• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAPASITAS DESA dalam PELAKSANAAN OTONOMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAPASITAS DESA dalam PELAKSANAAN OTONOMI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

KAPASITAS DESA dalam

PELAKSANAAN OTONOMI DESA

(2)

2

Pendahuluan

 Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (PP 72/2005)

 Desa, atau sebutan-sebutan lain yang sangat beragam di Indonesia, pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-ba tas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri

disebut dengan self-governing

community. (Eko, 2008)

 Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola

(3)

 Istilah otonomi desa tidak digunakan dalam UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004. Namun kedua UU ini menyebutkan bahwa kesatuan

Masyarakat Hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat .

 Hak mengatur dan megurus rumah tangga desa dapat disamakan sebagai daerah hukum yang diatur dalam hukum adat dengan sebutan otonomi desa..

 Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.

 Bagi desa diluar desa gineologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa atau karena

(4)

4

Otonomi Desa sbg Konsep Politik

Otonomi desa sebagai konsep politik mempunyai dua pengertian  Pertama, otonomi yang diberikan negara sebagai bentuk power shared

dalam bentuk desentralisasi kekuasaan kepada unit-unit pemerintahan tingkat bawah atau otonomi “by the grace of central government

 Kedua, otonomi desa menurut ketentuan normatif dipahami sebagai

“otonomi asli”, otonomi yang tidak diciptakan negara tetapi merupakan the right of the people sebagai hak-hak yang melekat pada diri masyarakat itu sendiri dan bersifat given

 Prinsip otonomi asli dapat dirujuk pada konsep subsidiaritas sebagai kemampuan masyarakat untuk mengatur diri sendiri dalam lapangan kehidupan tertentu tertentu tanpa campur tangan negara.

 Kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat hukum inilah yang disebut otonomi asli. Otonomi asli bermakna kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial yang ada pada

(5)

Landasan pemikiran pengaturan Pemerintahan Desa adalah

menjadi acuan penyelenggaraan pemerintahan desa atau

otonomi desa:

Keanekaragaman

Keanekaragaman memiliki makna bahwa istilah Desa dapat

disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi sosial budaya

masyarakat setempat, seperti Nagari, Negri, Kampung, Pekon,

Lembang, Pamusungan, Huta, Bori atau Marga. Hal ini berarti

pola penyelenggaraan Pemerintahan Desa akan menghormati

sistem nilai yang berlaku dalam adat istiadat dan budaya

masyarakat setempat, namun harus tetap mengindahkan sistem

nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Partisipasi

Partisipasi memiliki makna bahwa penyelenggaraaan

Pemerintahan Desa harus mampu mewujudkan peran aktif

masyarakat agar masyarakat merasa memiliki dan turut

(6)

6 

Otonomi Asli

Otonomi Asli memiliki makna bahwa kewenangan

Pemerintahan Desa dalam mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat didasarkan pada hak

asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada

masyarakat setempat, namun hrus diselenggarakan

dalam perspektif administrasi pemerintahan modern.

Demokratisasi

Demokratisasi memiliki makna bahwa penyelenggaraan

Pemerintahan Desa harus mengakomodasi aspirasi

masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui

Badan Perwakilan Desa dan Lembaga kemasyarakatan

sebagai mitra Pemerintah Desa.

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan Masyarakat memiliki makna bahwa

(7)

Kedudukan Desa

Pasal 2 ayat 1 UU No. 32/2004: Desa bukan bagian dari

NKRI, melainkan sebagai subsistem pemerintah

kabupaten.

Kedudukan desa tidak jelas, apakah sebagai desa

otonom atau desa adat.

Otonomi asli memperoleh ruang untuk bangkit kembali,

tetapi tidak ada revitalisasi kewenangan asli.

Eksperimentasi otonomi desa di berbagai daerah masih

bersifat parsial, karena terkendala aturan (UU).

Umumnya desa-desa sebagai desa administratif, hanya

(8)

8

Kedudukan Desa

Kejelasan kedudukan desa akan menentukan

kewenangan, perencanaan desa, struktur &

sistem pemerintahan desa serta keuangan

desa.

Ada tiga pilihan kedudukan desa: desa adat,

desa otonom dan desa administrative

Berhubungan dengan kejelasan dan

(9)

Tipologi Desa

Tipologi desa sangat dibutuhkan mengingat keragaman kondisi

desa-desa di Indonesia yang kini berjumlah 69.929 (62.806 desa

dan 7.123 kelurahan). Semua desa ini sesuai dengan peraturan

perundang-undangan disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum

adat. Keragaman desa tidak hanya terjadi antardaerah, tetapi juga

antardesa dalam sebuah daerah.

