• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi - Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi - Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi

Menurut WHO (2005), definisi Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi seperti sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia, trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang).

Menurut Depkes (2005), Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung terus menerus selama 2-7 hari manifestasi perdarahan (peteke, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple leede) positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl),

hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).

2.1.2 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di

(2)

kering misalnya India, Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 mm/tahun, populasi Ae. aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota

dan daerah pedesaan karena kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar dan Thailand kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan (WHO, 2005).

Distribusi Ae. aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ketinggian merupakan faktor yang terpenting untuk membatasi penyebaran nyamuk Ae. aegypti. Ini biasanya ditemukan di atas ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (di atas 500 meter) memiliki populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara ketinggian 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut merupakan batas bagi penyebaran Ae. aegypti. Di bagian dunia lain spesies ini dapat ditemukan di wilayah yang jauh lebih tinggi misalnya di Colombia sampai mencapai 2200 meter (WHO, 2005).

Ae. aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk

arbovirus (arthropod-borne viruses) karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies mempunyai distribusi geografisnya masing-masing namun

(3)

dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dengan pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun (WHO, 2005).

Ae. aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia walaupun spesies ini ditemukan

di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat nyamuk ini juga ditemukan di pedesaan. Penyebaran Ae. aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan larva Ae. aegypti terbawa melalui transportasi (Sutanto dkk, 2008).

Menurut Soedarmo (2009), Arthropoda akan menjadi sumber infeksi selama hidupnya sehingga selain menjadi vektor virus tersebut juga menjadi hospes reservoir virus itu. Penyelidikan ekologi di Malaysia membuktikan bahwa sejenis kera liar di hutan merupakan reservoir virus dengue (Soedarmo, 2009). Demam dengue dapat terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di daerah perkotaan yang bertindak sebagai vektor utama adalah nyamuk Ae. aegypti sedangkan di daerah pedesaan nyamuk Aedes albopictus namun tidak jarang kedua spesies tersebut dijumpai baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Hewan primata merupakan sumber infeksi Dengue di daerah hutan (Soedarto,2007).

(4)

Gambar 2.1. Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2010 dan 2011 Sumber : (Bidang PMK, DKK Medan)

(5)

Gambar 2.2. Peta Kasus DBD di Kota Medan Jan-Sept Tahun 2012

Sumber :(Bidang PMK DKK Medan)

Kasus Demam Berdarah Dengue pada tahun 2012 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 10/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 16/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range IR 16 sampai 37/10.000 penduduk.

2.2 Vektor Penularan DBD

Vektor utama penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah nyamuk Ae. Aegypti. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling penting sementara

spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis anggota kelompok Aedes scutellaris dan Aedes (Finlaya) nives juga merupakan sebagai vektor sekunder.

(6)

walaupun mereka merupakan vektor yang sangat baik untuk virus dengue, epidemi yang ditimbulkannya tidak separah yang diakibatkan oleh Ae. aegypti (WHO, 2005). 2.2.1 Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti

a. Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih,

b. Berkembangbiak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan drum, barang-barang penampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung dan lain-lain,

c. Jarak terbang ± 100 meter,

d. Nyamuk betina bersifat ‘multiple biters‘ (menggigit beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat),

e. Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008). 2.2.2 Taksonomi dan Morfologi

2.2.2.1 Taksonomi

Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan nyamuk Ae. aegypti dalam klasifikasi animalia adalah sebagai berikut :

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Bangsa : Diptera Suku : Culicidae Marga : Aedes

(7)

2.2.2.2. Morfologi

1. Telur : berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan di letakkan satu persatu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Seekor nyamuk betina meletakkan rata-rata 100 butir tiap kali bertelur (Sutanto dkk, 2008).

2. Larva : tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada thorax belum begitu jelas dan corong pernafasan belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax) dan perut (abdomen) (Soegijanto, 2006).

(8)

dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat pupa sejajar dengan bidang permukaan air. Menetas dalam 1-2 hari menjadi nyamuk.

4. Dewasa/imago : tubuhnya tersusun dari tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut. Terdapat tiga pasang tungkai pada toraks, terdapat sayap pada toraks (1-2 pasang) atau tidak ada, memiliki sepasang antena, memiliki mata majemuk dan atau mata tunggal, respirasi melalui stigma atau spirakel, organ reproduksinya terdapat pada ujung abdomen, alat mulut terdiri atas satu pasang mandible (rahang), satu pasang maksila, sebuah labrum (bibir atas) dan labium/bibir bawah (Sembel, D.T.,2009).

Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-penghisap (pierching-sucking) dan lebih menyukai manusia (anthropophagus) sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan /phytophagus (Soegijanto, 2006). Pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa memerlukan waktu sekitar 9 hari (Sutanto, 2008).

2.2.3 Siklus Hidup Nyamuk

(9)

generasi pertahun yang lainnya bisa mempunyai beberapa generasi selama musim dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Mereka sangat bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal terutama suhu dan curah hujan.

Menurut Wijaya (2010) pada awal dan akhir musim penghujan, setelah hujan turun akan timbul genangan-genangan kecil air seperti ban-ban bekas, kaleng bekas,vas bunga bekas, bak yang sudah tidak terpakai lagi. Genangan-genangan air biasanya dimanfaatkan oleh nyamuk Ae.aegypti betina untuk meletakkan telur-telurnya. Telur Ae.aegypti yang belum sempat menetas pada musim penghujan sanggup bertahan terhadap kekeringan pada musim panas selama beberapa bulan. Pada awal musim penghujan telur-telur ini akan digenangi air kemudian menetas menjadi larva yang mengakibatkan peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue sering terjadi pada awal musim penghujan.

(10)

Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti (Soegijanto, 2006) 2.2.4 Etiologi

Menurut Sembel (2009) yang mengutip dari Harwood dan James (1979), Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh salah satu dari empat antigen yang berbeda tetapi sangat dekat satu dengan yang lain yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 dari genus Flavivirus. Keempat serotipe virus dapat ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

2.2.5 Manifestasi Klinis DBD

Masa inkubasi dengue pada manusia sekitar 4-5 hari. Gejala keluhan awal dengue tidak spesifik berlangsung sekitar 1-5 hari berupa demam ringan, sakit kepala

(11)

Kasus khas DHF ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor yaitu demam tinggi, fenomena hemorragis, sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang sampai nyata dengan hemokonsentrasi secara bersamaan

adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DHF (WHO, 1999). Walaupun umurnya pendek yaitu kira-kira 10 hari Ae. aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya 3-10 hari (Sutanto, 2008).

2.2.6 Gejala Demam Berdarah Dengue

Menurut Sembel (2009) mengemukakan gejala-gejala fase akut Demam Berdarah Dengue sebagai berikut :

a. Gejala awal : demam, sakit kepala, gatal-gatal pada otot, gatal-gatal pada persendian, rasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, muntah-muntah.

b. Gejala fase akut : status seperti terguncang (shock-like state) berkeringat banyak (diaphoretic), keringat basah. Ketidaktenangan (restlessness) yang diikuti dengan gejala yang lebih parah, bintik-bintik darah pada permukaan kulit (petechiae), bintik-bintik darah di bawah kulit (ecchymosis), ruam (rash).

Menurut WHO (1995), tanda dan gejala klinis DBD adalah sebagai berikut : a. Gejala klinis : demam tinggi mendadak yang berlangsung 2-7 hari, manifestasi

perdarahan (uji tourniquet, perdarahan spontan berbentuk peteke, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena), hepatomegali,

(12)

b. Laboratorium : Trombositopeni (< 100.000 sel/ml), hemokonsentrasi (kenaikan Ht 20% dibandingkan fase konvalesen).

Menurut WHO (1995) Demam Berdarah Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever diklasifikasikan menjadi empat tingkatan keparahan dimana derajat III dan IV dianggap Sindrom Syok Dengue (DSS). Adanya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II dari DHF dan DF (Dengue Fever).

Derajat I : Demam disertai dengan gejala konstitusional non spesifik, satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes tourniquet positif dan/atau mudah memar.

Derajat II : Perdarahan spontan selain manifestasi pasien pada Derajat I, biasanya pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.

Derajat III : Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta penyempitan tekanan nadi atau hipotensi dengan adanya kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Derajat IV : Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terukur. 2.2.7 Mekanisme Penularan

Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Ae.aegypti. Sewaktu menggigit untuk menghisap darah virus berkembangbiak di dalam kelenjar liur dipangkal belalai nyamuk. Virus hidup dan berkembang subur di dalam darah manusia. Keadaan ini disebut viremia yaitu berkembang virus di dalam darah (Yatim, 2007).

(13)

selanjutnya. Lama waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya (WHO, 1999). Sebagai reaksi tubuh melawan benda asing didalam tubuh timbul panas badan yang secara alami maksudnya untuk melebarkan lumen pembuluh darah untuk mempercepat aliran darah hingga zat penangkal yang secara normal ada di dalam darah bisa segera memusnahkan benda asing tersebut (Yatim, 2007).

Menurut Soegijanto (2006), virus ditularkan ke manusia melalui kelenjar saliva nyamuk kemudian virus bereplikasi dalam organ target, virus menginfeksi sel

darah putih dan jaringan limfatik, virus dilepaskan dan bersikulasi dalam darah manusia, virus yang ada dalam darah tertelan nyamuk kedua virus bereplikasi atau melipatgandakan diri dalam perut nyamuk lainnya menginfeksi kelenjar saliva dan virus bereplikasi dalam kelenjar saliva. Berikut bagan kejadian infeksi virus dengue (Gambar 2.4) :

(14)

Jika nyamuk Ae. aegypti menggigit penderita demam berdarah maka virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk, virus berkembangbiak dan menyebar ke

seluruh tubuh bagian nyamuk dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang dihisap tidak membeku dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain. Di dalam tubuh manusia virus berkembangbiak dalam system retikuloendotelial dengan target utama virus dengue adalah APC (antigen presenting cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan

(15)

Gambar 2.5. Bagan Spektrum Demam Berdarah Dengue (WHO, 2005)

2.2.8 Patogenesis dan Patofisiologi 2.2.8.1 Patogenesis

(16)

tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah antara lain trombosit dan eritrosit. Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran pencernaan (muntah darah, berak darah), saluran pernafasan (mimisan, batuk darah) dan organ vital (jantung, hati, ginjal) yang sering mengakibatkan kematian (Widoyono, 2008).

2.2.8.2 Patofisiologi

Menurut WHO (2004), Patofisiologi Demam Berdarah Dengue ada dua perubahan yang terjadi yaitu :

a. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemia dan syok. Demam Berdarah Dengue memiliki ciri yang unik karena

kebocoran plasma khusus ke arah rongga pleura dan peritoneum selain itu periode kebocoran cukup singkat (24-48 jam).

b. Hemostasis abnormal terjadi akibat vaskulopati, trombositopenia sehingga terjadi berbagai jenis manifestasi perdarahan.

2.2.9 Gambaran Klinis

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas tiga fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.

a. Fase Febris : demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada

beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, infeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda

(17)

b. Fase Kritis : terjadi pada hari 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.

c. Fase Pemulihan : bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik (Sudjana, 2010).

2.2.10 Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen bilamana diperlukan (Chen dkk, 2009 ). Pengobatan yang spesifik untuk DBD tidak ada karena obat terhadap virus dengue belum ada. Oleh karena itu prinsip dasar pengobatan penderita DBD adalah

penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Depkes, 2005). Menurut Soedarto (2007), sampai saat ini untuk virus dengue tidak ada obat yang spesifik untuk memberantasnya. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi akibat perdarahan atau syok dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita serta terapi simtomatis untuk mengurangi gejala dan keluhan penderita. Menurut Soegijanto

(18)

obat baru yang dapat mencegah proses pembekuan darah dan obat antibiotika generasi baru yang masih dapat mengatasi resistensi kuman. Penatalaksanaan kasus DBD yang memungkinkan untuk berobat jalan dan kasus DBD yang dianjurkan rawat tinggal yaitu kasus DBD derajat I dan II. Sedangkan kasus DBD derajat III dan IV merupakan kasus DBD dengan penyulit.

2.2.11 Pengendalian Vektor DBD

Menurut Sukowati (2010), Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit Demam Berdarah (DB)/DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan yaitu dengan pengendalian vektornya. Beberapa metode pengendalian vektor di tingkat pusat dan di daerah adalah :

1) Manajemen Lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi.

2) Pengendalian Biologis merupakan upaya pemanfaatan agen biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis tersebut adalah dari kelompok bakteri yang mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotipe H 14 (Bt.H-14) dan Bacillus sphaericus (Bs), predator seperti ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan cupang) dan cylop (Copepoda).

(19)

4) Partisipasi Masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah melakukan 3 M Plus atau Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

5) Perlindungan Individu untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dengan menggunakan repellent, pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk, baju lengan panjang, memasang kelambu saat tidur, memasang kawat kasa. Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent (obat nyamuk bakar) dan repellent oles.

6) Peraturan Perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan melindungi masyarakat dari risiko penularan DB/DBD. Seluruh Negara mempunyai undang-undang tentang pengawasan penyakit yang berpotensi wabah seperti DBD dengan memberikan kewenangan kepada petugas kesehatan untuk mengambil tindakan atau kebijakan untuk mengendalikannya (Sukowati, 2010).

2.3 Ekologi Vektor

(20)

sebagai ekosistem alam dimana subsistem yang terkait dalam ekosistem ini adalah virus, nyamuk Ae. aegypti, manusia, lingkungan fisik dan lingkungan biologi (Depkes, 2007).

a. Virus dengue. Virus ini termasuk dalam genus Flavivirus dari family Flaviviridae terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4.

b. Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor yang menularkan virus dengue melalui gigitan nyamuk dari orang sakit ke orang sehat.

c. Manusia merupakan sebaran inang (organisme dimana mendapatkan makanan) untuk penyakit DBD.

d. Lingkungan fisik meliputi :

1) Tempat Penampungan Air (TPA) baik di dalam maupun di luar rumah sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti.

2) Ketinggian tempat, dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Ae. aegypti.

3) Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan kelembaban udara terutama untuk daerah pantai.

4) Kecepatan angin juga mempengaruhi pelaksanaan pemberantasan vektor dengan cara fogging.

(21)

2.3.1 Faktor Host (Penjamu)

WHO (2005), virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata yang lebih rendah. Manusia merupakan reservoir utama virus di wilayah perkotaan. Penelitian yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa bangsa kera juga dapat terinfeksi dan kemungkinan merupakan penjamu reservoir walaupun signifikansi epidemiologi dan observasi tersebut tetap dibuktikan. Strain virus dengue dapat tumbuh dengan baik pada kultur jaringan insecta dan sel mamalia setelah diadaptasikan.

2.3.2 Faktor lingkungan

Lingkungan adalah kondisi atau faktor yang berpengaruh yang bukan bagian dari agen maupun penjamu tetapi mampu menginfeksi agen penjamu. Lingkungan dalam penelitian ini meliputi lingkungan fisik (curah hujan, kecepatan angin, kelembaban dan temperatur/suhu udara). Kualitas dan kuantitas berbagai komponen lingkungan yang utamanya berperan sebagai faktor yang menentukan terjadinya atau tidak terjadinya transmisi agen ke host (Soemirat, 2005).

2.4 Bionomik Vektor

(22)

1) Perilaku Makan

Menurut Sutanto (2008), Ae. aegypti sangat antropofilik (menghisap darah manusia), walaupun ia bisa makan dari hewan (zoofilik). Menurut Achmadi (2011), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telur yang didapatkannya dari darah. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor-faktor yang berbeda. Semakin hangat suhu dan semakin tinggi kelembaban sekitar host ditambah dengan gerakan host dan perbedaan warna disekitar mereka akan lebih mempermudah nyamuk untuk mendekati host dan menghisap darahnya demi kelangsungan keturunannya. Sumber darah secara epidemiologis adalah penting karena beberapa mikroorganisme patogen dan parasit yang menyebabkan penyakit dihubungkan dengan host tertentu. Nyamuk yang mencari makan pada burung dan/atau host mamalia dan juga pada manusia disebut perilaku mencari makan oportunistik.

(23)

2) Perilaku Istirahat

Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembap dan tersembunyi

dalam rumah atau bangunan termasuk kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil maupun di dapur (Achmadi, 2008). Tempat istirahat nyamuk ada yang memilih di dalam rumah (endofilik) yaitu dinding rumah, adapula yang memilih di luar rumah (eksofilik) yaitu tanaman, kandang binatang, tempat-tempat dekat tanah atau tempat-tempat-tempat-tempat yang agak tinggi (Sutanto, 2008). 3) Jarak Terbang

Menurut Achmadi (2011), Nyamuk betina dari berbagai spesies dapat terbang tidak lebih dari 100 meter dari habitat larva, sementara yang lain bergerak dengan jarak 1-5 km, seperti Oc. Vigilax nyamuk yang umum ditemukan pada pesisir rawa asin dapat terbang melebihi 50 km, nyamuk Culex annulirostris dapat terbang 5-10 km. Sutanto (2008), Penyebaran nyamuk Ae. aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan. Nyamuk betina mempunyai jarak terbang lebih jauh daripada nyamuk jantan.

4) Lama Hidup

(24)

mikroorganisme yang bersangkutan apakah parasit atau virus serta habitat nyamuk seperti suhu lingkungan. Lazimnya 1-2 minggu. Menurut WHO (2004) Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki rerata lama hidup hanya 8 hari. Selama musim hujan saat masa bertahan hidup lebih panjang risiko penyebaran virus semakin besar. Menurut Sutanto (2008) umur nyamuk dewasa betina di alam bebas rerata 10 hari sedangkan di laboratorium mencapai dua bulan.

5) Kepadatan Musiman

Sebagian besar spesies nyamuk menunjukkan pola kepadatan musiman dengan fluktuasi yang dihubungkan dengan kondisi meteorologi. Banyak spesies yang bersifat musiman dengan puncak kepadatan nyamuk dewasa pertengahan musim panas dan tidak ada pada musim dingin sedangkan di Negara tropis bisa bersifat aktif sepanjang tahun. Faktor terpenting yang menentukan kepadatan populasi nyamuk dewasa adalah produksi larva seperti keberadaan habitat air dan makanan larva. Suhu dan kelembaban juga menguntungkan pertahanan hidup nyamuk dewasa untuk menjadi padat (Achmadi (2011).

(25)

(Depkes,2005). Tergantung dari iklim, beberapa nyamuk bereproduksi sepanjang tahun. Sebagian besar cenderung menghabiskan masa hidup pada kondisi yang berlawanan pada musim dingin atau selama musim kemarau dalam keadaan tidur atau istirahat (Achmadi, 2011).

Menurut Michael (2006) yang dikutip oleh Achmadi (2010) bahwa perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan PSN serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin membaiknya transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.

2.5 Nyamuk sebagai Vektor

(26)

2.6 Faktor yang Memengaruhi Penularan Demam Berdarah Dengue

a) Umur nyamuk atau longevity, nyamuk betina berumur rerata 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk makan, bagi virus cukup untuk berkembangbiak dan selanjutnya menyebarkan virus ke manusia lain.

b) Peluang kontak dengan manusia.

c) Frekuensi menggigit seekor nyamuk. Nyamuk mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat (Soedarmo, 2009).

d) Keberadaan manusia di sekitar nyamuk.

e) Kepadatan nyamuk. Umur nyamuk serta pertumbuhan dipengaruhi suhu. Suhu lingkungan dianggap kondusif berkisar antara 25-300C dan kelembaban 60-80% (Bruce dalam Susanna 2005). Kalau populasi nyamuk terlalu banyak sedangkan ketersediaan pakan misalnya populasi binatang atau manusia di sekitar tidak ada maka kepadatan nyamuk akan merugikan populasi nyamuk itu sendiri. Sebaliknya bila pada satu wilayah cukup padat maka akan meningkatkan kapasitas vektorial yakni kemungkinan tertular akan lebih besar (Achmadi, 2008).

(27)

menjadi imago (Daryono, 2004). Suhu udara mempengaruhi panjang pendeknya masa inkubasi ekstrinsik. Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Hujan yang diselingi panas semakin besar kemungkinan perkembangbiakannya sedangkan pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda (Achmadi, 2008).

2.7 Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Ae. aegypti

Nyamuk berasal dari kategori insecta yang dikenal sebagai Ordo Diptera atau hewan bersayap dua. Dalam diptera, seluruh nyamuk berasal dari kelompok Famili yang dikenal sebagai Culicidae yaitu dengan rentang karakter yang mirip dikelompokkan dalam Subfamili misalnya Culicinae dan Anophelinae, dengan Genus Anopheles dalam subfamili Anophelinae dan Aedes, Culex dan Ochelerotatus pada subfamili Culicinae (MCAA, 2006 dalam Achmadi 2011). Menurut Sutanto dkk (2008) Nyamuk termasuk kelas insecta, ordo diptera dan famili culicidae. Arthropoda mempunyai empat tanda morfologi yang jelas yaitu badan beruas-ruas,

umbai-umbai yang juga beruas-ruas, eksoskelet dan bentuk badan simetris bilateral. Arthropoda memiliki sistem pencernaan, pernapasan (trakhea), saraf (otak dan

ganglion), peredaran darah (terbuka) dan sistem reproduksi. Nyamuk adalah arthropoda yang menyebabkan penyakit (parasit) pada manusia dan binatang

(28)

populasi suatu jenis insecta pada suatu waktu merupakan hasil antara pertemuan dua faktor tersebut.

1) Faktor dalam

a) Kemampuan berkembangbiak dipengaruhi oleh keperidian (natalitas) yaitu besarnya kemampuan suatu jenis insecta untuk melahirkan keturunan baru. Sedangkan fekunditas adalah kemampuan yang dimiliki oleh insecta betina untuk memproduksi telur.

b) Perbandingan kelamin pada umumnya 1:1, akan tetapi karena pengaruh tertentu baik faktor dalam maupun faktor luar seperti keadaan musim dan kepadatan populasi maka perbandingan kelamin ini dapat berubah.

c) Sifat mempertahankan diri. Untuk mempertahankan hidup insecta memiliki alat/kemampuan untuk mempertahankan dan melindungi dirinya dari serangan musuh.

d) Siklus hidup merupakan suatu rangkaian berbagai stadia yang terjadi pada seekor insecta selama pertumbuhannya sejak menjadi telur sampai menjadi dewasa (imago).

e) Umur imago umumnya memiliki umur yang pendek. Misalnya Ae. aegypti memiliki umur sepuluh hari.

2) Faktor luar (faktor fisik, faktor makanan dan faktor hayati)

(29)

maksimum 450C. Suhu 20-30 0C dengan kelembaban > 60 % merupakan suhu ideal bagi kehidupan nyamuk. Diperkirakan apabila suhu meningkat 30C maka akan terjadi proses penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebanyak dua kali lipat (Achmadi, 2011). b) Kelembaban/hujan. Kelembaban yang dimaksud adalah kelembaban

tanah, udara dan tempat hidup insecta dimana merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi dan perkembangan insecta. c) Cahaya/warna/bau. Beberapa aktivitas insecta dipengaruhi oleh

responnya terhadap cahaya sehingga timbul jenis insecta yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari. Cahaya matahari dapat mempengaruhi aktivitas dan distribusi lokalnya.

d) Angin berperan dalam membantu penyebaran insecta terutama insecta yang berukuran kecil. Selain itu angin juga mempengaruhi kandungan air dalam tubuh insecta karena angin mempercepat penguapan dan penyebaran udara (Jumar, 2000).

2.8 Iklim Lingkungan 2.8.1 Definisi

(30)

Menurut National Research Council US (2001) yang dikutip Achmadi (2008), Iklim adalah rerata cuaca pada suatu wilayah tertentu. Rerata cuaca meliputi semua gambaran yang berhubungan dengan suhu, pola angin, curah hujan yang terjadi di permukaan bumi. Cuaca lebih menggambarkan variasi beberapa kondisi variabel secara harian seperti cuaca cerah, mendung, panas dan lain-lain. Sedangkan musim merupakan kondisi harian dalam kurun waktu tertentu misalnya musim kemarau, musim hujan, musim peralihan dan semuanya ini disebut iklim.

Iklim di Sumatera Utara termasuk iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin Passat dan angin Muson. Ketinggian permukaan daratan Propinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar hanya beberapa meter dari permukaan laut beriklim cukup panas bisa mencapai 33,9 0C sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai 13,4 0C. Kelembaban udara rata-rata 78%-91%, curah hujan 800-4000 mm/tahun dan penyinaran matahari 43%. Propinsi Sumatera Utara memiliki musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba (BLH Propinsi Sumatera Utara, 2010).

(31)

penyebaran/distribusi DBD. Menurut Achmadi (2008), akibat suhu global yang semakin panas maka mengakibatkan makin cepatnya perkembangbiakan nyamuk, pendeknya masa kematangan parasit dalam nyamuk, angka gigitan (biting rate) rerata juga meningkat dan meningkatnya kegiatan reproduksi nyamuk.

2.8.2 Unsur Iklim

Menurut Kartasapoetra (2008) unsur-unsur iklim adalah sebagai berikut : a. Curah hujan

(32)

10-12 hari akan berubah menjadi nyamuk (Achmadi, 2010). Curah hujan merupakan salah satu variabel meteorologi yang dapat digunakan sebagai early warming “ pengendalian nyamuk. Curah hujan memiliki pengaruh yang

lebih signifikan (Prihatnolo,2009).

Menurut Achmadi (2010) bahwa faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur (2005-2009) kemungkinan karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembangbiak. Berdasarkan pengamatan terhadap ICH yang dihubungkan dengan kenaikan jumlah kasus DBD maka pada daerah dengan ICH tinggi perlu kewaspadaan sepanjang tahun sedangkan daerah yang terdapat musim kemarau maka kewaspadaan terhadap DBD dimulai saat masuk musim hujan.

(33)

bersama air. Akan tetapi kebanyakan air seperti banjir dan hujan deras yang terus menerus dapat berbahaya pada beberapa insecta. Kelembaban juga berpengaruh pada kemampuan bertelur dan pertumbuhan insecta (Jumar, 2000). Kelembaban mempengaruhi usia nyamuk, masa kawin, penyebaran, kebiasaan makan dan kecepatan virus bereplikasi. Pada kelembaban tinggi umumnya nyamuk hidup lebih lama dan cepat menyebar. Oleh karena itu, nyamuk mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk makan pada orang yang terinfeksi dan menularkan virusnya kepada orang lain (Promprou, 2005 dalam Adriyani, 2012). Nyamuk dapat bertahan pada kelembaban 60-80% (Rumbiak, 2006).

(34)

Menurut Sintorini (2012) yang mengutip dari Gubler (2001) bahwa suhu lingkungan berpengaruh terhadap masa inkubasi ekstrinsik nyamuk. Masa inkubasi ekstrinsik nyamuk dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembaban, tingkat veremia pada manusia dan galur virus. Peningkatan suhu akan mempersingkat masa inkubasi ekstrinsik dan meningkatkan transmisi. Suhu yang meningkat sampai 340C akan mempengaruhi suhu air pada tempat perindukan nyamuk yang selanjutnya berpengaruh terhadap penetasan telur menjadi larva secara lebih cepat (Chistophers, 1960 dalam Sintorini 2012). Suhu lingkungan dengan kelembaban yang tinggi di musim kemarau akan mempengaruhi bionomik nyamuk seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur nyamuk (Achmadi, 2008).

d. Kecepatan angin merupakan gerakan atau perpindahan massa udara dari satu tempat ke tempat lain secara horizontal. Massa udara adalah udara dalam ukuran yang sangat besar yang mempunyai sifat fisik (temperatur dan kelembaban) yang seragam dari arah yang horizontal (Kartasapoetra, 2008). Angin berpengaruh terhadap jarak terbang nyamuk. Kecepatan angin kurang dari 8,5 km/jam tidak mempengaruhi aktivitas nyamuk dan aktivitas nyamuk akan terpengaruh oleh angin pada kecepatan mencapai 8,05 km/jam (2,2 m/detik) atau lebih. Bila kecepatan angin 11-14 meter/detik atau 25-31 mil/jam atau 22-28 knots per jam akan menghambat penerbangan nyamuk (Sitio, 2008).

(35)

angka insiden DBD selama tahun 1997-2000. Menurut Achmadi (2011), kecepatan arah angin, curah hujan dan suhu lingkungan harus diperhatikan karena bisa berperan dalam rangka perkembangbiakan nyamuk terutama nyamuk Aedes di perkotaan.

2.8.3 Iklim dan Kejadian Penyakit

(36)

Menurut Soemirat (2005) iklim berpengaruh terhadap agent hidup di lingkungan dalam terlaksananya siklus reproduksinya. Misalnya mikroorganisme mempunyai syarat bagi kehidupan yang optimum baik temperatur, kelembaban, zat hara dan lain-lain. Agen tidak hidup juga dipengaruhi oleh temperatur, keberadaan cairan dan zat lain disekitarnya yang menentukan ia berada dalam bentuk senyawa seperti apa dalam valensi berapa. Iklim juga berpengaruh terhadap media transmisi penyakit misalnya vektor akan berkembangbiak dengan optimum apabila suhu, kelembaban, zat hara semua tersedia dalam jumlah yang optimum untuk kehidupannya. Pada keadaan optimum nyamuk akan cepat sekali berubah dari fase telur menjadi fase dewasa misalnya 7 hari atau kurang. Iklim juga berpengaruh terhadap host beserta peilakunya misalnya mortalitas dan morbiditas bervariasi atas dasar iklim, penyakitpun banyak yang musiman. Iklim berpengaruh terhadap media transmisi penyakit misalnya vektor akan berkembangbiak dengan optimum apabila suhu, kelembaban, zat hara semua tersedia dalam jumlah yang optimum untuk kehidupannya.

2.8.4 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan

(37)

suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya nyamuk malaria dan demam berdarah akan berkembangbiak dengan cepat. Balita, anak-anak dan lanjut usia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Terbukti tingginya angka kematian yang disebabkan oleh malaria 1-3 juta/tahun dimana 80% nya adalah balita dan anak-anak (Meiviana dkk, 2004). Pola iklim yang terganggu menyebabkan efek tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Efek terhadap pola hujan yang meningkatkan bencana banjir dapat menyebabkan peningkatan penyakit perut karena efeknya pada sumber air dan penyediaan air bersih, penyakit malaria, Demam Berdarah dengue, chikungunya dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui rodent seperti leptospirosis. Efek tidak secara langsung ini menjadi sangat serius di daerah dunia dengan penduduk miskin. Terdapat sejumlah penyakit yang diprediksi prevalensinya akan meningkat sebagai akibat perubahan iklim (Keman, 2007). WHO (2004) telah mengidentifikasi beberapa penyakit yang sangat besar kemungkinan karena perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya wabah. Penyakit diare merupakan penyebab signifikan kesakitan dan kematian secara global. Kesakitan dan kematian penyakit diare berhubungan dengan pemakaian air yang tidak memenuhi syarat kesehatan serta hygiene dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai.

(38)

temperatur 10C di musim kemarau dan meningkat 12% untuk setiap peningkatan temperatur 10C di musim hujan. Di Fiji, studi pada hal yang sama menunjukkan adanya peningkatan kasus bulanan 3% untuk setiap peningkatan temperatur per 10C.

Menurut Keman (2007) di negara maju dilaporkan adanya kasus keracunan di bulan-bulan panas. Salmonella adalah penyebab pada kasus keracunan makanan di England dan Wales dengan jumlah 30.000 - 40.000 kasus per tahun. Bakteri salmonella tumbuh pada makanan pada temperatur ambient dan menunjukkan hubungan linier sampai teratur di atas 7-80C. Perubahan iklim secara tidak langsung mempengaruhi distribusi populasi serta kemampuan nyamuk dalam menyesuaikan diri (Patz, 2006). Nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue hanya berkembangbiak pada daerah tropis yang temperaturnya lebih dari

160C dan pada ketinggian kurang dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Namun sekarang nyamuk tersebut telah banyak ditemukan pada daerah dengan ketinggian 1.000-2.195 meter di atas permukaan laut. Perluasan persebaran ini akan meningkatkan risiko terjangkitnya penyakit DBD di suatu daerah yang belum pernah terjangkit.

(39)

dan morbiditas dikatakan bervariasi atas dasar iklim dan penyakitpun banyak yang musiman. Tidak hanya penyakit atau agennya yang dipengaruhi musim tetapi ternyata manusia juga berperilaku sesuai dengan musim yang ada. Iklim sampai saat ini belum bisa dikelola yang dapat hanya dimonitor dan diprediksi sehingga orang dapat mengambil tindakan preventif apabila diperlukan (Soemirat, 2005).

2.8.4.1 Curah Hujan dengan Demam Berdarah Dengue

Menurut Iriani (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa peningkatan curah hujan akan meningkatkan kejadian DBD di Kota Palembang. Curah hujan dapat meningkatkan transmisi penyakit yang ditularkan oleh vektor dengan cara memacu proliferasi tempat berkembangbiak tetapi dapat juga mengeliminasi tempat berkembangbiak dengan cara menghanyutkan vektor. Curah hujan yang tinggi berpengaruh terhadap tempat perkembangbiakan (breeding place) nyamuk Ae. aegypti. Curah hujan yang tinggi memungkinkan banyak bermunculan breeding

place, namun demikian curah hujan yang tinggi dapat menyapu breeding place yang

ada. Perbedaan datangnya musim hujan dan musim kemarau serta perbedaan lamanya musim hujan dan kemarau menyebabkan pengaruh pada perubahan bionomik nyamuk Ae. aegypti.

(40)

Sintorini (2007) menyatakan bahwa curah hujan mempengaruhi angka hinggap per jam nyamuk Aedes (AHJ). Curah hujan dan AHJ bersama-sama mempengaruhi jumlah kasus DBD di DKI Jakarta.

2.8.4.2 Kelembaban dengan Demam Berdarah Dengue

Musim hujan dan musim kemarau memiliki pengaruh pada tingkat suhu lingkungan. Pengaruh ini cenderung bersifat lokal dengan periode waktu tertentu hal ini dikarenakan tingkat suhu dan kelembaban lebih kompleks dan dipengaruhi oleh fenomena global, regional dan topografi serta vegetasi. Saat pergantian musim penghujan ke musim kemarau suhu udara berkisar antara 23-310C, ini merupakan range suhu yang optimum untuk perkembangbiakan nyamuk (24-280C) akan menstimulus nyamuk untuk menjadi lebih agresif dalam mancari mangsa dan menimbulkan frekuensi gigitan nyamuk semakin meningkat yang pada akhirnya tentu akan meningkatkan probabilitas tertular penyakit (Achmadi, 2008). Apabila kelembaban terlampau rendah yaitu dibawah suhu 20C sampai 420 C maka telur akan menetas dalam waktu 4 hari. Dalam keadaan optimal perkembangan telur sampai nyamuk dewasa berlangsung selama sekurang-kurangnya 9 hari (Soedarmo, 2009). 2.8.4.3 Kecepatan Angin dengan Demam Berdarah Dengue

(41)

aegypti. Kecepatan angin akan mempengaruhi daya jangkau terbang nyamuk Ae.

aegypti.Semakin luas daya jangkau nyamuk maka semakin banyak kesempatan untuk

kontak dengan manusia sehingga umur dan masa reproduksi nyamuk akan semakin panjang (WHO dalam Silaban, 2006).

Berdasarkan penelitian Sungono (2004) di Jakarta Utara pada tahun 1999-2003 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kecepatan angin dengan insiden DBD. Sedangkan menurut penelitian Sulaksana dalam Purba (2006), kecepatan angin11-14m/detik atau 22-28knot maka akan menghambat perkembangan nyamuk sehingga penyebaran vektor menjadi terbatas. Berdasarkan hasil penelitian Dini dkk, (2010) menyatakan bahwa fluktuasi rata-rata kecepatan angin di Kabupaten Serang tahun 2007-2008 hanya 2,5 knot yang berarti jauh dari batas kecepatan angin yang menghambat aktivitas terbang nyamuk yaitu 22-28 knot. Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk dalam rumah sehingga pengaruh angin dalam penyebaran vektor ini sangat kecil.

2.8.4.4 Temperatur/suhu dengan Demam Berdarah Dengue

(42)

kondisi lingkungan yang kering. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap stadium vektor DBD dari mulai telur, larva dan pupa serta bentuk dewasanya sangat bergantung keadaan lingkungan seperti suhu (Dini dkk, 2010).

2.9 Kerangka Teori

Penyakit Demam Berdarah Dengue dapat terjadi karena adanya faktor pendukung yaitu faktor lingkungan yang meliputi lingkungan fisik antara lain suhu udara, curah hujan, kelembaban udara dan kecepatan angin. Lingkungan biologi yaitu keberadaan tanaman di sekitar rumah yang bisa menjadi tempat nyamuk untuk beristirahat dan berkembang biak. Lingkungan biologi yaitu keberadaan tanaman di sekitar rumah yang bisa menjadi tempat nyamuk untuk beristirahat dan berkembang biak. Lingkungan sosial seperti perilaku masyarakat yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya penularan penyakit Demam Berdarah Dengue antara lain kebiasaan menguras Tempat Penampungan Air, kebiasaan menutup Tempat Penampungan Air, kebiasaan mengubur barang bekas dan kebiasaan menggantung pakaian.

Faktor lingkungan mendukung perkembangbiakan nyamuk Ae.aegypty dan Ae.albopictus sehingga dapat meningkatkan kepadatan nyamuk tersebut. Nyamuk

yang mengandung virus Dengue dapat kontak dengan manusia sehingga menimbulkan kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).

(43)

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan Demam Berdarah Dengue. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk. Kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 2.6 Kerangka Teori

(44)

2.10 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka disusun kerangka konsep di bawah ini berdasarkan variabel-variabel yang diteliti. Variabel dependen adalah kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD). Kondisi iklim yang meliputi curah hujan, kelembaban udara, kecepatan angin dan temperatur/suhu udara merupakan bagian lingkungan fisik yang dapat berperan terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue baik langsung maupun tidak langsung. Variabel independen terdiri dari curah hujan, kecepatan angin, kelembaban udara dan temperatur/suhu udara. Berdasarkan kerangka teori dan keterbatasan data yang ada maka kerangka konsep dalam penelitian ini sebagai berikut (gambar 2.7) :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.7 Kerangka Konsep

Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Curah Hujan

Kecepatan Angin

Kelembaban Udara

Gambar

Gambar 2.1.  Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2010 dan 2011
Gambar 2.2.  Peta Kasus DBD di Kota Medan Jan-Sept Tahun 2012
Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti (Soegijanto, 2006)
Gambar 2.4. Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue (Soegijanto, 2006)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan, hasil hipotesis 3 menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor tes akhir hasil belajar keterampilan

Kebutuhan alumina PT Inalum saat ini sebanyak 500.000 ton (setara 775.000 ton) per tahun, sementara kemampuan produksi bijih bauksit per tahun di Kalimantan Barat sebesar

Knowledge management nursing care model was proven effective in improving patients’ adherence to treatment; this includes patients knowledge and ability in managing

Besar kecilnya persoalan yang dihadapi tergantung dari pandangan dan cara mereka menyelesaikan persoalan tersebut, tidak sedikit dari pasangan suami istri merasa bahwa

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 39 ayat 1 huruf f dan g, Pejabat yang berwenang dapat menolak membuatkan

“Inilah Lima Kudapan Khas Orang Jepang di Musim Panas”.Japanese Station Portal Berita Jepang.10 Mei 2014.5 Juni. “Oyatsu Cemilan Sore

Rumus statistik dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman ( hyperlink ) yang bersifat statis. Analisis jalur digunakan jika terdapat variabel mediasi. Dalam penelitian