BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jerawat
Jerawat merupakan kelainan folikel umum yang mengenai folikel polisebasea (folikel rambut) yang rentan dan paling sering ditemukan di daerah muka, leher serta badan bagian atas (Muttaqin dan Sari, 2011).
2.1.1 Penyebab terjadinya jerawat
Menurut Mitsui (1997), penyebab terjadinya jerawat adalah: 1. Hormonal
Sekresi kelenjar sebaseus yang hiperaktif dipacu oleh pembentukan hormon testoteron (androgen) yang berlebih, sehingga pada usia pubertas akan banyak timbul jerawat pada wajah, dada, punggung, sedangkan pada wanita selain hormon androgen, produksi lipida dari kelenjar sebaseus dipacu oleh hormon luteinizing yang meningkat saat menjelang menstruasi (Mitsui, 1997). 2. Makanan
Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah institusi kecantikan kulit di Amerika Serikat (Academy of Dermatology) mengatakan bahwa jerawat tidak disebabkan oleh makanan. Tidak ada makanan yang secara signifikan dapat menimbulkan jerawat, tetapi ternyata sebuah hasil studi kasus yang terbaru, membuktikan hal yang bertolak belakang. Para pakar peneliti di Colorado State University Department of Health and Exercise menemukan bahwa makanan yang mengandung kadar gula dan kadar karbohidrat yang tinggi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menimbulkan jerawat.
Secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa mengkonsumsi terlalu banyak gula dapat meningkatkan kadar insulin dalam darah, dimana hal tersebut memicu produksi hormon androgen yang membuat kulit jadi berminyak dan kadar minyak yang tinggi dalam kulit merupakan pemicu paling besar terhadap timbulnya jerawat.
3. Kosmetik
Penggunaan kosmetika yang melekat pada kulit dan menutupi pori-pori, jika tidak segera dibersihkan akan menyumbat saluran kelenjar palit dan menimbulkan jerawat yang disebut komedo. Kosmetik yang paling umum menjadi penyebab timbulnya jerawat yaitu kosmetik pelembab yang langsung menempel pada kulit.
4. Infeksi bakteri
Propionibacterium acne (Corynebacterium acne) dan Staphylococcus epidermidis biasanya ditemukan pada lesi-lesi akne. Berbagai strain Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis dapat menghidrolis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol, asam lemak bebas tersebut memungkinkan terjadinya lesi komedo.
2.1.2 Penanggulangan jerawat
Usaha pengobatan jerawat menurut Wasitaatmadja (1997) dapat dilakukan dengan 3 cara:
1. Pengobatan topikal
Prinsip pengobatan topikal adalah mencegah pembentukan komedo (jerawat ringan), ditujukan untuk mengatasi menekan peradangan dan kolonisasi bakteri, serta penyembuhan lesi jerawat dengan pemberian bahan
iritan dan antibakteri topikal seperti; sulfur, resorsinol, asam salisilat, benzoil peroksida, asam azelat, tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin.
2. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk penderita jerawat sedang sampai berat dengan prinsip menekan aktivitas bakteri, menekan reaksi radang, menekan produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik misalnya: pemberian antibiotik (tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin).
3. Bedah kulit
Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang terjadi akibat jerawat. Tindakan dapat dilaksanakan setelah jerawat sembuh baik.
2.2 Uraian Bakteri 2.2.1 Bakteri
Bakteri adalah mikroorganisme bersel satu dan berkembang biak dengan membelah diri. Ukuran bakteri bervariasi baik penampang maupun panjangnya, tetapi pada umumnya penampang bakteri adalah sekitar 0,7 - 1,5 μm dan panjangnya sekitar 1 - 6 μm. Bentuk bakteri dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Sferis (kokus)
Bakteri ada yang berbentuk sferis atau bulat, seperti ada yang ditemukan pada genus Staphylococcus, Streptococcus, Neisseria dan lain-lain. 2. Batang (basil)
Bakteri yang berbentuk batang lurus misalnya dapat dijumpai pada famili Enterobacteriaceae seperti Escherichia coli, Salmonella typhi, Klebsiella
pneumoniae maupun famili Bacillaceae seperti genus Clostridium dan genus Bacillus yaitu Bacillus anthracis penyebab penyakit anthraks. Selain bentuk batang lurus, dijumpai pula bentuk batang bengkok misalnya pada bakteri Vibrio cholera penyebab penyakit cholera.
