• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI KOTA SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI KOTA SURAKARTA"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI KOTA

SURAKARTA

Disusun Oleh :

Wahyu Adi Wibowo D0108150

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai

Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Administrasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)
(3)
(4)

commit to user MOTTO

Keberhasilan dapat diraih dengan ketekunan dan rasa tanggung jawab dalam

menjalankan setiap pekerjaan yang dijalani.

(Penulis)

Orang-orang yang terbaik adalah mereka yang selalu mencoba untuk terus

memperbaiki dirinya.

(5)

commit to user PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada :

1. Ibu dan Bapak, atas segala curahan kasih sayang dan perhatian yang tulus,

2. Seseorang yang terkasih yang telah memberikan motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi,

3. Sahabat-sahabatku yang selalu membuatku tersenyum,

4. Teman-teman pengurus Himagara yang telah memberikan pengalaman berharga dalam hidupku,

(6)

commit to user KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah tak henti-hentinya terucap kepada ALLAH SWT

atas segala kemudahan, kelancaran serta kesuksesan yang diberikan sehingga

Skripsi ini terselesaikan. Skripsi yang berjudul “KOLABORASI ANTAR

STAKEHOLDER DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PERBAIKAN

RUMAH TIDAK LAYAK HUNI KOTA SURAKARTA ” ini dibuat untuk

melengkapi sebagian persyaratan demi mendapatkan gelar Sarjana Sosial.

Dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman serta

dibantu oleh para pengajar, dihasilkanlah sebuah karya ini. Diiringi dengan halang

rintang dan segala kendala dalam menyelesaikannya, keyakinan selalu muncul

untuk memberikan yang terbaik bagi pembaca. Dalam kesempatan ini, ijinkan

penulis memberikan ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Sudarmo, M.A, Ph.D selaku Dosen pembimbing skripsi yang

telah bersedia membagi waktu,pikiran,pengetahuan,nasehatnya dengan penuh

kesabarannya sehingga skripsi ini dapat diselasaikan.

2. Herwan Parwiyanto, S.Sos, M.Si selaku Pembimbing akademis yang banyak

memberikan dukungan dalam pengambilan mata kuliah.

3. Bapak Drs. Is Hadri Utomo, M.Si selaku Kepala Jurusan Ilmu Administrasi,

4. Bapak Prof. Drs. Pawito, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

(7)

commit to user

5. Bapak Drs. Sukendar TCK, M.Si selaku Kepala Bidang Pemberdayaan

Masyarakat Kota Surakarta atas segala kebaikan hati, keramahan, informasi,

kesediaan wakti dan keterbukaab selama penelitian di Bapermas, PP, PA dan

KB Kota Surakarta.

6. Bapak FX Sarwono, SH, MM selaku Kepala Pengelola BLUD GLH Kota

Surakarta yang telah memberikan kesediaan waktu dan informasi selama

penelitian di BLUD GLH Kota Surakarta.

7. Ibu Ade Kusumawardani, ST selaku Staf sub bagian Perencanaan, Evaluasi

dan Pelaporan DTK Kota Surakarta yang telah memberikan kesediaan waktu

dan informasi selama penelitian di DTK Kota Surakarta.

8. Bapak Suyono, SIP, M.Hum selaku Lurah Kelurahan Kratonan yang telah

memberikan ijin penelitian di Kelurahan Kratonan.

9. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak memberi

bekal ilmu pengetahuan sehingga dapat menunjang selesainya penulisan

skripsi ini.

10.Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini, yang tidak

bisa disebut satu persatu.

Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan dari skripsi

(8)

commit to user

segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dan

semoga skripsi ini dapat member manfaat bagi semua yang membacanya.

Surakarta, September 2012

(9)

commit to user DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

MOTTO... iv

PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR TABEL... xii

ABSTRAKSI... xiii

ABSTRACT... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kolaborasi... 10

1. Pendahuluan... 10

2. Pengertian Kolaborasi... 12

3. Alasan Kolaborasi... 17

(10)

commit to user

5. Hambatan Kolaborasi... 29

B. Program Rehabilitasi RTLH... 33

C. Fokus Penelitian... 38

D. Kerangka Berpikir... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 43

B. Lokasi Penelitian... 43

C. Sumber Data... 43

D. Tehnik Penarikan Sampel... 44

E. Tehnik Pengumpulan Data... 45

F. Validitas Data... 46

G. Tehnik Analisis Data... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 49

B. Pembahasan... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 95

B. Saran... 99

DAFTAR PUSTAKA

(11)

commit to user DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1... 42

Gambar 3.1... 47

Gambar 4.1... 51

Gambar 4.2... 56

Gambar 4.3... 58

Gambar 4.4... 61

Gambar 4.5... 63

Gambar 4.6... 65

Gambar 7.1... 76

Gambar 7.2... 78

(12)

commit to user DAFTAR TABEL

Tabel 1.1... 5

Tabel 5.1... 68

(13)

commit to user ABSTRAKSI

WAHYU ADI WIBOWO. D0108150. Kolaborasi Antar Stakeholder Dalam Pelaksanaan Program Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni Kota Surakarta, Skripsi. Jurusan Ilmu administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Polotik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2012.

Masalah kemiskinan menjadi isu sentral yang dialami oleh negara maju maupun nengara berkembang, tidak terlepas Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki masalah kemiskinan yang sangat kompleks. Semakin kompleksnya masalah kemiskinan perlu dipecahkan secara bersama dengan kolaborasi antar stakeholder agar lebih bisa memberikan pengaruh dalam percepatan program pengentasan kemiskinan.. Salah satu permasalahannya adalah pemukiman kumuh yang ada di Kota Surakarta. Berdasarkan hal tersebut pemerintah Kota Surakarta melalui Bapermas, PP, PA dan KB melakukan inisiatif untuk warga miskin yang menempati rumah yang tidak layah huni dengan dukungan BLUD, DTK dan Kelurahan melaksanakan program perbaikan rumah tidak layak huni. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kolaborasi antar stakeholder yaitu Bapermas, Badan Layanan Umum Daerah, Dinas Tata Ruang Kota, Kelurahan Kratonan dan masyarakat Kratonan dalam pelaksanaan program perbaikan rumah tidak layak huni Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode triangulasi yang terdiri dari beberapa metode kualitatif meliputi observasi, wawancara mendalam dan telaah dokumen. Tehnik pengambilan sampel menggabungkan purposive sampling. Lokasi penelitian di Kelurahan Kratonan Kecamatan Serengan Kota Surakarta,

Hasil dari penelitian ini menggambarkan bagaimana kolaborasi yang berjalan antara Bapermas, BLUD, DTK, Kelurahan dan Masyarakat di Kelurahan Kratonan. Peneliti ini menyimpulkan bahwa kolaborasi antara Bapermas, PP, PA dan KB dengan BLUD GLH, DTK, Kelurahan dan Masyarakat berjalan efektif.

(14)

commit to user ABSTRACT

WAHYU ADI WIBOWO. D0108150. The Collaboration between Stakeholders in the Implementation of unreasonable-To-Reside House Repairing Program in Surakarta City, Thesis. Administration Science Department, Social And Political Sciences Faculty, Sebelas Maret University, Surakarta, 2012.

Poverty problem becomes a central issue both developed and developing countries face. Similarly, Indonesia as a developing country has a very complicated poverty problem. The more complicated poverty problem should be solved collectively in a collaboration between the stakeholders in order to affect more substantially the poverty alleviation acceleration program. One problem occurring in Surakarta City is slump area. Considering this phenomenon, the Surakarta City government through Bapermas, PP, PA and KB makes an initiative to tell the poor occupying unreasonable-to-reside house to implement the unreasonable-to-reside house repairing program supported by BLUD, DTK and Kelurahan. The objective of research is to describe the collaboration between stakeholders: Bapermas, Local Public Service Agency, City Spatial Layout Service, Kelurahan Kratonan and Kratonan People in implementing the unreasonable-to-reside house repairing program of Surakarta City. This research employed a triangulation ethnography method consisting of several qualitative methods including observation, in-depth interview and document study. The sampling technique used was combined purposive and snowball sampling.

The result of research described how the collaboration worked between the Bapermas, BLUD, DTK, Kelurahan, and People in Kelurahan Kratonan. The author concluded that the collaboration between PP, PA and KB with BLUD GLH, DTK, Kelurahan and community had proceeded effectively.

Keywords: poverty, collaboration, unreasonable-to-reside house repairing

(15)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah kemiskinan merupakan isu sentral yang dialami baik oleh negara

berkembang maupun negara maju. Negara-negara di dunia yang tergabung dalam

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berusaha mengatasi masalah kemiskinan

tersebut. Pada sidang PBB ke 56 tahun 2001, Sekretaris Jenderal PBB

menyampaikan laporan dengan judul Road Map Towards the Implementation of

the UN Millennium Declaration. Laporan ini memuat upaya pencapaian delapan

sasaran pembangunan dengan 18 target dan 48 indikator pada tahun 2015 yang

kemudian dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Poin pertama

MDGs adalah “Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem”, poin ini berisi

tentang target yang akan dicapai pada tahun 2015 yaitu jumlah penduduk miskin

dunia yang berpenghasilan di bawah $1 dapat dikurangi setengahnya dari 1,3

milyar berdasarkan kondisi tahun 1990.

Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang juga mengalami

permasalahan yang sama, yaitu masalah kemiskinan. Program penangulangan

kemiskinan yang dimulai sejak Pelita (Pembangunan Lima Tahun) pertama sudah

menjangkau seluruh pelosok tanah air. Upaya tersebut telah menghasilkan

perkembangan yang positif. Namun demikian, krisis moneter dan ekonomi yang

(16)

commit to user

pembangunan tersebut. Krisis tersebut pada satu sisi telah menimbulkan lonjakan

pengangguran dan dengan cepat meningkatkan kemiskinan di pedesaan dan

perkotaan. Namun pada sisi lain krisis itu juga telah menyadarkan kita bahwa

pendekatan yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan perlu diperkaya

dengan upaya pengokohan keberdayaan lembaga-lembaga di masyarakat agar

pada masa berikutnya upaya penanggulangan kemiskinan dapat dijalankan sendiri

oleh masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.

Semakin kompleksnya penyebab kemiskinan di Indonesia membawa

permasalahan baru yang perlu dipecahkan secara bersama-sama. Dengan adanya

kerjasama antar stakeholder bisa lebih memberikan pengaruh dalam percepatan

program pengentasan kemiskinan. Ketika cara mengelola, menata dan me-manage

suatu urusan dengan melibatkan berbagai stakeholder dalam suatu jaringan atau

kelompok, maka disinilah konsep collaborative governance antar institusi,

termasuk institusi pemerintah maupun non-pemerintah, penting digunakan untuk

menganalisis sistem pengelolaan secara bersama.

Masalah kemiskinan yang ada di Indonesia sangat beragam, salah satunya

adalah permasalahan tentang pemukiman kumuh. Banyaknya pemukiman kumuh

yang tersebar di kota-kota besar Indonesia disebabkan oleh masih banyaknya

masyarakat yang rumahnya tidak layak untuk dihuni. Rumah tidak layak huni ini

terdiri dari berbagai macam kriteria misalnya saja rumah yang dindingnya terbuat

dari anyaman bambu (gedheg), tripleks, atau papan: sanitasi dan air bersihnya

terbatas: lantainya dari tanah dan lembab; tidak ada pembagian ruangan; dan tidak

(17)

commit to user

maka mengakibatkan tercipatanya lingkungan perumahan dan pemukiman yang

kurang layak, kurang bersih, kurang sehat, dan juga kurang aman.

Dari hal tersebut maka pemerintah membuat program Pembangunan /

Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni. Program penyediaan hunian sederhana

layak huni atau yang disebut Program RTLH merupakan salah satu Program

Pemerintah yang dicanangkan sejak Tahun 2006 untuk mengatasi masalah

kemiskinan. Program Pembangunan / Perbaikan RTLH ini tersebar di Indonesia,

antara lain di Yogyakarta, Pekalongan, Banten, Padang, dan Surakarta. Dari

semua kota tersebut, yang paling progresif terhadap program ini adalah kota

Surakarta.

Pemberian Bantuan Pembangunan / Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni

Bagi Masyarakat adalah pemberian bantuan pembangunan / perbaikan rumah

yang diberikan oleh Pemerintah Kota kepada masyarakat miskin yang dinyatakan

kondisi rumah tidak layak huni dengan sumber dana dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah Kota Surakarta.

Pemberian bantuan pembangunan / perbaikan rumah tidak layak huni

diberikan kepada masyarakat miskin yang menempati / mempunyai rumah tidak

layak huni dengan tujuan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup / derajat

kesehatan masyarakat miskin Kota Surakarta. Selain itu program ini juga

berupaya untuk membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah agar mampu

menempati rumah yang sehat dan layak huni, serta menciptakan kawasan

(18)

commit to user

juga untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat miskin agar tidak

terlantar sehingga sekaligus akan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial,

meningkatkan dan memantapkan semangat dan jiwa kesetiakawanan sosial warga

miskin yang memiliki rumah. Sasaran kegiatan pemberian bantuan adalah

masyarakat miskin yang menempati rumah tidak layak huni hasil pendataan

Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak

dan Keluarga Berencana (Bapermas, PP, PA dan KB) Kota Surakarta, rumah tidak

layak huni yang belum terdaftar dalam hasil pendataan yang ditetapkan oleh

Kepala Kelurahan setempat setelah mendapat pertimbangan dari Panitia Pelaksana

Pembangunan / Perbaikan Rumah Tak Layak Huni Tingkat Kelurahan.

Bantuan yang diberikan adalah stimulan yang di berikan masyarakat

sebagai upaya menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan yang

bersih sehingga dapat menciptakan lingkungan yang sehat dan dapat digunakan

sebagai tempat usaha sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat. Sehingga

disini peran dari Bapermas yang sangat menonjol, karena berkaitan dengan

pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat diberdayakan untuk dapat

berpartisipasi dalam program pengentasan kemiskinan dan lingkungan bersih di

Kota Surakarta.

Dari hasil pendataan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

Kota Surakarta pada tahun 2006 dari ± 4.400 ha luas kota terdapat sebanyak 6612

Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang menempati kawasan kumuh seluas ± 41,

607 ha. Kawasan kumuh ini dihuni sebanyak 3421 KK atau 15.850 jiwa. Dari data

(19)

commit to user

Rumah kumuh yang permanen sebesar 39,45 %, rumah kumuh semi permanen

sebesar 31,6 % dan rumah kumuh tidak permanen sebesar 28,9 %.

Tabel 1.1 Pelaksanaan Rehabilitasi/Renofasi Rumah Tidak Layak Huni

sampai tahun 2010

Sumber : Bapermas Surakarta 2011

Berdasarkan hal tersebut, Badan Pemberdayaan Masyarakat,

Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana

(Bapermas PP PA dan KB) Kota Surakarta melakukan inisiatif untuk membantu

warga miskin Kota Surakarta dengan dukungan lintas sektor antara lain Dinas

Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, Bappeda, Badan Informasi dan Komunikasi,

Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Kantor Pertanahan, Bag. Hukum dan HAM,

Camat, usur LPMK Tingkat Kota dan LSM. Program ini dikoordinir oleh

Bapermas, PP, PA dan KB sebagai Leading Sector. Inisiatif yang didukung penuh

oleh Walikota Surakarta tersebut berupa Pemberian Bantuan Pembangunan atau

Perbaikan RTLH di Kota Surakarta.

Dalam menangani, mengelola, dan menata suatu masalah publik, sering

tidak cukup hanya ditangani oleh unit-unit institusi pemerintah setempat baik

(20)

commit to user

secara terpadu atau terkait, melainkan tidak jarang memerlikan keterlibatan

institusi non-pemerintah lainnya, termasuk lembaga swadaya masyarakat lokal

(LSML) sesuai dengan pusat perhatian mereka masing-masing,

paguyuban-paguyuban komunitas tertentu, masyarakat setempat dan asosiasi-asosiasi tertentu

lainnya.

Untuk kelancaran pelaksanaan pemberian Bantuan Pembangunan /

Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni di Kota Surakarta, maka dibentuk Panitia

Pembangunan/Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni Tingkat Kota dan Kelurahan

serta Kelompok Kerja Penerima Bantuan Pembangunan / Perbaikan Rumah Tidak

Layak Huni. Panitia Pembangunan Rumah Tidak Layak Huni Tingkat Kota

ditetapkan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan

Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP PA dan

KB) Kota Surakarta yang beranggotakan unsur dari Badan Pemberdayaan

Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga

Berencana, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang Kota, Bappeda, Badan

Informasi dan Komunikasi, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Kantor

Pertanahan, Bag. Hukum dan HAM, Camat, usur LPMK Tingkat Kota dan LSM

Kota Surakarta. Panitia Pelaksana Pembangunan/Perbaikan Rumah Tidak Layak

Huni Tingkat Kelurahan ditetapkan oleh Kepala Kelurahan, dengan anggota

minimal 5 (lima) orang yang terdiri dari unsur Kelurahan, LPMK, Tokoh

Masyarakat, petugas fungsional Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan

Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana tingkat

(21)

commit to user

Dalam melaksanakan kolaborasi tersebut, setiap unsur yang terlibat

memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Sebagai bagian dari objek

penelitian maka peneliti ingin memberikan gambaran unsur-unsur yang memiliki

peran dominan dalam program RTLH ini, antara lain ; Bapermas (Badan

perencanaan Masyarakat) sebagai leading sector, Badan Layanan Umum Daerah

(BLUD) sebagai penjamin dana pinjaman masyarakat, Dinas Ruang Tata Kota

(DTK) sebagai pembuat setplan, Kelurahan yang menjalankan fungsi koordinasi,

serta masyarakat yang dilibatkan dalam Kelompok Kerja (Pokja).

Disini peneliti ingin meneliti pelaksanaan program RTLH di Kota

Surakarta yang dilaksanakan oleh Bapermas yang bekerjasama dengan BLUD,

DTK, Kelurahan Kratonan dan Masyarakat (Pokja). Bagaimana proses kolaborasi

yang dilakukan oleh stakeholder dalam pelaksanaan program rehabilitasi rumah

tidak layak huni. Sehingga dari permasalahan ini peneliti mengambil judul

penelitian “KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM

PELAKSANAAN PROGRAM PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK

HUNI KOTA SURAKARTA”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut :

1. Bagaimana kolaborasi yang dibangun Bapermas dengan BLUD, DTK,

Kelurahan dan Masyarakat (Pokja) dalam pelaksanaan Program Rehabilitasi

(22)

commit to user

2. Apakah kolaborasi yang dibangun Bapermas dengan BLUD, DTK, Kelurahan

dan Masyarakat (Pokja) dalam pelaksanaan Program Rehabilitasi Rumah

Tidak Layak Huni di Kota Surakarta berjalan efektif ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan Kolaborasi Antar Stakeholder pada Program Rehabilitasi

Rumah Tidak Layak Huni di Kota Surakarta, serta efeknya terhadap

stakeholder dan masyarakat yang terlibat.

2. Mengetahui efektivitas kolaborasi antar stakeholder pada Program

Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kota Surakarta.

3. Memberikan rekomendasi tentang kebijakan perbaikan rumah tidak layak

huni di Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui bagaimana proses kolaborasi yang dilakukan dalam

pelaksanaan Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kota

Surakarta?

2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada Tim Koordinasi Program

RTLH dalam melaksanakan Program sebagai tim yang dibentuk oleh

pemerintah bagi keluarga miskin yang memiliki rumah tidak layak huni di

(23)

commit to user

3. Dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang mempunyai perhatian

terhadap terwujudnya pelaksanaan Program RTLH di Kota Surakarta.

4. Bagi peneliti, digunakan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh

(24)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kolaborasi

1. Pendahuluan

Teori-teori yang dipakai dalam penelitian ini banyak mengambil dari

karya-karya penelitian Sudarmo, hal ini dikarenakan teori-teori yang ada

sangat relevan dan tepat untuk diterapkan dalam penelitian skripsi ini.

Suatu masalah yang dirasakan orang atau kelompk orang, mungkin

berbeda dengan kelompok lainnya bahkan tidak dirasakan oleh kelompok

lainnya. Namun sangat mungkin persoalan yang terjadi di kelompok tertentu

akan berdampak bagi kelompok lainnya, demikian seterusnya sehingga

kelompok yang pertama merasakan bahwa kemungkinan mereka akan

semakin banyak beban ketika masalah dari pihak lainnya menimpa padanya.

Dalam menangani, mengelola dan menata suatu masalah publik, sering tidak

cukup hanya dilakukan oleh unit-unit institusi-institusi pemerintah setempat

baik secara terpadu atau terikat, melainkan tidak jarang memerlukan

keterlibatan institusi non-pemerintah lainnya, termasuk lembaga swadaya

lokal (LSML) sesuai dengan pusat perhatian mereka masing-masing. Ketika

cara mengelola, menata dan memanage suatu urusan adalah dengan

melibatkan berbagai stakeholder dalam suatu jaringan atau kelompok, maka

disinilah konsep collaborative governance antar institusi, termasuk institusi

pemerintah maupun non-pemerintah, penting digunakan untuk menganalisis

(25)

commit to user

Ketika sebuah isu itu menegaskan adanya kolaborasi antar institusi

maka dalam perspektif administrasi publik, seharusnya didalamnya telah

tercakup konsep collaborative governance karena paradigma administrasi

publik yang menekankan nilai-nilai citizenship dan atau demokrasi secara

tidak langsung (dengan sendirinya) mempraktekkan governance, meskipun

dimungkinkan juga stakeholder tertentu tidak dilibatkan secara fisik tetapi

kepentingan mereka seoptimal mungkin diupayakan untuk diakomodasi

dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks ini stakeholder bisa

didefinisikan sebagai pihak (atau orang atau kelompok) yang terpengaruh

atau terkena dampak dari sebuah tindakan, program atau kebijakan atau pihak

yang memang seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan

suatu pemecahan suatu persoalan bersama.

Kolaborasi antar institusi menjadi isu penting dalam administrasi

publik, mengingat banyak persoalan publik yang mempunyai implikasi luas

yang tidak bisa ditangani secara optimal dan dipecahkan secara tuntas jika

hanya mengandalkan pada satu institusi pemerintah saja. Melalui kolaborasi

ini diharapkan persoalan atau masalah publik yang dihadapi bisa diatasi atau

paling tidak bisa diminimalisir secara signifikan.

Menurut Sudarmo, Collaborative governance muncul dan

dikembangkan secara adaptif untuk merespon adanya kompleksitas dan

konflik-konflik bernuansa politik atau persoalan-persoalan yang menuntut

diadopsinya nilai-nilai demokrasi, namun konsep tersebut tidak atau belum

(26)

commit to user

lain ada kecenderungan bahwa dilakukannya collaborative governance

didorong oleh adanya upaya pragmatisme dalam menyelesaikan masalah

yang selama ini tidak kunjung teratasi melalui penerapan teori-teori

konvensional yang selama ini dipercaya mampu mengatasi masalah.

2. Pengertian Kolaborasi

Kolaborasi dilakukan karena ada persoalan yang memang tidak bisa

dihadapi atau ditangani hanya oleh satu institusi saja, dan dengan melakukan

kolaborasi ini diharapkan persoalan yang dihadapi bisa diatasi. Kolaborasi

dalam sebuah tim penting karena terbatasnya sumber daya dapat

dimanfaatkan secara tepat dengan berbagi pengetahuan, belajar, dan

membangun suatu kesepakatan dan pada akhirnya meningkatkan kesuksesan

tim tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah.

Menurut Ansell dan Gash (dalam Sudarmo, 2011:101) kolaborasi

secara umum dibedakan ke dalam dua pengertian: (1) kolaborasi dalam arti

proses, dan (2) kolaborasi dalam arti normative. Pengertian kolaborasi dalam

arti sebuah proses merupakan serangkaian proses atau cara mengatur /

mengelola atau memerintah secara institusional. Dalam pengertian ini,

sejumlah institusi pemerintah maupun non-pemerintah (termasuk

lembaga-lembaga swadaya masyarakat setempat atau lokal dan lembaga-lembaga-lembaga-lembaga

swasta lokal maupun asing) ikut dilibatkan sesuai dengan porsi

kepentingannya dan tujuannya. Bisa saja, kolaborasi ini hanya terdiri dari

institusi-institusi pemerintah saja, LSM lokal saja, lembaga swasta saja, atau

(27)

commit to user

dengan LSM-LSM setempat yang didanai oleh pihak swasta / LSM /

penyandang dana dari luar negeri. Namun dalam berkolaborasi ini

institusi-institusi yang terlibat secara interaktif melakukan governance bersama.

Sedangkan kolaborasi dalam arti normative merupakan aspirasi atau

tujuan–tujuan filosofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksi-interaksinya

dengan parsa partner atau mitranya. Memang collaborative governance bisa

merupakan bukan institusi formal tetapi bisa juga merupakan a way of

behaving (cara berperilaku/bersikap) institusi non-pemerintah yang lebih

besar dalam melibatkan ke dalam manajemen publik pada suatu periode

(Sudarmo, 2011).

Ansel and Gash dalam Journal of Public Administration Research

memberikan definisi kolaborasi sebagai berikut

(“We define collaborative governance as follows a governing arragement where one more public agencies directly engage non-state stakeholders in a collective decision-making process that is formal, consensus-oriented, and deliberative and that aim to make or implement public policy or manage public programs or assets”. This definition stresses six important criteria: (1) the forum is initiated by public agencies or institutions, (2) participant in the forum include nonstate actors, (3) participants engage directly in decision making and

are not morely “consulted” by public agencies, (4) the forum is

(28)

commit to user

dalam pengambilan keputusan dan tidak hanya sekedar "berkonsultasi" dengan lembaga-lembaga publik, (4) forum secara resmi diselenggarakan dan bertemu secara kolektif, (5) forum bertujuan untuk membuat keputusan melalui konsensus (bahkan jika konsensus tidak tercapai dalam praktek), dan (6) fokus kolaborasi adalah pada kebijakan publik atau manajemen publik”(2007:1-2))

Dalam hal perbaikan rimah tidak layak huni ini kolaborasi yang

dilakukan Bapermas dengan, Dinas Tata Kota, usur LPMK Tingkat Kota dan

Masyarakat bisa dikategorikan ke dalam kolaborasi dalam arti proses. Karena

dalam pelaksanaan program RTLH ini setiap unsur terlibat baik langsung

maupun tidak langsung dan memiliki peran masing-masing dalam tujuannya

mengurangi jumlah rumah yang tidak layak huni.

Pada umunya, collaboration dipandang sebagai respon organisasi

terhadap perubahan-perubahan atau pergeseran-pergeseran lingkungan

kebijakan. Pergeseran-pergeseran bisa dalam bentuk jumlah aktor kebijakan

meningkat, isu-isu semakin meluas keluar batas-batas normal yang biasa

dirasakan atau sulit terdeteksi karena ketertutupannya, kapasitas pemerintah

daerah, kota dan atau pemerintah pusat terbatas, sedangkan institusi-institusi

di luar pemerintah meningkat dan inisiatif spontan masyarakat semakin

meluas dan kritis. Ketika pergeseran-pergeseran tersebut terjadi, maka hal ini

bisa dirasakan bahwa pemerintah memiliki pilihan terbatas atau kecil dan

bahkan seakan dipaksa untuk mengikuti untuk segera menyelesaikan atau

mengatasi apa yang tengah menjadi isu tersebut, namun demikian pemerintah

tetap harus menyesuaikan dan membuat dirinya tetap relevan dengan

(29)

commit to user

ini merupakan cara merespon terhadap perubahan sehingga pemerintah tetap

aktif dan harus tetap efektif dalam suatu lingkungan manajemen publik yang

kompleks dengan tetap melibatkan para institusi-institusi lain yang relevan

dengan tujuan yang diinginkan.

Lebih dari itu, collaboration dipandang sebagai gambaran tentang cara

menangani sesuatu isu atau persoalan tertentu yang sifatnya kabur dan tidak

jelas, yang memiliki implikasi bahwa ukuran-ukuran (standar-standar) dan

relevansi dari wilayah isu yang satu ke wilayah isu lainnya secara

berbeda-beda. Dengan demikian, siapa/stakeholder mana saja yang dilibatkan atau

harus dilibatkan dalam kolaborasi, dan bentuk dan proses kolaborasi

dimungkinkan akan berbeda-beda dari sebuah wilayah isu tertentu ke isu lain

dan dari satu sektor ke sektor lain. Ini untuk menggarisbawahi bahwa

kolaborasi antara institusi dalam penurunan angka kemiskinan atau

pedangang kaki lima misalnya, tentu berbeda dengan stakeholder mana saja

yang terlibat atau dilibatkan, bentuk dan proses kolaborasinya dalam isu-isu

kesejahteraan petani padi, perdagangan anak, pelacuran, dan isu tenaga kerja

wanita Indonesia di luar negeri.

Satu hal yang perlu diyakini dan diterima adalah bahwa sebenarnya

kolaborasi bukanlah hal baru. Sejak lama kolaborasi telah banyak dilakukan,

namun fenomena ini semakin mendapat perhatian akhir-akhir ini terutama

ketika disadari bahwa single otoritas sering tidak mampu mengatasi masalah

yang dihadapi atau tidak mampu memenuhi dengan kapasitas yang

(30)

commit to user

pelayanan dalam administrasi publik. Namun tentu saja setiap orang memiliki

pandangan yang berbeda tentang konsepsi kolaborasi ini, sesuai dengan

perspektif disiplin ilmu yang mereka gunakan.

Terkait dengan konsepsi kolaborasi, sejumlah pemerhati

mengemukakan pandangannya bahwa pemerintah sejak lama sudah

melakukan kolaborasi, yakni dalam bentuk mencari diluar batas-batas

wilayah pemerintah untuk mendapatkan saran-saran atau nasihat ahli dan

mitra kerja yang potensial. Sebagian lainnya mengatakan bahwa kolaborasi

yang sifatnya non-hirarkis dan non-birokratis pada dasarnya berkebalikan dari

apa yang secara tradisional (hirarkis dan birokratis) telah diperlihatkan

pemerintah, dan cenderung bersifat top-down terhadap mitranya.

Apakah pemerintah melakukan atau tidak melakukan kolaborasi di

masa lampau, hampir bisa disepakati secara konsensus bahwa dalam hal

dimana lingkungan kebijakan berubah berarti bahwa pemerintah dituntut

harus mengadopsi kesepakatan governance yang cepat agar efektif namun

bisa diterima oleh semua pihak. Padahal, agar setiap keputusan bisa diterima

oleh semua pihak, menuntut adanya collaborative governance dalam setiap

pembuatan keputusan yang melibatkan partisipasi semua stakeholder dan

mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Ini untuk menggarisbawahi

bahwa jika pemerintah daerah atau lembaga tertentu yang berafiliasi ke

pemerintah mengambil keputusan yang bisa berpengaruh bagi kehidupan

kelompok marginal, maka melakukan kolaborasi dengan kelompok tersebut

(31)

commit to user

tersebut oleh mereka. Atau pemerintah dan atau lembaga-lembaga swadaya

yang memfokuskan pada persoalan-persoalan kaum marginal tersebut agar

mampu memahami, mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah

yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut secara efektif.(Sudarmo,

2011:101-104)

Dapat disimpulkan bahwa collaborative governance merupakan bentuk

kerjasama baik secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan

stakeholder baik itu instansi pemerintah dengan instansi pemerintah lain,

pemerintah dengan swasta (LSM), maupun pemerintah dengan masyarakat

dalam rangka mengelola, mengatur, menata, atau menangani suatu isu atau

persoalan yang menjadi perhatian administrasi negara.

3. Alasan Melakukan Kolaborasi

Menurut Ansel and Gash (dalam Sudarmo, 2011:104) secara umum

collaborative governance muncul secara adaptif atau dengan sengaja

diciptakan secara sadar karena alasan-alasan sebagai berikut: (1)

kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, (2) konflik antar

kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam, (3) upaya

mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik. Fragmentasi

hukum dan pemecahan masalah yang sifatnya multi jurisdiksi merupakan dua

sumber utama atau symptom adanya kompleksitas institusi dan

interdependensi. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan

sulit diredam seringkali merugikan berbagai pihak dan memerlukan tenaga

(32)

commit to user

governance dalam pemecahan masalah, konflik antar kelompok sulit untuk

diatasi. Juga ketika berbagai upaya telah dilakukan dan belum membuahkan

hasil, maka kolaborasi bisa dilakukan sebagai upaya pemecahan masalah

yang memiliki legitimasi kuat karena melibatkan berbagai kelompok

kepentingan untuk secara aktif berpartisipasi dan mengambil keputusan

secara bersama-sama untuk disetujui secara bersama-sama.

Dalam menjalan kolaborasi pemerintah juga membutuhkan partisipasi

masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat disini

bisa sebagai kelompok sasaran yaitu warga miskin ataupun kaum marginal

yang menjadi sasaan dari program RTLH ini. Nasikun (dalam Sudarmo

2009b) mendefinisikan partisipasi dalam tiga kategori sebagai berikut:

(“The first category is where “participation requires the

involvement of the poor citizen in the process of decision making which is represented by their representatives in coalition together with the government agents and non-government organizations, and other

leaders of interest groups”. The second category is where “participation means the poor citizen is placed as the main consumer of

a development program and therefore their interests and advisory must

be heard and considered by policy makers.” The third category, what Nasikun calls „radical participation‟, is where “the poor people are

seen as the constituency of a development program which is politically

“powerless” and “therefore they need stimulation and support.”) (“kategori pertama adalah bahwa “partisipasi memerlukan keterlibatan warga Negara miskin dalam pembuatan keputusan yang diwakili oleh wakil-wakil mereka dalam koalisi bersama institusi-institusi pemerintah dan organisasi-organisasi non pemerintah, serta pemimpin-pemimpin lain dari kelompok-kelompok kepentingan”. Kategori kedua adalah bahwa “partisipasi berarti warga negara ditempatkan sebagai pelanggan utama dari program pembangunan dan oleh karena itu kepentingan mereka dan pendapat-pendapatnya harus didengar dan dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan”. Kategori ketiga adalah apa yang disebut

sebagai ’radica participation’, yaitu bahwa “orang-orang miskin

(33)

commit to user

Dari definisi diatas, partisipasi masyarakat sangat penting karena

kebutuhan dan keinginan masyarakat miskin perlu untuk dipenuhi sehingga

masyarakat miskin dianggap sebagai pelanggan utama dari program

pembangunan pemerintah. Hal ini juga berkaitan denga program perbaikan

Rumah Tidak Layak Huni yang menitik beratkan pada pemberdayaan

masyarakat dimana masyarakat diberdayakan untuk membangun rumahnya

dengan didampingi oleh SKPD terkait sesuai dengan kebutuhan masyarakat

yang mendapatkan bantuan.

Menurut Ansel and Gash (dalam Sudarmo, 2011:105) terdapat banyak

argumen tentang pentingnya melakukan collaborative governance, antara lain

adalah karena: (1) kegagalan implementasi kebijakan di tataran lapangan, (2)

ketidakmampuan kelompok-kelompok, terutama karena pemisahan

regim-regim kekuasaan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk

menghambat keputusan, (3) mobilisasi kelompok kepentingan, dan (4)

tingginya biaya dan politisasi regulasi. Disamping empat alasan tersebut

diatas, terdapat dua alasan lain atas kemunculan dan dikembangkannya

collaborative governance, yakni: (1) pikiran-pikiran yang semakin luas

tentang pluralism kelompok kepentingan, dan (2) adanya kegagalan

akuntabilitas manajerialisme (terutama manajemen ilmiah yang semakin

dipolitisasi) dan kegagalan implementasinya.

Kecenderungan dilakukannya collaborative governance adalah

dilatarbelakangi oleh perkembangan organisasi dan tumbuhnya pengetahuan

(34)

pengalaman-commit to user

pengalaman yang diperoleh dari lingkungan selama organisasi tersebut

bekerja dalam rentang waktu tertentu. Ketika pengetahuan semakin

terspesialisasi dan terdistribusi, dan ketika infrastruktur institusi bagi

pemecahan masalah dan deliberisasi semakin berkembang, kompleks dan

padat, maka tuntutan dan permintaan kolaborasi antar bagian atau institusi

meningkat pula mengingat sebuah masalah sering berdampak bagi semua

bagian atau sejumlah institusi atau masalah sejenis menjadi fokus perhatian

dari berbagai institusi yang memiliki kepentingan sejenis sedangkan mereka

memiliki keahlian berbeda-beda yang mungkin bersifat komplementer.

Dengan demikian, pemecahan masalah secara kolaborasi antar institusi

menjadi hal yang lebih direkomendasikan atau justru merupakan sebuah

kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang.

Justru karena collaborative governance, kemunculannya dan

perkembangan sifatnya adaptif (sengaja diciptakan) terhadap suatu

permasalahan yang menuntut pemecahan dari berbagai pihak terkait maka

kemungkinan bahwa bentuk-bentuk collaborative governance bervariasi dan

mencakup banyak bentuk, yang antara lain dalam hal manajemen, kebijakan

komunikasi, keterlibatan wakil rakyat, negosiasi regulasi, dan perencanaan

kolaborasi serta bentuk-bentuk lain yang mencakup berbagai stakeholder

yang harus terlibat secara normatif. Menurut Danahue (dalam Sudarmo,

2011:106) dalam analisis collaborative governance perlu ditegaskan

batas-batas definisinya yang tentu saja bervariasi dalam hal (1) tingkat

(35)

commit to user

institusional diversity nya, (6) tingkat inisiatifnya, dan (7) tingkat pencetusan

masalah, apakah sifatnya probel-diven atau opportunity. Ketujuh elemen

inilah yang kemudian ikut berkontribusi dalam mendefinisikan collaborative

governance.

Terkait dengan sifat kolaborasi, hubungan collaborative governance

bisa berjalan secara terlembaga melalui kontrak-kontrak formal atau juga

collaborative relationships bisa berjalan melalui kesepakatan informal.

Memang sekarang telah banyak hubungan kolaboratif melalui kontrak atau

kesepakatan formal sehingga mudah menjelaskan, mendiskripsikan para

partisipannya, mudah menggambarkan atau menjelaskan prosedurnya, dan

mudah menjelaskan tujuannya. Namun demikian, sebaliknya jika hubungan

kolaboratif dilakukan melalui kesepakatan informal maka cenderung lebih

sulit untuk menganalisis meskipun tetap bisa dilakukan. Hubungan kelompok

marginal dan Pemerintah kadang bisa formal kadang bisa informal. Namun

demikian, jika telah menyangkut persoalan keuangan atau tanggung jawab

keuangan yang harus disetorkan pedagang kaki lima (PKL) misalnya, ke

pihak-pihak tertentu termasuk pihak swasta atau perusahaan tertentu, maka

hubungan kolaborasi lebih menekankan pada kesepakatan atau kontrak

formal agar jelas garis tanggung jawabnya.(Sudarmo, 2011:106)

Durasi atau waktu berjalannya kolaborasi bisa bersifat pemanen atau

sementara. Kolaborasi bersifat permanen antara kelompok marginal dan

pemerintah bisa berupa hubungan hak dan kewajiban antara kedua

(36)

commit to user

kolaborasi dengan instansi pemerintah lainnya yang memiliki kepentingan

yang sama dalam penataan kawasan kumuh di Surakarta. Namun demikian,

apakah kolaborasi itu akan berjalan secara permanen atau sementara belum

bisa diprediksi menginggat jumlah rumah tidak layak huni akan semakin

berkurang pada nantinya.

Fokus collaborative governance juga bervariasi, ada yang cukup luas

ada juga yang spesifik. Ada kecenderungan semakin spesifik fokus kolaborasi

maka semakin memudahkan dalam analisis karena unsure-unsur yang akan

dianalisis sifatnya khusus dan terfokus. Sebaliknya jika fokus kolaborasi

terlalu luas maka akan mempersulit analisis karena terlalu banyak bagian

yang harus dianalisis sehingga menuntut kejelian yang amat tinggi untuk

mendapatkan hasil yang tajam, dalam dan komprehensif. Collaborative

governance terhadap kaum marginal pada dasarnya cukup spesifik, namun

analisis bisa meluas tergantung pada seberapa kompleks hubungan mereka

dan stakeholder lainnya dalan governance. Collaborative governance

memerlukan sejumlah institusi (kelompok beserta para pemukanya) yang

berpartisipasi dalam governance (penataan, penertiban, pembinaan,

pemberdayaan atau pengelolaan kelompok marginal) yang semuanya ikut

dianalisis terkait dengan perannya dan kontribusinya masing-masing dalam

menangani persoalan terkait dengan masalah yang dihadapi stakeholder

lainnya terutama pihak pemerintah setempat (Sudarmo, 2009a).

Collaborative governance juga memerlukan kejelasan “valence” yaitu

(37)

commit to user

kolaborasi dan jumlah hubungan diantara mereka. Dalam konteks

collaborative governance kaum marginal maka ada beberapa pelaku yang

berhubungan dengan mereka termasuk pihak pemerintah dan sejumlah pihak

swasta, dan bahkan mungkin saja partai politik tertentu. Walaupun

analisisnya perlu membatasi, tetapi tidak mudah karena tidak menutup

kemungkinan stakeholder yang kurang diperhitungkan justru merupakan

unsur penting bagi collaborative governance. (Sudarmo, 2011:108)

Collaborative governance juga mencakup pengertian keterlibatan

institusi-institusi mana saja yang tengah memulai usaha kerjasama, dan apa

inisiatif dari masing-masing institusi (stakeholder) dalam menentukan /

mendefinisikan tujuan, menilai hasil, menyebabkan perubahan, dan

sebagainya. Dengan kata lain siapa yang mempengaruhi (atau mengajak)

kepada yang lain. Maka dalam hal ini, siapa yang memulai melakukan

inisiatif bisa dilihat dari tiga aspek. Pertama, inisiatif pasti bermula dari

pemain / pelaku yang memiliki tuntutan jelas untuk mencerminkan

kepentingan publik yang lebih besar. Dalam masyarakat yang sudah sangat

demokratis dan berjalan secara optimal tingkat demokrasinya, semua

pencapaian tujuan yang diperoleh dalam proses kolaborasi tentunya bisa

dinilai. Namun demikian, dalam keadaan demokrasi sangat lemah atau

pemerintahannya itu sendiri tidak demokratis (misalnya tidak bersih/korup)

atau bahkan tidak ada pemerintah, maka menilai hasil kolaborasi sangat tidak

masuk akal dan bahkan dalam secara umum bisa controversial, karena

(38)

commit to user

Kedua, masing-masing stakeholder atau institusi yang berkolaborasi

harus memiliki peran dalam menentukan tujuan-tujuan kolaborasi. Menurut

Donahue (dalam Sudarmo, 2011:109) jika ternyata institusi lain hanya

berperan sebagai agen yang terlibat dalam mengimplementasikan agenda dari

pelaku dominan (atau pelaku utama) maka hubungan yang tercipta pasti

bukan hubungan collaborative governance, tetapi bentuk hubungan yang lain

bisa berupa kooptasi, dominasi dan mungkin saja divide and rule yang

bertentangan dengan democratic collaborative governance. (Sudarmo,

2011:109).

Ketiga, menurut Donahue (dalam Sudarmo, 2011:109-110) hubungan

diantara institusi-institusi yang terlibat harus bersifat strategic, artinya bahwa

setiap institusi dalam melakukan tindakan selalu bisa dilihat secara transparan

oleh institusi lain yang merupakan bagian dalam kolaborasi itu dan antisipasi

bahwa institusi lain akan memberikan respon terhadap perilaku atas tindakan

dari institusi tersebut, sehingga saling memperlihatkan transparansi dalam

bertindak dan antisipasi terhadap respon atas tindakan yang dilakukan dalam

collaborative governance merupakan sebuah kelaziman yang harus terjadi.

Dalam collaborative governance, apakah kolaborasi itu ditujukan untuk

mempertahankan status quo dari pihak-pihak tertentu yang ingin tetap

mempertahankan keadaan yang selama ini memberikan keuntungan dan atau

mempertahankan kekuasaan atau domonasinya sehingga bersifat “defensive”,

ataukah kolaborasi itu bertujuan untuk memperbaiki situasi status quo

(39)

commit to user

tidak membawa kebaikan bagi banyak/semua pihak). Jika kolaborasi ini

dilakukan untuk memperbaiki situasi yang masih bersifat tatus quo, maka

gaya collaborative tersebut merupakan kolaborasi “offensive”. Collaborative

governance bisa mengambil dua bentuk ini, bisa berupa salah satu atau

campuran keduanya. (Sudarmo, 2011:110)

4. Ukuran Keberhasilan Kolaborasi

Provan dan Milward (dalam Sudarmo, 2011:111) mengajukan penilaian

efektivitas kolaborsi secara komprehensif mencakup kolaborasi pada tataran

komunikasi, tataran network dan tataran hubungan antar institusi atau

partisipasi institusi dengan dimensi untuk masing-masing ukuran yang sangat

luas dan kompleks. Namun penilaian ini terlalu luas sehingga memerlukan

waktu dan biaya yang tentu tidak sedikit. Ukuran lain yang dipandang lebih

relevan dengan situasi karena lingkupnya jelas dan terukur serta sejalan

dengan kepentingan penelitian ini adalah ukuran efektivitas kolaborasi yang

dikemukakan oleh DeSave. Menurut DeSave (dalam Sudarmo,

2011:110-111) menyebutkan bahwa terdapat delapan item penting yang bisa dijadikan

untuk mengukur keberhasilan sebuah kolaborasi dalam governance, yang

meliputi : (1) networked structure, (2) commitment to a common purpose, (3)

trust among the participants, (4) governance (termasuk: a) adanya saling

percaya diantara para pelaku, b) ada batas-batas siapa yang tidak boleh

terlibat, c) aturan main yang jelas yang disepakati bersama, dan d) kebebasan

(40)

commit to user

distributive accountability/responsibility, (7) information sharing, dan (8)

access to resources.

Networked structure (Struktur Jaringan) menjelaskan tentang deskripsi

konseptual suatu keterkaitan antara elemen yang satu dengan elemen yang

lain yang menyatu secara bersama-sama yang mencerminkan unsur-unsur

fisik dari jaringan yang ditangani.

Menurut Milward dan Provan (dalam Sudarmo, 2011:111)

mengkategorikan bentuk struktur jaringan ke dalam tiga bentuk, yaitu:

a. Model selv governance. Ditandai dengan struktur dimana tidak terdapat

entitas administratif namun demikian masing-masing stakeholder

berpartisipasi dalam network, dan manajemen dilakukan oleh semua

anggota(stakeholder yang terlibat).

b. Model lead organization. Ditandai dengan adanya entitas administratif

(dan juga menajer yang melakukan jaringan) sebagai anggota network

atau penyedia layanan.

c. Model network administrative organization. Ditandai dengan adanya

entitas administratif secara tegas, yang dibentuk untuk mengelola

network, bukan sebagai “service provider” (penyedia layanan) dan

manajernya di gaji. Model ini merupakan campuran model selv

governancedan model lead organization.

Commitment to a common purpose (Komitmen Terhadap Tujuan)

mengacu pada alasan mengapa sebuah network atau jaringan harus ada.

(41)

commit to user

komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan positif. Tujuan-tujuan ini biasanya

terartikulasikan dari dalam misi umum suatu organisasi pemerintah.

Trust among the participants (Adanya Saling Percaya Diantara Para

Pelaku) didasarkan pada hubungan profesional atau sosial; keyakinan bahwa

partisipan mempercayakan pada informasi-informasi atau usaha-usaha dari

stakeholder lainnya dalam suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama.

Adannya Kepastian Governance atau kejelasan dalam tata kelola,

termasuk (a) boundary dan ekslusivity, yang menegaskan siapa yang termasuk

anggota dan siapa yang bukan termasuk anggota. Ini berarti bahwa jika

sebuah kolaborasi dilakukan, harus ada kejelasan siapa saja yang termasuk

dalam jarinag dan siapa yang diluar jaringan; (b) rule (aturan-aturan) yang

menegaskan sejumlah pembatasan-pembatasan perilaku anggota komunitas

dengan ancaman bahwa mereka akan dikeluarkan jika perilaku mereka tidak

sesuai atau bertentangan dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama;

(c) self determination, yakni kebebasan untuk menentukan bagaimana

network atau kolaborasi akan dijalankian dan siapa saja yang diijinkan untuk

menjalankannya; network management, yakni berkenaan dengan resolusi

penolakan/tantangan, alokasi sumber daya, kontrol kualitas, dan pemeliharaan

organisasi. Ini untuk menegaskan bahwa ciri sebuah kolaborasi yang efektif

adalah jika kolaborasi itu didukung sepenuhnya oleh semua anggota network

tanpa konflik dan pertentangan dalam mencapai tujuan, ketersediaan

sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi yang memenuhi persyaratan

(42)

commit to user

memadai dan berkesinambungan, terdapat penilaian kerja terhadap

masing-masing anggota yang berkolaborasi, dan tetaap mempertahankan eksistensi

masing-masing anggota organisasi untuk tetap adaptif dan berjalan secara

berkesinambungan dan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa

mengganggu kolaborasi itu sendiri.

Access to authority ( Akses Terhadap Kekuasaan ) yakni tersedianya

standar-standar ( ukuran-ukuran ) ketentuan prosedur yang jelas diterima

secara luas. Bagi kebanyakan network, mereka harus memberi kesan kepada

salah satu anggota network untuk memberikan otoritas guna

mengimplementasikan keputusan-keputusan atau menjalankan pekerjaannya.

Distributive accountability / responsibility ( Pembagian Akuntabilitas /

Responsibilitas ) yakni membagi penataan, pengelolaan dan manajemen

secara bersama-sama dengan stakeholder lainnya dan berbagi sejumlah

pembuatan keputusan kepada seluruh anggota jaringan. Dan dengan demikian

berbagi tanggung jawab untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Information sharing ( Berbagi Informasi ) yakni kemudahan akses

kepada para anggota, perlindungan privasi dan keterbatasan akses bagi yang

bukan anggota sepanjang bisa diterima oleh semua pihak. Kemudahan akses

ini bisa mencakup sistem, software dan prosedur yang mudah dan aman untuk

mengakses informasi.

Access to resources (Akses Terhadap Sumberdaya) yakni ketersediaan

sumber keuangan, teknis, manusia dan sumberdaya lainnya yang diperlukan

(43)

commit to user 5. Hambatan Kolaborasi

Terdapat sejumlah faktor yang bisa menyebabkan gagalnya suatu

kolaborasi terutama faktor struktur sosial, faktor kultural dan faktor

kepentingan pemerintahan yang mendominasi termasuk partisipasi aktif dari

berbagai stakeholder. Studi di Canada mengenai terhambatnya jalannya suatu

kolaborasi (dan juga partisipasi) adalah karena disebabkan oleh banyak

faktor, terutama faktor-faktor budaya, institusi-institusi, dan politik.

(Sudarmo, 2011:117)

Berkaitan dengan faktor budaya, kolaborasi bisa gagal karena adanya

kecenderungan budaya ketergantungan pada prosedur dan tidak berani

mengambil terobosan dan resiko. Untuk menciptakan kolaborasi yang efektif

mensyaratkan para pelayan publik untuk memiliki skill (keterampilan) dan

kesediaan untuk masuk ke kemitraan secara pragmatik, yakni berorientasi

pada hasil. Memang memungkinkan mengabaikan konvensi dan menjadikan

segala sesuatu dilakukan dalam kolaborasi, namun melakukan hal seperti ini

dalam pelayanan publik yang tergantung pada prosedur dan tidak bersedia

mengambil resiko tidak mungkin akan menjadikan kolaborasi menjadi

kenyataan. Ketergantungan terhadap prosedur secara berlebihan justru akan

menghambat kolaborasi dan tidak menimbulkan kemajuan bagi peningkatan

kualitas kolaborasi. Dengan kata lain, ketergantungan pada prosedur dan

tidak berani mengambil resiko merupakan salah satu hambatan bagi

(44)

commit to user

Dalam pelayanan publik, “risk-reward calculus” (perhitungan imbalan

resiko) tidak berlaku, sebab pegawai (juga pemimpin) yang berinovasi dan

mereka yang beresiko gagal melalui kolaborasi dalam rangka mencapai hasil

yang lebih baik, jarang dihargai ketika mencapai keberhasilan, dan sering

harus menanggung resiko sendiri ketika inovasinya gagal. Lingkungan seperti

ini justru menciptkan penolakan untuk melakukan pengorganisasian /

penyusunan cara-cara kerja yang fleksibel dan praktis yang sebenarnya bisa

dilakukan melalui kolaborasi, namun dalam kenyataannya justru

menimbulkan ketergantungan terhadap pihak lain. Sebaliknya, sebuah budaya

yang mencakup kegagalan sebagai bagian dari “pembelajaran organisasi”

secara inovatif, justru sangat tepat bagi usaha-usaha kolaborasi. (Sudarmo,

2011:117-118).

Disamping itu, mengapa kolaborasi gagal adalah masih

dipertanyakannya pendekatan “top down” oleh pihak pemerintah ketika

menjalin kolaborasi dengan pihak lain, masih adanya dominasi dari pihak

pemerintah dan tidak menjalankan kesepakatan berdasarkan mentalitas

kerjasama dan egalitarian sebagaimana yang dipersyaratkan bagi berjalannya

sebuah kolaborasi. Juga kolaborasi gagal karena partisipasi dari kelompok

kepentingan atau stakeholder lainnya selama ini seringkali masih dipandang

bukan hal utama dan tidak diperlukan, tidak penting dan didomonasi oleh

kelompok dominan/pihak pemerintah melalui pendekatan top down.

Kolaborasi juga bisa gagal karena kooptasi dan strategi pecah belah dengan

(45)

commit to user

pemerintah dan mengabaikan kelompok yang anti kebijakan pemerintah

(Sudarmo, 2011:118)

Berkaitan dengan faktor institusi. Kolaborasi bisa gagal karena

kecenderungan menerapkan struktur hirarkis terhadap institusi-institusi lain

yang ikut terlibat dalam kerjasama atau kolaborasi tersebut. Institusi-institusi

yang masih terlalu ketat mengadopsi struktur vertikal, yang dengan demikian

akuntabilitas institusi dan arah kebijakannya juga bersifat vertikal, tidak

cocok untuk kolaborasi karena kolaborasi mensyaratkan cara-cara kerja atau

pengorganisasian secara horizontal antara pemerintah dan non-pemerintah.

Bahkan betapapun sebuah pemerintahan mengadopsi sistem pemerintahan

demokratis yang biasanya bersifat “representative democracy” belum tentu

cocok bagi kolaborasi karena demokrasi mensyaratkan tingkat proses dan

derajat formalisme yang begitu besar dibanding dengan kemitraan horizontal.

Dengan kata lain, kolaborasi yang cenderung memiliki sifat spontanitas (yang

kadang tidak memerlukan aturan ketat secara formal dan kadang juga tidak

perlu mengikuti proses tradisional yang biasa dilakukan dalam keseharian

atau sesuai standard operating procedure yang biasa terjadi dalam organisasi

publik yang mekanistik), tidak bisa menggantikan tujuan-tujuan yang

ditentukan secara terpusat dan kebutuhan-kebutuhan negara demokrasi pada

umumnya. (Sudarmo, 2011:119).

Akuntabilitas institusi-institusi publik (organisasi-organisasi milik

pemerintah) cenderung kaku, yakni hanya mengacu pada akuntabilitas pada

(46)

commit to user

akuntabilitas dalam konteks ini lebih menekankan pada responsibilitas.

Padahal isu akuntabilitas sangat kompleks. Pada era dimana peran media

semakin meningkat dan pengawasan dari publik semakin gencar dan muncul

bersama-sama dari berbagai pihak, sulit dibayangkan para pembuat kebijakan

hanya akan menghadapi sedikit persyaratan dalam hal pengkatalogan, arah,

dan rasionalisasi belanja-belanja publik. Padahal kolaborasi menghendaki

persyaratan fleksibilitas ketika sampai pada penggunaan/belanja sumberdaya

milik bersama/publik.

Hambatan lainnya bagi kolaborasi adalah terjadinya dan kakunya

“batasan definisi” dan “kondisi” yang ditentukan pihak pemerintah. Sering

terjadi bahwa dalam organisasi-organisasi pemerintah (publik),

rencana-rencana dan inisiatif-inisiatif terikat oleh harapan, prosedur, ketersediaan dan

sumber daya yang melimpah dan duplikatif, sehingga sulit dibayangkan

menyelenggarakan bentuk kolaborasi dengan para aktor di luar organisasi

untuk memperoleh pemahaman yang sama (Sudarmo, 2011:120).

Disamping itu, masih ada kemungkinan hambatan lainnya adalah tidak

terlihatnya atau belum dikembangkannya strategi-strategi inovatif, dan

kalaupun ada inovasi yang dilakukan, tidak mencerminkan investasi dana

publik secara substansial, bahkan dana-dana tersebut kemungkinan ada di luar

pengamatan, terutama jika dana-dana tersebut membuahkan hasil-hasil

positif. Bahkan segera setelah program semakin besar atau menjadi bagian

dari filosofi yang lebih luas yang memandu semua jenis rencana, atau jika

(47)

commit to user

mengintervensi dan mengatur inisiatif di luar yang kita ketahui. Proses seperti

itu mungkin diikuti dengan ukuran-ukuran akuntabilitas yang sangat ketat dan

kaku, dan pada akhirnya meninjau kembali budaya resiko dan kegagalan yang

muncul dari kolaborasi.

Kemudian berkaitan dengan Politik, kolaborasi bisa gagal karena

kurangnya inovasi para pemimpin dalam mencapai tujuan-tujuan politik yang

kompleks dan kontradiktif. Kepemimpinan yang inovatif (forward-looking)

adalah pemimpin yang bisa memperkenalkan berbagai macam nilai-nilai dan

tujuan-tujuan yang bisa menjadikan sebagai inti pemerintahan yang

kolaboratif, dan memberikan inspirasi terhadap agenda yang ditentukan di

atas tetapi bisa mengarahkan pada pencapaian hasil-hasil positif melalui

kemitraan (Sudarmo, 2011:120). Ini untuk menggarisbawahi bahwa

kolaborasi bisa saja terhambat, jika para pemimpin dari kelompok-kelompok

yang berkolaborasi kurang atau tidak inovatif.

Demikian pula, kolaborasi bisa gagal karena adanya perubahan

kesepakatan yang telah disetujui di awal kesepakatan kerjasama dan

munculnya kepentingan baru yang berbeda-beda diantara stakeholder

termasuk para pemimpin masing-masing kelompok (Sudarmo, 2011:120).

B. Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)

Program RTLH merupakan salah satu program Pemerintah Kota Surakarta

yang bertujuan unruk menjadikan kota Surakarta menjadi Brand Image dalam

penataan kawasan hunian layak huni.Selain itu salah satu misi kota surakarta

(48)

commit to user

Dari hasil pendataan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

tahun 2006, diketahui bahwa terdapat 6.612 rumah tidak layak huni yang

menempati kawasan kumuh seluas + 41, 607 Ha yang dihuni oleh sekitar 3.421

KK atau 15.850 jiwa. Kondisi perumahan kumuh tersebut 39,45% rumah

permanen, 31,6% rumah semi permanen dan sisanya 28,9% rumah tidak

permanen. Salah satunya berada di wilayah kelurahan Kratonan, Kecamatan

Serengan Kota Surakarta. Dari data tersebut maka pemerintah kota Surakarta

merespon dengan dikeluarkannya kebijakan program RTLH berbasis

pemberdayaan masyarakat. Namun sebelum mengetahui lebih jelas mengenai

Program Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni ini, maka kita perlu mengetahui

pengertian kemiskinan terlebih dahulu.

Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai

standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut

garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis

kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk

dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari

dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan,

pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos,

2002).

Dari buku panduan mengenai pemberdayaan dan penanggulangan

kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank, menunjukkan bahwa masalah

kemiskinan merupakan hal yang multidimensi. Secara khusus, World Bank

(49)

commit to user

peningkatan akses peluang terhadap masyarakat miskin, peningkatan keamanan,

dan pemberdayaan masyarakat dalam pertumbuhan ekonomi. World bank sendiri

memiliki fokus kerja dalam pemberian dukungan untuk negara-negara yang

membutuhkan untuk memprioritaskan dua hal, yaitu; (a) membangun iklim

investasi, pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi, dan (b) pemberdayaan

masyarakat miskin dan perbaikan aset yang dimiliki sebagai sebuah investasi.

Buku panduan ini memiliki pembahasan yang menyeluruh, di dalamnya

menekankan empat elemen kunci dalam perbaikan pemerintah guna

pemberdayaan masyarakat miskin; (1) akses terhadap informasi; (2) inklusi/

partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan; (3) akuntabilitas

pemerintah; (4) keterlibatan organisasi masyarakat.

Menurut Riant Nugroho Dwidjowijoto, kriteria kemiskinan yang

menggunakan pendekatan gabungan antara konsep kebutuhan dasar dan rumah

tangga menghasilkan empat asumsi dasar, yaitu (1) unit masyarakat paling kecil

adalah keluarga sehingga status kemiskinan seseorang/individu sangat terkait

dengan status kemiskinan keluarga/rumah tangga; (2) setiap rumah tangga miskin

selalu beranggotakan individu miskin sehingga keberhasilan menentukan sebuah

rumah tangga miskin berarti menunjukkan keberhasilan menentukan

individu-individu miskin dalam sebuah rumah tangga; (3) kebutuhan dasar lebih mudah

diformulasikan dalam unit rumah tangga dibandingkan dalamunit individu; (4)

tidak setiap individu miskin mampu mempunyaipekerjaan dan penghasilan, dan

(50)

commit to user

itu mampu memenuhi standar minimal konsumsi untuk dirinya sendiri (Riant

Nugroho Dwidjowijoto, 2007 : 152).

Kondisi umum Rumah Tidak Layak Huni di Surakarta berdasarkan

Peraturan Walikota Surakarta Nomor 5A Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan

Pemberian Bantuan Pembangunan atau Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni Bagi

Masyarakat Kota Surakarta, adalah sebagai berikut:

1) Bangunan : Dinding terbuat dari anyaman bambu (gedheg), tripleks, papan;

2) Sanitasi & Air bersih terbatas;

3) Lantai : dari tanah dan lembab;

4) Lay out ruangan : tidak ada pembagian ruangan;

5) Tidak mempunyai akses MCK sendiri;

6) Kondisi Lingkungan:

a. Lingkungan kumuh (padat penduduk, padat rumah, tidak beraturan).

b. Saluran pembuangan air tidak memenuhi standar (rendah sanitasi

lingkungan).

c. Minim sarana & prasarana dasar.

d. Lahan tidak sesuai peruntukkan.

7) Kondisi Sosial Ekonomi:

a. Masyarakat berpenghasilan di bawah UMK dan tidak tetap (buruh,

pengemudi becak, piñata parkir).

b. Tingkat pendidikan rendah & putussekolah.

c. Rawan kriminalitas.

Gambar

Tabel 5.2.......................................................................................................
Tabel 1.1 Pelaksanaan Rehabilitasi/Renofasi Rumah Tidak Layak Huni
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Gambar 3.1 Data collection
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan daun pepaya untuk pengobatan ikan mas koki yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila melalui perendaman selama 48 jam pada

Adapun masa sanggah dilaksanakan mulai hari Rabu, 20 Mei 2015 sampai dengan hari Jum’at, 22 Mei 2015, sanggahan dapat disampaikan kepada Ketua Pokja Pelelangan Sederhana

[r]

Dimana ̅ i adalah volume molal parsial dari komponen ke-i secara fisik, ̅ i berarti kenaikan dalam besaran termodinamik V yang diamati bila 1 mol senyawa ditambah ke

One of the ways how the Wagon Dolly can be moved within the factory is by using guide rail. Basically it is used to keep the Wagon Dolly straightly forward during moving

Kepangkatan penasihat hukum yang lebih tinggi dari majelis hakim tidak berpengaruh terhadap independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di

Untuk memenuhi tujuan perusahan tersebut, maka perusahaan perlu memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh yaitu profitabilitas, likuiditas, kebijakan utang dan

N/A Tidak diverifikasi karena Pelaku usaha bukan IPK pada areal kawasan hutan yang dilepaskan untuk peruntukan kegiatan non kehutanan.. Nomor & Judul VERIFIER.. NILAI