• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN

TENTANG

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

I. UMUM

Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang berlimpah dengan keanekaragaman yang tinggi, baik di darat, maupun di perairan serta keanekaragaman pengetahuan tradisional, sehingga Indonesia dikenal sebagai salah satu dari sedikit negara mega bio-kultural-diversitas di dunia.

Sumber daya alam hayati tersebut merupakan sumber daya strategis karena menyangkut ketahanan nasional, dikuasai oleh negara yang diatur pengelolaannya secara optimal dan berkelanjutan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Walaupun keanekaragaman hayati di Indonesia berlimpah, namun sumber daya alam hayati tersebut tidak tak terbatas dan mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) apabila dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam keberadaan sumber daya alam itu sendiri, dan sampai pada tahap tertentu akan dapat memusnahkan keberadaannya.

Keanekaragaman hayati tersebut, terdapat pada tiga tingkatan yaitu keanekaragaman ditingkat ekosistem, spesies (jenis) dan genetik. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama keanekaragaman hayati tersebut mempunyai fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, dimana ekosistem, spesies, dan genetik mampu menghasilkan dan memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia. Dengan demikian pengaturan tindakan konservasi termasuk pelindungan merupakan inti perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Guna terjaminnya kelestarian manfaat keanekaragaman hayati bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, perlu dilakukan tindakan konservasi keanekaraman hayati. Tindakan konservasi tersebut berupa pengelolaan keanekaragaman hayati secara bijaksana dengan tetap menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelindungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Pengaturan tindakan konservasi keanekaragaman hayati diharapkan mampu menjamin kepastian hukum hubungan antara masyarakat dengan sumber daya alam hayati, kelestarian sumber daya alam hayati, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dalam kaitannya dengan sumber daya alam hayati, serta terjaminnya distribusi manfaat secara adil dan berkelanjutan.

Dewasa ini telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang konservasi yaitu UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini telah berumur hampir 25 tahun, dan selama masa tersebut telah mampu menjadi dasar penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Namun demikian dalam tenggang waktu tersebut telah terjadi banyak sekali perubahan lingkungan strategis nasional seperti berubahnya sistem

(2)

politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi, maupun perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan internasional dalam penyelenggaraan konservasi.

Lingkungan strategis internasional, telah banyak mengalami perubahan tercermin dalam kesepakatan internasional mengenai prinsip pembangunan berkelanjutan, Millenium Development Growths (MDGs), kesepakatan yang berkaitan dengan perubahan iklim dan lain–lain. Perubahan tersebut telah mendorong dibangunnya upaya bersama untuk melaksanakan pembangunan dengan prinsip “pertumbuhan hijau”atau dikenal juga dengan ekonomi hijau, dimana pembangunan diarahkan untuk menjamin kehidupan manusia dan terselenggaranya keadilan sosial sekaligus meminimalkan dampak buruk ekologis, serta kelangkaan sumber daya alam hayati dengan emisi rendah karbon dan pemanfaatan efisien sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Secara nasional, perubahan lingkungan strategis yang paling menonjol adalah berubahnya sistem pemerintahan RI dari sentralisasi ke desentralisasi. Dengan perubahan ini sebagain besar penyelenggaraan pembangunan termasuk pembangunan yang berkaitan dengan sumber daya alam telah ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam penyelenggaraan pembangunan telah ditetapkan prinsip concurrency dengan memperhatikan eksternalitas, dampak serta efisiensinya. Pengelolaan kawasan hutan konservasi seperti taman nasional secara tegas memang masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat); sedang kegiatan lainnya termasuk konservasi diluar kawasan hutan negara seharusnya menjadi kewenangan daerah.

Disamping berubahnya sistem pemerintahan, perubahan yang juga menonjol di tingkat nasional adalah reformasi yang berkaitan dengan perbaikan pelayanan publik, pesatnya pertumbuhan teknologi informasi, serta menguatnya kelembagaan masyarakat adat, menguatnya peran DPR/DPRD dan DPD serta peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mendorong arah pembangunan ke depan.

Perubahan strategis ini mendorong perlunya peningkatan peran para pihak, dan masyarakat serta keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat dalam pengurusan konservasi di Indonesia tanpa mengorbankan konservasi sumber daya alam itu sendiri.

Kondisi di atas, serta memperhatikan tantangan ke depan seperti menguatnya tekanan masyarakat terhadap kawasan konservasi, meningkatnya jumlah penduduk yang memerlukan percepatan pembangunan di segala sektor memerlukan legislasi nasional mengenai konservasi yang mampu melindungi keanekaragaman hayati secara efektif serta menjamin kemanfaatan bagi masyarakat; sehingga dipandang perlu untuk mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan undang-undang yang dapat memberi jaminan yang lebih kokoh dalam penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati.

Undang-Undang ini disusun sebagai jawaban terhadap kondisi di atas dengan memperhatikan keselarasan hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya dimana manusia tidak menjadi inti dari kehidupan tetapi manusia harus menjaga kelestarian keanekaragaman hayati demi kelangsungan hidupnya atau pada setiap kegiatan pembangunan harus selalu menjamin terjadinya harmonisasi hubungan antara kehidupan manusia dengan alam dan budayanya.

Konservasi keanekaragaman hayati dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 meliputi tiga aspek utama yaitu, yang didasarkan pada Strategi Konservasi Dunia. Sesuai dengan Perlindungan keanekaragaman hayati meliputi berbagai kegiatan seperti:

(3)

perlindungan penyangga kehidupan;

b. penetapan status perlindungan jenis dan kawasan dan larangan; serta c. pengaturan akses dan kelembagaan terhadap sumber daya genetik dan

pembagian keuntungan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menggunakan istilah pengawetan dalam kegiatan penetapan status perlindungan jenis dan kawasan serta larangannya, dalam UU ini pengawetan tidak lagi dipergunakan karena kegiatan utamanya adalah perlindungan, disamping itu penggunaan istilah pengawetan memberi konotasi yang terbatas dan statis.

Pengaturan konservasi keanekaragaman hayati kedepan diharapkan mampu:

a. mencegah kerusakan atau kepunahan serta menjamin kelestarian fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati bagi keberlangsungan sistem penyangga kehidupan;

b. meningkatnya luasan jaringan kawasan konservasi, serta kesejahteraan satwa liar;

c. meningkatkan koordinasi lintas sektor bagi keberhasilan konservasi, serta semakin efektifnya kegiataan koordinasi di bawah sekretariat nasional konservasi bagi pembangunan;

d. mengatur kegiatan konservasi secara utuh termasuk posisinya sebagai penentu sistem penyangga kehidupan;

e. meningkatkan peluang lapangan pekerjaan berbasis kelestarian bagi masyarakat disekitar wilayah konservasi, meningkatnya legalitas dan penghasilan pengelolaan jasa hutan, serta terkendalinya konflik kawasan / konflik satwa;

f. mewujudkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dibidang konservasi kehati, dalam hal ini termasuk meningkatnya partisipasi para pihak dalam kegiatan konservasi termasuk dalam hal ini yang berhubungan dengan keterbatasan dana pemerintah;

g. meningkatnya keadilan dalam penegakan hukum, serta tumbuhnya efek jera bagi setiap tindakan merusak atau yang dapat mengganggu kelestarian kehati;

h. mengisi kekosongan hukum, antara lain dalam pengaturan konservasi genetik, kesejahteraan satwa, perlindungan wilayah konservasi bukan kawasan konservasi (seperti zona penyangga, wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi).

