BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman yang serbaguna karena seluruh bagian dari pohon dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Batang, daging buah, daun, bunga, air kelapa, sabut, tempurung kelapa dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Batang kelapa dapat digunakan untuk membuat bahan bangunan (kerangka bangunan, dinding rumah, atap), perkakas rumah tangga (pot, meubel). Daging buah dapat dipakai sebagai bahan baku untuk menghasilkan kopra, minyak kelapa murni (VCO), kelapa parut kering (desiccated coconut), dapat diambil santannya untuk memasak (Tarigans, 2005). Daun kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan dekorasi pesta dan lidinya dapat digunakan untuk sapu (Warisno, 1998). Dari bunga kelapa dapat dihasilkan nira untuk membuat gula kelapa atau gula merah (Tarigans, 2005). Air kelapa dapat diminum sebagai minuman segar, dapat pula digunakan untuk pembuatan minuman ringan atau sirup dan bahan baku membuat nata de coco (Mahmud & Ferry, 2005). Sabut kelapa antara lain dapat dimanfaatkan sebagai keset dan sapu. Arang dan kerajinan tangan juga dapat dibuat dengan menggunakan tempurung kelapa.
Tanaman kelapa banyak tumbuh di berbagai negara terutama kawasan Asia Pasifik dengan luas areal mencapai lebih dari 12 juta ha (Adkin, 2008). Indonesia merupakan negara yang memiliki luas areal kelapa terluas di dunia yaitu mencapai 3,8 juta ha. Diantara areal kelapa tersebut sekitar 3,59 juta ha (96%) merupakan
perkebunan rakyat dan lebih dari 20 juta jiwa menggantungkan hidupnya pada tanaman kelapa (Tarigans, 2005). Namun demikian, rata-rata pendapatan petani kelapa tersebut masih sangat rendah. Petani kelapa di Indonesia rata-rata memiliki lahan hanya seluas 0,50 ha/ keluarga petani (Tarigans, 2005) sehingga pendapatan rata-rata petani kelapa per tahun hanya sekitar 3,75 juta rupiah (Mahmud & Ferry, 2005). Dengan demikian, banyak sekali petani kelapa yang hidupnya masih kekurangan.
Salah satu alternatif yang memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah dengan budidaya kelapa kopyor. Kelapa kopyor merupakan kelapa dengan endosperm yang pecah-pecah dan lepas dari tempurungnya. Kelapa tersebut banyak disajikan dalam bentuk es kopyor, es cream kopyor, kue-kue, dan selai kopyor (Sriyanti, 2010) dengan harga yang relatif tinggi. Harga rata-rata kelapa kopyor sekitar Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 30.000,- per butir (Maskromo & Novarianto, 2007) atau lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan kelapa normal.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam mengembangkan budidaya kelapa kopyor adalah tidak tersedianya bibit kelapa kopyor yang berkualitas. Buah kopyor tidak dapat digunakan sebagai sumber bibit karena endosperm yang tidak normal menyebabkan tidak mampu mendukung pertumbuhan embrio sehingga tidak dapat berkecambah secara alami. Teknik perbanyakan kelapa kopyor yang tersedia selama ini adalah dengan menyemaikan buah kelapa normal yang diambil dari tandan yang menghasilkan buah kopyor. Bibit yang dihasilkan dari persemaian secara alami
tersebut hanya akan menghasilkan buah kopyor sekitar 3 – 25% (Maskromo et al., 2007). Hal ini mengakibatkan produktivitas kelapa kopyor ditingkat petani tergolong rendah yaitu 12 – 18 butir per tanaman per tahun (Hutapea et al., 2007).
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit kelapa kopyor berkualitas dengan kemampuan menghasilkan buah kopyor yang tinggi adalah dengan menggunakan teknik kultur embrio. Tumbuhan kelapa yang dihasilkan dari teknik tersebut diharapkan akan menghasilkan buah kelapa kopyor mencapai 90 – 100% (Hutapea et al., 2007).
Salah satu hambatan dalam penyediaan bibit kelapa kopyor melalui kultur embrio adalah persentase keberhasilan yang cukup rendah khususnya pada tahap induksi akar dan aklimatisasi. Pada tahap inisiasi, embrio kelapa kopyor memiliki respon yang beragam, namun tingkat keberhasilan induksi tunas sudah cukup tinggi, yaitu mencapai 63 % (Mashud & Manaroinsong, 2007), 78 % (Rillo, 1997), 81% (Sidik, 2011), 82 % (Rillo et al., 2002), 88% (Mashud, 2002), 95 % (Sukendah et al., 2008) bahkan ada yang melaporkan sudah mencapai 100% (Sriyanti, 2010). Akan tetapi, keberhasilan pada tahap induksi akar dan aklimatisasi masih cukup rendah, yaitu kurang dari 20 % (Mashud & Manaroinsong, 2007; Sukendah et al., 2008). Kendala utama yang dihadapi selama tahap aklimatisasi adalah tingginya jumlah plantlet dengan akar yang tidak sempurna, yaitu mencapai hampir 50 % dari total plantlet yang dihasilkan (Sukendah et al., 2008).
Salah satu cara yang banyak digunakan untuk menginduksi pertumbuhan akar yang sempurna adalah dengan memelihara bibit pada medium dengan penambahan
zat pengatur tumbuh auksin. Auksin bekerja dengan menyebabkan pemanjangan sel (Farid, 2003) sehingga auksin secara umum diketahui mampu merangsang inisiasi dan pertumbuhan akar (Riyadi & Sumaryono, 2004).
Salah satu auksin yang banyak digunakan untuk menginduki akar adalah indole 3 butyric acid (IBA). Pada tumbuhan Pisum sativum L., penambahan 2,5 µM IBA ke dalam media tanam dapat menginduksi akar sebesar 83 % sedangkan pada medium tanpa penambahan IBA hanya mampu menginduksi akar sekitar 17 % (Nordstrom,1991). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada tanaman akasia (Acacia mangium L.) bahwa penambahan 5 µM IBA ke dalam media tanam mampu menginduksi akar pada seluruh tunas yang dipelihara (100%). Sebaliknya, apabila tunas tumbuhan tersebut dipelihara pada media tanpa penambahan IBA, hanya 46 % tunas memiliki akar (Nguyen & Kozai, 2005). Akar tumbuhan Vitis vinifera L. CV. Perlette berhasil diinduksi dengan tingkat keberhasilan 80 % pada penambahan 10 µM IBA ke dalam medium sedangkan pada medium tanpa penambahan IBA tidak satupun akar berhasil diinduksi (Jaskani et al., 2008).
Kemampuan IBA dalam menginduksi akar suatu tumbuhan sangat bergantung kepada konsentrasi optimum zat pengatur tumbuh tersebut. Sebagai contoh pada tumbuhan Cicer arietinum L., induksi akar paling baik (90 %) dilakukan pada medium dengan penambahan IBA pada konsentrasi 3,75 µM (Islam et al., 2005). Pada tunas Eucalyptus erythronema x Eucalyptus stricklandii cv. urrbrae gem, konsentrasi optimum untuk menginduksi akar adalah 20 µM IBA (Glocke et al.,
2006). Pada tumbuhan Pouterima lucuma R. & Pav. konsentrasi optimum untuk menginduksi akar sebesar 492 µM IBA (Padilla et al., 2006).
Pengaruh penambahan IBA ke dalam medium tanam untuk menginduksi akar pada tanaman kelapa telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Media dengan penambahan IBA pada konsentrasi 34 µM, berhasil menginduksi akar setelah 4 minggu kultur (Lien, 2002), tetapi persentase keberhasilannnya tidak dilaporkan. Pada penelitian yang lain, Central Plantation Crops Research Institutes (CPCRI) India merekomendasikan penambahan 25 µM IBA yang dikombinasikan dengan 5 µM NAA untuk menginduksi akar kelapa (Karun et al., 2002), tetapi tingkat keberhasilannya juga tidak dilaporkan.
Pada kelapa kopyor, penelitian tentang induksi akar masih sedikit dilaporkan. Sukendah et al., (2008) melaporkan bahwa induksi akar kelapa kopyor berhasil dilakukan pada medium dengan penambahan air kelapa sebanyak 100 ml /l, tetapi tingkat keberhasilan masih rendah, yaitu hanya 45 %. Beberapa zat pengatur tumbuh (IAA, NAA, kinetin dan GA3) juga telah diujikan untuk meningkatkan keberhasilan
induksi akar, tetapi penambahan zat pengatur tumbuh tersebut justru menghambat induksi akar (Sukartiningrum & Sukendah, 2008). Penelitian tentang pengaruh IBA terhadap induksi akar pada tunas kelapa kopyor belum pernah dilaporkan, sehingga dalam penelitian ini akan dilaporkan pengaruh IBA terhadap induksi akar pada tunas kelapa kopyor untuk pertama kali.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada maka permasalahan yang timbul adalah:
1. Apakah penambahan asam indol butirat (IBA) ke dalam medium tanam dapat meningkatkan induksi akar dan pertumbuhan pada tunas kelapa normal dan kelapa kopyor (Cocos nucifera L.)?
2. Apakah penambahan asam indol butirat (IBA) ke dalam medium tanam dapat mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa normal dan kelapa kopyor (Cocos nucifera L.)?
3. Berapa konsentrasi asam indol butirat (IBA) yang terbaik untuk menginduksi akar dan pertumbuhan tunas kelapa normal dan kelapa kopyor (Cocos nucifera L.)?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh penambahan asam indol butirat (IBA) pada medium tanam terhadap induksi akar dan pertumbuhan tunas kelapa normal dan kelapa kopyor (Cocos nucifera L.)
2. Mengetahui pengaruh penambahan asam indol butirat (IBA) pada medium tanam terhadap keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa normal dan kelapa kopyor (Cocos nucifera L.)
3. Mencari kosentrasi asam indol butirat (IBA) terbaik untuk menginduksi akar kelapa normal dan kelapa kopyor (Cocos nucifera L.)
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan didapatkan data dan informasi dari penelitian ini, diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan informasi dalam rangka pengembangan penelitian kultur jaringan tumbuhan khususnya kultur embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.), sehingga dapat meningkatkan penyediaan bibit kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) yang berkualitas.
2. bagi Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Sebagai tambahan referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam kultur embrio kelapa normal dan kelapa kopyor pada penelitian berikutnya, sehingga diharapkan akan muncul peneliti-peneliti yang lebih baik lagi.
3. bagi penulis
Menambah pengetahuan, pengalaman dan ilmu kepada penulis tentang kultur embrio pada umumnya dan permasalahan induksi akar dan aklimatisasi dalam kultur embrio kelapa kopyor pada khususnya.