• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Animasi Pocoyo dan Anak Penyandang Autisme: studi kasus desain animasi pocoyo untuk membantu anak penyandang autisme mengidentifikasi objek visual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Desain Animasi Pocoyo dan Anak Penyandang Autisme: studi kasus desain animasi pocoyo untuk membantu anak penyandang autisme mengidentifikasi objek visual"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Desain Animasi Pocoyo Dan Anak Penyandang Autisme

(Studi Kasus Desain Animasi Pocoyo Untuk Membantu

Anak Penyandang Autisme Mengidentifikasi Objek Visual)

Rifqa Army

Fakultas Seni Rupa, Program Studi S-1 Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Alamat pos elektronik: @army_dkv1@gmail.com

Abstract. Autism is a developmental disorder in which one of them characterized by abnormality on language and communication function. Special feature in the children with autism is visual oriented and crave motion, so the animation can use as one of the media learning. Design of animation is a key factor in successful of the children with autism to understand the learning material.

This research use the case study approach on two children with autism in Special School of Autism Bina Anggita Yogyakarta. Aim of the research is to test the design of animation of Let’s Go Pocoyo, Cooking with Elly episode in helping the children with autism to identify visual objects. Research methodology is qualitative interpretive.

The research results show that the design of animation of Let’s Go Pocoyo, Cooking with Elly episode can be use as a media learning for the children with autism to identify visual objects. But, the design of animation need to pay attention to clarity principle to help the children with autism improve their skill to identify visual objects. The learning process also affected by the skill of the children with autism.

Keywords: design, animation, the children with autism, visual identification skill

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Desainer komunikasi visual memiliki tanggung jawab penting secara sosiokultural. Secara umum, mereka berfokus untuk menghasilkan karya berdasarkan pendekatan pada bidang profesi tertentu, salah satunya desain untuk edukasi anak-anak penyandang autisme. Edukasi untuk anak penyandang autisme perlu mendapatkan perhatian karena di Indonesia jumlahnya semakin meningkat. Tahun 2000 diperkirakan jumlah anak penyandang autisme satu per 500 anak, sedangkan di tahun 2015

(2)

2

diperkirakan satu per 300 anak. Pada tahun 2015 dilaporkan bahwa terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme di Indonesia (http://klinikautis.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autis-di-indonesia/, diakses pada tanggal 19 Februari 2016, jam 16.00 WIB). Berdasarkan data dari Jogja Autism Care hal yang serupa juga terjadi di provinsi DIY dengan jumlah peningkatan sebesar tiga sampai empat persen tiap tahun dalam kurun waktu antara tahun 2001-2010 (dalam Yurika, 2016: 2).

Autisme adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya keabnormalan pada fungsi sosial, bahasa, komunikasi, dan kebiasaan-kebiasaan serta kencenderungan pada hal yang tidak biasa (Mash & Wolfe, 2010: 300). Gangguan-gangguan tersebut membuat anak penyandang autisme membutuhkan pendampingan ekstra karena mereka kesulitan dalam proses pembelajaran. Kesulitan yang dialami anak penyandang autisme untuk belajar dapat dibantu dengan media. Memilih media dengan desain yang tepat untuk anak penyandang autisme adalah tantangan besar sebab setiap anak penyandang autisme memiliki karakteristik yang berbeda. Tetapi ada kecenderungan yang dimiliki anak penyandang autisme bahwa sebagian dari mereka memiliki sensitivitas pada elemen visual. Menurut Kientz & Dunn (1997) anak penyandang autisme menunjukkan sensitivitas pada elemen visual dalam kehidupan sehari-harinya. Anak penyandang autisme juga candu terhadap gerakan

(http://bestpracticeautism.blogspot.co.id/2013/09/preferred-play-for-children-with-autism.html?m=1, diakes pada tanggal 8 April 2018, pukul 07.00 WIB). Sehingga salah satu media yang dapat membantu proses pembelajaran anak penyandang autisme adalah motion media.

Motion media adalah bentuk dari media yang menyajikan teks dan gambar yang bergerak (Roblyer, 2006) atau media dengan integrasi sight, sound, and movement (Shelton, 2004). Salah satu jenis motion media yang adalah animasi. Dahulu animasi hanya digunakan sebagai media hiburan, tetapi seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih fungsi animasi menjadi meluas, salah satunya untuk bidang pendidikan

(3)

3

(Suwasono, 2016: 1). Animasi digunakan untuk mendeskripsikan proses dari pengurutan gambar, computer-generated artwork, atau foto dari model untuk membuat efek optikal dari benda bergerak (Taylor, 2011: 143). Menurut Lowe (2004) peran animasi dalam proses pembelajaran adalah untuk memenuhi fungsi afektif, yaitu untuk menarik perhatian, membuat peserta didik merasa terlibat, dan menguatkan motivasi. Selain itu, animasi juga untuk memenuhi fungsi kognitif.

Akan tetapi permasalahan lain muncul, yaitu meskipun anak penyandang autisme memiliki sensitivitas pada visual, mereka juga memiliki gangguan yang dapat menghambat dalam proses pembelajaran. Sebagian anak penyandang autisme memiliki gangguan pada persepsi visual. Anak-anak dengan gangguan persepsi visual memiliki kesulitan dalam mengidentifikasi, mengingat, dan mengorganisasi gambar (Kurtz, 2006: 33). Berdasarkan data tersebut muncul pertanyaan, animasi dengan desain seperti apakah yang bisa membantu anak penyandang autisme untuk mencapai kemampuan tertentu? Karena desain yang baik tidak hanya sekedar memiliki tampilan visual yang bagus dan menarik. Pada bidang pendidikan yang terpenting adalah bagaimana sebuah desain mampu untuk memudahkan anak dalam menerima informasi yang akan disampaikan.

Penelitian ini berangkat dari penelitian-penelitian yang memaparkan bahwa anak penyandang autisme memiliki gangguan menonjol pada komunikasi. Padahal sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan komunikasi untuk dapat berinteraksi dengan orang lain. Manusia dalam berkomunikasi membutuhkan kemampuan bahasa. Kemampuan bahasa terus berkembang seiring pertumbuhan. Bagi anak penyandang autisme yang memiliki gangguan pada komunikasi jika tidak ditangani dengan terapi atau pembelajaran yang sesuai, kemampuan bahasa yang mereka miliki tidak akan berkembang. Salah satu karakter anak penyandang autisme adalah memiliki sensitivitas pada elemen visual sehingga kemampuan bahasa bisa dilatih melalui bahasa visual. Anak penyandang autisme belajar bahasa dengan mengidentifikasi objek visual.

(4)

4

Selain itu, anak penyandang autisme memiliki karakteristik sulit untuk fokus pada satu titik. Sehingga media animasi yang dinamis dapat menjadi penarik perhatian agar anak penyandang autisme bisa fokus pada pembelajaran. Pemilihan animasi Pocoyo karena memiliki desain yang disimpulkan sementara sebelum penelitian lapangan sesuai dengan karakteristik anak penyandang autisme. Desain animasi Pocoyo yang menonjol adalah background berwarna putih dan sangat minim property. Hal tersebut diasumsikan sesuai dengan karakteristik anak penyandang autisme yang fokus pada detail. Berdasarkan data-data yang telah diuraikan di atas, penelitian ini akan membahas bagaimana desain animasi Pocoyo membantu anak penyandang autisme mengidentifikasi objek visual. Bagi anak penyandang autisme yang memiliki karakter khusus, hal terpenting bukan hanya materi apa yang akan dikenalkan dan dipelajari, tetapi bagaimana materi tersebut disajikan. Sehingga desain memiliki fungsi fundamental dalam animasi sebagai media pembelajaran.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana desain animasi Pocoyo dapat membantu anak penyandang autisme untuk mengidentifikasi objek visual?

3. Tujuan Penelitian

Menguji desain animasi Pocoyo dalam membantu anak penyandang autisme mengidentifikasi objek visual.

4. Kajian Teori 1. Desain

Desain adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan komunikasi secara visual. Fungsinya adalah menyampaikan pesan kepada target audiens menggunakan gambar. Bentuk penyampaian pesan secara visual memiliki kekuatan untuk engaged target audiens dibandingkan dengan pesan yang disampaikan hanya melalui tulisan saja. (Taylor, 2011: xxiv)

(5)

5

Visual adalah sesuatu yang dilihat. Salah satu elemen visual adalah bentuk. Menurut Hashimoto (2009) bentuk dapat dirancang dalam beberapa cara, antara lain:

a. Realis

Realisme adalah cara menyajikan gambar secara natural dan tidak ada manipulasi. Bentuk realis digunakan untuk menyampaikan yang sesuai dengan bentuk-bentuk visual yang dilihat pada kehidupan nyata.

b. Stilasi

Stilisasi adalah sebuah proses penyederhanaan bentuk. Menurut Piers (2003) stilisasi selalu melibatkan ukuran kesederhanaan, seperti penggunaan warna, kontur, dsb. Tingkat penyederhanaan bentuk yang dibuat disesuaikan dengan kebutuhan target audiens. Stilisasi bisa membentuk objek dengan berdasar pada bentuk realis ataupun meninggalkan bentuk asli sehingga terkesan bentuk abstrak.

Sebuah bentuk adalah elemen yang mengkomunikasikan identitas dari sebuah objek agar mudah dikenali dengan cepat. (Hashimoto, 2009: 9). Untuk itu prinsip yang perlu diperhatikan dalam merancang sebuah bentuk adalah clarity (kejelasan). Hal ini dikarenakan clarity (kejelasan) mempengaruhi penafsiran audiens, yaitu bagaimana sebuah bentuk mudah dimengerti dan tidak menimbulkan ambigu atau makna ganda. Apalagi jika bentuk-bentuk visual tersebut ditujukan bagi anak-anak. Prinsip clarity (kejelasan) perlu disesuikan dengan tingkat kognitif anak-anak terutama anak-anak berkebutuhan khusus.

Sebuah pesan yang disampaikan menggunakan elemen visual selanjutnya dirancang menggunakan prinsip desain agar isi pesan dapat diterima oleh target audiens. Jika elemen visual adalah “what”, maka prinsip desain adalah “how”. Salah satu prinsip utama dalam sebuah desain adalah komposisi. Menurut Taylor (2011) komposisi adalah merangkai elemen-elemen visual pada sebuah desain. Memposisikan elemen-elemen visual pada halaman, layar, atau ruang sangat penting

(6)

6

diperhatikan tidak hanya sekedar untuk memperhatikan estetika tetapi agar sebuah desain berhasil dipahami oleh target audiens. (Taylor, 2011:9)

Dasar membuat komposisi salah satunya menggunakan prinsip the rules of third. Menurut Taylor (2011) the rules of third adalah prinsip yang baik digunakan pada fotografi, film, dan desain grafis. Pengunaan formula ini adalah dengan membagi layar menjadi tiga bagian secara horizontal dan tiga bagian secara vertikal untuk membentuk sembilan persegi panjang. The rules of thirds digunakan sebagai panduan untuk komposisi ketika mengarahkan kamera atau memposisikan elemen-elemen dalam satu frame. Elemen-elemen harus diletakkan sejajar dengan pembagian garis berdasarkan rules of thrids untuk menciptakan komposisi yang baik. Menurut Taylor (2011) prinsip dalam komposisi antara lain:

a. Repetisi

Repetisi adalah prinsip yang digunakan untuk membentuk irama visual. Repitisi dapat diterapkan pada warna, bentuk, ukuran, gerakan, dan elemen lainnya.

b. Emphasis

Emphasis adalah penekanan pada elemen visual. Emphasis dapat digunakan dengan beberapa cara, antara lain: menebalkan outline, membuat ruang di sekitar objek, atau mencerahkan warna objek. c. Simetri

Komposisi simetris merupakan cara yang mudah untuk membuat komposisi yang seimbang. Manusia juga secara alamiah mencari simetri. Pada teori Gestalt mencari simetri dari apa yang manusia lihat disebuat sebagai Prägnanz. Menurut Mads (2017) simetri bisa digunakan untuk membangun familiarity dengan layout. Menggunakan simetri pada sebuah desain juga bisa bermanfaat bagi seseorang dengan learning disability.

(7)

7 d. Kontras

Kontras berhubungan dengan linghtness and darkness. Kontras dapat diaplikasikan pada warna. Seperti contoh membuat warna objek lebih kontras dari warna background.

2. Gangguan Spektrum Autisme dan Animasi

Autisme adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya keabnormalan pada fungsi sosial, bahasa, komunikasi, dan kebiasaan-kebiasaan serta kencenderungan pada hal yang tidak biasa. Gangguan ini menyerang pada beberapa bagian otak sehingga mempengaruhi perilaku dan kemampuan. Sebagai contoh anak penyandang autisme seperti memiliki dunianya sendiri, tidak memahami tentang perasaan, dan tidak mampu untuk berkomunikasi dengan orang lain. Anak penyandang autisme juga melihat detail dibandingkan dengan big picture. Seperti contoh saat seseorang melihat sebuah hutan, dia akan melihat lebatnya pepohonan.Tetapi anak penyandang autisme melihat hal yang berbeda, mereka mungkin hanya akan melihat satu daun pohon cemara. (Mash & Allen, 2010: 300).

Ciri lain anak penyandang autisme adalah memiliki gangguan persepsi visual. Menurut Kurtz (2006) anak-anak dengan gangguan persepsi visual memiliki kesulitan dalam mengenali, mengingat, dan mengorganisasi gambar sebagai kebutuhan untuk memahami material berupa tulisan ataupun simbol-simbol bergambar yang digunakan untuk pembelajaran. Kemampuan untuk menyortir atau mengenali objek mengindikasikan kemampuan untuk menggunakan visual discrimination skills. Gangguan pada kemampuan ini membuat anak penyandang autisme bisa salah menafsirkan sebuah bentuk visual.

