• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strukturalisme Memaknai Perilaku Seks Pranikah Remaja Kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Strukturalisme Memaknai Perilaku Seks Pranikah Remaja Kota"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Strukturalisme Memaknai

Perilaku Seks Pranikah Remaja Kota

Structuralism Studied Premarital Sex Among Urban Adolescent

Didin Syarifuddin

ARS Internasional, School of Tourism Jl. Sekolah Internasional 1 – 6, Antapani Bandung

didinars@yahoo.com didin.dyr@bsi.ac.id

ABSTRAK

Remaja hidup dalam lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan teman, lingkungan sekolah, dan lingkungan dunia luas. Dalam lingkungannya, remaja merupakan bagian dari sebuah struktur atau sistem yang terbentuk dari hubungan sosial yang saling mempengaruhi. Perilaku remaja merupakan luaran dari proses hubungan sosial dengan lingkungan tempat remaja berada, termasuk terjadinya perilaku seks pranikah. Berkaitan dengan tujuan penelitian, adalah untuk menjelaskan bagaimana perilaku seks pranikah remaja dimaknai melalui kajian strukturalisme. Penelitian ini menggunakan metode kwalitatif. Teknik pengumpulan data melalui observasi serta wawancara mendalam. Temuan penelitian menunjukkan bahwa perilaku seks pranikah remaja disebabkan oleh faktor lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah, pergaulan teman maupun lingkungan dunia luas, yang merupakan sebuah struktur dengan nilai-nilai yang dianutnya. Struktur-struktur tersebut tengah mengalami pergeseran yang mengarah kepada struktur nilai pragmatis yang berbasis nilai ekonomi. Keterkaitan antara perilaku seks pranikah remaja dengan lingkungannya, merupakan bukti bahwa suatu fenomena akan berkaitan dengan fenomena yang lain yang disebut relations of relations. Perilaku seks pranikah remaja adalah seks yang dilakukan sebelum melaksanakan pernikahan, sebagai bentuk relasi sosial dan seks pascanikah remaja, yaitu seks yang dilakukan setelah kontrak sosial dilakukan dalam bentuk pernikahan.

Kata Kunci : Perilaku seks pranikah, lingkungan keluarga, peer group, nilai

sosial, pernikahan

ABSTRACT

The adolescent live in family environments, peer group, school, and wide world environment. In their environment, the adolescent is part of a structure or a system created by means of social relations which influenced each other. The adolescent behavior is an output of a social relations process with the environment, where the adolescent live, as well as free sexual behavior. Relating to the objective of study is to explain what premarital sexual behavior studied by structuralism study. This research used qualitative method. Technique of collecting data is by observation and deep interview. The founding is that premarital sexual behavior is caused by environmental factors, namely family, peer group, school, and wide world environment that are structure with their value. Those structures have been changing directing to pragmatic value structure based on economic value. Relations between premarital sexual behavior of adolescent

(2)

2

and the environment, is a fact that a phenomenon will be relations to the other one that called relations of relations. Premarital sexual behavior of adolescent is a sex before married, as a form of social relations, and post marital sexual behavior of adolescent is sex done after married, is called social contract, after reception.

Kata Kunci : Premarital sexual behavior, family environment, peer group, social

value, married

I. PENDAHULUAN

Secara sosiologis, remaja umumnya amat rentan terhadap pengaruh-pengaruh eksternal. Perilaku yang dipengaruhi oleh faktor eksternal itu dikendalikan oleh lingkungan, rangsangan, sebagai faktor yang berasal dari luar. Tingginya faktor pengaruh eksternal, didorong oleh proses pencarian jati diri mereka, yang mudah terpengaruh oleh gaya hidup masyarakat di sekitarnya, karena kondisi kejiwaan yang labil. Mereka cenderung mengambil jalan pintas dan tidak mau memikirkan dampak negatifnya. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa perilaku remaja tidak lepas dari faktor internal dan eksternal.

Diantara perilaku remaja tersebut, perilaku seksual merupakan aspek penting, yang mendapatkan pengaruh faktor internal juga faktor eksternal. Perilaku seksual ini mendapatkan perhatian yang sangat serius dalam kehidupan remaja, terutama dari para orang tua mereka. Hampir setiap aspek kehidupan yang dilalui remaja selalu membawa masalah, karena remaja merupakan pusat kehidupan. Pada masa remaja itulah, awal dimulainya kehidupan yang sesungguhnya.

Perkembangan remaja pada aspek seksualitasnya juga membutuhkan perhatian yang sangat serius, karena pada masa ini dianggap masa yang sangat berbahaya, untuk menentukan remaja itu sendiri. Apabila salah di dalam memaknai seksualitasnya, maka masalah baru dan dianggap serius akan muncul, seperti kehamilan yang tidak diharapkan, aborsi yang berpotensi mengkibatkan kematian.

Berkaitan dengan seksualitas remaja bahwa perilaku seksual diekspresikan melalui interaksi dengan pasangannya bisa dengan jenis kelamin yang berbeda ataupun yang sama. Perilaku seksual berhubungan dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan perasaannya kepada pasangannya dalam bentuk sentuhan, ciuman, pelukan, senggama, serta melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerakan tubuh, berpakaian, dan penggunaan kata-kata. Perilaku seksual pada remaja terjadi karena dorongan internal dan eksternal yaitu lingkungan. Atas dasar dorongan seksual dan rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, perilaku remaja mulai diarahkan untuk menarik perhatian pasangannya. Hal ini menegaskan pendapat Saifuddin (1999) bahwa “Dalam berpacaran mereka mengekspresikan perasaannya dalam bentuk perilaku yang menuntut keintiman secara fisik dengan pasangannya seperti berpelukan, berciuman hingga melakukan hubungan seksual”.

Remaja terlibat dalam perilaku seksual karena berbagai alasan, yaitu untuk memperoleh sensasi menyenangkan, memuaskan dorongan seksual, memuaskan rasa keingintahuan, sebagai tanda penaklukan, ekspresi rasa sayang, dan karena tidak mampu menahan dorongan seksual. Tumbuhnya dorongan seksual remaja, karena dua faktor: (1) internal berupa stimulus yang berasal dari dalam diri individu, yaitu dorongan seksual yang menuntut segera dipuaskan; dan (2) eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar individu yang menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku seksual.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disampaikan bahwa perilaku seks pranikah remaja merupakan luaran atau output dari lingkungan tempat remaja tinggal, bisa lingkungan keluarga yang merupakan lingkungan primer, lingkungan pergaulan teman, lingkungan sekolah, dan lingkungan dunia luas. Remaja dengan lingkungannya merupakan dua bagian yang tidak bisa

(3)

3

dipisahkan, yang apabila menyandarkan kepada teori strukturalisme termasuk ke dalam dua fenomena yang satu sama lain saling membutuhkan, dimana lingkungan tempat remaja berada sebagai faktor pembentuk sikap dan perilaku remajanya. Sehingga lebih jelas, menurut teori strukturalisme diantara kedua bagian antara remaja dengan lingkungannya, sebagai relations of relations. Atas dasar permasalahan dan pemikiran tersebut, maka dapat disampaikan bahwa tujuan penelitian ini yaitu untuk menjelaskan perilaku seks pranikah remaja dimaknai menurut kajian strukturalisme. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah “strukturalisme memaknai perilaku seks pranikah remaja kota”

II. KAJIAN TEORI

Strukturalisme Levi-Strauss

Teori struktur tidak bisa dipisahkan dari tokoh utamanya, Claude Levi-Strauss, seorang antropolog berkebangsaan Perancis. Levi-Strauss berlatar belakang pendidikan ilmu hukum dan filsafat, yang cukup mewarnai pemikirannya dalam bidang antropologi, terutama bidang hukum. Pemikiran Levi-Strauss banyak dipengaruhi oleh para pemikir Eropa dan Amerika yang berlatar belakang linguistik, sehingga berdampak pada pemikirannya dalam teori stuktural. Teori struktural Levi-Strauss, mendapatkan pengaruh yang sangat besar terutama dari kajian linguistik. Perpaduan kedua teori tersebut dapat dilihat dari aspek asal usul kata atau secara etimologi bahwa ahli linguistik menyampaikan peluang untuk dibangunnya keterkaitan yang secara tidak langsung dapat difahami dalam sistem kekerabatan. Dari aspek sosiologi diperkenalkan kebiasaan-kebiasaan, peraturan positif, dan larangan-langaran sebagai bentuk keberlangsungan ciri-ciri gaya bahasa tertentu dan istilah.

Pada aspek lingustik yang lain adalah fonologi, yang menuntun ke arah pengertian tentang sistem, bahwa fonologi menunjukkan sistem-sistem fonologi dan menjelaskan strukturnya. Fonologi bermaksud menemukan hukum-hukum yang bisa diperolehnya melalui induksi atau dari deduksi secara logis, yang memberinya sebuah karakter absolut. Disini dapat disampaikan bahwa ilmu sosial berhasil merumuskan hubungan-hubungan yang dibutuhkannya.

Dari penjelasan di atas dapat disampaikan bahwa latar belakang keilmuan pada ilmu hukum, ikut mendasari pemikirannya pada teori struktur, sementara kedekatannya dengan ahli lingustik, justru sangat berperan besar terhadap pemaduan antara teori antropologi dengan teori linguistik bagi Levi-Strauss.

Perkembangan selanjutnya, muncullah perspektif-perspektif baru, yaitu adanya kolaborasi antara ahli lingustik dan ahli sosiologi yang juga menarik perhatian pihak lain. Dalam studi tentang permasalahan sosial, sosiolog menempati situasi yang mirip dengan situasi linguistik pada aspek fonologi, karena seperti halnya fonem, istilah-istilah dalam sosiologi merupakan elemen penting, yang kedudukannya diperoleh ketika elemen-elemen tersebut berintegrasi ke dalam sistem. Penjelasan tersebut menuntut Levi-Strauss (2007:48) membuat formulasi bahwa dalam suatu tatanan realitas yang lain, fenomena sosial merupakan jenis fenomena yang sama seperti dalam fenomena kebahasaan.

