• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (SE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (SE)"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN PERKAPITA DAN POTENSI EKONOMI DI PROVINSI INDUK DAN PROVINSI PEMEKARAN (STUDI KASUS: PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (SE)

Oleh: Medina Shafira NIM: 11160840000003

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN PERKAPITA DAN POTENSI EKONOMI DI PROVINSI INDUK DAN PROVINSI PEMEKARAN (STUDI KASUS: PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (SE)

Disusun Oleh: Medina Shafira 11160840000003 Dibawah Bimbingan: Drs. Rusdianto, M.Sc. NIP. 195501041984031001

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2020 M

(3)

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF

Hari ini, Kamis 14 Bulan Mei Tahun Dua Ribu Dua Puluh telah dilakukan Ujian Komprehensif atas Mahasiswa:

1. Nama : Medina Shafira

2. NIM : 11160840000003

3. Jurusan : Ekonomi Pembangunan

4. Judul Skripsi : Analisis Disparitas Pendapatan Perkapita dan Potensi Ekonomi di Provinsi Induk dan Provinsi Pemekaran (Studi Kasus: Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat)

Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan kemampuan yang bersangkutan selama proses ujian komprehensif, maka diputuskan bahwa mahasiswa tersebut dinyatakan LULUS dan diberi kesempatan untuk melanjutkan ke tahap ujian skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Mei 2020

1. Dr. M. Hartana I.P, M.Si. NIP: 196806052008011023

2. Drs. Rusdianto, M.Sc.

NIP. 195501041984031001 (___________________)

(4)
(5)

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI

Hari ini Kamis, 26 November 2020 telah dilakukan Ujian Skripsi atas mahasiswa:

1. Nama : Medina Shafira

2. NIM : 11160840000003

3. Jurusan : Ekonomi Pembangunan

4. Judul Skripsi : Analisis Disparitas Pendapatan Perkapita dan Potensi

Ekonomi di Provinsi Induk dan Provinsi Pemekaran (Studi Kasus: Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang bersangkutan selama ujian Skripsi, maka diputuskan bahwa mahasiswa tersebut di atas dinyatakan lulus dan skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 26 November 2020

1. Dr. M. Hartana I Putra, M.Si.

NIP. 196806052008011023 (__________________________)

Ketua

2. Drs. Rusdianto, M.Sc.

NIP. 195501041984031001 (__________________________)

Pembimbing I

3. Fitri Amalia, M.Si

NIP. 198207102009122002 (__________________________)

(6)

i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

1. Nama : Medina Shafira

2. Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Mei 1998

3. Alamat : Jl. Raya Kebon Jeruk No. 26 RT 009/001,

Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Kebon Jeruk, Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta, 11530

4. Telepon : 085863342711

5. Email : medinashafira13@gmail.com

II. Riwayat Pendidikan

1. SDN 01 Pagi Kebon Jeruk Tahun 2004-2010

2. SMPN 134 Jakarta Tahun 2010-2013

3. SMAN 85 Jakarta Tahun 2013-2016

4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2016-2020

III. Pengalaman Organisasi

1. Anggota Departemen Internal Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sekretaris Departemen Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

IV. Pengalaman Formal

1. Praktek Kerja Lapangan di Bagian Perbendaharaan, Biro Keuangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2019

2. Relawan Demokrasi di Komisi Pemilihan Umum Kota Administrasi Jakarta Barat Tahun 2019.

(7)

ii

V. Seminar

1. Seminar “4TH Industrial Revolution – Global Welfare Through

Digitalization” diselenggarakan oleh Universitas Mercu Buana.

2. Seminar “Tantangan Millenials di Era Industri Keuangan 4.0” diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.

3. Seminar “40 Menit Mengajar BPJS Ketenagakerjaan” diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

4. Seminar “Recent Issues in Public Finance” diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seminar “Bussiness Beyond Passion and Creativity” diselenggarakan oleh DEMA Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(8)

iii ABSTRACT

This study aims to determine the economic performance after expansion as seen from the disparity in per capita income between regions, economic development patterns and economic potentials that can be developed to reduce the disparity rate in the main provinces and the provinces of the expansion. This study took case studies in Papua and West Papua provinces and used secondary data from the Provincial BPS Publications and each district/city for the period 2013-2019. The data obtained were analyzed using the Williamson Index method, Independent Sample T-Test, Klassen Typology, and Location Quotient analysis. Williamson Index analysis shows that there is a high disparity income per capita where Papua Province has an average IW of 2.02, while West Papua has an average of 1.51 during the 2013-2019 period influenced by the backwash effect condition. Analysis of the Independent Sample T-test Difference shows that there is a significant difference in the average disparity of income per capita between Papua and West Papua Provinces. Klassen typology shows that there are differences in economic development patterns between Papua and West Papua provinces. Then, the agricultural sector and the government administration sector have the potential to be developed in the two provinces to reduce the level of income disparity.

Keywords: Income Disparity, Williamson Index, Klassen Typology, Independent Sample T-test, Location Quotient.

(9)

iv

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja ekonomi setelah pemekaran yang dilihat dari sisi disparitas pendapatan perkapita antar wilayah, pola perkembangan ekonomi dan potensi ekonomi yang dapat dikembangkan untuk menekan angka disparitas di provinsi induk dan provinsi pemekarannya. Penelitian ini mengambil studi kasus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan menggunakan data sekunder dari Publikasi BPS Provinsi dan masing-masing kabupaten/kota periode tahun 2013-2019. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode Indeks Williamson, Independent Sample T-Test, Tipologi Klassen, dan analisis Location Quotient. Analisis Indeks Williamson menunjukkan terdapat disparitas pendapatan perkapita yang tinggi dimana Provinsi Papua memiliki rata-rata IW sebesar 2,02 sedangkan Provinsi Papua memiliki rata-rata sebesar 1,51 selama periode 2013-2019 dipengaruhi kondisi backwash effect. Analisis Uji Beda Independent Sample t-test menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata disparitas pendapatan perkapita yang signifikan antara Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Tipologi klassen menunjukkan terdapat perbedaan pola perkembangan ekonomi antara Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Kemudian, sektor pertanian dan sektor administrasi pemerintahan berpotensi untuk dikembangkan di kedua provinsi untuk menekan angka disparitas pendapatan.

Kata Kunci: Disparitas Pendapatan, Indeks Williamson, Tipologi Klassen,

(10)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, sang Pengatur Alam Semesta, yang telah melimpahkan kasih-Nya sehingga penulis berhasil menyusun Penelitian dengan judul ‘Analisis Disparitas Pendapatan Perkapita dan Potensi Ekonomi di Provinsi Induk dan Provinsi Pemekaran (Studi Kasus: Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat)’ dengan baik. Penelitian ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, maka penulis berharap semoga Allah senantiasa membalas semua kebaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu, dan penulis ucapkan terima kasih tak terhingga kepada:

1. Allah SWT yang selalu mengabulkan doa dan selalu memberikan jalan kemudahan dari setiap kesulitan yang penulis hadapi selama proses penulisan skripsi ini. 2. Mama Maya, Teteh Elfa, Mamih Hermin, dan terkhusus Alm. Ayah Husni yang

dalam penulisan kata pengantar penulis tuliskan di depan Ayah yang sedang sakit namun sekarang telah dipanggil Allah SWT, terima kasih karena tak pernah lelah mendoakan, tak pernah menuntut lebih, selalu mendukung, dan mebuat penulis kuat dan semangat menyelesaaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Rusdianto, M.Sc. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan kritik saran yang membangun serta dukungan untuk penulis selama proses penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Amilin, S.E.Ak., M.Si., CA., QIA., BKP., CRMP. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Dr. M. Hartana Iswandi Putra, M.Si. selaku Ketua Prodi Ekonomi Pembangunan dan Bapak Deni Pandu Nugraha, M.Sc. selaku Sekretaris Prodi Ekonomi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak Arief Fitrijanto, S.Si., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu senantiasa memberikan arahan, masukan, serta dukungan selama proses

(11)

vi

perkuliahan berlangsung dari semester satu hingga penulis melakukan penggarapan skripsi.