Menurut Kientz & Dunn (1997) anak penyandang autisme menunjukkan sensitivitas pada elemen visual dalam kehidupan sehari-harinya. Anak penyandang autisme juga memiliki respon yang baik terhadap komponen visual. Notbohm (2012) dalam buku Ten Things

(8)

8

Every Child with Autism Wishes You Knew chapter enam menuliskan Picture this! I’m visually oriented, yang artinya anak penyandang autisme memiliki orientasi pada elemen visual.

Anak penyandang autisme juga memiliki ketertarikan terhadap sesuatu yang bergerak. Menurut Kathy, seorang asisten professor di SUNY Buffalo State, anak penyandang autisme candu pada gerakan. Motion engage vestibular, propiocepture, dan visual sense (http://bestpracticeautism.blogspot.co.id/2013/09/preferred-play-for-children-with-autism.html?m=1, diakses pada tanggal 8 April 2018, pukul 19.00 WIB).

Animasi memiliki kelebihan karena mengintegrasikan sight, sound, and movement. Pada elemen sound biasanya animasi memasukkan unsur musik. Musik berperan sebagai penggerak agar anak penyandang autisme bisa fokus. Selain itu musik dapat memotivasi dalam proses pembelajaran. Stephen (2008) menemukan bahwa imitasi terhadap aksi dan kata oleh anak penyandang autisme meningkat ketika musik digunakan untuk meningkatkan social engagement.

5. Metodologi Penelitian

1) Metode Penelitian dan Pendekatan Masalah

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif interpretif. Menurut Denzin dan Lincoln (1994), paradigma interpretif digunakan untuk membantu peneliti dalam upaya memahami dan menginterpretasikan apa yang ada di balik peristiwa, latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi atau mengembangkan pemahaman atasnya. Sedangkan metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Nazir (1988) mengungkapkan bahwa studi kasus digunakan untuk menjelaskan tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari

(9)

9

keseluruhan personalitas subjek peneltian, yaitu bisa individu, keluarga, atau lembaga maupun masyarakat.

b) Macam-macam Alat Pengumpul Data

Beberapa sumber dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Wawancara

Wawancara dilakukan saat observasi awal dan selama penelitian berlangsung kepada guru pendamping. Saat observasi awal, wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara umum gambaran kemampuan akademik setiap siswanya. Tujuannya untuk mendapatkan informasi siapa sajakah siswa yang memiliki preferensi pada media visual dan memiliki kemampuan cukup baik dalam bidang komunikasi di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Yogyakarta. Informasi tersebut digunakan sebagai langkah peneliti menetapkan subjek yang akan diambil dalam penelitian ini. Lalu, untuk mendapatkan data bagaimana proses pembelajaran selama ini di sekolah dan media apa saja yang digunakan untuk pembelajaran.

b. Pengamatan

Dalam hal ini fungsi peneliti adalah sebagai instrumen penelitian. Pengamatan dalam penelitian ini didasarkan atas pengalaman secara langsung untuk menguji suatu kebenaran yang ada di lapangan selama penelitian berlangsung dan untuk memperoleh keyakinan tentang keabsahan data yang didapatkan dari alat pengumpul data yang lain. Teknik pengamatan ini akan memungkinkan peneliti untuk mampu memahami situasi-situasi yang rumit, misalnya dalam mengamati dan memperhatikan berbagai jenis perilaku atau respons yang ditunjukkan subjek penelitian selama berlangsungnya aktivitas menonton animasi.

Alasan lain penggunaan teknik pengamatan dalam penelitian ini adalah secara metodologis. Menurut Moleong (2015)

(10)

10

pengamatan akan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dll., dan memungkinkan peneliti untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek penelitian, serta menangkap arti fenomena dari segi pengertian subjek pada saat perlakuan.

c. Aktivitas Menonton Animasi

Aktivitas menonton animasi merupakan alat pengumpul data yang digunakan untuk menjawab pokok permasalahan penelitian. Masing-masing subjek penelitian menonton animasi sebanyak enam kali secara individual. Peneliti akan berperan sebagai pendamping yang akan terjun langsung memberikan materi kepada subjek penelitian. Selama pelaksanaan peneliti didampingi oleh guru pendamping dari subjek penelitian.

c) Sumber dan Jenis Data a. Kata-kata dan Tindakan

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata atau respons subjek penelitian yang diamati saat melakukan aktivitas menonton animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly. Sumber data utama tersebut akan dicatat dalam notebook.

b. Rekaman Video dan Foto

Dalam penelitian ini, peneliti memanfaatkan video dan foto untuk membantu mendapatkan data mengenai respons subjek penelitian selama aktivitas menonton animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly. Rekaman video dan foto akan membantu dalam menggumpulkan data-data yang sifatnya dinamis dan berkesinambungan.

(11)

11

B. Hasil dan Pembahasan

1. Hasil Menonton Animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly Setelah aktivitas menonton animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly dilaksanakan, diperoleh hasil sebagai berikut:

1) Selama menonton animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly subjek I dan subjek II menunjukkan kemampuan mengenali objek visual. Tetapi terdapat objek visual yang tidak berhasil untuk dikenali.

2) Terdapat scene-scene pada animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly yang konsisten mendapatkan respons dari subjek I dan subjek II.

3) Subjek I dan subjek II hanya mengenali satu objek visual dalam setiap scene.

4) Subjek I dan subjek II memiliki preferensi terhadap musik yang ditunjukkan dengan memberikan respons saat mendengarkan lagu dengan menirukan.

2. Pembahasan

Berdasarkan hasil menonton animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly terdapat scene-scene yang mendapatkan respons secara konsisten oleh subjek I dan subjek II. Scene-scene tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Scene 37

Gambar 1. Scene 37

Bentuk objek visual pada animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly dirancang dengan teknik stilisasi (penyederhanaan bentuk). Dalam kamus bahasa Inggis stylization berasal dari kata to stylize yang berarti menggambar bentuk konvensianal dengan gaya

(12)

12

realistis. Menurut Piers (2003) stilisasi selalu melibatkan ukuran kesederhanaan, seperti penggunaan warna, kontur, dsb. Kesederhanaan adalah kunci dari prinsip desain. Seperti dikemukan oleh Leonardo Da Vinci bahwa “simplicity is the ultimate sophistication” dan Ludwing Mies Van Der Rohe bahwa “less is more.” Prinsip kesederhanaan memiliki kekuatan untuk membuat target audiens menerima pesan dengan cepat. Bentuk sederhana juga lebih mudah dipahami oleh anak-anak. Akan tetapi, kesederhanaan dalam sebuah bentuk bisa membuat salah penafsiran apabila meninggalkan objektivitasnya dengan tidak memperhatikan kemampuan dan perkembangan anak-anak.

Target audiens yang merupakan anak penyandang autisme bisa memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap sebuah bentuk tergantung dari kemampuan kognitifnya. Data pada penelitian ini menunjukkan dua respons yang berbeda antara subjek I dan subjek II terhadap satu objek visual, yaitu seekor burung. Subjek I mengidentifikasi objek visual pada scene 37 sebagai burung yang sedang tidur. Akan tetapi hal yang berlawanan terjadi pada subjek II karena mengidentifikasi objek visual pada scene 37 sebagai tikus.

Ketidakmampuan anak penyandang autisme mengidentifikasi objek visual bisa terjadi disebabkan oleh gangguan persepsi visual. Menurut Kurtz (2006) anak-anak dengan gangguan persepsi visual memiliki kesulitan dalam mengenali, mengingat, dan mengorganisasi gambar sebagai kebutuhan untuk memahami material berupa tulisan ataupun simbol-simbol bergambar yang digunakan untuk pembelajaran. Kasus pada penelitian ini subjek II masih mengulangi menyebut tikus meskipun sudah diberi pemahaman. Awalnya subjek II mengidentifikasi bentuk burung sebagai tikus. Kemudian setelah diberi pemahaman, subjek II akan menyebutnya sebagai burung. Akan tetapi pada pertemuan berikutnya menyebutkan tikus lagi. Berdasarkan hal tersebut bisa ditarik asumsi bahwa subjek II memiliki gangguan pada persepsi bentuk visual, yaitu gangguan pada kemampuan untuk mengenali dasar

(13)

13

stimulus, seperti bentuk, ukuran, dan warna. Menurut Kurtz (2006) kemampuan untuk menyortir atau mengenali objek mengindikasikan kemampuan untuk menggunakan visual discrimination skills. Gangguan pada kemampuan ini membuat anak penyandang autisme bisa salah menafsirkan sebuah bentuk visual.

Bentuk burung dalam animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly pada scene 37 tidak terlihat memiliki kaki sehingga cukup berbeda dengan objek realis seekor burung. Selain itu sayap dari burung tersebut juga kurang jelas. Prinsip clarity (kejelasan) belum digunakan dengan baik pada bentuk burung. Hal ini membuat anak penyandang autisme kebingungan untuk mengidentifikasi dikarenakan gangguan persepsi visual. Sehingga desain bentuk burung dalam animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly tidak sesuai bagi anak penyandang autisme yang memiliki gangguan persepsi visual.

2. Scene 109-118

Gambar 2. Scene 109-118

Scene 109-118 mendapatkan respons positif dari subjek I dan subjek II. Kedua subjek penelitian mampu mengidentifikasi nama objek visual pada number menu, yaitu apel, semangka, kue, sushi, stroberi, wortel, jeruk, dan ceri. Tetapi ada satu objek visual yang tidak berhasil

(14)

14

diidentifikasi yaitu pada scene 115. Objek visual tersebut berbentuk bulat berwarna hijau. Bentuknya simpel tetapi tidak ada ciri khusus yang mengacu pada suatu bentuk tertentu. Sehingga objek visual tersebut membingungkan anak penyandang autisme. Ketidakmampuan anak penyandang autisme dalam mengidentifikasi objek tersebut disebabkan oleh faktor desain yang tidak menggunakan prinsip clarity (kejelasan).

Scene 109-118 menggunakan komposisi berdasarkan the rules of third. Menurut Taylor (2011) the rules of third adalah prinsip yang baik digunakan pada fotografi, film, dan desain grafis. Pengunaan formula ini adalah dengan membagi layar menjadi tiga bagian secara horizontal dan tiga bagian secara vertikal untuk membentuk sembilan persegi panjang. The rules of thirds digunakan sebagai panduan untuk komposisi ketika mengarahkan kamera atau memposisikan elemen-elemen dalam satu frame. Elemen-elemen harus diletakkan sejajar dengan pembagian garis berdasarkan rules of thrids untuk menciptakan komposisi yang baik. Pada scene 109-118 komposisi terlihat sederhana tetapi enak dilihat oleh mata.

Gambar 3. Contoh penerapan the rules of thirds pada scene 109

Objek visual pada scene 109-118 juga mudah diidentifikasi oleh anak penyandang autisme karena menggunakan warna dan bentuk yang kontras antara foreground dan background. Selain itu menggunakan prinsip emphasis (menekankan pada bagian yang penting) dengan menerapkan prespektif sehingga objek utama terlihat menonjol.

Gambar 4. Penerapan prinsip emphasis

(15)

15

Komposisi number menu dalam setiap scene terdiri dari beberapa objek visual. Sebagai contoh pada scene 109 menu pertama adalah buah apel yang berjumlah satu. Jumlah satu divisualkan dalam simbol angka satu. Selain buah apel terdapat karakter Pato serta properti seperti meja, kursi, piring, serbet, sendok, dan garpu.

Gambar 5. Scene 109

Akan tetapi meskipun komposisi setiap scene terdiri dari beberapa objek visual, subjek I dan subjek II hanya mengidentifikasi dan menyebutkan satu objek visual saja. Objek visual tersebut merupakan makanan yang ada dalam daftar number menu, yaitu: apel, semangka, kue, sushi, stroberi, wortel, jeruk, dan ceri. Kemampuan subjek I dan subjek II yang hanya mengidentifikasi dan menyebutkan satu objek visual dikarenakan anak penyandang autisme memiliki gangguan dalam memahami big picture. Disebutkan oleh Mash & Allen (2010) bahwa anak penyandang autisme melihat detail dibandingkan dengan big picture. Seperti contoh saat seseorang melihat sebuah hutan, dia akan melihat lebatnya pepohonan.Tetapi anak penyandang autisme melihat hal yang berbeda, mereka mungkin hanya akan melihat satu daun pohon cemara.

Elemen tipografi berupa angka 1-10 dari scene 109-118 membantu anak penyandang autisme mengidentifikasi angka. Hal tersebut juga didukung dengan penerapan prinsip animasi berupa sound. Karakter The Children dalam animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly mengucapkan angka pada setiap scene dari 1-10 disertai musik instrumental. Kasus pada penelitian ini subjek II merespons dengan spontan dan antusias setiap scene 109-118 ditayangkan kemudian akan mengikuti mengucapkan angka 1-10.

(16)

16

Subjek II memiliki kesukaan terhadap musik sehingga ketika mulai mendengar suara instrumen akan bersemangat dan mengikuti suara tersebut. Suara memiliki peran dalam membantu anak penyandang autisme mengidentifikasi sebuah simbol. Selain dari melihat objek visual anak penyandang autisme juga melakukan proses identifikasi bentuk dengan mendengarkan suara kemudian mengimitasi. Musik berperan sebagai penggerak agar anak penyandang autisme bisa fokus. Selain itu musik dapat memotivasi dalam proses pembelajaran. Stephen (2008) menemukan bahwa imitasi terhadap aksi dan kata oleh anak penyandang autisme meningkat ketika musik digunakan untuk meningkatkan social engagement.

3. Scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230

Gambar 6. Scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230

Scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230 menggunakan prinsip komposisi simetris. Taylor (2011) mengungkapkan bahwa ketika memulai sebuah desain, godaan terbesar adalah membuat semuanya simetris. Komposisi simetris merupakan cara yang mudah untuk membuat komposisi yang seimbang. Manusia juga secara alamiah mencari simetri. Pada teori Gestalt mencari simetri dari apa yang manusia lihat disebuat sebagai Prägnanz. Penggunaan prinsip simetri pada sebuah komposisi bisa menyebabkan sebuah desain terlihat kaku dan membosankan. Akan tetapi hal ini bisa ditafsirkan berbeda oleh anak penyandang autisme. Mads (2017) mengungkapakan bahwa simetri bisa

(17)

17

digunakan untuk membangun familiarity dengan layout. Menggunakan simetri pada sebuah desain bisa bermanfaat bagi seseorang dengan learning disability. Kasus penelitian ini menunjukkan bahwa anak penyandang autisme cepat dalam mengidentifikasi bentuk pada scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230 yang dirancang dengan prinsip komposisi simetris.

Prinsip komposisi yang juga diterapkan pada scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230 adalah repetisi. Taylor (2011) mengungkapkan bahwa repitisi digunakan untuk membentuk irama visual. Repetisi dapat diterapkan pada warna, bentuk, ukuran, gerakan, dan elemen lainnya. Pada animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly repetisi diterapkan pada warna background yaitu putih. Background dengan warna putih membuat objek visual terlihat kontras sehingga objek visual mudah diidentifikasi oleh anak penyandang autisme. Selain itu, background warna putih dapat memberikan manfaat bagi anak penyandang autisme yang fokus pada detail. Pada scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230 objek visual yang disajikan hanya satu objek setiap scene. Hal ini bisa memberikan manfaat bagi anak penyandang autisme yang tidak memahami big picture. Mash & Allen (2010) menyebutkan bahwa anak penyandang autisme melihat detail dibandingkan dengan big picture. Seperti contoh saat seseorang melihat sebuah hutan, dia akan melihat lebatnya pepohonan.Tetapi anak penyandang autisme melihat hal yang berbeda, mereka mungkin hanya akan melihat satu daun pohon cemara.

Benda-benda (properti) pada scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230 disajikan dengan gerakan berputar di tempat. Hal ini dapat menarik perhatian anak penyandang autisme karena mereka sangat tertarik pada objek yang berputar. Hal tersebut juga didukung dengan penerapan prinsip animasi berupa sound. Karakter The Children dalam animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly mengucapkan nama-nama benda (properti) disertai musik instrumental. Kasus pada penelitian ini

(18)

18

subjek I mengulang-ulang nama benda pada scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230 yaitu oven, kulkas, apron, kue, meja, dan kursi. Suara memiliki peran dalam membantu anak penyandang autisme mengidentifikasi sebuah simbol. Selain dari melihat objek visual anak penyandang autisme juga melakukan proses identifikasi bentuk dengan mendengarkan suara kemudian mengimitasi. Musik berperan sebagai penggerak agar anak penyandang autisme bisa fokus. Selain itu musik dapat memotivasi dalam proses pembelajaran. Stephen (2008) menemukan bahwa imitasi terhadap aksi dan kata oleh anak penyandang autisme meningkat ketika musik digunakan untuk meningkatkan social engagement.

Salah satu media pembelajaran yang digunakan oleh subjek I adalah kartu bergambar dan subjek II adalah Picture Exchange Communication System (PECS). Dua media tersebut dirancang dengan latar putih dan hanya terdiri dari satu objek visual dengan proporsi simetris. Prinsip yang sama juga diterapkan pada scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230. Prinsip desain pada animasi yang sama dengan media yang biasa digunakan subjek penelitian untuk pembelajaran menjadi pendukung untuk membantu proses mengidentifikasi objek visual.

C. Kesimpulan

Desain animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly dapat digunakan sebagai media pembelajaran mengidentifikasi objek visual bagi anak penyandang autisme. Sebuah desain sangat berpengaruh pada keberhasilan anak dalam memahami informasi yang akan disampaikan. Keberhasilan sebuah desain dalam menyampaikan informasi juga dipengaruhi oleh kemampuan visual masing-masing anak. Prinsip-prinsip desain dalam animasi Let’s Go Pocoyo! episode Cooking with Elly juga dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk membuat desain atau animasi untuk anak penyandang autisme.

(19)

19

DAFTAR PUSTAKA

Arief Agung Suwasono. 2016. Pengantar Animasi 2D, Metode Dasar Perancangan Animasi Tradisional. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

Britton, Piers D. and Simon J. Barker. 2003. Reading Between Designs:Visual Imagery and the Generation of Meaning in The Avengers,The Prisoner, and Doctor Who. Texas : The University of Texas Press.

Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln. 1994. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication.

Kurtz, Lisa A. 2006. Visual Perception Problems in Children with AD/HD,

Autism and other Learning Disabilities : a guide for parents and

professionals. London: Jessica Kingsley Publishers.

Lexy J. Moleong. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Mash, Eric J. and David Allen Wolfe. 2010. Abnormal Child Psychology. Wadsworth: Cengage Learning.

M. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Notbohm, Ellen. 2012. Ten Things Every Child with Autism Wishes You Knew. New Jersey: BookBaby.

Roblyer, M.D. 2006. Integrating Educational Technology Into Teaching. New Jersey: Pearson Education.

Shelton, S. Marthin. 2004. Communicating Ideas with Film, Video, and Multimedia: a Practical Guide to Information Motion Media. Illion: Souther Illionis University Press.

Taylor, Angie. 2011. Design Essentials for the Motion Media Artist: a Practical Guide to Principles & Techniques. Oxford: Elsevier.

Yurika Chendy Rusianto. 2016. Pengaruh Terapi Murottal Surat Al-Mulk Terhadap Respon Kognitif Pada Anak Autis di Sekolah Luar Biasa Negeri 01 Bantul Yogyakarta. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: Yogyakarta.

Kietz, M.A. and Dunn W.A. Comparison of the Performance of the Children with and without Autism on the Sensory Profile. Am J Occup Ther (PubMed). (1997): 530-537.

(20)

20

Lowe, R.K. Animation and learning: Value for money? In R. Atkinson, C. McBeath, D. Jonas-Dwyer & R. Phillips (Eds), Beyond the comfort zone: Proceedings of the 21st ASCILITE Conference. (2004): 558-561. Stephen, Carolyn E. Spontaneous Imitation by Children with Autism During a

Repetitive Musical Play Routine. Autism. (2008): 645-671. Dokter Anak Indonesia, 2015, Jumlah Anak Autis di Indonesia, [online],

(http://klinikautis.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autis-di-indonesia/, diakses tanggal 19 Februari 2016).

Lee A. Wilkinson, 2016, Autistic Kids Like Games that Stimulate Sense, Movement, [online],

(http://bestpracticeautism.blogspot.co.id/2013/09/preferred-play-for-children-with-autism.html?m=1, diakses tanggal 8 April 2018). Soegaard, Mads, 2017, Symmetry vs. Asymmetry – Recalling Basic Design

Principles, [online],

(https://www.interaction- design.org/literature/article/symmetry-vs-asymmetry-recalling-basic-design-principles, diakses tanggal 6 April 2018).

Gambar

Gambar 5. Scene 109
Gambar 6.  Scene 219, 220, 225, 226, 228, dan 230

Referensi

Dokumen terkait

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ PENGARUH MOTODE BERMAIN PERAN TERHADAP KEMAMPUAN

Putusan arbitrase internasional tidak dapat dilaksanakan karena antara lain melanggar ketertiban hukum Indonesia dimana meskipun merupakan putusan arbitrase internasional

PENGARUH KEPEMIMPINAN VISIONER KEPALA SEKOLAH D AN IKLIM KERJA SEKOLAH TERHAD AP MUTU SEKOLAH D ASAR NEGERI D I KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BAND UNG.. Universitas

1) Sekolah wajib menyediakan buku teks utama bagi peserta didik sesuai dengan kurikulum yang digunakan. 2) Buku teks utama bagi peserta didik dibeli untuk memenuhi. rasio

Hal ini berarti bobot buah per butir galur mutan harapan tomat mempunyai tanggapan berbeda-beda di lingkungan tanam yang berbeda, baik di Kalitirto maupun di

DINAS PENDAPATAN, PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KABUPATEN LEBONG.. Jalan Raya

Knrya ilrniah ini harus dilnksnnahn oleh Dosen I K I P Padnng dalnm rnngkn.. meningkntknn mutu, baik sebngai dosen mnupun

Agar para siswa semangat untuk selalu belajar dengan giat maka guru seharusnya berusaha untuk meningkatkan khazanah keilmuannya, yaitu dengan banyak membaca buku-buku yang