1 BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 L.atar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara kesatuan, dimana didalam negara
kesatuan dapat dibagi menjadi dua bentuk, yang pertama ialah negara kesatuan
dalam sistem sentralisasi yaitu segala urusan negara diatur langsung oleh
pemerintahan pusat dan daerah tinggal melaksanakan dan yang kedua ialah negara
kesatuan dalam sistem desentralisasi yaitu daerah diberi kewenangan untuk
mengatur rumah tangganya sendiri.1
Kekuasaan merupakan masalah sentral yang terdapat didalam setiap negara,
hal ini dikarenakan negara merupakan pelembagaan masyarakat politik (Polity)
paling besar dan memiliki kekuasaan yang otoritatif.2
Pembagian kekuasaan pertama kali dilakukan oleh John Locke (1632-
1704). Dalam bukunya Two Treaties of Government (1679), John Locke membagi kekuasaan menjadi tiga macam yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif,
Sehingga didalam negara
demokrasi untuk menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan maka perlu
dilakukan pembagian kekuasaan ( distribution of power).
1
Christine S.T, Kansil, C.S.T. 2008. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara 2
2
dan kekuasaan federatif. Sedangkan Montesquieu (1689-1755) memisahkan
kekuasaan ke dalam tiga organ yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya pembagian kekuasaan dalam tiga
lembaga tersebut diharapkan dalam menjalankan pemerintahan negara tidak
terjadi tumpang tindih diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Berkaitan
dengan upaya mengontrol kekuasaan, agar tidak terulang sentralisasi kekuasaan
sebagaimana pada masa Orde Baru.
Era reformasi telah membawa perubahan dalam sistem pemerintahan dari
tingkatpusat sampai ke desa. Dimana sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang dasar 1945 memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah.3
Penyelenggaraan pemerintahan di desa diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang ditetapkan pada
tanggal 30Desember 2005.Dalam Peraturan Pemerintah dijelaskan susunan
organisasi pemerintahan desa, yakni Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah
Desa dan Badan PerwakilanDesa (BPD) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat Dimana
otonomi daerah itu sendiri bertujuan untuk mempercepat pembangunan daerah
dan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
3
3
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Desa atau sebutan lain merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pemerintahan desa merupakan pemerintahan terkecil dari
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan berhubungan langsung
dengan masyarakat desa, olehkarena itu hubungan yang sangat menentukan dari
berjalannya pemerintahan daerah ditentukan oleh pemerintahan desa yaitu kepala
desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai bagian dari pemerintahan
di desa. Diharapkan dengan adanya pemerintahan didesa ini dapat lebih peka
terhadap permasalahan yang ada didalam masyarakat desa . Kepaladesa beserta
Badan Permusyawaratan Desa berhak untuk mengatur masyarakatnya
dalambentuk Peraturan Desa yang telah disepakati bersama- sama masyarakat
desa.
Badan Perwakilan Desa adalah lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal
pelaksanaan peraturan desa anggaran pendapatan dan belanja desa dan keputusan
kepalaDesa. BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa. BPD
merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa. BPD merupakan lembaga baru di desa pada eraotonomi daerah di
4
berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan
mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat,
golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.
Masajabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/ diusulkan kembali
untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak
diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan
kekuasaan antara Kepala Desa dengan BPD dalam melaksanakan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dimana pola relasi kekuasaan yang sejajar
sebagaimana telah diatur dalam undang-undang, dalam pelaksanaannya diwarnai
oleh praktek-praktek hubungan kerja yang kurang harmonis dan menunjukkan
kecenderungan terjadinya dominasi Kepala Desa. Wujud konkret dari terjadinya
hubungan yang tidak harmonis antara Kepala Desa dengan BPD terlihat dalam
proses-proses penyusunan dan penetapan peraturan desa, penyusunan dan
penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD), pelaksanaan
peraturan desa dan pelaksanaan pertanggungjawaban Kepala Desa.
Hubungan kekuasaan elit Pemerintahan Desa yaitu Kepala Desa
denganBPD menunjukkan hanya sebatas pada penetapan peraturan
desa.Penyelenggaraan Pemerintahan Desa menjadi otoritas Kepala Desa. BPD
(Kekuasaan Legislatif di desa) hanya sebagai lembaga yang memberikan nasehat
terhadap Kepala Desa. Dalam hal ini terjadi hegemoni Kepala Desa terhadap BPD
5
tanpa ancaman kekerasan sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok
dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar
yang bersifat moral, intelektual serta budaya.
Dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada pihak yang lebih kuat dari pihak lain4
Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di
Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari beberapa sub-etnik seperti Simalungun,
Karo, Toba, selain itu terdapat juga beberapa etnik lain seperti etnik Jawa, dan
Cina. Masyarakat Simalungun merupakan masyarakat yang telah lama mengenal . Jadi, selalu ada hubungan tidak seimbang atau
asimetris. Dalam melaksanakan pengelolaan Pemerintahan Desa, kekuasaan
Kepala Desa terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan Badan
Permusyawaratan Desa. Dominasi kekuasaan Kepala Desa terlihat dalam
pembuatan keputusan atau peraturan desa. Dominasi ini terjadi karena adanya
persepsi yang salah dan cenderung menyimpang akan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan adanya pembagian
kekuasaan yang tidak merata antara kekuasaan Kepala Desa (eksekutif) dengan
Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga legislatif dalam Pemerintahan
Desa. Maka apa yang dikatakan oleh Ramlan Surbakti bahwa kekuasaan politik
senantiasa suatu kekuasaan yang memiliki aspek politik yang berupa penggunaan
sumber-sumber pengaruh untuk memberikan pengaruh terhadap proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
4
6
politik ataupun pemerintahan. Dimana sejak awal jauh sebelum Indonesia
dibentuk, di Simalungun telah terdapat pemerintahan feodalisme yang dipimpin
oleh sistem kerajaan yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan masyarakat
Simalungun hingga sekarang. Salah satu kecamatan yang ada di kabupaten
simalungun ialah kecamatan Dolok Pardamean.
Kecamatan Dolok Pardamean merupakan kecamatan yang memilki luas
wilayah terkecil di Kabupaten Simalungun, sehingga sistem pemerintahannya
seharusnya dapat berjalan lebih efektif dibanding dengan wilayah yang lebih luas
lainnya. Kecamatan Dolok Pardamean ini terdiri dari enam belas nagori, yakni
diantaranya ialah Bangun Pane, Butu Bayu Panei, Dolok Saribu, Parik Sabungan,
Parjalangan, Sibuntuon, Silabah Jaya, Sinaman Labah, Tiga Ras dan Togu Domu
Nauli, Nagori Bayu, Sihemun Baru, Tanjung Saribu, Pamatang Sinaman,
Partuahan.5
Studi mengenai relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Badan
Permusyawaratan Desa ini dilakukan di Nagori Tiga Ras, Kecamatan Dolok
Pardamean, Kabupaten Simalungun. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Nagori, istilah desa disebut dengan Nagori,
Kepala Desa diganti nama dengan Pangulu, sedangkan Badan Permusyawaratan
Desa disebut dengan Maujana nagori. Kekuasaan Pangulu yang dominan dalam
pemerintahan nagori memperlihatkan adanya kekuasaan yang tidak merata dalam
struktur pemerintahan nagori di Nagori Tiga Ras. Sebagai lembaga legislatif di
5
7
desa, Maujana nagori hanya sebagai lembaga yang memberikan nasehat terhadap
Pangulu sedangkan pengelolaan Pemerintahan nagori lebih banyak dilakukan oleh
Pangulu.
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, peneliti tertarik membahas
mengenai hubungan politik dalam pemerintahan desa. Sehingga peneliti
mengangkat judul penelitian Hubungan Politik antara Pangulu dengan Maujana
Nagori di Nagori Tiga Ras, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten
Simalungun.
I. 2 Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan kekuasaan dalam
Pemerintahan Desa ialah Analisis Relasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan Desa,
dimana penelitian tersebut menunjukkan bahwa hingga saat ini penyelenggaraan
dan pelaksanaan pemerintahan desa masih jauh dari perencanaan yang
dirumuskan dan belum sesuai dengan undang-undang didalam mewujudkan relasi
sosial yang partisipatif dan demokrasi.
Antara pemerintah desa dan BPD juga terlihat bahwa kedua pihak memiliki
pola hubungan kolusi atau kolaburasi yang menumbuhkan suatu permasalahan
dalam pemerintahan desa khususnya relasi kekuasaan yang terbangun dalam
pemerintahan desa. Disamping itu partisipasi dan keterlibatan masyarakat desa
dalam melakukan kritik maupun tindakan-tindakan protes terhadap kepala desa
dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga tak ada, masyarakat tidak peduli
8
bersifat sentralistik, dan sosial budaya masyarakat secara sosiologis masih
menerapkan prinsip-prinsip lama. Dimana kekuasaan dalam pembuatan kebijakan
terpusat pada satu orang yaitu Kepala Desa. Sedangkan elemen-elemen lain yang
ada didesa tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam penentuan
kebijakan-kebijakan desa.
Pola relasi kekuasaan yang terbangun dalam Pemerintahan Desa tidak sesuai
dengan mekanisme yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Dalam
pelaksanaannya Pemerintahan di tingkat desa tidak dijalankan sesuai
denganperaturan yang berlaku.6
I. 3 Perumusan Masalah
Dalam menjalankan pemerintahan desa Badan Permusyawaratan Desa
(lembaga legislatif) berkedudukan sejajar dengan kepala desa ( lembaga
eksekutif). Namun jika dilihat fakta yang ada malah sebaliknya Badan
Permusyawaratan Desa memiliki posisi dibawah Kepala Desa. Tugas yang
seharusnya menjadi bagian Badan Permusyawaratan Desa kini telah diambil alih
oleh Kepala Desa. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk
membahas mengenai “ Bagaimana Hubungan Politik antara Pangulu dengan
Maujana Nagori dalam Pengelolaan Pemerintahan Nagori di Nagori Tiga Ras,
Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun pada periode 2010-2015?
I. 4 Pembatasan Masalah
6
9
Pembatasan masalah merupakan salah satu upaya untuk menetapkan fokus
pembahasan yang memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian berupa
lokasi, rentang waktu yang ingin diteliti dengan tujuan untuk menghasilkan uraian
yang sistematis. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini ialah:
A. Bagaimana hubungan politik Pangulu dengan Maujana Nagori di Nagori Tiga
Ras, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun?
B. Apa yang menjadi faktor penghambat terhadap hubungan antara Pangulu
dengan Maujana Nagori tersebut?
I. 5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, yakni;
A.Untuk mengetahui hubungan politik antara Pangulu dengan Maujana Nagori di
Nagori Tiga Ras, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun.
B.Untuk mengetahui faktor penghambat terhadap hubungan Pangulu dengan
Maujana Nagori.
I. 6 Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang sungguh
diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran yang bermanfaat pada
penelitian-penelitian selanjutnya dalam fokus kajian eksekutif dan legislatif
dalam pemerintahan daerah.
B.Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik
secara langsung maupun tidak bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama
10
memiliki ketertarikan untuk mengeksplorasi mengenai eksekutif dan legislatif
dalam pemerintahan daerah dan menjadi referensi/ kepustakaan Departemen
Ilmu Politik FISIP USU.
C.Bagi masyarakat luas, penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman mengenai eksekutif dan legislatif dalam
pemerintahan daerah. Untuk pemerintahan desa mencangkup Kepala Desa,
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diharapkan dapat menjalankan fungsinya
dengan baik, dengan kata lain relasi diantara kedua lembaga harus dapat
seimbang sebagai mitra kerja pemerintahan di desa. Terkhusus bagi masyarakat
Simalungun diharapkan dapat ikut berpartisipasi dan mengevaluasi kinerja
pemerintahan desa untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
I. 7. Kerangka Teori dan Konsep
I. 7. 1 Teori Kekuasaan
Kekuasaan menempati posisi penting dalam politik. Kekuasaan memberikan
perbedaan antara pimpinan dengan anggota. Bahkan kekuasaan dianggap identik
dengan politik. Dalam konteks keilmuwan, konsep kekuasaan secara sederhana
dijelaskan sebagai relasi antara dua orang, yang satu adalah “atasan” atau
11
atasan.7
Gramsci memandang bahwa kekuasaan dapat diperjuangkan dan
dipertahankan lewat satu prinsip yang lebih cerdas dan soft yang disebutnya dengan hegemoni. Gramsci melihat bahwa pertarungan kekuasaan dapat
dipandang sebagai pertarungan ide-ide bukan pertarungan “kekuasaan” ,
pertarungan massa, dan kekuatan senjata. Ia melihat ide-ide tersebut dapat
mempengaruhi hasrat dan tingkah laku seseorang lewat cara-cara yang lebih
manusiawi dan lebih santun yang dapat disebut politik yang lebih lunak, the soft politics.
Dengan kata lain kekuasaan menjadi perbedaan yang menunjukkan posisi
seseorang yang mampu mengendalikan orang lain.
Untuk melihat akar pengertian dari kekuasaan, maka patut untuk dipahami
yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci (1891-1939). Pada masa itu, secara
eksplisit kata “ kekuasaan” tidak dikenal. Untuk menjelaskan makna “ power”,
kata hegemoni dikedepankan untuk djelaskan oleh para pakar politik pada zaman
itu, terutama Gramsci. Dalam bahsa Yunani kuno, hegemoni disebut” eugemonia”
yang dipergunakan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh
negara-negara kota ( polis atau citystate) secara individual. Seperti yang dijelaskan oleh Encyclopedia Britanica, contohnya dapat dilihat dalam
penyebutan “hegemoni” untuk menyatakan negara kota Athena dan Sparta.
8
Konsep hegemoni Gramsci berawal dari Gramsci yang secara dialektis
dilakukannya dikotomi tradisional karakteristik pemikiran politik Italia dari
7
John Scott. 2011. SOSIOLOGI The key Concept, Jakarta:Rajawali Press. Hal.202
8
12
Machiavelli sampai Pareto hingga Lenin. Dari Machiavelli hingga Pareto,
konsepsi yang diambil adalah tentang kekuatan (force) dan persetujuan (consent).
Bagi Gramsci, kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua
cara, yaitu melalui cara dominasi (dominio) atau paksaan (coercion) dan yang kedua ialah melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Cara yang terakhir
inilah yang dimaksud Gramsci sebagai hegemoni.
Gramsci berpendapat bahwa hegemoni tidak hanya bisa dilakukan oleh
negara yang selama ini dikenal dengan rulling class namun bisa juga dilakukan oleh seluruh kelas sosial. Hegemoni sendiri pengertiannya adalah dominasi oleh
satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan,
sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok
yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bernilai moral,
intelektual serta budaya.9
9
Situs web Strinati, Dominic. 1995. An Introduction to Theories of Popular Culture, London: Routledge. Disini penguasaan tidak dengan kekerasan melainkan
dengan bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai dengan baik sadar
maupun secara tidak sadar. Hegemoni bekerja dengan dua tahap yaitu tahap
dominasi dan tahap direction atau tahap pengarahan. Dominasi yang paling sering dilakukan adalah oleh alat-alat kekuasaan negara seperti sekolah, modal, media
dan lembaga-lembaga negara. Ideologi yang disisipkan lewat alat-alat tersebut
bagi Gramsci merupakan kesadaran yang bertujuan agar ide-ide yang diinginkan
negara (dalam hal ini sistem kapitalisme) menjadi norma yang disepakati oleh
13
dominasi maka tahapan berikutnya yaitu tinggal diarahkan dan tunduk pada
kepemimpinan oleh kelas yang mendominasi.
Penjelasan rinci oleh Gramsci terkait hegemoni kekuasaan mengilhami pada
teoritis politik, khususnya para teoritis yang memusatkan perhatian teori pada
kekuasaan. Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kesempatan seseorang
atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat atas
kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkan tindakan perlawanan dari
orang-orang ataupun golongan tertentu. Jadi kekuasaan merupakan hasil pengaruh
yang diinginkan oleh seseorang ataupun sekelompok orang.10 Dan sumber-sumber kekuasaan merupakan hal yang akan selalu diperebutkan oleh orang ataupun
sekelompok orang yang ingin memperoleh kekuasaan.11
Power then is generalized capacity to secure the performance of binding oblications by units in a system of collective organization when the obligations are legitimized with reference to their bearing on collective goals, and where in case of recalcitrancy there is a presumption of enforcement by negative situastional sanction-whatever the agency of the enforcement.
Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Talcott Parsons menjelaskan
defenisi kekuasaan dengan menyertakan perihal perlawanan dalam kekuasaan
tersebut. Dalam bukunya The distribution of Power in America Sosiety, seperti yang dikutip Miriam Budiardjo, Parsons merumuskan pengertian kekuasaan
10
Inu Kencana Syafii. 2011. Etika Pemerintahan, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 167 11
14
Dalam defenisi tersebut, Parsons menekankan kekuasaan merupakan
kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat
oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah
sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka
pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar untuk dilakukan.12
Kemudian muncul dua istilah yang menyangkut dengan kekuasaan, yaitu
scope of power dan domain of power. Scope of power atau cakupan kekuasaan menunjuk pada kegiatan, perilaku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang
menjadi objek kekuasaan. Sedangkan domain of power (wilayah kekuasaan) menjawab pertanyaan siapa-siapa saja yang dikuasai oleh orang atau kelompok
yang berkuasa, artinya istilah ini mengarah pada pelaku, kelompok organisasi atau
kolektivitas yang dikuasai13
I. 7. 1. 1 Trias Politica
.
Untuk menghindari pemerintahan yang sentralistik, maka perlu dilakukan
pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh Jhon Locke14
1. Kekuasaan Legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang
Jhon Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara dalam tiga bagian,
yakni:
2. Kekuasaan Eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.
12
Ibid, hal.63 13
Mirriam Budiardjo. Op cit..Hal. 126 14
15
3. Kekuasaan Federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Menurut Jhon Locke, ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan antara yang
satu dengan yang lainnya. Menurut Montesquie dalam suatu sistem pemerintahan
negara, ketiga jenis kekuasaan tersebut harus terpisah, baik mengenai fungsi
(tugas) maupun mengenai alat kelengkapan (organ) yang melaksanakan:15
1. Kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat 2. Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan oleh pemerintah
3. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh badan peradilan
Ajaran Montesquie ini lebih dikenal dengan istilah Trias Politica.
Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis tersebut bertujuan
untuk menghindari tindakan sewenang-wenang oleh raja. Istilah Trias Politica
berasal dari bahasa Yunani yang artinya “ Politik tiga serangkai”. Menurut ajaran
Trias Politica dalam setiap pemerintahan negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan kekuasaan itu harus
terpisah.16
Ajaran Trias Politica ini nyata-nyata bertentangan dengan kekuasaan pada zaman Feodalisme dalam abad pertengahan. Dimana pada saat itu yang ketiga
kekuasaan yang ada didalam negara tersebut dipegang oleh seorang raja, yang
15
C.S.T. Kansil dan Cristine S. T. Kansil. 2003. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 8
16
membuat sendiri undang-undang, menjalankannya dan menghukum segala
pelanggaran atas undang-undang yang telah ia buat. Monopoli atas ketiga
kekuasaan tersebu dapat terlihat dari semboyan raja Louis XIV “L’ Etat cest moi”
(negara adalah saya) kekuasaan mana berlangsung hingga permulaan abad ke
XVII. Setelah pecah revolusi Perancis pada tahun 1789, barulah paham tentang
kekuasaan yang bertumpuk ditangan raja menjadi lenyap. Saat itu pula timbullah
gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh Montesquie.17
17
C.S.T. Kansil dan Cristine S. T. Kansil Op.cit. hal. 10-11
Pemisahan ketiga kekuasaan tersebut, baik mengenai tugas dan fungsi,
maupun mengenai alat perlengkapan atau organ yang menyelenggarakan.
Montesqiue menegaskan, bahwa kemerdekaan individu terhadap tindakan
sewenang-wenang pihak penguasa akan terjamin apabila antara legislatif,
eksekutif dan yudikatif diadakan pemisahan mutlak antara yang satu dengan yang
lainnya.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa Jhon Locke memasukkan yudisiil
kedalam kekuasaan eksekutif. Sebaliknya Montesquie menganggap bahwa
kekuasaan yudisiil sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Ajaran Montesquie
banyak mempengaruhi orang Amerika Serikat pada waktu UUD-nya dirumuskan,
sehingga kostitusi negara itu dapat dianggap yang lebih banyak mencerminkan
17
Prof. Jennings18
Prof. Dr. Ismail Suny S.H., M.C.L,
membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti
materiil dan dalam arti formal. Dimana kekuasaan dalam arti materiil ialah
pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan
tegas dalam tugas kenegaraan yang dengan jelas memperlihatkan adanya
pemisahan kekuasaan itu kepada tiga bagian, yakni Legislatif, Eksekutif dan
Yudikatif. Sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah pembagian
kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan jelas.
19
Amerika dianggap sebagai negara pertama yang menerapkan ajaran
pemisahan kekuasaan trias politika. Seperti, Presiden Amerika Serikat tidak dapat
membubarkan kongres sebaliknya kongres tidak dapat menjatuhkan Presiden
selama jabatan empat tahun. Para Hakim Agung Amerika Serikat diangkat oleh
Presiden dan selama berkelakuan baik memegang jabatannya seumur hidup atau
sampai mengundurkan dirisecara sukarela, sebab Mahkamah Agung Amerika dalam bukunya yang berjudul
Pergeseran Kekuasaan Eksekutif mengambil kesimpulan dalam arti materiil itu sepantasnya disebut Seperation of powers (pemisahan kekuasaan) sedangkan dalam arti formal sebaiknya disebut Divison of powers (pembagian kekuasaan). Menurutnya pemisahan kekuasaan dalam arti materiil paling banyak hanya
terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan Uni Sovyet terdapat
division powers.
18
C.S.T. Kansil dan Cristine S. T. Kansil. 2003. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. Hal.53
.14. 19
18
Serikat memiliki kedudukan yang bebas. Badan Yudisiil tertinggiatau Mahkamah
Agung bertanggung jawab untuk menafsirkan undang-undang, mempunyai hak uji
materiil dan yudicial review atas undang-undang terhadap konstitusi, meskipun hak ini hanya merupakan konvensi ketatanegaraan, tidak tertulis didalam
konstitusi.
Ajaran trias politica juga dapat menjadi perhatian dan diterapkan didaratan Eropa Barat seperti Jerman dan Belanda. Di negara-negara ini ternyata
anggota-anggota kabinet tidak dapat merangkap menjadi anggota-anggota badan legislatif. Apabila
seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat menjadi menteri, yang bersangkutan
tersebut harus berhenti dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Di Inggris ajaran
Trias politika tidak diterapkan. Ini terbukti bahwa seperti yang telah diuraikan
didepan, tidak ada pemisahan kekuasaan,malahan terjalin hubungan yang erat
antara badan legisltif dan badan eksekutif.20
Setelah UUD 1945 mengalami perubahan pertama kalinya hingga keempat,
meskipun tidak disebut secara tegas, namun asas-asas trias politika secara
konstitusional ditegakkan, dilindungi dan dijamin realisasinya. Misalnya, setelah
perubahan terdapat bab-bab yang mencerminkan adanya pembagian kekuasaan
didalam negara kesatuan RI, antara lain bab II tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, bab III tentang kekuasaan pemerintahan negara, bab VII tentang Dewan
20
19
Perwakilan Rakyat, bab VII A tentang Dewan Perwakilan daerah, bab VIII A
tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dan bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dengan demikian jelaslah bahwa UUD 1945 setelah perubahan, walaupun
secara eksplisit tidak menyebut tentang ajaran Trias Politica, namun secara nyata dan pasti negara RI menganut ajaran Trias Politica dalam artian pembagian kekuasaan.21
I. 7. 1. 2 Check and Balances
Check and balances merupakan sistem dimana orang-orang dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan jika
mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap hak. Pengawasan (checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah suatu langkah maju yang sempurna. Mencapai keseimbangan lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan utama
dalam checks and balances adalah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke
dalam cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan mencegah dominannya suatu
kelompok. Bila seluruh ketiga cabang kekuasaan tersebut memiliki checks
terhadap satu sama lainnya, checks tersebut dipergunakan untuk menyeimbangkan kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan yang mengambil terlalu banyak kekuasaan
dibatasi lewat tindakan cabang kekuasaan yang lain. Checks and Balances
diciptakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Hal tersebut dapat tercapai
dengan men-split pemerintah dalam kelompok-kelompok persaingan yang dapat
21
20
secara aktif membatasi kekuasaan kelompok lainnya. Hal ini akan berakhir bila
ada suatu kelompok kekuasaan yang mencoba untuk menggunakan kekuasaannya
secara ilegal.
Berbeda dengan Inggris, Perdana Menteri dapat membimbing Dewan
Perwakilan Rakyat. Presiden Amerika tidak dapat membimbing kongres. Presiden
dan para menteri tidak boleh merangkap anggota kongres. Sebaliknya Perdana
Menteri dan kebanyakan menteri di Inggris berasal dari majelis rendah dan turut
dalam perdebatan majelis itu. Perdana Menteri mengetuai kabinet yang terdiri deri
teman separtai dan sekaligus memberi bimbingan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dalam menyelenggarakan tugas sehari-hari, misalnya dalam soal
menentukan prioritas pembahasan rancangan undang-undang dan lain sebagainya.
Di Inggris nasib kabinet bergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat, sebab
apabila kehilangan dukungan dalam badan itu, kabinet harus mengundurkan diri.
Jadi di Inggris tidak terdapat pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan
yudisiil. Disana terlihat adanya jalinan yang erat antara legislatif dan eksekutif.
Untuk menjamin agar masing-masing cadang kekuasaan tidak melampaui batas
kekuasaannya, para penyusun konstitusi Amerika Serikat mengadakan suatu
Check and balances atau saling mengawasi dan saling mengimbangi antar cabang kekuasaan negara.
21
1. Presiden Amerika diberi wewenang menveto rancangan undang-undang yang
telah disetujui oleh kongres. Hak veto ini dapat batal apabila kongres
dukungannya 2/3 suara dari kedua majelis yang telah memenuhi kuorum,
menolak veto Presiden
2. Mahkamah Agung mengadakan check terhadap badan legislatif dan bdan eksekutif melaui ujia materiil atau judicial reviw .
3. Disisi lain, hakim agung yang tela diangkat seumur hidup oleh presiden
dapatdiberhentikan oleh kongres, apabila ternyata telah melakukan tindakan
kriminal
4. Demikian juga Presiden dapat di Impeachmet oleh Kongres berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat pasal 2 ayat 4.
5. Presiden dapat mendatangani perjanjian internasional, akan tetapi baru sah
apabila senat menyetujuinya, begitu juga dalam hal pengangkatan
jabatan-jabatan yang menjadi wewenang Presiden, misalnya Hakim Agung dan Duta
Besar.
6. Khusus menyatakan perang, hanya dapat dilakukan kongres.
Dengan demikian sistem check and balances berakibat dalam batas-batas tertentu, satu cabang kekuasaan dapat campur tangan dalam tindakan kekuasaan
lain.
I. 7. 2 Teori Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahanberasal dari dua suku kata “sistem”dan
22
yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun
hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu
menimbulkan suatu ketergantungan antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah
satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya
itu.22Pemerintahan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara
sendiri, jadi tidak diartikan sebagai pemerintahan yang hanya menjalankan tugas
eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan
yudikatif, sehingga sistempemerintahan adalah pembagian kekuasaan serta
hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan
kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka kepentingan rakyat.23
sebagai sebuah sistem hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga negara. Dalam ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan, baik yang berbentuk
monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan
yang mewakili rakyat. Ditambahkan Mahfud MD, sistem pemerintahan dipahami
24
22
Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara. Hal. 171
23
Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim. Loc.Cit 24
Saldi Isra. 2010. Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam SistemPresidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 23
Disamping pendapat para ahli tersebut, Jimly Asshiddiqie mengemukakan, sistem
pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan
23
Ditinjau dari aspek pembagian kekuasaannya, organisasi pemerintah dapat
dibagi dua, yaitu pembagian kekuasana secara horizontal didasarkan atas sifat
tugas yang berbeda-beda jenisnya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di
dalam suatu negara, dan pembagian kekuasaan secara vertikal menurut tingkat
pemerintahan, melahirkan hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem
desentralisasi dandekonsentrasi.25
Sistem pemerintahan yang dianut Indonesia sebelum perubahan UUD 1945
menurut Bagir Manan terdapat dua pendapat yang lazimdigunakan, yaitu
Kelompok yang berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem presidensial dan
kelompok yang berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem campuran. Para
ahliyang berpendapat sebagai sistem presidensial karena presiden adalah kepala
pemerintahan dan ditambah dengan karakter : (a) adakepastian masa jabatan
presiden, yaitu lima tahun; (b) presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR;
dan (c) presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sementara itu,yang berpendapat
bahwa Indonesia menganut sistempemerintah campuran karena selain terdapat
karakter sistem pemerintahan presidensial terdapat pula karakter sistem
parlementer. Ciri parlementer yang dimaksudkan adalah presiden bertanggung
jawab kepada lembaga perwakilan rakyat yang dalam hal ini MPR.26
Perubahan pertamahingga keempatUUD1945, telahmenjadikan sistem
ketatanegaraan Indonesia mengalami berbagai perubahan yang mendasar.
25
Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara. Hal. 171
26
24
Perubahan-perubahan itu mempengaruhi struktur dan mekanisme struktural orga–
organ negara Indonesia. Banyak pokok pikiran baru yang diadopsikan kedalam
kerangka UUD 1945 tersebut,diantaranya adalah:
1. Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling
melengkapi secara komplementer
2. Pemisahankekuasaandanprinsipchecks and balances
3. Pemurnian sistempemerintah presidensial
4. Penguatan cita persatuan dan keragamandalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Perubahan ini yang saat ini menimbulkan berbagai kelembagaan negara dan
pembentukan sistem dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang
demokratis.
I. 7. 3 Pemerintahan Desa
Dengan pengesahan Undang-Undang yang baru tentang pemerintahan
daerah dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 ini merupakan perubahan yang terjadi dalam substansi pelaksanaan
pemerintahan, termasuk pemerintahan desa.Terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan “subsistem
dari system penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya”.27
27
25
Status desa adalah satuan pemerintahan dibawah kabupaten/ kota.28
Selanjutnya dalam angka 7 dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan
“Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalahKepala Desa dan
Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Sedangkan
dalam angka 8 Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disingkat BPD, adalah lembaga yang merupakan perwujudan
demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desasebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa”
Desa
tidak sama dengan kelurahan yang statusnya dibawah camat. Kelurahan hanyalah
wilayah kerja lurah dibawah camat yang tidak mempunyai hak mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat. Sedangkan desa memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI (UU No. 32/2004).
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa,
pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
28
26
Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa ada dua institusi
yang mengendalikannya, yaitu Pemerintah Desa, dan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Pemerintah desa yang dimaksud disini kepala desa sebagai lembaga
eksekutif pemerintah desa yang berfungsi sebagai kepala pemerintah di desa,
kemudian dalam menjalankan tugasnya,Kepala desa di bantu oleh perangkat desa.
Perangkat desa bertugas membantu kinerja kepala desa dalam melaksanakan
tugas-tugas danfungsi-fungsi pemerintah desa. Perangkat desa terdiri dari
sekretaris desa dan perangkat desa lainnya, sedangkan sebagai lembaga legislatif,
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi menetapkan Peraturan Desa
bersama Kepala Desa serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Gambar 1.1: Strukur Organisasi Pemerintahan Desa29
29
Hanif Nurcholis. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama. Hal. 74
Kepala Desa BPD
Sekdes
Staf
Kepala
Kewilayahan Pelaksana
27
I. 7. 3. 1 Kepala Desa
“Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa.
Seorangkepala desa haruslah seorang warga Negara Republik Indonesia
yangmemenuhi syarat, yangselanjutnya akan ditentukan dalam perda
tentangtata cara pemilihan kepala desa. Dalam pemilihan kepala desa,
calon yang memiliki suara terbanyak, ditetapkan sebagai kepala
desaterpilih.Untuk desa-desa yang memiliki hak tradisional yang
masihhidup dan diakui keberadaannya, pemilihan kepala desanya
dilakukanberdasarkan ketentuan hukum adat setempat, yang ditetapkan
dalamperda dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.
Masa jabatan kepala desa adalah enam tahun dan dapat dipilih
kembalihanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.Masa jabatan
kepaladesa, bagi desa yang merupakan masayarakat hukum adat,
yangkeberadaannya masih hidup dan diakui, dapat di kecualikan dan hal
inidiatur dengan perda”.30
“Kepala desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat desa
yang dalam tata cara dan prosedurnya pertanggungjawabannya
disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui camat. Kepala Badan
Permusyawaratan Desa, kepala desa wajib memberikan keterangan
laporan pertanggungjawabannya kepada rakyat, menyampaikan informasi Lebih lanjut HAW. Widjaja mengungkapkan bahwa :
30
28
pokok-pokok pertanggungjawabannya, namun harus tetap memberi
peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk
menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal -hal
yang berhubungan dengan pertanggungjawaban yang dimaksud”.31
Berdasarkan Peraturan-Pemerintah No. 72 Tahun 2005, dapatkita ketahui,
kewajiban dari Kepala Desa adalahsebagai berikut:32
1. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta mempertahankan dan memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
3. Memelihara ketentraman dan keterlibatan masyarakat
4. Melaksanakan kehidupan demokrasi
5. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebasdari
korupsi, kolusi dan nepotisme
6. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahandesa
7. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang – undangan
8. Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik
9. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangandesa
10. Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa
11. Mendamaikan perselisihamn masyarakat di desa
31
Hanif Nurcholis Op.cit. hal. 149
32
29
12. Mengembangkanpendapatan masyarakat dan desa
13. Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya danadat
istiadat
14. Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa
15. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan
hidup
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud diatas, Kepala Desamempunyai
kewajiban untuk memberikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
kepada Bupati/walikota, memberikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
kepada BPD, serta menginformasikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa kepada masyarakat.
I. 7. 3. 2 Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
“Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa
dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai
dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan yang berfungsi
sebagai lembaga pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti
dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa, Anggaran Pendapatan Belanja
Desa, dan keputusan kepala desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang
berkedudukan sebagai mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat
desa”.33
30
Rozali Abdullah menjelaskan bahwa :
“Badan Permusyawaratan Desa, selanjutnya disebut BPD, adalah
suatubadan yang sebelumnya disebut Badan Perwakilan Desa, yangberfungsi
menetapkan Peraturan Desa bersama kepala desa,menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota BPDadalah wakil dari dari
penduduk desa yang bersangkutan, yangditetapkan dengan cara musyawarah
dan mufakat. Wakil yangdimaksud dalam hal ini adalah penduduk desa yang
memangku jabatanseperti ketua rukun warga, pemangku adat dan tokoh
masyarakatlainnya”.
Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD. Masa jabatananggota
BPD adalah enam tahun, sama dengan masa jabatan kepaladesa, dan
dapatdipilih kembali untuk satu kali masa jabatanberikutnya. Tata cara
penetapan anggota dan pimpinan BPD diaturdalam perda yang berpedoman
pada peraturan pemerintah. AnggotaBPD yang sudah ada pada saat berlakunya
UU No. 32 Tahun 2004tetap menjalankan tugassebagaimana diatur dalam UU
No. 32 Tahun2004 ini, sampai berakhirnya masa jabatan”.34
a. Badan Permusywaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama
kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Menurut HAW. Widjaja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) itu adalah
sebagai berikut:
34
31
b. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa yang bersangkutan yang
ditetapkan dengan musyawarah dan mufakat.Dimaksud dengan wakil dalam
ketentuan ini adalah penduduk desa yang memangku jabatan seperti ketua
rukun warga, tetangga, pemangku adat, dan tokoh masyarakat lainnya.
c. Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD.
d. Masa jabatan anggota BPD adalah enam tahun dan dipilih lagiuntuk satu kali
masa jabatan berikutnya.
e. Syarat dan tata cara penetapan anggotaBPD diatur dalamperda yang
berpedoman pada peraturan pemerintah.35
Fungsi BPD menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah antara lain:
1. Pasal 209, BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersamaKepala Desa,
menampung danmenyalurkan aspirasi masyarakat.
2. Pasal 215 ayat (1), bersama Kepala Desa ikut serta dalampembangunan
kawasan pedesaan yang dilakukan olehKabupaten/Kota dan atau pihak ketiga.
3. Hubungan Fungsional Pemerintah Desa dengan BadanPermusyawaratan Desa
(BPD).
Dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah tidak secara eksplisit mengatur mengenai bentuk hubungan fungsional
antara Pemerintah Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) , namun
apabila dikaji lebih dalam, dalam pasal - pasal yang mengatur mengenai desa
35
32
yakni pasal 200 sampai denganpasal 216, maka secara implisit kita akan
menemukan suatu bentuk hubungan yang terjalin antara Pemerintah desa dengan
BadanPermusyawaratan.
Hal di atas sesuai dengan penjelasan pada Pasal 200, Undang-Undang No.
32 Tahun 2004, yang menjelaskan bahwa “Dalam pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota dibentuk pemerintahan Desa yang terdiri dari pemerintahan Desa
dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)”. Sedangkan dalam pasal 209 lebih
lanjut dinyatakan bahwa:
“Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan Desa
bersama Kepala Desa, menampung dan meyalurkan aspirasi masyarakat.
Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan penyelenggaraan
pemerintahan Desa yang demokratis yang mencerminkan kedaulatan rakyat”
Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 telah membawa perubahan
pengaturan tentang Pemerintah Daerah. Dimana Pemerintah pusat memberikan
perhatian serius melalui perubahan format badan-badan pelaksana dan
pertanggungjawaban Pemerintah Desa dengan membuat beberapa perubahan.
Pertama, adanya pemisahan antara kekuasaan eksekutif desa (Pemerintah Desa)
dan legislatif desa (Badan Permusyawaratan Desa). Dengan adanya pemisahan
tersebut maka kekuasaan mulai dibagi, dipisahkan serta dibatasi. Eksekutif desa
(Pemerintah Desa) tidak lagi menjadi “pusat” dari proses pembuatan, pelaksanaan
dan pengawasan kebijakan desa, namun hanya sebagai pelaksana kebijakan.
33
partisipasi masyarakat melalui saluran formal berupa lembaga Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dan sekaligus BPD dapat digunakan masyarakat
untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan kebijakan desa yang dilakukan oleh
eksekutif desa (Pemerintah Desa).
Dengan adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif desa dengan legislatif
desa maka telah terjadi perubahan struktur Pemerintahan Desa yang tidak lagi
bersifat sentralistik yang kemudian berganti dengan pengaturan Pemerintahan
Desa secara demokratis melalui pemberian tempat bagi adanya partisipasi oleh
warga desa.
Kedua, pengurangan mengenai sistem hirarki birokrasi. Jika pada masa
Orde Baru pemerintah desa hanya menjadi sub bagian dari kabupaten yang dapat
dikontrol dan di intervensi melalui kecamatan. Dengan adanya struktur
Pemerintahan Desa yang baru, kecamatan tidak lagi membawahi desa, dan desa
langsung berhubungan dengan kabupaten. Hubungan antara desa dan kabupaten
yang kemudian diatur lebih dalam hubungan- hubungan yang bersifat formalistik.
Hal tersebut misalnya tercermin dalam mekanisme pertanggungjawaban kepala
desa yang lebih ditekankan untuk diberikan kepada masyarakat melalui lembaga
BPD dan ketingkat kabupaten lebih bersifat pelaporan. Dengan adanya struktur
yang demikian, maka jalannya pemerintahan desa lebih dikontrol oleh masyarakat
desa sendiri dan bukan oleh pemerintah yang lebih atas. Dengan kata lain proses
yang terjadi di desa lebih ditekankan pada dinamika internal desa dibandingkan
34
Dalam melaksanakan kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakatnya, di desa dibentuk BPD sebagai lembaga
legislasi (menetapkan kebijakan desa) dan menampung serta menyalurkan aspirasi
masyarakat bersama kepala desa. Lembaga ini pada hakikatnya adalah mitra kerja
pemerintah desa yang memiliki kedudukan sejajar dalam menyelenggarakan
urusan Pemerintahan Desa, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai lembaga legislasi, BPD memiliki hak untuk menyetujui atau tidak
terhadap kebijakan desa yang dibuat oleh pemerintah desa. Lembaga ini juga
dapat membuat rancangan peraturan desa untuk secara bersama- sama pemerintah
desa ditetapkan menjadi peraturan desa. Disini terjadi mekanisme chek and balance system dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang lebih demokratis. Sebagai lembaga pengawasan, BPD memiliki kewajiban untuk
melakukan kontrol terhadap implementasi kebijakan desa, Anggaran dan
Pendapatan Belanja Desa (APBD) serta pelaksanaan keputusan pelaksanaan
kepala desa. Selain itu, dapat juga dibentuk lembaga kemasyarakatan desa sesuai
kebutuhan desa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi BPD dengan Kepala Desa dalam
kaitannya dengan fungsi menetapkan Peraturan Desa dapat digambarkan dalam
skema berikut ini :
35 Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Berdasarkan skema tersebut diatas menunjukkan bahwa sebuah rancangan
Perdes yang berasal dari Kepala Desa diajukan kepada BPD untuk dibahas guna
memperoleh persetujuan bersama, demikian pula terhadap Rancangan Perdes
yang berasal dari BPD. Apabila rancangan Perdes yang diajukan oleh KepalaDesa
ataupun oleh BPD telah disetujui bersama maka rancangan Perdes dapat
ditetapkan sebagai Perdes.
Kepala Desa
Persetujuan Bersama
Penetapan Rancangan Perdes
menjadi Perdes BPD (Badan
Permusyawaratan Desa)
36
Adapun hubungan fungsional BPD dengan Kepala Desa terkait pelaksanaan
fungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat tergambar dalam
skema dibawah ini :
Gambar 1.3: Hubungan fungsional BPD dengan Kepala Desa
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Suatu aspirasi masyarakat dapat diajukan melalui Kepala Dusun kemudian
Kepala Dusun akan menyampaikan aspirasi tersebut kepada Kepala Desa tentang
Majelis Kepala Desa
BPD ( Badan Permusyawaratan
Desa)
Kepala Dusun Anggota BPD
37
suatu hal. Aspirasi yang sudah diterima oleh Kepala Desa selanjutnya
disampaikan kepada BPD untuk dibahas dalam suatu rapat majelis guna
mendapatkan kesepakatan untuk dilaksanakan.
Selanjutnya suatu aspirasi yang berasal dari masyarakat dapat disampaikan
melalui anggota BPD, anggota BPD tersebut menyampaikannya kepada Ketua
BPD untuk mengadakan rapat pembahasan dengan mengundang Pemerintah desa
(Kepala desa) dan/atau perangkatnya dalam suatu rapat mejelis untuk selanjutnya
mendapatkan suatu kesepakatan untuk dilaksanakannya aspirasi tersebut.
Demikianlah bentuk-bentuk hubungan fungsional atau hubungan kerjasama
antara Pemerintah Desa dengan Badan Permusyawaratan dalampelaksanaan
pemerintahan desa baik ditinjau dari peraturan perundang-undangan, maupun dari
buku-buku yang berkenaan dengan fungsipemerintah desa dan fungsiBadan
Permusyawaratan Desa (BPD).
I. 7. 4 Teori Budaya Politik
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba mendefinisikan budaya Politik
sebagai sikap individu terhadap sistem dan komponen-komponennya, dan juga
sikap individu terhadap peranan yang dimainkan dalam sistem politik.36 Dengan kata lain, budaya politik tidak lain merupakan orientasi psikologis terhadap objek
sosial, dalam hal ini sistem politik.37
36
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. 1990. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara. hal. 13
37
Affan Gaffar. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Jakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 99 Sikap positif atau negatif seseorang terhadap
38
Disamping orientasi terhadap sistem politik, menurut Almond dan Powel,
terdapat aspek lain dari budaya politik yang berkaitan dengan pandangan dan
sikap individu dalam masyarakat sebagai sesama warga negara. Sikap atau
pandangan ini berkaitan dengan rasa percaya diri (trust) dan permusuhan (hostility) antara warga negara yang satu dengan yang lainnya ataupun antar golongan yang satu dengan yang lainnya dalam masyarakat.38
Berfungsinya budaya politik dengan baik sebagai budaya yang matang
menurut Almond dan Verba ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan
bangsa tersebut dengan sistem politiknya. Dengan demikian, semakin serasi Perasaan- perasaan
yang merupakan cerminan budaya politik tersebut mungkin terlihat pada
pandangan dan sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada disekitarnya
dalam bentuk kualitas politik, yaitu konflik dan kerja sama. Jadi kerja sama dan
konflik antar kelompok atau golongan sosial merupakan ciri aktual yang dapat
mewarnai budaya politik didalam masyarakat.
Perkembangan budaya politik suatu masyarakat dipengaruhi oleh
kompleksitas nilai yang ada didalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian,
kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antarorientasi dan antar nilai yang
memungkinkan timbulnya kontak-kontak diantara budaya politik suatu kelompok
atau golongan yang mungkin lebih tepat disebut dengan subbudaya politik, yang
pada dasarnya merupakan proses terjadinya pengembangan budaya bangsa.
38
39
budaya bangsa itu dengan struktur politiknya, semakin matang pula budaya politik
yang ada didalam masyarakat tersebut.
Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :39
1. Budaya Politik parokial(parochial political culture) yaitu tingkat partisipasi
politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat
pendidikan relatif rendah). Menyangkut budaya yang terbatas pada wilayah
atau lingkup yang kecil, sempit misalnya yang bersifat provincial. Karena
wilayah yang terbatas acapkali pelaku politik sering memainkan peranannya
seiring dengan diferiensiasi, maka tidak terdapat peranan politik yang bersikap
khas dan berdiri sendiri. Yang menonjol dalam budaya politik adalah
kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan\kekuasaan
politik dalam masyarakat.
2. Budaya Politik kaula(subyek political culture)yaitu masyarakat bersangkutan
sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
Anggota masyarakat mempunyai minat perhatian, mungkin juga kesadaran
terhadap sistem sebagai keseluruhan terutama pada aspek outputnya.
Kesadaran masyarakat sebagai aktor dalam politik untuk memberikan input
politik boleh dikatakan nol. Posisi sebagai kaula merupakan posisi yang pasif
dan lemah. Mereka menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi atau
39
40
mengubah sistem dan oleh karena itu menyerah saja pada kepada segala
kebijakan dan keputusan para pemegang jabatan.
3. Budaya Politik partisipan(participant political culture), yaitu budayapolitik
yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi. Masyarakat dalam
budaya ini memiliki sikap yang kritis untyuk memberi penilaian terhadap
sistem politik dan hampir pada semua aspek kekuasaan.
4. Budaya Politik campuran(mixed political cultures)yaitu gabungan karakeristik
tipe-tipe kebudayaan politik yang murni.
I. 8 Metodologi Penelitian
I. 8. 1 Metode Penelitian
Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka
teori diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan metode
deskriptif, dimana penelitian deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan
untuk memecahkan masalah yang ada berdasarkan fakta dan data-data yang ada.
Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau
fenomena40
40
Bambang Prasetyo dkk. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal. 42.
. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah mendeskripsikan,
menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki sehingga
41
I. 8. 2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Jenis
penelitian kualitatif merupan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati.41
I. 8. 3 Lokasi Penelitian
Dengan demikian untuk memperoleh data, peneliti turun ke
lapangan untuk melakukan wawancara terhadap aktivitas dari objek yang diteliti
serta dari dokumentasi-dokumentasi yang ada sebagai pelengkap data yang
dibutuhkan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap hubungan politik
antara Pangulu dengan Maujana Nagori dalam pengelolaan Pemerintahan Nagori.
Adapun lokasi penelitian berada pada Nagori Tiga Ras, Kecamatan Dolok
Pardamean, Kabupaten Simalungun
I. 8. 4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan penulis
melakukan teknik pengumpulan data primer dan sekunder. 42
a. Data primer
Teknik
pengumpulan data tersebut yakni sebagai berikut:
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini yakni melalui metode
wawancara ( interview). Teknik pengumpulan data melalui wawancara ialah dengan bertanya langsung kepada informan ataupun narasumber yang dianggap
sesuai dengan objek penelitian. Dalam hal ini informan yang dijadikan sebagai
41
Lexy J. Moleong. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 5. 42
42
sumber informasi adalah beberapa informan kunci ( key informan) yakni Pangulu dan Maujana Nagori di Nagori Tiga Ras, Kecamatan Dolok Pardamean,
Kabupaten Simalungun, serta informan tambahan seperti tokoh adat dan juga
masyarakat Nagori Tiga Ras.
b. Data sekunder
Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah dengan mencari
informasi dan data melalui buku-buku, internet, jurnal ilmiah, dan bentuk
informasi lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Selain itu informasi dan dat tambahan juga didapatkan dari literatur
perundang-undangan, artikel-artikel dan lainnya. Informasi yang diperoleh dari
sumber-sumber tersebut dapat dijadikan panduan dalam melakukan penelitian ini.
I. 8. 5 Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data
kualitatif yaitu menguraikan serta mengintrepetasikan data yang diperoleh
dilapangan dari para key informan. Penganalisaan ini didasarkan pada kemampuan dalam menghubungkan fakta, data dan informasi kemudian data yang diperoleh
akan dianalisa sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat
mengungkapkan permasalahan penelitian. Jadi teknik analisa kualitatif yaitu
dengan menyajikan data dengan melakukan analisa terhadap masalah yang
terdapat dilapangan, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang
43
I. 9 Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi kedalam beberapa bab
untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci mengenai permasalahan yang
diteliti. Adapun pembagian dalam sistematika penulisan penelitian ini adalah
seperti berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, penelitian sebelumnya,
perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: PROFIL NAGORI TIGA RAS, KECAMATAN DOLOK
PARDAMEAN, KABUPATEN SIMALUNGUN
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum dari Kabupaten Simalungun,
Kecamatan Dolok Pardamean, Desa dan Pemerintahan Desa, Peraturan Desa,
Nagori Tiga Ras, Pemerintahan Nagori Tiga Ras, Peraturan Nagori, Sejarah
Nagori Di Simalungun, Fase Historis Peraturan Daerah
BAB III: HUBUNGAN PANGULU DAN MAUJANA NAGORI DALAM
PEMERINTAHAN DESA
Bab ini akan diawali dengan penyelenggaraan Pemerintahan Nagori Tiga
44
dalam pemerintahan nagori serta melihat faktor-faktor yang menghambat
hubungan antara pangulu dengan maujana nagori.
BAB IV: PENUTUP
Bab ini menyajikan kesimpulan, saran dan implikasi teoritis dari hasil