Levi-Strauss (2007:50) menyampaikan bahwa untuk setiap sistem yang ingin diketahui adalah bagaimana hubungan yang diekspresikan oleh sistem-sistem tersebut, sedangkan untuk setiap istilah sistem adalah bagaimana konotasi yang dimilikinya, apakah positif atau negatif, terkait dengan setiap hubungan tersebut yakni dalam hal eksistensi, seks, tingkat keakraban, dan sebagainya. Pada tingkat “mikrososiologi”-lah, diharapkan bisa diketahui hukum struktur yang paling umum sebagaimana ahli bahasa menemukan hukumnya pada tataran infra-fonemik.

Berkaitan dengan bagaimana implementasi dari analisis struktural (fonologis) dalam fenomena sosial, Levi Strauss mengambil contoh kasus analisis struktural yang dilakukan terhadap mitos yang dianggap sebagai pentulan struktur sosial dan hubungan sosial. Lebih jauh Levi Strauss (2007:280), mengatakan bahwa mitos selalu terkait dengan peristiwa dari masa

(4)

4

lalu, yang sudah lama terjadi. Namun nilai instrinsik yang terkandung dalam mitos membentuk sebuah struktur yang sifatnya permanen. Struktur ini dalam waktu yang bersamaan terkait dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Di sini dapat disampaikan bahwa struktur akan berkaitan dengan dimensi waktu, masa lalu, sekarang dan ke depan. Berarti berbicara struktur dalam dimensi waktu, adanya struktur masa lalu, sekarang dan proyeksi struktur masa depan.

Langkah pertama untuk mewujudkan strukturalisme, Levi-Strauss mengembangkan karya seorang ahli bahasa, Saussure (1857:1913), tentang bahasa ke masalah antropologi, misalnya dongeng dalam masyarakat primitif. Ternyata pengembangannya, juga sampai pada bidang komunikasi. Pembauran utama yang dilakukannya adalah melakukan konseptualisasi ulang terhadap sederetan fenomena sosial sebagai sistem komunikasi, sehingga ketika dilakukan analisis struktural, hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Pemikiran Levi Strauss tentang analisis struktural dapat dilukiskan dengan contoh kemiripan antara sistem ilmu bahasa dan sistem kekeluargaan. Kemiripan diantara kedua sistem itu didasari oleh hal-hal sebagai berikut. Pertama istilah yang digunakan untuk melukiskan sistem kekeluargaan, seperti fonem dalam bahasa, merupakan unit analisis yang bersifat mendasar bagi antropologi struktural. Kedua, baik istilah kekeluargaan maupun fonem tidak mempunyai arti di dalam dirinya sendiri, baru akan memperoleh arti apabila keduanya menjadi bagian intergral dari sistem yang lebih luas. Ketiga, ada variasi empiris dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain, baik dalam sistem kekeluargaan maupun dalam sistem fenomena, tetapi hukum yang harus dipatuhi dari variasi ini dapat ditemukan.

Levi Strauss menegaskan bahwa baik sistem fonem maupun sistem kekeluargaan, merupakan produk dari struktur pikiran. Hanya saja keduanya bukan merupakan produk dari proses yang mandiri, melainkan merupakan dari ketidaksadaran. Baik struktur logika dari pikiran sistem ini maupun struktur logika tempat berasalnya kedua sistem ini, beroperasi berdasarkan hukum umum. Levi-Strauss menyatakan bahwa struktur yang melandasi pikiran adalah struktur yang sangat fundamental.

Levi-Strauss menekankan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan pada dasarnya adalah korelasi-korelasi yang mungkin dapat ditemukan di antara keduanya. Untuk itu, seorang ahli bahasa bisa saja bekerja sama dengan ahli antropologi untuk membandingkan eskpresi dan konsep mengenai waktu pada tataran bahasa dan pada tataran sistem kekerabatan atau relasi antar individu. Jadi, yang dicari korelasinya, yaitu cara suatu masyarakat mengekspresikan pandangannya tentang waktu pada tataran kebahasaan dan kebudayaan. Dalam hal ini, baik ahli antropologi maupun ahli bahasa berupaya untuk menyusun “a structure with constituent units”. Oleh karena itu, dengan sendirinya korelasi yang kemudian tampak akan berada pada tingkat struktur, bukan pada pengulangan-pengulanan yang terjadi pada tingkat perilaku. Berkaitan dengan hal tersebut, Levi Strauss mengatakan bahwa tidak ada korelasi yang penuh seratus persen. Sebaliknya, tidak ada korelasi yang sama sekali, tidak mungkin.

Berbagai macam gejala sosial dan budaya yang prosesnya menyerupai kalimat dapat ditemukan, karena adanya beberapa syarat yang terpenuhi. Pertama, gejala tersebut mempunyai makna tertentu yang menunjukkan adanya pemikiran-pemikiran. Kedua, proses pemaknaan yang terjadi adalah melalui artikulasi (Pettit, dalam Ahimsa, 2001:31).

Memahami cara analisis strukturalisme, diperlukan pemahaman terhadap konsep “stuktur” dan “transformasi”. Levi-Strauss mengatakan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi. Dengan kata lain, struktur adalah relations of relations (relasi dari relasi) atau system of relations.

Dalam analisis struktural, stuktur dibedakan menjadi dua macam: struktur lahir, struktur luar (surface structure) dan stuktur batin, struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah

(5)

5

relasi-relasi antar unsur yang dapat dibuat atau dibangun berdasarkan atas ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil dibuat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang dipelajari. Struktur dalam ini bisa disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil ditemukan atau dibangun. Struktur dalam inilah yang lebih tepat disebut sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti, karena melalui struktur inilah peneliti kemudian dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya.

Istilah transformasi juga berbeda pengertiannya dengan yang umum diberikan pada kata ini, yaitu perubahan. Transformasi tidak diartikan sebagai perubahan, karena dalam konsep perubahan terkandung pengertian proses berubahnya sesuatu ke sesuatu yang lain dalam ruang waktu tertentu. Perubahan adalah terjemahan dari change. Ini berbeda dengan transformasi (transformation) yang merujuk pada berubahnya sesuatu, tetapi (seolah-olah) tanpa melalui sebuah proses, atau proses tersebut tidak dipandang penting. Dalam konteks pembicaraan di sini, transformasi diterjemahkan sebagai “alih rupa”. Artinya dalam suatu transformasi, yang berlangsung adalah sebuah perubahan dalam tataran permukaan, sementara dalam tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi.

Dalam perspektif struktural, kebudayaan pada dasarnya adalah rangkaian transformasi dari struktur-struktur tertentu yang ada dibaliknya. Dalam analisis struktural, dapat disusun rangkaian-rangkaian transformasi dari fenomena yang diteliti. Setelah diperoleh tabel fenomena transformasi tersebut, dapat dibangun sebuah model yang dapat menjelaskan atau membantu memahami fenomena tersebut sebagai suatu kesatuan. Dari sini kemudian akan dapat dilihat bahwa fenomena yang diteliti memperlihatkan adanya sebuah struktur tertentu yang bersifat tetap, tidak berubah sama sekali. Struktur inilah yang kemudan dapat dikatakan sebagai deep

structure, struktur dalam, dari berbagai simbol dan proses simbolisasi fenomena sosial-budaya

yang dipelajari. Deep structure ini merupakan model yang dibuat oleh si peneliti untuk memahami kebudayaan yang dipelajari.

Dengan hadirnya model yang dibuat oleh peneliti ini, analisis struktural juga dapat membuka kemungkinan untuk dikemukakannya prakiraan mengenai transformasi-transformasi budaya dalam berbagai masyarakat, baik yang pernah terjadi pada masa lampau maupun yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang.

Analisis struktural seperti di atas pada dasarnya dapat diterapkan pada setiap gejala budaya atau pada unsur-unsurnya yang lebih kecil. Tujuan penelitian di situ tidak lain adalah untuk menemukan struktur dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, analisis struktural tidak berbicara tentang proses perubahan. Hal ini tidak berarti bahwa strukturalisme menolak atau anti terhadap proses perubahan. Analisis struktural memang tidak memusatkan perhatiannya pada soal perubahan, tetapi kepada soal keberadaan struktur. Pertanyaan yang dikemukakan dalam menghadapi fenomena budaya adalah: apakah fenomena tersebut berstruktur? Seperti apa strukturnya? Bagaimana transformasi strukturnya?

Sebagai suatu aliran pemikiran baru, strukturalisme memiliki sejumlah asumsi dasar yang berbeda dari aliran pemikiran lain dalam antropologi.

Pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti misalnya dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian, dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh karena itu terdapat ketertataan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut.

Adanya keterulangan dan ketertataan ini memungkinkan peneliti gejala budaya melakukan abstraksi atas gejala-gejala tersebut dan merumuskan aturan-aturan abstrak di baliknya, yang dapat disebut sebagai ‘bahasa’ atau ‘kode’. Sebagai kode, berbagai fenomena

(6)

6

sosial di atas tentunya juga memiliki elemen-elemen seperti yang ada pada bahasa lisan, seperti kosa kata dan tata bahasa.

Kedua, para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis-sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal, yaitu kemampuan untuk menyusun suatu struktur, atau ‘menempelkan’ suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Kemampuan dasar ini didisain sedemikian rupa sehingga berbagai macam kemungkinan penstrukturan tersebut tidak lantas menjadi tanpa batas (Lane dalam Ahimsa-Putra, 2001:68). Adanya kemampuan ini membuat manusia dapat ‘melihat’ struktur di balik berbagai macam gejala.

Ketiga, mengikuti pandangan Saussure yang berpendapat bahwa makna suatu istilah ditentukan oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan fenomena tersebut. Jadi, relasi sinkronislah yang menentukan, bukan relasi diakronisnya. Dalam menelaah suatu fenomena atau suatu sistem, relasi sinkronis ditempatkan mendahului relasi diakronis. Artinya, sebelum perkembangan suatu sistem atau suatu fenomena tersebut secara diakronis diketahui, harus diketahui lebih dulu kondisi sinkronisnya atau relasi-relasinya dengan fenomena yang lain dalam suatu titik waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam menjelaskan suatu gejala, penganut strukturalisme tidak mengacu pada sebab-sebab, karena hubungan sebab-akibat merupakan relasi diakronis, tetapi mengacu pada hukum-hukum transformasi. Transformasi di sini hendaknya tidak diartikan sebagai perubahan yang berkonotasi historis, diakronis, tetapi sebagai alih rupa.

Keempat relasi yang berada pada struktur dalam yang disebut deep structure disederhanakan menjadi oposisi berpasangan disebut binary opposition, paling tidak punya dua pengertian. Pertama, oposisi binair yang bersifat eksklusif misalnya pada kategori: menikah dan tidak menikah. Pengertian kedua adalah oposisi binair yang tidak bersifat eksklusif, ditemukan dalam berbagai macam kebudayaan, seperti oposisi-oposisi: air-api; siang-malam; matahari-rembulan; dan sebagainya, logikanya, oposisi-oposisi ini memang tidak eksklusif, namun dalam konteks yang bersifat khusus, yang menggunakannya mengangap eksklusif, sebagaimana terlihat pada mitos-mitos yang dianalisis oleh Levi-Strauss (Lane dalam Ahimsa-Putra, 2001:70).

Sementara Ritzer (2008:606) menyatakan bahwa strukturalisme harus memusatkan perhatian pada struktur atau sistem yang terbentuk dari hubungan sosial yang saling mempengaruhi. Strukturalisme memandang struktur sebagai sesuatu yang nyata (waktu tak kelihatan) meski pandangan mereka berbeda secara mencolok mengenai sifat dasar struktur yang mereka anggap nyata itu. Menurut Levi-Strauss, perhatian harus ditujukan pada struktur yang mendasari masyarakat.

III. METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode ini menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh atas dasar perspektif informan dan adanya keterlibatan informan yang diposisikan sebagai subjek penelitian. Penelitian ini menggambarkan perilaku seks pranikah remaja siswa sebuah SMA Swasta di Kota Bandung, yang dimaknai menurut teori strukturalisme. Data penelitian diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan reduksi dan penyajian data. Hal ini mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (2007:167) bahwa kegiatan pengolahan data kualitatif adalah dengan menetapkan model Miles dan Huberman, yaitu dengan (1) reduksi data dan (2) penyajian data.

(7)

7 IV. PEMBAHASAN

Remaja dimaknai sebagai individu yang merupakan bagian dalam sebuah struktur atau sistem sosial. Seks pranikah remaja merupakan output dari sikap yang berasal dari pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh secara logis. Seks pranikah remaja, akan berkaitan dengan faktor-faktor penyebabnya, yaitu lingkungan, berupa (1) lingkungan keluarga; (2) lingkungan pergaulan teman; (3) lingkungan sekolah; dan (4) lingkungan dunia luas.

Kajian tentang interaksi sosial remaja, sampai terjadinya seks pranikah, tidak bisa lepas dari faktor lingkungannya, ini merupakan kajian yang secara khusus membahas tentang stimulus dan respon. Stimulus yang datang bisa berupa stimulus pendengaran, penciuman, dan penglihatan. Melalui stimulus inilah, remaja akan berupaya memberikan respon, kemudian dipelajari, dan akhirnya remaja memberikan respon dalam bentuk sikap, sebelum sampai pada perilakunya. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa perilaku seks pranikah remaja sebagai respon dari pemaknaan remaja terhadap stimulusnya.

Faktor stimulus yang lain disampaikan oleh Kadarusmadi (1987:77) bahwa “faktor situasi memungkinkan terjadinya hubungan antara pribadi dengan lingkungan”. Sifat dan situasi tertentu dapat mendukung terjadinya hubungan antara peribadi dengan lingkungan. Perilaku dalam hal ini mengikuti pola-pola tertentu yang muncul akibat interaksi tersebut. Penjelasan Kadarusmadi itu dikaitkan dengan perilaku seksual pranikah remaja, dapat disampaikan bahwa situasi dimana remaja berada akan mendukung terhadap terjadinya hubungan antara dorongan yang bersifat pribadi dengan faktor pengaruh lingkungan di sekitar remaja tinggal terhadap terjadinya perilaku seksual pranikah remaja.