Pokok-pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi :

a. perlindungan dalam undang-undang ini meliputi pengaturan terhadap hal-hal yang selama ini dikenal dengan kegiatan pengawetan jenis dan ekosistemnya serta perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Perlindungan keanekaragaman hayati merupakan perlindungan unsur-unsur keanekaragaman hayati berupa genetik dan spesies yang merupakan unsur utama penyangga kehidupan manusia. Dengan demikian undang-undang ini tidak secara khusus mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan.

(4)

mencegah kerusakan atau kepunahan dan menjamin kelestarian fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati untuk menyangga kehidupan manusia.

Perlindungan keanekaragaman hayati meliputi penetapan status perlindungan dan pengaturan pengelolaan kehati.

b. pemanfaatan diutamakan untuk kelestarian keanekaragaman hayati dengan prinsip pemanfaatan ramah lingkungan, kelestarian budaya setempat, bermanfaat bagi masyaratakan sekitar baik untuk kepentingan komersial maupun non komersial dengan tidak melebihi daya dukungnya.

Pemanfaatan keanekaragaman hayati meliputi pemanfaatan genetik, spesies dan ekosistem sesuai status perlindungannya dengan tidak melebihi daya dukungnya serta meliputi pengaturan terhadap perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), akses termasuk pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetik, sumber spesimen dan sistem produksi.

c. pemulihan keanekaragaman hayati dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi keanekaragaman hayati yang terdegradasi atau mengalami kerusakan ke kondisi awal atau ke tingkat yang diinginkan.

Restorasi keanekaragaman hayati dilakukan terhadap sumber daya genetik, spesies dan ekosistem.

d. partisipasi yang selama ini belum optimal, melalui pengaturan ini diharapkan akan terus tumbuh dan berkembang bagi terwujudnya tujuan konservasi. Kegiatan partisipasi antara lain kerjasama pengelolaan, pengelolaan wilayah konservasi, dan pengelolaan wilayah konservasi di luar tanah negara.

e. pendanaan mengatur sumber-sumber dana konservasi termasuk dana hasil kerjasama kegiatan konservasi.

f. penyelesaian sengketa dimaksudkan untuk memberikan pilihan kepada pihak-pihak yang bersengketa di bidang konservasi keanekaragaman hayati. Pilihan dimaksudkan untuk membuka kesempatan kepada masyarakat luas untuk melakukan peyelesaian sengketa dan efektifitas penyelesaian sengketa.

Para pihak yang bersengketa dapat melakukan gugatan ke pengadilan dengan mekanisme gugatan biasa, gugatan perwakilan (class action), gugatan organisasi (legal standing), hak gugat warga negara (citizen suit). g. pengamanan dilakukan untuk menjaga terjaminnya kelestarian sumber

daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, dan hak-hak Negara, masyarakat dan perorangan terhadap sumber daya alam dan dalam upaya-upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemmnya. Petugas yang bertindak sebagai ujung tombak pengamanan diberi wewenang kepolisian khusus (policing) atau penyidikan.

h. kerja sama internasional merupakan tindak lanjut pengaturan konvensi international pada tingkat genetik, spesies dan ekosistem. Ditujukan untuk penguatan penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat internasional, regional dan nasional.

(5)

rampasan terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan pidana dibidang konservasi ditujukan untuk adanya efek jera bagi pelaku. Sanksi pidana dapat berupa pidana kurungan, denda, dan kerja sosial. Badan hukum yang melakukan tindak pidana diancam pidana dengan pemberatan.

Pihak-pihak yang berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana konservasi diberi insentif oleh pemerintah dari hasil lelang.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan “Asas kelestarian” adalah usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa mendatang.

Yang dimaksud dengan “Asas kemanfaatan yang berkelanjutan” adalah bahwa penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan peri kehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, secara merata dan adil serta peningkatan kelestarian sumber daya alam hayati. Pemanfaatan sumber daya alam hayati tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber daya non-hayati.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik” adalah bahwa konservasi keanekaragaman hayati dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.

(6)

Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Huruf c

(7)

Yang dimaksud dengan bentuk penguasaan merupakan bentuk penguasaan oleh mayarakat adat dan/atau masyarakat lokal yang senyata-nyatanya ada di lapangan dengan itikad baik.

Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Pasal 7 Angka (1) Cukup jelas. Angka (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Angka (3) Huruf a

Yang dimaksud dengan spesimen satwa liar pra-perlindungan adalah spesimen satwa liar yang diperoleh atau dimiliki sebelum spesies yang bersangkutan dimasukkan ke dalam salah satu kategori perlindungan spesies sepanjang dapat dibuktikan melalui dokumen-dokumen perizinan yang sah. Huruf b

Spesimen tumbuhan liar antara lain, biji, benang sari (serbuk sari), bunga potong, anakan, atau hasil kultur jaringan yang diperoleh secara in vitro, dapat berupa spesimen di dalam media cair maupun padat dan dibawa di dalam kontainer steril dari hasil perbanyakan tumbuhan.

Angkat (4) Cukup jelas. Angka (5) Cukup jelas. Angka (6) Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a

Kondisi barada dalam bahaya kepunahan (critically endangered) bisa terjadi antara lain akibat mendapatkan tekanan pemanfaatan dan/atau mendapatkan tekanan akibat kerusakan habitat.

Huruf b

Yang dimaksud dengan spesies yang populasi di habitat alamnya kecil atau langka dicirikan oleh paling tidak salah satu dari

(8)

hal-hal berikut:

a. diketahui atau diduga terjadi penurunan secara tajam pada jumlah individu di alam serta penurunan luas dan kualitas habitat;

b. jumlah sub populasi kecil;

c. mayoritas individu dalam satu atau lebih fase sejarah hidupnya pernah terkonsentrasi hanya pada satu atau sedikit sub populasi saja;

d. dalam waktu yang pendek pernah mengalami fluktuasi yang tajam pada jumlah individu;

e. karena sifat biologis dan perilaku spesies tersebut, seperti migrasi, spesies tersebut rentan terhadap bahaya kepunahan; dan/atau

f. analisis kuantitatif memperlihatkan kemungkinan atau peluang terjadinya kepunahan adalah 20 (dua puluh) persen sampai dengan 50 (lima puluh) persen dalam waktu 10 (sepuluh) sampai 20 (dua puluh) tahun atau dalam 3 (tiga) sampai 5 (lima) generasi yang akan datang.

Huruf c

Spesies endemik yang penyebarannya terbatas dicirikan dengan paling sedikit salah satu dari hal-hal berikut yaitu:

a. hanya terdapat di satu atau beberapa lokasi atau pulau; b. populasi terpisah-pisah atau terfragmentasi;

c. terjadi fluktuasi yang besar pada jumlah populasi atau luas areal penyebarannya;

d. adanya dugaan penurunan yang tajam pada areal penyebarannya, jumlah sub populasi, jumlah individu, luas dan kualitas habitat atau potensi reproduksi.

Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 9 Angka (1)

Yang dimaksud dengan hasil pengembangbiakan atau perbanyakan di dalam lingkungan terkontrol adalah generasi kedua (F2) dan seterusnya dari perkembangbiakan atau perbanyakan spesimen dilindungi.

