• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL 2 DIMENSI PROPAGASI ALIRAN BANJIR AKIBAT KERUNTUHAN BENDUNGAN DENGAN METODE VOLUME HINGGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL 2 DIMENSI PROPAGASI ALIRAN BANJIR AKIBAT KERUNTUHAN BENDUNGAN DENGAN METODE VOLUME HINGGA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL 2 DIMENSI PROPAGASI ALIRAN BANJIR AKIBAT

KERUNTUHAN BENDUNGAN DENGAN METODE VOLUME

HINGGA

Bobby Minola Ginting1, Dantje K. Natakusumah.2, M.Syahril B. Kusuma3danDhemi Harlan4

1

Alumni Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Email:minola_06@yahoo.co.id

2

Staf Pengajar, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Email:dantje2011@gmail.com

3

Staf Pengajar, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Email:msbadrik@yahoo.com

4

Staf Pengajar, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Email:dhemi@si.itb.ac.id

ABSTRAK

Dalam studi ini metode volume hingga bertipe sel terpusat (cell-center) dengan metode Runge Kutta orde 4 sebagai integrasi waktu digunakan untuk memodelkan aliran akibat keruntuhan bendungan. Skema numerik yang diterapkan pada kasus ini dikembangkan pertama sekali oleh Jameson (1981) untuk menyelesaikan persamaan Euler yaitu aliran viskos dan non viskos, aliran laminar viskos serta aliran turbulen pada berbagai bentuk sayap pesawat. Dalam paper ini skema tersebut dimodifikasi menjadi persamaan aliran dangkal untuk menyelesaikan perambatan banjir akibat keruntuhan bendungan. Untuk meredam osilasi, artificial viscosity sebagai operator disipasi numerik buatan digunakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan dan mengembangkan suatu model yang berbasiskan metode volume hingga untuk kasus mekanisme perambatan banjir akibat keruntuhan bendungan. Model tersebut dibuat dalam bentuk source code yang ditulis dengan bahasa pemrograman Fortran 90. Model tersebut telah diaplikasikan untuk beberapa kasus hidrodinamika aliran. Berdasarkan verifikasi dengan hasil analitik, diperoleh tingkat error untuk kedalaman dan kecepatan sebesar 1.33% dan 1.85%, sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini memberikan hasil yang baik. Selain itu, disipasi numerik buatan yang digunakan mampu meredam osilasi yang muncul dengan baik. Model ini kemudian diterapkan pada kasus keruntuhan bendungan dan berdasarkan verifikasi dengan hasil uji laboratorium dapat disimpulkan bahwa model ini juga memberikan hasil yang cukup akurat. Kata kunci: keruntuhan bendungan, metode volume hingga, artificial viscosity

1. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam yang cukup besar untuk dimanfaatkan dan dikembangkan, salah satunya adalah potensi sumberdaya air yang telah banyak dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia.Bendungan adalah salah satu bentuk pemanfaatan potensi sungai yang telah banyak diterapkan di Indonesia.Perencanaan dan desain bendungan tersebut haruslah dilakukan dengan baik dan benar dan mengacu kepada peraturan (code) yang berlaku.Namun, terkadang karena fenomena alam seringkali sulit untuk diprediksi, tidak jarang pula terjadi kegagalan pada desain tersebut, sekalipun sudah dilakukan dengan baik.Fenomena alam yang dimaksud adalah seperti gempa bumi, perubahan iklim yang dapat berujung pada ketidakpastian curah hujan, dan sebagainya.

Salah satu dampak yang marak dan rentan akan terjadi di Indonesia pada masa yang akan datang akibat fenomena alam tersebut adalah terjadinya kasus keruntuhan bendungan (dam-break). Kasus keruntuhan tanggul Situ Gintung pada Maret 2009 telah menunjukkan kepada mata dunia bahwa kasus keruntuhan ini sangat berbahaya sekalipun terjadi pada bendungan-bendungan dengan

(2)

KARAKTERISTIK LAPISAN ARMOURING AKIBAT PERILAKU

SEBARAN SEDIMEN DASAR YANG BERGERAK

Cahyono Ikhsan1, Adam Pamudji Raharjo2 , Djoko Legono2, dan Bambang Agus Kironoto2

1

Mahasiswa Program Studi Doktoral Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada , Email: cahyono1970@yahoo.co.id

2

Staf Pengajar, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK

Gradasi butir sedimen yang bergerak di dasar saluran atau sungai dengan berbagai variasi ukuran material menyebabkan terjadinya proses selective erosion selama proses aliran, yang memungkinkan terjadi perubahan struktur lapisan dasarnya. Terbentuknya lapisan armour secara alamiah dapat mempertahankan bentuk konfigurasi dasar sungai tersebut, namun bagaimana proses pembentukan lapisan armour, perubahan struktur lapisan penyusunnya serta kekasaran permukaannya menjadi sesuatu yang penting pada pencapaian tujuan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Hidraulika, menggunakan perangkat utama sediment-recirculating flume terbuat dari plexiglass berdimensi lebar 0,60 m, panjang 10,00 m, tinggi 0,45 m serta kemiringan dasar yang dapat diatur hingga 3%. Flume ini dilengkapi dua pompa yang berkapasitas debit sampai dengan 150 l/dt. Material yang dipakai dicampur dengan komposisi 70% gravel, 30% pasir. Running dilakukan pada debit konstan, baik pada saat debit aliran low flow maupun hight flow, dan untuk setiap ranning terdapat 3 fase yaitu fase equilibrium, fase armour, dan fase flasing. Instrumen yang digunakan antara lain digital currentmeter, point gauge meter, sediment feeder, sediment trap, dan dibantu software surfer 8.0. Hasil penelitian tersebut dapat menggambarkan proses terjadinya armouring didasarkan pada kondisi aliran dan perilaku sedimen dasar bergerak, yang dinyatakan dengan adanya perubahan struktur lapisan dasar dan perubahan topografi permukaan dasar. Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya degradasi dasar saluran akibat sedimen dasar yang bergerak pada struktur lapisan mengakibatkan terbentuknya lapisan armouring yang berpengaruh pada stabilitas dasar saluran .

Kata kunci : equilibrium, armouring, degradasi, rougnes, sediment-recirculating flume

1. PENDAHULUAN

Banyak para pakar yang sudah membahas fenomena angkutan sedimen bedload yang dicampur dengan butir halus, pada flume atau melalui simulasi numerik (misalnya Parker, 1990; Wathen et al., 1995; Wilcock dan McArdell, 1993). Biasanya riset-riset mempelajari kondisi yang equilibrium dan lebih sedikit memperhatikan faktor degradasinya. Dalam beberapa penelitian , yang menjadi dominan pada umum adalah tentang banyaknya sedimen yang terangkut, diutarakan oleh (Tait et al,1992; Proffitt dan Sutherland, 1983), serta dinamika pengkasaran sedimen yang terjadi pada dasar permukaan, (Sutherland, 1987) menggunakan distribusi ukuran bedload untuk menggambarkan proses pembentukan armouring. Hassan dan Church (2000) menemukan bahwa pembentukan struktur armouring selama degradasi dipengaruhi secara langsung oleh gerakan

bedload yang terangkut dan grain size.

Pada hipotesis ini kami beranggapan bahwa degradasi dasar saluran akan mampu mengidentifikasi fluktuasi aliran, baik dalam kondisi low flow (fasa aliran rendah) maupun dalam kondisi setelah terjadinya hight flow (fase aliran banjir). Kondisi tersebut sangat mempengaruhi stabilitas dasar yang berdampak pada terbentuknya lapisan armouring untuk sedimen yang tetap tinggal dan bertahan, sedangkan sedimen yang relatif halus akan terangkut.

(3)

KARAKTERISTIK ALIRAN SEDIMEN SUSPENSI

PADA SALURAN MENIKUNG

Chairul Muharis1, Bambang Agus Kironoto2, Bambang Yulistiyanto2 dan Istiarto2

1

Mahasiswa Program Studi Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakata, Email: ch_muharis@yahoo.com

2

Staf Pengajar, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakata, Email:

kironoto12117@yahoo.co.id, yulis@sipil.ugm.ac.id, istiarto@sipil.ugm.ac.id

ABSTRAK

Meandering atau tikungan yang terjadi pada sungai, terutama sungai alluvial memerlukan informasi karakterisik aliran, terutama mengenai kecepatan aliran dan angkutan sedimennya. Karena informasi karakteristik aliran ini sebelumnya hanya didapat untuk aliran yang tidak ada sedimen suspensinya, sedangkan sungai alluvial umumnya bermeander dan bersedimen suspensi

Penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Hidraulika Jurusan Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Model sungai atau saluran menggunakan flume yang terbuat dari acrilik dengan tikungan 1800. Panjang flume sebelum dan sesudah tikungan 5 m, lebar 0,4 m dan tinggi 0,6 m. Flume dialiri redimen suspensi dengan menggunakan pompa. Bahan sedimen suspensi adalah lempung dan dasar flume digunakan pasir sungai. Pengukur kecepatan digunakan ADV (Acoustic Doppler Velocymeter) dan pengukur konsentrasi sedimen suspensi digunakan Foslim Probe. Sebagai data primer adalah hasil pengukuran kecepatan sesaat (instancteneous velocity) serta hasil pengukuran konsentrasi sedimen suspensi di beberapa lokasi flume dan titik kedalaman aliran.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi gambaran mengenai karakteristik aliran sedimen suspensi pada saluran menikung, terutama pengaruh timbal balik antara kecepatan aliran dengan konsentrasi aliran sedimen suspensi.

Kata kunci: sedimen, kecepatan, dan konsentrasi

1. PENDAHULUAN

Karakteristik aliran sedimen suspensi pada sungai lurus sudah sering didiskusikan. Untuk menganalisisnya sering digunakan beberapa pendekatan empiris seperti persamaan Scmith, Van Rijn, Einstein, Rouse, dan lain-lain. Kenyataan di lapangan sering dijumpai sungai alami kondisinya berbelok-belok dan menikung serta terjadi angkutan sedimen suspensi, jarang sekali dijumpai alur sungai yang benar-benar lurus dan mempunyai air jernih. Demikian juga dengan perencanaan saluran buatan, pada saat tertentu perencana dihadapkan pada situasi harus membuat tikungan pada suatu pertemuan trase saluran. Kondisi sungai seperti itu, menyebabkan karakteristik aliran yang terjadi akan berbeda bila dibandingkan dengan saluran yang lurus dan berair jernih. Aliran pada saluran yang menikung atau sungai-sungai yang bermeander termasuk aliran tiga dimensi yang berubah dengan cepat karena sangat dipengaruhi oleh karakteristik aliran turbulen. Beberapa struktur turbulen aliran seperti aliran sekunder, kecepatan sesaat, distribusi kecepatan, dan tegangan gesek, sangat besar kontribusinya pada mekanisme aliran di tikungan. Seperti perbedaan kedalaman dan kecepatan aliran antara sisi luar dan sisi dalam saluran, yang disebabkan oleh gaya sentrifugal akibat adanya tikungan ini. Struktur turbulen ini akan saling berpengaruh pada pola dan perilaku aliran termasuk aliran sedimen suspensi.

(4)

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN UNTUK OPERASI DAN

PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI DI DAERAH IRIGASI

LINTAS KABUPATEN/KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

Murtiningrum1, Rachmad Jayadi2, Sudjarwadi3, dan Putu Sudira4

1

Mahasiswa Program Studi S3 Teknik Sipi dan Lingkungan, Fakultas Teknik,Universitas Gadjah Mada, Email: tiningm@ugm.ac.id

2

Staf Pengajar, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Email: rjayadi@tsipil.ugm.ac.idi 3

Staf Pengajar, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Email: sudjarwadi-ugm@ugm.ac.id 4

Staf Pengajar, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Email: psudira@yahoo.com

ABSTRAK

Dengan diberlakukannya PP No. 20/2006 tentang Irigasi, terjadi perubahan pengelolaan sistem irigasi antara lain pada kewenangan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan (O&P) serta rehabilitasi jaringan irigasi. Berdasarkan aturan tersebut Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berwenang mengelola DI dengan luasan antara 1000-3000 ha serta DI lintas kabupaten/kota. Pelaksanaan kewenangan tersebut menjumpai beberapa permasalahan antara lain adanya otonomi daerah yang mengubah pola kewenangan dan hubungan antar strata pemerintahan. Di samping itu, makin tingginya tuntutan akan informasi yang cepat menjadikan prosedur O&P dengan sistem blangko kurang mendukung efektifitas pelaksanaan kegiatan O&P saat ini. Oleh karena itu diperlukan prosedur O&P yang lebih sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan sesuai dengan kondisi tenaga pelaksana O&P lapangan yang ada. Dukungan pada pengambilan keputusan (decision support) yang disusun dalam suatu sistem informasi diperlukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengambilan keputusan pada setiap aras O&P. Lokasi penelitian adalah di DI Lintas kabupaten/kota di Provinsi DIY dengan luas oncoran kurang dari 1000 ha. Pengembangan sistem pendukung keputusan (DSS) O&P irigasi didasarkan pada modal dasar pengelolaan irigasi yang telah ada dan sedang berjalan yaitu institusi, SDM, prasarana irigasi, sumber air, dan pembiayaan. Langkah berikutnya adalah penyiapan perangkat pengelolaan irigasi untuk DI Lintas kabupaten/kota yaitu prosedur operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dilengkapi dengan kriteria untuk mengukur keberhasilan pengelolaan irigasi. Keseluruhan perangkat O&P tersebut dibangun dalam suatu sistem informasi sebagai pendukung pengambilan keputusan sebagai suatu kesatuan yang dapat dipergunakan oleh setiap level manajemen maupun pengguna sistem irigasi.

Kata kunci: DSS, O&P Irigasi, DI Lintas Kabupaten/kota

1. PENDAHULUAN

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 20/2006 tentang Irigasi sebagai aturan pelaksanaan dari Undang-Undang (UU) No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) maka pengelolaan irigasi di Indonesia menjadi mempunyai dasar yang jelas. PP No. 20/2006 ini menggantikan PP tentang irigasi yang telah ada sebelumnya yaitu PP No. 77/2001 tentang Irigasi dan PP No. 23/1983 tentang Irigasi yang masih mengacu pada UU No. 11/1974 tentang Pengairan. Dalam PP No. 20/2006 pengelolaan sistem irigasi dilakukan dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian yang dilakukan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Prinsip-prinsip ini merupakan dasar pelaksanaan good governance yang juga sejalan dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya

(5)

LINIERITAS TANGGAPAN-WAKTU (T

p

) DAERAH-TANGKAPAN

AKIBAT HUJAN

Sasmito1, Bambang Triatmodjo2, Sri Harto3, dan Joko Sujono4

1

Mahasiswa Program Studi Doktor Teknik Sipil, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik,Universitas Gadjah Mada, Emal: sasmitosoekarno@yahoo.co.id

2

Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Email:

bambangt@tsipil.ugm.ac.id 3

Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Email:

sriharto@tsipil.ugm.ac.id 4

Sraf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Email:

jokosujono@tsipil.ugm.ac.id

ABSTRAK

Teori hidrograf satuan mengadopsi prinsip linier, yang menjadikan teori hidrograf satuan menjadi sederhana sehingga mudah diterapkan. Oleh karena itu metode hidrograf satuan sangat popular dan dipakai secara luas di dunia. Prinsip linier mengakibatkan tanggapan-waktu puncak banjir (Tp) konstan untuk hujan yang berbeda intensitasnya asal durasinya

konstan. Hal ini tidak sesuai dengan bukti empiris yang ada (Flood Study Report, 1975) yang menunjukkan bahwa tanggapan waktu tersebut bervariasi tergantung dari kecepatan gelombang banjir (c) yang terjadi. Perbedaan tanggapan ini memunculkan pertanyaan tentang keakuratan dari metode hidrograf satuan. Oleh karena itu, permasalahan ini perlu untuk dikaji lebih dalam mengingat bahwa hidrograf banjir sangat sensitif dengan respon waktu hidrograf satuan (Webster, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku variabel Tp

antara hidrograf banjir yang dihasilkan oleh metode hidrograf satuan dengan hidrograf banjir hasil observasi, selanjutnya berdasarkan perbedaan perilaku Tp tersebut ditentukan faktor

yang diperlukan untuk menyesuaikan Tp metode hidrograf satuan. Analisis data

menggunakan analisis statistik yang sesuai. Data yang diperlukan merupakan pasangan data hujan dan banjir yang ditimbulkannya pada sejumlah daerah tangkapan yang mewakili suatu kawasan tertentu. Hasil analisis selanjutnya diaplikasikan pada beberapa daerah tangkapan untuk menguji kebenarannya.

Kata kunci: linieritas, waktu puncak, faktor-koreksi, hidrograf-satuan, hidrograf-banjir.

1. PENDAHULUAN

Debit aliran suatu saluran akibat hujan pada suatu daerah tangkapan (catchment) dapat ditentukan dengan beberapa cara, diantaranya ialah dengan cara statistik, dan cara hidrograf satuan. Kedua cara tersebut lazim dilakukan pada suatu pekerjaan rekayasa keairan untuk saling mengontrol ketelitian dari besaran debit yang dihitung. Cara yang pertama (statistik) memerlukan data debit hasil pencatatan aliran pada saluran yang bersangkutan. Cara ini menghasilkan besaran debit puncak saja, sedangkan waktu terjadinya debit puncak tidak terdeteksi.

Cara yang kedua (hidrograf satuan) diperkenalkan oleh Sherman pada tahun 1932 memerlukan data aliran dan data hujan yang menimbulkan aliran tersebut. Keluaran dari cara ini berupa hidrograf aliran, sehingga dapat diketahui sifat-sifat alirannya, baik debit puncak maupun waktu untuk mencapai debit puncak. Metode hidrograf satuan telah berkembang dengan pesat, yakni dengan diciptakannya metode hidrograf satuan sintetis seperti Snyder pada tahun 1938, Clark tahun 1945, SCS tahun 1957, Gama I tahun 1985 (Sri Harto, 1985). Dengan adanya metode hidrograf satuan sintetis ini pada daerah tangkapan yang tidak mempunyai data debit aliran maupun data hujan, metode hidrograf satuan tetap dapat diterapkan. Oleh karena itu, metode hidrograf satuan sangat

(6)

KAWASAN WATERFRONT YANG BERKELANJUTAN

DI PANTAI UTARA JAKARTA

(Studi Kasus Kawasan Pantai Indah Kapuk)

Siti Sujatini

Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, E-mail: siti_sudjatini1@yahoo.com

ABSTRAK

Saat ini sekitar 70 % penduduk dunia tinggal pada kawasan yang berbatasan dengan perairan. Kota DKI Jakarta pada awalnya merupakan bagian dari propinsi Jawa Barat, namun seiring dengan perkembangan fungsi memisahkan diri menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh Gubernur. Perkembangan kota Jakarta kemudian semakin kompleks dengan bertambahnya fungsi-fungsi yang menepikan identitasnya sebagai kota di kawasan pesisir. Orientasi pembangunan di Indonesia jauh lebih lebih dititikberatkan pada potensi alam di daratan (landward oriented development), sementara pembangunan berbasis kelautan (seaward oriented development) jauh dari nilai optimal. Jika kita berpegangan kepada faktor sejarah, budaya maritim dan proporsi luasan darat –laut Indonesia, seharusnya pembangunan kita lebih ditumpukan pada pembangunan yang berbasis kelautan. , landward dan seaward harus bersinergi satu sama lain.Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk maka kebutuhan akan sarana dan prasarana di Jakarta terus meningkat, kebutuhan akan lahan meningkat menerus, salah satu area pengembangannya adalah ke arah ‘waterfronts”. Reklamasi adalah suatu proses membuat daratan baru pada suatu daerah perairan/pesisir pantai atau daerah rawa. Pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya tidak bisa dilepaskan dengan masalah kebutuhan lahan. Hal ini menyebabkan manusia memikirkan untuk mencari lahan baru. Sebagai kota pesisir yang merupakan kawasan strategis, Jakarta Utara perlu dikembangkan sebagai Jakarta Waterfront City yang mempunyai tujuan utama merevitalisasi, memperbaiki kehidupan masyarakat pantai, termasuk nelayannya. Pembangunan kawasan komersial jelas akan mendatangkan banyak keuntungan ekonomi bagi wilayah tersebut. Reklamasi memberikan keuntungan dan dapat membantu kota dalam rangka penyediaan lahan untuk berbagai keperluan (pemekaran kota), penataan daerah pantai, pengembangan wisata bahari, akan tetapi keuntungan yang diraih apa sudah sesuai dengan yang dikorbankan. Reklamasi adalah bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap keseimbangan lingkungan alamiah pantai yang selalu dalam keadaan seimbang dinamis sehingga akan melahirkan perubahan ekosistem seperti erosi, sedimentasi pantai, dan gangguan keseimbangan lingkungan. Oleh sebab itu maka perlu dianalisis penerapan konsep waterfronts yang berkelanjutan di pesisir pantai sehingga keseimbangan antara sosial, ekonomi dan lingkungan dapat tercapai.

Kata Kunci: Konsep Pengembangan“Waterfront”, Reklamasi, Kerusakan lingkungan

1. LATAR BELAKANG

Pengembangan kota tepi air di Indonesia merupakan pokok masalah yang potensial ditangani secara lebih seksama, karena Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia dan berdasarkan PP 47/97 (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) terdapat 516 kota andalan di Indonesia dengan 216 kota diantaranya merupakan kota tepi air yang berada di tepi laut (pantai), sungai atau danau. Dibandingkan dengan kawasan kota tepi sungai atau danau, kawasan kota pantai/tepi laut mempunyai lebih banyak potensi untuk dikembangkan, terutama berkaitkan dengan aspek fungsi dan aksesibilitas. Fakta menunjukkan, bahwa sekitar 60% dari populasi dunia berdiam di kawasan selebar 60 km dari pantai dan diperkirakan akan meningkat menjadi 75% pada tahun 2025, dan 85% pada 2050. Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sendiri menyebutkan bahwa sejumlah 166 kota di Indonesia berada ditepi air (Waterfront).

(7)

KARAKTERISTIK ALIRAN PADA SALURAN MENIKUNG

DENGAN MATERIAL DASAR BERGERAK (ERODIBLE BED)

Sumiadi1, B.A. Kironoto2, D. Legono3 dan Istiarto4

1

Mahasiswa Program Doktor, Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Email: sumiadi_73@yahoo.com

2

Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Email: kironoto12117@yahoo.co.id,

3

Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Email: djokolegono@yahoo.com,

4

Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Email: istiarto@ugm.ac.id

ABSTRAK

Karakteristik aliran pada saluran menikung begitu kompleks. Adanya aliran sekunder akibat gaya sentrifugal akan memicu terjadinya gerusan (scouring) dan deposisi di dasar saluran. Hal ini mengakibatkan topografi dasar akan mengalami perubahan secara kontinu sampai kondisinya stabil. Akibatnya semua parameter aliran akan terdistribusi berdasarkan kedalaman, radius dan sudut belokan. Fenomena ini akan semakin kompleks akibat bentuk topografi dasar sepanjang saluran yang tidak seragam.

Untuk memecahkan permasalahan tersebut, akan dilakukan penelitian laboratorium dengan menggunakan flume acrylic dengan sudut belokan 180º, radius tengah 1.25 m, lebar 0.5 m dan tinggi 0.4 m. Kondisi aliran adalah permanen (steady flow). Dasar saluran berupa pasir dengan diameter median 1 mm setebal 0.1 m. Debit aliran akan ditentukan pada waktu penelitian awal. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hidraulika JTSL FT UGM. Pengukuran kecepatan aliran menggunakan Acoustic Doppler Velocimeter (ADV) yang dapat mengukur kecepatan 3D (tangensial, radial dan vertikal) dengan kemampuan merekam data maksimal hingga 50 data per detik. Pengukuran muka air menggunakan Capasitance Level Meter (CLM) dan pengukuran topografi dasar menggunakan metode pengolahan citra hasil pemotretan.

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat mendeskripsikan karakteristik turbulensi aliran di saluran menikung dengan material dasar bergerak (erodible bed), mengembangkan persamaan lokasi fully developed aliran sekunder pada material dasar bergerak, mendeskripsikan pengaruh distribusi tegangan geser pada saluran menikung terhadap perubahan topografi dasar, mengembangkan persamaan empiris aliran sekunder dan bilangan tak berdimensi (non-dimensionless number) sebagai parameter perubahan topografi dasar.

Kata kunci: aliran sekunder, saluran menikung, erodible bed, topografi dasar, ADV.

1. PENDAHULUAN

Karakteristik aliran di saluran menikung berbeda dibandingkan dengan aliran pada saluran lurus. Satu diantaranya adalah perbedaan elevasi muka air (superelevation) antara sisi luar (outer bank) dan sisi dalam (inner bank) karena adanya gaya sentrifugal. Yang kedua adalah akibat adanya gaya sentrifugal, maka terjadi sirkulasi aliran dimana aliran bergerak ke sisi dalam di lapisan bawah dan bergerak ke sisi luar di lapisan atas. Adanya aliran sekunder dapat mengubah struktur aliran dan berakibat pada perubahan distribusi tegangan geser di belokan. Sirkulasi aliran juga mengintensifkan pertukaran momentum antara lapisan atas dan lapisan bawah yang menghasilkan perubahan distribusi kecepatan dari aliran utama terhadap arah radial dan longitudinal.

(8)

DISTRIBUSI KONSENTRASI DAN KECEPATAN GELEMBUNG

UDARA PADA KONDISI PEMASUKAN UDARA ALAMIAH (SELF

AIR ENTRAINMENT) DI SALURAN CURAM

Yeri Sutopo1, Budi Wignyosukarto2, Istiarto2, dan Bambang Yulistyanto2

1

Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil,Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Email:

yerg3g@yahoo.com 2

Staf Pengajar Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Email:

bwignyosukarto@gmail.com; istiarto@ugm.ac.id; yulis@tsipil.ugm.ac.id

ABSTRAK

Tujuan penulisan makalah ini adalah (1) mendeskripsikan distribusi konsentrasi gelembung udara C pada kondisi pemasukan udara alamiah (self air entrainment); (2) mendeskripsikan kecepatan gelembung udara pada kondisi pemasukan udara alamiah (self air entrainment). Alat yang digunakan adalah (1) bak tandon air yang letaknya 5m di atas lantai; (2) flume akrilik ukuran 20x40x1100 cm; (3) pompa air dengan debit 20 l/s; (4) kemiringan talang 13°; (5) alat ukur debit V Notch (Thompson); (6) kamera CCTV; (7) lampu halogen 500 watt dan; (8) screen yang terbuat dari kertas kalkir dan kertas warna hijau muda, untuk menyebarkan sinar lampu secara merata; serta (9) komputer. Gelembung udara belum menjangkau dasar aliran; konsentrasi gelembung udara di tengah kedalaman aliran belum mencapai 5%; dengan demikian masih termasuk dalam wilayah developing. Persamaan distribusi konsentrasi gelembung udara secara empirik C=0,011z2-0,037z dan R2=0,999. Persamaan ini sahih digunakan untuk memprediksi nilai konsentrasi gelembung udara di wilayah developing pada kemiringan dasar saluran 13°. Gelembung udara mempunyai kecepatan antara 0,174m/s sampai dengan 0,954m/s, sudut arah gelembung cenderung ke atas, yang bergerak antara 4°8'52" sampai dengan 28°3'54”. Bentuk dan ukuran gelembung udara yang bergerak cenderung tetap.

Kata kunci: distribusi konsentrasi gelembung udara, kecepatan gelembung udara, self air entrainment

1. PENDAHULUAN

Salah satu karakteristik penting dalam aliran di permukaan saluran luncur adalah udara masuk dari atmosfir ke dalam aliran dan bercampur dengan air. Falvey (1980: 7) mendefinisikan pemasukan udara sebagai proses masuknya udara dari atmosfir ke dalam badan air. Pemasukan udara ditandai dari adanya air putih dalam aliran. Pemasukan udara seperti yang diuraikan di atas dapat juga disebut sebagai self aeration.

Di dasar aliran bangunan pelimpah, lapisan batas mulai terjadi sejak di atas ambang atau crest. Lapis batas laminer biasanya pendek saja, hal ini disebabkan oleh kecepatan dan kekasaran aliran yang mulai meningkat. Setelah itu terjadi lapis batas turbulen. Pada titik tertentu yaitu di titik c yang jaraknya dari ambang pelimpah adalah

X

c, lapis batas turbulen mencapai permukaan aliran. Dalam istilah hidraulik aliran telah berkembang penuh. Pada saat inilah proses pemasukan udara dimulai, lazimnya lokasi ini disebut sebagai the point of inception.

Lokasi di hulu titik pemasukan udara c disebut sebagai wilayah tanpa pemasukan udara. Aliran di hilir pemasukan udara dibagi menjadi dua yaitu daerah developing aerated flow dan fully developed

aerated flow. Pada daerah developing aerated flow terdiri dari dua bagian yaitu berkembang

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) karakteristik modul berbasis model pembelajaran NTGD; (2) kelayakan modul berbasis model pembelajaran NTGD; (3)

Sehingga diperoleh hasil bahwa alat pemanas air energi surya menggunakan reflektor dengan luasan sebesar 0,95 m2 pada sudut 45° memiliki efisiensi kolektor paling tinggi

Antara berikut yang manakah yang menjawab soalan, "Apakah maklumat yang diperlukan untuk menangani keadaan ini?"a.

Pengukuran terhadap efek atau yang dalam penelitian ini disebut respons dihitung menggunakan Costumer Response Index (CRI) dengan mengimplementasikan konsep AISAS

Pada dunia telekomunikasi trafik merupakan hal yang perlu diketahui untuk mengukur kinerja dari suatu layanan jaringan telekomunikasi, baik dalam mobile data pelanggan atau

Syukur dan pujian penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas berkat dan bimbingannya dalam pelaksanaan dan penyelesaian Skripsi yang berjudul

Kontoversi sejarah dan pelurusan sejarah adalah hal yang hangat dan terus menjadi isu dikalangan akademisi dan sejarawan pasca reformasi. Masa kelam sejarah dimasa orde baru

Namun hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian dari Mulyanto (2014) yang menyatakan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh positif tidak signifikan terhadap