari negara-negara Austria, Perancis clan Swedia serta bebe-rapa negara lainnya. Pertemuan ini memakan waktu 6 tahun lamanya untuk mengakhirinya. Kongres tersebut mengambil waktu yang demikian lamanya, karena belum ada peraturan protokol yang dipergunakan sebagai pedoman. Wakil-

37 Pauline Innis, Mary Jane Mc Caffree, Richard M. Sand, loc.cit, hlm.1

38 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Protokol, diakses dari

https://id.wikipedia.org/wiki/Protokol , pada 13 Januari 2020, pukul 15:47

(34)

23

wakil dari negara-negara besar menginginkan tempat yang terhormat dari negara- negara yang kecil. Siapa yang berkedudukan lebih tinggi dan bagaimana urutannya menimbulkan persoalan.39

Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Protokol tanggal 7-9 Maret 2004 di Jakarta telah disepakati suatu pengertian keprotokolan yakni “Norma-norma atau aturan-aturan atau kebiasaan yang dianut atau diyakini dalam kehidupan bernegara, berbangsa, pemerintah dan masyarakat.” Untuk keprotokolan di Indonesia sendiri dahulu di atur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987, namun karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan masa kini sehingga pada tahun 2010 mengalami pergantian menjadi Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 mengenai keprotokolan.

Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Keprotokolan adalah:

“Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat”.40

Dari beberapa pengertian tersebut diatas, tampak bahwa materi yang terkandung didalam pengaturan protokol adalah Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan. Ketiga aspek tersebut merupakan inti dari segala kegiatan/acara kenegara resmi. Selain ketiga aspek tersebut, untuk dapat melaksanakan pengaturan protokol diperlukan berbagai pengetahuan teknis mengenai materi-materi yang berkaitan dengan sumber-sumber aturan protokol

39 Korps Protokoler Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Keprotokolan, Protokoler, dan Mahasiswa, diakses dari http://kpm.unpad.ac.id/en/keprotokolan-protokoler-dan-mahasiswa/ , pada 13 Januari 2020, pukul 15:51

40 Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.

(35)

agar dapat menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

Berikut beberapa istilah dan terminologi mengenai keprotokolan yang kiranya dapat memberikan pemahaman tentang protokol, antara lain:

a. Kedudukan Protokoler adalah kedudukan yang diberikan kepada seseorang untuk mendapatkan penghormatan, perlakuan dan tata tempat dalam acara/pertemuan resmi.41

b. Hak protokoler adalah Hak anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya dalam acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya42 Berdasarkan kedudukan dan hak protokoler tersebut, maka Negara memberikan penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, Perwakilan Negara Asing dan/atau Organisasi Internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat.43

41 Pasal 1 ayat (6) PP Nomor 24 Tahun 2004

42 UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

43 Pasal 3 UU Nomor 9 Tahun 2010

(36)

25

B. Landasan Hukum Keprotokolan

Sumber-sumber protokol adalah norma-norma internasional dan nasional yang menjadi rujukan dalam menentukan pengetuaran keprotokolan, Adapun hal- hal yang mendasari pengaturan keprotokolan pada tingkat nasional maupun dalam hubungan antar bangsa, antara lain:

a. Persetujuan/Konvensi Internasional yang mengatur tentang keprotokolan dalam kaitan hubungan antar bangsa:44

1. Konvensi Wina 1815 (mengatur Dinas Diplomatik);

2. Konvensi Aix-la Chapelle 1818 (mengatur Dinas Diplomatik);

3. Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik;

4. Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler;

5. Protocol Guidelines dari Organisasi Internasional.

b. Berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur keprotokolan di Indonesia, antara lain:45

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang telah diamandemen;

2. Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor III/MPR Tahun 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Negara;

3. Keputusan MPR Republik Indonesia Nomor 8/MPR Tahun 2004 tentang Kode Etik Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

44 Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit, hlm.6.

45 Ibid, hlm.7.

(37)

4. Keputusan MPR Republik Indonesia Nomor 13/MPR Tahun 2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 tentang Ratifikasi Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler;

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005;

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI;

11. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan;

12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan;

13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan

(38)

27

14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;

16. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pelantikan Jabatan Negeri;

17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara;

18. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia

19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1958 tentang Penggunaan Bendera Kebangsaan Asing

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1958 tentang Panji dan Bendera Negara;

21. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara;

22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya;

23. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1990 tentang Ketentuan Keprotokolan mengenai Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan;

24. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota

(39)

DPRD, terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan ketiga atas PP Nomor 24 Tahun 2004;

25. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

26. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2012 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

27. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah;

28. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan;

29. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2013 tentang Pengamanan Presiden dan Wakil Presiden, Mantan Presiden dan Mantan Wakil Presiden beserta Keluarganya serta Tamu Negara setingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan;

(40)

29

30. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1971 tentang Protokol Negara;

31. Keputusan Presiden Republik Indoenesia Nomor 108 Tahun 2004 tentang Struktur Organisasi Perwakilan Republib Indonesia;

32. Keputusan Republik Indonesia Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Penangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019

33. Peratura Menteri Sekretaris Negara Nomor 13 tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keprotokolan Kunjungan Presiden/Wakil Presiden Republik Indonesia Ke Luar Negeri;

34. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah;

35. Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Luar Negeri;

36. Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2004 tentang Struktur Organisasi Perwakilan Republik Indonesia;

37. Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai Perubahan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1995 dan sebagaimana telah diubah dengan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 15 Agustus 2005 Nomor 120 /2061/SJ Perihal Pedoman Tata Cara Pengucapan Sumpah/Janji Jabatan dan Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

(41)

38. Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 155 Tahun 2004 tentang Tata Cara Peresmian, Pengucapan Sumpah/Janji Anggota dan Penetapan Pimpinan Sementara DPRD Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004;

39. Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 162 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD;

40. Surat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia kepada para Gubernur, Nomor B.199/MENKO/KESRA/X/2009 tanggal 15 Oktober 2019 tentang Himbauan Memakai Batik;

41. Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/292/IX/2004 Tanggal 6 September 2004 tentang Tata Upacara Militer TNI;

42. Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Skep/346/X/2004 Tanggal 5 Oktober 2004 tentang Pedoman Penggunaan Dinas Seragam Tentara Nasional Indonesia.

Adapun beberapa rujukan lainnya dari keprotokolan ialah: 46 a. Tradisi, adat-istiadat, dan kebiasaan setempat;

b. Azas Timbal Balik (reciprocity)

c. Praktik pergaulan internasional (international practices);

d. Logika umum (common sense).

46 Ibid, hlm.9.

(42)

31

C. Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup Keprotokolan 1. Asas Keprotokolan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan, maka keprotokolan diatur berdasarkan asas:

a. kebangsaan

b. ketertiban dan kepastian hukum

c. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, dan;

d. timbal balik

Adapun penjelasan atas 4 asas diatas adalah:

a. Asas kebangsaan

Asas kebangsaan adalah sebuah asas yang diberlakukan untuk negara pada setiap warga negaranya, yaitu untuk setiap warga negara, terlepas dari keberadaan mereka di luar negeri, perlakuan hukum di negara asalnya tetap berlaku. Dengan asumsi bahwa seseorang melakukan kejahatan atau tindakan pidana di luar negeri, itu akan terus diatur oleh hukum negara asal, karena dalam asas tersebut mempunyai sebuah kekuatan ekstrateritorial.47

Prinsip yang diberikan oleh Asas Kebangsaan ini memiliki sifat yang terbuka namun harus memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan oleh suatu negara tersebut. Maka setiap warga negara yang ingin menetap di negara lain harus bisa menjadi warga negara yang sebelumnya untuk bisa menjaga dan memberikan hukum yang dipergunakan.

Asas Kebangsaan ini memiliki beberapa contoh, misalnya seseorang yang berkewarganegaraan Indonesia ingin mengikuti Pemilu di negara lain untuk bisa

47 Evitasari, pengertian hukum internasional, diakses dari

https://guruakuntansi.co.id/pengertian-hukum-internasional/, pada tanggal 8 Januari 2020, pukul 23.42.

(43)

mengikutinya, Namun dengan itu harus bisa diberikan penjelasaan yang rinci untuk bisa mengatakan bahwa seseorang ini akan mengikuti Pemilu di dalam atau diluar negara tersebut. Maka penyelesaian yang tepat untuk penggunaan Asas kebangsaan ini adalah seseorang itu harus ditanya dan harus memilih untuk berkewarganegaraan Indonesia atau dinegara lain, dan harus bisa menyesuaikan diri dengan hukum yang sudah diterapkan oleh suatu negara tersebut. Dengan adanya Asas Kebangsaan ini maka warga negara harus bisa membentuk hukum yang sudah dibentuk kepada aturan yang ditetapkan oleh Presiden.48

Yang dimaksud dengan “kebangsaan” dalam asas keprotokolan adalah keprotokolan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.49

Penjelasan kebangsaan dalam hal ini ialah pengaturan dilakukan selaras dengan kedudukannya sebagai lambang kedaulatan meningkatkan jiwa dan semangat kebangsaan. Kebangsaan ini meliputi presean, kunjungan pejabat RI dan tamu asing ke daerah serta penghormatan jenazah dengan menggunakan bendera kebangsaan.50

b. Asas ketertiban dan kepastian umum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.

Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua

48 Mardhi Andika Luthfi, pengertian asas territorial, kebangsaan, dan kepentingan umum, diakses dari http://mardhiandikaluthfi.com/2012/06/pengertian-asas-teritorial- kebangsaan.html , pada 13 Januari 2020, pukul 18:06

49 Penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010

50 Korps Protokoler Mahasiswa Universitas Padjadjaran, loc.cit

(44)

33

orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum yang bermakna di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum.

Kepastian hukum adalah sicherkeit des Rechts selbst yang bermakna kepastian tentang hukum itu sendiri. Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum itu adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Berbicara mengenai kepastian, maka seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts).

Ketidakpastian hukum, akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana social disorganization atau kekacauan sosial.

Dalam Penjelasan Pasal 3 angka 1 Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, yang dimaksud dengan asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.51

Dalam menjaga kepastian hukum, peran pemerintah dan pengadilan sangat penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang diatur oleh

51 Penjelasan Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

Referensi

Dokumen terkait

Tata Upacara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah aturan untuk melaksanakan upacara dalam acara resmi dilingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang

kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara dan Tata Penghormatan sebagai bentuk pengormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau

Tata Upacara Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disebut dengan Tata Upacara BNN adalah aturan untuk melaksanakan upacara dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokoleran menjelaskan bahwa keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau

Protokol, adalah serangkaian aturan dalam acara kenegaraan di daerah atau acara resmi yang meliputi aturan mengenai tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan kepada seseorang

Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan yang diberlakukan dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi

ATAU ACARA RESMI YANG MELIPUTI ATURAN MENGENAI TATA TEMPAT, TATA UPACARA DAN TATA PENGHORMATAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGHORMATAN KEPADA SESEORANG SESUAI DENGAN JABATAN ATAU

(1) Tata tempat bagi Walikota, Ketua DPRD dan Muspida dalam acara kenegaraan, acara resmi dan atau upacara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dihadiri