• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja disebut sebagai masa sosial hunger (kehausan sosial), yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja disebut sebagai masa sosial hunger (kehausan sosial), yang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masa remaja disebut sebagai masa sosial hunger (kehausan sosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustasi dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola ia akan merasa bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya.

Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja merasa bahwa apa yang terjadi dan apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar (http://jundicellular.multiply.com, 10/10/10).

Aspek perkembangan yang menonjol pada usia ini adalah adanya perubahan bentuk tubuh, meningkatnya tuntutan dan harapan sosial, tuntutan kemandirian dari orang tua, meningkatnya kebutuhan akan berhubungan dengan kelompok sebaya, mampu bersikap sesuai dengan norma sekitar, kompeten secara intelektual, mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial, serta belajar mengambil sebuah keputusan.

(2)

Hubungan sosial yang dikembangkan pada masa remaja ditandai pula dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan khusus dengan lawan jenis dan jika tidak terbimbing dapat menjurus pada tindakan penyimpangan perilaku sosial dan perilaku seksual. Pada masa remaja juga ditandai dengan adanya keinginan untuk mencoba-coba dan menguji kemampuan norma yang ada. Jika tidak terbimbing, mungkin saja akan berkembang menjadi konflik nilai dalam dirinya maupun dengan lingkungannya.

Melihat banyaknya kasus-kasus yang muncul berkaitan dengan perilaku remaja, misalnya kasus narkoba, mabuk-mabukan, perjudian, tawuran, hamil pranikah, aborsi, maupun pembuangan anak hasil hubungan gelap yang dilakukan remaja, menandakan bahwa telah terjadi penyimpangan perilaku seksual dan pola pergaulan pada sebagian remaja di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bentuk gaya hidup yang dijalani dan menjadi pilihan bagi sebagian remaja.

Bersamaan dengan ini kita juga melihat pertumbuhan kuantitatif tempat-tempat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan yang semakin berkembang. Fenomena tersebut secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum remaja sekarang. Seperti yang telah diketahui, remaja merupakan sasaran potensial bagi para produsen dalam memasarkan produknya. Remaja yang bergaya hidup konsumtif rela mengeluarkan uang hanya untuk jaga gengsi dalam pergaulan. Baik itu masalah makanan dan minuman, pakaian, juga masalah hiburan (Food, Fashion, and Fun). Hal ini merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan diri, karena setiap orang ingin dianggap eksis dalam lingkungan pergaulannya.

(3)

Gaya hidup dapat diidentikkan dengan suatu ekspresi dan simbol untuk menampakkan identitas diri atau identitas kelompok. Gaya hidup dipengaruhi oleh nilai-nilai tertentu dari agama, budaya, dan kehidupan sosial, demi menunjukkan identitas diri melalui ekspresi tertentu yang mencerminkan perasaan.

Gaya hidup saat ini telah menghilangkan batas-batas budaya lokal, daerah, maupun nasional karena arus gelombang gaya hidup global dengan mudahnya berpindah-pindah tempat melalui perantara media massa. Gaya hidup yang berkembang lebih beragam, tidak hanya dimiliki oleh suatu masyarakat saja. Hal tersebut karena gaya hidup dapat ditularkan dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media komunikasi (Rasyid, 2005 dalam Sudarwati & Hastuti, 2007).

Pergeseran yang paling menonjol dari gaya hidup yang melanda kalangan remaja Indonesia ialah gaya hidup mereka yang secara umum cenderung dipengaruhi oleh budaya Barat. Pengaruh tersebut dapat terlihat dari cara berpakaian serba minim yang dianggap sebagai trend berpakaian modern; penggunaan berbagai aksesoris buatan luar negeri yang branded seperti tas, pakaian, make up, parfum, dan sepatu; kegemaran terhadap musik dan film yang berasal dari Barat, serta mulai diterapkannya nilai-nilai pergaulan ala Barat dalam keseharian.

Perubahan gaya hidup yang mempengaruhi kalangan remaja terjadi melalui media, dimana sekarang remaja dapat mengetahui semua yang terjadi di bagian dunia lain dengan mudah. Dengan cara mengakses informasi dari media televisi, internet, maupun majalah, mereka menyaksikan gaya hidup yang dipertontonkan oleh kalangan selebriti atau idola-idola remaja masa kini yang kerap kali menjadi simbol identitas atau identifikasi jati diri remaja masa kini. Remaja adalah suatu fase dalam

(4)

kehidupan manusia di mana ia tengah mencari jatidirinya dan biasanya dalam upaya pencarian jatidiri tersebut ia mudah untuk terikut dan terimbas hal-hal yang tengah terjadi di sekitarnya, sehingga turut membentuk sikap dan pribadi mereka.