Strukturalisme Memaknai Seks Pranikah Remaja

Analisis struktural, bahwa struktur dibedakan menjadi dua macam, yaitu struktur luar dan struktur dalam. Di dalam pembahasannya adalah sebagai berikut:

a. Surface Structure

Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur-unsur yang dapat dibuat atau dibangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Ini memberikan gambaran bahwa seks pranikah remaja sebagai bentuk relasi-relasi yang menjadi faktor penentu terhadap terjadinya seks pranikah remaja, yaitu relasi sosial dalam lingkungan keluarga, dalam lingkungan pergaulan teman, lingkungan sekolah dan relasi sosial dalam lingkungan dunia luas. Seks pranikah remaja itu sendiri sebagai bentuk relasi sosial, baik yang terjadi pada remaja homoseksual lesbian, gay, maupun heteroseksual, namun tidak sampai pada kontrak sosial, yaitu adanya kesepakatan diantara ke dua belah pihak dimana pihak laki-laki “membeli” pihak perempuan, yang disebut dengan istilah pernikahan. Relasi sosial ini dibangun melalui adanya kesamaan keinginan dalam lingkungan pergaulan teman, yang disebabkan oleh adanya kesamaan faktor penentu lepasnya remaja dari lingkungan keluarga sebagai lingkungan primernya.

b. Deep Structure

Susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil dibuat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang dipelajari. Struktur dalam ini bisa disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil ditemukan atau dibangun. Struktur dalam inilah yang lebih tepat disebut sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti, karena melalui struktur inilah peneliti kemudian dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya.

(8)

8

Struktur dalam di dalam memaknai seks pranikah remaja adalah bahwa terjadinya seks pranikah remaja sebagai dampak dari belum maksimalnya peran masing-masing anggota keluarga di dalam pengasuhan, terlepasnya anak kepada lingkungan pergaulan teman, dan kepada lingkungan dunia luas, serta belum maksimalnya peran sekolah di dalam membangun komunikasi interpersonal khususnya antara guru dengan muridnya melalui guru bimbingan konseling. Hal lain adalah bahwa remaja berperilaku karena untuk mendapatkan kesenangan serta bagaimana menghindari ketidaksenangan. Hal ini menguatkan pendapat Strauss mengenai oposisi binair esklusif yaitu antara kategori positif dan negative melalui penggunaan kata yang menegasikan yaitu kata tidak atau kata serumpunnya misalnya belum. Apabila hal ini dikaitkan dengan gejala sosial remaja melalui seks pranikahnya, maka dapat dikatakan bahwa remaja yang tidak atau belum mendapatkan kenyamanan maka mereka akan mencari kenyamanan tersebut. Atau dalam oposisi binair non ekslusif dapat dikatakan bahwa remaja berperilaku di dalam seks pranikahnya untuk mendapatkan kenyamanan karena telah merasakan ketidaknyamanan atau penderitaan.

c. Transformasi

Dikaitkan dengan penelitian ini transformasi yang dimaksud adalah bahwa remaja telah mengalami satu aktivitas sosial dalam bentuk seks pranikah, yang sebelumnya tidak dilakukan, karena faktor-faktor pengaruh baik dari dalam maupun dari luar. Bila dikaitkan dengan rangkaian transformasi seks pranikah remaja, maka dapat disampaikan bahwa rangkaian transformasi pertama adanya transformasi dari remaja yang sebelumnya tidak melakukan seks pranikah, menjadi berperilaku seks pranikah dengan pasangan berlainan jenis; rangkaian transformasi kedua, adalah adanya alih rupa dari remaja siswa perempuan yang menyukai sesama perempuan; dan transformasi ketiga adanya alih rupa dari remaja putera yang sebelumnya tidak melakukan seks pranikah, menjadi menyukai sesama jenis. Ketiganya memiliki karakteristik yang sama yaitu diakibatkan oleh lingkungan tempat remaja tinggal. Dikaitkan dengan pertanyaan, apakah remaja memiliki struktur?

1) remaja memiliki struktur, yaitu struktur nilai remaja, struktur etika remaja, agama, tugas, dan lain sebaganya. Bila dikaitkan dengan seks pranikah remaja, strukturnya adalah adanya nilai, etika, agama, tanggung jawab, dan lain sebagainya.

2) seperti apa strukturnya? Remaja merupakan sub bagian atau sub struktur atau sub sistem dalam lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah. Masing-masing lingkungan tersebut memiliki sistem nilai yang menjadi dimensi pendukungnya, yaitu sistem nilai budaya keluarga, masyarakat, sekolah dan nilai agama. Inilah bentuk struktur dimana remaja tinggal, sebuah keluarga yang didukung oleh dimensi peran ayah, ibu, dan anggota keluarga lain, yang memiliki nilai budaya dan agama, serta etika. Fenomena seks pranikah remaja, merupakan dampak dari melemahnya peran masing-masing sub struktur terutama dalam struktur keluarga, dimana peran ayah dan ibu belum maksimal dalam pembimbingan kepada anak-anaknya. Hal ini yang menyebabkan remaja mencari lingkungan penggantinya, maka lingkungan yang para anggotanya memiliki kesamaan karakter, yang menjadi pilihannya.

