Jurnal BIOLOGIKA 59 PRIMARY PRODUCTIVITYOF PHYTOPLANKTON IN THE BUNGUS BAY
Faurizki Fitra1)*), Indra Junaidi Zakaria1), Syamsuardi2)
1) Laboratorium Ekologi Hewan, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Kampus
UNAND Limau Manis Padang – 25163
2) Herbarium ANDA, Kampus UNAND Limau Manis Padang – 25163 *) Koresponden : faurizki_fitra@yahoo.com
ABSTRACT
A study of primary productivityof phytoplankton has been conductedin the Bungus Bay in May 2012. The purpose of the study was to determine primary productivity of phytoplankton and its relation to some environmental factors. Van Dorn were used to collect water samples for chlorophyll-a and chemical - physical water analysis. Primary productivityof phytoplankton is still normalcategory(good) withchlorophyll-a levels ranged from 0,07 to 0,66 mg/m3. Chlorophyll-a levelswere significantly positive
correlated to salinity (r = 0,88).
Keywords : chlorophyll-a, phytoplankton, primary productivity ABSTRAK
Studi mengenai produktivitas primer fitoplankton di Teluk Bungus dilakukan pada Mei 2012. Tujuan studi ini untuk menentukan produktivitas primer fitoplankton dan hubungannya dengan beberapa faktor lingkungan yang diukur. Van dorn water sampler digunakan mengkoleksi sampel air untuk keperluan analisis klorofil-a dan fisika kimia perairan. Produktivitas primer fitoplankton masih dikategorikan normal (bagus) dengan kisaran kadar klorofil-a dari 0,07 to 0,66 mg/m3. Kadar klororfil-a berkorelasi
positif secara signifikan dengan salinitas (r = 0,88). Kata kunci : klorofil-a, fitoplankton, produktivitas primer
Jurnal BIOLOGIKA 60 PENDAHULUAN
Perairan Teluk Bungus secara geometri berbentuk pantai setengah tertutup dan merupakan daerah estuari yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia (Darlan dan Kamiludin, 2008). Keberadaan Samudera Hindia memungkinkan terjadinya proses pencampuran massa air laut dengan air tawar yang akan memberikan keuntungan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan oleh masyarakat setempat. Bentuk pemanfaatan lain kawasan Teluk Bungus yaitu pembangunan pelabuhan (perikanan, penumpang, Polair/TNI-AL, terminal transit BBM Pertamina), wisata pantai, serta pembangunan PLTU Teluk Sirih yang sedang berlangsung. Adanya berbagai kegiatan tersebut akan berdampak terhadap keadaan fisik perairan seperti suhu, salinitas, pola arus, kekeruhan, dan kestabilan garis pantai (Hasanudin, 2000). Hal ini tentunya juga akan berdampak terhadap komposisi kimia hara perairan seperti amoniak, nitrit, nitrat, ortofosfat, dan silika.
Apabila faktor abiotik terganggu maka faktor biotik, terutama sekali fitoplankton sebagai dasar rantai makanan akan ikut terganggu. Ketidakseimbangan faktor abiotik dengan biotik akan berpengaruh terhadap kondisi perairan. Terganggunya kondisi perairan dapat diketahui dari tingkat kesuburan yang semakin rendah (Simanjuntak, 2000). Menurut Krismono (2010), kadar klorofil-a juga dapat digunakan sebagai biomonitoring kualitas dan kesuburan perairan (produktivitas perairan). Castro dan Huber (2007) menyatakan, semua fitoplankton memiliki klorofil terutama sekali klorofil-a. Klorofil berfungsi sebagai katalisator dan penyerap energi cahaya matahari (Strickland, 1960 cit. Riyono, 2007). Dengan demikian proses produksi zat organik dari zat anorganik dalam fotosintesis tidak akan terjadi apabila tidak ada klorofil. Semakin tinggi kadar klorofil menandakan tingginya kelimpahan fitoplankton di perairan (Castro dan Huber, 2007). Kelimpahan fitoplankton yang tinggi mengindikasikan tingginya produktivitas primer di suatu perairan. Menurut Forever Green (2010), kandungan klorofil fitoplankton dipengaruhi oleh spesies, kondisi tiap individu, waktu, dan intensitas cahaya matahari. Selain itu juga dipengaruhikadar nitrat, fosfat, pengadukan air, suhu, dan kualitas air. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan produktivitas primer fitoplankton serta kaitannya dengan beberapa faktor lingkungan.
Jurnal BIOLOGIKA 61 Penelitian dilakukan di Teluk Bungus, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, Sumatera Barat pada bulan Mei 2012. Pencuplikan sampel dilakukan dari pukul 13.00 – 16.00 WIB. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Tambaru dan Samawi (2008). Pengambilan sampel menggunakan metode purposive random sampling pada enam stasiun (kawasan pelabuhan perikanan, penumpang, Polair/ TNI–AL; kawasan Pulau Kasiak; kawasan wisata pantai; kawasan pelabuhan transit BBM Pertamina; kawasan mulut teluk; kawasan pembangunan PLTU Teluk Sirih). Sampel air untuk analisis klorofil-a dan fisika kimia perairan dicuplik dengan Van Dorn water sampler. Pengukuran klorofil-a mengikuti metode spektrofotometri Parson et al. (1984) cit. Riyono (1997) dan dihitung dengan rumus :
Klorofil-a mg m3 =
11,85 × E664 )- 1,54 × E647 )- 0,08 × E630 )} ×Ve
Vs ×d Keterangan :
E664 = absorbansi 664 – absorbansi 750 nm; E647 = absorbansi 647 – absorbansi 750 nm;
E630 = absorbansi 630 – absorbansi 750 nm; Ve = volume ekstrak aseton (ml); Vs =
volume contoh air yang disaring (1 liter); d = diameter kuvet 1 cm.
Selanjutnya pengukuran suhu, kecerahan, pH, salinitas, dan oksigen terlarut dilakukan secara”in situ”. Di laboratorium dilakukan pengukuran BOD5 dengan metode
titrasi Winkler, pengukuran amoniak, nitrit, nitrat, ortofosfat dengan metode spektrofotometri, serta silika dengan spektrofotometri serapan atom (SSA) (APHA, 1992). Untuk mengetahui hubungan klorofil-a dengan beberapa faktor lingkungan perairan (kecerahan air, salinitas, nitrat, ortofosfat, kepadatan), dianalisis dengan regresi linear sederhana.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar klorofil-a pada saat pengamatan di Teluk Bungus berkisar dari 0,07 mg/m3 (stasiun 4) – 0,66 mg/m3 (stasiun 5). Sedangkan kadar klorofil-a pada stasiun 1,
Jurnal BIOLOGIKA 62 2, 3, dan 6 masing-masing 0,21 mg/m3; 0,29 mg/m3; 0,15 mg/m3; 0,43 mg/m3.
Berdasarkan nilai tersebut, kondisi perairan Teluk Bungus masih dalam keadaan normal (bagus). Bohlen & Boynton (1966) cit. Afdal dan Riyono (2008), memberikan kriteria untuk perairan teluk dan muara dengan kadar klorofil-a < 15 mg/m3
dikategorikan ke dalam kondisi yang bagus, 15 – 30 mg/m3 kategori sedang dan > 30
mg/m3 dikategorikan ke dalam kondisi perairan yang buruk. Nilai kadar klorofil-a ini
lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Sediadi dan Edward (2000) di Perairan Lease Maluku Tengah, Afdal dan Riyono (2008) di Teluk Jakarta, serta Wirasatriya (2011) di Teluk Toli-Toli. Nilai kadar klorofil-a dari masing-masing penelitian tersebut adalah 0,94 mg/m3; 31,37 mg/m3; 2,43 mg/m3. Hal ini diduga
rendahnya ketersediaan nutrien (nitrat dan fosfat) yang berimplikasi terhadap rendahnya komposisi spesies fitoplankton yang didapatkan di Teluk Bungus. Menurut Nontji (2006), kondisi lingkungan seperti ketersediaan nutrien dan komposisi spesies fitopankton akan mempengaruhi kandungan klorofil. Disamping itu, Estuarine Science (2011) menambahkan bahwa perubahan konsentrasi korofil-a dipengaruhi oleh beberapa faktor pertumbuhan fitoplankton yaitu intensitas sinar matahari, konsentrasi nutrien (nitrat dan fosfat), pengadukan air, suhu, serta kualitas air.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat nilai fisika kimia perairan Teluk Bungus setiap stasiun pengamatan. Suhu permukaan perairan berkisar dari 30 – 32oC. Perbedaan suhu
perairan terjadi karena adanya perbedaan energi matahari yang diterima oleh perairan (Nontji, 2006). Ilahude & Liasaputra (1980) berpendapat, suhu di perairan tropis umumnya berkisar dari 25,6 – 32,3 oC.
Sedangkan tingkat kecerahan air berkisar dari 2 – 12 m. Kecerahan air tertinggi terdapat pada stasiun 6 (12 m) dan terendah pada stasiun 1 dan 3 masing-masing 2 m. Tingginya kecerahan air pada stasiun 6 diduga karena masih minimnya aktivitas pembangunan disekitar kawasan. Salinitas berkisar dari 9 – 35 ‰. Salinitas tertinggi didapatkan pada stasiun 2 (35 ‰) sedangkan terendah pada stasiun 4 (9 ‰). Stasiun 2 merupakan kawasan Pulau Kasiak di teluk bagian tengah yang letaknya relatif jauh dari muara sungai sehingga memiliki salinitas air laut pada umumnya. Sedangkan stasiun yang berdekatan dengan muara sungai memiliki salinitas rendah bahkan kurang dari 10 ‰.
Jurnal BIOLOGIKA 63 2012.
Parameter Satuan Stasiun Keterangan
1 2 3 4 5 6 Suhu udara oC 30 29 28 28 28 29 Suhu permukaan oC 32 31 30 32 31 31 Kecerahan m 2 5 2 4 5 12 Salinitas ‰ 25 35 23 9 34 33 pH 7 7 7 6 7 7 DO ppm 3,04 2,63 3,44 3,24 3,34 4,45 tidak sesuai nilai ambang batas (KMNLH 51/2004) BOD5 ppm 2,33 1,92 2,83 2,43 2,73 3,64 sesuai nilai ambang batas (KMNLH 51/2004) Amoniak mg/l 0,02 0,04 0,03 0,03 0,04 0,03 sesuai nilai ambang batas (KMNLH 51/2004) Nitrit mg/l 0,05 0,07 0,04 0,05 0,04 0,04 Nitrat mg/l 0,15 0,22 0,25 0,18 0,02 0,04 Ortofosfat mg/l 0,06 0,08 0,06 0,06 0,05 0,05 tidak sesuai nilai ambang batas (KMNLH 51/2004) Silika mg/l ttd ttd ttd ttd 0,01 0,01
Keterangan : ttd = tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
stasiun 1 : kawasan pelabuhan perikanan, penumpang, dan Polair/TNI - AL stasiun 2 : kawasan Pulau Kasiak
Jurnal BIOLOGIKA 64 stasiun 3 : kawasan wisata pantai
stasiun 4 : kawasan pelabuhan transit BBM Pertamina stasiun 5 : kawasan mulut teluk
stasiun 6 : kawasan pembangunan PLTU Teluk Sirih Selanjutnya nilai pH air permukaan berkisar dari 6 – 7. Nilai pH terendah teramati pada stasiun 4 (kawasan pelabuhan transit BBM Pertamina) dengan pH 6. Nilai pH air laut tersebut lebih rendah dari pH di perairan laut pada umumnya. Air laut umumnya memiliki pH di atas 7 yang berarti bersifat basa, namun dalam kondisi tertentu nilainya dapat menjadi lebih rendah sehingga bersifat asam. Menurut Romimohtarto (1988) pH air laut permukaan untuk perairan Indonesia berkisar antara 6 – 8,5. Selanjutnya konsentrasi oksigen terlarut berkisar dari 2,63 ppm (stasiun 2) – 4,45 ppm (stasiun 6). Nilai BOD5 air
permukaan berkisar dari 1,92 ppm (stasiun 2) – 3,64 ppm (stasiun 6). Hasil pengamatan kadar amonia air permukaan berkisar dari 0,02 mg/l (stasiun 1) – 0,04 mg/l (stasiun 2 dan 5). Kadar nitrit berkisar dari 0,04 mg/l (stasiun 3, 5, 6) – 0,07 mg/l (stasiun 2). Sedangkan kadar nitrat berkisar dari 0,02 mg/l (stasiun 5) – 0,25 mg/l (stasiun 3). Kadar ortofosfat berkisar dari 0,05 mg/l (stasiun 5 dan 6) – 0,08 mg/l (stasiun 2). Kadar silika berkisar dari ttd – 0,01 mg/l. Tidak terdeteksinya kadar silika pada beberapa stasiun (1, 2, 3, 4) diduga rendahnya kadar silika di perairan Teluk Bungus sehingga tidak mampu dideteksi oleh alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan). Berdasarkan analisis regresi linear sederhana antara klorofil-a dengklorofil-an beberklorofil-apklorofil-a pklorofil-arklorofil-ameter lingkungklorofil-an yklorofil-ang diukur (kecerklorofil-ahklorofil-an, sklorofil-alinitklorofil-as, nitrklorofil-at, ortofosfat, kepadatan), didapatkan hasil klorofil-a berkorelasi positif secara signifikan dengan salinitas. Nilai koefisien korelasi (r) = 0,88 dan koefisien determinasi (r2) = 0,78
serta p hitung (0,007) <p 0,05. Hal ini diduga karena salinitas berkaitan dengan penyebaran sejumlah biomassa fitoplankton. Sedangkan hubungan klorofil-a fitoplankton dengan ortofosfat (r = -0,48; r2 = 0,23) dan kecerahan (r = 0,52; r2 = 0,27)
tidak signifikan dengan masing-masing p hitung (0,34) >p 0,05 dan p hitung (0,30) >p 0,05. Begitu juga dengan hubungan klorofil-a dengan kepadatan (r = -0,30; r2 = 0,10)
tidak signifikan dengan nilai p hitung (0,60) >p 0,05. Hasil yang tidak signifikan ini diduga karena faktor-faktor tersebut belum menjadi faktor pembatas dalam menentukan konsentrasi klorofil-a di perairan.
Jurnal BIOLOGIKA 65 Produktivitas primer fitoplankton termasuk dalam kategori normal (bagus) dengan kadar klorofil-a berkisar dari 0,07 – 0,66 mg/m3. Kadar klorofil-a fitoplankton
berkorelasi positif secara signifikan dengan salinitas (r = 0,88). DAFTAR PUSTAKA
Afdal dan S.H. Riyono. 2008. Sebaran Klorofil-a dan Hubungannya dengan Eutrofikasi di Perairan Teluk Jakarta. Jurnal Oseana dan Limnologi Indonesia 34 (3).
APHA. 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. 18th ed.
American Public Health Association. Washington DC.
Castro, P. and M.E. Huber. 2007. Marine Biology. Sixth ed. McGraw-Hill Companies Inc.
New York.
Darlan, Y dan U. Kamiludin. 2008. Penelitian Lingkungan Pantai Dan Logam Berat Perairan Padang Pariaman dan Bungus Teluk Kabung, Sumatera Barat. Jurnal Geologi Kelautan 6 (1).
Estuarine Science. 2011. Chlorophyll a. United States Environmental Protection Agency. Narragansett Bay Commission. University of Rhode Island Office of MarinePrograms.http://omp.gso.uri.edu/ompweb/doee/science/physical/chchlor 1.htm. 27 Desember 2011.
Forever Green. 2010. Marine Phytoplankton a Super Food. Science Marine Phytoplankton.ResearchDocuments.http://www.mycashmiracle.com/ScienceandR esearch.pdf. 27 Desember 2011Ilahude, A.G., dan S. Liasaputra. 1980. Sebaran Normal Parameter Hidrologi di Teluk Jakarta. Dalam : Teluk Jakarta, Pengkajian Fisika, Kimia, Biologi, dan Geologi (A. Nontji dan A. Djamali eds.). LON-LIPI. Jakarta. Hasanudin, M. 2000. Distribusi Suhu dan Salinitas di Perairan Teluk Bayur dan Teluk
Bungus, Sumatera Barat. Kajian Tentang Zat Hara serta Kaitannya dengan Lingkungan dan Sumber Daya Hayati. Laporan Proyek Inventarisasi Dan Evaluasi Potensi Laut – Pesisir. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta.
Ilahude, A.G., dan S. Liasaputra. 1980. Sebaran Normal Parameter Hidrologi di Teluk Jakarta. Dalam : Teluk Jakarta, Pengkajian Fisika, Kimia, Biologi, dan Geologi (A. Nontji dan A. Djamali eds.). LON-LIPI. Jakarta.
Krismono. 2010. Hubungan Antara Kualitas Air Dengan Klorofil-a Dan Pengaruhnya Terhadap Populasi Ikan Di Perairan Danau Limboto. Jurnal Limnotek 17 (2) .
Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Riyono, S.H. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen Dan Biota. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. LIPI. Jakarta.
. 2007. Beberapa Sifat Umum Dari Klorofil Fitoplankton. Jurnal Oseana XXXII (1).
Jurnal BIOLOGIKA 66 Romimohtarto, K. 1988. Pengantar Pemantau Pencemaran Laut. Status Pencemaran
Laut Indonesia dan Teknik Pemantaunya. LIPI Jakarta.
Sediadi, A dan Edward. 2000. Kandungan Klorofil-a Fitoplankton Di Perairan Pulau-Pulau Lease Maluku Tengah. Makalah dalam Seminar Nasional Pendayagunaan Sumberdaya Hayati Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup tanggal 3 Juni 2000 di Salatiga. Puslitbang Oseanografi LIPI.
Simanjuntak, M. 2000. Kondisi Oksigen Terlarut Di Perairan Teluk Bayur Dan Teluk Bungus, Sumatera Barat. Kajian Tentang Zat Hara Serta Kaitannya Dengan Lingkungan Dan Sumber Daya Hayati. Laporan Proyek Inventarisasi Dan Evaluasi Potensi Laut – Pesisir. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta.
Tambaru, R dan M. F. Samawi. 2008. Penentuan Selang Waktu Inkubasi Yang Terbaik Dalam Pengukuran Produktivitas Primer Di Perairan Kepulauan Spermonde. Jurnal Torani 18 (3).
Wirastriya, A. 2011. Pola Distribusi Klorofil-a dan Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Toli-Toli, Sulawesi. Buletin Oseanografi Marina 1137 (149).