• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Syariat Islam di Garut Gerakan S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gerakan Syariat Islam di Garut Gerakan S"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

Gerakan Pemberlakuan Syari’at Islam di Garut:

GERAKAN SUPERFISIAL

NEOFUNDAMENTALISME ISLAM

Moeflich Hasbullah

Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Gunung Djati

Gerakan reformasi politik yang telah menumbangkan pemerintahan Orde Baru Soeharto dari panggung kekuasaannya tahun 1998, telah melahirkan ‘ledakan emosi massa tak terkendali’ yang muncul dalam berbagai luapan eforia. Ledakan itu terjadi dalam masa transisi pemerintahan dari sistem represif-otoriter ke demokratis antara tahun 1998 sampai akhir 2002. Selama Orde Baru, kemerdekaan berekspresi, beragama dan berbeda pendapat yang alami terkungkung dalam angkuhnya jargon-jargon ‘bhineka tunggal ika,’ ‘stabilitas nasional,’ ‘pembangunan ekonomi,’ ‘pancasila,’ ‘dwi fungsi ABRI,‘ dan sejenisnya. Begitu Orde Baru runtuh, ledakan massa meledak tak terkendali dalam ruang publik jagat nusantara. Ledakan sosial itu meletus dalam deretan peristiwa: kerusuhan etnis antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan; Konflik atas nama agama yang berkepanjangan di Ambon dan Poso; Pembantaian massal di Situbondo; Penjarahan pusat-pusat kapitalisme (kerusuhan Mei di Jakarta) sebagai akibat dari ketimpangan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi; Kekecewaan lokal terhadap pemerintah pusat (Aceh, Riau, Tasikmalaya, Papua) dan sebagainya. Masa transisi yang meresahkan tersebut relatif mereda sampai akhir tahun 2002, dan sejak itu, walaupun belum sepenuhnya pulih, kondisi berangsur-angsur kembali ke situasi normal.

(2)

demokratis dan konstitusional, Yusril bertekad tidak akan mundur memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai hasil dialog antara kelompok nasionalis dan Islam.1 Tetapi, sampai saat ini, perjuangan itu belum menemukan

hasilnya. Dalam kesempatan besar ketika UUD 1945 diamandemen dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2000 lalu, gagasan pemberlakuan kembali Piagam Jakarta tidak mendapatkan dukungan luas. Mayoritas fraksi-fraksi dalam sidang istimewa itu menyatakan keberatannya.

Sebagai memori kolektif yang masih mengendap kuat dalam ingatan dan alam fikiran kelompok Islam politik, gagalnya memperjuangkan Piagam Jakarta dalam sidang istimewa MPR, tidak lantas menyurutkan langkah mereka. Di level

grassroot di daerah-daerah, gagasan itu tetap hidup bahkan lebih kondusif untuk

direalisasikan. Diinspirasikan oleh kasus Aceh, beberapa daerah di Indonesia yang pengaruh Islamnya relatif kuat seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Riau muncul ke permukaan dalam bentuk tuntutan penerapan pemberlakuan syari’at Islam di daerahnya masing-masing. Di Jawa Barat, gagasan pemberlakuan Syari’at Islam muncul di lima kabupaten: Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Gagasan penerapan Syari’at Islam di kabupaten-kabupaten ini diperjuangan dalam semangat, volume dan kekuatan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan sosial, kultur, politik dan kesiapannya masing-masing. Di Kabupaten Cianjur dan Garut, syari’at Islam sudah dideklarasikan secara formal, sementara di Sukabumi, Tasikmalaya dan Ciamis baru berupa gagasan, rencana dan sosialisasi. Diantara lima kebupaten itu, dari aspek dukungan birokrasi, pemerintahan dan unsur-unsur masyarakat yang terlibat, nampaknya Kabupaten Garut adalah yang arusnya paling kuat. Unsur-unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif di kabupaten Garut beriring bersama sepakat mengusung gagasan penerapan Syari’at Islam.2

(3)

sosial di daerah dan struktur kesadaran masyarakat memungkinkan bagi pelaksanaan Syariat Islam? Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari wawancara terhadap tokoh-tokoh masyarakat lewat sebuah penelitian akan menjadi informasi penting dan berharga untuk mengukur kesadaran agama, tingkat pemahaman syari’at, partisipasi politik, kemurnian aspirasi dan kemungkinan pelaksanaan Syari'at Islam di daerah-daerah di Indonesia.

Penelitian ini mengambil sampel di wilayah Priangan Timur dengan fokus di Kabupaten Garut.3 Garut menjadi penting karena beberapa

pertimbangan: Pertama, Kabupaten Garut dan Wilayah Priangan Timur secara umum, sepanjang sejarahnya adalah daerah dengan pergolakan politiknya yang tinggi dan dikenal sebagai daerah historik pemberontakan Islam sejak pemberontakan Cimareme (1919), perlawanan KH. Yusuf Taudjiri - Cipari terhadap Belanda, pemberontakan KH. Zenal Musthofa Singaparna (Tasikmalaya) terhadap pemerintahan pendudukan Jepang sampai gerakan DI/TII Kartosuwiryo tahun 1948. Era reformasi, geliat gerakan Islam muncul lagi dikabupaten ini dengan dideklarasikannya penerapan Syari’at Islam tahun 2002.

Kedua, Garut adalah sebuah kota santri, dengan prosentase penganut Islamnya hampir 100%, dan ketiga, Garut bisa disebut miniatur Indonesia untuk keragaman gerakan dan organisasi Islam. Hampir semua gerakan Islam yang ada di Indonesia terdapat perwakilannya di Garut mulai dari ormas sosial agama dan pendidikan (NU, Muhammadiyah, Persis), ormas kader (HMI, PMII, IMM, Anshor), gerakan “sempalan” seperti Ahmadiyah, gerakan eksklusif seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Ikhwanul Muslimun, gerakan Islam garis keras semacam FPI dan Lasykar Jihad, Hizbut Tahrir, sampai gerakan bawah tanah yang misterius seperti DI dan NII. Dalam heterogenitas kelompok Islam seperti ini, adalah menarik melihat bagaimana persepsi, respon, tanggapan dan penghayatan serta dukungan mereka terhadap pemberlakuan Syari'at Islam yang sudah dideklarasikan di Kabupaten Garut. Namun sebelumnya, untuk melihat gambaran potensi, prospek dan konteks yang akurat dalam memahami gerakan Syari'at Islam, perlu digambarkan terlebih dahulu profil kontemporer kabupaten Garut.

Profil Kabupaten Garut Kondisi Penduduk

Secara historis, kota Garut pernah diwarnai oleh multi-etnis penduduknya. Sejak awal abad ke-20, kota ini sudah menunjukkan kondisinya sebagai kota yang dihuni oleh heterogenitas kelompok masyarakat. Sejak masa-masa awal abad ke-20, di kota Garut sudah terdapat ragam penduduk yang datang dari tiga wilayah penting di dunia: Eropa, Cina dan Timur Tengah (Arab/Pakistan).

(4)

Eropa, masuk juga etnis Cina dan Arab serta Pakistan. Masuknya gelombang orang asing ini akibat urbanisasi dan kebijakan dibukanya wilayah Priangan oleh penguasa Balanda untuk kaum imigran asing. Heterogenitas penduduk ini juga ditunjang oleh dibukanya lahan-lahan perkebunan teh dan dikenalkannya daerah-daerah pariwisata di wilayah Garut. Sebagai kelompok yang secara sosial dan politik lebih berpengaruh, membicarakan perkembangan Garut dan penduduknya pada masa pra kemerdekaan, tidak bisa lepas dari membahas peranan yang dipegang orang-orang asing ini.

Pada permulaan abad ke-20, orang-orang Inggris, Jerman, Itali, juga Belanda dan Cina yang ada di Garut membuka usaha-usaha perkebunan karet, kina dan teh di daerah-daerah seperti Cilawu, Cisurupan, Pakenjeng, Cikajang, Cisompet, Cikelet dan Pameungpeuk.4 Kemudian, Belanda membuka

lahan-lahan untuk usaha-usaha perkebunan teh di lima wilayah yaitu Giriawas, Cisaruni, Cikajang, Papandayan dan Darajat.5 Perkebunan-perkebunan teh ini,

selain areal ekonomi juga terkenal sebagai tempat rekreasi dan pariwisata yang indah karena berhawa sejuk. Tempat-tempat pariwisata lain kemudian dibuka yaitu Kawah Papandayan, Kawah Kamojang, Kawah Manuk, Kawah Talaga Bodas, Cipanas, Situ Cangkuang dan Situ Bagendit.

Perpaduan antara perkebunan-perkebunan teh yang sejuk dengan puncak-puncak gunung yang berkawah aman dan berpemandangan indah membuat pariwisata Garut pada permulaan abad ke-20 terkenal ke seluruh dunia. Dari informasi yang dikutip Kunto Sofianto dari buku The Garoet Express and Tourist Guide Geillustreerd Weekblad yang terbit tahun 1923, terlihat nuansa kemashuran parawisata Garut di dunia internasional. Pada tahun-tahun itu, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Garut datang dari Amerika, Inggris, Australia, Belanda dan Jepang. Orang-orang penting dan terkenal di masanya yang pernah berkunjung ke Garut adalah Raja Leopold dan Astrid, permaisurinya (tahun 1928). Kemudian beberapa bintang film terkenal seperti Charlie Chaplin, Renate Muller dan Hans Albers juga pernah datang. Susuhunan Pakubuwono X juga berkunjung pada tahun 1936 dan menginap di hotel Papandayan.6

Gelombang orang-orang asing yang datang ke Garut berbeda-beda waktunya. Dari catatan orang Belanda, kaum imigran Cina diperkirakan sudah ada sejak tahun 1895. Tapi menurut Sofianto, berdasarkan kelenteng yang ada di Garut, etnis Cina diperkirakan sudah bermukim sekitar 57 tahun sebelumnya, mendiami wilayah yang ketika itu terpisah dari kaum pribumi di sekitar Ciwalen/Sukaregang.7 Masuknya imigran Cina ke Garut ini disebabkan oleh

dibukanya wilayah Priangan (Bandung, Sumedang, Garut, Tasik dan Ciamis) oleh pemerintah Belanda untuk para pedagang Cina. Mereka datang dari berbagai tempat yaitu Hakka, Hokkien, Teo Chiu dan Kanton serta Kwangtung. Pekerjaan mereka pada umumnya berdagang.

(5)

koloni-koloni. Menurut van den Berg, di Pulau Jawa pada masa itu sudah terdapat enam koloni besar orang-orang Arab yaitu koloni Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya dan Sumenep, Madura. Koloni-koloni ini dibentuk oleh pemerintah Belanda karena setiap tahun jumlah mereka terus bertambah.8 Imigran Arab ke Pulau Jawa secara besar-besaran datang sekitar

abad ke-19 berasal dari daerah Hadramaut. Tetapi, Berg mencatat, imigran yang masuk ke Garut ketika itu hanya berjumlah 24 orang dan jumlah ini sedikit dibandingkan orang-orang Arab yang datang ke daerah-daerah lain di Nusantara. Kaum imigran Arab ini diperkirakan masuk sekitar tahun 1885,9

kemudian disusul orang-orang Pakistan sekitar 40 tahun kemudian (tahun 1920-an) yang berasal dari Punjab. Hampir semua orang Pakistan di Garut, berbaur dan menikah dengan penduduk setempat dan mata pencaharian mereka pada umumnya berdagang dengan membuka toko-toko kain/tekstil.

Berbeda dengan orang-orang Arab di tempat lain, dan berbeda dengan imigran Cina, orang-orang Arab yang masuk ke Garut tidak membentuk koloni dan tidak hidup secara eksklusif dari penduduk pribumi. Hal ini disebabkan oleh dua hal: Pertama, jumlah mereka yang sedikit sehingga tidak diperlukan daerah koloni yang terpisah, kedua, status mereka sebagai Muslim sehingga merasa tidak ada hambatan psikologis-ideologis. Kesamaan agama bahkan membuat mereka menyatu, merasa bersaudara dan penduduk pribumi tidak menganggap mereka sebagai orang asing seperti halnya terhadap bangsa Eropa dan Cina. Integrasi kultural itu salah satunya itu dibuktikan oleh banyaknya tali perkawinan antara para pendatang Arab/Pakistan dengan penduduk Garut.

Dari uraian di atas, nampak bahwa jauh sebelum masa kemerdekaan, Kota Garut, sebuah kota kecil di Priangan Timur sudah berfungsi sebagai kota heterogen baik secara ras, ertnis, kultur dan agama. Sejak abad ke-19, Priangan Timur sudah menjadi tempat tujuan berbagai pendatang asing baik bangsa Eropa sebagai penjajah, orang-orang Arab dan Pakistan yang menyebarkan Islam, dan etnis Cina yang bermaksud mengembara dan mengembangkan perdagangan. Kaum pribumi sudah terbiasa dengan heterogenitas kultural.

Selain kehadiran orang-orang asing sebagai pendatang, terdapat masyarakat Garut sebagai pribumi Sunda. Berbeda dengan penjajah yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan, berbeda juga dengan etnis Cina yang hidup eksklusif dan sedikit lebih makmur, penduduk pribumi berstatus sebagai terjajah, hidup bersahaja dan seadanya. Era pasca kolonial, terjadi pola relasi yang berbeda antara penduduk pribumi Garut dengan orang-orang asing ini. Pasca kemerdekaan, orang-orang-orang-orang Belanda dan bangsa Eropa lainnya hengkang setelah terusir oleh pekik kemerdekaan, orang-orang Cina secara kuantitas tidak berkembang di Garut dan tetap hidup eksklusif dalam komunitas mereka, sementara pendatang Arab dan Pakistan berbaur, menikah dan menjadi bagian penduduk pribumi.

(6)

tabel 1). Dari data yang terdapat dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie seperti dikutip Sofianto, jumlah penduduk kota Garut pada tahun 1915 adalah 15.000 orang. Tahun 1930 berkembang menjadi 33.612 orang yang terbagi kepada 31.373 orang penduduk pribumi, 454 orang Eropa dan 1.683 orang etnis Cina.10 Tetapi

65 tahun kemudian (1980), jumlah angka itu melejit menjadi 1.483.035 orang. Tahun 1990 bertambah lagi menjadi 1.748.616 orang. Tahun 1999 bertambah lagi menjadi 1.901.462 jiwa dengan komposisi pemeluk Islam sebesar 99,55%, 0,25% Kristen dan pemeluk agama lainnya 0,20% yang terkonsentrasi di Kecamatan Garut Kota.11 Kemudian hasil sensus terakhir tahun 2000 tercatat penduduk

Garut bertambah lagi mencapai jumlah 2.051.092 jiwa. Angka-angka itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Garut terus mengalami peningkatan. Selama kurun waktu 1990-2000, rata-rata perkembangan sebesar hanya 1,66 persen hampir sama dengan masa perkembangan dekade sebelumnya yaitu kurun 1980-1990.12

Potensi Ekonomi

Perekonomian kabupaten Garut dikembangkan dari berbagai potensi seperti sumber daya alam (pertambangan dan pelabuhan laut), industri, kepariwisataan dan terutama agribisnis. Kabupaten berpenduduk lebih dari 2 juta orang lebih ini menempati urutan kedua di Jawa Barat sebagai sentra agribisnis setelah kabupaten Bandung. Hasil pertanian Garut yang menjadi unggulan adalah timun Jepang, paprika (cabe manis), cabe shisito, kapri manis, tomat cherry, radicchio dan cost lettuce (sejenis salada), kedelai Jepang (edamame), kentang dll. Selain itu juga, Garut adalah penghasil teh, karet, kelapa sawit dan kakao (cokelat). Dalam sektor industri, beberapa produk unggulan termashur juga dihasilkan dari kabupaten ini seperti industri pangan (dodol dan gule merah aren), industri sandang (kain sutra dan batik Garutan), industri kulit (penyamakan dan kerajinan kulit), industri kimia (minyak akar wangi dan minyak cengkeh) dan industri kerajinan umum (bulu mata).

Produk pertambangan dan energi dibagi kepada sumber daya logam dan non-logam. Diantaranya batu gunung, tanah urug, batu apung, kaolin, andesit, pasir gunung, belerang, obsidian, emas DMP, batu mulia, batu templek, batu gamping, pasir besi, pasir pantai, gypsum, dan panas bumi sebagai sumber daya energi. Sementara itu, potensi pariwisata yang dimiliki Garut adalah wisata gunung (Gunung Papandayan, Guntur dan Talaga Bodas), wisata air panas (Cipanas), wisata hutan (Hutan Sancang), wisata pantai (Santolo, Sayang Heulang, Ranca Buaya), wisata danau (Candi Cangkuang, Situ Bagendit), wisata purbakala (Candi Cangkuang, Makam Godog) dan geowisata (Curug Orok, Kawah Darajat).

(7)

mengalami fluktuasi tetapi relatif konstan dengan prosentase terbesar. Pada tahun 1993, kontribusinya sebesar 40,08 persen terhadap PAD, kemudian pada tahun 1994 turun menjadi 37,98 persen. Tahun 1995 sebesar turun lagi menjadi 35,79 persen. Tahun 1996 sebesar 32,45 persen. Tahun 1997 sebesar 32,68 persen naik sedikit dari tahun sebelumnya, lalu tahun 1998 melonjak lagi menjadi 38,74 persen dan tahun 1999 turun lagi sedikit menjadi sebesar 34,91 persen. Kontribusi terbesar kedua terhadap PAD diberikan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 27,14 persen, seterusnya diikuti oleh sektor jasa sebesar 15,74 dan kemudian sektor-sektor lain. Dari tabel 3 (lihat lampiran), dijelaskan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap PAD kabupaten Garut. Tahun 2002 kontribusi sektor-sektor seperti pertanian, perdagangan dan jasa mengalami perkembangan lagi walaupun urutan terbesarnya tidak mengalami perubahan. Sektor pertanian masih terbesar dengan menyumbangkan kontribusi 40,96%. Kedua adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 31,12% dan ketiga, sektor jasa sebesar 8,99%.13

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) kabupaten Garut sejak 1994 sampai sebelum krisis moneter dan kejatuhan Orde Baru relatif stabil berkisar antara 6 – 7 persen. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru dan krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan berpengaruh terhadap angka pertumbuhan di kabupaten Garut. Pada tahun 1998, angka tersebut mengalami kebangkrutan sampai mencapai angka jauh dibawah nol (minus) yaitu –11,64 persen. Tahun 1999, walaupun krisis belum juga sembuh, pertumbuhan merangkak lagi mencapai 2,52 persen (lihat tabel 4 di bawah ini).

Tabel 4

Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut Periode 1994-1999

Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi

1994 6,11 %

1995 7,03 %

1996 6,81 %

1997 3,03 %

1998 -11,64 %

1999 2,52 %

2002 0,31 – 0,63%

(8)

berakhirnya panen raya.14 Tetapi 0,31% tersebut relatif masih terhitung besar

karena di hampir semua sektor dalam Nilai Tambah Bruto (NTB) mengalami peningkatan. Sektor industri pengolahan misalnya NTB-nya sebesar Rp. 47.64 miliar, sebelumnya Rp. 46,81 miliar. Sektor listrik, gas dan air bersih sebesar Rp. 4,62 miliar, sebelumnya Rp. 4,56 miliar. Sektor bangunan dan konstruksi sebesar Rp. 54,44 miliar, sebelumnya Rp. 54,01 miliar. Sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 158,42 miliar, sebelumnya Rp. 156,29 miliar. Sektor angkutan dan komunikasi sebesar Rp. 22,14 miliar, sebelumnya Rp. 21,82 miliar. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp. 27,98 miliar, sebelumnya 27, 90 miliar. Sektor jasa-jasa sebesar Rp. 89,44 miliar, sebelumnya Rp. 88,27 miliar. Lengkapnya lihat tabel berikut ini.

Tabel 5

Nilai Tambah Bruto (NTB) Kabupaten Garut Menurut Sektor pada Catur Wulan Pertama dan Kedua Tahun 2002

Tahun 2002 No. SEKTOR

Catur Wulan I Catur Wulan II 1. Pertanian, Perternakan, Kehutanan dan Perikanan 201,61 miliar 198,47 miliar 2. Pertambangan dan Penggalian 1,18 miliar 1,18 miliar 3. Industri Pengolahan 46,81 miliar 47,64 miliar 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 4,56 miliar 4,62 miliar 5. Bangunan/Konstruksi 54,01 miliar 54,44 miliar 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 156,29 miliar 158,42 miliar 7. Angkutan dan Komunikasi 21,82 miliar 22,14 miliar 9. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 27,90 miliar 27,98 miliar

10. Jasa-jasa 88,27 miliar 89,44 miliar

Data-data di atas menunjukkan bahwa walaupun angka pertumbuhan mengalami penurunan tetapi laju pertumbuhan sebesar 0,31%, menurut Koswara, terhitung relatif besar apalagi beberapa sektor mengalami peningkatan.15 Misalnya, pertambangan dan penggalian meningkat sebesar

0,39%, industri pengolahan naik sebesar 1,77%, listrik dan air bersih bertambah 1%, bangunan dan konstruksi 0,78%, perdagangan, hotel dan restoran 1,36%, angkutan dan komunikasi 1,48%, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 0,30% serta jasa-jasa sebesar 1,33%.

(9)

Tabel 6

Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut Tahun 1998-1999 Berdasarkan Sektor-sektor Pembangunan

TAHUN

No. SEKTOR 1998 (%) 1999 (%)

1. Pertanian, Perternakan, Kehutanan dan Perikanan 9,99 5,87 2. Pertambangan dan Penggalian 49,94 3,64

3. Industri Pengolahan 0,77 0,28

4. Listrik, Gas dan Air Bersih 2,30 6,02

5. Bangunan/Konstruksi 33,58 4,34

6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 16,50 1,26

7. Angkutan dan Komunikasi 8,47 0,26

9. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 16,75 0,52

10. Jasa-jasa 0,90 1,41

Dari data-data ekonomi yang dijelaskan diatas, dapat dijelaskan bahwa,

pertama, kondisi perekonomian kabupaten Garut merupakan sub-sistem dari

sistem ekonomi propinsial dan nasional. Kondisi perekonomian di daerah sangat tergantung pada perkembangan ekonomi nasional. Minimnya sumber-sumber ekonomi regional yang dapat dijadikan sebagai modal mandiri untuk pembangunan kabupaten agar proses pembangunan tidak bergantung pada pemerintah pusat. Kedua, andalan pembangunan ekonomi Garut lebih pada pertanian (agribisnis). Ekonomi pertanian sebagai tumpuan pembangunan menunjukkan bahwa mayoritas masyarakatnya hidup dalam alam agraris dan mengandalkan roda perekonomiannya pada sektor-sektor ekonomi tradisional (sawah, perkebunan dan pemanfaat lahan lainnya).

Kondisi Pendidikan dan Sumber Daya Manusia

Banyak kondisi di daerah merupakan refleksi situasi dan kondisi di tingkat nasional. Demikian juga kondisi pendidikan di kabupaten Garut sedikit banyak merupakan refleksi dari kondisi pendidikan di tingkat nasional. Kondisi tersebut adalah rendahnya mutu pendidikan dan rendahnya jumlah lulusan sekolah dari total jumlah penduduk.

(10)

dari total pencari sebanyak 7.551 orang. Disusul lulusan SLTP sebanyak 920 orang, baru kemudian sarjana sebanyak 707 orang, lalu lulusan SD sebanyak 321 orang. Lengkapnya lihat tabel di bawah ini.

Tabel 7

Jumlah Pencari Kerja yang Terdaftar di Kantor Depnaker Kabupaten Garut Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 1999

BANYAK PENCARI KERJA (ORANG) JENJANG PENDIDIKAN

LAKI-LAKI PEREMPUAN

JUMLAH

SD 122 199 321

SLTP 402 518 920

SLTA 3.656 1.729 5.385

D1/AKTA 1 1 6 7

D2/AKTA 2 37 80 117

D3/AKTA 3 53 41 94

S1/SARJANA 447 260 707

JUMLAH 4.718 2.883 5.551

Sumber: Kantor Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Garut Tahun 1999

Jumlah penduduk menurut golongan umur dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan juga menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan di kabupaten Garut. Dari data tahun 1999, penduduk yang berumur antara 25-65 berjumlah 864.182 orang. Dari jumlah 864.182 ini, hanya 9.235 orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi (perguruan tinggi/D IV). Dari jumlah 221.668 orang yang berusia kuliah yaitu antara 19-24, hanya 859 orang yang menyelesaikan perguruan tinggi,16 selebihnya hanya lulusan SD sebanyak

116.010 orang, lulusan SLTP 39.843 orang, lulusan SLTA 44.097 orang dan 16.813 orang tidak menyelesaikan SD. Kemudian dari 276.946 orang yang berusia 7-12 tahun, sudah menamatkan SD terdapat sebanyak 20.139 dan selebihnya yaitu 256.807 tidak dan belum menamatkan SD. Selengkapnya data golongan umur dan tingkat pendidikan dapat diamati dari tabel berikut ini.

Tabel 8

Penduduk Berumur 5 Tahun ke Atas menurut Golongan Umur dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Golongan

Umur Tdk/Belum

Tamat SD SD SLTP SLTA

Diploma I /III

Akademi/ D III P.T/

D IV

T.T Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

05 – 06 97.382 0 0 0 0 0 0 0 97.382

(11)

13 – 15 20.793 88.394 14.834 0 0 0 0 0 124.021 16 – 18 9.912 61.230 49.591 9.345 1.232 0 0 0 131.310 19 – 24 16.813 116.010 39.843 44.097 2.101 1.945 859 0 221.668 25 – 64 161.871 498.071 77.446 88.417 6.824 4.318 9.235 0 846.182 65 + 47.502 41.815 2.632 6.906 206 152 162 0 99.375

T.T 412 0 0 3 0 0 0 0 415

Sumber : Sosialisasi Hasil Sensus Penduduk 2000 Kab. Garut, BPS Kab. Garut

Penduduk yang menyelesaikan pendidikan tertinggi yang ditamatkan berdasarkan wilayah administrasi (kecamatan) menunjukkan gejala ketidakseimbangan pendidikan dan ketidakmerataan antar daerah. Yang paling banyak menyelesaikan pendidikan dari tamatan SLTP sampai Perguruan Tinggi berada di kecamatan Tarogong, Garut Kota dan Karangpawitan. Dari 1.797.299 orang penduduk kabupaten Garut (tahun 1999) hanya 10.256 orang yang menyelesaikan pendidikan S1. Dari 10.256 orang tersebut, 2.108 orang berada di kecamatan Tarogong, kemudian 1.563 orang berada di kecamatan Garut Kota dan 1.014 orang berasal dari kecamatan Karangpawitan. Sisanya, di 28 kecamatan lainnya, rata-rata hanya terdapat sekitar 300 orang sarjana S1 perkecamatan. Di 12 kecamatan hanya terdapat kurang dari 100 orang sarjana S1 yaitu kecamatan Pamulihan (13 orang), Peundeuy (16), Cibalong (26), Pakenjeng (39), Singajaya (42), Cisompet (45), Talegong (48), Cikelet (52), Banjarwangi (53), Cibiuk (56), Selaawi (76) dan Cisewu (88). Sementara itu, dari 611.492 orang usia SD se kabupaten Garut (1999), jumlah terbanyak yang tidak tamat dan masih sedang belajar di SD adalah di kecamatan dan Cisurupan masing-masing berjumlah 42.087 dan 41.305 anak. Dari 825.659 orang yang hanya tamat SD, jumlah terbanyak di kecamatan Malangbong (44.875 anak), kemudian Samarang dan Tarogong masing-masing 43.529 dan 43.355 anak. Data lengkap tahun 1999 dari masing-masing kecamatan tentang jumlah tamatan SD sampai perguruan tinggi dibandingkan dengan jumlah total penduduk bisa dilihat dalam tabel 9 (lihat lampiran).

Rendahnya tingkat pendidikan, menyebabkan Garut menempati posisi di bawah rata-rata kualitas SDM di Jawa Barat. Ukuran untuk mengukur kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari laporan yang diungkapkan oleh Bappeda Jabar, dimuat Harian Pikiran Rakyat11 September 2002, IPM Jawa Barat tahun 1996 adalah 68,13 dan pada tahun 1999 mengalami penurunan menjadi 64,71. Baik pada tahun 1996 maupun 1999, IPM Garut di bawah rata-rata Jawa Barat tersebut. Tahun 1996 IPM Garut hanya 63,9 dan tahun 1999 61,7. Selain Cirebon (61,6), Indramayu (56,4) dan Kerawang (60,9), seluruh IPM kabupaten di Jawa Barat berada di atas Kabupaten Garut yaitu 63 ke atas.17 Perbandingan lengkap IPM seluruh kabupaten di Jawa Barat

lihat tabel 10 (lampiran).

(12)

bersekolah di 8 kabupaten se-Indonesia yang bekerjasama dengan UNICEF, Garut memiliki persentase yang paling rendah. Persentase anak (laki-laki dan perempuan) usia 6 – 15 yang melanjutkan sekolah di 8 kabupaten tersebut adalah Pandeglang sekitar 80% perempuan dan 73% laki-laki, Sukabumi sekitar 75% perempuan dan 73% laki, Probolinggo sekitar 78% perempuan dan 76% laki-laki, Lombok Timur sekitar 85% perempuan dan 80% laki-laki-laki, Kota Kupang 95% perempuan dan 95% laki-laki, Bone 80% perempuan dan 75% laki-laki, dan Biak Numfor 90% perempuan dan 89% laki-laki. Sedangkan anak usia 6 – 15 yang melanjutkan sekolah di Garut 38% perempuan dan 40% laki-laki (Lihat tabel 11 dibawah).

Tabel 11

Presentase Anak Usia 6-15 yang Bersekolah di 8 Kabupaten Kerjasama UNICEF

Rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas SDM yang ditunjukkan oleh kecilnya prosentase penduduk yang berpendidikan tinggi ini bertolak belakang dengan kuantitas perguruan tinggi yang ada di Garut yang hingga saat ini berjumlah 13 buah (lihat tabel 13). Jumlah ini sebenarnya lebih dari memadai berada dalam satu wilayah kabupaten. Tetapi, karena mayoritas penduduk Garut bekerja sebagai petani dan pedagang (tabel 12) , tampaknya kemampuan mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat tinggi tidak terjangkau. Dari tabel 9 diketahui bahwa jumlah terbesar penduduk Garut hanya menamatkan SD (825.659 orang). Hanya sedikit yang mampu meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Jumlah lulusan SMP berkurang dari jumlah lulusan SD yaitu hanya 184.346, kemudian SLTA hanya 148.768 kemudian sarjana hanya 10.256 dari total penduduk 1.797.299 pada tahun 1999.

(13)

Bandung yang hanya sekitar 50 km, menyebabkan banyak orang tua lebih memilih mengkuliahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi di Bandung yang sudah terkenal seperti ke ITB, UNPAD, IAIN, IKIP (UPI) dan perguruan tinggi lain yang berstatus swasta.

Kehidupan Agama dan Sosial Masyarakat

Tidak seperti Jakarta dan ibu kota-ibu kota propinsi yang cukup intensif mengalami modernisasi, kota-kota tingkat kabupaten di seluruh Indonesia umumnya tertinggal atau lambat mengalami proses itu. Garut adalah salah satu prototipe kota yang terlambat mengalami proses modernisasi. Kelambatan ini menyebabkan Garut --relatif serupa dengan kota-kota lainnya di Jawa Barat--memiliki lingkungan sosial kultural yang khas. Kekhasan itu adalah pembangunan yang kurang intensif (dibandingkan kota-kota besar) telah menciptakan perubahan sosial, transformasi nilai-nilai, modernisasi dan westernisasi yang setengah-setengah. Di sisi lain, tradisi kehidupan keagamaan yang telah menemukan basis historis dan kulturalnya relatif berhasil mempertahankan citra masyarakat rurban (desa-kota) yang relijius. Walhasil, kebanyakan kota-kota kabupaten di Indonesia tidak termodernisasikan atau terbaratkan sepenuhnya karena harus berhadapan dengan basis relijiusitas masyarakat yang telah mengakar.

Di kota-kota kabupaten, umumnya, mudah menemukan bukti-butki adanya pengaruh modernisasi dan westernisasi dalam skalanya yang berbeda-beda, tetapi juga tradisionalitas nilai-nilai masyarakat tidak sepenuhnya terhempas dan tersingkirkan ke pojok-pojok sejarah dan sudut-sudut pembangunan. Tarik menarik antara modernisasi yang tidak sepenuh hati dengan tradisionalitas yang masih tegar di wilayah-wilayah rurban di Indonesia ini telah membentuk suatu sub-kultur baru dalam bentuk dislokasi identitas: menjadi kota sepenuhnya (lingkungan sosio-kultur modern) tidak, karena kuatnya lingkung tradisi dan sistem nilai lokal, sepenuhnya tradisional juga tidak, karena modernisasi terlalu kuat dan sedikit banyak telah membawa perubahan terutama dalam cara berfikir dan penggunaan alat-alat produksi.

Di beberapa kota kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal sebagai kota-kota santri --umumnya dicirikan oleh mayoritas penduduk Muslim, banyaknya pesantren dan institusi-institusi pendidikan Islam serta kuatnya relijiusitas kultur masyarakat-- pengaruh modernisasi terutama westernisasi umumnya tidak terlalu kuat. Hal ini diantaranya dicirikan oleh tidak berkembangnya industri hiburan modern dan pusat-pusat kebudayaan

pop (pop culture) seperti mall yang lengkap dan megah, bioskop, nite-club, pub,

(14)

modernisasi, sentra-sentra hiburan masyarakat yang bersifat ‘massal’ telah digeser menjadi ‘kolegial’ kemudian ‘individual’ ke rumah-rumah melalui televisi dan terutama VCD. Selain Asia dan Yogya Department Store di Jalan Ahmad Yani dan Jalan Siliwangi (yang juga terhitung kecil untuk ukuran kota besar), mall dan pusat-pusat hiburan modern lainnya tidak ditemukan di Garut.

Di sisi lain, diuntungkan oleh lokasinya yang ‘bukan jalan lintas propinsi’

(locked area), suasana dan nuansa relijiusitas Garut nampak cukup terjaga. Selain

tidak ditemukannya pusat-pusat hiburan sekuler, saat ini di Garut terdapat 108 Raudlatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (MTs), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942 Madrasah Diniyah (MD) dan 515 pesantren18 (dalam tabel 14 hanya daftar 29 pesantren yang terhitung besar).

Jumlah lembaga pendidikan Islam ini mungkin tidak yang terbesar dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, tetapi dengan jumlah itu saja Garut sudah lama dikenal sebagai kota santri dengan nuansa relijius yang cukup terasa.

Sebaliknya, dari sulitnya ditemukan tempat-tempat hiburan massal yang menyuguhkan nuansa Barat, hampir semua organisasi massa Islam, dari yang terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah), yang radikal dan moderat yang umum dijumpai di tempat-tempat lain di Indonesia (Lasykar Jihad, Front Pembela Islam) sampai gerakan-gerakan “bawah tanah” seperti Ikhwanul Muslimun dan Darul Islam semuanya bisa ditemukan di Garut.19 Kelengkapan

adanya ormas-ormas Islam ini menguatkan asumsi kota Garut selama ini sebagai kota pergerakkan dan pemberontakan Islam.

Yang fantastis, seperti halnya di daerah-daerah lain di Jawa Barat, relijiusitas masyarakat Garut dicirikan oleh jumlah tempat ibadah yaitu masjid, langgar dan mushalla. Meski tidak mutlak menunjukkan korelasi positif antara jumlah masjid dengan kesalehan (terutama kesalehan sosial) dan relijiusitas penduduknya, pendirian masjid di kalangan masyarakat Muslim selalu merupakan ekspresi religiusitas dan emosi keagamaan umatnya yang dibangun atas kesadaran dan kebutuhan bersama secara bergotong-royong. Dengan demikian, adalah proporsional mengukur tingkat relijiusitas masyarakat diantaranya oleh jumlah rumah ibadah. Hampir semua kecamatan di Kabupaten Garut memiliki masjid, langgar dan mushalla yang ratusan jumlahnya. Kecamatan Garut Kota misalnya memiliki 547 tempat ibadah yang terdiri dari 179 masjid, 266 langgar dan 102 Mushalla. Kecamatan Karangpawitan memiliki 583 buah: 162 masjid, 329 langgar dan 92 mushalla. Kecamatan Samarang memiliki 821 tempat ibadah shalat: 265 masjid, 331 langgar dan 225 mushalla. Bahkan ada yang hampir mencapai 1000 buah (963) yaitu di kecamatan Pakenjeng yang terdiri dari 185 masjid, 341 langgar dan 437 mushalla. Jumlah seluruhnya se-kabupaten Garut adalah 14.240, terdiri dari 3.992 masjid, 6.720 langgar dan 3.528 mushalla.20 Catatan lengkap jumlah rumah ibadah di

(15)

Nuansa relijius kota santri ini dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan lambaga dakwah yang ada di Garut. Jumlah lembaga dan organisasi dakwah di sebuah daerah menunjukkan intensitas dakwah di daerah tersebut karena lembaga dakwah hampir dapat dipastikan dibentuk karena motivasi dan semangat keagamaan dan merupakan bentuk murni partisipasi sosial masyarakat (genuine social participation) yang bersifat non-profit dan dikelola secara swadaya masyarakat.

Lembaga dakwah yang ada di Garut bisa diklasifikasikan kepada empat jenis organisasi yaitu organisasi dakwah (orwah), majelis ta’lim, remaja masjid dan lembaga pendidikan al-Qur’an. Dari data yang tersedia di Seksi Penerangan Agama Islam Departemen Agama Kabupaten Garut tahun 2001, tercatat bahwa jumlah orwah di Garut ada 364 buah dengan perincian 237 orwah yang terdapat secara nasional, 14 yang khusus tingkat propinsi dan 113 khusus hanya di tingkat kabupaten Garut. Semua kecamatan di kabupaten Garut memiliki perwakilan orwah tingkat nasional (lihat tabel 16). Jumlah majelis ta’lim ada 4.791 kelompok dengan jumlah terbanyak terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu sebanyak 577 kelompok pengajian. Jumlah remaja masjid juga cukup banyak yaitu 722. Dari seluruh kecamatan, jumlah terbanyak organisasi remaja masjid juga sama terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu 162 buah.

Jumlah lembaga pendidikan khusus al-Qur’an dari mulai tingkat taman pendidikan (TP) sampai pondok pesantren (PP) berjumlah 430 lembaga dengan total murid keseluruhannya sebanyak 40.083 murid. Jumlah ini merupakan gabungan dari murid Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) sebanyak 22.451, Taman Kanak-kanak al-Qur’an (TKQ) sejumlah 11.304 murid dan santri pondok pesantren al-Qur’an (PPQ) sebanyak 6.327 orang.21

Berbagai data di atas menunjukkan bahwa intensitas kehidupan sosial keagamaan masyarakat kabupaten Garut cukup tinggi dilihat dari kuantitas lembaga keagamaan yang ada seperti pesantren, institusi pendidikan Islam, tempat ibadah dan lembaga dakwah serta majelis ta’lim yang jumlahnya mencapai ratusan di setiap kecamatan. Jumlah penduduk Muslim yang hampir 100 persen di kabupaten Garut menjadi basis tersendiri dari gencarnya usaha-usaha pengembangan dakwah Islam dan pengembangan jumlah organisasi keagamaan yang cukup banyak berada dalam sebuah kabupaten. Kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan sosial ini membentuk sistem sosial yang

religious-base worldview (dunia pandang relijius). Hal ini misalnya terlihat pada upaya menghadirkan agama dalam pemecahan masalah-masalah sosial kontemporer seperti upaya penerapan Syari’at Islam untuk penanganan kasus-kasus KKN dan masalah-masalah kerawanan sosial.

(16)

sekitar 5% dari jumlah penduduk. Misalnya jumlah keluarga miskin pada tahun 2002, hanya 98.303 keluarga. Bila dihitung perjiwa dari total penduduk yang berjumlah 2 juta lebih, ini berarti hanya sekitar 5% dari total penduduk Garut. Data-data lain, anak terlantar ada 112.356 jiwa, anak jalanan 314, wanita rawan sosial ekonomi 25.094 orang, korban narkoba 162 orang, wanita tuna susila (WTS) 79 orang, eks-narapidana 504 orang, gelandangan dan pengemis 309 orang.22 Jumlah anak jalanan dan bandar narkoba kebanyakan datang dari luar

Garut Kota,23 sementara orang-orang terlantar kebanyakan datang atau dikirim

dari luar Garut, seperti Jawa Tengah.24

Latar Belakang Sosial Historis Garut Daerah Pemberontakan Islam

Diantara beberapa kota di wilayah Jawa Barat, Garut adalah daerah yang memiliki beberapa peristiwa pergolakan politik yang melibatkan peranan orang-orang Islam. Pergolakan itu berbentuk perlawanan terhadap para penguasa kolonial seperti Belanda dan Jepang, dan terhadap pemerintahan sendiri di masa kemerdekaan. Pada zaman kolonial Belanda, meletus sebuah peristiwa pemberontakan yang dikenal dengan peristiwa Pemberontakan Cimareme atau

Peristiwa Garut 1919. Peristiwa itu terjadi di Desa Cikendal Leles Garut pada tanggal 7 Juli 1919. Peristiwa tersebut muncul dari kewaspadaan berlebihan pemerintah kolonial Balanda terhadap masyarakat pribumi.25 Pemicu Peristiwa

Garut 1919 itu bermula dari sebuah kesewenang-wenangan pemerintah kolonial dalam menetapkan harga hal jual beli hasil panen antara pemerintah dengan masyarakat pribumi. Penetapan harga padi hasil panen yang murah dan merugikan petani yang ditentukan sepihak oleh pemerintah Belanda ditolak oleh Haji Hasan bersama para pengikutnya yang kemudian berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Aqib Suminto mengisahkannya sebagai berikut:

Pemerintah kolonial pada masa itu menetapkan bahwa para petani wajib menjual sejumlah tertentu hasil panen padinya kepada pemerintah. Haji Hasan yang memiliki 10 bahu sawah dengan hasil 250 pikul padi, diwajibkan menjual 42 pikul padinya kepada pemerintah, dengan harga f.4,-per pikul. Harga f.4- per pikul menurut laporan pemerintah di Volksraad lebih tinggi daripada harga setempat. Padahal Soerabajaasch Handelsblad, harga padi setempat pada saat itu sudah mencapai f.7,50 per pikul. H. Hasan (selanjutnya disingkat HH) yang setahun sebelumnya dipaksa harus memusnahkannya tanamannya dan menggantinya dengan padi, merasa berkeberatan atas ketentuan ini terutama karena HH menanggung kehidupan 84 orang anggota keluarga. Bukan tentang harga, tapi tentang ketentuan jumlah. Ia hanya menghendaki keringanan dengan hanya menjual 10 pikul.26

(17)

secara lisan. Permohonan Haji Hasan tidak digubris, bahkan sikapnya dianggap sebagai pembangkangan. Akhirnya, pada hari Senin tanggal 7 Juli 1919, Residen, Asisten Residen dan Bupati mendatangi desa Cikendal untuk menangkap Haji Hasan dengan rombongan sekitar 40 orang tentara dan 27 orang polisi bersenjata. Dalam suatu dialog yang panas, Haji Hasan menolak perintah agar ikut ke Garut. Bahkan bersama pengikutnya ia masuk ke rumah, menutup pintu dan mengumandangkan zikir bersama sebagai usaha bertahan. Kemudian, rumah tersebut diberondong senjata. Dikabarkan, empat orang meninggal seketika termasuk Haji Hasan dan 19 lainnya luka-luka.27

Berkaitan dengan peristiwa tersebut, juga dikenal seorang ulama pejuang yang kharismatik bernama KH. Yusuf Taujiri (1900–1982) yang kemudian ketokohannya dihormati dan mewarnai sejarah Islam Garut. Yusuf Taujiri, seorang aktifis Sarekat Islam (SI), dipenjara selama dua bulan oleh pemerintah Belanda karena terlibat dalam peristiwa pemberontakan Cimareme 1919. Tahun 1939, ketika SI pimpinan Abikusno Cokrosuyoso memecat Kartosuwiryo, Yusuf bersama Kartosuwiryo mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPK – PSII). Yusuf pun menjadi pemimpin Hizbullah–pasukan gerilya Islam dibawah Masyumi-- cabang Wanaraja. Pada masa revolusi, ia membentuk Lasykar Darussalam yang menjadi salah satu unsur BKR (Badan Keamanan Rakyat). Tetapi kemudian ia bentrok dengan Kartosuwiryo pada saat Kartosuwiryo hendak melaksanakan politik hijrah. Bagi Yusuf, belum saatnya dilakukan hijrah. Pecah dengan Kartosuwiryo, ia mendirikan pesantren Darussalam di Cipari Garut untuk melaksanakan program pendidikan masyarakat. KH. Yusuf Taujiri adalah seorang ulama mandiri yang tegas pendirian. Pesantrennya sering diserang oleh kelompok Darul Islam (DI) karena ia menolak ajakan Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Di sisi lain, Yusuf pun sering mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda dalam beberapa peristiwa.28

(18)

Yang paling monumental dari sejarah Garut adalah gerakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Peristiwa proklamasi DI/TII atau gerakan Darul Islam di Garut bisa dikatakan “bermula” atau sebagai akibat dari Persetujuan Renville antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik pada bulan Januari 1948. Salah satu bunyi Persetujuan Renville adalah pasukan Republik akan ditarik dari daerah-daerah yang resmi dikuasai Belanda. Ini berarti pasukan Republik harus meninggalkan hampir seluruh Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Ini juga berarti pembatasan wilayah Republik Indonesia di beberapa bagian Jawa termasuk Jawa Barat.30 Bunyi persetujuan itu

direspon berbeda oleh dua kelompok pasukan: pasukan tentara resmi Republik tidak punya pilihan kecuali taat terhadap persetujuan karena persetujuan itu dilakukan oleh pemerintah yang sah, termasuk ke dalam pasukan resmi ini adalah Divisi Siliwangi Jawa Barat. Masyumi sebagai partai politik juga mengikuti sikap pemerintah Republik yaitu melaksanakan isi persetujuan. Tetapi, pasukan gerilyanya, yaitu Hizbullah dan Sabilillah –pasukan bersenjata partai besar Islam Masyumi-- menolak persetujuan itu dan enggan mundur dari Jawa Barat. Kartosuwiryo sebagai politisi Masyumi yang juga tidak setuju dengan perjanjian itu, bersama dengan pasukan Hizbullah dan Sabilillah memilih tetap tinggal di Jawa Barat. Menurut keyakinan mereka perjuangan melawan Belanda harus dilanjutkan sehingga tidak ada alternatif lain kecuali tetap tinggal di Jawa Barat dan mengkoordinasikan perlawanan disitu.31

Akibatnya, pasukan tentara Republik termasuk Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat dan hijrah ke Jawa Tengah. Dalam waktu dua bulan, menurut Kahin, sekitar 35.000 pasukan Republik ditarik dari Jawa Barat dan sekitar 4.000 pasukan gerilya –sebagian besar adalah batalyon-batalyon Masyumi— tetap tinggal di Jawa Barat.32 Yang tinggal di Jawa Barat itu adalah

pasukan Hizbullah-Sabilillah dan Kartosuwiryo. Situasi ini dimanfaatkan oleh Kartosuwiryo untuk mempersiapkan pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian diproklamasikan tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisampang - Cisayong. Tidak adanya tentara Republik dan kenyataan bahwa gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah yang paling besar dan kuat, menjadi alasan Kartosuwiryo mempersiapkan pendirian Negara Islam Indonesia. Sebagai tokoh Masyumi dan Partai Sarekat Islam Indonesia yang disegani, Kartosuwiryo kemudian menggabungkan Hizbullah dan Sabilillah menjadi Tentara Islam Indonesia. Langkah-langkah Kartosuwiryo semakin mendapat dukungan karena setahun kemudian ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat, mereka menemukan rakyat yang kecewa kepada Republik Indonesia karena melakukan perjanjian Renville.

(19)

perlengkapan senjata api.33 Berikut ini uraian tentang aktifitas dan pengaruh

besar Darul Islam di seluruh Jawa Barat:

Antara tahun 1950 dan 1957 kegiatan Darul Islam dilaporkan dari seluruh Priangan. Pasukan Darul Islam beroperasi dari simpang gunung di sebelah barat, dengan ada kalanya masuk ke dalam daerah Banten, sampai Sidareja, melalui perbatassan dengan Jawa Tengah, di timur. Pengaruh Negara Islam Indonesia dan tentaranya terutama kuat terasa di Priangan tenggara, di kabupaten-kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Selama bertahun-tahun mereka menguasai daerah-daerah luas. Tak ada seorang pun prajurit Tentara Republik yang berani mencoba masuk ke dalam apa yang disebut wilayah-wilayah de facto Negara Islam Indonesia ini. Karena kehilangan dukungan Tentara Republik, pegawai negeri dan kepala desa serta para pembantu mereka lari, dengan meninggalkan wilayah mereka diserahkan ke dalam pengawasan mutlak Pemerintahan Sipil Negara Islam Indonesia. Di daerah-daerah yang berbatasan, kepala-kepala desa Republik muncul di desanya hanya waktu siang hari, dan mencari perlindungan ke tempat aman di kota pada malam harinya.

Sudah sejak 1956, Negara Islam Indonesia menguasai seperlima Kabupaten Tasikmalaya, yaitu 75 dari semuanya 201 desa seluruhnya atau sebagian dikuasai Darul Islam. Desa-desa ini tempatnya di 4 bagian utama Tasikmalaya yang berbeda-beda – daerah yang mengitari gunung-gunung Cakrabuwana, Talaga Bodas, dan Galunggung di utara: Kawedanaan Cikatomas, dan Karangnunggal, di bujur sangkar yang dibentuk oleh Caikatomas, Salopa, Cibalong, dan Karangnunggal, ke sebelah selatannya; daerah sekitar Manonjaya berbatasan dengan Ciamis di bagian timur Tasikmalaya; dan antara Taraju dan Warungpeuteuy di barat. Di daerah subur Cikatomas pasukan Darul Islam dari batalyon 441 dipimpin Godjim (Gojim), sedangkan daerah ini merupakan pula kedudukan bupati NII Tasikmalaya, Iljas (Ilyas).

Dari Kabupaten Ciamis Darul Islam memiliki kira-kira sepertujuhnya di bawah pengawasannya. Inilah yang terkuat di bagian selatan, di Kawedanan Cijulang, kira-kira dari Cigugur ke pantai. Desa Cigugur adalah tempat lahir bupati Darul Islam Ciamis, Affandi, sementara daerah ini dan Cikatomas di sebelahnya di Tasikmalaya berada di bawah jurisdiksi Residen Darul Islam Priangan Timur, Dede Kartamihardja (Dede Kartamiharja). Darul Islam juga kuat di utara, sekitar Gungung Sawal dan antara Ciamis dan Banjar.

Di Kabupaten Garut, pasukan Darul Islam terpusat di daerah ketinggian, seperti daerah sekitar Gunung Guntur, mendekati Leles, Baluburlimbangan, Cibatu, Malangbong, dan sekitar Gunung Cikuray. Para gerilyawan Darul Islam menyebut daerah ini daerah Suffah, yang menyatakan bahwa di sini merupakan daerah suci yang telah dibersihkan dari musuh. Kedua daerah menjadi pangkalan untuk melakukan serangan ke Garut.

(20)

terkenal dan paling perkasa, Achmad Sungkawa (Akhmad Sungkawa). Pada tahun-tahun pertama sesudah penyerahan kedaulatan, pasukannya —dengan dibantu gerombolan lain seperti Bambu Runcing dan beberapa serdadu Belanda– terlibat dalam pertempuran besar-besaran dengan pasukan Republik. Di sebelah timur Bandung Darul Islam menimbulkan banyak kesulitan sekitar Cicalengka dan Ciparay. Pada Februari 1956 saja pasukan Darul Islam di daerah ini —yang ditaksir berjumlah kira-kira 600 orang-- melancarkan tujuh belas serangan, dengan membakar 200 runtah [...]

Dampak serangan pasukan Darul Islam memporakporandakan. Angka resmi untuk triwulan terakhir 1951 dan triwulan pertama 1952 menyebut masing-masing 414 dan 428 orang terbunuh, 4.046 dan 3.052 rumah terbakar, dan 6.192 perampokan. Pada triwulan terakhir 1951 orang yang melarikan diri dari rumahnya atau diungsikan berjumlah 52.672, dan kerusakan seluruhnya yang diakibatkan pasukan Darul Islam mencapai Rp.7.339.580. Pada triwulan pertama 1952 Darul Islam mengakibatkan kerugian sebanyak Rp.9.981.366, --dan 11.016 orang difungsikan atau lari dari rumahnya. Dari tahun 1955 sampai 1962 jumlah pengungsi tiap tahun berkisar antaaraa 209.355 dalam 1962 dan 303.764 dalam 1958, dan rata-rata sekitarr 250.000 setahun. Pada 1957 pasukan membunuh 2.447 orang, membakar 17.673 rumah, dan melakukan 102.984 perampokan. Sampai tahun 1961 angka ini turun keras menjadi hanya 500 orang lebih sedikit. Dari tahun 1958 sampai 1960 jumlah rumah yang terbakar adalah antara 10.000 dan 14.000 buah tiap tahun, naik menjadi 18.336 pada tahun 1961 dan menurun jadi 414 pada 1962.34

Dari uraian tentang beberapa gerakan Islam di atas, terlihat bahwa Kabupaten Garut di Priangan Timur memiliki peran historis yang penting dan pengaruhnya yang cukup besar dalam sejarah nasional. Sejak zaman kolonial, beberapa peristiwa pergolakan Islam meletus disitu dan dampaknya telah merambat luas ke daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Gerakan Darul Islam inilah yang paling monumental dalam sejarah Garut. Beberapa studi penting telah dilahirkan dari rahim pergolakan Islam di daerah Garut ini. Diantara yang monumental adalah Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1964); Karl D. Jackson, Traditional authority and national integration: The Darul Islam rebellion in

West Java (1971); Hiroko Horikoshi, The Dar-ul-Islam movement in West Java

1948-1962 (1975), Hiroko Horikoshi, Kiayi dan Perubahan Sosial (1984); Cornelis van Dijk, Rebellion under the banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia (1983), Aqib Suminto, Peristiwa Garut 1919: Titik Balik Kejayaan Sarekat Islam (1984), dan masih banyak yang lainnya.

(21)

cukup mengejutkan yaitu dideklarasikannya pemberlakuan Syari’at Islam tanggal 15 Maret 2002 yang lalu. Kendati terdapat faktor-faktor luar yang menjadi background semangat Islam politik itu --seperti demokratisasi yang makin kuat, rendahnya tingkat kepercayaan pada pemerintah, frustrasi sosial politik masyarakat yang luas dan fenomena tuntutan Syari’at Islam di tempat-tempat lain— adalah perlu melihat faktor-faktor historis dan internal kawasan untuk mendapat gambaran utuh tentang konteks munculnya sebuah ide dan gerakan di sebuah masyarakat. Kemudian, bagaimana background dan situasi kehidupan sosial keagamaan di kabupaten Garut sehingga memuluskan jalan aspirasi pemberlakuan Syari’at Islam.

Religiusitas Masyarakat dan Heterogenitas Islam

Aspek lain pentingnya kabupaten Garut adalah tingkat relijiusitas kehidupan masyarakat dan heterogenitas kelompok dan aliran Islam yang ada di daerah tersebut. Relijiusitas masyarakat terbentuk dari proses-proses historis dan sosiologis Islam yang berkembang dalam masyarakat. Di sisi lain, Kabupaten Garut juga adalah miniatur dari heterogenitas Islam karena hampir semua kelompok dan organisasi Islam yang hidup di Indonesia terdapat perwakilannya di situ. Berikut ini adalah uraian proses-proses sosiologis terbentuknya relijiusitas masyarakat Garut yang telah membentuk dunia pandangnya tersendiri tentang Islam, masyarakat dan kehidupan nasional.

Tidak seperti Jakarta dan kota-kota besar lain yang cukup intensif mengalami modernisasi, mayoritas kota-kota tingkat kabupaten di seluruh Indonesia relatif tertinggal atau lambat mengalami proses itu. Garut adalah salah satu prototipe kota yang terlambat bergumul dengan proses modernisasi tersebut. Kelambatan ini menyebabkan Garut – relatif serupa dengan kota-kota lainnya di Jawa Barat– di satu sisi memiliki lingkungan sosial kultural yang khas. Kekhasan itu adalah pembangunan yang kurang intensif (dibandingkan kota-kota besar) telah menciptakan perubahan sosial, transformasi nilai-nilai, modernisasi dan westernisasi yang setengah-setengah. Di sisi lain, tradisi kehidupan keagamaan yang telah menemukan basis historis dan kulturalnya relatif berhasil mempertahankan citra masyarakat rurban (desa-kota) yang relijius. Walhasil, Garut, seperti kebanyakan kota-kota kabupaten di Indonesia, tidak termodernisasikan atau terbaratkan sepenuhnya karena harus berhadapan dengan basis relijiusitas masyarakat yang telah mengakar.

(22)

kuatnya lingkung tradisi dan sistem nilai lokal, sepenuhnya tradisional juga tidak karena modernisasi telah juga membawa perubahan terutama dalam penggunaan alat-alat komunikasi, informasi dan produksi, dan dalam skala tertentu, perubahan cara berfikir masyarakat.

Di beberapa kota kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal sebagai kota-kota santri –umumnya dicirikan oleh banyaknya pesantren, institusi-institusi pendidikan Islam dan menonjolnya relijiusitas kultur masyarakat– pengaruh modernisasi terutama westernisasi umumnya tidak terlalu kuat. Hal ini diantaranya dicirikan oleh tidak berkembangnya industri hiburan modern dan pusat-pusat kebudayaan pop (pop culture) seperti mall, bioskop, sentra-sentra nite-club, pub, kafe, massages, karaoke, billiard dan lain-lain. Di Garut, selain tidak ada yang memadai apalagi megah untuk konsumsi masyarakat modern, beberapa bioskop misalnya bangkrut dan hanya tersisa satu dua yang tidak terurus dan hanya dimanfaatkan oleh masyarakat kelas bawah. Oleh modernisasi, dalam bentuk alat-alat hiburan elektronik dan audio visual, sentra-sentra hiburan masyarakat yang bersifat ‘massal’ telah digeser menjadi ‘kolegial’ kemudian ‘individual’ ke rumah-rumah melalui televisi dan terutama VCD. Selain Asia dan Yogya Department Store di Jalan Ahmad Yani dan Jalan Siliwangi (yang juga terhitung kecil untuk ukuran kota besar), mall dan pusat-pusat hiburan modern lainnya tidak ditemukan di Garut.

Di sisi lain, diuntungkan oleh lokasinya yang “bukan jalan lintas utama” propinsi (locked area), suasana dan nuansa relijiusitas Garut nampak cukup terjaga. Selain tidak ditemukannya pusat-pusat hiburan sekuler, sampai tahun 2002, di Garut terdapat 108 Raudlatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (MTs), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942 Madrasah Diniyah (MD) dan 515 pesantren.35 Sebaliknya, dari sulitnya

ditemukan tempat-tempat hiburan massal yang menyuguhkan nuansa Barat, hampir semua organisasi massa Islam, dari yang terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah), yang radikal dan moderat yang umum dijumpai di tempat-tempat lain di Indonesia (Lasykar Jihad, Front Pembela Islam) sampai gerakan-gerakan “bawah tanah” seperti Ikhwanul Muslimun dan Darul Islam semuanya bisa ditemukan di Garut.36 Kelengkapan adanya ormas-ormas Islam ini

menguatkan asumsi kota Garut selama ini sebagai kota pergerakkan dan pergolakan Islam.

(23)

Garut memiliki masjid, langgar dan mushalla yang ratusan jumlahnya. Kecamatan Garut Kota misalnya memiliki 547 tempat ibadah yang terdiri dari 179 masjid, 266 langgar dan 102 Mushalla. Kecamatan Karangpawitan memiliki 583 buah: 162 masjid, 329 langgar dan 92 mushalla. Kecamatan Samarang memiliki 821 tempat ibadah shalat: 265 masjid, 331 langgar dan 225 mushalla. Bahkan ada yang hampir mencapai 1000 buah yaitu di kecamatan Pakenjeng yang terdiri dari 185 masjid, 341 langgar dan 437 mushalla. Jumlah seluruhnya se-kabupaten Garut adalah 14.240, terdiri dari 3.992 masjid, 6.720 langgar dan 3.528 mushalla.37 Catatan lengkap jumlah rumah ibadah di Kabupaten Garut bisa

dilihat dalam tabel 17 dalam lampiran.

Nuansa relijius kota santri ini dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan lembaga dakwah yang ada di Garut. Jumlah lembaga dan organisasi dakwah di sebuah daerah menunjukkan intensitas dakwah di daerah tersebut karena lembaga dakwah hampir dapat dipastikan dibentuk karena motivasi dan semangat keagamaan dan merupakan bentuk murni partisipasi sosial masyarakat (genuine social participation) yang bersifat non-profit dan dikelola secara swadaya masyarakat.

Lembaga dakwah yang ada di Garut bisa diklasifikasikan kepada empat jenis organisasi yaitu organisasi dakwah (orwah), majelis ta’lim, remaja masjid dan lembaga pendidikan al-Qur’an. Dari data yang tersedia di Seksi Penerangan Agama Islam Departemen Agama Kabupaten Garut tahun 2001, tercatat bahwa jumlah orwah di Garut ada 364 buah dengan perincian 237 orwah yang terdapat secara nasional, 14 yang khusus tingkat propinsi dan 113 khusus hanya di tingkat kabupaten Garut. Semua kecamatan di kabupaten Garut memiliki perwakilan orwah tingkat nasional (lihat tabel 18). Jumlah majelis ta’lim ada 4.791 kelompok dengan jumlah terbanyak terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu sebanyak 577 kelompok pengajian. Jumlah remaja masjid juga cukup banyak yaitu 722. Dari seluruh kecamatan, jumlah terbanyak organisasi remaja masjid juga sama terdapat di kecamatan Karangpawitan yaitu 162 buah.

Jumlah lembaga pendidikan khusus al-Qur’an dari mulai tingkat taman pendidikan (TP) sampai pondok pesantren (PP) berjumlah 430 lembaga dengan total murid keseluruhannya sebanyak 40.083 murid. Jumlah ini merupakan gabungan dari murid Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) sebanyak 22.451, Taman Kanak-kanak al-Qur’an (TKQ) sejumlah 11.304 murid dan santri pondok pesantren al-Qur’an (PPQ) sebanyak 6.327 orang.38

(24)

pengaruh agama dalam kehidupan sosial masyarakat ini diperkuat oleh apa yang disebut sebagai “the network of collective memory,” yaitu jaringan memori kolektif dengan masa lalu berupa hubungan batin atau ikatan psikologis dengan apa yang pernah terjadi di daerah itu dan berfungsi menjadi identitas kelompok masyarakat.

Jaringan memori dan identitas kelompok ini membentuk religious-base

worldview (dunia pandang relijius). Hal ini misalnya terlihat pada upaya

menghadirkan agama dalam pemecahan masalah-masalah sosial kontemporer seperti upaya penerapan Syari’at Islam untuk penanganan kasus-kasus KKN dan masalah-masalah kerawanan sosial. Keberpihakan kepada simbol-simbol keagamaan tampak lebih kuat bila dibandingkan dengan keberpihakan kepada nilai-nilai yang sesungguhnya sejalan dengan agama tetapi tidak menggunakan istilah-istilah agama. Sikap dan kecenderungan seperti ini misalnya nampak ketika mereka berpendapat tentang demokrasi dan proses reformasi. Kendati demokrasi dan reformasi sesungguhnya sejalan dengan semangat Islam yaitu semangat perbaikan kehidupan sosial, kendati perangkat dan pelaksanaan hukum relatif membaik dibandingkan dengan masa Orde Baru, kebebasan berbicara relatif lebih terbuka, kebebasan berpendapat lebih terjamin, hukum positif sudah semakin banyak mengadopsi nilai-nilai agama, suasana politik lebih demokratis dan seterusnya, semuanya ini masih dipandang belum memenuhi aspirasi masyarakat Islam karena tidak dikemas oleh simbol-simbol formal Islam. Gambaran tersebut akan ditemukan dari uraian berikut ini.

Gerakan Penerapan Syari’at Islam

Mengapa muncul kembali arus idealisasi syariah dalam jagat politik negeri ini? Jawabannya tentu saja adalah sebagai “konsekuensi dari penemuan kembali kebebasan ruang publik, yang memungkinkan pemberontakan gagasan-gagasan yang ‘terpinggirkan’ (subaltern). Di dalam ruang publik yang demokratis, orang bisa memperjuangkan gagasan atau ideologi apa saja sepanjang dilalui tanpa jalur kekerasan.”39 Tetapi, “penemuan kembali

kebebasan ruang publik” ini hanya sebagai medan ekspresi. Energi yang mendorong masuk ke dalam ruang publik itu sendiri adalah persoalan lain, yaitu rasa frustrasi masyarakat atas berbagai persoalan sosial politik ekonomi yang menggumpal dan tak menemukan penyelesaiannya selama kurun Orde Baru. Fenomena psikologis massa itulah yang terlihat di balik deklarasi penerapan Syari’at Islam di Garut.

Pemberlakuan Syari’at Islam itu dideklarasikan tanggal 1 Muharram 1423H atau 15 Maret 2002 bertempat di Lapangan Oto Iskandar Dinata dihadiri oleh umat ribuan umat Islam.40 Munculnya semangat menerapkan Syari’at Islam

di Garut dipastikan merupakan imbas atau pengaruh dari beberapa daerah yang sudah lebih dulu menyatakan dan sedang memperjuangkan berlakunya Syari’at Islam seperti Aceh, Sulawesi Selatan, Cianjur, Banten dan lainnya.41 Naskah

(25)

Drs. Mahyar Swara, SH, dan semua fraksi DPRD yaitu fraksi-fraksi Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Gabungan, TNI, Partai Kesatuan Bangsa (PKB) dan PKP, serta Koordinatror KPSI, KH. Endang Yusuf Djunaedi. Dengan kata lain, unsur-unsur legislatif dan eksekutif menyapakati deklarasi. Kemudian, dalam berita acara serah terima, selain Bupati, Ketua DPRD dan koordinator KPSI, terdapat enam orang saksi yang turut menandatangani yaitu Ahmad Sumargono (PBB), Drs. H. Djohan Jauhari (Praktisi Hukum), Habib Muhammad Rizieq (Front Pembela Islam), Habib Idrus H. Alatas, KH. Muhammad Qudsi (Wakil Ketua PPP Jawa Barat) dan Drs. KH. Asep Saefuddin Musaddad (Ketua FPI Jawa Barat).

Deklarasi Pembentukan LP3SyI

Berdasarkan teks yang dibacakan tanggal 1 Muharram 1423/15 Maret 2002, penerapan Syariat Islam di Kabupaten Garut bukan diberlakukannya hukum atau syari’at Islam sejak dideklarasikan, melainkan deklarasi penerapan Syari’at Islam melalui pembentukan Lembaga Pengkajian Penegakkan dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI). Jadi sifatnya tidak langsung. Untuk menuju penerapan Syari’at Islam, dibentuk terlebih dahulu sebuah lembaga yang akan memproses cita-cita itu. Teks naskah pembentukan lembaga inilah yang dibacakan di lapangan Otto Iskandar Dinata- Garut.

Bismillahirrahmanirrahim.

Raditubillahi rabba, wabil Islamidina, wabi muhammadin nabiya wa rasula bi ara-at min kulli dini yukhalafu dinul Islam

SERAYA MEMOHON RAHMAT DAN RIDHA ALLAH SWT. KAMI UMAT ISLAM KABUPATEN GARUT YANG TERGABUNG DALAM BERBAGAI KEKUATAN SOSIAL POLITIK SEPAKAT MENENTUKAN SIKAP UNTUK MENDEKLARASIKAN HAL-HAL SEBAGAI BERIKUT:

PERTAMA, BAHWA SEBAGAI UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN MASYARAKAT GARUT PANGIRUTAN YANG TATA TENGTREM KERTA RAHARJA MENUJU RIDHA ALLAH DALAM WADAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN KETUHNAN YANG MAHA ESA, MAKA PENGAMALAN SYARI’AT ISLAM BAGI PARA PEMELUKNYA MERUPAKAN SUATU KEWAJIBAN.

KEDUA, BAHWA PENERAPAN DAN PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI KABUPATEN GARUT MERUPAKAN REALITAS ASPIRASI YANG PERLU DIPERHATIKAN DAN DITINDAKLANJUTI.

KETIGA, BAHWA PENYEBARLUASAN DAN PENEGAKKAN SYARIAT ISLAM WAJIB DILAKSANAKAN DENGAN SEBAIK-BAIKNYA DAN PENUH TANGGUNG JAWAB.

(26)

MAKA UNTUK TERCAPAINYA TUJUAN TERSEBUT DENGAN BERTAWAQAL KEPADA ALLOH SWT, KAMI SEPAKAT MENDEKLARASIKAN “PENEGAKAN DAN PENERAPAN SYARI’AT ISLAM”, MELALUI:

LEMBAGA PENGKAJIAN PENEGAKAN DAN PENERAPAN SYARIT ISLAM (LP3SyI)

SEMOGA ALLOH SWT MEMBERKATINYA DAN SENANTIASA MENCURAHKAN TAUFIQ DAN HIDAYAHNYA KEPADA KITA SEKALIAN. AMIN.

GARUT, 1 MUHARRAM 1423H 15 MARET 2002M

Para penggagas menyadari betul bahwa penerapan syari’at atau hukum Islam tidak bisa langsung tapi memerlukan kesiapan, proses, kajian yang mendalam, sosialisasi dan sebagainya. Disepakatinya pembentukan LP3SyI ini merupakan hasil tawar-menawar (bargaining) antara desakan para penggagas dengan pihak penyelenggara pemerintahan Garut. Lembaga ini bertangggung jawab memproses pelaksanaan penerapan Syari’at Islam. Melalui lembaga ini, potensi umat Islam Garut untuk menerapkan syari’at Islam dikaji kemungkinan-kemungkinannya, langkah-langkahnya, prioritasnya, hambatan-hambatannya dan seterusnya.

Tujuan, Sasaran, Tahapan dan Aspek-Aspek Pelaksanaan Syari’at Islam

Dalam Format Dasar Pelaksanaan Syari’at Islam, dokumen enam halaman yang dikeluarkan pada bulan Februari 2002/Dzulqaidah1422H, dicantumkan Dasar Hukum, Tujuan dan Fungsi, Aspek-aspek Pelaksanaan Syari’at Islam serta Tahapan Pelaksanaan dan Skala Prioritas. Dasar Hukum terdiri dari tiga hal: (1) Al-Qur’anul Karim dan Assunah Rasul, (2) Aqwalu Fuqaha, dan (3) Lembar Pengesahan dan Kesepakatan 23 Syawal 1422 H (7 Januari 2002) antara KPSI atas nama masyarakat Kabupaten Garut serta seluruh jajaran Pemerintahan Kabupaten Garut (Legislatif dan Eksekutif). Dalam Tujuan dan Fungsi terdapat format dan pola dasar pelaksanaan Syari’at Islam yang bertujuan:

A. Mewujudkan Visi Garut yaitu “Garut Pangirutan Tata Tengtrem Kerta Raharja menuju Ridha Allah.”

B. Mewujudkan visi ke depan yang ingin dicapai dalam masa relatif singkat yaitu masyarakat aman tentram yang islami (Garut Kota Santri).

C. Misi yang perlu dilaksanakan antara lain:

1. Peningkatan sumber daya manusia yang berakhlakul karimah. 2. Meningkatkan aktifitas dakwah (pendidikan, penyuluhan dan

(27)

3. Penggalian sumber daya alam sebagai wujud syukur nikmat kepada Allah. 4. Pemberdayaan ekonomi melalui Konsep Ekonomi Islam.

5. Penataan manajemen pemerintahan dengan paradigma islami sehingga terwujud pemerintahan Kabupaten Garut yang bersih, berwibawa, dan islami.

6. Mengkaji dan mengembangkan konsep-konsep islami yang bertahap dan berkelanjutan.

Tentang Kewajiban dan Sasaran Pelaksanaan Syari’at Islam terdapat lima poin:

1. Setiap pemeluk agama Islam wajib menta’ati, mengamalkan dan melaksanakan syari’at Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna.

2. Kewajiban menta’ati dan mengamalkan syari’at Islam sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari melalui diri pribadi, keluarga, kantor-kantor, masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Institusi masyarakat Muslim dan pemerintahan daerah berkewajiban memajukan keteladanan, mengembangkan dan membina serta mengawasi pelaksanaan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya.

4. Setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di Kabupaten Garut wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam serta menjaga dan menta’ati nilai-nilai kelayakan dan kesopanan dalam ergaulan hidup. 5. Keberadaan agama lain tetap diakui dan pemeluknya dijamin dapat

melaksanakan/menjalankan ibadah agamanya, serta siapapun yang berkunjung dan atau singgah di Garut, wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam di Garut.

Aspek-aspek yang akan menjadi wilayah penerapan Syari’at Islam akan meliputi bidang-bidang (1) Ubudiyyah, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak, (2)

Mu’amalah, yaitu pendidikan, dakwah, ekonomi dan amar ma’ruf nahyi munkar,

(3) Ahwalusyahsiyyah, yaitu mabarot, munakahat dan mawaris, (4) Siasah

Syar’iyyah, meliputi kemasyarakatan, jinayat dan siasah. Wilayah berikutnya

setelah keempat ini akan dikaji dan dikembangkan lebih lanjut oleh Dewan Syari’at.

Pedoman Dasar, Kode Etik dan Program Kerja

(28)

tersebut. Dalam Bab III Pedoman Dasar tentang Tujuan, Tugas dan Wewenang, dijelaskan tujuan menerapkan syari’at Islam di Garut: (1) Mewujudkan Visi Garut yaitu “Garut Pengirutan yang Tata Tengtrem Kerta Raharja” menuju Ridha Allah. (2) Meyakinkan dan mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan syari’at Islam secara kaffah.42Tentang tugas dijelaskan bahwa tugas LP3SyI ini

adalah (1) Mengkaji dan mengembangkan konsep-konsep Islam dengan pendekatan “Bil hikmah wal Maudhatil Hasanah,” (2) Meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berakhlakul karimah, Marhamah dan Uswatun Hasanah, (3) Mengelola Sumber Daya Alam sebagai Wujud Syukur atas ni’mat Allah Swt, (4) Menata secara proporsional manajemen pemerintahan dengan paradigma Islam.

Dalam Kode Etik dijelaskan landasan moral dan etika yang dipegang oleh lembaga ini. Usaha penerapan syari’at Islam itu sendiri diletakkan dalam prinsip

amar ma’ruf nahyi munkar. Prinsip amar ma’ruf nahyi munkar ini diperjuangkan melalui prinsip-prinsip kemerdekaan, independensi, empati, uswatun hasanah, hikmah

dan mau’idzah hasanah yang didasarkan atas ayat-ayat Al-Qur’an. Kemerdekaan

adalah yaitu perwujudan dari ketauhidan yang total sebagai sikap dasar yaitu bahwa satu-satunya yang mempunyai kekuasaan atas manusia hanyalah Allah SWT; Independensi adalah konsekuensi dan implikasi dari fitrah kekhalifahan yang disandang setiap pribadi dan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT; Empati yaitu kepedulian terhadap realitas hidup umat, merupakan keharusan dari prinsip kekhalifahan manusia yang menyerukan kebenaran ilahiyah; Uswatun Hasanah yaitu amar makruf akan bermakna jika diwujudkan dalam kehidupan nyata, sebaliknya akan tanpa makna jika sekadar sebagai pengetahuan; Hikmah maksudnya lembaga LP3SyI melakukan perannya dengan hikmah dan mengoptimalkan segala sarana dan prasarana termasuk ilmu pengetahaun; Mau’idzoh hasanah yaitu prinsip penyampaian kebenaran ilahiyah dengan cara dialogis dan saling pengertian. Dalam memegang keenam prinsip tersebut dan menjalankan aktifitasnya, LP3SyI memiliki sepuluh kode etik sebagai berikut: (1) Berpedoman kepada Qur’an dan Sunnah, (2) Menjadi teladan dan pengayom bagi umat dan masyarakat, (3) Menjadi hamba Allah yang rabbani, (4) Ikhlas dalam pengabdian, (5) Selalu menjaga tatakrama dan akhlakn Islam, (6) Tawadhu, (7) Berwawasan luas, (8) Bersikap adil, sabar dan istiqamah, (9) Disiplin waktu dan selalu menepati janji, (10) Bersikap Asyida’u alal kufar ruhama’u baenahum.

(29)

ini adalah program dan rencana kegiatan LP3SyI secara keseluruhan, yang pelaksanaannya dibagi-bagi menurut tanggung jawab komisinya masing-masing:

 Sosialisasi dan dakwah

 Workshop formalisasi syari’at Islam

 Meningkatkan pengkajian dan peribadatan perempuan  Penelitian terhadap masalah sosial dan kemasyarakatan

 Desiminasi dan upaya penanggulangan masalah sosial kemasyarakatan  Himbauan terhadap masyarakat

 Meningkatkan sarana dan prasarana ibadah  Meningkatkan partisipasi ibadah mahdhah

 Meningkatkan tali silaturahmi dan kerjasama umat

 Memotivasi peningkatan pengetahuan dan wawasan agama dan darigama

 Sosialisasi dan dakwah pembentukan keluarga sakinah, mawddah warohmah

 Sosialisasi dan dakwah pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah  Berpartisipasi dalam segala bentuk kemunkaran

 Sosialisasi dan himbauan secara persuasif mengenai upaya-upaya syari’at Islam dalam hal:

1. Melaksanakan sewa-menyewa (ijarah)

2. Mengfungsikan perbankan (syari’ah)

3. Melaksanakan jual beli (al-buyu’)

4. Menyelesaikan utang piutang (hiwalah)

5. Memberikan pinjaman (a’riah) 6. Mengatur barang temuan (luqathah)

7. Mengatur kerjasama (syirkah) dalam muamalah

8. Memberikan label terhadap makanan (ath’imah)yang halal 9. Mengatur kerjasama kemitraan dalam perdagangan (mudharabah)

 Workshop gender dalam perspektif Islam  Advokasi masalah gender

 Pendirian lembaga penanggulangan masalah gender dan keluarga  Mengkaji keadilan gender secara proporsionil Islami

 Meningkatkan bentuan dan pelayanan sosial terhadap kaum dhu’afa  Meningkatkan tanggung jawab sosial, terhadap diri, keluarga,

masyarakat, bangsa, umat dan generasi penerus

 Memahami UU No. 7/89 tentang Peradilan Agama & Inpres No. 1/90 tentang kompilasi hukum Islam

 Menerapkan kompilasi hukum Islam bagi masyarakat Muslim  Optimalisasi penerapan Inpres No. 1/90

 Meningkatkan ukhuwah Islamiyah

Gambar

Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 8
+2

Referensi

Dokumen terkait

Abdul Mun'im : Reformasi Pemikiran tentang Kedudukan Hukum Islam di Indonesia, 1999 USU Repository c 2007... Abdul Mun'im : Reformasi Pemikiran tentang Kedudukan Hukum Islam

Judul : TINJAUAN SYARIAT ISLAM TERHADAP ASAS- ASAS HUKUM KEWARISAN DALAM LONTARA Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya

Untuk melihat bagaimana posisi dan kontribusi hukum Islam di masa reformasi, dapat diketahui dari landasan politis kehidupan hukum nasional bangsa Indonesia yang

Berkaitan dengan persoalan kedua di atas, hukum Islam dalam kontek sebagai hukum nasional adalah hukum berciri sendiri, yakni sebagai hukum Islam lokal se suai ijtihad

golongan yang menyatakan bahwa politik dan negara adalah sesuatu yang terpisah dari Islam, maka keduanya harus dipisahkan satu sama lain; dan Ketiga, kendati

kehidupan umat manusia, sekaligus bahwa Islam senantiasa sesuai dengan semangat jaman. Dengan berlandaskan pada universalitas ajaran Islam itu, maka gerakan

Penerapan Hukum Islam merupakan hal yang wajib diimplementasikan dalam semua aspek kehidupan. Termasuk diantaranya penerapan terhadap pembagian harta waris. Kemajuan teknologi

Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa negara berkewajiban menjalankan syariat agama Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam, syariat kristen untuk