Perubahan gaya hidup pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut gaya hidup yang sedang in. (Sudarwati & Hastuti, 2007)

Gambaran seperti diatas umum kita jumpai pada hampir seluruh remaja di Indonesia termasuk di Aceh. Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Mulai abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19 Aceh mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum, pertahanan dan ekonomi. Puncak keemasan Aceh tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuan Syari’at Islam secara kaffah (sempurna) dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun sejak pertengahan abad ke-20 Syari’at Islam mulai ditinggalkan sebagai pedoman hidup sehingga rakyat Aceh mengalami masa suram dan merindukan berlakunya kembali Syari’at Islam (Ali, 2003 : 347).

Dengan munculnya era reformasi pada tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan Syari’at Islam di beberapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di Nanggroe Aceh yang telah lama di kenal

(5)

sebagai Serambi Mekkah. Semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Peluang tersebut semakin dipertegas dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. (Haedar Nashir, 2007 : 327-328).

Sebelum adanya UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001, pelaksanaan Syari’at Islam merupakan kesadaran pribadi dari masyarakat Aceh yang mau melaksanakannya. Syari’at Islam dijalankan sesuai pengetahuan mereka tentang agama, bukan karena telah menjadi sebuah kebijakan negara dimana tidak ada jaminan dan keharusan dalam mengamalkan Syari’at Islam. Namun setelah Syari’at Islam menjadi sebuah hukum formal maka seluruh masyarakat Aceh tanpa terkecuali berkewajiban untuk melaksanakan dan mengamalkan Syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Secara formalistik-legalistik aplikasi Syari’at Islam di Aceh telah didukung oleh UU dan Qanun–Qanun yang bersifat publik. Berdasarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, ada empat Qanun yang diterapkan kepada masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Syari’at Islam, yaitu Qanun No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam. Kemudian disusul dengan Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Khamar (minuman keras), Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) dan Qanun No. 14 tentang Khalwat (perbuatan mesum dan pergaulan bebas).

(6)

Adapun dengan diberlakukannya Qanun-Qanun tersebut, maka pergaulan masyarakat di Aceh telah memiliki batasan-batasan yang jelas. Masyarakat terutama remaja harus mampu memilah gaya hidup seperti apa yang mereka tiru dan mereka sukai namun tetap sesuai dengan Syari’at Islam. Remaja di Aceh tentu tidak bisa meniru begitu saja semua trend yang sedang in dikalangan remaja. Mereka juga tidak bisa seratus persen mengadaptasi penampilan dan gaya hidup para artis idola yang sedang populer, yang biasanya tidak jauh dari tanktop, rok mini, hot pants, dandanan yang glamour, gaya rambut up to date, pergaulan bebas, dugem, dan segala hal yang bertentangan dengan Syari’at Islam.

Tidak bisa dipungkiri bahwa remaja dimanapun memiliki karakter yang sama. Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingintahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja. Hal ini dialami oleh semua remaja, termasuk remaja di Kota Langsa.

Pergaulan remaja di kota Langsa tentu seharusnya mengikuti aturan Syari’at Islam yang telah ditetapkan. Ketika remaja putri di kota-kota besar memakai busana yang terbuka namun tetap ‘sopan’ dalam pandangan mereka, memakai aksesoris yang berlebihan, berdandan seperti tokoh idola, memiliki tatanan rambut yang paling up to date, dan bebas bergaul dengan lawan jenis, maka hal demikian tidak bisa ditiru oleh remaja di Aceh termasuk di Langsa. Sesuai dengan Syari’at, pergaulan remaja memiliki batasan-batasan yang jelas, mereka wajib menutup aurat dan bertingkah laku sopan.

(7)

Namun kuatnya arus modernisasi dan globalisasi tentu dapat mempengaruhi pola pikir remaja. Sesuai dengan sifat remaja yang ‘pemberontak’ dan mencari jati diri, mereka tentu memiliki dorongan untuk menentang batasan-batasan yang diberikan pada mereka dan ingin tetap bisa bergaya seperti remaja-remaja lain yang bisa bergaul dengan bebas tanpa dibatasi oleh peraturan yang dianggap memberatkan.

Melihat fenomena diatas, menimbulkan ketertarikan penulis untuk melihat apakah pemberlakuan Syari’at Islam memberikan pengaruh terhadap gaya hidup remaja di Aceh, terutama di Gampong Geudubang Jawa Kec Langsa Baro Kota Langsa.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengaruh pemberlakuan hukum Syari’at Islam terhadap gaya hidup remaja di Gampong Geudubang Jawa Kecamatan Langsa Baro Kota Langsa?”

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah “Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemberlakuan Syari’at Islam terhadap gaya hidup remaja di Gampong Geudubang Jawa Kecamatan Langsa Baro Kota Langsa”.

1.4. Manfaat Penelitian

(8)

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi positif secara akademis bagi kajian Sosiologi, khususnya Sosiologi Agama.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat tentang pengaruh pemberlakuan Syari’at Islam terhadap gaya hidup remaja.

3. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta wawasan penulis mengenai Syari’at Islam dan sebagai wadah latihan serta pembentukan pola pikir ilmiah dan rasional.

1.5. Hipotesis

Hipotesis adalah pengujian data dan statistik untuk mengetahui apakah hipotesis yang diajukan dapat diterima atau di tolak. Untuk mengujinya digunakan metode Korelasi Product Moment Pearsons (Pearson’s Product Moment Correlation). Metode analisis korelasi berguna untuk menentukan suatu besaran yang menyatakan bagaimana kuat hubungan suatu variabel tertentu tergantung dengan variabel lain (Singarimbun, 1995: 148). Koefisien Korelasi Product Moment adalah metode untuk menganalisis data untuk melihat hubungan antara variabel yang sebenarnya. Makna hubungan dapat dinyatakan sebagai berikut:

Jika Ha< Ho maka hipotesis ditolak Jika Ha> Ho maka hipotesis diterima

(9)

Hipotesis merupakan preposisi yang akan diuji keberlakuannya, atau merupakan salah satu jawaban sementara atas pertanyaan penelitian (Prasetyo, 2005:76). Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Ho: Tidak ada pengaruh Pemberlakuan Hukum Syari’at Islam Terhadap Gaya Hidup Remaja di Gampong Geudubang Jawa Kec Langsa Baro Kota Langsa.

b. Ha: Ada pengaruh Pemberlakuan Hukum Syari’at Islam Terhadap Gaya Hidup Remaja di Gampong Geudubang Jawa Kec Langsa Baro Kota Langsa.

1.6. Definisi Operasional

a. Pengaruh adalah efek atau dampak yang kuat yang menimbulkan akibat. b. Pemberlakuan adalah suatu usaha (upaya) yang dilakukan oleh pemerintah

untuk membuat suatu peraturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat.

c. Syari’at Islam adalah seperangkat aturan yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, mengatur hubungan antar sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta yang diformalkan dalam bentuk Qanun (peraturan daerah).

d. Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja dalam penelitian ini adalah berkisar antara umur 15-19 tahun.

(10)

e. Gaya Hidup adalah pola hidup seseorang dalam kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat, pendapat (opini) yang bersangkutan (Kotler, 1989:189).

f. Sosialisasi merupakan sarana tempat pola-pola kebudayaan, nilai-nilai, kepercayaan, bahasa dan lembaga-lembaga lainnya diinternalisasikan kedalam sistem kepribadian, sehingga mencakup struktur tujuannya.

g. Qanun adalah Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Qanun yang disoroti dalam penelitian ini adalah Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan bidang aqidah, ibadah, dan syi’ar Islam; Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang larangan minum Khamar (minuman keras dan memabukkan) dan sejenisnya; Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang larangan Maisir atau perjudian; dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang larangan Khalwat atau mesum.

h. Dinas Syari’at Islam adalah perangkat daerah sebagai unsur pelaksana berjalannya Syari’at Islam dilingkungan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh yang keberadaannya secara struktural dibawah Walikota.

i. Wilayatul Hisbah adalah badan pemberi ingat dan badan pengawas, yaitu bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan bidang Syari’at Islam dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (Perda, 2006:179).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan dalam latar belakang, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian adalah : “Bagaimana Tingkat Pengaruh Partisipasi Perempuan

Penelitian ini dilakukan pada tatanan lingkungan yang tidak terencana (kampung kota) untuk mengetahui efektivitas fungsi bukaan pada keongan atap sehingga

Kemudian untuk menjawab rumusan masalah yang kedua yaitu mengenai memperkirakan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri animasi di Cimahi , maka tahapan pertama dalam

Hasil deskriptif presentase indikator membahas masalah yang dibawa konsulti berkenaan dengan pihak ketiga menunjukan presentase sebesar 63,8% dengan kriteria

biaya dengan rasio nilai struktur (SN) maka untuk seluruh lapis pondasi yang distabilisasi semen, baik untuk lapis pondasi atas maupun untuk lapis pondasi bawah, diperoleh

Hasil analisis bivariat diperoleh bahwa dari uji Chi- Square diperoleh p value = 0,386 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan responden

i) Impak Hidraulik - Kajian hidraulik terperinci bagi mengenalpasti kesan hakisan dan pemendapan (accretion) yang akan berlaku di sekitar kawasan cadangan projek termasuklah

Keuntungan atau kerugian pada saat pengakuan awal dari suatu aset biolojik (yang diukur pada nilai wajar dikurang biaya untuk menjual dan dari perubahan nilai.. 25 wajar dikurang