• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN

OLEH ANAK

A. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme

a. Latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Teror menjadi masalah dunia dengan hebat, ketika WTC New York pada

11 September 2001 telah luluh lantak oleh 2 pesawat terbang secara bergantian

yang dilakukan oleh teroris.18

18

Masyhur Effendi,HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham(Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat,Ghalia Indonesia,Bogor Selatan,2007,hal.222

(2)

menjadi babak baru peta “keharusan” membangun sistem keamanan guna

menangkal terorisme global. Salah satunya yaitu dengan menyusun langkah

politik dan hukum untuk memburu semua pelaku terorisme. UN Security Council

kemudian mengeluarkan Resolusi Nomor 1373 beberapa hari setelah peledakan

WTC yang mewajibkan kepada seluruh negara untuk bekerja sama secara

sungguh-sungguh mencegah dan memberantas terorisme, melalui peningkatan

kerja sama antar negara dan melaksanakan dengan penuh segala konvensi

internasional yang berhubungan dengan terorisme.19

Kejahatan terorisme telah digolongkan dalam kejahatan istimewa/ luar

biasa (extra ordinary crime), dengan melihat dan mengingat terorisme dilakukan

oleh penjahat-penjahat yang tergolong professional, produk rekayasa dan

pembuktian kemampuan intelektual, terorganisir, dan didukung dana yang tidak

sedikit. Selain itu, kejahatan ini bukan hanya menjatuhkan kewibawaan Negara

dan bangsa, tetapi juga mengakibatkan korban rakyat tidak berdosa yang tidak

sedikit.20

Perdebatan tentang adanya bahaya terorisme ini berlangsung teramat politis di Indonesia. Sebagian kalangan meyakini bahwa di Indonesia tidak terdapat terorisme. DPR bahkan sempat menolak membentuk panitia khusus membahas betapa besarnya ancaman berbagai bentuk teror yang telah melanda selama ini. Sebagian lagi menyatakan bahwa terorisme di Target dan sasaran sering ditujukan kepada sekumpulan warga

masyarakat (di mall, pantai, hotel, perkantoran, dan sebagainya) yang sangat

rentan terhadap kejadian tersebut, serta tidak diduga sama sekali. Terorisme

kemudian menjadi senjata ampuh dari pihak-pihak yang tidak mempunyai

kekuatan.

19

Ali Masyhar,2009,Op cit,hal.64 20

(3)

Indonesia telah menjelma menjadi ancaman serius dalam lima tahun

terakhir. 21

Serangan terorisme berupa peledakan bom yang terjadi di Bali pada

tanggal 12 Oktober 2002 menjadi awal mula peperangan pemerintah Indonesia

terhadap terorisme dan mengakhiri perdebatan tentang terorisme di Indonesia.

Jatuhnya ratusan korban (asing) menempatkan Indonesia pada posisi yang tidak

mempunyai pilihan kecuali serius menanggulangi terorisme. Aksi terorisme ini

lah yang melatarbelakangi pemerintah untuk sesegera mungkin membuat

peraturan perundangan untuk menanggulangi terorisme. Dimana belum ada aturan

atau ketentuan yang komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak

pidana terorisme, termasuk KUHP dan KUHAP.

22

Penjelasan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga menyebutkan latar

belakang lahirnya Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu terorisme merupakan

kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu

ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah

merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya Ditegaskan dalam

pertimbangan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyatakan bahwa peraturan

PerUndang-Undangan yang berlaku sampai saat ini belum secara komprehensif

dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme.

21 Ibid,

hal. 66 22

(4)

terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan masyarakat

sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan

sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.23

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kemudian diangkat menjadi

Undang-Undang paada tahun 2003, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme menjadi Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

diangkat menjadi Undang-Undang,yaitu Undang- undang Republik Indonesia

Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Peraturan Pemerintah Pemerintah atas desakan berbagai pihak kemudian bertindak cepat dengan

membentuk Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 tepat

setelah serangan terorisme di Bali 12 Oktober 2002.

23

(5)

Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, menjadi

Undang-Undang.

Undang-Undang No. 16 tahun 2003 mengenai Tindak Pidana Terorisme

pada peristiwa peledakan bom Bali 12 Oktober 2002 kemudian dibatalkan oleh

Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 23 Juli 2004, sehingga Undang-Undang

tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. Beberapa pertimbangan MK antara

lain tidak dilakukannya asas retroaktif, tidak ada defenisi formal/universal tentang

terorisme, dan kejahatan bom Bali masuk kejahatan biasa yang keji sehingga

kejahatan bom Bali tidak membuat efektif Undang-Undang No. 16/2003. 24

b. Sanksi Tindak Pidana Terorisme dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Ketentuan umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mendefenisikan

terorisme sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana

sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang

ini.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membagi tindak pidana

terorisme menjadi 2 bagian, yaitu ;

24

(6)

a. Tindak pidana terorisme, dan

b. Tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.

Tindak pidana terorisme dirumuskan dalam Bab III Pasal 6-19 Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme. Dimana perumusan tersebut dapat dibagi dalam 3

bagian, yaitu:25

a.Pasal 6-16 mengatur tentang tindak pidana terorisme

b.Pasal 17-18 mengatur tentang tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh

Korporasi

c.Pasal 19 mengatur tentang pengecualian penjatuhan pidana minimum

khusus, pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup bagi pelaku

tindak pidana terorisme yang berada di bawah umur 18 tahun.

Tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme diatur dalam

Bab III Undang-Undang terorisme Pasal 20-24. Undang-Undang terorisme ini

merumuskan 4 jenis perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana lain yang

berhubungan dengan tindak pidana terorisme, yaitu;26

1. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan

mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum,

dan/atau hakim yang menangani tindak pidan terorisme sehingga proses

peradilan menjadi tergganggu.27

25

Ali Masyhar,2009,Op cit, hal .86 26

Ibid, hal. 106-107 27

(7)

2. Memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang

bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum disidang

pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi termasuk petugas

pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme.28

3. Mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak

langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

dalam perkara tindak pidana terorisme.

29

4. Saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme

yang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang

memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.30

Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme mengkualifikasikan Tindak Pidana terorisme sebagai berikut:

Lihat Pasal 21 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

29

Lihat Pasal 22 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hal.32. Delik materiil merupakan tindak pidana berdasarkan akibat yang ditimbulkan , atau disebut dengan akibat yang diarang atau akibat konstitutif

33

Adami Chazawi, Ibid, Delik formil adalah tindak pidana berdasarkan perbuatan-perbuatan yang dilarang.

34

(8)

e. Delik Penyertaan36

f. Delik Perencanaan

37

Rumusan tindak pidana terorisme termuat dalam Pasal 6 dan Pasal 7

Undang-Undang No. 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.38

Pasal ini adalah termasuk dalam delik materiil, yaitu yang ditekankan pada

akibat yang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta atau kerusakan dan

kehancuran. Apabila dicermati, rumusan Pasal 6 diatas dapat diurai kedalam 2

tindakan yaitu; Pasal 6 :

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

39

a. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana

teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain

b. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan mengakibatkan

kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional.

35

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hal.105. Dikatakan sebagai delik pembantuan adalah perbuatan orang yang membantu orang lain melakukan suatu kejahatan.

36

Mohammad Ekaputra, Percobaan dan Penyertaan, Medan, USU Press, 2009, hal. 39 Dikatakan delik penyertaan adalah apabila dalam suatu peristiwa tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Keterlibatan ini dapat dilakukan secara psikis atau pisik.

37

Delik perencanaan adalah perbuatan pidana dengan merencanakan terjadinya suatu tindak pidana.

38

Ali Masyhar,2009, Loc cit

39

(9)

Rumusan tersebut dapat ditafsirkan menjadi tindakan sendiri-sendiri

karena sama-sama merupakan akibat yang ditimbulkan sehingga kedudukannya

sejajar dalam struktur kalimat.

Pasal 7:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

Pasal ini menggunakan perumusan delik formil yaitu delik yang

perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Perbuatan yang

dilarang dan dikategorikan sebagai terorisme adalah bermaksud untuk melakukan

perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dimana

perbuatan tersebut dapat menimbulkan suasana teror ditengah-tengah masyarakat.

Rumusan Pasal 7 dapat diurai menjadi dua tindakan, yaitu;40

a. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk

menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain..

b. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk

menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

Rumusan tindak pidana dalam Pasal 8 sampai Pasal 12 Undang-Undang

Terorisme, bisa dikatakan sebagai “terorisasi” terhadap tindak pidana biasa.41

(10)

Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:

a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan

untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan

untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,

mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;

d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan

penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;

e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak

dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;

f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan,

membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;

g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak

dapat dipakai, atau rusak;

h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan

melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;

i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas

atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;

j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau

ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;

k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat,

dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;

l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan

(11)

m.dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;

n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan

ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;

o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai

kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;

p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena

perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;

q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan

keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;

r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat

mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan.

Pasal diatas mengatur tentang tindak pidana terorisme yang dilakukan

terhadap fasilitas umum yaitu fasilitas penerbangan. Diatur dalam Pasal-Pasal 479

e sampai dengan Pasal 479 h KUHP disebutkan yaitu sebagai tindak pidana

menghancurkan, mencelakakan, membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara,

yang dilakukan karena sengaja maupun kealpaan: menimbulkan kebakaran,

ledakan, kecelakaan, kehancuran dan lain sebagainya. Terhadap pesawat udara

ataupun fasilitas penerbangan dengan maksud mencari keuntungan untuk dirinya

sendiri atas kerugian penanggung asuransi.

Pasal 9:

(12)

dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal diatas adalah termasuk dalam delik formil, yaitu yang menyangkut

perbuatan yang dilarang adalah perbuatan membuat, menerima, menyerahkan,

membawa, mempergunakan bahan-bahan yang dilarang penguasaannya kecuali

dengan izin pemerintah seperti senjata api, amunisi. Dan selanjutnya yang

dimaksud dengan “bahan berbahaya lainnya” adalah yang termasuk gas beracun

dan bahan kimia lainnya yang dimasukkan atau disediakan dengan melawan

hukum dengan tujuan untuk digunakan kegiatan terorisme. Pasal ini diadopsi dari

Pasal 1 Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api setelah

ditambahkan elemen khusus berupa dolus specialis dengan maksud untuk

melakukan tindak pidana terorisme.42

Pasal diatas termasuk dalam delik baru dan tergolong dalam delik formil

yang titik tekannya menyangkut perbuatan yang dilarang, dan kaitannya dengan

yang ada dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme yang sering disebut sebagai technological terrorism

(tindak pidana terorisme yang dalam perbuatan kejahatannya menggunakan Pasal 10:

Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

42

(13)

tekhnologi) yaitu yang memanfaatkan bahan-bahan kimia, senjata biologis,

radiologi, mikro-organisme, radioaktif, dan komponennya, dan yang lain ialah

tindak pidan berupa dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta

kekayaan dengan tujuan akan digunakan untuk kegiatan terorisme.

Pasal 11:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.

Kegiatan pendanaan dalam setiap aksi terorisme merupakan tulang

punggung utama dari kegiatan tersebut. Disebutkan sebagai pihak yang

memberikan bantuan/perbantuan dalam bidang pendanaan.

Pasal 12:

Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan :

a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;

b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ;

c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;

d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;

e. mengancam :

(14)

2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf

a, huruf b, atau huruf c; dan

g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f.

Tindak pidana terorisme dalam peraturan ini adalah setiap perbuatan yang

dilakukan oleh orang ataupun korporasi yang mengandung unsur-unsur yang

terdapat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pasal 13:

Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :

a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;

b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau

c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun

Pasal ini mendefenisikan pelaku tindak pidana terorisme, yaitu orang yang

memberikan kemudahan atau tindakan memberikanbantuan. Setelah tindak pidana

dilakukan, dan disebutkan juga mengenai actor intelektual ialah orang yang

dimaksud dengan merencanakan. Termasuk mempersiapkan diri baik secara fisik,

financial, maupun SDM. Termasuk juga orang menggerakkan adalah perbuatan

melakukan hasutan dan provokasi, pemberian hadiah atau uang atau janji-janji,

menggerakkan juga dapat dilakukan dengan cara penghasutan. 43

43

(15)

Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk

melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,

Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

Pasal ini termasuk dalam delik perencanaan, yang dimaksud dengan

perencana dalam Pasal ini adalah orang yang merencanakan aksi terorisme,

menetapkan tujuan, pengawas dari sebuah organisasi teroris.

Pasal 15:

Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau

pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan

Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak

pidananya.

Pasal 13 dan Pasal 15 termasuk dalam delik percobaan, pembantuan

(sebelum dan pada saat kejahatan dilakukan), percobaan dan pemufakatan jahat

yang dipidana setara pelaku atau tindak pidana sempurna pembantuan dan

penyertaan. Pasal 16 juga mengatur tentang penyertaan dan pembantuan, yang

berbunyi:

(16)

Selain dilakukan oleh seseorang, tindak pidana terorisme juga dilakukan

oleh Korporasi/perkumpulan. Dan mengenai korporasi sebagai subjek tindak

pidana terorisme terkandung dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu:

Pasal 17:

(1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

Pasal 18

(1) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).

Pelaku tindak pidana terorisme tidak terlepas dari orang yang telah

dianggap dewasa, tetapi juga seseorang yang belum dianggap dewasa atau disebut

anak. Undang-Undang terorisme no 15 tahun 2003 memberi pengaturan khusus

terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme ini, yang tercantum dalam

Pasal 19 dan Pasal 24, yaitu;

Pasal 19:

Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

(17)

Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk

pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas)

tahun.

Pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana terorisme

dan tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme ini meliputi orang perorangan

(natural person) maupun badan hukum/korporasi (legal person), baik sebagai

pelaku (dader), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta (medepleger),

pembujukan (uitlokker) maupun pembantuan. Khusus mengenai pembantuan,

Undang-Undang terorisme tidak hanya membatasi pembantuan sebelum

dilakukannya tertorisme dan pada saat dilakukannya terorisme tetapi juga

mengenal pembantuan setelah dilakukannya terorisme.44

1. Pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara tertentu

(dengan batasan minimal dan maksimal)

Undang-Undang Terorisme merumuskan enam bentuk pemidanaan, yaitu:

2. Pidana penjara seumur hidup

3. Pidana penjara (dengan batasan minimal dan maksimal)

4. Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

5. Pidana kurungan

Undang-Undang Terorisme menganut dua sitem perumusan yaitu:

a. Perumusan tunggal (hanya diancam dengan satu pidana pokok)

b. Perumusan alternative

44

(18)

Pidana pokok yang diancamkan secara tunggal hanyalah ancaman pidana penjara (baik seumur hidup maupun penjara waktu tertentu), kurungan dan denda. Sedangkan pidana mati tidak ada yang diancamkan secara tunggal, selalu dirumuskan alternative dengan pidana penjara

seumur hidup dan pidana penjara dalam waktu tertentu.45

Tanggal 7 Maret 2006, DPR telah meratifikasi konvensi internasional

yaitu International Convention for The Suppression of Terrorist Bombings 1997

(Konvensi International Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris 1997).

2. Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan International

Convention for The Suppression of Terrorist Bombings 1997 (Konvensi

International Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris 1997) menjadi

Undang-Undang

a. Latar Belakang lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang

Pengesahan International Convention for The Suppression of Terrorist

Bombings 1997 (Konvensi International Pemberantasan Pengeboman oleh

Teroris 1997) menjadi Undang-Undang

46

45

Ibid, hal. 139 46

Masyhur Efendi, 2007, Op cit hal. 234

Dalam

latar belakang pengesahan International Convention for The Suppression of

Terrorist Bombings 1997 dijelaskan Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak

(19)

(Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris, 1997).

Tindakan terorisme sesungguhnya merupakan kejahatan luar biasa dan

pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang tidak membeda-bedakan target

serta korban. Ciri-ciri kejahatan terorisme tersebut membedakannya dengan

kejahatan yang lain. Indonesia telah mengalami akibat tindakan terorisme yang

secara keseluruhan telah menimbulkan korban jiwa dan materi dalam jumlah yang

sangat besar. Kerugian tersebut menjadi lebih luas dengan timbulnya kerugian

ekonomi dan citra buruk terhadap keamanan di Indonesia.47

Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa

mempunyai komitmen untuk melakukan aksesi terhadap International Convention

for the Suppression of Terrorist Bombings, 1997 (Konvensi Internasional

Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris, 1997) sebagai salah satu upaya dalam

memberantas tindak pidana terorisme melalui kerja sama bilateral, regional

maupun internasional.

Tindakan terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan dengan skala

global, maka penanggulangannya secara efektif harus dilakukan melalui

kerjasama internasional meliputi tiga hal utama:

a. pembakuan aturan yang merupakan rujukan bersama masyarakat

internasional;

b. pengembangan lembaga dan peraturan perUndang-Undangan nasional serta

kerjasama antar lembaga; dan

c. pemberantasan terorisme dan jaringannya.

47

(20)

Berikut isi Undang-Undang No. 5 Tahun 2006:

Pasal 1

(1) Mengesahkan International Convention for the Suppression of

Terrorist Bombings, 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan

Pengeboman oleh Teroris, 1997) dengan Pernyataan (Declaration) terhadap Pasal 6 dan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 20.

(2) Salinan naskah asli International Convention For the Suppression of

Terrorist Bombings, 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan

Pengeboman oleh Teroris, 1997), Pernyataan (Declaration) terhadap Pasal 6 dan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 20 dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 2

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

b. Sanksi Tindak Pidana Terorisme dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2006

tentang Pengesahan International Convention for The Suppression of

Terrorist Bombings 1997 (Konvensi International Pemberantasan

Pengeboman oleh Teroris 1997) menjadi Undang-Undang

Pengertian tindak pidana terorisme menurut isi Konvensi Pemberantasan

Pengeboman oleh teroris 1997 terdapat dalam Pasal 2 yaitu;48

48

Masyhur Efendi,2007, Loc cit

Pasal 2 (Ruang Lingkup Tindak Pidana)

(21)

Konvensi ini mengatur ketentuan tindak pidana dan penanganannya yang

terdapat dalam paragraf operasional Konvensi, kewajiban negara untuk

mengambil tindakan hukum dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana

serta mengatur kerja sama internasional dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana terorisme. Konvensi tersebut terdiri atas Pembukaan

dan 24 (dua puluh empat) Pasal. Pembukaan Konvensi menegaskan kembali

komitmen negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengecam dan

memberantas secara sungguh-sungguh seluruh tindakan, metode, dan praktik

terorisme sebagai tindak pidana, yang dilakukan di mana pun dan oleh siapa pun.

Pembukaan Konvensi juga mengamanatkan negara melakukan dan

meningkatkan kerja sama dalam mencegah dan memberantas aksi terorisme

mengingat serangan teroris, khususnya dengan cara pengeboman, telah

menimbulkan keprihatinan yang dalam bagi masyarakat internasional.

Pengaturan sanksi pidana dalam konvensi ini dikembalikan kedalam

hukum nasional negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili para tersangka

terorisme. Apabila Indonesia yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili tersangka,

maka ketentuan yang berlaku adalah KUHP,KUHAP,UNDANG-UNDANG No.

15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme atau ketentuan

lain yang dapat digunakan untuk mengadili tersangka. Ketentuan tersebut

tercantum dalam Pasal 4, Pasal 7 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 konvensi

International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, 1997.

Pasal 4

(22)

a. Untuk menetapkan sebagai kejahatan-kejahatan kriminal berdasarkan hukum nasionalnya atas kejahatankejahatan yang ditetapkan dalam Pasal 2 dari Konvensi ini;

b. Untuk menjadikan kejahatan-kejahatan tersebut dapat dihukum dengan hukuman-hukuman yang pantas dengan memperhatikan sifat beratnya kejahatan tersebut.

Pasal 4 tersebut mengatur tindakan yang harus dilakukan oleh Negara

Pihak,berkaitan dengan tindak pidana terorisme, yaitu dengan menetapkannya

sebagai suatu tindak pidana dalam hukum nasionalnya dan menjadikan tindak

pidana tersebut dapat dipidana dengan hukuman yang pantas.49

Pasal 5 mengatur bahwa Negara Pihak harus pula melakukan upaya untuk

menjamin tindak pidana tersebut tidak dapat diberi pembenaran berdasarkan

pertimbangan politik, filosofi, ideologi, ras, etnik, dan agama. Pasal 5

Setiap Negara Pihak wajib mengambil upaya-upaya yang mungkin perlu, termasuk, apabila diperlukan,mengesahkan peraturan perundangan nasional, untuk menjamin bahwa tindakan-tindakan kejahatan dalam ruang lingkup Konvensi ini tidak termasuk hal-hal yang dapat dibenarkan dengan pertimbangan politis, filosofis,ideologis, ras, etnis, agama atau hal-hal lain yang sifatnya sama dan dijatuhi hukuman yang sesuai dengan beratnya kejahatan.

50

2. Setelah bukti-bukti penahan telah cukup, Negara Pihak di mana pelaku kejahatan atau tersangka berada di dalam wilayahnya wajib mengambil tindakan-tindakan sesuai dengan hukum nasionalnya Pasal 7

1. Setelah menerima informasi bahwa seseorang yang telah melakukan atau yang diduga telah melakukan suatu kejahatan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 yang mungkin berada di dalam wilayahnya,Negara Pihak yang bersangkutan wajib mengambil tindakan-tindakan yang mungkin perlu berdasarkan hukum nasionalnya untuk menyelidiki fakta-fakta yang terdapat dalam informasi tersebut.

49

Lihat Penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan

International Convention for The Suppression of Terrorist Bombings 1997

50

Lihat Penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan

(23)

untuk menjaga keberadaan orang tersebut untuk tujuan penuntutan atau ekstradisi.

Pasal 7 mengatur kewajiban Negara Pihak untuk melakukan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana untuk tujuan penuntutan atau ekstradisi setelah memiliki bukti penahanan yang cukup. Pasal ini juga mengatur hak tersangka pelaku tindak pidana yang ditahan, terutama hak untuk berkomunikasi dan dikunjungi oleh perwakilan

negaranya.51

51

Lihat Penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan

International Convention for The Suppression of Terrorist Bombings 1997

Pasal 8

1. Negara Pihak di wilayah di mana tersangka pelaku berada, dalam kasus-kasus di mana Pasal 6 berlaku,jika Negara itu tidak mengekstradisi orang tersebut, diwajibkan, tanpa pengecualian apapun dan apakah kejahatan tersebut dilakukan baik di dalam maupun di luar wilayahnya, untuk mengajukan kasus tersebut tanpa penundaan kepada pihak-pihak yang berwenang dengan tujuan penuntutan, melalui proses pengadilan sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan Negara tersebut. Pihak-pihak yang berwenang tersebut wajib mengambil keputusan mereka dengan cara yang sama sebagaimana setiap kasus kejahatan berat lainnya berdasarkan peraturan perUndang-Undangan Negara tersebut.

2. Bilamana suatu Negara Pihak diperbolehkan berdasarkan hukum nasionalnya untuk mengekstradisi atau menyerahkan salah seorang warga negaranya hanya dengan syarat bahwa orang tersebut akan dikembalikan kepada Negara tersebut untuk menjalani hukuman yang dijatuhkan sebagai hasil dari persidangan atau proses pengadilan di mana orang itu dimintai untuk diekstradisi atau diserahkan, dan Negara ini dan Negara yang meminta ekstradisi orang tersebut setuju dengan pilihan ini dan pengaturan lain yang dapat dianggap tepat, maka ekstradisi atau penyerahan bersyarat tersebut cukup untuk membebaskan kewajiban seperti yang ditetapkan dalam ayat 1 dari Pasal ini.

Pasal 8 tersebut diatas mengatur kewajiban Negara Pihak untuk segera

melakukan proses peradilan sesuai dengan hukum nasional apabila negara tersebut

tidak melakukan ekstradisi terhadap tersangka pelaku tindak pidana yang berada

(24)

3. Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International

Convention of the Suppression of the Financing of the Terrorism 1999

(Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999) menjadi

Undang-Undang

a. Latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang

Pengesahan International Convention of the Suppression of the Financing of

the Terrorism 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan

Terorisme 1999) menjadi Undang-Undang

DPR setelah meratifikasi International Convention for The Suppression of

Terrorist Bombings 1997 (Konvensi International Pemberantasan Pengeboman

oleh Teroris 1997, DPR kemudian juga meratifikasi International Convention of

the Suppression of the Financing of the Terrorism 1999 (Konvensi Internasional

Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999) melalui Undang-Undang No. 6 Tahun

2006.52

52

Masyhur Efendi,2007, Loc cit

Dalam penjelasan Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 dijelaskan

Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Convention for

the Suppression the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional

Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999). Terorisme merupakan kejahatan luar

biasa dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak yang paling

dasar, yaitu hak hidup. Unsur pendanaan merupakan faktor utama dalam setiap

aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diyakini

(25)

Pemberantasan terorisme dan pendanaannya akan lebih efektif apabila

dilakukan melalui kerja sama internasional dalam pembentukan suatu aturan

internasional yang menjadi rujukan bersama. Ratifikasi Konvensi merupakan

pemenuhan kewajiban Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa

terhadap Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1373.

Resolusi tersebut meminta setiap negara anggota untuk mengambil langkah

pemberantasan terorisme, termasuk meratifikasi 12 (dua belas) Konvensi

Internasional mengenai terorisme. Ratifikasi ini menunjukkan komitmen

Indonesia dalam pemberantasan pendanaan terorisme. Indonesia mempunyai

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

juncto Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, yang sejalan dengan ketentuan

yang diamanatkan oleh Konvensi.53

Berikut isi Undang-Undang No. 6 Tahun 2006:

Pasal 1

(1) Mengesahkan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999) dengan Pernyataan (Dedaration) terhadap Pasal 2 ayat (2) huruf a dan Pasal 7 serta Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 24 ayat (1).

(2) Salinan naskah asli International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999), Pernyataan (Dedaration) terhadap Pasal 2 ayat (2) huruf a dan Pasal 7 serta Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 24 ayat (1) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 2

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

53

(26)

b. Sanksi Tindak Pidana Terorisme dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2006

tentang Pengesahan International Convention of the Suppression of the

Financing of the Terrorism 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan

Pendanaan Terorisme 1999) menjadi Undang-Undang

Pengertian atau ruang lingkup tindak pidana menurut isi Konvensi

Pemberantasan Pendanaan terorisme tahun 1999 yaitu terdapat dalam Pasal 2 ;54

54

Masyhur Efendi,2007, Op cit, hal 235 Pasal 2

mengatur tindakan yang ditetapkan sebagai suatu tindak pidana. Konvensi menetapkan bahwa setiap orang dianggap telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut secara langsung atau tidak langsung, secara melawan hukum dan dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan niat akan digunakan atau dengan sepengetahuannya akan digunakan, secara keseluruhan atau sebagian, untuk melakukan tindakan yang dapat menimbulkan suatu akibat yang tercakup dan dirumuskan

dalam salah satu Konvensi yang tercantum dalam Annex. Konvensi juga

menetapkan tindakan lain yang ditujukan untuk menyebabkan kematian atau luka berat terhadap warga sipil atau orang lain yang tidak secara aktif ikut serta dalam konflik bersenjata. Tindakan itu bermaksud, dengan sengaja, untuk mengintimidasi sejumlah orang, untuk memaksa pemerintah, atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan. Terhadap Pasal ini Indonesia menyampaikan

Pernyataan mengenai Annex yang berkaitan dengan konvensi apa saja

yang tidak diratifikasi Indonesia.

Konvensi yang dimaksud oleh Undang-Undang ini mengatur tindak pidana

yang terdapat dalam paragraf operasional Konvensi, kewajiban negara untuk

mengambil tindakan hukum dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana,

serta mengatur kerja sama internasional dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana terorisme, terutama pendanaan terorisme. Konvensi

(27)

Pengaturan sanksi pidana dalam konvensi ini dikembalikan kedalam

hukum nasional negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili para tersangka

terorisme. Apabila Indonesia yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili tersangka,

maka ketentuan yang berlaku adalah KUHP,KUHAP,UNDANG-UNDANG No.

15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme atau ketentuan

lain yang dapat digunakan untuk mengadili tersangka. Ketentuan tersebut

tercantum dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8 ayat (1) dan (2) dan Pasal 9 ayat

(1) dan (2) konvensi International Convention of the Suppression of the

Financing of the Terrorism 1999

Pasal 4

Setiap Negara Pihak wajib menerapkan tindakan-tindakan yang dianggap perlu:

a. Untuk menetapkan sebagai kejahatan-kejahatan kriminal berdasarkan hukum nasionalnya atas kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam Pasal 2;

b. Untuk menjadikan kejahatan-kejahatan tersebut dapat dihukum dengan hukuman-hukuman yang pantas dengan, memperhatikan sifat beratnya kejahatan tersebut.

Penjelasan Pasal 4 memuat pengaturan tindakan yang harus dilakukan oleh

Negara Pihak berkaitan dengan tindak pidana terorisme, yaitu dengan

menetapkannya sebagai suatu tindak pidana dalam hukum nasionalnya dan

menjadikan tindak pidana tersebut dapat dipidana dengan hukuman yang pantas.

Pasal 5

(28)

2. Pertanggungjawaban tersebut dikenakan tanpa merugikan pertanggungiawaban pidana individu-individu yang telah melakukan kejahatan-kejahatan tersebut.

3. Setiap Negara Pihak wajib menjamin, khususnya, badan-badan hukum tersebut yang bertanggungjawab sesuai dengan ayat 1 di atas dikenai sanksi-sanksi pidana, perdata atau administratif yang efektif, proporsional, dan beralasan. Sanksi-sanksi tersebut dapat termasuk sanksi-sanksi, keuangan.

Pasal 5 mengatur pemberlakuan ketentuan ini kepada korporasi yang

melakukan tindak pidana yang ditetapkan dalam Konvensi.

Pasal 6

Setiap Negara Pihak wajib menetapkan tindakan-tindakan yang mungkin perlu, termasuk, apabila sesuai peraturan perundang- undangan nasional, untuk menjamin bahwa tindakan-tindakan kejahatan dalam ruang lingkup Konvensi ini tidak termasuk hal-hal yang dapat dibenarkan dengan pertimbangan politis, filosofis, ideologis, ras, etnis, agama atau hal-hal lain yang sifatnya sama.

Pasal 6 diatas mengatur bahwa Negara Pihak harus pula melakukan upaya

untuk menjamin tindak pidana tersebut tidak dapat diberi pembenaran berdasarkan

pertimbangan politik, filosofi, ideologi, ras, etnik, dan agama.

Pasal 8

1. Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum nasionalnya, untuk melakukan pengidentifikasian, pendeteksian dan pembekuan atau penyitaan terhadap setiap dana yang digunakan atau dialokasikan untuk tujuan melakukan kejahatan-kejahatan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 termasuk hasil kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut, untuk maksud-maksud penyalahgunaan yang mungkin terjadi.

2. Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum nasionalnya, atas penyalahgunaan dana-dana yang digunakan atau dialokasikan dengan maksud untuk melakukan kejahatan-kejahatan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 dan hasil kekayaan yang diperoleh dari kejahatan-kejahatan tersebut.

Pasal 8 tersebut mengatur kewajiban Negara Pihak untuk mengidentifikasi,

(29)

pidana terorisme. Dana tersebut selanjutnya dapat dirampas negara sesuai dengan

hukum nasional

Pasal 9

1. Setelah menerima informasi bahwa seseorang yang telah melakukan atau yang diduga telah melakukan suatu kejahatan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 yang mungkin berada di dalam wilayahnya, Negara Pihak yang bersangkutan wajib mengambil tindakan-tindakan yang mungkin perlu berdasarkan hukum nasionalnya untuk menyelidiki fakta-fakta yang terdapat dalam informasi tersebut.

2. Setelah bukti-bukti penahan telah cukup, Negara Pihak di mana pelaku kejahatan atau tersangka berada di dalam wilayahnya wajib mengambil tindakan-tindakan sesuai dengan hukum nasionalnya untuk menjaga keberadaan orang tersebut untuk tujuan penuntutan atau ekstradisi. Pasal 9 mengatur kewajiban Negara Pihak untuk melakukan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana untuk tujuan penuntutan atau ekstradisi setelah memiliki bukti penahanan yang cukup. Pasal ini juga mengatur hak tersangka pelaku tindak pidana yang ditahan, terutama hak

untuk berkomunikasi dan dikunjungi oleh perwakilan negaranya.55

Kamus besar bahasa Indonesia mendefenisikan inpres sebagai

4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2002 tentang

Penanganan Masalah Terorisme, tanggal 22 Okt 2002

Upaya memerangi terorisme juga tercermin dari Instruksi Presiden No.

4/2002 tentang Penanganan Masalah Terorisme, tanggal 22 Okt 2002. Setelah

terjadinya bom Bali pada 12 Oktober 2002, pemerintah mengeluarkan Instruksi

Presiden Nomor 4 Tahun 2002 dalam rangka menanggulangi tidakan terorisme.

Presiden Megawati memberikan mandat kepada Menkopolkam (Pak SBY) untuk

membuat kebijakan dan strategi nasional penanganan terorisme.

yg dikeluarka

55

Lihat Penjelasan Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan

(30)

yang mengikat umum (semua orang, tiap orang). Instruksi presiden merupakan

perintah atasan kepada bawahan yang bersifat individual, konkret, dan

sekali-selesai (final, einmahlig) sehingga tidak dapat digolongkan dalam peraturan

perUndang-Undangan (wetgeving) atau peraturan kebijakan (beleidsregel,

pseudo-wetgeving). Instruksi presiden hanya dapat mengikat menteri, kepala

lembaga pemerintah nondepartemen, atau pejabat-pejabat pemerintah yang

berkedudukan di bawah (merupakan pembantu) presiden dalam melaksanakan

penyelenggaraan pemerintahan. Instruksi presiden tidak dapat mengikat umum

(semua orang, setiap orang) seperti yang berlaku bagi keputusan presiden

(peraturan presiden).56

Pertimbangan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2002

dikatakan sesuai dengan sifat, bentuk, dan metoda operasi kegiatan terorisme pada

umumnya, langkah-langkah pemberantasan tindak pidana terorisme termasuk ada

peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, harus dilakukan pula

dengan sifat, bentuk, dan metoda yang cepat dan efektif. Untuk itu diperlukan

kebijakan dan langkah-langkah operasional yang tepat, sehingga pelaksanaan

pemberantasannya baik yang berupa tindakan penangkalan atau pencegahan

maupun penyelesaiannya dapat berlangsung dengan cepat dan efektif.

Berdasarkan ketentuan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Presiden

memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah

operasional yang diperlukan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme. Sesuai

56

(31)

dengan kewenangan tersebut, dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Presiden

bagi penyusunan kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme berikut

langkah-langkah operasional serta pengendaliannya.

Instruksi Presiden tersebut ditujukan kepada Menteri Negara Koordinator

Bidang Politik dan Keamanan. Isi pokok Inpres tersebut antara lain;

Merumuskan kebijakan yang komprehensif dan terpadu bagi pemberantasan tindak pidana terorisme termasuk pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, secara terkoordinasi dengan dan diantara seluruh instansi yang secara fungsional memiliki tugas dan kewenangan di bidang tersebut, serta menyusun langkah-langkah operasional yang meliputi aspek penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian, penyelesaian, dan segala tindakan hukum yang diperlukan bagi pemberantasannya oleh instansi-instansi termaksud

secara cepat, terpadu dan efektif. 57

Sejarah pengaturan perlindungan terhadap anak tidak terlepas dari

kasus-kasus anak sebagai pelaku tindak pidana. Anak yang memiliki peran dalam

perubahan dimasa depan sangat rentan terhadap pengaruh kejahatan. Tidak

terkecuali dalam kejahatan terorisme yang melibatkan anak dalam melaksanakan

teror nya dipengaruhi oleh sifat-sifat anak yang masih lemah dalam fisik maupun

psikis dan sosial. Anak yang masih dalam pencarian jati diri dan pencarian B. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN

OLEH ANAK (Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme)

1. Latar Belakang Pengaturan Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh

anak

57

(32)

pengetahuan tentang hal yang dituju dalam hidup serta anak yang masih dalam

perkembangan pengertian hal-hal baik dan hal-hal buruk yang tidak boleh

dilakukan dan bertentangan dengan hukum menjadi sasaran para pelaku terorisme

dalam merekrut anggotanya. Tentu ini menjadi kenyataan sulit yang harus

dihadapi dan diperangi.

Pelibatan anak dalam aksi teror telah terjadi sejak dulu, Steven R Ratner

dan Jason S Abrams dalam Accountability for Human Rights Atrocities in

International Law: Beyond the Nuremberg Legacy, Second Edition (2001)

menulis, salah satu modus operandi Pol Pot semasa killing field di Kamboja telah

melibatkan anak dalam aksi teror yang sulit diterima akal sehat. Ratusan anak usia

12-14 tahun merusak, menganiaya, bahkan pembunuhan massal mengakibatkan

sekitar 2 juta jiwa melayang selama 17 April 1975 hingga 7 Januari 1979. Hal

yang sama dilakukan Samuel Hinga Norman dan Thomas Lubanga Dyilo yang

merekrut anak sebagai tentara. Norman diadili di pengadilan khusus Sierra Leone.

Namun, sebelum diputus pengadilan, ia meninggal dunia. Sementara Lubanga

adalah orang pertama yang kini diadili di Mahkamah Pidana Internasional atas

kasus pelibatan anak sebagai tentara milisi yang aktif melakukan pembunuhan

dalam pertikaian antara suku Hema dan Lendu di Provinsi Inturi, Kongo. Aksi

teror yang melibatkan anak juga terjadi di Timur Tengah dan Indonesia. 58

Pelibatan anak sebagai pelaku teror di Indonesia bukan merupakan hal

yang baru. Serangan bom bunuh diri di JW Lounge Hotel JW Marriott, pelaku

merupakan seorang di bawah umur. Berdasarkan hasil rekonstruksi dan sketsa

58

(33)

wajah tim Disaster Victim Identification Markas Besar Polri diperkirakan, pelaku

berusia 16-17 tahun, bukan 20 tahun seperti yang diberitakan sebelumnya.59

59

Tersangka AW yang divonis 2 tahun penjara setelah diputus oleh hakim

PN Klaten PUTUSAN Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt bersalah melakukan tindak

pidana terorisme menjadi contoh lain anak sebagai pelaku terorisme. Munculnya

berbagai kasus terorisme yang melibatkan anak di Indonesia menjadi tugas

tersendiri bagi Negara untuk melindungi dan menjamin hak-hak anak. Untuk

itulah diperlukan pengaturan hukum tentang anak sebagai pelaku terorisme.

2. Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme dalam

Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme

Pengaturan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak terdapat

dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme. Pengaturan tindak pidana terorisme bagi anak tidak dibedakan dengan

pengaturan tindak pidana terorisme bagi orang yang telah dewasa, namun

ketentuan sanksi pidana yang diterima oleh anak sebagai pelaku terorisme berbeda

dengan sanksi yang diterima oleh orang dewasa sebagai pelaku terorisme.

Undang-Undang terorisme tidak membedakan delik terorisme bagi Anak

sebagai pelaku terorisme dan delik terorisme bagi orang yang telah dewasa yang

melakukan tindak pidana terorisme.

(34)

Berdasarkan Statuta Roma yang mengatur kejahatan terhadap

kemanusiaan, ada ketentuan yang tidak memasukkan yurisdiksi anak di bawah

umur 18 tahun sebagai subyek hukum dari pengadilan pidana internasional.

Undang-Undang Pengadilan HAM Indonesia yang juga merujuk Statuta Roma

tidak dapat mengadili anak di bawah umur 18 tahun. Sementara dalam

Undang-Undang Pemberantasan Terorisme yang kita miliki tidak ada ketentuan seperti

dalam Undang-Undang Pengadilan HAM.60

Sanksi pidana yang tercantum dalam Undang-Undang terorisme antara

lain;61

a. Pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara tertentu

(dengan batasan minimal dan maksimal)

b. Pidana penjara seumur hidup

c. Pidana penjara (dengan batasan minimal dan maksimal)

d. Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

e. Pidana kurungan

Perbedaan pengaturan ketentuan tindak pidana terorisme yang dilakukan

oleh orang dewasa dengan anak yang melakukan tindak pidana terorisme terletak

pada ketentuan sanksi pidana yang akan dijatuhkan yang tercantum dalam Pasal

19 dan Pasal 24 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana terorisme.

Pasal 19

Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,

60

27-03-2013

61

(35)

Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelakutindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 24

Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk

pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas)

tahun.

Pasal 19 dan Pasal 24 dikatakan penjatuhan pidana minimum khusus yang

tercantum dalam Pasal 6,8,9,10,11,12,13,15,16,20,21,22 Undang-Undang No. 15

tahun 2003 tidak berlaku bagi anak yang terlibat terorisme. yang berarti dipakai

strafminima umum yang terdapat didalam KUHP yaitu untuk pidana penjara

dijatuhkan paling sedikit 1 hari.

Undang-Undang terorisme Pasal 19 dan Pasal 24 tersebut diatas juga

menghapuskan ketentuan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup terhadap

seseorang yang belum berusia 18 tahun. Dari Pasal tersebut ditarik kesimpulan

bahwa untuk anak yang terlibat (pelaku) tindak pidana terorisme tidak berlaku

strafminima khusus yang tercantum dalam Pasal-Pasal

6,8,9,10,11,12,13,15,16,20,21,22 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan demikian, seorang anak pelaku

tindak pidana terorisme tidak dapat dihukum mati dan tidak dapat dihukum pidana

penjara seumur hidup atau ketentuan pidana mati dan pidana penjara seumur

hidup seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Terorisme tersebut tidak

(36)

Pemberlakuan ketentuan tidak berlakunya pidana mati dan penjara seumur

hidup sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun

1997,seorang anak usia 12-18 tahun terlibat kejahatan yang diancam pidana mati

atau seumur hidup, maksimal hukuman yang dapat dijatuhkan adalah 10 tahun.

Artinya, jika anak di bawah 18 tahun yang terlibat teror ditangkap dan diadili,

pidana penjara yang dapat dijatuhkan maksimal 10 tahun.

Penghapusan strafminima khusus sanksi pidana yang diancamkan pada

anak pelaku teror dan tidak diaturnya tata cara persidangan dan hak-hak bagi anak

pelaku teror dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme bagi anak diatas mengartikan berlakulah

ketentuan-ketentuan lain diluar Undang-Undang terorisme tersebut untuk mengatur

penjatuhan sanksi pidana dan tata cara persidangan bagi anak pelaku tindak

pidana terorisme. Ketentuan tersebut adalah;

a. Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Sanksi yang dapat diterapkan pada anak menurut Undang-undang Nomor

3 tahun 1997 dibedakan berdasarkan umur anak. Anak yang masih berumur 8

sampai 12 tahun hanya dikenakan sanksi tindakan, sedangkan terhadap anak yang

telah mencapai umur 12 sampai 18 tahun dijatuhkan pidana.

Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak (12-18 tahun) pelaku tindak

pidana menurut Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, meliputi:62

a. Pidana pokok

1. Pidana penjara

2. Pidana kurungan

3. Pidana denda

62

(37)

4. Pidana pengawasan

b. Pidana tambahan

1. Perampasan barang-barang tertentu

2. Pembayaran ganti rugi

Berikut beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang

berkaitan dengan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan pada anak pelaku tindak

pidana.

Pasal 26

(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2

huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. (4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2

huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Pasal 27

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua)

dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

Pasal 28

(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.

(38)

(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.

Pasal 29

(1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus. (3) Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindak

pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.

(4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.

(5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum.

(6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun.

(7) Selama menjalani masa pidana bersyarat, Jaksa melakukan

pengawasan, dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan

bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.

(8) Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan dan berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan.

(9) Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah.

Pasal 30

(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan. (3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana

pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Pasal 6 disebutkan bahwa Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat

(39)

pakaian dinas. Sehingga dalam persidangan anak pelaku tindak pidana terorisme

Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum, serta petugas lainnya

dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas

Perlakuan ini dimaksudkan agar anak tidak merasa takut dan serem menghadapi Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum serta petugas lainnya, sehingga dapat mengeluarkan perasaannya pada

Hakim mengapa ia melakukan tindak Pidana Terorisme.63

Pemeriksaan perkara anak dilakukan dalam sidang tertutup dimaksudkan

agar tercipta suasana tenang, dan penuh kekeluargaan sehingga anak tidak takut.

Kemudian digunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali atau orang tua

asuhnya dimaksudkan agar identitas anak dan keluarganya tidak menjadi berita

umum yang akan lebih menekan perasaan serta mengganggu kesehatan mental

anak.

Selanjutnya dalam proses persidangan anak, Undang-Undang No. 3 tahun

1997 Pasal 8 mengatur beberapa ketentuan antara lain;

(1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.

(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang terbuka.

(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutanbeserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.

(4) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3), orang- orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakimdapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(5) Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusanpengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.

(6) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

64

63

Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 34 64

(40)

Persidangan perkara anak mewajibkan kehadiran Penuntut Umum,

Penasihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali atau orang tua

asuh dan saksi yang diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak yang menyatakan dalam perkara anak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut Umum, Penasihat Hukum,

Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali atau orang tua asuh dan saksi,

wajib hadir dalam Sidang Anak. Sehingga dalam persidangan anak pelaku tindak

pidana terorisme Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Pembimbing

Kemasyarakatan, orang tua, wali atau orang tua asuh dan saksi diharuskan hadir

dalam persidangan. Kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya ini

ditujukan dan diharapkan dapat membuat perasaan anak tenang, aman dan

terlindungi.

Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak mewajibkan

hakim untuk mempertimbangkan laporan penelitian pembimbing kemasyarakatan

tentang anak pelaku pidana dalam menjatuhkan putusannya. Tercantum dalam

Pasal 56 yang menyatakan;

(1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikanlaporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berisi :

a. data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak;

b. kesimpulan atau pendapat dari Pembimbing Kemasyarakatan.

Laporan penelitian tersebut dalam Pasal 56 ayat (1) diatas sangat

membantu hakim dalam menjatuhkan keputusannya. Laporan ini membuka jalan

(41)

keputusannya akan lebih terarah serta sesuai dengan yang dibutuhkan anak.65

1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan pada anak nakal, paling lama ½ dari

maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa.

Ketentuan ini juga berlaku bagi anak pelaku tindak pidana terorisme, sehingga

pembimbing kemasyarakatan harus memberikan laporan penelitian tentang anak

pelaku tindak pidana terorisme tersebut sebagai bahan pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusannya.

Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak juga

mengatur tentang ancaman pidana yang dapat dijatuhkan pada anak pelaku

terorisme sesuai dengan sanksi yang tercantum dalam Undang-Undang No. 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak pidana Terorisme.

Sanksi dalam Undang-Undang terorisme bagi anak pelaku tindak pidana

terorisme yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. Penjatuhan pidana penjara

terhadap anak harus juga memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang No. 3

Tahun 1997 Pasal 26 yang menyebutkan;

2. Apabila anak nakal melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana

mati atau pidana seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 tahun.

Ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, dalam

penjelasannya menyatakan yang dimaksud dengan “maksimum ancaman pidana

penjara bagi orang dewasa” adalah maksimum ancaman pidana penjara terhadap

tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab

Undang-Undang Pidana atau Undang-Undang lainnya. Undang-Undang lainnya

yang dimaksud Pasal tesebut diatas dalam hal anak sebagai pelaku terorisme

65

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini menyatakan bahwa usulan saya dengan judul “Isolasi Dan Karakterisasi Bakteri Termofilik Penghasil Protease Dari Sumber Air Panas

Tanaman tomat diketahui memiliki kandungan kimia yang cukup tinggi antara lain alkaloid, arbutin, amigdalin, dan pektin Penelitian ini bertujuan untuk menguji

mata dunia. Website ini dapat menjadi media pemenuhan kebutuhan informasi pengunjung situs akan informasi tentang Candi Muara Jambi. Karena itulah penulis tertarik

Berdasarkan nilai koefisien determinasi atau R square sebesar 0,462 hal ini menunjukkan bahwa 46,2% yang menunjukan bahwa Penerapan Good Corporate Governance

Pengembangan Desain Didaktis Geometri Dimensi Tiga Dalam Kelas Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Hasil penelitian diharapkan akan dapat memberikan gambaran mengenai risiko-risiko yang mungkin akan terjadi selama masa kerjasama proyek penyediaan air minum antara PDAM X

b. Ada 243 pasangan bercerai yang telah memiliki anak. Ada 53 orang isteri yang tidak menuntut nafkah anak kepada suaminya baik nafkah lalu maupun nafkah untuk masa yang akan

Namun, pada saat perapihan dan pemeliharaan lanjutan sinar matahari yang jatuh di lantai hutan jangan terlalu banyak, sebab dengan semakin banyak sinar yang sampai di