7. Bapak/Ibu Dosen dan Staff Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat selama proses perkuliahan berlangsung dan senantiasa membantu dalam proses pembuatan skripsi ini. 8. Sahabat-sahabat, Fatiyah, Icil, Nadia Ria, Shelma, Tengku, Aini, Fitri, Rahma,

Nanda, Alaika, dan teman bikin banner lainnya, Halim, Eja, Udin, Zulfy, Fajrian, Ojan, Nanang, Dika, Rangga yang selalu membantu, mendukung , dan menguatkan penulis untuk tetap semangat menyelesaikan skripsi.

9. Sahabat-sahabat di KKN, Anti, Euis, Rani yang selalu memberikan dukungan, dan tawa, saat penulis merasa jenuh dalam proses penulisan skripsi ini.

10. Untuk seluruh teman-teman Mahasiswa Ekonomi Pembangunan 2016 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, karena telah memberikan warna kebahagiaan masa perkuliahan hingga tahap akhir.

11. Adik-adik HMJ Ekonomi Pembangunan, Aini, Oca, Ara, Aldy, Agit, Ridhan, Wilda, Nuy yang selalu baik hati menolong dan memberi tawa selama proses perkuliahan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih untuk setiap dukungan, pertolongan, dan juga semangatnya, semoga semua hal baik mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa pengetahuan penulis sangatlah terbatas, sehingga penulis mengharapkan masukan serta kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk skripsi ini dan penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat bermanfaat baik untuk penulis maupun untuk pembacanya.

Jakarta, 29 September 2020

(12)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ... ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... i

ABSTRACT ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB IPENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Batasan Masalah ... 13

D. Rumusan Masalah ... 13

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 14

BAB IITINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Landasan Teori ... 16

1. Pemekaran Daerah ... 16

2. Pembangunan Ekonomi ... 20

3. Pembangunan Ekonomi Daerah ... 21

4. Pertumbuhan Ekonomi ... 23

5. Disparitas Ekonomi ... 24

6. Pengukuran Disparitas ... 27

7. Uji Beda T-Test ... 28

8. Tipologi Klassen ... 29

(13)

viii

B. Penelitian Terdahulu ... 33

C. Kerangka Pemikiran ... 41

D. Hipotesis Penelitian ... 42

BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 43

A. Data dan Sumber Data ... 43

B. Metode Pengumpulan Data ... 44

C. Metode Analisis Data ... 45

1. Analisis Indeks Williamson Untuk Mengukur Disparitas Pendapatan Perkapita ... 45

2. Uji Beda Indpendent Sample T-Test Untuk Mengukur Perbedaan Tingkat Disparitas Pendapatan Perkapita ... 46

3. Analisis Tipologi Klassen untuk Mengukur Kesenjangan Berdasarkan Pola Perkembangan Ekonomi. ... 48

4. Analisis Location Quotient untuk Menganalisis Potensi Sektor Ekonomi Unggulan. ... 49

D. Definisi Operasional Variabel ... 51

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 53

1. Keadaan Geografis ... 53

2. Keadaan Demografis ... 56

3. Kondisi Perekonomian ... 58

B. Hasil Penelitian ... 66

1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita ... 66

2. Analisis Disparitas Pendapatan (Indeks Williamson) ... 68

3. Analisis Uji Beda Independent Sample T-test... 70

4. Analisis Tipologi Klassen ... 71

5. Analisis Location Quotient ... 72

C. Pembahasan ... 75

1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita antar Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat ... 75

(14)

ix

2. Analisis Disparitas Pendapatan Perkapita di Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat ... 76

3. Analisis Perbedaan Tingkat Disparitas Pendapatan Perkapita di antara Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat ... 81

4. Analisis Kesenjangan Berdasarkan Pola Perkembangan Ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat ... 82

5. Analisis Peranan Sektor Unggulan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Setelah Pemekaran ... 86

BAB VPENUTUP ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 103

(15)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2013-2019 ... 5 Tabel 1.2 Rata-Rata PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2013-

2019 ... 8 Tabel 1.3 Rata-Rata PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun

2013-2019 ... 9 Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... 34 Tabel 3.1 Klasifikasi Kabupaten/Kota menurut Tipoogi Klassen ... 48 Tabel 4.1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Provinsi Papua dan Provinsi Papua

Barat Tahun 2013-2019 ... 57

Tabel 4.2 Rata-Rata Laju Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per km2

di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2013-2019 ... 57 Tabel 4.3 Rata-Rata Pertumbuhan PDRB ADHK Berdasarkan Sektor-Sektor

Ekonomi di Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Tahun 2013-2019 ... 60 Tabel 4.4 Rata-Rata Pertumbuhan PDRB ADHK Berdasarkan Sektor-Sektor

Ekonomi di Provinsi Papua Barat Menurut Lapangan Usaha Tahun 2013-2019 ... 62 Tabel 4.5 Kontribusi Sektor PDRB Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Papua

Tahun 2013-2019 ... 64 Tabel 4.6 Kontribusi Sektor PDRB Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Papua

Barat Tahun 2013-2019 ... 65 Tabel 4.7 Rata-Rata PDRB Perkapita dan Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi

Papua Tahun 2013-2019 ... 67 Tabel 4.8 Rata-Rata PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Kab./Kota di

Provinsi Papua Barat Tahun 2013-2019 ... 68 Tabel 4.9 Hasil Indeks Williamson antar Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat Tahun 2013-2019 ... 69 Tabel 4.10 Uji Independent Sample T-Test ... 70 Tabel 4.11 Tipologi Perkembangan Pembangunan di Provinsi Papua Tahun 2013 –

(16)

xi

Tabel 4.12 Tipologi Perkembangan Pembangunan di Provinsi Papua Barat Tahun 2013 – 2019 ... 72 Tabel 4.13 Nilai Rata-Rata LQ Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Periode

Tahun 2013-2019 ... 73 Tabel 4.14 Nilai Rata-Rata LQ Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Periode

(17)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Disparitas Pendapatan Perkapita Antar Wilayah di Provinsi Papua

Sebelum Pemekaran Tahun 2000 – 2003 ... 7 Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ... 41 Gambar 4.1 Peta Administrasi Pulau Papua ... 53 Gambar 4.2 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK Provinsi Papua dan Provinsi Papua

Barat Tahun 2013-2019 ... 59 Gambar 4.3 Perbandingan Tingkat Disparitas Pendapatan Perkapita di Provinsi

Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2013-2019 ... 77

Gambar 4.4 Kurva Hubungan antara Indeks Ketimpangan dengan Laju

Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2013-2019 ... 80

(18)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Laju Pertumbuhan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2013-2019 ... 108

Lampiran B PDRB Perkapita Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat Tahun 2013-2019 ... 111 Lampiran C Analisis Indeks Williamson di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Tahun 2013-2019 ... 114 Lampiran D Uji Beda Independent Sample T-Test ... 129 Lampran E Analisis Tipologi Klassen Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Tahun 2013-2019 ... 131 Lampiran F Location Quotient Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses yang bersifat

multidimensional dimana dalam upaya mewujudkannya diperlukan perubahan besar yang dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Perubahan yang mempengaruhi proses pembangunan itu sendiri dapat dilihat dari berbagai aspek mulai dari aspek sosial, sikap mental yang siap, tumbuhnya percepatan pertumbuhan ekonomi, serta pengurangan ketimpangan dan pengurangan angka kemiskinan (Todaro dalam Wicaksono, 2010). Dalam melihat suatu capaian pembangunan ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah, dapat diukur dengan melihat perbandingan antara pendapatan dan jumlah penduduk wilayah atau dengan kata lain ialah dengan melihat angka pendapatan perkapita (Nurhayani, dkk., 2015).

Tercapainya pembangunan tidak terlepas dari strategi dan kebijakan yang pada umumnya menekankan pada pembangunan ekonomi, dan pada khususnya menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Namun, kedua strategi tersebut akan menimbulkan pada dilema antara pertumbuhan ekonomi dan hasil dari pemerataan pembangunan. Kedua hal tersebut seperti dua hal yang saling bertolak belakang satu sama lain atau trade off yang artinya dalam mencapai pembangunan, hanya menitik beratkan pada capaian pertumbuhan ekonomi dan cenderung mengabaikan aspek pemerataan (Arsyad, 2014). Sehingga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merupakan hal yang perlu dicapai dalam rangka mencapai

(20)

2

pembangunan dengan harapan proses pemerataan pendapatan pada akhirnya dapat terjadi secara otomatis seiring dengan tingginya pertumbuhan ekonomi yang dicapai.

Pada dasarnya, pembangunan ekonomi bukan hanya merupakan prioritas pemerintah pusat atau nasional saja namun juga prioritas yang perlu dicapai oleh regional atau pemerintah daerah. Pembangunan ekonomi daerah pun tidak terlepas dari bagaimana permasalahan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai serta ketidakmerataan pembangunan antar daerah yang satu dengan daerah yang lainnya (Dhyatmika, 2013). Pada dasarnya pemerintah telah melakukan penguatan dalam kebijakan desentralisasi pada awal era reformasi yaitu dengan adanya kebijakan pemekaran daerah dalam rangka meminimalisir angka ketidakmerataan pendapatan di tingkat regional (Suhartono, 2015).

Kebijakan pemekaran daerah dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisir adanya ketidakmerataan pembangunan antar wilayah terutama di bagian barat Indonesia dengan bagian timur Indonesia. Desentralisasi secara sah telah diterapkan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan landasan hukum yang terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia ialah Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pelaksanaan pemekaran wilayah pada dasarnya tidak dapat terlepas dari dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif yang biasanya ditimbulkan dari adanya pemekaran daerah adalah terjadinya perbedaan sumber daya alam yang menjadi tidak merata di tiap wilayah baik pada wilayah induk

(21)

3

maupun pemekarannya dalam proses pembangunan. Namun di sisi lain, dampak positif dengan dilakukannya pemekaran ialah dimana pemekaran daerah akan memberikan percepatan pada proses pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan dalam pelayanan publik yang diberikan pemerintahan terhadap masyarakat.

Salah satu wilayah yang menerapkan kebijakan pemekaran daerah ialah Provinsi Papua. Papua merupakan wilayah yang menerapkan kebijakan pemekaran daerah dimana menghasilkan daerah otonom baru hasil pemekaran yaitu Provinsi Papua Barat. Provinsi Papua sebelum pemekaran sendiri memiliki lahan yang luas dengan kondisi geografis permukaan yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Kondisi sumber daya yang dimiliki tanah Papua pun sangat melimpah baik dalam sektor pertambangan, sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pariwisata hingga letaknya yang strategis yang merupakan pintu gerbang ke arah lingkar Pasifik.

Berdasarkan data dari Papua Dalam Angka tahun 2003 (Badan Pusat Statistik, 2003) dikatakan bahwa besarnya luas lahan Provinsi Papua sebelum pemekaran

sekitar 421.981 km2 terlalu luas dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang

hanya sekitar 2.469.785 jiwa sehingga menunjukkan angka kepadatan penduduk yang hanya sebesar 5,85%. Angka kepadatan penduduk tersebut menjadi fakta yang bahwa adanya persoalan luas wilayah yang terlalu besar berakibat pada terjadinya ketimpangan pembangunan yang disebabkan oleh persebaran penduduk yang tidak merata, munculnya persoalan ketertinggalan infrastruktur dan juga ketertinggalan pada perekonomian (Brata, 2008).

(22)

4

Proses pemekaran Provinsi Papua Barat dari Provinsi Papua yang merupakan wilayah induknya melalui pro dan kontra yang cukup panjang. Proses pemekaran di Papua atau pada saat itu masih bernama Irian Jaya, dilakukan berlandaskan pada UU No. 45 Tahun 1999 yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, Undang-Undang tersebut kemudian tidak diberlakukan akibat adanya penolakan dari warga Irian Jaya di Jayapura. Pemekaran Papua Barat atau yang pada saat itu bernama Irian Jaya Barat kembali berlanjut dan dilakukan percepatan pemekaran diiringi oleh adanya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 atas permintaan warga Irian Jaya Barat. Walaupun tanpa adanya payung hukum yang jelas, Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya sejak tahun 2003 bersamaan dengan keluarnya Inpres no. 1 Tahun 2003 dan perlahan tetap membentuk diri menjadi provinsi secara definitif. Kemudian Irian Jaya Barat membangun dirinya sebagai Provinsi hasil pemekaran dan secara sah berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007.

Berpacu pada tujuan pemekaran untuk mensejahterakan masyarakat, realitanya permasalahan pembangunan pun masih melanda daerah induk maupun pemekarannya salah satunya adalah tingkat kemiskinan yang tinggi. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS menyatakan bahwa hampir seluruh wilayah pemekaran lebih sejahtera dibandingkan dengan wilayah induknya. Hal tersebut tercermin di wilayah Papua masih banyak masyarakat Papua dan Papua Barat yang terbelenggu dengan kemiskinan yang multidimensional. Tingkat kemiskinan yang dialami oleh Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat setelah pemekaran pada 7 tahun terakhir ditunjukkan pada tabel 1.2.

(23)

5

Tabel 1. 1

Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2013-2019

Tahun Persentase Penduduk Miskin

Provinsi Papua Barat Provinsi Papua Nasional

2013 27.14 31.52 11.47 2014 26.26 27.8 10.96 2015 25.73 28.40 11.13 2016 24.88 28.40 11.13 2017 23.12 27.76 10.12 2018 22.66 27.43 9.66 2019 21.51 26.55 9.22

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2020

Data kemiskinan yang ditunjukkan di atas terlihat bahwa tingkat kemiskinan di Papua Barat yang merupakan provinsi pemekaran nyatanya berada pada tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan oleh Papua yang merupakan provinsi induknya. Kedua provinsi tersebut, baik induk maupun provinsi pemekarannya cenderung mengalami penurunan persentase kemiskinan, namun angka yang ditunjukkan di kedua provinsi masih sangat tinggi. Persentase penduduk miskin di Papua dan Papua Barat merupakan kemiskinan tertinggi di wilayah timur jika dibandingkan dengan tingkat Nasional dan kemudian disusul oleh Papua Barat. Tingginya persentase kemiskinan di Provinsi Papua sendiri terkonsentrasi di daerah pedesaan, di mana pada Maret 2019 terdapat 885,35 ribu jiwa atau 36,84 persen, sedangkan di perkotaan berkisar 41,01 ribu jiwa atau 4,26 persen.

Tingginya angka kemiskinan di Papua antara lain disebabkan adanya inflasi selama periode September - Maret 2019 yang melebihi inflasi nasional, kemudian faktor lainnya adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Papua alami peningkatan pada Februari 2019 sebanyak 3,42 persen. Sedangkan tingginya angka kemiskinan di Provinsi Papua Barat menurut informasi Kementrian Keuangan pada

(24)

6

publikasinya dimana pada tahun 2019 sendiri, tingginya persentase penduduk miskin di Papua Barat sebesar 21,51 % terjadi karena adanya inflasi, penurunan persentase penduduk bekerja pada kegiatan informal, dan adanya keterlambatan distribusi beras sejahtera.

Sejalan dengan diberlakukannya pemekaran di wilayah Papua, masing-masing provinsi baik induk maupun pemekaran tetap melakukan aktivitas ekonomi guna mewujudkan perekonomian yang lebih baik. Namun, permasalahan penting seperti adanya ketimpangan kerap terjadi dalam proses pembangunan. Kinerja dan capaian suatu pembangunan terutama di daerah induk dan daerah hasil pemekaran penting untuk dikritisi dan dianalisis lebih dalam termasuk kemampuan provinsi induk dan provinsi pemekarannya dalam mengatasi permasalahan ketimpangan antar daerahnya. Faktor-faktor dari adanya ketimpangan daerah biasa terjadi karena adanya perbedaan sumber daya alam, faktor demografis termasuk kondisi tenaga kerja, alokasi dana pembangunan antar wilayah baik investasi pemerintah maupun investasi swasta, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, dan mobilitas barang dan jasa (Syafrizal, 2008).

Adapun kondisi ketimpangan pendapatan perkapita antar wilayah di Provinsi Papua sebelum pemekaran ditunjukkan pada gambar 1.3 di bawah ini. Tingkat disparitas pendapatan di Papua sebelum pemekaran melampaui 0,5 dimana apabila merujuk pada kriteria perhitungan ketimpangan oleh Indeks Williamson menurut Susanti (1994) menunjukkan bahwa ketimpangan dengan nilai lebih dari 0,5 menunjukkan bahwa tingkat disparitas atau termasuk dalam ketimpangan berat. Tingkat disparitas pendapatan perkapita di Provinsi Papua sebelum pemekaran dari

(25)

7

tahun 2000 hingga tahun 2003 memiliki rata-rata Indeks Williamson sebesar 2.08 dan cenderung mengalami peningkatan dimana di tahun 2000 sebesar 1.92 hingga di tahun 2003 mencapai angka yang lebih tinggi lagi yaitu sebesar 2.65.

Gambar 1.1

Disparitas Pendapatan Perkapita Antar Wilayah di Provinsi Papua Sebelum Pemekaran Tahun 2000 - 2003

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Papua (data diolah)

(*)Terdapat pemekaran kabupaten/kota di Provinsi Papua dan bertambah dari 14 kabupaten/kota di tahun 2001-2002 menjadi 28 Kabupaten/kota di tahun 2003

Pembangunan ekonomi sendiri dapat tercermin pada capaian pendapatan perkapita dimana pada dasarnya pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Suryana, 2000:5). Pendapatan perkapita yang tinggi pun dapat menjadi sebuah tolak ukur dalam melihat kesejahteraan masyarakat dimana kesejahteraan masyarakat daerah akan terjadi bersamaan dengan pertumbuhan PDRB Perkapita yang tinggi (Djakapermana, 2013). Kesejahteraan masyarakat di Papua dan Papua Barat dapat dilihat bagaimana capaian PDRB Perkapita antar wilayahnya. Semakin besar nilai PDRB perkapita maka akan semakin baik pula tingkat kesejahteraannya dan sebaliknya semakin kecil nilai PDRB perkapita maka akan semakin buruk tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Adapun capaian

(26)

rata-8

Kabupaten/Kota Rata-Rata PDRB Perkapita Provinsi Papua

Merauke 37,946,143.19 Jayawijaya 19,292,823.61 Jayapura 64,532,459.35 Nabire 44,140,294.81 Kepulauan Yapen 26,772,510.40 Biak Numfor 23,213,783.58 Paniai 15,241,793.97 Puncak Jaya 7,397,242.71 Mimika 284,360,673.34 Boven Digoel 45,861,287.26 Mappi 16,547,695.10 Asmat 14,317,212.67 Yahukimo 7,097,729.86 Pegunungan Bintang 16,601,278.11 Tolikara 6,952,136.17 Sarmi 40,528,032.67 Keerom 31,811,201.73 Waropen 42,107,603.76 Supiori 35,955,295.23 Mamberamo Raya 38,108,006.28 Nduga 6,988,061.46 Lanny Jaya 5,715,950.51 Mamberamo Tengah 13,816,790.17 Yalimo 10,644,915.84 Puncak 6,448,596.51 Dogiyai 7,968,237.42 Intan Jaya 14,266,607.71 Deiyai 10,112,002.94 Kota Jayapura 66,825,770.64

rata PDRB perkapita antar kabupaten dan kota di Provinsi Papua ditunjukkan dalam tabel 1.3 berikut.

Tabel 1.2

Rata-Rata PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2013-2019

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Papua (data diolah)

Merujuk pada tabel 1.3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada capaian rata-rata PDRB perkapita antar 29 Kabupaten/Kota di Provinsi Papua setelah pemekaran. Capaian PDRB perkapita antar daerah satu dengan yang lainnya diindikasi terdapat disparitas. Dapat dilihat, capaian rata-rata PDRB perkapita tertinggi berada di Kabupaten Mimika dengan rata-rata

(27)

9

284,360,673.34. Sedangkan, yang terendah ada pada Kabupaten Lanny Jaya yang hanya sebesar 5,715,950.51. Angka tersebut sangat timpang dan signifikan, begitupun apabila dibandingkan dengan 27 Kabupaten dan Kota lainnya. Selanjutnya, Provinsi Papua Barat merupakan daerah otonom baru hasil pemekaran dari provinsi induknya yaitu Provinsi Papua. Adapun capaian rata-rata PDRB Perkapita yang diperoleh Provinsi Papua Barat pasca pemekaran ditunjukkan dalam tabel berikut.

Tabel 1.3

Rata-Rata PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2013– 2019

Kabupaten/Kota

Rata-Rata PDRB Perkapita Provinsi Papua Barat

Fakfak 39,782,528.31 Kaimana 28,465,532.37 Teluk Wondama 29,144,027.58 Teluk Bintuni 381,664,861.90 Manokwari 35,924,924.46 Sorong Selatan 24,786,629.46 Sorong 95,018,298.51 Raja Ampat 45,562,497.34 Tambrauw 9,491,668.55 Maybrat 10,290,535.59 Manokwari Selatan 22,392,197.73 Pegunungan Arfak 4,071,671.57 Kota Sorong 37,147,700.16

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (data diolah)

Besarnya perbedaan pada rata-rata PDRB perkapita yang dicapai antar Kabupaten dan Kota di Provinsi Papua Barat pun terlihat adanya indikasi ketidakmerataan yang menyebabkan adanya disparitas pendapatan perkapita antar kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat setelah menjadi daerah pemekaran. Kabupaten/Kota dengan PDRB Perkapita tertinggi berada di Kabupaten teluk

(28)

10

bintuni dengan rata-rata selama tujuh tahun dari tahun 2013-2019 ialah sebesar 381,664,861.90. Sedangkan Kabupaten/Kota dengan capaian PDRB Perkapita terendah berada di Kabupaten Pegunungan Arfak hanya sebesar 4,071,671.57. Hal tersebut terlihat perbedaan yang sangat signifikan antara kedua Kabupaten tersebut dan sama halnya jika dibandingkan dengan 11 Kaupaten/Kota lainnya.

Merujuk pada UU No. 45 Tahun 1999/Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang dasar pertimbangan pemekaran di Papua yang mengharapkan adanya pembangunan dan

peningkatan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah, maka dengan diberlakukannya kebijakan pemekaran daerah selanjutnya diharapkan mampu mewujudkan kesejahteran masyarakat baik di provinsi induk maupun pemekarannya. Kemudian, adanya Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh BPS yang menyatakan daerah pemekaran lebih baik dan sejahtera dibandingkan daerah induknya selanjutnya ingin dibuktikan dari sudut pandang disparitas dan membandingkan pola perkembangan ekonomi antara provinsi induk dan pemekarannya setelah pemekaran mengingat adanya perbedaan capaian pendapatan perkapita antar wilayah.

Selain itu, salah satu upaya untuk mengentaskan permasalahan ketimpangan pembangunan di wilayah Papua perlu dilakukan dengan cara yang multidimensional. Adapun proses pembangunan multidimensional tersebut perlu meperhatikan segala aspek mulai dari kesejahteraan masyarakat, layanan pemerintahan, serta dapat memberikan dampak positif dalam memanfaatkan potensi ekonomi yang berlimpah agar Otonomi Daerah dapat terselenggara (Romli,

(29)

11

2003). Oleh karena itu, proses pembangunan dapat dimaksimalkan dengan menekan ketimpangan di wilayah Papua kearah pemerataan dengan cara memaksimalkan potensi ekonomi antar wilayah di masing-masing provinsi yang memiliki nilai unggul kompetitif (Iswanto, 2015).

Dengan demikian permasalahan disparitas pendapatan perkapita dan potensi ekonomi perlu dianalisis baik di Papua maupun di Papua Barat agar terlihat bagaimana gambaran kinerja keduanya dalam menggerakan ekonomi dan mengatasi persoalan kesenjangan pasca dilakukannya pemekaran. Adanya ketimpangan pendapatan perkapita pada akhirnya akan menimbulkan konflik di masyarakat yang menyadari adanya jurang pendapatan dan menciptakan potensi ketegangan sosial yang akan terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya permasalahan dan konflik yang sering terjadi baik di Papua dan Papua Barat berakar dari adanya permasalahan kesenjangan yang pada akhirnya mengurangi inefisiensi ekonomi. Apabila ketimpangan terus dibiarkan, pada akhirnya akan menyebabkan adanya perilaku cari keuntungan sendiri yang mencoba menguasai sumber daya tanpa menghasilkan kekayaan baru melalui kegiatan yang produktif (Bank Dunia, 2015).

Berangkat dari tujuan pemekaran pada wilayah Papua tersebut, maka penelitian ini ingin menguji seberapa jauh keberhasilan dari kebijakan pemekaran daerah dalam mewujudkan tujuannya yaitu pembangunan. Penelitian ini mencoba menganalisis dari sisi disparitas pendapatan perkapita antar wilayah, membandingkan kesenjangan wilayah melalui pola perkembangan ekonomi, serta menganalisis potensi daerah yang dapat dikembangkan dalam rangka mengurangi

(30)

12

tingkat disparitas pendapatan yang tinggi di antara provinsi induk dan pemekarannya. Sehingga, penelitian ini mengambil judul “Analisis Disparitas Pendapatan Perkapita dan Potensi Ekonomi di Provinsi Induk dan Provinsi Pemekaran (Studi Kasus: Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan yang ada sebagai berikut:

1) Berdasarkan hasil Susesnas BPS menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kesejahteraan di provinsi induk dan pemekarannya jika dilihat dari persentase penduduk miskin.

2) Terdapat perbedaan capaian kinerja pembangunan ekonomi di antara provinsi induk dan provinsi pemekarannya setelah pemekaran.

3) Tingkat disparitas pendapatan perkapita sebelum pemekaran di Provinsi Papua yang merupakan provinsi induk berada pada level yang sangat tinggi.

4) Diindikasikan masih terdapat permasalahan pembangunan yaitu ketimpangan pendapatan perkapita setelah pemekaran dilihat berdasarkan capaian rata-rata PDRB perkapita antar Kabupaten/Kota di provinsi induk (Provinsi Papua) maupun di provinsi pemekarannya (Papua Barat).

(31)

13

C. Batasan Masalah

Capaian PDRB perkapita yang berbeda-beda antar kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat selama periode 2013-2019 diindikasikan menjadi penyebab adanya permasalahan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, permasalahan pembangunan ekonomi tersebut perlu diatasi agar tujuan dilakukannya pemekaran daerah di wilayah Papua dapat terwujud. Sehingga penulis membatasi masalah pada beberapa hal, yaitu:

1) Terdapat disparitas pendapatan perkapita di provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) tahun 2013-2019. 2) Terdapat perbedaan tingkat disparitas pendapatan perkapita di provinsi induk

dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) tahun 2013-2019.

3) Terdapat perbedaan pola perkembangan ekonomi di provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) tahun 2013-2019. 4) Terdapat peranan sektor unggulan di provinsi induk dan provinsi pemekarannya

(Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) yang dapat menurunkan tingkat disparitas pendapatan perkapita tahun 2013-2019.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, untuk mendalami penelitian tersebut maka diperlukan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

(32)

14

1) Bagaimana tingkat disparitas pendapatan perkapita pada provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) setelah pemekaran tahun 2013-2019?

2) Bagaimana perbedaan tingkat disparitas pendapatan perkapita antara provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) setelah pemekaran tahun 2013-2019?

3) Bagaimana perbedaan pola perkembangan ekonomi antara provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) setelah pemekaran tahun 2013-2019?

4) Bagaimana peranan sektor unggulan di provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) dalam rangka menurunkan tingkat disparitas pendapatan perkapita setelah pemekaran tahun 2013-2019?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk menganalisis tingkat disparitas pendapatan perkapita pada provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Papua Barat) setelah pemekaran.

b. Untuk mengetahui perbedaan tingkat disparitas pendapatan perkapita antara provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Papua Barat) setelah pemekaran.

(33)

15

c. Untuk membandingkan pola perkembangan ekonomi di provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Papua Barat) setelah pemekaran.

d. Untuk menganalisis sektor unggulan di provinsi induk dan provinsi pemekarannya (Provinsi Papua dan Papua Barat) dalam rangka menurunkan tingkat disparitas pendapatan perkapita setelah pemekaran. 2. Kegunaan Penelitian

a. Bagi kepentingan teoritis

1) Menambah wawasan pada bidang ekonomi terutama mengenai disparitas pendapatan di provinsi induk dan pemekarannya (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat).

2) Memberikan kontribusi dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan dan pendidikan.

3) Menjadi acuan dalam penelitian selanjutnya. b. Bagi Pemerintah

Bagi pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan pihak-pihak terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan pertimbangan kebijakan untuk melakukan perencanaan pembangunan daerah di masa yang akan datang yang kemudian dapat mengentaskan permasalahan disparitas pembangunan.

(34)

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah merupakan proses pemisahan suatu daerah dari suatu bagian atau kesatuan yang utuh menjadi beberapa bagian yang berdiri sendiri. Sedangkan Abdurahman dalam Syamsudin Haris (2006) menyebutkan bahwa pemekaran merupakan proses pembagian wilayah menjadi beberapa bagian wilayah dengan tujuan meningkatan pelayanan dan meningkatkan proses pembangunan. Proses dari adanya pemekaran daerah berawal dari adanya peraturan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan dan mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah, dimana proses pemekaran daerah dapat dianalogikan sebagai bagian dari ruang lingkup pembentukan daerah.

Peraturan mengenai pemekaran daerah sendiri tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 4 ayat 3 yang berisi: “Pembentukan Daerah dapat berupa penggabungan daerah menjadi dua daerah atau lebih” kemudian pada ayat 4 yang menyebutkan: ”Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan”. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dengan adanya pemekaran daerah diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan pemerataan pelayanan kepada masyarakat; mampu meningkatkan percepatan pembangunan ekonomi, terutama pada daerah-daerah pinggiran; memfasilitasi pertumbuhan kehidupan demokrasi di daerah; dan

(35)

17

meningkatkan keamanan dan ketertiban di daerah; serta memberikan kontribusi bagi persatuan dan kebangsaan.

Kemudian Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah kembali diperbaharui menjadi UU No. 23 Tahun 2014 dan di dalam Pasal 33 ayat 1 menyatakan tentang Pemekaran Daerah yaitu suatu proses pemecahan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota untuk menjadi dua atau lebih daerah baru atau penggabungan bagian daerah dari daerah yang bersanding dalam satu daerah provinsi menjadi satu daerah baru. Adapun berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, tujuan dari adanya pemekaran daerah adalah untuk mewujudkan efektivitas pelayanan pemerintah; meningkatkan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan kualitas pelayanan publik; meningkatkan tata kelola pemerintah; meningkatkan daya saing nasional dan daerah; serta memelihara adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah.

Pemekaran di wilayah Papua sendiri berawal dari adanya gagasan dari pemerintah pusat untuk membentuk Papua atau yang pada saat itu adalah Irian Jaya menjadi 3 bagian. Kemudian dibentuklah peraturan UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Sehingga UU tersebut menjadikan Irian Jaya terbagi menjadi 3 bagian dimana membentuk Irian Jaya Barat dengan Ibu Kota Manokwari, Irian Jaya Tengah dengan Ibu Kota Timika, dan Irian Jaya Timur dengan Ibu Kota Jayapura.

Adapun dasar pertimbangan dari adanya pemekaran daerah di Irian Jaya sesuai dengan isi UU No. 45 Tahun 1999 adalah dengan adanya pembentukan

(36)

18

Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat diharapkan dapat mendorong

peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan

kemasyarakatan serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah (Romli, 2006). Namun, gagasan pemekaran daerah dan Undang-Undangnya ditolak oleh masyarakat Papua saat itu. Hingga akhirnya 4 tahun kemudian muncul Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003. Instruksi Presiden tersebut berisi peraturan mengenai Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 tentang Pembetukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Kebijakan pemekaran daerah pada dasarnya dilaksanakan dengan tujuan untuk mengatasi berbagai persoalan dalam penyelengaraan pemerintahan daerah saat ini salah satunya ialah mengurangi kesenjangan antar wilayah yang berorientasi pada kepuasan masyarakat. Dengan adanya pemekaran daerah otonom baru akan berpengaruh pada aspek ekonomi, aspek lingkungan, aspek sosial budaya serta aspek politik dan aspek tata ruang (Pandie, 2018). Adapun beberapa faktor yang menjadi alasan dasar adanya kebijakan Pemekaran Daerah menurut (Rita Helbra Tenrini, 2013) adalah:

1) Adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan;

2) Kondisi geografis yang luas dan pelayanan masyarakat yang tidak efektif dan efisien;

3) Perbedaan civil society yang berkembang di dalam masyarakat; 4) Iming-iming insentif fiskal, dan;

(37)

19

Namun, dengan diberlakukannya pemekaran daerah tidak memungkiri akan memberikan dampak pada masing-masing daerah baik daerah induk maupun daerah hasil pemekaran. Dimana, daerah induk bisa saja terjadi penurunan kinerja perekonomian karena sebagian potensinya berada pada daerah otonom baru dan sebaliknya daerah otonom baru pun bisa saja terjadi penurunan kinerja perekonomian karena daerah induk tidak melepaskan daerah yang kaya akan potensi sumber daya kepada daerah otonom baru. Begitupun halnya dengan hasil yang dinyatakan oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik bahwa hampir seluruh wilayah hasil pemekaran lebih sejahtera dibandingkan daerah induknya dengan argumentasi:

1) Pemerataan Pembangunan

Adanya pemekaran pada dasarnya akan meningkatkan penanganan kesejahteraan masyarakat dan penguatan kebijakan yang diatur pada lingkup wilayah yang lebih kecil di daerah otonom baru dibandingkan sebelum mengalami pemekaran sehingga wilayah hasil pemekaran dapat lebih fokus dalam membangun dan menata wilayah sendiri.

2) Pelayanan Publik yang Lebih Efektif dan Efisien

Cakupan wilayah yang lebih kecil akan membuat masyarakat di daerah hasil pemekaran tidak perlu menempuh jarak yang jauh dan mengeluarkan biaya besar untuk mencapai pusat pelayanan publik sehingga biaya yang "diselamatkan" dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan penting lainnya.

(38)

20

3) Memaksimalkan Potensi Daerah Lokal

Adanya pembentukan daerah hasil pemekaran pada dasarnya akan membuat daerah hasil pemekaran lebih leluasa dalam memanfaatkan potensi ekonomi di dalam wilayahnya karenadirasa memiliki potensi yang dapat dimaksimalkan apabila dikelola sendiri.

Adapun adanya penyebab rendahnya tingkat kinerja perekonomian dari adanya pelaksanaan pemekaran daerah menurut Kementerian Keuangan ialah disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

1) Adanya ketidakmerataan pembagian sumber daya perekonomian antara daerah hasil pemekaran dengan daerah induk;

2) Adanya ketidaktertarikan investor baik investor asing maupun investor swasta dalam berinvestasi di daerah otonom baru dibandingkan daerah induknya; 3) Belum adanya kemampuan kinerja pemerintah menggairahkan perekonomian

daerahnya karena terbatasnya alokasi anggaran penerimaan dan belanja daerah (APBD) antara lain promosi, insentif dan kemudahan perijinan.

2. Pembangunan Ekonomi

Prof. Meier dalam Adisasmita (2005) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai proses kenaikan pendapatan riil perkapita dalam suatu jangka waktu yang panjang. Perubahan yang mempengaruhi proses pembangunan itu sendiri dapat dilihat dari aspek sosial, sikap mental yang siap, tumbuhnya percepatan pertumbuhan ekonomi, serta pengurangan ketimpangan dan pengurangan angka kemiskinan (Todaro, 2008). Sedangkan, Sadono Sukirno

(39)

21

(1985) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang terjadi secara terus-menerus melalui serangkaian kombinasi proses demi mencapai sesuatu yang lebih baik yaitu adanya peningkatan pendapatan perkapita yang terus menerus berlangsung dalam jangka panjang.

Menurut Schumpeter dalam Suryana (2000), pembangunan ekonomi bukan merupakan proses yang gradual, tetapi merupakan perubahan yang spontan dan tidak terputus-putus. Pembangunan ekonomi disebabkan oleh perubahan terutama dalam lapangan industri dan perdagangan. Pembangunan ekonomi berkaitan dengan pendapatan perkapita dan pendapatan nasional. Pendapatan perkapita yaitu pendapatan rata-rata penduduk suatu daerah sedangkan pendapatan nasional merupakan nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam masa satu tahun. Pertambahan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita dari masa ke masa dapat digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi dan juga perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah.

3. Pembangunan Ekonomi Daerah

Dalam pengertiannya, pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola setiap sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

(40)

22

perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2010). Menurut Adisasmita (2008), pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumber daya alam, tenaga kerja dan sumber daya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah,

kewirausahaan (kewiraswastaan), kelembagaan daerah dan lingkungan

pembangunan secara luas.

Dalam mencapai suatu pembangunan di dalam suatu wilayah perlu memerhatikan kualitas masyarakat di dalamnya. Banyak hal yang perlu diperhatikan khususnya oleh pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam mencapai tujuan pembangunan dengan memerhatikan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Guna mewujudkan tujuan pembangunan tersebut, maka disini pemerintah dan masyarakat perlu mengambil inisiatif pembangunan daerah dengan menggunakan segenap potensi yang ada di dalam daerah tersebut.

Dalam teori Pusat Pertumbuhan (Pole Growth) yang merupakan teori dasar strategi kebijakan pembangunan industri daerah mengatakan bahwa pada dasarnya pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah secara bersamaan, namun pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang disebut pusat pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda (Peroux dan Arsyad, 1999). Pada intinya dalam teori ini, industri unggulan merupakan merupakan sektor penggerak yang berpengaruh dalam pembangunan ekonomi daerah. Namun adanya pusat pertumbuhan yang hanya terjadi di beberapa tempat dengan industri unggulannya

(41)

23

selanjutnya akan memunculkan daerah yang relatif maju yang akan mempengaruhi daerah-daerah yang relatif pasif dalam industri (Arsyad, 1999).

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi daerah yang berbeda akan memberikan pengaruh pada corak pembangunan yang akan diterapkan. Pola kebijakan yang diterapkan dalam satu daerah belum tentu akan sama dan berhasil ketika diterapkan pada daerah lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dalam menyesuaikan pola kebijakan pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi serta potensi sumber daya pada masing-masing daerah. Arsyad (1999) mengatakan bahwa dalam melakukan pembangunan ekonomi daerah, terdapat masalah pokok pembangunan yang terletak pada terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal. Orientasi ini mengarah pada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.

4. Pertumbuhan Ekonomi

Secara umum pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan yang menyebabkan meningkatnya produksi barang dan jasa di suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi dapat digunakan sebagai tolak ukur pencapaian perkembangan suatu perekonomian yang dimana dapat dilihat dari indikator Produk Domestik Bruto atau PDB. Produk Domestik Bruto sendiri merupakan jumah nilai barang atau jasa suatu Negara dalam satu periode termasuk yang dihasilkan oleh warga asing yang beraada di dalam wilayah tersebut. Sehingga

(42)

24

pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai keadaan perekonomian yang menunjukkan peningkatan PDB suatu negara dibanding dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi menurut Sadono Sukirno merupakan suatu perkembangan kegiatan di dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Dalam menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi perlu dihitung pendapatan nasional riil menurut harga tetap yaitu pada harga berlaku ditahun dasar yang dipilih. Sehingga pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian. Cepat atau lambat suatu pertumbuhan ekonomi perlu dibandingkan dengan pertumbuhan di masa lalu dan pertumbuhan yang dicapai oleh daerah lain (Sukirno, 1994). Dalam suatu pertumbuhan ekonomi, terdiri dari faktor-faktor yang dianggap sebagai sumber yang cukup penting di dalamnya (Sadono Sukirno, 1994), yaitu:

1) Tanah dan Kekayaan lainnya.

2) Jumlah, Mutu Penduduk dan Tenaga Kerja 3) Barang Modal dan Tingkat Teknologi 4) Sistem Sosial dan Sikap Masyarakat. 5) Luas Pasar dan Sumber Pertumbuhan

5. Disparitas Ekonomi

Ketimpangan pembangunan atau disparitas secara umum merupakan suatu perbedaan dalam proses pembangunan ekonomi antar suatu wilayah dengan wilayah lainnya secara vertikal dan horizontal yang menyebabkan disparitas atau ketidakmerataan pembangunan. Adanya ketimpangan yang terjadi menyebabkan

(43)

25

adanya perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah yang cenderung cepat dan wilayah yang tumbuh cenderung lambat. Ketimpangan tersebut selanjutnya akan mempengaruhi bagaimana kesejahteraan pada masyarakat dalam satu wilayah. Ardani (1992) mengemukakan bahwa kesenjangan/ ketimpangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.

Menurut Myrdal (1957) perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyard, 1999). Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sangat penting untuk dicapai dalam meminimalisir terjadinya ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi menurut Soubbotina dan Sheram dalam Bhinadi (2003) selain meningkatkan kekayaan suatu negara juga berpotensi untuk menurunkan kemiskinan dan mengatasi permasalahan-permasalahan sosial lainnya.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ardani pada tahun 1996 dan 1992 yang telah menganalisis kesenjangan pendapatan dan konsumsi antardaerah dengan menggunakan Indeks Williamson, dikatakan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi terdapat kesenjangan kemakmuran antardaerah, namun semakin maju pembangunan ekonomi kesenjangan tersebut semakin menyempit. Dalam kaitannya, Hirschman dalam Arsyad (1997), mengemukakan

(44)

26

bahwa dalam pembangunan ekonomi, faktor geografis dikatakan tidak seimbang dan tidak merata antar daerah satu dan daerah lainnya. Pertumbuhan ekonomi pada mulanya akan terpusat pada beberapa wilayah tertentu, sementara untuk wilayah yang lainnya akan terbelakang.

Pertumbuhan ekonomi selanjutnya akan memberikan perbedaan yang semakin lebar karena terdapat faktor yang mempersulit wilayah miskin untuk berkembang. Dengan demikian, disini campur tangan pemerintah sangat penting dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut. Hirschman berpendapat bahwa daerah di dalam suatu Negara dibedakan menjadi daerah yang kaya dan daerah yang miskin. Apabila perbedaan tersebut semakin mengerucut maka trickle down effects atau imbas balik disini akan terjadi. Sebaliknya, apabila perbedaan tersebut semakin jauh maka akan terjadi pengkutuban atau polarization effects (Arsyad 1997).

Pandangan yang diberikan Hirschman tersebut sejalan dengan pandangan yang diberikan oleh Profesor Kuznets dan hasil dari penelitian Williamson & El Shaks dalam Pramesti Putri (2010). Dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa Professor Simon Kuznets, mengatakan bahwa di tahap-tahap permulaan pertumbuhan suatu daerah terdapat pembagian pendapatan yang cenderung semakin tidak merata, namun seiring dengan bertumbuhnya daerah tersebut maka pembagian pendapatannya akan semakin merata. Sedangkan hasil penelitian Williamson dan El Shaks sendiri mengatakan bahwa ketidakmerataan regional jika digambarkan dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi akan menghasilkan kurva berbentuk lonceng yang beberapa titik puncaknya dicapai pada saat peralihan dari tahap lepas landas menuju tahap pendewasaan.

(45)

27

6. Pengukuran Disparitas

Dalam mengukur disparitas yang terjadi antar wilayah, Produk Domestik Regional Bruto merupakan indikator yang digunakan dalam pengukurannya. Dari perubahan nilai Produk Domestik Regional Bruto tahun ke tahun inilah yang kemudian akan menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi dan memperlihatkan peningkatan perekonomian. Kemudian, dalam mengukur tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah itu sendiri terdapat berbagai macam pendekatan. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan indeks Williamson dalam mengukur disparitas pendapatan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Indeks Williamson digunakan untuk mengukur tingkat disparitas yang terjadi, dalam suatu wilayah tertentu. Dasar perhitungannya adalah dengan menggunakan PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah. Ukuran ketimpangan pendapatan yang lebih penting lagi untuk menganalisis seberapa besarnya kesenjangan antarwilayah/daerah adalah dengan melalui perhitungan indeks Williamson. Dasar perhitungannya adalah dengan menggunakan PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah. Susanti (1994) menjelaskan dalam perhitungan indeks Williamson memiliki tiga kriteria dimana 0,1 < Vw > 0,5 yaitu apabila nilai indeks Williamson mendekati 0 berarti wilayah tersebut berada pada ketimpangan ringan, dan sebaliknya apabila ketimpangan melampaui nilai 0,5 berarti termasuk dalam ketimpangan berat.

Indeks Williamson merupakan koefisien persebaran (coefficient of

(46)

28

PDRB dan penduduk daerah-daerah yang berada pada lingkup wilayah yang dikaji dan dianalisis. Adapun keunggulan dari penggunaan analisis Indeks Williamson dalam mengukur disparitas atau ketimpangan pendapatan perkapita antar daerah di suatu wilayah ialah lebih mudah dan praktis untuk diaplikasikan. Namun, terdapat pula kelemahan dari metode analisis Indeks Williamson yaitu analisis ini lebih sensitif pada perhitungan yang digunakan pada tiap definisi wilayah.

Disparitas atau ketimpangan pada kenyataannya tidak dapat dihilangkan dalam pembangunan suatu daerah. Adanya ketimpangan, akan memberikan dorongan kepada daerah yang terbelakang untuk dapat berusaha meningkatkan kualitas hidupnya agar tidak jauh tertinggal dengan daerah sekitarnya. Selain itu daerah-daerah tersebut akan bersaing guna meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga ketimpangan dalam hal ini memberikan dampak positif. Akan tetapi ada pula dampak negatif yang ditimbulkan dengan semakin tingginya ketimpangan antar wilayah. Dampak negatif tersebut berupa inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro dan Smith, 2004).

7. Uji Beda T-Test

Uji beda t-test merupakan analisis inferensial yang digunakan untuk menguji hipotesis. Salah satu analisis dalam uji beda t-test adalah metode t-test dengan sampel bebas (Independent Sample T-Test). Uji independent sample t-test merupakan uji t sampel untuk membandingkan dua sampel yang tidak saling berpasangan yang digunakan untuk mengetahui seberapa signifikan perbedaan rata-rata antara dua kelompok sampel yang diteliti, dan data yang digunakan dalam uji

(47)

29

t-test ini ialah data berskala interval atau rasio (Sujarweni, 2015). Pengujian independent sample t-test menggunakan dua sampel atau lebih sebagai objek penelitiannya yang kemudian dibandingkan untuk melihat ada-tidaknya perbedaan setelah sampel-sampel tersebut diberi perlakuan yang berbeda. Cara perhitungan uji beda t-test ini ialah dengan membandingkan perbedaan antara dua nilai rata-rata dengan standar error dari perbedaan rata-rata dua sampel (Gozali, 2006).

8. Tipologi Klassen

Tipologi Klassen merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis gambaran tentang pola perkembangan ekonomi masing-masing daerah yang kemudian dapat memberi gambaran mengenai kesenjangan antarwilayah dengan daerah acuannya (Bappenas, 2013). Melalui tipologi klassen kemudian dapat memberikan penjelasan lebih jauh mengenai tipologi perkembangan kabupaten/kota yang ada di dalam masing-masing provinsi (Suhartono, 2015). Terdapat dua indikator utama dalam tipologi klassen yaitu, pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan perkapita daerah. Adapun manfaat dengan dilakukannya analisis tipologi klassen dalam suatu wilayah akan lebih mudah dalam membuat prioritas kebijakan daerah berdasarkan posisi perekonomian yang dimiliki terhadap perekonomian nasional maupun daerah yang diacunya. Di dalam analisis tipologi klassen akan diperoleh diperoleh empat karateristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan masing-masing klasifikasinya, yaitu (Kuncoro dan Aswandi, 2002) dan (Radianto, 2003):

(48)

30

1) Daerah Cepat Maju dan Cepat Tumbuh (Kuadran I)

Daerah Cepat Maju dan Cepat Tumbuh adalah daerah yang mengalami laju

pertumbuhan PDRB dan tingkat pendapatan per kapita yang lebihtinggi dari

rata-rata seluruh daerah. Pada dasarnya daerah-daerah tersebutmerupakan daerah yang

paling maju, baik dari segi tingkat pembangunan maupunkecepatan pertumbuhan.

Biasanya daerah-daerah ini merupakan merupakandaerah yang mempunyai potensi

pembangunan yang sangat besar dan telah dimanfaatkan secara baik untuk

kemakmuran masyarakat setempat. Karena diperkirakan daerah ini akan terus

berkembang dimasa mendatang.

2) Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II).

Daerah maju tapi tertekan adalah daerah-daerah yangrelatif maju tetapi dalam

beberapa tahun terakhir laju pertumbuhannya menurunakibat tertekannya kegiatan

utama daerah yang bersangkutan. Karena itu, walaupun daerah ini merupakan

daerah telah maju tetapi dimasa mendatang diperkirakan pertumbuhannya tidak akan begitu cepat, walaupun potensi pembangunan yang dimiliki pada dasarnya sangat besar.

3) Daerah Berkembang Cepat (Kuadran III).

Daerah Berkembang Cepat pada dasarnya adalah daerahyang memiliki potensi

pengembangan sangat besar, tetapi masih belum diolah secara baik. Oleh karena

itu, walaupun tingkat pertumbuhan ekonominya tingginamun tingkat pendapatan

perkapitanya rendah, yang mencerminkan tahappembangunan yang telah dicapai

(49)

31

itu dimasa mendatang daerah ini diperkirakan akan mampu berkembang dengan

pesat untuk mengejar ketertinggalannya dengandaerah maju.

4) Daerah relatif tertinggal (Kuadran IV).

Kemudian daerah relatif tertinggal adalah daerah yng mempunyai tingkat

pertumbuhan dan pendapatan per kapita yangberada dibawah rata-rata dari seluruh

daerah. Ini berarti bahwa baik tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah inimasih relatif rendah. Tetapi hal ini tidak berarti

bahwa didaerah ini tidak akan berkembang dimasa mendatang. Melalui

pengembangan sarana dan prasarana perekonomian daerah berikut tingkat

pendidikan dan pengetahuan masyarakat setempat diperkirakan daerah ini secara

bertahap akan dapat pula mengejarketertinggalannya (Syafrizal, 1997).

9. Teori Basis Ekonomi

Sumber daya ekonomi daerah atau potensi ekonomi daerah pada dasarnya merupakan segala sesuatu sumber daya yang dimiliki oleh daerah yang dapat memberikan manfaat dan dapat digunakan sebagai modal dasar pembangunan (ekonomi) wilayah (Yusral, 2015). Dalam mewujudkan pembangunan ekonomi perlu memperhatikan pemerataan ekonomi dan menekan ketimpangan pembangunan dengan cara memaksimalkan sektor-sektor potensi ekonomi yang memiliki nilai keunggulan yang kompetitif (Iswanto, 2015). Potensi sumber daya yang dimiliki tiap daerah berbeda-beda, dengan demikian perlu dilakukan analisis sumber daya yang merupakan sebuah potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam teori basis ekonomi dikatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut

(50)

32

(Tarigan, 2005). Adapun aktifitas dalam kegiatan perekonomian regional terbagi dalam dua pengelompokkan yaitu sebagai berikut:

1) Basis

Kegiatan yang bersifat eksogen artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus sebagai pendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lain. Kegiatan basis memiliki peranan sebagai penggerak utama dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. 2) Non Basis

Kegiatan yang bersifat endogen (tidak tumbuh bebas) artinya kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri dan pertumbuhannya tergantung pada kondisi umum perekonomian wilayah tersebut. Sehingga dapat diartikan bahwa ilngkup produksi dan pemasarannya hanya bersifat lokal saja.

Keunggulan dari teori basis ini adalah selanjutnya dapat mengidentifikasi keunggulan komparatif dalam suatu wilayah. Keunggulan komparatif diartikan dengan ukuran relatif yang menunjukan adanya suatu potensi pada komoditas dalam perdagangan pasar. Namun, di dalam model ini terdapat kelemahan yaitu didasarkan pada permintaan eksternal bukan internal yang pada akhirnya berakibat pada timbulnya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatan-kekuatan pasar secara nasional maupun global. Model ini sangat berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-jenis industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi (Arsyad, 1997). Adapun dalam menentukan basis ekonomi suatu wilayah, salah satu metode yang banyak

(51)

33

digunakan adalah Location Quotient (LQ) untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sectors).

Location Quotient merupakan rasio antara total nilai PDRB suatu daerah dibandingkan dengan nlai PDRB sektor yang sama di provinsi dimana kabupaten tersebut berada dalam lingkupnya. Location Quotient memiliki keunggulan dimana dalam penggunaannya cukup sederhana dan dapat dihitung berulang kali untuk setiap perubahan spesialisasi dengan menggunakan berbagai perubahan acuan dan periode waktu. Perubahan tingkat spesialisasi dari tiap sektor kemudian dapat diketahui dengan membandingkan LQ dari tahun ke tahun. Namun, analisis Location Quotient memiliki beberapa kelemahan dimana nilai perhitungan yang dihasilkan LQ bias karena tingkat disagregasi perubahan spesialisasi, pemilihan perubah acuan, pemilihan entity yang diperbandingkan, serta pemilihan tahun dan kualitas data. Oleh karena itu, validitas data sangat penting sebelum melakukan analisis menggunakan metode Location Quotient.

B. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian tentang analisis disparitas pendapatan antar wilayah sebelumnya telah dilakukakan oleh beberapa peneliti. Beberapa penelitian yang menarik dan berkaitan dengan peneitian ini ialah penelitian dari Suhartono (2015). Di dalam penelitian tersebut meneliti tentang tingkat disparitas distribusi pendapatan dan pola perkembangan ekonomi antar kabupaten/kota di masing-masing provinsi hasil pemekaran (Banten dan Gorontalo). Di dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat disparitas pendapatan antar wilayah yang dihitung menggunakan Indeks Theil di Banten dan Gorontalo. Provinsi Banten

Gambar

Tabel 2.1    Penelitian Terdahulu  No.  Judul  Penulis
Gambar  2.1    Kerangka Pemikiran
Tabel 4.3 di atas menunjukkan rata-rata pertumbuhan pada tiap-tiap sektor  yang  ada  di  Provinsi  Papua  dalam  periode  2013-2019

Referensi

Dokumen terkait

Methods for organizing ideas, analyzing data, formatting information, understanding audience needs, and developing a professional communication style are

Penyedian benih udang galah bermutu tidak terlepas dari stock parental udang galah lokal yang di miliki oleh panti benih, stock parental ini belum tersedia dengan cukup

Argumen-argumen diatas dengan jelas memberikan petunjuk bahwa globalisasi dan liberalisasi ekonomi dibawah paying globalisme dan neoliberalisme merupakan suatu yang

3 : Baik, jika menunjukkan suatu usaha yang teliti dalam menjawab pertanyaan

pengembangan usaha kecil dan menengah dalam menghadapi pasar regional dan global harus didasari pada upaya yang keras dan terus menerus dalam menjadikan UKM sebagai usaha

ruas jalan Semarang – Bawen memiliki nilai Indeks Permukaan sebesar 2,. artinya jalan hanya mampu memberikan tingkat

Mulkan Dede (2007 ) Pola Ideal Hubungan Dokter dan Pasien.Sebuah Analisis Kritis dengan Pendekatan Obyektif Kualitatif tentang Komunikasi yang dilakukan antara Dokter dengan

Ruang lingkup kajian perkembangan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A Dharma Tirta) Privinsi Jawa Tengah akhir tahun 2000 difokuskan pada partisipasi petani dalam melaksanakan