Lingkungan pergaulan teman merupakan struktur yang didukung oleh dimensi pendukung struktur yaitu sub struktur, dalam bentuk nilai peer group, peran masing-masing anggota peer group, nilai agama, dan etika. Nilai kebersamaan dalam lingkungan peer group, memberikan kenyamanan bagi para remaja yang telah lepas dari lingkungan utamanya. Interaksi sosial dalam lingkungan peer group, merupakan proses awal terhadap terjadinya perubahan nilai-nilai remaja di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan terjadinya seks pranikah remaja.

3) bagaimana transformasi strukturnya? Transformasi strukturnya adalah remaja sebagai bagian dari lingkungan keluarga yang awalnya menjunjung tinggi nilai-nilai budaya keluarga, dalam bentuk menghargai pesan moral keluarga dan menghargai orang tua, telah

(9)

9

beralih menjadi remaja yang kurang menghargai pesan moral keluarga dan remaja yang kurang menghargai orang tua. Remaja merupakan bagian dari keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, misalnya taat menjalankan perintah agama, dengan mengimplementasikan pesan-pesan kebaikan dalam agamanya, termasuk penghindaran terhadap seks pranikah remaja, ternyata telah beralih rupa. Para remaja tersebut, menjadi tidak lagi melaksanakan pesan agamanya, buktinya remaja ini telah beralih rupa menjadi bagian dari yang berperilaku seks pranikah. Remaja merupakan bagian dari lingkungan sekolahnya, yang selalu menjunjung tinggi nilai relasi sosial sekolah, terutama di dalam berinteraksi sosial dengan teman pergaulannya, ternyata telah beralih rupa, menjadi remaja yang bebas bergaul.

Seks Pranikah Remaja sebagai Simbol. Seks pranikah remaja dapat dimakna sebagai pertanda bahwa remaja telah mengalami pergeseran penilaian dalam memaknai seksualitasnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa seks pranikah remaja sebagai simbol pergeseran nilai remaja. Seks yang awalnya merupakan sesuatu yang luhur yang hanya dapat dilakukan setelah terjadi kontrak sosial (kontrak seksual), dalam bentuk pernikahan, telah bergeser menjadi relasi sosial (interaksi seksual) baik antara sejenis maupun dengan lawan jenis. Interaksi seksual yang didasari oleh rasa suka sama suka. Simbol lain adalah bahwa seks pranikah remaja sebagai simbol kebebasan. Bahwa remaja memiliki kebebasan di dalam pergaulannya, setelah menghindari struktur-struktur nilai keluarga, serta mendapatkan lingkungan pergaulan teman yang memiliki kohesivitas keinginan, maka remaja ini dapat melakukan “apapun” yang disukainya, seks pranikah diantaranya.

Manusia dapat melihat struktur di balik gejala yang terjadi. Struktur baru yang dihasilkan oleh manusia dari gejala sosial dan budaya yang terjadi, semata-mata karena manusia memiliki kemampuan dasar untuk menyusun struktur-struktur pada gejala yang dihadapinya. Hal inipun terjadi pada perilaku remaja termasuk dalam seks pranikahnya, adanya struktur yang dimaknai oleh para remaja, yaitu struktur nilai yang berubah di dalam memaknai seksualitas remaja. Struktur nilai yang lain adalah struktur nilai pragmatisme yang berbasis nilai ekonomi, artinya bahwa adanya struktur baru yang dihasilkan oleh remaja bahwa seks pranikah bernilai ekonomi, karena sebagian dari kasus ini menjadikan seks pranikah sebagai media untuk mendapatkan materi.

Adanya keterkaitan antara satu fenomena dengan fenomena yang lain. seks pranikah remaja akan selalu berkaitan dengan fenomena yang lain, yang disebut dengan relations of

relations. Fenomena seks pranikah remaja memiliki korelasi dengan fenomena yang lain, yaitu

lingkungan keluarga, lingkungan peer group, lingkungan sekolah, dan lingkungan dunia luas. Lingkungan sebagai faktor penyebab terjadinya seks pranikah remaja, kalau meminjam paradigma behaviorisme, sementara strukturalisme memaknainya bahwa fenomena seks pranikah remaja secara hukum memiliki relasi dengan fenomena yang lain, yang bisa menjelaskan terjadinya fenomena seks pranikah tersebut. Banyaknya variabel yang berkaitan dengan seks pranikah remaja, sejalan dengan pendapat Levi-Strauss yang mengatakan bahwa “tidak ada korelasi yang penuh seratus persen, atau sebaliknya tidak ada korelasi yang sama sekali tidak mungkin”.

Relasi yang berada pada struktur dalam menjadi oposisi berpasangan (binary opposition), yang memiliki dua pengertian. Pertama oposisi binair yang bersifat ekslusif dan non ekslusif. Berkaitan dengan seks pranikah remaja, maka dapat dibuat dua kategori yang berpasangan, yaitu seks pranikah remaja dan seks pasca nikah remaja. Seks pranikah adalah seks yang dilakukan oleh remaja sebelum melaksanakan pernikahan sebagai bentuk kontrak sosial dan seks pascanikah remaja, yaitu seks yang dilakukan setelah kontrak sosial dilakukan, yaitu dalam bentuk melakukan pernikahan. Kedua hal tersebut akan selalu bersinggungan dengan hukum, yang sesuai dengan hukum dan sebaliknya, yang tidak sesuai dengan hukum. Yang sesuai dengan hukum memiliki nilai positif dan yang tidak sesuai dengan hukum akan bernilai negative.

(10)

10

Faktor Pengaruh Seks Pranikah Remaja. Remaja merupakan bagian dari sebuah struktur atau sistem yang terbentuk dari hubungan sosial yang saling mempengaruhi. Seks pranikah remaja terbentuk karena adanya hubungan sosial yang saling mempengaruhi. Hubungan sosial seks pranikah adalah dengan lingkungan tempat remaja berada, sebagai sebuah sistem. Lingkungan-lingkungan tersebut adalah lingkungan keluarga, peer group, lingkungan sekolah, dan lingkungan dunia luas, dalam bentuk media masa. Pemahaman Ritzer tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadinya seks pranikah remaja karena ada unsur-unsur yang menghubungkannya, sebagai faktor pengaruh. Hal ini sejalan dengan konsep Ritzer bahwa strukturalisme harus memusatkan perhatian pada struktur atau sistem yang terbentuk dari hubungan sosial yang saling mempengaruhi.

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan

Perilaku seksu pranikah remaja sebagai bentuk respon remaja terhadap stimulus internal dan eksternal yang datangnya dari lingkungan tempat remaja tinggal, yaitu lingkungan keluarga, peer group, sekolah dan lingkungan dunia luas. Remaja dengan lingkungannya merupakan dua bagian yang tidak bisa dipisahkan, yang dengan jelas dikatakan sebagai relations of relations, relations yang pertama adalah remaja itu sendiri dan relations yang kedua adalah lingkungan tempat remaja berada. Perilaku seks pranikah remaja merupakan upaya dari remaja untuk untuk mencari kesenangan dan menghindari kesulitan atau penderitaan.

5.2. Saran

Penelitian yang berkaitan dengan perilaku seksual pranikah remaja, perlu mendapatkan perhatian serius untuk dilanjutkan, sebagai bagian dari upaya peneliti untuk dapat memperluas pemahaman tentang masalah sosial remaja, terutama pada perilaku seksual pranikah remaja. Orang tua diharapkan dapat meningkatkan perannya lebih maksimal dalam keluarga. Lingkungan sekolah melalui guru bimbingan konseling, lebih dapat meningkatkan komunikasi dengan para remaja siswanya, sehingga mereka dapat diarahkan di dalam penyelesaian permasalahan remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri.2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press

Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Suatu

Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial. Alih bahasa: Arief Furchan.

Surabaya: Usaha Nasional.

Chaedar Alwasilah. 2006. Pokoknya Kwalitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kwalitatif. Jakarta; Pustaka Jaya.

David Kaplan dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Alih Bahsa: Landung Simatupang. Pustaka Pelajar.

Davis Kingsley. 1971. Contemporary Social Problems: Sexual Behavior. New York, Chicago, an Francisco, Atlanta. Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

(11)

11

George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. McGraw-Hill. Indonesia. Levi-Strauss, Calude. 2007. Antropologi Struktural. Terjemahan Ninik Richani Sjam

(Judul asli: Antropologie Structurale, 1958). Cetakan Kedua. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Miles, Matthew B., A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber

Tentang Metode-metode Baru. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press.

Saifuddin, Achm. 1997. Perilaku Seksual Remaja di Kota dan Desa, Kasus di Kalimantan Selatan, Lab. Antropologi.

Suhendi, Hendi dan Wahyu Ramdani. 2001. Sosiologi Keluarga. Bandung: Pustaka Setia. Willis, S. 1994. Problema Remaja dan Pemecahannya. Bandung: Penerbit Angkasa.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pengelolan data Administrasi Sistem Peminjaman VCD Pada Rental Disk Tara mempunyai peranan penting untuk menghasilkan Informasi pelayanan yang akan dilaporkan untuk setiap

Bahwa penyedia barang tersebut pada huruf a telah lulus kualifikasi dan penawaran. harga memenuhi syarat

Tanda perubahan (alterasi) adalah istilah yang dipakai untuk perubahan kromatis (nada yang berjarak ½) salah satu nada dalam suatu Accord.. Tanda perubahan (alterasi) dibagi menjadi

Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.

Liabilitas keuangan dihentikan pengakuannya jika liabilitas keuangan tersebut berakhir, dibatalkan atau telah kadaluarsa. Jika liabilitas keuangan tertentu digantikan

Atribut merupakan entitas pasti yang memiliki elemen yang berfungsi untuk dapat. mendeskripsikan karakteristik dari suatu entitas tersebut seperti contoh di atas. Isi

Pilihan akat atau diksi bukan hanya memilih kata-katayang cocok dan tepat untuk digunakan dalam mengungkapkan gagasan atau ide, tetapi juga menyangkut persoalan fraseologi (cara