3. Spiral
Bakteri berbentuk spiral dijumpai pada penyebab penyakit sifilis yaitu Treponema pallidum, bakteri penyebab demam yaitu Borelia reccurentis (Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya, 2003).
2.2.2 Pertumbuhan dan perkembangan bakteri
Menurut Pelczar dan Chan, (1988), pertumbuhan dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh:
1. Zat makanan (nutrisi)
Sumber zat makanan bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, unsur logam (natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, tembaga dan kobalt), vitamin dan air untuk fungsi-fungsi metabolik dan pertumbuhannya.
2. Keasaman dan kebasaan (pH)
Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum pertumbuhan antara 6,5 -7,5, namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau sangat alkali.
3. Temperatur
Proses pertumbuhan bakteri tergantung pada reaksi kimiawi dan laju reaksi kimia yang dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Bakteri psikofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 0 - 30oC, temperatur optimum adalah 10 - 20ºC.
b. Bakteri mesofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 5 - 60oC, temperatur optimum adalah 25 - 40ºC.
c. Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 50 - 100oC, temperatur optimum adalah 55 - 65oC.
4. Oksigen
Beberapa spesies bakteri dapat hidup dengan adanya oksigen dan sebaliknya spesies lain akan mati. Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, bakteri dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Aerobik yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhan. b. Anaerobik yaitu bakteri yang dapat tumbuh tanpa oksigen.
c. Anaerobik fakultatif yaitu bakteri yang dapat tumbuh dengan oksigen ataupun tanpa oksigen.
d. Mikroaerofilik yaitu bakteri yang dapat tumbuh baik dengan adanya sedikit oksigen.
5. Tekanan osmosa
Medium yang baik bagi pertumbuhan bakteri adalah medium isotonis terhadap isi sel bakteri.
6. Kelembaban
Secara umum bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang lembab. Kebutuhan akan air tergantung dari jenis bakterinya.
2.2.3 Bakteri Propionibacterium acne
Propionibacterium acne adalah organisme utama yang pada umumnya memberi kontribusi terhadap terjadinya jerawat. Adapun sistematika bakteri Propionibacterium acne menurut Irianto (2006) adalah sebagai berikut:
Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales
Suku : Propionibacteriaceae Marga : Propionibacterium Jenis : Propionibacterium acne
Propionibacterium acne termasuk bakteri Gram positif berbentuk batang, tidak berspora, anaerob ditemukan dalam spesimen-spesimen klinis, Bakteri ini mempunyai kemampuan untuk menghasilkan asam propionat, sebagaimana ia mendapatkan namanya (Irianto, 2006).
2.2.4 Bakteri Staphylococcus epidermidis
Sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis menurut Irianto (2006) adalah sebagai berikut:
Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Micrococaceae Marga : Staphylococcus Jenis : Staphylococcus epidermidis
Stafilokokus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Staphylococcus epidermidis membentuk koloni berupa abu-abu sampai putih, non patogen, tidak memfermentasi manitol, dapat bersifat aerob dan anaerob. Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit. Infeksi stafilokokus lokal tampak sebagai jerawat dan infeksi folikel rambut atau abses (Irianto, 2006).
2.2.5 Pengukuran aktivitas antibakteri
Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode dilusi (pengenceran) atau dengan metode difusi.
a. Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan konsentrasi yang berbeda-beda dimasukkan pada media cair. Media tersebut langsung diinokulasikan dengan bakteri dan diinkubasi. Tujuan dari percobaan ini adalah menentukan konsentrasi terkecil suatu zat antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri uji. Metode dilusi agar membutuhkan waktu lama dalam pengerjaannya sehingga jarang digunakan (Jawetz, dkk., 2001).
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi zat yang bersifat sebagai antibakteri di dalam media padat melalui pencadang. Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih di
sekitar cakram. Luas daerah hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin kuat daya aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia, misalnya: pH, suhu, zat inhibitor, sifat dari media dan kemampuan difusi, ukuran molekul dan stabilitas dari bahan obat (Jawetz, dkk., 2001).
2.3 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi, sistematika tumbuhan, nama daerah, morfologi tumbuhan, kandungan senyawa kimia, serta penggunaan tumbuhan. 2.3.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan bangun-bangun menurut Depkes RI (1989) : Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Solanales
Suku : Lamiaceae
Marga : Plectranthus
Jenis : Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng 2.3.2 Nama umum
Nama umum/dagang : Daun jinten 2.3.3 Nama daerah
Nama daerah tumbuhan bangun-bangun menurut Depkes RI (1989) : Sumatera : Bangun-bangun (Batak), Terbangun (Karo), Sukan
Jawa : Ajiran (Sunda), Daun Jinten (Jawa Tengah), Daun Kambing (Madura)
Bali : Iwak
Nusa Tenggara : Kunu ztu 2.3.4 Morfologi tumbuhan
Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng merupakan tumbuhan semak, batangnya berkayu, lunak, beruas-ruas, ruas yang menempel ditanah akan tumbuh akar, mudah patah, penampang bulat, diameter pangkal ± 15 mm, tengah ± 10 mm, dan ujung ± 5 mm, batang yang masih muda berambut kasar dan hijau pucat. Berakar tunggang, berwarna putih kotor. Daunnya tunggal, mudah patah, bulat telur, tepi beringgit, ujung dan pangkal membulat, berambut, panjang 6,5 - 7 cm, lebar 5,5 - 6,5 cm, tangkai panjang 2,4 - 3 cm, pertulangan menyirip dan berwarna hijau muda. Bunganya majemuk, bentuk tandan, berambut halus, kelopak bentuk mangkok, setelah mekar pecah menjadi lima, berwarna hijau keunguan, putik satu, panjangnya ± 17 mm, kepala putik coklat, benang sari empat, kepala sari kuning, mahkota bentuk mangkok berwarna ungu (Depkes RI, 1989).
2.3.5 Kandungan kimia
Daun Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng mengandung saponin, flavonoida, polifenol dan minyak atsiri (Depkes RI, 1989).
2.3.6 Penggunaan tumbuhan
Daun bangun-bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) digunakan sebagai obat sariawan, obat batuk, karminatif, meningkatkan
keluarnya ASI (laktagoga), analgesik, antipiretik, antiseptik (Dalimartha, 2004).
2.4 Gel
Gel kadang-kadang disebut jeli, merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel yang mempunyai massa terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium Hidroksida). Gel sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit) (Depkes RI, 1995). Keunggulan gel pada formulasi sediaan antijerawat :
1. Waktu kontak lama
Kulit mempunyai barrier yang cukup tebal, sehingga dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk zat aktif dapat berpenetrasi.
2. Kadar air dalam gel tinggi
Jumlah air yang banyak dalam gel akan menghidrasi stratum corneum sehingga terjadi perubahan permeabilitas stratum corneum menjadi lebih permeabel terhadap zat aktif yang dapat meningkatkan permeasi zat aktif. 3. Resiko timbulnya peradangan ditekan
Kandungan air yang banyak pada gel dapat mengurangi resiko peradangan lebih lanjut akibat menumpuknya lipida pada pori-pori, karena lipida tersebut merupakan makanan bakteri jerawat (Lieberman, 1997).
2.4.1 Aqu Aqu molekul y karboksila agent, em tablet. Aqu salep kuli dapat dilih Ga 2.4.2 Trie Trie sampai ku higroskop mudah lar bahan pen sebagai h dilihat pad upec HV-50 upec HV-50 yang besar. at (COOH). mulsifying a upec HV-50 t dan lain-l hat pada Ga ambar 2.1 R etanolamin etanolamin uning pucat is, memilik rut dalam a ngemulsi de humektan (R da Gambar 2 05 05 adalah . Aqupec H . Aqupec H agent, penst 05 digunaka lain (Rowe, ambar 2.1 be Rumus bang n merupakan t dan memi ki titik lebur ir, metanol, engan kons Rowe, dkk 2.2 berikut polimer as HV-505 ter HV-505 dig tabil emuls an dalam fo , dkk., 200 erikut ini. gun aqupec n cairan ke iliki bau am r 20°C - 25° , dan aseton sentrasi 0,5% ., 2005). R ini. sam akrilat rdiri dari 5 gunakan se si, pensuspe ormulasi kri 5). Rumus HV-505 (R ental yang moniak yan °C dan pH n. Trietanol % - 3%, m Rumus bang t sintetik d 2% - 68% ebagai contr ensi, pensta im, gel, sale
bangun aqu Rowe, dkk., bening, tid ng lemah, b 10,5. Kelar lamin digun menambah k gun trietan dengan bob % gugus asa rolled-relea abil, pengik ep mata, sal upec HV-5 2005) dak berwar bersifat sang rutannya yai nakan sebag kebasaan, d nolamin dap bot am ase kat lep 05 rna gat itu gai dan pat
2.4.3 Glis Gli sediaan o sediaan to emolien. G Gliserin m cairan yan Rumus ba 2.4.4 Prop Prop pembuatan tidak stab bening, ti G erin iserin digun oral, sediaa opikal dan Gliserin dig memiliki cir ng higrosko angun gliser Gambar pilen glikol pilen glikol n sediaan fa bil atau tida idak berwa Gambar 2.2 nakan secar an mata, se n kosmetik, gunakan seb ri-ciri laruta opis; gliseri
rin dapat dil
2.3 Rumus l l banyak di farmasi dan ak dapat la arna, kental 2 Rumus ban ra luas di bi ediaan topi , gliserin d bagai solve an jernih, ti n mempuny lihat pada G bangun glis igunakan se kosmetik, arut dalam l, hampir t ngun trietan idang farma ikal dan se digunakan ent dalam se dak berwar yai rasa ma Gambar 2.3 b serin (Rowe ebagai pelar khususnya air. Propil tidak berba nolamin (Ro
asi yaitu dal ediaan par sebagai hu ediaan krim rna, tidak b anis (Rowe, berikut ini. e, dkk., 200
rut dan pem untuk zat-z len gilkol a au, memilik owe, dkk., 2 lam formula enteral. Pa umektan d m dan emul erbau, kent , dkk., 2005 05) mbawa dala zat yang ya adalah cair ki rasa man 2005) asi ada dan lsi. tal, 5). am ang ran nis
sedikit tajam menyerupai gliserol. Dalam kondisi biasa, propilen glikol stabil dalam wadah yang tertutup baik dan juga merupakan suatu zat kimia yang stabil bila dicampur dengan gliserin, air atau alkohol (Rowe, dkk., 2005). Rumus bangun propilen glikol dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut ini.
Gambar 2.4 Rumus bangun propilen glikol (Rowe, dkk., 2005) 2.4.5 Metil paraben
Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk hablur halus, berwarna putih, hampir tidak berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar diikuti rasa tebal (Depkes, 1979; Rowe, dkk., 2005). Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi dan digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan paraben lain atau dengan antimikroba lain. Pada kosmetik, metil paraben adalah pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Jenis paraben lainnya efektif pada kisaran pH yang luas dan memiliki aktivitas antimikroba yang kuat. Metil paraben meningkatkan aktivitas antimikroba dengan panjangnya rantai alkil, namun dapat menurunkan kelarutan terhadap air, sehingga paraben sering dicampur dengan bahan tambahan yang berfungsi meningkatkan kelarutan. Kemampuan pengawet metil paraben ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Rowe, dkk., 2005). Rumus bangun metil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini.