• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Adat Mahar telah menjadi suatu hal yang ditakuti oleh sebagian besar

pemuda yang ingin menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari oleh fakta

yang sebagian besar perempuan saat inimeminta mahar dalam jumlah yang

tinggi (Ayu, 2010).

Ar-Rahli (2014) mengatakan bahwa tingginya kadar mahar telah

menjadi masalah sosial yang mencakup seluruh masyarakat, baik yang tinggal

di pedalaman maupun di daerah yang sudah berperadaban tinggi. Fenomena

ini menanamkan sebuah tradisi dan budaya pada masyarakat sehingga

menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Apabila ada yang tidak

mengikuti maka akan menjadi bahan celaan orang lain. Lebih lanjut Ar-Rahli

(2014) juga menyatakan fenomena tingginya kadar mahar telah menjadi

sebuah hambatan bagi pasangan yang ingin menikah. Para laki-laki merasa

tertekan, sementara wanita hanya diam dan putus asa menghadapinya. Hal ini

menyebabkan keengganan banyak laki-laki untuk menikah.

Di Indonesia pemberian mahar pada calon pengantin wanita dikenal

dengan istilah yang bermacam-macam seperti pada masyarakat Batak disebut

(2)

juga bermaksud sebagai imbalan dalam hal melepas wanita dari lingkungan

keluarganya. Pemberian ini dapat berupa barang bernilai dan pada masyarakat

yang masih terkebelakang dapat berupa manik-manik, barang pusaka yang

bernilai magic atau binatang piaraan (Ismail & Daud, 2012).

Aceh yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah menyebut mahar

ini dengan jinamee. Jinamee merupakan syarat mutlak bagi pasangan yang

akan menikah. Sama halnya dengan mahar, jinameeini menjadi suatu hak

yang diterima oleh dara baro (calon pengantin wanita), dan menjadi

kewajiban bagi linto baro (calon mempelai laki-laki). Jinamee tersebut

kemudian menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan keluarganya (Sufi,

2004).

Jinamee dalam adat Aceh disimbolkan dengan bentuk emas. Sangat

jarang dan hampir tidak pernah ditemui dalam adat Aceh memberikan

jinamee dalam bentuk selain emas. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat

Aceh emas adalah simbol dari kemewahan dan kekayaan. Tradisi ini menjadi

kesepakatan sosial dan kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi

(Rizal, 2013).

Jumlah jinamee biasanya ditentukan menurut jumlah jinamee dari

generasi keluarga sebelumnya. Apabila anak yang akan dinikahkan anak

pertama, maka ukuran jinamee didasarkan pada ukuran jinamee orangtuanya.

Biasanya jinamee berkisar dari 5 sampai 25 mayam emas 24 karat. Mayam

adalah ukuran emas untuk orang Aceh. Satu mayam kira-kira sama dengan

(3)

dikonversikan ke nilai mata uang rupiah berkisar puluhan juta rupiah. Harga

emas juga selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan harga rupiah

terhadap dolar. Jinamee ini tidak termasuk ke dalam seserahan atau hantaran

lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan,

pakaian, sepatu, tas, kosmetika dan sebagainya (Sufi, 2004). Jinamee tersebut

juga tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat

menjadi aib bagi keluarga tersebut (Muhammad Umar, dalam Ayu, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Ayu (2010) mengenai makna jinamee

dalam penghargaan keluarga istri pada sistem pernikahan suku Aceh di

Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara, menunjukan bahwa

jinamee memiliki arti yang sangat besar bagi wanita suku Aceh yakni berupa

harga diri seorang wanita. Hal ini disebabkan karena dalam prosesnya yang

lebih menentukan adalah jumlah jinamee yang harus dibayar. Tingginya

jinamee di tentukan oleh keluarga perempuan dan disepakati lagi dengan

pihak keluarga laki-laki. Jumlah jinamee yang berlaku di Krueng Mane yang

diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita berkisar 15 mayam (4,5

gram), 30 mayam (9 gram), sampai dengan 50 mayam emas (15 gram).

Jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya,

pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah

dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan

kemampuan orang tua si gadis. Pasangan yang telah menikah tersebut juga

akan tinggal dirumah orang tua istri sampai mereka diberi rumah sendiri.

(4)

mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga, melainkan ayah dari

pihak perempuan (Syamsuddin, 2004).

Fenomena jinamee tinggi ini menjadi topik hangat di kalangan

masyarakat Aceh sehingga muncul daftar jumlah jinamee untuk setiap daerah

di Aceh. Tabel ini muncul dalam media sosial facebook dan media sosial

lainnya di internet.

Tabel 1. Jumlah jinamee di Provinsi Aceh

(5)

mayam emas mayam emas mayam emas mayam emas

Tabel diatas menunjukkan jumlah jinamee untuk setiap daerah, dari tipe

A yang tertinggi hingga tipe D yang terendah. Jumlah-jumlah tersebut bila

dirupiahkan berkisar jutaan hingga puluhan juta rupiah.

Muhadzdzier (2013) menyatakan tingginya jinamee di Aceh menjadi

faktor penghambat pasangan yang akan menikah sehingga meningkatkan

perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan wanita yang

(6)

Aceh, seharusnya Pemerintah mencetuskan program Jaminan Mahar Aceh

(JMA) bagi laki-laki yang ingin menikah sebab jinamee dalam adat turun

temurun masyarakat Aceh dianggap memberatkan setiap laki-laki lajang di

Aceh yang ingin menikah.

Jinamee yang terlalu tinggi juga dinilailebih banyak menimbulkan

kerugian dibandingkan dengan manfaat, seperti terhambatnya pernikahan

karena tidak semua laki-laki dapat memenuhi permintaan tersebut. Selain

itu,jinamee yang berlebihan berpotensi menimbulkan hal yang negatif setelah

menikah. Seorang laki-laki bisa saja merasa berhak melakukan kekerasan

terhadap istrinya karena merasa telah memberikan jinamee yang tinggi

(Marwan Idris, 2011).

Permasalahan mengenai baik atau tidaknya, manfaat dan kerugian, serta

tujuan jinamee tinggi bagi pasangan yang menikah di Aceh tergambar dari

hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa warga Aceh,

sebagaimana dikutip dibawah ini. Berikut komunikasi personal dari seorang

warga Aceh yang tergabung dalam Lembaga Majelis Adat Aceh (2014).

“Kalau calon pasangan dari pihak laki-laki sanggup memenuhi syarat jumlah jinamee dari calon pasangan pihak wanita maka tak ada salahnya mereka menikah dengan jinameetinggi.”

(Komunikasi personal, 12 Desember 2014)

Subjek selanjutnya yang peneliti wawancara adalah wargalaki-laki di

kota Bireun:

“Tidak setuju memberikan jinamee tinggi terhadap wanita sebelum menikah. Karena itu memberatkan kami orang laki-laki.”

(7)

Fenomena jinamee tinggi di Aceh menyebabkan pro dan kontra,

kesenjangan sosial yang terjadi akibat jinamee tinggi, jumlah-jumlah jinamee

yang bervariatif di setiap daerah di Aceh, serta dampak dan manfaat yang

dirasakan terkait jinamee tinggi, membentuk sebuah sikap terhadap jinamee

tinggi pada masyarakat Aceh dalam melihat fenomena ini.

Berdasarkan pemaparan berbagai fenomena di atas, maka dalam

penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran sikap terhadap

jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.

B. RUMUSANMASALAH

Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang

dirumuskan dalam beberapa pertanyaan dibawah ini:

a. Bagaimana gambaran umum sikap terhadap jinamee tinggi pada

masyarakat Aceh.

b. Bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh

dilihat dari jenis kelamin.

c. Bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh

dilihat dari tingkat pendidikan.

d. Berapa jumlah jinamee tinggi menurut masyarakat Aceh.

e. Berapa jumlah jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.

C. TUJUANPENELITIAN

(8)

a. Untuk mengetahui bagimana gambaran umum sikap terhadap jinamee

tinggi pada masyarakat Aceh.

b. Untuk mengetahui bagimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada

masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin.

c. Untuk mengetahui bagimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada

masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan.

d. Untuk mengetahui berapa jumlah jinamee tinggi menurut masyarakat

Aceh.

e. Untuk mengetahui berapa jumlah jinamee rendah menurut masyarakat

Aceh.

D. MANFAATPENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam ilmu

psikologi, khususnya dibidang Psikologi Sosial dalam menjelaskan sikap

terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh. Selain itu diharapkan

penelitian ini dapat menambah sumber kepustakaan dan penelitian

Psikologi Sosial sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai masukan bagi Lembaga Adat Aceh dan pengamat sosial

(9)

masyarakat Aceh.

b. Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat Aceh sehingga dapat

mengetahui dan memahami bagaimana gambaran sikap terhadap

jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan adalah struktur penulisan secara garis besar yang ada

dalam penelitian.

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat peneltian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang landasan teoritis, yakni pembahasan

teori sikap, jinamee, dan masyarakat Aceh.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan tentang identifikasi variabel penelitian,

definisi operasional, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel,

metode pengumpulan data, uji validitas, uji daya beda aitem, uji

reliabilitas, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa

data.

Bab IV : Analisa data dan Pembahasan

Bab ini terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan

(10)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian serta saran

Gambar

Tabel 1. Jumlah jinamee di Provinsi Aceh
Tabel diatas menunjukkan jumlah jinamee untuk setiap daerah, dari tipe

Referensi

Dokumen terkait

Bab ini menjelaskan mengenai analisis berupa partisipasi masyarakat dilihat dari jenis partisipasi dan bentuk partisipasi serta analisis dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi

Penelitian ini meneliti bagaimana gambaran aspek-aspek ekuitas merek pada Indomie terbentuk dalam masyarakat sementara masyarakat sendiri tahu bahwa mie instan jika

Bagaimana hubungan sikap siswa terhadap penggunaan media pembelajaran video di youtube dengan pemahaman mereka pada materi Ibadah Puasa Membentuk Pribadi yang

Penelitian bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai tekanan darah pada pasien post hemodialisa berdasarkan umur, jenis kelamin dan berat badan di PKU

Bagaimana persepsi masyarakat terhadap program PNPM Mandiri Perkotaan di Kota Tebing Tinggi. Menganalisis dampak pembangunan infrastruktur PNPM

Rumusan masalah yang diungkap dalam penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran penggunaan obat tradisional untuk pengobatan sendiri pada masyarakat di Desa Jimus Polanharjo

Bagaimana pola relasi suami istri dilihat dari aspek pembagian peran dan posisi tawar (bargaining position) istri terhadap suami pada proses pengambilan

pada sebagian masyarakat Aceh terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerah tidak terbukti. Penelitian lain yang dilakukan oleh Aminuddin Azis dengan judul “Budaya Inti,