• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Negara Terhadap TKI di lu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tanggung Jawab Negara Terhadap TKI di lu"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

`BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu negara wajib melindungi warga negaranya dimanapun ia berada, sebagaimana yang telah diamanahkan oleh isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia terakhir yang berbunyi “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Perpanjangan tangan pemerintah Indonesia di luar wilayah Negara Indonesia adalah perwakilan-perwakilan Pemerintah Republik Indonesia, yang mana perwakilan-perwakilan tersebut memiliki kewajiban untuk memupuk persatuan dan kerukunan antara sesama warga negara Indonesia di luar negeri serta wajib memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata.1

Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu dan menghimpun mereka diwilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya Negara. Dewasa ini telah terjadi pergeseran konsep mengenai keamanan terhadap manusia (human

1Anak Agung Ayu Agung Cintya Dewi, Tanggung Jawab Negara Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Oleh Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Hukum Internasional,

(2)

security). Pada masa lalu saat perang masih berkecamuk, ancaman terhadap keamanan manusia selalu diartikan dengan ancaman dari luar negara.

Sehingga keamanan manusia difokuskan pada pengamanan negara seperti pengamanan masalah perbatasan, uji coba senjata dan peralatan militer dan pencegahan perang. Saat ini keamanan manusia lebih mengarah kepada individu dibandingkan terhadap negara.Isu-isu seperti kemiskinan, penghormatan terhadap hak asasi manusia termasuk di dalamnya perlindungan terhadap buruh migran mendapatkan perhatian yang lebih besar sebagai ancaman terhadap keamanan manusia.2

Dalam konsep human security, negara tetap memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keamanan individu. Sebagai subyek Hukum Internasional, negara memiliki hak dan kewajiban internasional. Adapun hak dan kewajiban negara terhadap individu pada hakekatnya ditentukan oleh wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan dari individu yang bersangkutan. Menurut pendapat Sugeng Istanto, semua orang yang di wilayah suatu negara baik itu warga negaranya sendiri maupun orang asing harus tunduk pada kekuasaan dan hukum negara tersebut.

Meskipun untuk orang asing akan berlaku beberapa pengecualian seperti tidak mempunyai hak dalam pemilihan umum dan tidak berhak menduduki jabatan tertentu, hal ini dapat dimengerti karena orang asing juga tunduk pada

(3)

hukum negara asalnya. Namun di lain pihak, negara juga mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya yang tinggal atau berada di luar negeri.3

Hal tersebut sesuai dengan prinsip kewarganegaraan pasif yang menetapkan bahwa suatu negara mempunyai yurisdiksi atas orang yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah negara lain, yang akibat hukumnya menimpa warga negaranya. Oleh karena itu, jika negara tempat terjadinya pelanggaran tidak mampu dan tidak mau menghukum pelaku pelanggaran, maka negara yang warga negaranya dirugikan berwenang untuk menghukum.

Tanggung jawab dan kewajiban suatu negara untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri diemban oleh fungsi diplomatic dan konsuler suatu Negara yaitu perwakilan konsuler negara pengirim di negara penerima berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dan kepentingan mereka.

Selain itu, tanggung jawab negara dalam ketenagakerjaan juga didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). UDHR dan ICESCR mengakui hak atas pekerjaan sebagai hak asasi manusia sehingga melahirkan kewajiban negara untuk melindunginya. Kewajiban negara tersebut dijelaskan dalam ICESCR General Comment 3 tentang the nature of states parties obligation yang meliputi kewajiban negara untuk melakukan sesuatu (obligations of conduct) dan negara mampu mencapai realisasi penuh

(4)

secara progresif (obligations of result). Obligations of conduct terdiri atas upaya untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfil), memfasilitasi (to facilities), dan menyediakan (to provide).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 71 menyatakan, ”Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”.

Sebagai pemegang kewajiban pemenuhan HAM, negara mengemban tiga bentuk tugas. Yaitu negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil) hak asasi manusia.

Secara internasional, masalah perlindungan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja menjadi perhatian pokok. Mengenai masalah perlindungan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Organisation (ILO) telah menetapkan 8 konvensi dasar Perburuhan ILO Core Convention yaitu:

(5)

b) Konvensi No. 98/1949 tentang Penerapan Azas-azas Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (The Aplication of The Principles of The Right to Organize and to Bargain Collectively). c) Konvensi No. 29/1930 tentang Kerja Paksa atau Kerja Wajib (Forced

or Compulsory Labour)

d) Konvensi No. 105/1957 tentang Penghapusan Kerja Paksa. (Abolition of forced labour)

e) Konvensi No. 138/1973 tentang Batas Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja (Minimum Age for Admission to Employment).

f) Konvensi No. 182/1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak g) Konvensi No. 100/1951 tentang Upah Yang Sama Untuk Pekerjaan

Yang Sama.

h) Konvensi No. 111/1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.4

Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen untuk melindungi hak asasi manusia di tempat kerja dengan meratifikasi kedelapan konvensi tersebut. Terkait dengan persoalan perlindungan tenaga kerja Indonesia, pada tanggal 12 April 2012, Sidang Paripurna DPR-RI menyetujui dan mengesahkan inisiatif Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families) 1990 dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang

(6)

Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya.

Karena buruh migran merupakan pahlawan devisa negara yang jarang mendapatkan perhatian khusus dari negara padahal dalam Prembule Undang-Undang Dasar 1945 Alenia terakhir yang berbunyi “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia.” Begitu pula dalam undang-undang Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah penempatan tenaga kerja yaitu Pasal 31 sampai dengan Pasal 38. Dalam Pasal 31 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri”.5

Undang-undang ketenagakerjaan tersebut mengatur bahwa penempatan tenaga kerja terdiri dari penempatan tenaga kerja di dalam negeri dan penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Selanjutnya Undang Undang Ketenagakerjaan ini mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri harus diatur dengan undang-undang tersendiri.6

(7)

Kemudian penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri diatur dalam Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Namun demikian, ketika dibaca dan ditelaah secara kritis, UU ini ternyata lebih banyak mengatur prosedural dan tata cara penempatan TKI ke luar negeri, dan hanya sedikit mengatur hak-hak dan jaminan peril

ndungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. Padahal amanat untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran selain dimandatkan oleh konstitusi negara (UUD 1945), juga tercermin dari komitmen negara meratifikasi sejumlah instrumen hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh ILO dan PBB.

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 memberikan definisi yuridis “Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah”. Pada konsiderans menimbang huruf b, c, d dan e disebutkan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan kemampuan.

(8)

jelas dan nyata kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengatur penempatan, serta melindungi TKI di luar negeri.7

Penempatan TKI keluar juga mempunyai efek negatif, dengan adanya kasus-kasus yang menimpa TKI selama penempatan, oleh karena itu, negara perlu melakukan penanganan secara secara terpadu terhadap kasus-kasus yang menimpa TKI. Mencuatnya masalah TKI yang bekerja di luar negeri semakin menambah beban persoalan ketenagakerjaan di indonesia baik yang menyangkut ketidak adilan dalam perlakuan pengiriman tenaga kerja oleh perusahaan pengerah jasa tenaga kerja indonesia (PPJTKI), penempatan yang tidak sesuai, standar gaji yang rendah karena tidak sesuai kontrak kerja yang di sepakati, kekerasan oleh pengguna tenaga kerja, pelecehan seksual dan lain-lain,seperti tenaga kerja yang tidak sah atau ilegal.

Berbagai program pun telah di lakukan oleh pemerintah, program penempatan tki ke luar negeri merupakan salah satu upaya penanggulangan pengangguran. Peranan pemerintah dalam program ini di titik beratkan pada aspek pembinaan serta perlindungan dan memberikan berbagai kemudahan kepada pihak yang terkait, khususnya TKI dan perusahaan yang bersangkutan (PJTKI).

Selain bermanfaat untuk mengurangi tekanan pengangguran, program penempatan TKI juga memberikan manfaat lain, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarganya melalui gaji yang diterima atau remitansi. Selain itu juga meningkatkan keterampilan TKI karena mempunyai pengalaman kerja di luar negeri. Bagi negara, manfaat yang diterima adalah berupa peningkatan

(9)

devisa, karena para TKI yang bekerja tentu memperoleh imbalan dalam bentuk valuta asing.8

Semua harapan yang tertuang dalam seluruh aturan dan program pemerintah hanyalah menjadi mimpi belaka pada kenyataannya begitu banyak masalah yang terjadi pada TKI, presentasi masalah yang di hadapi oleh TKI semakin tahun justru semakin bertambah.

Seperti kasus seorang TKW Tutik Lestari Ningsih atau Susi pada tahun 2015, TKW di Hong Kong yang dianiya disebabkan tidak mau tanda tangan tanda terima gaji, bukan hanya itu dia juga hanya hanya di perbolehkan tidur empat jam setiap hari, dari jam 18.00 sampai 22.00 serta selama sehari dia hanya boleh pergi ke toilet sebanyak tiga kali, atau kasus yang menimpa Sumasri TKW yang bekerja di Malaysia menderita luka parah di punggungnya karena disiram air panas oleh majikannya, atau contoh lain yang menimpa Anis 26, yang mengalami patah tulang jari setelah dibacok dengan pisau oleh majikannya. Insiden itu terjadi lima hari setelah Anis bekerja di rumah majikannya di Hong Kong. Satu lagi contoh terakhir yaitu Sritak juga mengalami penyiksaan saat bekerja di Taiwan. Luka bakar di dada Sritak terlihat jelas dalam foto McCurry. Majikan Sritak membakar kulitnya dengan garpu yang dipanaskan. "Dia mengambil garpu dan memanaskannya di atas kompor dan meletakkannya di tangan Sritak.9

Masih banyak contoh kasus lainnya yang tidak kalah menyedihkan dengan kasus-kasus di atas. Malaysia merupakan negara nomor satu yang paling sering

8Ibid. Hlm. 236

(10)

mengalami masalah, pada tahun 2016 tercatat sebanyak 1489 TKI bermasalah yang di deportasi melalui Nunukan, Kalimantan Utara berdasarkan laporan BP3TKI jumlah itu hampir sama dengan jumlah TKI bermasalah pada tahun 2015.10

Masalah TKI di luar negeri pada masa penempatan merupakan tanggung jawab negara sepenuhnya, memang benar bahwa negara telah mengupayakan perlindungan terhadap TKI melalui Menaketran dan BNP2TKI, yang mana Menaketrans berwenang membuat regulasi dan BNP2TKI pada pelaksanaannya. Namun pada kenyataannya terjadi disharmonisasi antara peraturan-peraturan terkait dengan penempatan dan perlindungan TKI.

Akhirnya TKI sebagai individu, Warga negara yang seharusnya di lindungi oleh negara sebagaimana di amanatkan oleh UUD pada Preambule di alinea ke empat “dan untuk melindungi segenap bangsa” justru menjadi korban dari

overlapping wewenang para pihak yang telah di berikan tanggung jawab oleh negara.

Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti “ Tanggung Jawab Negara Terhadap TKI di luar Negeri Pada Masa Penempatan”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka perlu adanya perumusan masalah guna mempermudah pembahasan selanjutnya. Adapun permasalahan yang akan di kemukakan adalah sebagai berikut :

(11)

1) Bagaimana Tanggung Jawab Negara Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Pada Masa Penempatan?

2) Bagaimana Peraturan Tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian yang di ambil berdasarkan rumusan masalah di atas yaitu :

1. Untuk Mengetaui Bagaimana Tanggung Jawab Negara Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Pada Masa Penempatan.

2. Untuk Mengetahui Bagaimana Peraturan Tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian nantinya dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu

a. Manfaat Teoritis

1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan dalam Hukum tata negara pada Khususnya

2. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang Tanggung Jawab Tegara Terhadap TKI di luar Negeri Pada Masa Penempatan

b. Manfaat Praktis

(12)

Tanggung Jawab Negara Terhadap TKI Di Luar negeri Pada Masa Penempatan

2. Untuk menambah sumbangan pemikiran bagi masyarakat mengenai pentingnya Tanggung Jawab Negara terhadap TKI Di Luar Negeri Pada Masa Penempatan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Tanggung Jawab Negara 2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara

Tanggung jawab artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatu,11

Negara artinya daerah di lingkungan suatu pemerintah yang teratur.12 Menurut

(13)

Logemann mengatakan bahwa Negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaanya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat, sedangkan Menurut Mr Soenarko dalam bukunya “Susunan Negara Kita jilid 1”, disebut: Negara itu adalah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah atau teriterior yang tertentu dimana kekuasaan Negara berlaku sebagai souverein.13

Istilah dan ruang lingkup pengertian tanggung jawab negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan orientasi masyarakat internasional, perkembangan kegiatan, akibat-akibat,sifat kerugian yang timbul dari akibat kegiatan itu, serta pengaturan terhadap aspek-aspek tersebut.

Di indonesia, istilah “tanggung jawab negara” digunakan untuk mewakili dua istilah, yang dalam pembahasan hukum internasional umumnya di bedakan, yaitu: “state responsibility” dan liability of states”.14

Kedua istilah ini sering digunakan secara rancu atau diperlakukan untuk menunjuk pada maksud yang sama. Menurut Goldie perbedaan kedua istilah tersebut adalah menyatakan bahwa istilah responsibility digunakan untuk kewajiban (duty), atau menunjukkan pada standar pemenuhan suatu peran sosial yang ditetapkan oleh sistem hukum tertentu, sedangkan liability digunakan untuk menunjuk pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah ditetapkan.

13M Solly Lubis, Ilmu Negara, ( mandar maju, bandung, tahun 2002). Hlm 1

(14)

Tanggung jawab Negara umumnya diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan pemulihan kerugian (duty to make reparation), yang timbul dari akibat adanya tindakan (act or ommission), yang dapat di persalahkan melanggar kewajiban internasional (wrongful act), karena melanggar kewajiban internasional

(international obligation).

Menurut Goldie: a person may be said to be responsible for an injury if, in the law, a duty or a standard of conduct has been imposed an him and a harm

to another result from a failure to meet that standard. He may also be said to be

contingently liable, if, as a result of his failure to fulfill his legally imposed

responsibility, injury to another result.

Seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab untuk cedera jika, dalam hukum, tugas atau standar perilaku telah memberlakukan dia dan bahaya untuk hasil yang lain dari kegagalan untuk memenuhi standar itu. Dia juga dapat dikatakan kontinjensi atas, jika, sebagai akibat dari kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab yang dikenakan secara hukum, akibat cedera lain.15

Sedangkan tanggung jawab negara menurut J. G. Starke artinya hal-hal yang menyangkut keadaan-keadaan dimana dan prinsip-prinsip dengan mana negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya.16

15Ibid. Hlm. 55-56

(15)

2.2 Tinjuan Umum Aspek Tanggung Jawab Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional

2.2.1 Bentuk Tanggung Jawab Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional

Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts), selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Artikel” yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/ 59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan masalah itu kembali pada tahun 2007.

(16)

tidak menjelma sebagai konvensi, dapat dipastikan bahwa ia akan tetap berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional itu. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional

(International Court of Justice), praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional (yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara) sebagai sumber primer hukum internasional.

2.2.2 Hubungan HAM Internasional Dengan Tanggung Jawab Negara

Secara internasional, HAM termasuk kedalam sistem hukum internasional (dibentuk oleh masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara). Negara mempunyai peranan penting dalam membentuk sistem hukum tersebut melalui kebiasaan, perjanjian internasional, atau bentuk lainnya seperti deklarasi maupun petunjuk teknis. Kemudian negara menyatakan persetujuannya dan terikat pada hukum internasional tersebut. Dalam HAM, yang dilindungi dapat berupa individu, kelompok atau harta benda. Negara atau pejabat negara sebagai bagian dari negara mempunyai kewajiban dalam lingkup internasional untuk melindungi warga negara beserta harta bendanya.

(17)

tetapi juga dibahas secara detail pasal per pasal dan kata perkata dari isi perjanjian yang kemudian disepakati menjadi perjanjian internasional oleh negara-negara.

Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak fundamental yamg melekat pada kodrat manusia sendiri, yaitu hak-hak yang paling dasar dari aspek-aspek kodrat manusia sebagai manusia.Setiap manusia adalah ciptaan luhur dari tuhan yang maha esa. Setiap manusia harus dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus berkembang secara leluasa. Pengembangan diri sebagai manusia dipertanggungjawabkan kepada tuhan sebagai asal dan tujuan manusia. Dengan demikian hak-hak ini adalah hak universal atau berlaku di semua dunia , dimanapun manusia berada dilindungi oleh HAM.

Bagir manan17 membagi HAM pada beberapa kategori, yaitu; hak sipil,

hak-hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari hak perlakuan yang sama di depan hukum, hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi kelompok anggota masyarakat tertentu dan hak hidup dan kehidupan. Hak politik terdiri dari hak kebebasan berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan hak untuk menyampaikan pendapat di depan umum. Hak ekonomi terdi dari hak jaminan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan dan hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya terdiri dari hakmemperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan dan hak memperoleh perumahan dan pemukiman.

(18)

Deklarasi universal tentang HAM (universal declaration human rights), membagi HAM dalam beberapa jenis, yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan) serta hak konomi, sosial dan budaya.

HAM dalam bahasa inggris di kenal dengan istilah Human Rights dan

Fundamental Rights, dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah mesenrechten ground rechsten, rechsten van denmens sering di sebut juga hak kodrat, hak dasar manusia atau hak mutlak, dan dalam terjemahan bahasa Indonesia, sampailah pada hak-hak kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia.18

Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, merupakan bagian dari prinsip perlindungan hukum. Istilah hak asasi manusia di Indonesia disejajarkan dengan istilah hak-hak kodrat, hak-hak dasar manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlihat dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah yang menjadikan sifat-sifat universal dari hak-hak tersebut.19

Hakekat HAM yang sebenarnya, bahwa HAM lahir sejak manusia sadar akan hak yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai subjek hukum, akan tetapi HAM baru mendapat perhatian penyelidikan ilmu pengetahuan, sejak HAM mulai

18 Al Subandi Marsudi, Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Paradigm Reformasi, (PT Raja Grapindo Persada, Jakarta), Hlm 83

(19)

berkembang dan mulai di perjuangkan terhadap serangan atau bahaya, yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki negara (state).

Kekuasaan negara harus di jalankan untuk peningkatan pelaksanaan HAM. Asumsi yang mendasari hal-hal tersebut, adalah:

1. Negara sebagai kekuasaan ’’dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’’, Negara yang dibentuk haruslah berasal dari rakyat, semua atau mayoritas individu dalam masyarakat; dan

2. Berdasarkan pandangan pluralisme mengakui perbedaan atas dasar keanekaragaman golongan dalam setiap masyarakat dan negara harus menjadi alat bagi semua golongan tersebut. Negara tidak boleh eksklusif menjadi alat bagi satu atau sebagian golongan dalam masyarakat. Negara, selain menjadialat untuk semua golongan, juga harus menjadi alat bagi semua orang (individu).20

Pandangan tersebut menempatkan negara sebagai alat (pelayan) bagi semua orang. Hal tersebut berarti negara dibentuk, di hadirkan dan dijalankan untuk melayani setiap warga negaranya. Negara tidak dibenarkan hanya melayani sebagian kelompok orang saja melainkan untuk semua orang. Negara dalam melayani setiap warga negaranya wajib melayani kepentingan atau pemenuhan hak-hak setiap orannga tanpa diskriminasi (memberikan pelayanan/perlakuan yang berbeda.

(20)

Pemahaman umum dalam hukum kebiasaan internasional, sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights), jika:

1. Negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non derogable rights; atau

2. Negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya, tindak kejahatan internasional (international crimes) atau kejahatan serius (serious crimes) yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang: dan atau

3. Negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut pertanggungjawaban dari para aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut.21

Diterimanya gagasan HAM sebagai norma yang berlaku bagi setiap negara dimulai dengan diterimanya HAM dalam lingkungan masyarakat internasional. Kemudian perkembanga HAM terdiri dari dua tahap, yaitu HAM sebelum perang dunia 11 dan HAM setelah perang dunia 11.

2. 3 Sistem Tanggung Jawab Negara Indonesia

Di Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah lembaga pemerintah utama untuk pengaturan pekerja migran di Indonesia. Rekrutmen dan penempatan tenaga kerja dilakukan oleh agen swasta, yang diberikan izin oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen juga mengawasi

(21)

pelatihan keterampilan, pembekalan wajib pra keberangkatan dan menyediakan sejumlah kecil atas tenaga kerja di kedutaan besar Indonesia di luar negeri. Departemen-departemen pemerintah yang lain juga terlibat, sejalan dengan mandat mereka yang beragam. Misalnya, Departemen Luar Negeri menangani persoalan konsuler, Direktorat Jenderal Imigrasi (di dalam struktur Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) mengeluarkan paspor, dan Departemen Kesehatan bertanggungjawab atas pemeriksaan kesehatan pra-keberangkatan.

UU Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran mewajibkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri (BNPP-TKLN). Badan ini belum dibentuk, kendati Menteri Tenaga Kerja baru-baru ini telah meyakinkan masyarakat bahwa badan ini akan mulai beroperasi pada Oktober 2006. BNPP-TKLN akan terdiri dari departemen-departemen pemerintah yang terkait, dan akan bertanggungjawab langsung pada presiden. Badan ini akan memiliki tanggung jawab untuk “menerapkan kebijakan-kebijakan dalam bidang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinir dan terpadu” (Pasal 95 UU No. 39 tahun 2004). Hal ini akan meliputi, interalia, rekrutmen, pemeriksaan kesehatan, pelatihan, keberangkatan dan perlindungan dalam negara.

(22)

berbeda-beda. Saat ini, kesepakatan penempatan kerja haruslah didaftarkan dengan wewenang Kota/Kabupaten, dan “Biro Pelayanan” akan dibentuk di ibukota-ibukota provinsi. Pengawasan perizinan terhadap para perekrut dan pelatihan tampaknya dibagi secara informal oleh tingkat pemerintahan yang berbeda; hubungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kotapraja/Kabupaten tidaklah jelas. Persoalan penting lainnya juga tidak tercakup dalam UU ini. Kenyataan bahwa otonomi daerah sekarang berlaku di Indonesia, maka penting bagi UU tersebut untuk mendefinisikan secara jelas peran dan tanggung jawab tiap tingkat pemerintahan dalam mengelola proses migrasi. Pembagian wewenang terakhir haruslah berupaya untuk menyeimbangkan kebutuhan menyalurkan jasa untuk tingkat lokal di satu sisi dengan sumber daya manusia yang lebih banyak tersedia di pemerintah pusat di sisi lainnya.

Di Indonesia, rekrutmen dan penempatan warga negara untuk bekerja di luar negeri dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia, atau PJTKI. Peran pemerintah menurut kerangka peraturan yang ada sekarang adalah untuk mengawasi agen-agen ini melalui skema perizinan yang disebut sebagai Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI, atau SIPPTKI.

(23)

besar dari pengiriman dan penempatan TKI ke luar negeri. Peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan terhadap TKI (baik selama masa pra penempatan, selama penempatan, dan purna penempatan) termasuk tanggung jawab perusahaan pengirim TKI telah banyak dibuat oleh pemerintah, tetapi Tim Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia masih banyak menemukan permasalahan pokok di lapangan yang kerap menimpa TKI.

2.4 Tinjauan Umum Delegasi Kewenangan 2.4.1 Kewenangan secara Umum

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).22

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,23 sedangkan kekuasaan yang

berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami

22 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998), Hlm. 35-36

(24)

sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan yang di perkuat oleh negara.

Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.24

Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu:

a) hukum

b) kewenangan (wewenang) c) keadilan

d) kejujuran

e) kebijakbestarian, dan f) kebijakan.25

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa

24 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, 2001, Hlm. 1

(25)

sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.26

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.27 Dengan

demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata yang artinya; kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.28

2.4.2 Pengertian Kewenangan

26 Miriam Budiardjo, Op.Cit, Hlm. 35 27 Rusadi Kantaprawira, Op.Cit, Hlm. 39

(26)

Kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.29

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan.30

Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang.31 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)

dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.

29 Tim Bahasa Pustaka, 1996. Hlm. 1128

30 Prajudi Atmosudirdjo. Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, Hlm. 78

(27)

Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: 32

“Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke

bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke

rechtsverkeer”. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik).33

Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, maka kesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang,

32 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), Hlm. 65

(28)

akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat)

Bagir Manan mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichen). Di dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.34

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten.35

Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator

34 Bagir manan, wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. Hlm 1-2

(29)

(organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.

Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut. Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;

e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.36

(30)

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.37

2. 4. 3 Sifat Kewenangan

Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat, fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan-kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingan) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan bebas.

Menurut Indroharto; pertama, pada wewenang yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil, kedua, wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih

(31)

ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalm hal-hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya: ketiga, wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.

Philipus mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge, membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsverijheid) yang

kewenangan untuk memutuskan mandiri; kedua, kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (verge norm).38

2. 4. 4 Sumber Kewenangan

Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar utamanya dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dan sistem kontinental.39

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga sumber yaitu; atribusi, delegasi, mandat. Kewenangan atribusi lasimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar,

38 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, Hlm. 112

(32)

kewenangan delegasi dan Mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.40

Bedanya kewenangan delegasi terdapat adanya pemindahan atau pengalihan kewenangan yang ada, atau dengan kata lain pemindahan kewenangan atribusi kepada pejabat dibawahnya dengan dibarengi pemindahan tanggung jawab. Sedangkan pada kewenangan mandat yaitu dalam hal ini tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan, yang ada hanya janji-janji kerja intern antara penguasa dan pegawai (tidak adanya pemindahan tanggung jawab atau tanggung jawab tetap pada yang memberi mandat). Setiap kewenangan dibatasi oleh isi atau materi, wilayah dan waktu.Cacat dalam aspek aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid) yang menyangkut cacat isi, cacat wilayah, dan cacat waktu. 2. 5 Tinjauan Umum Tenaga Kerja Indonesia

2. 5. 1 Pengertian Tenaga Kerja Indonesia

Warga Negara sebagai subyek hukum memiliki hak untuk memilih pekerjaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pengertian dari tenaga kerja adalah tiap-tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Istilah tenaga kerja migran sudah didefinisikan dalam pasal 11 ayat (1) Konvensi Migrasi Tenaga Kerja (edisi revisi) 1949 dan didefinisikan juga dalam pasal 11 ayat (1) Bagian II dari konvensi pekerja migran (ketentuan tambahan)

(33)

1975. Istilah pekerja migran tersebut berubah seiring dengan kebutuhan perkembangan globalisasi migrasi pekerja. Pasal 2 ayat (1) Konvensi Pekerja Migran tahun 1990 mendefinisikan pekerja migran sebagai seseorang yang akan, tengah atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu negara dimana ia bukan menjadi warga Negara. Definisi dalam Konvensi Pekerja Migran tahun 1990 mengindikasikan bahwa migran tidak mengacu pada pengungsi, dalam pengungsian atau paksaan lain untuk meninggalkan tempat asal mereka. Tidak terdapat pembatasan dalam definisi tersebut, sehingga tenaga kerja dapat meliputi pejabat Negara, pegawai negeri sipil atau militer, pengusaha, buruh, swa-pekerja, dan penganggur.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendefinisikan istilah tenaga kerja adalah: "Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat”.41”Secara khusus Halim

memberikan pengertian buruh/pegawai adalah: orang yang bekerja pada atau untuk majikan/perusahaan, imbalan kerjanya dibayar oleh majikan/perusahaan, dan secara resmi terang-terangan dan kontinyu mengadakan hubungan kerja dengan majikan/perusahaan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk jangka waktu tidak tertentu lamanya. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 TentangPenempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, tenaga kerja adalah: “Setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di

(34)

luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.”42

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari seorang tenaga kerja yang bekerja di luar negeri adalah: memiliki hubungan kerja; pekerjaan dalam bentuk menghasilkan barang atau jasa; untuk jangka waktu tertentu yang terdapat dalam perjanjian kerja, mendapatkan upah, dan penempatan di luar negara asal.

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

3.1.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji pokok permasalahan yang dibahas dengan mengkaitkannya dengan peraturan perundanag-undangan dan pendapat-pendapat para sarjana dari berbagai sumber buku yang terkait dengan permasalahan,

(35)

sehingga ditemukan titik pangkal dalam pembahasan. Penelitian ini kerap di sebut penelitian yang bersifat teoritis.43

3.1.2 Jenis Pendekatan

Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa “pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konsepsual (conceptual approach).”

Dalam penulisan ini digunakan pendekatan Undang-undang, yaitu mengkaji permasalahan dari segi hukum yang sumbernya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Dan juga menggunakan pendekatan konsep, yaitu mengutip pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat para sarjana yang terdapat dalam buku-buku atau literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan yang di bahas.44

3.2 Sumber Bahan Hukum 3.2.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan, dalam tulisan ini bahan hukum primer yang digunakan adalah,Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 27 ayat 2, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Konvensi

43Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta, 2011), Hlm. 25 44Anak Agung Ayu Agung Cintya Dewi, Tanggung Jawab Negara Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Oleh Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Hukum Internasional,

(36)

Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler, Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi ILO No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (Freedom of Association and Protection of Right to Organize) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di LuarNegeri, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia.

3.2.2 Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa berbagai bahan kepustakaan yang diperoleh melalui buku-buku, karya tulis ilmiah,laporan-laporan dan literatur-literatur.45

3.2.3 Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

3.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengolahan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system)

yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penerapan teknik telaah kepustakaan itu didukung pula oleh teknik bola salju

(37)

dengan menggunakan bahan hukum sebanyak mungkin dari informasi yang awalnya sedikitsehingga bahan hukum yang diperoleh terkait dengan tanggung jawab negara terhadap TKI di luar negeri dapat terpenuhi.

3.4 Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum.Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan-bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

Bahan-bahan hukum tersebut diolah dengan langkah-langkah deskripsi, sistematisasi dan eksplanasi. Deskripsi yaitu penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya. Sedangkan sistematisasi yaitu menghubungkan bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain sehingga tidak menunjukkan adanya kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Kemudian dilanjutkan dengan eksplanasi ialah memberikan uraian-uraian yang bersifat penjelasan serta argumentasi-argumentasi terhadap bahan hukum yang diperoleh hukum yang satu dengan lainnya.46

46Anak Agung Ayu Agung Cintya Dewi, Tanggung Jawab Negara Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Oleh Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Hukum Internasional,

(38)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Tanggung Jawab Negara Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri

Dalam Asas pembentukan Undang-undang di kenal Asas tanggung jawab Negara (state responsibility) hal ini sesuai dengan amanat Pasal 28I ayat 4 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Tanggung jawab negara untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM”.47

Tanggung jawab negara di bidang penempatan dan perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004

(39)

diatur dalam Pasal 6 yang menyebutkan bahwa “Pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri”. “Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelumnya pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan” (Pasal 7 huruf e). Namun demikian dalam pasal-pasal berikut dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tidak mengatur lebih lanjut wujud perlindungan tersebut khususnya pada tahap pra penempatan dan setelah penempatan.

Secara filsafati tanggung jawab negara dapat ditemukan pada tujuan bernegara suatu negara. Tujuan bernegara bangsa Indonesia ditemukan pada alinea keempat pembukaan UUD 1945 yakni tidak hanya melindungi warga negara tetapi juga mewujudkan kesejahteraan umum (public welfare), tujuan bernegara seperti ini disebut juga dengan negara hukum kesejahteraan (walfare state). Tanggung jawab negara itu dimaksudkan untuk menjamin hak-hak warga negara atas kehidupan yang layak sebagai manusia, dikemukakan oleh Toshiro Fuke sebagai berikut “The state now assuming the general mandate to secure for citizen their individual right to a life worthy of a human being”.

Tanggung jawab (responsibility) melahirkan kewajiban (obligation). Dalam Black’s Law Dictionary responsibility diartikan “The state of being answerable for an obligation and includes judgment, skill, ability and capacity.

The obligation to answer for an act done, and to repair or otherwise make

(40)

obligation to answer for an act done, and to repair or otherwise make

restitution for any injury it may have caused”.48 Berdasarkan konsep di atas, jelaslah bahwa tanggung jawab (responsibility) memiliki makna tidak hanya berupa kewajiban (obligation) untuk memenuhi apa yang pernah dilakukan terkait dengan keputusan, keahlian, dan kemampuan seseorang, tetapi juga kemampuan untuk memulihkan (restitution) terhadap kerugian yang dilakukan. Ini berarti responsibility tidak hanya meliputi tanggung jawab hukum, tetapi juga tanggung jawab moral. Dengan demikian tanggung jawab tidak dapat dilepaskan dari makna kewajiban, karena itu kata tanggung jawab sering diartikan sama atau dipertukarkan penggunaannya dengan istilah kewajiban. Kewajiban (obligation) berarti 49“any duty imposed by law, promise, contract, relations of society, courtesy, kindness, etc”.

Kewajiban yang di emban oleh negara untuk melindungi warga negaranya diwujudkan dengan kebijakan-kebijakan tertentu. Nah hal ini tentu tidak luput dari masalah apalagi masalah yang melintasi batas negara lebih khusus masalah TKI yang bekerja di luar negeri.

4. 1. 1 Tumpang Tindih Kebijakan

Negara telah berusaha memenuhi tanggung jawabnya dengan membuat berbagai peraturan dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar

48 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, (Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1998). Hlm. 42

(41)

Negeri, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor SE-04/MEN/IV/2011 tentang Pengetatan Penempatan Dalam Peningkatan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.

Perlindungan terhadap TKI pada dasarnya merupakan tanggung jawab pemerintah secara umum.50 Namun secara khusus penanganan ini pada awalnya

di kelola oleh Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama-sama dengan Kementrian Luar Negeri. Namun pada perjalananya dengan banyaknya berbagai kebutuhan maka pemerintah berdasarkan kebutuhan untuk membantu tugas perlindungan Tenga Kerja Indonesia di luar negeri berdasarkan Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 sehingga terbentuklah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang di atur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2006.

Pada 2004 lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,51 yang 50 Teten Masduki, Politik RUU Ketenagakerjaan, (Mandar Maju, Bandung, 1999). Hlm. 25

(42)

pada pasal 94 ayat (1) dan (2) mengamanatkan pembentukan BNP2TKI). Kemudian disusul dengan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 Tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan unsur-unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan TKI, antara lain Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja dan Trasmigrasi, Kepolisian, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan , Imigrasi (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), Sekretariat Negara, dan lain-lain. Sehingga dalam perjalanannya terdapat tumpang tindih kebijakan yang tidak bisa di hindari. Dalam hal ini penulis mengkaji tiga lembaga khusus yang bertanggung jawab langsung terhadap perlindungan TKI.

1. BNP2TKI

(43)

bertanggung jawab kepada Presiden”52. Sesuai dengan namanya BNP2TKI

berfungsi sebagai badan pelaksana kebijakan perlindungan TKI di luar negeri. BNP2TKI yang beranggotakan wakil-wakil instansi Pemerintah terkait mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Bidang tugas masing-masing Instansi meliputi bidang ketenagakerjaan, keimigrasian, hubungan luar negeri, administrasi kependudukan kesehatan, kepolisian, dan bidang lain yang dianggap perlu.Wakil-wakil instansi pemerintah terkait berkoordinasi dengan instansi induk masing-masing dalam pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Dan juga di lanjutkan dengan pasal 3 PP Nomor 81 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa53:

melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna Tenaga Kerja Indonesia atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan; memberikan pelayanan, mengkoordinasikan dan melakukan pengawasan mengenai; dokumen, pembekalan akhir, penyelesaian masalah, pemberangkatan, sumber-sumber pembiayaan, pemberangkatan sampai pemulangan, peningkatan kualitas calon Tenaga Kerja Indonesia, informasi, kualitas pelaksana penempatan Tenaga Kerja Indonesia, peningkatan kesejahteraan Tenaga Kerja Indonesia dan keluarganya. Sehingga dengan wewenang yang telah di amanahkan oleh negara

52 Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indoesia di Luar Negeri

(44)

kepada BNP2TKI maka sudah sangat jelas bahwa fungsi dari badan ini adalah sebagai pelaksana perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri.54

Penekanan fungsi “pelaksana” ini juga terdapat pada peraturan sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 94 mempunyai fungsi pelaksana kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi”55. Maka dalam hal ini sudah sangat jelas bahwa

fungsi BNP2TKI adalah sebagai pelaksana perlindungan dan penempatan TKI di luar Negeri sesuai dengan amanah UU dan juga PP yang pernah di keluarkan oleh pemerintah. Kendati demikian pada kenyataanya lembaga ini masih sangat bergantung pada Kementrian Tenega Kerja dan Kementrian Luar Negeri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan menyangkut buruh migran yang ada di luar negeri. Peraturan Presiden ini sebenarnya sebagai lanjutan dari adanya Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 tentang perlindungan buruh migran untuk memaksimalkan sumber daya manusia dalam pasar tenaga kerja luar negeri dan perlindunganya. BNP2TKI yang beranggotakan wakil-wakil instansi Pemerintah terkait mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.56 Pasal 2 ini secara langsung menyinggung

54 Majalah Tenaga Kerja, Sistem Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, Vol 37, 1999, Hlm. 14

55Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004, pasal 2 ayat (1)

(45)

tentang penggunaan kata terkordinasi dan terintegrasi yang memerujuk pada stakeholder lainya. Sehingga hubungan lintas stakeholder dalam menyelesaikan buruh migran pada dasarnya di atur oleh Peraturan Presiden ini pada khususnya dan Undang-Undang lain pada umumnya.

2. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Dasar hukum kementrian ini lebih merujuk pada Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Kementrian ini bertanggung jawab terhadap semua pekerjaan baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri. Sebelum adanya Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 Undang-undang ini di gunakan sebagai dasar hukum terhadap perlindungan buruh migran yang ada di luar negeri. Tanggung jawab yang menyangkut tentang perlindungan dalam undang-undang tertuang pada pasal 31 yang menyebutkan bahwa pelaksana penempatan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja. Namun penggunan kata tenaga kerja di sini masih bersifat umum yang memiliki arti tenaga kerja di dalam negeri maupun tenaga kerja yang ada di luar negeri.

(46)

3. Kementrian Luar Negeri

Kementrian Luar Negeri Indonesia pada awal reformasi menggunakan pedoman Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Undang-undang ini memang pada dasarnya tidak menyebutkan secara langsung tentang perlindungan buruh migran di luar negeri namun beberapa pasalnya menyinggung tentang tanggung jawabnya terhadap warga negara Indonesia di luar negeri. Seperti yang tertera dalam pasal 19 menyebutkan bahwa perwakilan Republik Indonesia yang dalam hal ini adalah kementrian luar negeri berkewajiban memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.57 Undang-Undang ini kemudian di susul dengan PP Nomor.56

tahun 2015 yang mengatur tentang Kementrian Luar Negeri. Peraturan Presiden ini memiliki fungsi utama sebagai pembantu presiden dalam semua urusan pemerintaan mengenai luar negeri. Sedangkan untuk pasal yang berhubungan tentang perlindungan memiliki kesaman dengan Undang-undang Nomor 37 tahun 1999 yang tidak membahas tentang buruh migran melainkan lebih umum dalam pasal 36 yang ditangani oleh bagian salah satu bagian dari Kementrian Luar Negeri yaitu Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler.

(47)

Dari ketiga stakeholder tersebut tentunya memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing masing. Sehingga dalam memberikan perlindungan terhadap TKI menutut Undang-Undang dari memiliki tugas masing-masing

Telah terjadi tumpang58 tindih kebijakan antara BNP2TKI dan Menaker

mengenai tugas pokok yang sama dalam melakukan penempatan TKI ke luar negeri dan memberikan perlindungan. Sedangkan jika di lihat dari fungsinya BNP2TKI sebagai pelaksanaan kebijakan dibidang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi59 yang di atur pada pasal 95 ayat 1 Undang-undang Nomor

39/2004. Sedangkan fungsi Kementrian ketenagakerjaan adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan daya saing tenaga kerja dan produktivitas, peningkatan penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, peningkatan peran hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja, pembinaan pengawasan ketenagakerjaan serta keselamatan dan kesehatan kerja.60 Dalam hal ini tidak hanya menyangkut tenaga kerja yang ada

di dalam negeri saja melainkan yang terdapat di luar negeri. Dari ketiga lembaga tersebut terdapat beberapa faktor utama yang mengakibatkan kurangya sinergisitas di antara ketiganya.

1. Kedudukan BNP2TKI dan tugasnya

58 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan Dalam Hubungan

Industrial, (Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2004). Hlm. 34

59 Fungsi BNP2TKI, lihat http://ppid.bnp2tki.go.id/index.php/kedudukan-tugas-dan-fungsi diakses pada 01 April 2017

(48)

Kementrian Ketenagakerjaandan BNP2TKI adalah stakeholder yang terkait dengan pengurusan TKI ke luar negeri. Kendaki demikian sering terjadi miss kordinasi di antara keduanya lantaran memiliki persamaan fungsi namun berdiri pada badan yang berbeda-beda. Seperti yang kita ketahui dalam amanah Undang-Undang Dasar pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”61 di lanjutkan pada ayat (3) bahwa “setiap

menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”62, Hal ini memiliki

arti bahwa setiap kementrian yang dikepalai oleh seorang mentri memiliki kewenangan untuk menentukan arah kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis lainya yang berhungungan dengan kementrianya masing-masing. Singkatnya Kementrian Ketenagakerjaan adalah stakeholder yang memiliki kedudukan secara langsung di bawah presiden dalam urusan ketenagakerjaan baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di dalam negeri.

Dalam perlindungan terhadap TKI ini menjadi unik di karenakan PP Nomor 81 tahun 2006 menyebutkan bahwa “Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenga Kerja Indonnesia yang selanjutnya disebut BNP2TKI adalah lembaga pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”63. Artinya adalah kedudukan BNP2TKI

memiliki kesejajaran dengan Kementrian Ketenagakerjaan dalam menjalankan

61 Undang-Undang Dasar RI pasal 17 ayat (2)

62 Ibid, Ayat (3)

(49)

fungsi dan tugasnya. Sehingga dengan adanya kesejajaran kedudukan di antara keduanya dan memiliki kesamaan fungsi maka terkadang menimbulkan miss kordinasi di antara keduanya. Disamping itu dengan sejajarnya kedudukan antara BNP2TKI dan Kementrian ketenagakerjaan maka BNP2TKI tidak bertangggung jawab terhadap Kementrian Ketenagakerjaan melainkan langsung terhadap Presiden. Hal ini tentunya menjadi rancu dikarenakan kementrian ketenagakerjaan juga bekerja pada fokus yang sama.

Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahwa kedudukan yang setara antara BNP2TKI dan Kementrian Ketenagakeraan dengan tugas dan fungsi yang sama sering menimbulkan dualisme yang berdampak pada miss koordinasi. Sebagai salah satu contohnya terjadi perbedaan standar operasional antara BNP2TKI dan Menaker yang berakibat pada stakeholder lainya seperti Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Hal ini juga di perkuat oleh Humas BPK RI mengatakan bahwa antara Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI belum selaras saol perekrutan dan penempatan TKI. Ada proses berbeda yang dilakukan untuk menghadapi masalah yang sama.64 Perbedaan

proses tersebut menunjukan kurangya kordinasi antara BNP2TKI dengan Menaker dikarenakan keduanya memiliki kedudukan yang sama di bawah presiden. Dengan kedudukan yang sama tersebut maka sangat mungkin miss kordinasi ituterjadi. Kepala Biro Humas dan Kerjasama Internasional BPK RI,

(50)

R Yudi Ramdan Budiman mengatakan bahwa “Menaker dan BNP2TKI mengatur masalah yang sama tapi prosesnya berbeda. Menaker mengatur bahwa CTKI harus mendaftar dulu ke dinas tenaga kerja dan PPTKIS mengambil datanya dari dinas tenaga kerja. Tapi BNP2TKI mengatur, PPTKIS merekrut dulu baru daftar. Nah perbedaan ini kan menyulitkan bagi TKI, dan menyulitkan kita untuk mengawasi.” Di lain contoh tersebut tedapat persoalan lain yang diakibatkan oleh miss kordinasi antara stakeholder terkait yang mengurusi perlindungan TKI di luar negeri. Contoh lainya adalah masalah TKI yang membutuhkan perawatan kepada BNP2TKI namun tidak bisa di berikan dikarenakan tidak adanya rekomendasi dari KBRI atau Kemenlu65. Sehingga

dari beberapa kejadian diatas maka dalam hal ini dapat dilihat bahwa tumpang tindih tangunggjawab dengan kordinasi yang lemah akan berakibat pada efektifitas dan profesionalan lembaga yang mengurusi TKI.

Undang-Undang yang digunakan selama ini belum secara jelas memisahkan stakeholder yang bersangkutan mengenai fungsi regulator dan Operator penempatan TKI. Yang dimaksud dengan fungsi legulator adalah fungsi sebagi pembuat kebijakan, sedangkan fungsi operator adalah yang melakukan implementasi kebijakan. Pemisahan fungsi tersebut bertujuan untuk mengatasi timpang tindih kebijakan yang terjadi selama ini mengingat BNP2TKI dan Menaker sampai dengan saat ini masih berada pada fungsi yang

65 Belajar dari Kasus Iwin, Kemlu-BNP2TKI Darurat Koordinasi

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjabaran diatas penulis ingin menambahkan beberapa fitur baru pada aplikasi permainan yang sudah ada karena untuk aplikasi permainan yang sudah ada ini

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh isu politik yang berkembang saat pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2014 terhadap preferensi

Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Pokok Bahasan Energi Panas dan Bunyi dengan Metode Eksperimen Siswa Kelas IV SDN Sumberlesung 04 Jember Tahun

Dalam analisis rangkaian listrik, dilakukan idealisasi. Sumber dinyatakan sebagai sumber tegangan ideal atau sumber arus ideal, dan beban dinyatakan sebagai impedansi

Dari analisis uji t diketahui bahwa ada dua variabel yang secara statistik berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan yaitu upah minimum berpengaruh negatif

Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui saluran pemasaran jagung, besar biaya, keuntungan, dan marjin pemasaran jagung pada

dengan mengawasi seluruh pencatatan oleh admin yaitu kegiatan keluar masuknya barang dan dalam jangka panjang pencatatan ini tidak lagi harus menggunakan teknik

Berdasarkan analisis dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik kesimpulkan bahwa peran serta guru pendidikan kewarganegaraan