Angka (2) Cukup jelas. Angka (3) Cukup jelas. Angka (4) Cukup jelas.

(9)

Pasal 10 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Yang dimaksud dengan pemanfaatan yang tidak dikendalikan adalah pemanfaatan yang melebihi kemampuan populasi untuk meregenerasi diri.

Huruf c

Yang termasuk dalam spesies yang secara visual mirip atau sulit dibedakan yaitu spesies yang populasinya di alam saat ini masih melimpah sehingga sebenarnya masuk kriteria spesies dipantau, namun menjadi banyak dimanfaatkan karena kemiripan fisiknya dengan spesies yang dikendalikan sehingga mempengaruhi efektivitas pelindungan spesies dikendalikan yang mirip dengannya. Perlakuan terhadap spesies dimaksud sama dengan perlakuan terhadap spesies dikendalikan.

Huruf d

Cukup jelas.

Pasal 11

Pemantauan pemanfaatan dilakukan untuk mengetahui kemampuan populasi suatu spesies dalam menerima tekanan pemanfaatan. Pemantauan pemanfaatan dilakukan antara lain melalui sistem pencatatan dan pendataan pemanfaatan yang teratur sehingga diperoleh informasi yang memadai untuk penetapan kebijakan apabila perdagangannya dianggap dapat mengancam keadaan populasinya di habitat.

Pasal 12

Perjanjian internasional yang telah diratifikasi adalah perjanjian internasional mengenai satwa dan tumbuhan liar yang telah diratifikasi, diantaranya Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Ketentuan pasal ini tidak berlaku bagi spesies dilindungi menurut perjanjian internasional atau status spesies yang berlaku di negara asal ketika spesies yang dimaksud masuk ke dalam wilayah Indonesia.

Pasal 13

Angka (1)

Masa transisi hanya diberlakukan untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.

Angka (2)

Yang dimaksud dengan ketentuan antara adalah tindakan Pemerintah untuk melindungi dan/atau menanggulangi ancaman bahaya kepunahan pada spesies tertentu dalam masa transisi. Ketentuan antara misalnya pada saat suatu spesies masuk ke dalam Appendix CITES, Pemerintah memasukkan instrumen

(10)

reservasi dalam masa transisi. Angka (3)

Penetapan masa transisi dilakukan untuk kepentingan konservasi yaitu menyelamatkan populasi spesimen pra-perlindungan agar terhindar dari kepunahan atau bahaya kepunahan.

Pasal 14

Angka (1)

“Satwa kharismatik” adalah satwa yang mengundang empati atau emosi manusia sehingga keberadaannya dapat diidentikkan sebagai “duta”, ikon atau simbol suatu tempat, daerah atau negara. Satwa kharismatik biasanya merupakan satwa besar yang kondisi populasinya terancam bahaya kepunahan antara lain Harimau, Gajah, Badak, Orangutan dan Komodo.

Angka (2) Cukup jelas. Angka (3) Cukup jelas. Pasal 15 Angka (1)

Yang dimaksud dengan anotasi adalah ketentuan yang memasukkan atau mengecualikan bagian-bagian atau turunan tertentu dari tumbuhan di dalam pencatuman spesies tumbuhan ke dalam katagorisasi pelindungan spesies tumbuhan. Pengecualian dapat dilakukan karena sifat tumbuhan yang apabila bagian-bagian tertentu dari tumbuhan dikecualikan dari pengaturan maka tidak akan mempengaruhi kelestarian spesies yang bersangkutan. Angka (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Angka (1) Cukup jelas. Angka (2) Cukup jelas. Angka (3) Cukup jelas. Pasal 18

(11)

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 21 Angka (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Angka (2) Cukup jelas. Angka (3) Huruf a

Penunjukan kawasan konservasi adalah kegiatan persiapan pengukuhan, antara lain berupa:

a. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan batas luar;

b. pemancangan batas sementara atau koordinat geografis; c. pengumunan tentang rencana batas kawasan terutama di

lokasi yang berbatasan dengan tanah hak atau lokasi yang rawan gangguan keamanan;

(12)

d. konsultasi publik dimaksudkan untuk mendapat pertimbangan dan menampung aspirasi dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,sektor swasta, atau lembaga ilmiah, termasuk lembaga perguruan tinggi.

Huruf b

Penataan batas dilakukan melalui:

a. pemasangan tanda batas dan penetapan koordinat geografis ; atau

b. penetapan titik referensi berupa koordinat geografis bagi kawasan konservasi perairan.

Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a

Yang dimaksud dengan daerah penyangga kawasan konservasi adalah daerah di sekitar kawasan konservasi yang dapat berupa ekosistem alami atau buatan, kawasan produksi, desa atau areal lainnya yang pengelolaanya ditujukan untuk meningkatkan dampak positif dari masyarakat dan menurunkan dampak negatif pada kawasan konservasi.

Huruf b

Yang dimaksud dengan koridor ekologis atau ekosistem penghubung adalah areal atau jalur bervegetasi yang cukup lebar baik alami maupun buatan yang menghubungkan dua atau lebih habitat atau kawasan konservasi atau ruang terbuka dan sumberdaya lainnya, yang memungkinkan terjadinya pergerakan atau pertukaran individu antar populasi satwa atau pergerakan faktor-faktor biotik sehingga mencegah terjadinya dampak buruk pada habitat yang terfragmentasi pada populasi karena in-breeding dan mencegah penurunan keanekaragaman genetik akibat erosi genetik (genetic drift) yang sering terjadi pada populasi yang terisolasi.

Huruf c

Yang dimaksud areal dengan nilai konservasi tinggi adalah areal atau bentang alam berupa ekosistem yang memiliki satu atau lebih atribut berikut:

a. areal yang secara signifikan baik di tingkat global, regional atau nasional mengandung konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati (seperti endemisme, spesies langka, pengungsian, atau persinggahan spesies migran); dan/atau bentang alam yang cukup luas yang terdapat di dalam unit pengelolaan atau mencakup unit pengelolaan, dimana populasi yang viabel dari mayoritas spesies yang tinggal secara alami berada pada pola yang alami dari

(13)

distribusi dan kelimpahannya;

b. areal yang berada atau berisi ekosistem langka, terancam atau dalam bahaya kepunahan;

c. areal yang dapat menyediakan jasa ekosistem dasar pada saat terjadi situasi kritis (seperti perlindungan tata air daerah aliran sungai dan pengendalian erosi, ekosistem kars, ekosistem gambut), areal yang menjadi ketergantungan dari masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan dasar (seperti subsisten, kesehatan) dan/atau penting bagi identitas budaya tradisional dari masyarakat lokal (kawasan yang bersama masyarakat diidentifikasi signifikan secara budaya, ekologi, ekonomi atau religi masyarakat lokal).

Contoh: ekosistem kars yang berfungsi lindung; lahan gambut yang berfungsi lindung; padang lamun.

Huruf d

Yang dimaksud dengan Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) adalah ekosistem penting baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, perairan dan Wp3k yang diakui sebagai areal konservasi yang dikelola oleh masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi.

Karakteristik yang mengindikasikan AKKM adalah:

a. hubungan yang kuat antara satu atau lebih masyarakat adat atau lokal dengan kawasan (teritori, ekosistem, habitat atau sumberdaya) dimana hubungan tersebut harus menyatu di dalam identitas masyarakat dan/atau ketergantungan untuk kehidupan atau kesejahteraan; b. masyarakat adat atau lokal merupakan pemain utama

dalam pengambilan keputusan dan implementasi pengelolaan kawasan. Pihak lain dapat berkolaborasi sebagai mitra, terutama dalam hal kawasan tersebut merupakan kawasan negara, namun keputusan tetap pada masyarakat adat atau lokal;

c. keputusan pengelolaan dan upaya dari masyarakat mengarah pada konservasi keanekaragaman hayati dan nilai-nilai budaya yang terkait, walaupun disadari bahwa tujuan pengelolaan bukan hanya konservasi. Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (2)

Melalui analisis kesenjangan keterwakilan ekologis dapat diketahui ekosistem esensial yang tidak termasuk dalam sistem kawasan konservasi. Apabila ekosistem esensial penting tersebut tidak atau belum dapat ditetapkan menjadi kawasan konservasi baru atau perluasan kawasan konservasi yang sudah ada maka perlu diidentifikasi untuk dikelola dalam sistem yang terpadu dengan kawasan konservasi bagi keberlanjutan keanekaragaman hayati yang ada.

Ayat (3)

(14)

Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24

Kompensasi yang diberikan kepada pemegang hak milik dapat berupa penggantian lahan dalam bentuk tukar menukar.

Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 27 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas.

(15)

Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b CUkup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a

(16)

Cukup jelas Huruf b Cukup jelas. Pasal 35 Huruf a Cukup jelas Huruf b

Penyelamatan populasi atau sub populasi suatu spesies dilakukan dengan memindahkan kelompok atau individu satwa yang karena suatu hal habitatnya terfragmentasi dalam ukuran populasi maupun habitat yang kecil sehingga diperkirakan tidak akan bertahan hidup dalam jangka panjang ke habitat baru atau ke tempat lain dengan tujuan untuk memperbaiki populasi spesies yang bersangkutan.

Pasal 36 Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan defragmentasi habitat adalah membuat habitat-habitat yang telah terfragmentasi menjadi terhubung satu dengan lainnya melalui pengembangan koridor penghubung berupa tumbuhan dan atau bangunan fisik yang sesuai. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Huruf d Cukup jelas. Huruf e

Pengendalian spesies asing yang invasif idealnya dilakukan dengan cara eradikasi spesies tersebut dan dilakukan bagi spesies yang mengganggu populasi spesies maupun mengganggu habitatnya. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.

(17)

Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b

Pembinaan populasi dan habitat spesies dilindungi di luar kawasan konservasi dimaksudkan untuk menjaga populasi atau sub populasi dari ancaman terhadap kepunahan lokal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1)

Kegiatan pembinaan habitat dan populasi melalui perburuan terkendali dilakukan terhadap satwa yang jumlah populasinya melebihi daya dukung ekosistemnya. Kegiatan perburuan dilakukan dengan memperhatikan keadaan populasi dan/atau sub-populasi di seluruh wilayah penyebarannya. Kegiatan perburuan terkendali dapat berupa olah raga berburu.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1)

Populasi yang tidak berkelanjutan dalam jangka panjang adalah populasi yang tidak viabel yang disebabkan diantaranya oleh jumlah individu di dalam populasi kecil, rasio jantan-betina yang tidak sesuai, struktur umur yang tidak memadai, atau kondisi habitat yang rusak dan sulit diperbaiki.

Ayat (2) Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Penyelamatan populasi atau sub populasi spesies satwa yang terisolasi atau populasinya tidak dapat berkembang dalam jangka panjang dilakukan melalui kerjasama dan

(18)

dikoordinasikan oleh unit kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang konservasi keanekaragaman hayati.

Pasal 40 Ayat (1)

Huruf a

Pengembangbiakan satwa liar di dalam lingkungan yang terkontrol (penangkaran)ditujukan untuk dilepasliarkan kembali untuk memulihkan kondisi populasi agar terhindar dari kepunahan.

Huruf b

Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap populasi tertentu di habitat alam maka pengembangan satwa liar dapat dilakukan untuk tujuan komersial.

Yang dimaksud dengan lingkungan terkontrol merupakan lingkungan yang dimanipulasi untuk tujuan memproduksi specimen satwa liar tertentu dengan membuat batas-batas yang jelas untuk menjaga keluar masuknya satwa liar, telur atau gamet, serta dicirikan antara lain rumah buatan.

Huruf c

Rehabilitasi dimaksudkan untuk mengkondisikan dan mengadaptasikan tingkah laku satwa liar yang berada diluar habitatnya dengan habitat alaminya sebelum dilepasliarkan kembali ke habitat alamnya dan sebagian dapat dikembalikan lagi untuk meningkatkan populasi.

Huruf d

Yang dimaksud dengan perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial propagation) merupakan kegiatan memperbanyak dan menumbuhkan tumbuhan di dalam kondisi yang terkontrol, dari material untuk memperbanyak tumbuhan seperti benih (biji), potongan bagian tumbuhan, pencaran rumpun, spora dan jaringan.

Kondisi terkontrol untuk perbanyakan tumbuhan secara buatan adalah kondisi di luar lingkungan alaminya yang secara intensif dimanipulasi oleh campur tangan manusia dengan tujuan untuk menghasilkan tumbuhan yang terpilih.

Huruf e

Pusat penyelamatan satwa ex-situ merupakan tempat sementara untuk menampung dan/atau mengkondisikan satwa hasil sitaan atau hasil dari upaya penegakan hukum lainnya sebelum dikirim ke tujuan akhirnya/ dilepasliarkan kembali ke habitat alam, atau dikirim ke taman satwa atau kebun binatang, dijadikan induk pengembangbiakan, atau dimusnahkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 41

(19)

Ayat (1) Huruf a

Pengaturan pemanenan dimulai dari penetapan kuota pengambilan atau penangkapan, pengenaan perizinan dan pengawasan terhadap pengambilan atau penangkapan, penetapan lokasi-lokasi yang dibolehkan untuk dilakukan pengambilan atau penangkapan, serta penetapan batasan-batasan seperti kelas ukuran, umur dan spesies kelamin yang boleh diambil atau ditangkap dari habitat alam.

Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1)

Pembinaan habitat dan pembinaan populasi termasuk juga diantaranya pembinaan habitat di pulau kosong untuk menampung populasi satwa yang dikelola.

Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b

Pengembangbiakan satwa liar bagi spesies dikendalikan dimaksudkan sebagai penyedia stok untuk kepentingan komersial. Huruf c Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)

Pemantauan pemanfaatan terhadap spesies tumbuhan dan satwa liar spesies dipantau dilakukan melalui :

a. pengaturan terhadap cara-cara mengambil atau menangkap agar tidak terjadi kerusakan pada populasi dan/atau habitat b. penerapan prinsip ilmiah dan pemanenan yang tidak merusak

(20)

c. pencatatan pemanenan dan pemanfaatan, seperti perdagangan baik dalam negeri maupun ekspor.

Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1)

Medis Konservasi merupakan penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang konservasi spesies satwa liar.

Penyakit zoonosis adalah penyakit yang infeksinya bersumber dari satwa dan dapat ditularkan kepada manusia dan sebaliknya yang nantinya akan berkembang menjadi wabah. Penyakit baru merupakan new emerging diseases.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 47 Ayat (1)

Penerapan prinsip kesejahteraan satwa dilaksanakan untuk mewujudkan kebebasan satwa antara lain:

a. bebas dari rasa lapar dan haus;

b. bebas dari rasa sakit, cidera, dan penyakit;

c. bebas dari ketidaknyamanan (temperatur dan fisik), penganiayaan, dan penyalahgunaan;

d. bebas dari rasa takut dan tertekan; dan e. bebas mengekspresikan perilaku alaminya. Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 48 Ayat (1)

Spesies yang langka atau terancam punah atau kritis umumnya merupakan spesies dilindungi.

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3)

(21)

Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1)

Pelestarian sumber daya genetik dilakukan terhadap sumber daya genetik dan jasad renik.

Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 50 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b

Pelindungan sumber daya genetik spesies target in-situ ditujukan untuk melindungi keanekaragaman sumber daya genetik dan keaslian spesies di dalam habitat aslinya.

Huruf c

Pelindungan sumber daya genetik spesies target ex-situ dilakukan untuk melindungi keanekaragaman sumber daya genetik namun di luar habitat aslinya.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

(22)

Peraturan pemerintah mengenai pelindungan sumber daya genetik bagi spesies target setidaknya memuat:

a. penyelenggaraan inventarisasi spesies target; b. strategi konservasi genetik

c. pengembangan basis data hasil inventarisasi dan riset serta penanggung jawab basis data dan riset.

Pasal 53 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 54 Huruf a

Menjaga populasi di dalam maupun di luar kawasan konservasi termasuk juga menyelamatkan spesimen tumbuhan yang berfungsi sebagai induk, termasuk pohon-pohon induk untuk pengembangbiakan tumbuhan baik secara alami maupun buatan termasuk pengembangan kebun benih/bibit di lokasi habitat di luar kawasan konservasi yang diketahui merupakan habitat asli spesies tumbuhan target.

Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Mengupayakan ketersambungan antar-habitat dapat dilakukan diantaranya melalui penetapan koridor habitat, baik alami maupun buatan.

Pasal 55 Huruf a

Menjaga populasi di dalam maupun di luar kawasan konservasi termasuk juga menyelamatkan spesimen tumbuhan yang berfungsi sebagai induk, termasuk pohon-pohon induk untuk pengembangbiakan tumbuhan baik secara alami maupun buatan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 56 Huruf a

Pemeliharaan spesimen hidup satwa terancam punah di dalam lembaga konservasi ex-situ seperti kebun binatang atau taman

(23)

satwa lainnya kebun botani, kebun raya, atau taman lainnya. Huruf b

Mencegah terjadinya perkawinan kerabat (in-breeding) dalam rangka mempertahankan kebugaran genetik populasi di luar habitatnya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1)

Spesies-spesies target yang mengalami penurunan keanekaragaman genetik adalah spesies target yang mengalami kepunahan lokal atau kepunahan spesies di habitat alam yang mengalami erosi keragaman genetiknya.

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup spesies. Huruf d Cukup spesies. Huruf e

Lembaga konservasi ex-situ zoologi atau botani, meliputi antara lain: kebun binatang, taman satwa atau kebun raya. Huruf f

Kegiatan pemuliaan tumbuhan dimaksudkan untuk mengembalikan kualitas genetik ke kondisi asli. Ayat (3)

Yang dimaksud spesies tertentu adalah spesies yang secara populasi di alam hampir punah namun dimiliki oleh orang atau badan usaha. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.

(24)

Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)

Yang dimaksud dengan unit pengelola dapat berbentuk kesatuan pengelolaan hutan atau unit pelaksana teknis pusat atau daerah. Ayat (5)

Zonasi terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba/zona pelindungan, zona tradisional, zona religi, budaya, dan sejarah, zona khusus.

Zona khusus adalah zona yang ditetapkan untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar wilayah tersebut sebelum ditunjuk atau ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang strategis yang tidak dapat dielakkan.

Pasal 60 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 61 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 62

(25)

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 63 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 64 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 65 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.

(26)

Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Huruf a

Yang dimaksud memperhatikan kelestarian nilai-nilai keanekaragaman hayati adalah memperhatikan unsur atau faktor seperti endemisme, spesies langka, pengungsian, atau persinggahan spesies migran.

Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Yang dimaksud kebutuhan dasar seperti subsisten atau kesehatan. Yang dimaksud areal yang penting bagi identitas tradisional masyarakat lokal adalah kawasan yang diidentifikasi penting secara budaya, ekologi, ekonomi atau religi masyarakat lokal.

Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1)

Pemulihan ekosistem dapat disebut juga dengan restorasi ekosistem.

Pemulihan ekosistem merupakan proses memperbaiki ekosistem yang terdegradasi, rusak, hancur atau telah ditransformasi dengan membantu mengembalikan integritas ekologis sejauh mungkin ke tingkat yang mendekati asalnya.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan:

a. ekosistem yang mengalami degradasi adalah ekosistem yang menurun integritas ekologisnya;

b. ekosistem rusak adalah hilangnya sebagian besar kehidupan makroskopik beserta kesalingtergantungannya;

c. ekosistem hancur adalah hilangnya seluruh kehidupan

makroskopik dan mikroskopik beserta

kesalingtergantungannya termasuk telah terjadi deforestasi atau lahan gundul;

(27)

d. ekosistem yang telah ditransformasi adalah ekosistem yang telah dikonversi menjadi ekosistem buatan.

Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a

Yang dimaksud dengan pemulihan ekosistem dengan cara yang sepenuhnya suksesi alam (fully natural succession) adalah kegiatan pemulihan ekosistem tanpa campur tangan manusia dimana ekosistem dikembalikan ke tingkat aslinya dengan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme alam. Unsur pengelolaan hanya membantu dengan pengamanan kawasan dan menghilangkan faktor penyebab kerusakan.

Huruf b

Yang dimaksud dengan pemulihan ekosistem dengan cara suksesi alam yang dibantu manusia (assisted natural succession) adalah pemulihan dengan suksesi alam dimana hanya sedikit campur tangan manusia, seperti melalui pengkayaan tumbuhan, bantuan penyerbukan, bantuan irigasi dan bantuan minor lainnya.

Huruf c

Cukup jelas.

Kegiatan pemulihan ekosistem dengan pengembalian unsur-unsur dan proses ekologis suatu ekosistem sepenuhnya dengan bantuan manusia (fully artificial succession).

Pasal 73 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Sesuai dengan tujuan penetapan dan tujuan pengelolaan kawasan konservasi kategori Cagar Alam atau zona inti taman nasional dikelola dalam kondisi asli bagi kepentingan riset dan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu maka pemulihan ekosistem cagar alam atau zona inti taman nasional yang telah rusak, hancur atau ditransformasi harus dilakukan dengan suksesi secara alami sepenuhnya maupun dibantu, dengan menghilangkan faktor-faktor penyebab kerusakan dan melindungi agar faktor-faktor tersebut tidak kembali.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

(28)

Pasal 74 Ayat (1)

Karena cagar alam atau zona inti taman nasional yang telah rusak, hancur atau ditransformasi adalah kawasan yang sudah tidak dapat memenuhi tujuan penetapannya untuk dikelola dalam kondisi ekosistem asli maka berdasarkan evaluasi dapat diubah menjadi kawasan konservasi kategori lainnya atau dalam hal zona inti taman nasional dapat diubah menjadi zona lain yang sesuai. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1)

Tujuan pemulihan di dalam rencana pemulihan ekosistem berisi target yaitu kondisi akhir yang diinginkan sampai tahap mana ekosistem akan dipulihkan. Kondisi akhir yang diinginkan (Desired Future Conditions/DFC) merupakan kondisi ekosistem yang menggambarkan tujuan akhir atau titik akhir dari kegiatan pemulihan atau restorasi, yang dapat berupa ekosistem yang telah berfungsi dan berlaku seperti pada masa asal sebelum terjadi kerusakan, atau kondisi optimal yang tidak memungkinkan pengembalian ke tingkat aslinya karena mempertimbangkan keberadaan manusia dan dampaknya yang tak dapat dikembalikan ke tingkat semula, atau kondisi optimal karena beberapa komponen ekosistem sudah tidak dapat dikembalikan ke ekosistem aslinya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1)

Ekosistem rujukan atau ekosistem referensi adalah ekosistem contoh yang dapat berupa areal yang tidak terganggu atau relatif tidak terganggu yang berada di dekat areal yang akan direstorasi atau dapat berupa deskripsi tertulis dari bentang alam asli areal tersebut yang dipakai sebagai pertimbangan dalam menetapkan tujuan restorasi dan kondisi akhir yang diinginkan.

Ayat (2)

Ekosistem rujukan dapat juga dilihat melalui potret udara, citra satelit atau hasil studi, dan lain-lain pada saat ekosistem yang akan dipulihkan belum mengalami kerusakan yang merupakan

(29)

informasi mengenai sejarah ekosistem kawasan. Informasi mengenai sejarah ekositem di tempat tersebut dapat digunakan sebagai contoh dengan menggunakan hasil riset lama, foto udara lama, citra satelit lama, dan lain-lain informasi sebelum terjadinya kerusakan daerah tersebut.

Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Huruf a

Pemanfaatan lestari merupakan pemanfaatan komponen-komponen keanekaragaman hayati dengan cara dan pada laju yang tidak menyebabkan penurunan dalam jangka panjang, dengan demikian potensinya dapat dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi masa kini dan generasi mendatang.

Huruf b

Cukup jelas.

(30)

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 82 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)

Pemanfaatan non-komersial mengandung arti bahwa dengan memanfaatkan unsur keanekaragaman hayati tersebut, pelaku tidak mendapatkan kompensasi finansial atau ekonomi apapun bagi produk maupun jasa yang diberikannya. Pemanfaat tidak dapat menggunakan „jasa‟ keanekaragaman hayati untuk membantu pemanfaat mengembangkan produk atau jasa dimana ada kompensasi ekonomi di dalamnya.

Ayat (3)

Suatu kegiatan dapat dikategorikan sebagai komersial apabila tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan ekonomi, baik tunai ataupun tidak, dan diarahkan untuk dijual kembali, dipertukarkan, penyediaan jasa atau bentuk-bentuk lain pemanfaatan atau keuntungan ekonomi. Istilah untuk utamanya tujuan komersial harus dilihat dari sisi tujuan akhir pemanfaatan baik di dalam negeri maupun negara lain sebagai tujuan diedarkannya spesimen tumbuhan atau satwa liar maupun materi atau sampel genetik, serta harus dibatasi seluas mungkin sehingga suatu transaksi yang tidak seluruhnya non-komersial harus dianggap sebagai komersial. Oleh sebab itu seluruh pemanfaatan dimana aspek non-komersialnya tidak nyata-nyata merupakan tujuan utama harus dianggap sebagai pemanfaatan komersial, sehingga larangan-larangan seperti akses pada sumberdaya genetik terkait, pemanfaatan spesies dilindungi dan pemanfaatan

(31)

tertentu pada kawasan konservasi berlaku padanya. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 86 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1)

Termasuk dalam spesimen adalah spesimen mati, yaitu barang atau produk yang diperjual-belikan yang dinyatakan dalam kemasan dan atau diiklankan di dalam media massa yang dinyatakan mengandung bagian-bagian atau turunan-turunan dari jenis yang dilindungi mutlak atau terbatas, tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu kebenaran dari pernyataan tersebut.

Huruf a

Produksi spesimen dari habitat alam yang berasal dari spesies dilindungi tidak dapat digunakan untuk tujuan komersial, namun spesies satwa dilindungi hasil pembinaan populasi di dalam kawasan konservasi dalam hal populasi dan habitatnya memungkinkan dapat dijadikan satwa buru pada perburuan terkendali. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a

(32)

Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1)

Pemanfaatan spesies secara lestari dapat berupa kegiatan memanfaatkan spesimen tumbuhan atau satwa secara langsung baik spesimen hidup, mati, bagian-bagiannya atau turunan dari padanya.

Yang dimaksud dengan pemanfaatan jenis secara lestari adalah bahwa kegiatan pemanfaatan :

a. didasarkan pada informasi ilmiah dan prinsip kehati-hatian agar pemanfaatannya tidak merusak populasi di habitat alamnya;

b. memperhatikan praktik budaya tradisional;

c. merupakan upaya mendukung pemulihan populasi spesies yang terancam punah.

Ayat (2) Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

(33)

Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 90 Ayat (1)

Spesimen yang berasal dari habitat alam merupakan spesimen dari spesies satwa maupun tumbuhan yang ditanggkap pertama kali dalam kondisi in situ atau dari habitat alamnya (wild caught). Spesimen tersebut tetap merupakan spesimen yang berasal dari alam walaupun telah berada di dalam kondisi eks-situ selama hidupnya.

Spesies Dilindungi hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan melalui riset ilmiah dan/atau penyelamatan spesies yang bersangkutan. Spesies dilindungi harus dilindungi secara ketat.

Ayat (2)

Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap populasi tertentu di habitat alam maka pengembangbiakan satwa liar dapat dilakukan untuk tujuan komersial.

Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b

Budidaya tanaman atau hewan termasuk diantaranya pengembangan hortikultura, pengembangan tanaman pangan, pengembangan tanaman hutan industri, pengembangan hewan peliharaan atau pengembangan hewan ternak dengan

(34)

menggunakan tumbuhan atau satwa liar sebagai induk, benih atau bibit.

Huruf c

Yang dimaksud kesehatan adalah kegiatan pemanfaatan untuk kepentingan kesehatan satwa, lingkungan dan manusia, termasuk pengembangan farmasi.

Huruf d

Penelitian dan pengembangan untuk pengembangan ilmu pengetahuan berupa penelitian dasar dan tidak secara langsung merupakan penelitian terapan.

Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 92 Ayat (1)

Pengambilan contoh spesimen dalam rangka penelitian atau pengembangan dilakukan dengan tidak mematikan atau tidak mengakibatkan kematian pada satwa atau tumbuhan.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 93 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)

Pengumpul dan pengedar dalam negeri terdaftar termasuk juga pengumpul dan pedagang perantara untuk tujuan ekspor serta pedagang yang menjual spesimen di dalam negeri termasuk di pasar-pasar satwa. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1)

(35)

Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 95 Ayat (1)

Tukar menukar satwa dari spesies dilindungi dilakukan untuk mendapatkan pasangan induk pengembangbiakan yang secara genetik bermutu baik.

Ayat (2)

Tukar menukar satwa dari spesies dilindungi dilakukan untuk utamanya tujuan konservasi sehingga hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah, lembaga konservasi eks-situ atau lembaga pengembangbiakan satwa komersial.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Yang dimaksud tukar menukar satwa dari spesies dilindungi untuk tujuan selain pengembangbiakan antara lain adalah tukar menukar untuk tujuan koleksi satwa pada kebun binatang dimana dapat dilakukan untuk spesies yang berbeda atau hadiah negara kepada negara sahabat.

Yang dimaksud dengan generasi pertama hasil pengembangbiakan satwa adalah anakan-anakan hasil pengembangbiakan dari induk-induk yang salah satu atau kedua-duanya merupakan spesimen yang berasal dari alam.

Pasal 96 Cukup jelas Pasal 97 Cukup jelas Pasal 98 Cukup jelas Pasal 99

(36)

Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 102 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 103 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.

(37)

Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 104 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kegiatan yang bertujuan komersial apabila kegiatan tersebut ditujukan untuk memperoleh keuntungan ekonomi, baik tunai ataupun tidak, atau untuk menghasilkan teknologi yang bernilai niaga tinggi, dan diarahkan untuk dijual kembali, dipertukarkan, penyediaan jasa atau bentuk-bentuk lain pemanfaatan atau keuntungan ekonomi

Sedangkan yang dimaksud dengan kegiatan yang bertujuan non-komersial apabila penelitian tersebut ditujukan untuk memanfaatkan unsur keanekaragaman hayati, dimana pengakses tidak mendapatkan kompensasi finansial atau ekonomi apapun bagi produk maupun jasa yang diberikannya.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 105 Huruf a Cukup jelas. Huruf b

Persetujuan yang Diberitahukan Atas Informasi Awal (PADIA) atau prior informed consent (PIC) adalah persetujuan dari pemilik atau penguasa sumberdaya sumberdaya genetik yang diberikan atas dasar informasi-informasi mengenai tujuan serta konteks mengakses sumberdaya sumberdaya genetik dari pemohon akses.

(38)

Huruf c Huruf a Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 108 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 109 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b

(39)

Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 111 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 112 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

(40)

Pasal 113 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 114 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan keuntungan moneter dapat berupa pembayaran di muka, pembayaran royalti, biaya perizinan dalam kegiatan komersialisasi, biaya khusus yang harus dibayar untuk dana amanah untuk mendukung konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, dan/atau pendanaan penelitian usaha patungan kepemilikan bersama atas hak kekayaan intelektual yang relevan.

Yang dimaksud dengan keuntungan non-moneter dapat berupa: a. berbagi berupa penelitian dan pengembangan;

b. kolaborasi, kerja sama, dan kontribusi dalam program-program penelitian ilmiah dan pengembangan, khususnya kegiatan penelitian bioteknologi;

c. partisipasi dalam pengembangan produk;

d. kolaborasi, kerja sama, dan kontribusi dalam pendidikan dan pelatihan;

e. izin masuk untuk fasilitas eks-situ sumber daya genetik dan untuk basis data;

(41)

f. transfer pengetahuan dan teknologi ke penyedia sumber daya genetik dengan persyaratan yang adil dan saling menguntungkan. Transfer pengetahuan dan teknologi dilakukan dengan cara yang mudah, sederhana, dan cepat yang diutamakan pada kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan sumber daya genetik atau yang relevan dengan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati;

g. memperkuat kapasitas untuk alih teknologi; h. pengembangan kapasitas kelembagaan;

i. sumber daya manusia dan sumber daya internal material untuk memperkuat kapasitas administrasi dan penegakan pengaturan akses;

j. pelatihan yang berkaitan dengan sumber daya genetik ;

k. akses terhadap informasi ilmiah yang relevan dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, termasuk persediaan hayati dan studi taksonomi;

l. kontribusi terhadap ekonomi lokal;

m. penelitian diarahkan kepada prioritas kebutuhan dengan memperhatikan penggunaan sumber daya genetik;

n. hubungan kelembagaan dan professional yang dapat timbul dari perjanjian akses dan pembagian keuntungan dan kegiatan kerja sama selanjutnya;

o. manfaat pangan dan keamanan mata pencarian; p. pengakuan sosial; dan/atau

q. kepemilikan bersama hak kekayaan intelektual yang relevan.

Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 121 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.

(42)

Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 122 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 123 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemanfaatan produk rekayasa genetik dalam undang-undang ini hanya terbatas kepada produk hasil pemanfaatan keanekaragaman hayati.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 124 Cukup jelas.

Pasal 125

Yang dimaksud dengan potensi dampak dilakukan terhadap dampak lingkungan, keanekaragaman hayati, kesehatan, pangan, pakan, dan bidang lainnya yang terkait.

Pasal 126 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128

Persetujuan diberikan setelah melalui analisis resiko dampak lingkungan, keanekaragaman hayati, kesehatan, pangan, pakan, dan dampak lainnya yang terkait.

(43)

Pasal 129 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemanfaatan produk rekayasa genetik dalam undang-undang ini hanya terbatas kepada produk hasil pemanfaatan keanekaragaman hayati.

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d

Yang dimaksud dengan tindakan lainnya merupakan tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta pemulihan kondisi keanekaragaman hayati guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati.

Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b

Yang dimaksud dengan pemanfaatan jasa ekosistem adalah pemanfaatan jasa lingkungan dalam kawasan konservasi berupa wisata alam, penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, air, energi air, energi angin, energi panas matahari, dan panas bumi.

Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

(44)

Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 132 Ayat (1)

Pemanfaatan ekosistem disesuaikan dengan status kawasan, kategori kawasan konservasi beserta tujuan pengelolaan dan zonasinya.

Kegiatan pemanfaatan ekosistem diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan.

Ayat (2)

Yang dimaksud wisata alam terbatas meliputi wisata kunjungan terbatas tanpa diikuti kegiatan pembangunan sarana/prasarana.

Pasal 133 Ayat (1)

Lembaga ilmiah dimaksud adalah badan penelitian dan pengembangan kementerian yang diserahi tugas dan tanggung-jawab bidang konservasi keanekaragaman hayati atau perguruan tinggi yang memiliki tenaga profesional konservasi keanekaragaman hayati.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Kepentingan pembangunan yang bersifat strategis antara lain berupa:

a. jalan umum untuk membuka isolasi wilayah; b. menara komunikasi;

c. jaringan listrik atau air;

d. pembangun sarana pertahanan Negara, sarana pendidikan umum sampai dengan tingkat sekolah dasar; atau

e. sarana pengamatan dan/atau pengendalian bencana alam. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.

(45)

Huruf f

Cukup jelas.

Pasal 134 Ayat (1)

Tujuan komersial dari kegiatan pemulihan ekosistem terbatas pada kegiatan pemanfaatan ekosistem berupa pariwisata alam, perdagangan karbon, pembayaran jasa air, pemanfaatan hasil hutan kayu atau non kayu.

Ayat (2)

Status kawasan adalah fungsi kawasan seperti kawasan konservasi, kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dsb. Di dalam kawasan konservasi, maka tidak boleh ada pemanfaatan yang bersifat ekstraktif seperti pemanenan hasil hutan kayu.

Ayat (3)

Izin pemanfaatan ekosistem restorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diterbitkan atau dapat dicabut kembali apabila ada indikasi bahwa pemanfaatan komersial tersebut dapat menghambat pemulihan ekosistem.

Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136

Yang dimaksud dengan pejabat yang bertanggung jawab di bidang konservasi keanekaragaman hayati pada Pasal 142 ayat (1) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat sebagai pejabat fungsional Polisi Khusus Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pasal 137 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.

(46)

Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Ayat (1)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil terdiri dari PPNS Lingkungan dan/atau PPNS Kehutanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.

(47)

Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 144 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.

(48)

Pasal 145 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan dirampas untuk negara adalah bahwa disamping dirampas sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, juga memberikan kewenangan kepada pejabat yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menguasai, memelihara, dan/atau menyelamatkan tumbuhan dan satwa sebelum proses pengadilan dilaksanakan.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Tanpa mengurangi arti dari ketentuan perundang-undangan mengenai pendapatan negara baik pajak maupun bukan pajak, maka hasil lelang dari spesimen tumbuhan dan satwa liar hasil rampasan dapat secara langsung dipergunakan untuk membiayai kegiatan penegakan hukum.

Sesuai dengan ketentuan konvensi internasional mengenai kontrol perdagangan jenis-jenis flora dan fauna sebagian hasil lelang juga dapat digunakan sebagai insentif bagi penegak hukum.

Ayat (4)

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur alternatif-alternatif penanganan spesimen hasil rampasan baik hidup maupun mati, termasuk kriteria-kriteria dan syarat-syarat bagi spesimen hasil rampasan yang akan dikembalikan ke habitat alamnya. Selain itu diatur tentang lelang spesimen hasil temuan atau hasil rampasan, termasuk pemanfaatan uang hasil lelang bagi pembiayaan penegakan hukum dan insentif bagi penegak hukum yang berjasa.

Pasal 147 Ayat (1)

(49)

Lembaga yang dimaksud pada ayat ini dapat berupa lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, seperti taman satwa, kebun botani, museum zoologi, herbarium, pusat penyelamatan satwa dan sebagainya yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah.

Tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi sedapat mungkin harus dikembalikan ke habitat aslinya. Namun spesimen hasil kejahatan yang dirampas sering tidak diketahui daerah atau habitat asal spesimen tersebut atau karena telah cukup lama berada di lingkungan manusia maka spesimen tumbuhan atau satwa liar tersebut dinilai tidak dapat beradaptasi dengan atau bertahan hidup di habitatnya. Oleh karena itu maka tumbuhan dan satwa liar tersebut dititipkan kepada lembaga yang bergerak di bidang konservasi eks-situ tumbuhan dan satwa liar untuk dikembangbiakkan bagi kepentingan pelestarian jenis tersebut. Selain itu penitipan juga diperlukan apabila spesimen yang dirampas tersebut diperlukan untuk dijadikan barang bukti di pengadilan. Spesimen titipan tersebut masih tetap milik negara, dan apabila ada keuntungan dari komersialisasi spesimen tersebut, maka harus ada pembagian keuntungan untuk negara.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 148 Ayat (1)

Pengembalian ke habitat alamnya harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan memperhati-hatikan habitat asal-usul spesimen, keadaan dan status populasi, kemungkinan hidup dan berkembang biaknya secara alami spesimen yang dikembalikan ke habitatnya, masalah penegakan hukum serta kondisi fisik dan kesehatan spesimen dimaksud.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 149

Yang dimaksud dapat menimbulkan persoalan hukum seperti:

1. apabila dilepas kembali ke habitat alamnya adalah antara lain spesimen yang telah dilepaskan kembali ke habitat alam akan mudah diambil atau ditangkap kembali secara tidak sah dan beredar kembali untuk dikomersialkan, sehingga pelepasan kembali ke habitat alam sama sekali tidak membantu konservasi jenis yang bersangkutan.

2. secara ilmiah sudah tidak mempunyai nilai misalnya telah dijadikan barang-barang hiasan, atau pakaian, termasuk tas, sepatu, dompet dan ikat pinggang, atau sudah tidak utuh lagi, dan telah banyak mengalami modifikasi maka lebih baik dimusnahkan.

(50)

Yang dimaksud membahayakan, termasuk dapat membahayakan adalah

1. Spesimen mati tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi mutlak apabila keadaannya sudah rusak; atau

2. tidak memungkinkan untuk mempertahankan spesimen hasil rampasan dalam keadaan hidup karena rusak, cacat, mengidap penyakit berbahaya dan secara medis veteriner dinyatakan tidak dapat disembuhkan atau tidak memungkinkan hidup, maka lebih baik dimusnahkan.

Pasal 150 Ayat (1)

Tumbuhan dan satwa liar, yang karena terkait dengan pelanggaran ketentuan internasional mengenai peredaran tumbuhan dan satwa liar, pelakunya tertangkap dan/atau spesimennya dirampas di luar negeri, maka spesimen tersebut perlu dikembalikan ke Indonesia untuk kepentingan penyidikan, dan bagi spesimen hidup dari spesies dilindungi, apabila masih memungkinkan, dilepas-liarkan kembali ke habitat alam.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pelaku adalah penerima (importir) dan/atau pengirim (eksportir) spesimen spesies hasil tindak pidana konservasi keanekaragaman hayati.

Pelaku wajib menanggung semua biaya pengembalian spesimen tersebut ke Indonesia tanpa harus menunggu proses peradilan. Namun demikian apabila karena suatu sebab pengirim spesimen tidak dapat diketahui keberadaannya, atau melarikan diri, maka biaya pengiriman kembali spesimen hasil rampasan dapat dimintakan untuk ditanggung oleh penerima (importir) dalam hal peraturan perundang-undangan di negara tersebut memungkinkan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 151 Ayat (1)

Membuka akses informasi adalah kewajiban minimal dalam mewujudkan peran masyarakat.

Ayat (2)

Referensi

Dokumen terkait

Skala ini disusun sendiri oleh peneliti dengan tujuan untuk mengetahui kontrol diri yang dimiliki remaja pada siswa kelas VIII SMP Yuppentek 2

Hal ini sangat relevan dengan pemikiran Iwan Triyuwono tentang teori Shariah Enterprise Theory (SET) teori ini dapat memurnikan kembali tujuan sebuah institusi

Etika bisnis adalah suatu ilmu berdasarkan pada moral yang benar dan salah. yang berkaitan pada tindakan moral yang dilaksanakan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku

Tampak pada tabel tersebut bahwa komposisi fasa-123 di dalam ring-s /PVA hasil proses pelelehan dan ring-s /rusak (patah) relatif sama. Data ini sesuai

Dengan demikian, F hitung > F tabel (139,576 > 2,70), hal ini berarti ada pengaruh yang signifikan antara periklanan promosi penjualan dan publisitas

Dari kelima penelitian diatas, Ludiro 2011, maka peneliti ingin lebih mengembangkan cara membuat film dokumenter secara optimal baik dari aspek software, pengoperasian, hardware,

Hasil penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 1 Sei Lepan Kabupaten Langkat sebelum (pre- test) diberikan media sosial pada siswa perokok kelompok 1 (intervensi)

Abstrak. Kemampuan berbahasa dibutuhkan anak dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga anak perlu membentuk bahasa baik secara lisan maupun bahasa isyarat