Deskripsi tentang tipologi akan sangat menentukan pengaturan

mengenai penempatan kedudukan, bentuk, kewenangan, susunan

pemerintahan, keuangan dan sebagainya.

Apa basis penentuan tipologi desa?

Basis yang paling dominan

digunakan adalah asal-usul pembentukan dan bentuk kesatuan

masyarakat adat. Dalam konteks ini muncul desa genealogis

(dibentuk berdasarkan garis keturunan), desa teritorial (kesamaan

wilayah), desa campuran antara genealogis dan teritorial;

(10)

10

Tipe Desa dalam Hub. dengan Konsep Desentralisasi

 Tipe ”Desa adat” atau sebagai self governing community sebagai bentuk Desa asli dan tertua di Indonesia. Konsep ”otonomi asli” sebenarnya

diilhami dari pengertian Desa adat ini. Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan oleh negara.

 Tipe ”Desa administratif” (local state government) adalah Desa sebagai satuan wilayah administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara dan hanya menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara. Desa administratif secara substansial tidak mempunyai otonomi dan

demokrasi. Kelurahan yang berada di perkotaan merupakan contoh yang paling jelas dari tipe Desa administratif.

 Tipe ”Desa otonom” atau dulu disebut sebagai Desapraja atau dapat juga disebut sebagai local self government, seperti halnya posisi dan bentuk

daerah otonom di Indonesia. Secara konseptual, Desa otonom adalah Desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi sehingga mempunyai

kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya

(11)

Dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahan desa, maka Tipologi Desa dapat dilihat sebagai berikut:

Pertama, desa sebagai kesatuan masyarakat atau disebut dengan pemerintahan komunitas atau self governing community. Tipe desa ini bukanlah unit pemerintahan formal seperti yang selama ini berjalan, melainkan sebagai bentuk pemerintahan informal yang mengelola

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul sebagai pembentuk otonomi asli. Karena itu tipe desa ini tidak perlu mengalami birokratisasi dan menjalankan tugas-tugas administratif dari pemerintah.  Kedua, desa administratif sebagai desa-desa baru yang dibentuk atas

prakarsa masyarakat setempat atau karena pembentukan desa definitif di wilayah UPT transmigrasi. Tipe desa ini tidak mempunyai kewenangan asal-usul, dan menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan oleh

pemerintah, serta megelola fungsi-fungsi pembangunan dan kemasyarakatan.

Ketiga, desa sebagai kesatuan pemerintahan lokal yang lebih siap dikembangkan menjadi unit pemerintahan yang otonom. Di desa-desa bertipe ini pengaruh adat sudah mulai pudar, dan akibat dari perubahan sosial telah tumbuh menjadi desa yang maju, swasembada dan modern. Selain itu, pemerintahan desa (dalam pengertian formal) telah berjalan dengan baik, dan karenanya sudah siap dikembangkan sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom (local self government).

 Keempat, kelurahan atau sebagai satuan kerja perangkat daerah, suatu bentuk unit administratif baru yang dibentuk secara sengaja atau

(12)

12

Tabel 1.Tipologi desa-desa di Indonesia

Tipe/

Item Desa sebagai kesatuan masyarakat

Desa administratif Desa sebagai kesatuan pem

lokal

Kelurahan

Status Pemerintahan

komunitas (self governing

Kedudukan Sebagai subsistem

pemerintahan

Bentuk (1) Desa adat,

masyarakat adat atau perkumpulan masyarakat

Desa-desa baru atau desa

definitif di unit transmigrasi

Desa lama yang telah mengalami kemajuan

Desa maju yang mengalami

perubahan status

Bentuk (2) Tradisional Transisional Maju Modern

Kemajuan Swadaya Swakarya Swasembada Swasembada Kondisi

geografis Wilayah pedesaan yang terpencil Wilayah pedesaan baru Wilayah semakin terbuka Perkotaan Kondisi

sosiologis Komunalisme Komunalisme Komunalisme makin memudar Individualisme Basis

ekonomi Pertanian (dalam arti luas) Pertanian Pertanian dan nonpertanian Perdagangan, industri, jasa, dll Pengaruh

adat tradisional

(13)

Susunan asli Masih kuat Tidak ada Mulai memudar Sudah hilang

Sifat

otonomi Otonomi asli Tidak ada Otonomi asli dan pemberian dari

negara

Sudah hilang

Pemilihan

pemimpin Musyawarah adat Pemilihan langsung Pemilihan langsung Pengangkatan Kewenanga

n asal usul Masih kuat Tidak ada Terbatas Sudah hilang Kewenanga

n Asal-usul Delegatif (tugas pembantuan) dan

administratif

Tugas Mengatur dan

mengurus

keuangan Hasil pengelolaan SDA dan bantuan

pemerintah dan dana alokasi desa.

(14)

14

 Empat tipe desa di atas membawa konsekuensi lebih lanjut terhadap kedudukan, bentuk, kewenangan, tugas fungsi, keuangan dan juga payung pengaturan.

 Tidak solusi yang tunggal dan seragam untuk memposisikan desa. Setidaknya ada dua variabel penting yang harus diperhatikan.

Pertama, pengaruh adat terhadap pemerintahan desa yang modern. Sebut saja ini variabel tradisionalisme.

Kedua, pengalaman dan kapasitas desa beradaptasi dengan nilai-nilai dan

perangkat modern dalam pemerintahan desa. Sebut saja ini variabel modernisme.  Antara tradisionalisme dan modernisme terus-menerus bertarung sehingga akan

berpengaruh terhadap model dan posisi pemerintahan desa.

 Jika di suatu daerah tradisionalisme lebih kuat ketimbang modernisme, maka desa-desa yang bersangkutan lebih tepat dikembalikan menjadi organisasi komunitas lokal (self governing community) yang tidak lagi mengurus pembangunan dan administrasi pemerintahan modern.

 Sebaliknya jika di suatu daerah pengaruh modernisme lebih kuat ketimbang tradisionalisme, maka desa-desa yang bersangkutan lebih baik diproyeksikan menjadi desa otonom (local state government). Sedangkan jika pengaruh

(15)

Jika pengaruh adat dan modernitas itu sama-sama kuat maka bisa

dipilah menjadi 5 (lima) pilihan tipologi yaitu (Sutoro Eko, 2008):

Ada adat tetapi tidak ada desa

. Seperti di Papua, meskipun ada desa

tetapi pemerintah desanya tidak berfungsi, justru adat ini sangat

berperan, ini disarankan ke

self governing community.

Tidak ada adat tetapi ada desa

. Pengaruh adat sangat kecil, ini

terutama di Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur dan

Sumatra, ini bisa didorong menjadi desa yang lebih otonom,

local self

government

.

Integrasi antara desa dan adat

. Ini satu-satunya yang terjadi di

Sumatra Barat, dimana antara adat dan modern itu digabungkan,

dikompromikan, ini bisa didorong ke

local self government.

Dualisme antara adat dengan desa

. Masing-masing tumbuh,

kedua-duanya terjadi perbedaan, ini terjadi di Bali, Kalimantan Barat, Aceh,

NTT dan Maluku. Ini lebih baik pemerintah desanya dihapus saja, jadi

nggak perlu ada pemerintah desa, lebih dikembangkan ke

self

governing community

seperti di Papua.

(16)
(17)

Kewenangan Desa

Dalam Pasal 7 PP 72 tahun 2005 tentang Desa

Urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :

urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal

usul desa;

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan

Pemerintah Kabupaten/Kota; dan

urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan

perundangundangan diserahkan kepada desa.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota

yang diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana

(18)

18

Dalam hub. dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa  Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan identifikasi, pembahasan: dan

penetapan jenis-jenis kewenangan yang diserahkan pengaturannya kepada desa

 Kewenangan yang diserahkan mis: dibidang pertanian, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan,

perkoperasian, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, perikanan, politik dalam negeri dan administrasi publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas pembantuan, pariwisata, pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat, perencanaan, penerangan/informasi dan

komunikasi

 Dalam Permendagri 30 tahun 2006 tentang tata cara penyerahan urusan pemerintahan kabupaten kota kepada desa terdapat 31 bidang dan 222 jenis urusan yang dapat diserahkan ke desa dengan mempertimbangkan

kemampuan desa sebagai lembaga dan potensi sumber daya alam yang dimiliki desa.

(19)

 Dalam prakteknya pengaturan mengenai kewenangan desa yang diterjemahkan

menjadi urusan-urusan pemerintahan ini menghadapi banyak hambatan yang nyaris mustahil untuk dapat diatasi oleh desa itu sendiri. Alasan-alasannya antara

lain:

 Pertama, berkaitan dengan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak

asal-usul Desa atau kewenangan asli (generik). Di banyak tempat telah hancur atau hilang. Yang paling menderita atas kehancuran kewenangan ini adalah komunitas adat atau desa adat (genealogis).

 Kedua, berkaitan dengan urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa atau yang dapat dikategorikan sebagai kewenangan devolutif. Tampaknya sejauh ini belum ada

tanda-tanda yang signifikan bahwa daerah akan melaksanakan amanat PP tentang desa ini.

 Ketiga, berkaitan dengan urusan tugas pembantuan dari Pemerintah dan

Pemerintah Daerah. Tugas pembantuan ini semestinya bukanlah kewenangan desa, melainkan sebagai kewajiban desa untuk bersedia membantu tugas-tugas pemerintah dan pemerintah daerah jika disertai prasyarat-prasyarat pendukungnya.

 Keempat, masalah regulasi di tingkat pemerintah dan pemerintah daerah. Meskipun

(20)

20

Kewenangan Yang Bisa Diserahkan Ke Desa Dalam Rangka Desa

Sebagai Desa Yang Otonom Bukan Yang

Self Governing

Community

Kewenangan Generik atau kewenangan asli, yang sering disebut hak atau kewenangan

asal-usul yang melekat pada desa (atau nama lain). Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Yando Zakaria, 2001), atau yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli.

Ada beberapa jenis kewenan gan generik yang sering disebut-sebut: (1) Kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; (2) Kewenangan mengelola sum berdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat, dll); (3) Kewenangan membuat dan

menjalankan hukum adat setempat; (4) Ke wenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk adat-istiadat); (5) Kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (com munity justice system), misalnya dalam hal penyelesaian konflik lokal.

Kewenangan Devolutif, yaitu kewenangan yang harus ada atau melekat kepada desa karena

posisinya sebagai pemerintahan lokal (lo cal-self government), meski desa belum diakui sebagai daerah otonom sep erti kabupaten/kota. Desa, sebagai bentuk pemerintahan lokal (local-self government) sekarang mempunyai perangkat pemerintah desa (eksekutif) dan Badan Perwakilan Desa (BPD sebagai perangkat legislatif) yang mem punyai kewenangan untuk membuat peraturan desa sendiri.

(21)

Kewenangan Distributif

, yakni kewenangan mengelola urusan

(bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh

pemerintah kepada desa. Jika mengikuti UU No. 22/1999,

kewenangan dis tributif ini disebut sebagai “kewenangan yang oleh

peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan

oleh daerah dan pemerintah”, yang dalam pratiknya sering dikritik

sebagai “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan

sisa” karena desa hanya menerima kewenan gan sisa (karena

semuanya sudah diambil kabupaten/kota) yang tidak jelas dari

supradesa.

Kewenangan Dalam Pelaksanaan Tugas Pembantuan

. Ini

sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena

tugas pembantuan hanya sekadar melaksanakan tugas tertentu

yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber

daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Titik

(22)

22

Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa

dan BPD.

Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan

Perangkat Desa.

Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan

Perangkat Desa lainnya.

Perangkat Desa lainnya terdiri atas : sekretariat

(23)

Keuangan Desa

 Dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan desa dan untuk peningkatan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, desa mempunyai sumber pendapatan yang terdiri atas

pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah

kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari Pemerintah dan

Pemerintah Daerah serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

 Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja desa, bantuan

pemerintah dan bantuan pemerintah daerah (Desentralisasi).

 Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah  Penyelenggaraan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh

(24)

24

Sumber Pendapatan Desa

Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan

desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan

lain-lain

Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% untuk

desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan

bagi desa;

Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang

diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%

setelah dikurangi gaji pegawai, yang pembagiannya untuk setiap

Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa

(ADD);

Bantuan keuangan dari Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota

dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;

(25)

Kapasitas Desa/Pemerintahan Desa

Kapasitas merupakan kemampuan individual, organisasi dan sistem

untuk menjalankan dan mewujudkan fungsi-fungsi secara efektif,

efisien dan berkelanjutan (Anelli Millen, GTZ dan USAID dalam Eko

(editor, 2005))

Dalam keberadaan desa sebagai suatu wilayah, maka kapasitas desa

akan berhubungan dengan potensi yang dimiliki dalam mendukung

penyelenggaraan pemerintahan (termasuk otonomi desa) misalnya

sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber keuangan ataupun

manajemen pemerintahan serta partisipasi masyarakat

Dalam hubungan dengan pemeintahan desa, maka kapasitas

dikaitkan dengan kemampuan pemerintahan desa (pemerintah desa

dan perangkatnya serta BPD) dalam menjalankan tugas dan

fungsinya secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan potensi

desa yang ada.

Pemerintah Desa diharapkan memiliki kapasitas yang mendukung

pelaksanaan kewenangan-kewenangan yang menjadi urusan

(26)

26

Kewenangan-kewenangan ideal untuk desa adalah (Djaha, 2007):

1.

kewenangan untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan

pemerintah daerah yang mengatur tentang desa,

2.

kewenangan untuk menentukan kebijakan yang berkaitan dengan

urusan-urusan internal desa,

3.

kewenangan untuk mengelola dana perimbangan yang berasal dari

DAU,

4.

kewenangan untuk mengelola sumber daya ekonomi yang berada

di tingkat desa,

5.

kewenangan untuk menolak program-program tugas pembantuan

pemerintah di atasnya yang tidak disertai dengan pembiayaan,

sarana, prasarana, dan tidak sesuai dengan daya dukung desa dan

kehendak masyarakat setempat.

Kemampuan desa dalam menggunakan kewenangan-kewenangan

yang disebutkan ini menunjukkan kemampuan/kapasitas desa

(27)

Tantangan Kapasitas Pemerintahan Desa

Masih ada sejumlah sisi lemah kapasitas pemerintahan desa mencakup:  lemahnya konsolidasi internal pemerintah desa,

 lemahnya responsibilitas dan kompetensi personil perangkat desa,

 masih kuat dan dominasinya kepemimpinan kepala desa,

 tradisi administrasi modern yang masih minim,

 kurangnya kemampuan dalam mengelola keuangan desa,

 kurangnya kemampuan dalam menggali potensi desa,

 lemahnya responsifitas pemerintah desa terhadap kebutuhan masyarakat,

 kurangnya kemampuan merumuskan peraturan desa,

 kurangnya kemampuan melakukan inovasi terhadap pemerintah, pelayanan dan pembangunan desa,

(28)

28

Pengembangan Kapasitas (

Capacity Building

)

Morison (Riyadi, 2005) melihat pengembangan kapasitas sebagai suatu

proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian gerakan, perubahan multi level di dalam individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi dan

sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan penyesuaian individu dan organisasi sehingga dapat tanggap terhadap perubahan

lingkungan yang ada.

Katty Sensions (Riyadi, 2005) menyatakan capacity building umumnya

dipahami sebagai upaya membantu pemerintah, masyarakat ataupun individu dalam mengembangkan keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk

mewujudkan tujuan-tujuan mereka.

 Program pengembangan kapasitas seringkali didesain untuk memperkuat kemampuan dalam mengevaluasi pilihan-pilihan kebijakan mereka dan menjalankan keputusan-keputusannya secara efektif. Pengembangan kapasitas bisa meliputi pendidikan dan pelatihan, reformasi peraturan dan kelembagaan, dan juga asistensi finansial, teknologi dan keilmuwan

 Pengembangan kapasitas pemerintah desa diarahkan pada peningkatan kemampuan (baik secara kelembagaan maupun personal aparatur) dalam mengelola atau menjalankan fungsi pemerintahan, pembangunan da

(29)

United Nations

memberi rujukan

Capacity Building

yang

berdimensikan pada; 1) Mandat dan struktur legal, 2) Struktur

kelembagaan, 3) Pendekatan manajerial, 4) Kemampuan

organisasional dan teknis, 4) Kemampuan fiskal lokal, dan 5)

Aktivitas-aktivitas program.

World Bank

menekankan perhatian

capacity building

pada;

Pengembangan sumber daya manusia; training, rekruitmen dan

pemutusan pegawai profesional, manajerial dan teknis,

Keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya

dan gaya manajemen,

Jaringan kerja (

network

), berupa koordinasi, aktifitas organisasi,

fungsi network, serta interaksi formal dan informal,

Lingkungan organisasi, yaitu aturan

(rule

) dan undang-undang

(

legislation

) yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab

dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menjadi

hambatan bagi

development tasks

, serta dukungan keuangan

dan anggaran.

(30)

30

Beberapa dimensi

capacity building

bagi

pemerintah desa antara lain :

pengembangan sumber daya manusia

penguatan organisasi dan manajemen

penyediaan sumber daya, sarana dan

prasarana

network (pengembangan jaringan atau

kerjasama)

lingkungan; dan

(31)
(32)

32

Dari gambar tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan kapasitas harus dilaksanakan secara efektif dan berkesinambungan pada 3

(tiga) tingkatan-tingkatan :

1. tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan

pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu;

2. tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh struktur

organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan organisasi;

3. tingkatan individual, contohnya ketrampilan-ketrampilan individu dan

persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam organisasi-organisasi.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan maupun kesuksesan program pengembangan kapasitas dalam pemerintahan daerah. Namun secara khusus dapat disampaikan bahwa dalam konteks otonomi daerah, faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi pembangunan

kapasitas meliputi 5 (lima) hal pokok yaitu, komitmen bersama, kepemimpinan, reformasi peraturan, reformasi kelembagaan, dan

(33)

Untuk memperkuat kapasitas desa, ada lima agenda penting yaitu :

 Pertama, Kapasitas regulasi (mengatur), yaitu kemampuan mengatur kehidupan

desa beserta isinya (wilayah, kekayaan dan penduduk) dengan peraturan desa.

 Kedua, kapasitas ekstra yaitu kemampuan mengumpulkan, mengarahkan dan

mengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan) pemerintah dan warga masyarakat desa. Aset yang dimiliki desa (a) aset fisik (kantor desa, balai dusun, jalan desa, sasaran irigasi, dll), (b) aset alam (tanah, sawah, hutan, perkebunan, ladang, kolam, dll), (c) aset manusia (manusia, SDM), (d) aset sosial (kerukunan warga, lembaga-lembaga sosial, gotongroyong,

lumbung desa, arisan, dll), (e) aset keuangan (tanah kas desa, bantuan dari kabupaten, KUD, BUMDes, dll), dan (f) aset politis (lembaga-lembaga desa, kepemimpinan, forum warga, BPD, rencana strategi desa, peraturan desa, dll).

 Ketiga, kapasitas distributif, yaitu kemampuan pemerintah desa membagi

sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa.

 Keempat, kapasitas responsif, yaitu kemampuan berupa daya peka dan daya

tangkap terhadap aspirasi/kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan desa.

 Kelima, kapasitas jaringan dan kerjasama, yaitu kemampuan pemerintah dan

(34)

34

Penutup

 Dalam hubungan dengan kapasitas pemerintah desa, maka Pendekatan teknokratis diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan desa.

 Pendekatan teknokratis mengajarkan perlunya birokrasi desa yang kapabel dan berkualitas sehingga mendukung tujuan-tujuan efektivitas dan efisiensi.  Gagasan ini paralel dengan isu kapasitas desa sebagai sebuah kandungan

utama dalam otonomi desa.

 Otonomi desa akan lebih bermakna jika ditopang dengan kapasitas birokrasi desa dalam hal pendataan, administrasi, informasi, pelayanan publik,

mengembangkan potensi lokal, menyelesaikan masalah, mengelola perencanaan dll.

 Penguatan kapasitas birokrasi desa ini membutuhkan penataan ulang

mengenai administrasi, data dan informasi, rekrutmen perangkat, sistem karir, maupun sistem renumerasi. Pada saat yang sama hal itu membutuhkan

(35)

Gambar

Tabel 1.Tipologi desa-desa di

Referensi

Dokumen terkait

Matriks SWOT dapat menggambarkan dengan jelas bagaimana strategi pemasaran perusahaan yang sesuai berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam rangka

lebih besar dari pada , sehingga kita dapat menyakini bahwa akan terjadi sebuah gempa bumi di kota Zadia pada suatu saat dalam 20 tahun ke depanB. Peluang terjadinya

Uraian diatas merupakan salah satu contoh konsep representasi dalam media, khususnya iklan. Produser iklan nampaknya ingin memberikan bingkai tentang gambaran kecantikan wanita yang

Perlindungan tangan : Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian

Keunggulan Economic Value Added (EVA) menurut Mulia (2002: 133), yaitu (1) memfokuskan pada nilai tambah dengan memperhitungkan beban sebagai konsekuensi investasi, (2)

garis B), profil B’ (hilangnya lung sliding dengan garis B), profil C (konsolidasi paru yang ekuivalen dengan gambaran garis pleura yang tebal dan

Mereka yakin bahwa “penghalang, seperti yang dirancang, memisahkan laguna dari laut dengan cara yang efektif, efisien, dan fleksibel, mempertimbangkan kondisi saat ini

Kedua format baik manual maupun elektronik juga merupakan alat komunikasi dan penyimpanan informasi kesehatan (Hatta,2013). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan