• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN DEBITOR PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS HARTANYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN DEBITOR PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS HARTANYA"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN DEBITOR PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM

ATAS HARTANYA A. Pengertian Perbuatan Hukum

Perbuatan hukum adalah segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untukmenimbulkan hak-hak dan kewajiban. Terdiri dari:

1. Perbuatan hukum sepihak. Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja tetapi memunculkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula. Misalnya: pembuatan surat wasiat(pasal 875 KUH Perdata), pemberian hibah suatu benda(pasal 1666 KUH Perdata).

2. Perbuatan hukum dua pihak. Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak tersebut. Misalnya: persetujuan jual beli (pasal 1457 KUH Perdata), perjanjian sewa-menyewa(pasal 1548 KUH Perdata), dll.

Menurut pendapat lain yaitu pendapat hukum perbuatan hukum dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum.

a. Perbuatan menurut hukum. Contoh : zaakwarneming (1354).

Zaakwarneming ialah perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum meskipun tidak dikehendaki oleh orang tersebut. Contoh : mengurusi kepentingan orang lain tanpa diminta oleh orang tersebut yakni bila terdapat kasus kecelakaan yang mengakibatkan seseorang luka parah dan harus dioperasi secepatnya maka dokter harus mengoperasinya tanpa meminta ijin kepada orang tersebut atau keluarganya.

(2)

b. Perbuatan melawan hukum. Contoh Onrechtmatigdaad (1365).

Onrechtmatigedaad adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Meski tidak dikehendaki atau disengaja, pelaku harus mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. 2. Perbuatan hukum yang tidak dilakukan oleh subyek hukum. Contoh : jatuh tempo atau

kadaluarsa, kelahiran, kematian.46

B. Bentuk-bentuk Kewenangan Debitur Pailit dalam melakukan perbuatan Hukum atas hartanya

Setelah keputusan pernyataan pailit, debitur dalam batas-batas tertentu masih dapat melakukan perbuatan hukum kekayaan sepanjang perbuatan tersebut akan mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Sebaliknya apabila perbuatan hukum tersebut akan merugikan harta pailit Kurator dapat diminta pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit. Pembatalan tersebut bersifat relatif, artinya hal itu hanya dapat digunakan untuk kepentingan harta pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUK No.37 Tahun 2004.

Orang yang mengadakan transaksi dengan debitur tidak dapat mempergunakan alasan itu untuk meminta pembatalan. Tindakan Kurator tersebut disebut Actio Paulina.

Pengaturan tentang Actio Paulina tersebut ada dalam Pasal 1341 KUH Perdata dan Pasal 41-45 UUK. Dalam Pasal 41, menyebutkan bahwa untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kreditur, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit di tetapkan. Pembatalan tersebut hanya dilakukan , apabila dapat dibuktikan bahwa, pada saat

diakses 6 April 2013

(3)

perbuatan hukum tersebut itu dilakukan, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur (ayat 2). Oleh debitur berdasarkan UU, misalnya kewajiban membayar pajak, tidak dapat dimintakan pembatalan (ayat 3).

Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditur dilakukan dalam jangka 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapakan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan sebalikanya, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.

C. Actio Pauliana

Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur beberapa pasal mengenai actio pauliana, antara lain dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditentukan bahwa: “Dalam hal suatu perkara dilanjutkan oleh Kurator terhadap pihak lawan maka Kurator dapat mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang dilakukan oleh Debitur sebelum yang bersangkutan dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan Debitur tersebut dilakukan dengan maksud untuk merugikan kreditur dan hal ini diketahui oleh pihak lawannya”.

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur sebagai berikut. (1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan (2) Pembatalan sebagaimana

(4)

dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditur. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitur yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.

Kata-kata actio pauliana ini berasal dari orang romawi, yang menunjukan kepada semua upaya hukum yang digunakan untuk menyatakan batal tindakan debitur yang meniadakan arti pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi ”Segala kebendaan si berutang,baik yang bergerak maupun tidak bergerak,baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”. Jadi debitur berusaha meniadakan atau menghilangkan arti penting dari pasal ini dengan cara memindahkan sebagian aset-aset harta kepailitanya agar tidak menjadi aset yang digunakan untuk pembayaran kreditur saat debitur tersebut dipailitkan. Karena semakin besar aset yang dimiliki oleh seorang debitur maka akan menyebabkan semakin besar pula kewajiban pengeluaran asetnya untuk memenuhi kewajiban pembayaran hutang kepada kreditur. Oleh karena itu ketika debitur akan dinyatakan pailit, diperlukan suatu kewenangan hukum yang dapat membatalkan perbuatan-perbuatan hukum dari seorang debitur, kewenangan hukum ini sering disebut dengan actiopauliana. Pengaturan tentang

actio pauliana diperkuat di dalam pasal 1341 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi ”Meskipun demikian,tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama apapun juga,yang merugikan orang-orang yang berpiutang,asal dibuktikan,bahwa ketika perbuatan

(5)

dilakukan, baik si berutang maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat,mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang yang berpiutang.” Dalam pasal 1341 ayat (1) tersebut dapat diartikan bahwa terdapat hak dari seorang kreditur untuk mengajukan pembatalan terhadap tindakan-tindakan hukum yang tidak diwajibkan, yang telah dilakukan oleh debitur. Yang dimana perbuatan tersebut dapat merugikan pihak kreditur. Selain itu,paal tersebut juga membuktikan tentang sifat dasar perjanjian yang mengikat kedua belah pihak.

Actio Pauliana merupakan sarana yang diberikan oleh undang-undang untuk membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur. Di dalam pasal 1341 ayat (2) yang berbunyi “Hal-hal yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, dilindungi.” juga ditambahkan tentang asas itikad baik (good faith). Jadi walaupun barang-barang atau aset-aset yang dimiliki oleh debitur sudah dikuasai oleh pihak ketiga, maka aset-aset tersebut dapat diminta kembali dengan actio paulinia dan untuk pihak ketiga yang terlanjur melakukan transaksi dengan debitur yang akan dinyatakan pailit,akan diberikan pengembalian terhadap harga yang telah dibayarnya oleh kurator.

Selain diatur di dalam KUH Perdata, Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga mengatur tentang actio pauliana secara lebih komprehensif. Pengaturan actio pauliana di dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur di dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 49. Hal ini dapat dibuktukan dengan isi dari Pasal 41 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 yang menyebutkan “Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitur

(6)

yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan”.

Saat melaksanakan tugasnya, seorang kurator juga harus memastikan terpenuhinya syarat-syarat dari actio pauliana. Syarat-syarat dari actio pauliana menurut Undang-Undang Kepailitan adalah sebagai berikut:

1. Dilakukan actio pauliana tersebut untuk kepentingan harta pailit. 2. Adanya perbuatan hukum dari debitur.

3. Debitur tersebut telah dinyatakan pailit.

4. Perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditur, contohnya:menjual barang dengan harga dibawah standar, pemberian barang sebagai hibah atau hadiah, memberikan kewajiban terhadap harta pailit,melakukan sesuatu yang merugikan rangking kreditur seperti pembayaran terhadap kreditur tertentu saja.

5. Perbuatan hukum tersebut dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan.

6. Kecuali dalam hal-hal berlaku pembuktian terbalik,dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, debitur tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.

7. Kecuali dalam hal-hal berlaku pembuktian terbalik,dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan,pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian pada kreditur.

8. Perbuatan hukum tersebut bukan perbuatan hukum yang diwajibkan,yaitu tidak diwajibkan oleh undang-undang atau perjanjian. Contoh: memberikan jaminan

(7)

kepada kreditur yang tidak diharuskan,membayar hutang yang belum jatuh tempo, menjual barang-barang dengan kompensasi harga,membayar utang (sudah jatuh tempo atau belum) tidak secara tunai namun diganti dengan hal yang lain seperti barang. Seperti yang ada di dalam syarat-syarat actio pauliana bahwa perbuatan debitur harus merupakan perbuatan hukum. Jadi dalam perbuatan yang dapat dibatalkan dengan actio pauliana harus merupakan suatu perbuatan yang memiliki akibat hukum. Jadi apabila debitur memusnahkan asetnya, debitur menolak untuk menerima sumbangan ataupun debitur tidak mengeksekusi suatu kontrak yang sudah terlebih dahulu diperjanjikanya,tidak dapat dilakukan actio pauliana karena tindakan-tindakan tersebut bukanlah suatu perbuatan hukum. Apabila ditelusuri pembayaran utang kepada kreditor, hal itu merupakan kewajiban yang ada di dalam undang-undang maupun perjanjian.Namun pembayaran utang tersebut masih bisa dibatalkan dengan actio pauliana apabila:

a. Dapat dibuktikan bahwa si penerima pembayaran mengetahui pada saat dibayarnya hutang tersebut oleh debitur, kepada debitur tersebut telah dimintakan pernyataan pailit atau pelaporan untuk itu sudah dimintakan.

b. Adanya persengkongkolan antara kreditur dan debitur, sehingga hal tersebut lebih menguntungkan kreditur tersebut dari pada kreditur-kreditur yang lain.47 Selain hal tersebut, agar perbuatan yang dilakukan debitur kemudian dinyatakan pailit,menurut doktrin untuk dapat dibatalkan dengan actio pauliana harus dipenuhi dua syarat yaitu perbuatan tersebut diketahui dan patut diduga oleh pihak debitur dan pihak ketiga bahwa perbuatan tersebut merugikan terhadap pihak kreditur. Sementara jika yang dilakukan oleh debitur yang akan dipailitkan tersebut adalah hibah atau hadiah,terhadap pihak ketiga yang menerima hibah atau hadiah tersebut tidak disyaratkan unsur diketahui

47

Fred B.G.Tumbuan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran PKPU, Alumni, Bandung, 2000, hlm 57

(8)

dan patut diduga oleh pihak debitur dan pihak ketiga bahwa perbuatan tersebut merugikan terhadap pihak kreditur. Dalam hal ini tindakan patut diketahui dan menduga menjadi beban dari pemberi hadiah dan hibah saja apabila hibah ini dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum debitur pailit seperti yang diuangkapkan Pasal 44.

Actio Pauliana membuktikan perbuatan dari debitur yang mengarah pada tindakan untuk mengalihkan aset-asetnya maka kurator wajib untuk membuktikan adanya kerugian pada pihak kreditur akibat dari pembuatan perjanjian atau dilaksanakanya perbuatan hukum tersebut. Selain itu kurator tersebut harus membuktikan bahwa perbuatan hukum timbal balik yang dilakukan oleh debitur tersebut dalam upaya untuk merugikan kreditor. Di samping itu juga dimungkinkan adanya suatu pembuktian terbalik, apabila saat dilakukanya perbuatan tertentu yang merugikan harta pailit tersebut pihak debitor dan pihak siapaun dengan siapa tindakan itu dilakukan (kecuali hibah) dianggap telah mengetahui atau patut mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kreditur kecuali dibuktikan sebaliknya. Yaitu dapat dibuktikan bahwa pihak debitor dan pihak siapaun dengan siapa tindakan itu dilakukan (kecuali hibah) tidak dalam keadaan mengetahui atau patut mengetahui jika perbuatan tersebut merugikan kreditur. Jika perbuatan tersebut adalah hibah, maka pembuktiab terbalik ini hanya dibebankan kepada debitur. Karena di dalam hibah tidak disyaratkan adanya pembuktian bagi pihak siapaun dengan siapa tindakan itu dilakukan. Syarat-syarat agar berlakunya pembuktian terbalik:

1. Perbuatan tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan.Sehingga disini berlaku asas “Hukum Anti Perbuatan Menit Terakhir”(Anti Last Minute Grab Rule).

(9)

2. Perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan oleh debitur

3. Hanya berlaku untuk perbuatan-perbuatan dalam hal tertentu saja,yaitu sebagai berikut:

1) Perbuatan hukum tersebut adalah hibah

2) Perbuatan tersebut merupakan perikatan dimana perikatan dimana kewajiban debitur melebihi kewajiban pihak dengan siapa perikatan tersebut dilakukan. 3) Dilakukan oleh debitur perorangan,dengan atau terhadap:

- Suami atau istrinya,anak angkat atau keluarganya sampai drajat ketiga

- Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam point 1 adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama,ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.

4) Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukumm dengan atau terhadap: anggota direksi atau pengurus dari Debitur, suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota direksi atau pengurus tersebut;

5) Perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung

(10)

atau tidak langsung dalam kepemilikan Debitur lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal.

6) Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitur lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor.

7) Dilakukan oleh Debitur yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila:

a) Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama.

b) Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus Debitur yang juga merupakan anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya c) Perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas

pada Debitur, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya.

d) Debitur adalah anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya

e) Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya dan

(11)

keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal yang disetor.

Pada Pasal 41 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dinyatakan bahwa tindakan-tindakan yang digolongkan actio pauliana dapat dinmintakan batal tentunya dapat dinyatakan batal oleh pihak kurator dari pihak debitur pailit. Jika debitur telah terlanjur untuk melakukan penjualan terhadap asetnya, maka jual beli tersebut dapat dibatalkan dan aset dari debitur harus kembali kepadanya.Namun jika karena alasan suatu hal aset tersebut tidak dapat dikembalikan,menurut Pasal 49 ayat 2 Undang Undang Kepailitan maka pihak pembeli harus melakukan pengembalian kepada kurator. Selain itu harga barang yang telah diterima debitur juga harus dikembalikan oleh pihak kurator dengan syarat bahwa harta barang bermanfaat untuk harta pailit dan barang tersebut tersedia.

Actio Pauliana dalam perkara kepailitan sebenarnya merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1341 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “meskipun demikian kreditor boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apapun juga yang merugikan kreditur asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. Hak-hak yang diperoleh dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang tidak sah itu dihormati”.

(12)

Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dilakukan oleh debitur tersebut, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.

Ketentuan actio pauliana dalam Pasal 1131 KUH Perdata ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang mengatur mengenai prinsip paritas creditorum. Hal ini karena dengan Pasal 1131 KUH Perdata ditentukan bahwa semua harta kekayaan debitur demi hukum menjadi jaminan atas utang-utang debitur. Dengan demikian maka debitur sebenarnya tidak bebas terhadap harta kekayaan ketika ia memiliki utang kepada pihak lain, dalam hal ini kepada kreditur.

Actio Paulina dalam UU No.37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Pasal 41-47. Berbeda dengan actio pauliana

dalam KUH Perdata yang diajukan oleh kreditur, maka actio paulina dalam kepailitan diajukan oleh kurator (vide pasal 47 ayat (1) dan kurator hanya dapat mengajukan gugatan actio pauliana atas persetujuan Hakim Pengawas.

Gugatan actio pauliana dalam kepailitan disyaratkan bahwa debitur dengan pihak siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Gugatan actio pauliana dalam kepailitan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:48

1. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditor yang dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pailit.

2. Perbuatan hukum yang digugat action pauliana dalam kepailitan tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang tidak wajib dilakukan oleh debitur pailit.

48

Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm 113

(13)

3. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat.

4. Perbuatan hukum yang digugat action paulina dalam kepailitan tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum dapat ditagih.

5. Perbuatan hukum yang digugat actio pauliana dalam kepailitan tersebut merupakan perbuatan yang merugikan kreditur yang dilakukan terhadap pihak terafiliasi. Pihak yang terafiliasi ditentukan sebagaimana dalam Pasal 42. Meskipun actio pauliana secara secara teoritis dan normatif tersedia dalam kepailitan, akan tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk mengajukan gugatan actio paulina sampai dikabulkan oleh hakim. Hal ini antara lain disebabkan oleh proses pembuktian actio pauliana tersebut serta perlindungan hokum terhadap pihak ketiga yang bertransaksi dengan debitur tersebut.49

D. Paksa Badan bagi Debitor Pailit

Pemberlakukan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberi makna bahwa Undang-undang tentang Kepailitan (Faillisements-verordening Staatsblad 1905-217 juncto Staatsblad

1906-348) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan sudah tidak dapat diberlakukan lagi. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 bertujuan untuk lebih melindungi kepentingan-kepentingan baik kreditur maupun debitur yang merupakan organorgan penting dalam berlakunya Undang-undang ini serta menjadi dasar bagi Hakim Niaga dalam mengadili perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

(14)

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dinyatakan pailit. Debitur yang telah dinyatakan pailit melalui putusan pernyataan pailit mengakibatkan debitur pailit tersebut tidak cakap (onbekwaam) untuk mengurus harta-hartanya yang termasuk dalam

boedel/asset pailit. Hal tersebut membawa konsekuensi hukum untuk menunjuk dan menggangkat kurator yang akan menggambil alih dan bertanggung jawab dalam pengurusan dan pemberesan asset pailit debitur pailit.

Bukan tugas yang mudah bagi kurator dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam menelusuri seluruh aset pailit yang ada kalanya bagian

tertentu dari asset pailit tersebut dikuasai oleh pihak ketiga, atau bahkan sikap dari

debitur pailit yang tidak beritikad baik sehingga menyembunyikan atau mengalihkan asset pailit kepada pihak lain. G. P. Wijaya50

dan Pasal 242-258 RBg yang kemudian berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4

mengemukakan bahwa kerap pula dijumpai ancaman-ancaman psikis terhadap kurator dari orang-orang suruhan debitur pailit ataupun kurator dilaporkan kepada polisi oleh debitur karena dianggap telah melakukan tindak-tindak pidana masuk pekarangan tanpa izin atau penggelapan. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya hukum yang disebut paksa badan (gijzeling) yang dipandang efektif sebagai sarana pemaksa bagi debitur pailit untuk bersikap kooperatif.

Paksa badan bukan merupakan suatu hal yang baru dalam sistem hukum di negara ini. Paksa badan (gijzeling) sebagaimana diatur dalam Pasal 209-224 HIR

50

G.P. Aji Wijaya, Aspek Pidana dalam Kepailitan dan Permasalahan yang Dihadapi dalam Praktek, Makalah dalam Pelatihan Hakim Niaga, Bogor, 2004, hlm.3

(15)

Tahun 1975 yang menginstruksikan kepada seluruh Hakim Indonesia untuk tidak lagi menghidupkan atau menerapkan peraturan-peraturan tentang paksa badan.

Paksa Badan dihidupkan kembali melalui Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 yang ditegaskan kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 1 Tahun 2000. Penghidupan lembaga paksa badan (gijzeling) tidak hanya mendapatkan tanggapan yang positif,

tetapi juga menimbulkan reaksi negatif seputar itu. Pengenaan paksa badan terhadap seseorang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia orang tersebut.

Menurut Erwin Mangatas Malau51

para kreditur yang dilakukan oleh debitur. Dalam penerapannya terhadap perkara kepailitan, paksa badan masih menimbulkan banyak masalah dan persoalan. Salah satunya yaitu mengenai bagaimana penerapan paksa badan terhadap perkara kepailitan dalam praktek, karena belum ada produk hukum yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan paksa badan dalam perkara kepailitan. Kemudian yang berkaitan dengan mekanisme palaksanaan paksa badan, adalah tempat pelaksanaan paksa badan dimana dalam Undang-Undang Kepailitan disebutkan bahwa pelaksanaan paksa badan dapat ditempatkan di Rumah Tahanan Negara ataupun di rumah debitur pailit itu sendiri dengan

penghidupan kembali lembaga gijzeling sudah pasti menimbulkan sikap pro dan kontra. Bagi pihak yang tidak setuju akan mengatakan perlakuan pemaksaan tidak manusiawi karena melanggar hak asasi debitur yang terkena tindakan, sedangkan bagi pihak yang setuju akan mengatakan bahwa meskipun terjadi pelanggaran hak asasi debitur, akan tetapi pelanggaran hak asasi itu tidak sebanding dengan pelanggaran hak asasi terhadap

51

Erwin Mangatas Malau, Gijzeling dalam Kepailitan, Makalah dalam Pelatihan Hakim Niaga, Bogor, 2004, hlm. 1

(16)

pengawasan di bawah jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, yang menjadi persoalan adalah jika penahanan ditempatkan di rumah debitur pailit itu sendiri, rasanya tidak memungkinkan bagi jaksa untuk mengawasi dan mengetahui setiap kegiatan yang dilakukan oleh debitur pailit. Selain itu, menurut Imran Nating bagaimana jaksa dalam melaksanakan paksa badan belum diatur mekanismenya.52

Pengertian lembaga paksa badan dalam peraturan perundang-undangan dijumpai dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya. Paksa badan (Lifsdwang) adalah upaya penagihan dalam rangka penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu disuatu tempat tertentu terhadap debitur yang tergolong mampu namun tidak beritikad baik.

Permasalahan lainnya yang timbul kemudian adalah hambatan yang dihadapi dalam menerapkan paksa badan sebagai upaya pemaksa terhadap debitur pailit sehingga debitur pailit bersikap kooperatif mengenai keadaan asset/hartanya.

53

Undang Undang Kepailitan inilah dikenal adanya Lembaga Paksa Badan (gijzeling) yang merupakan suatu solusi dalam menghadapi Debitur yang tidak kooperatif. Sesungguhnya, Paksa Badan (Penyanderaan - Gijzeling) sudah merupakan sarana yang sangat efektif dalam pengurusan dan penyelesaian perkara kepailitan, khususnya terhadap Debitur yang tidak mempunyai iktikad baik. Permasalahanya dalam

52

Imran Nating, Op.Cit, hlm. 111

53

Andryawal Simanjuntak, Gizeling/Lembaga Paksa Badan,

(17)

mengefektifkan lembaga gijzeling adalah masalah praktek “kedekatan atau mafia peradilan” yang masih ditemui dalam perkara-perkara di Pengadilan. 54

(18)

BAB IV

PERAN KURATOR TERKAIT DENGAN KEWENANGAN DEBITUR PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS HARTANYA A. Pengangkatan Kurator oleh Pengadilan Niaga

Sutan Remy Sjahdeini mendefinisikan Kurator adalah perwakilan pengadilan dan dipercayai dengan mempertaruhkan reputasi pengadilan untuk melaksanakan kewajibannya dengan tidak memihak. Dari istilah menurut kamus-kamus yang dikutip dapat diartikan bahwa Kurator dalam hukum kepailitan itu adalah pengampu/wali dari seseorang yang karena hukum kewenangan dan haknya untuk mengurus harta bendanya sendiri dicabut, atau pengampu/wali dari seseorang yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit. Singkatnya yaitu pihak yang berwenang untuk mengurus dan membereskan maupun menguangkan harta kekayaan yntuk membayar utang debitur pailit.55

1. Permohonan kurator sendiri

Kurator diangkat oleh pengadilan bersamaan dengan putusan permohonan pernyataan pailit. Jika debitur atau kreditur yang memohonkan kepailitan tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan bertindak selaku kurator. Ketentuan Pasal 71 ayat (1) memungkinkan pengadilan untuk setiap saat mengabulkan usul penggantian kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator dan mengangkat kurator lain dan/atau mengangkat kurator tambahan atas:

2. Permohonan kurator lainnya jika ada

3. Usul Hakim Pengawas

4. Permintaan debitur pailit.

Seorang Kurator atau pihak yang telah ditentukan dalam Undang-undang

(19)

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, jika ingin mengganti seorang Kurator ia harus mengajukan permohonan tersebut ke Pengadilan Niaga. Atas permohonan tersebut Pengadilan Niaga kemudian memanggil dan mendengar Kurator yang bersangkutan. Dan setelah itu pengadilan mengambil

keputusan untuk mengangkat Kurator lain sebagai pengganti Menurut Aria Suyudi "ada dua mekanisme yang dapat dilalui dalam proses penggantian Kurator".56 Proses yang pertama57

c. atas usulan Hakim Pengawas adalah:

a. atas permintaan Kurator sendiri;

b. atas permintaan Kurator lainnya, jika ada; 58

56 Aria Suyudi, Op. Cit, hlm. 112

57 Menurut Ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU KPKPU yaitu proses dimana Pengadilan dapat

mengabulkan usul penggantian Kurator, mengangkat Kurator lain, dan atau mengangkat Kurator tambahan, setelah memanggil dan mendengar Kurator:

a. atas permintaan Kurator sendiri;

b. atas permintaan Kurator lainnya, jika ada; c. atas usulan Hakim Pengawas;

d. atas permintaan Debitor yang pailit

58 Menurut ketentuan Pasal 90 UU KPKPU Hakim Pengawas dapat mengadakan rapat Kreditor

tersebut apabila dianggap perlu atau atas permintaan: a. panitia Kreditor; atau

b. paling sedikit 5 (lima) Kreditor yang mewakili 1/5 (satu per lima) bagian dari semua piutang yang diakui atau diterima dengan syarat.

; d. atas permintaan Debitur yang pailit

Proses yang kedua ialah proses saat pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat Kurator atas permintaan Kreditur konkuren berdasarkan putusan rapat Kreditur dengan persyaratan putusan tersebut diambil berdasarkan suara setuju lebih dari ½ (satu per dua) jumlah Kreditur konkuren yang hadir dalam rapat dan yang mewakili lebih dari ½ (satu per dua) jumlah piutang Kreditur konkuren yang hadir dalam rapat tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UUK PKPU.

(20)

Seorang Kurator akan mengundurkan diri, Kurator menyatakan pengunduran diri secara tertulis kepada pengadilan dengan tembusan kepada Hakim Pengawas, Panita Kreditur, Debitur atau Kurator lainnya, jika ada.59

Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. Jika terjadi kesalahan atau Pengertian Kurator pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan. Kurator sendiri pada Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan disebutkan dalam kedudukannya harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitur atau kreditur, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.

Tugas Kurator sendiri adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Dalam melaksanakan tugas, Kurator tidak harus memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan, dan Kurator dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, untuk meningkatkan nilai harta pailit.

(21)

kelalaian dalam tugas pengurusan harta pailit, Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.60

Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa pengadilan yang berwenang

mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.

Pengadilan Niaga, yang merupakan bagian dari peradilan umum, mempunyai kompetensi

untuk memeriksaperkara-perkara sebagai berikut:61 1. Perkara kepailiatan dan penundaan pembayaran, dan

2. Perkara-perkara lainnya di bidang perniagaan yang telah ditetapkan dengan aturan

pemerintah.

B. Tugas Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Hal-hal yang termasuk dalam pengurusan harta pailit antara lain:62

1. Segera setelah menerima penetapan/putusan kepailitan dari Pengadilan Niaga, berdasarkan Pasal 13 ayat (4) Undang- Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang kepailitan tersebut dalam Berita Negara Repulik Indonesia serta dalam sekurangkurangnya 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, hal-hal sebagai berikut ini:

a. ikhtisar pusan pernyataan pailit;

60

61 Munir Fuady, Op. Cit. hlm 35

62

Usman Rangkuti, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau PKPU, dalam: Rudhy A. Lontoh, dkk (Bandung: Alumni, 2001) hlm. 382.

(22)

b. identitas, alamat dan pekerjaan debitur;

c. identitas, alamat dan pekerjaan anggota panitia sementara kreditur, apabila telah ditunjuk;

d. tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditur, dan e. identitas Hakim Pengawas.

2. Mengadakan atau membuat pencatatan/pendaftaran harta kekayaan dari si pailit dan memisah-misahkan barang-barang yang cepat rusak karena barang-barang yang cepat rusa/busuk akan dapat dijual secepatnya untuk menghindari kerugian pada harta pailit, hal ini dapat dilakukan atas persetujuan Hakim Pengawas.

3. Memanggil si pailit untuk meminta keterangan sebab-sebab menjadi pailit,apakah ada perjanjian kawin atau tidak, usaha apa yang dijalankan, kemungkinan untuk dapat dijalankan usaha tersebut, dan sebagainya.

4. Mengirim surat kepada kantor surat-surat yang beralamat kepada sipailit, untuk selanjutnya dialamatkan kepada Kurator.

5. Memanggil kreditur/debitur untuk menagih/membayar utangutangnya sambil membawa bukti-bukti tagihan.

6. Membuat daftar kreditur/debitur sementara

7. Mengajukan kepada Hakim Pengawas, hari, tanggal, ditetapkannya rapat verifikasi. Dalam pengumuman rapat/verifikasi harus ditetapkan tempat dan tanggal di mana akan diadakan rapat verifikasi. Dalam rapat verifikasi dapat terjadi dimajukanya

Accoord (perdamaian) dan tidak dimajukanya Accoord hingga si pailit benar-benar dalam keadaan insolvensi.

(23)

8. Apabila si pailit sudah benar-benar dalam keadaan insolvensi,kreditor membuat suatu daftar tetap dari utangpiutang yang diakui dan didaftar ini harus disahkan Oleh Hakim Pengawas. Daftar tersebut ditempelkan di Pengadilan untuk dapat dilihat oleh para kreditor maupun Debitor.

Hal-hal yang termasuk dalam pemberesan harat pailit antara lain: 1. Melakukan penjualan secara lelang maupun dibawah tangan harta pailit;

2. Membayar pajak (PPN) sebesar 5% dari harga jual yang tertera dalam akta jual bela kepailitan Kantor Pajak setempat

3. Membayar terlebih dahulu upah karyawan dari perusahaan si pailit apabila ada; 4. Membayar pajak kalau masih ada hutang pajak dari usaha si pailit;

5. Membayar upah/biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator yang harus ditetapkan oleh Hakim Pengawas;

6. Setelah semua biaya-biaya sudah dikeluarkan, dan kreditur-kreditur preferen juga sudah dibayar, sisa harta pailit dibagikan kepada para kreditor konkuren dengan berpedoman pada besarnya tagihan masing-masing;

7. Membuat perhitungan dan pertanggung jawabanatas semua pengeluaran dan pemasukan uang selama pengurusan dan pemberesan harta pailit. Perhitungan dan pertanggung jawaban dimaksud harus disetujui dan disahkan oleh Hakim Pengawas; 8. Mengiklankan kembali yang telah selesai tersebut dalam surat kabar dan dengan

demikian berakhirlah pekerjaan kurator.

Putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitur sejak putusan itu dikeluarkan dimasukkan ke dalam harta pailit. Undang-Undang kepailitan memang tidak memberikan ketentuan yang eksplisit mengenai dimasukkannya harta debitur ke dalam, atau berubahnya status harta debitur menjadi harta pailit setelah putusan pernyataan pailit oleh pengadilan. Hal itu hanya tersirat dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Kepailitan. Istilah “harta pailit” atau aslinya dalam bahasa Belanda disebut

“faillieten boedel”, dipakai di dalam berbagai Pasal-Pasal Undang-Undang Kepailitan.63 Menurut Pasal 19 Faillissements Verordening dan Pasal 21 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

63

Sutan Remi Sjahdeini. Hukum Kepailitan, (Jakarta: Penerbit PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm.197

(24)

kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur yang ada pada saat pernyataan pailit itu diputuskan maupun terhadap semua kekayaan yang diperoleh oleh debitur selama debitur berada dalam kepailitan, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 21 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Mengingat ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut diatas, maka harta kekayaan debitor bukan saja terbatas pada harta kekayaan berupa barang-barang tetap seperti tanah, tetapi juga barang-barang bergerak, seperti perhiasaan, mobil, mesin-mesin, bangunan. Termasuk pula barang-barang yang berwujud maupun yang tidak berwujud seperti piutang/tagihan. Termasuk bila di dalamnya adalah barang-barang, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang berada di dalam penguasaan orang lain yang terhadap barang-barang itu debitur memiliki hak seperti barang-barang debitor yang disewa oleh pihak lain atau yang dikuasai oleh orang lain secara melawan hukum atau tanpa hak. Kreditur dalam melaksanakan pemberesan harta pailit memiliki tugas dan kewenangan di antaranya :

a. Setelah kepailitan dinyatakan dibuka kembali, Kurator harus seketika memulai pemberesan harta pailit. (Pasal 175 UUK PKPU)

b. Memulai pemberesan dan menjual harta pailit, tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan Debitur. (Pasal 184 UUK PKPU)

c. Memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap benda yang tidak lekas atau sama sekali tidak dapat dibereskan. (Pasal 185 UUK PKPU)

d. Menggunakan jasa bantuan Debitur pailit guna keperluan pemberesan harta pailit, dengan memberikan upah. (Pasal 186 UUK PKPU)

(25)

Setelah dilakukan pemberesan terhadap harta pailit, maka kemungkinan akan terjadi suatu kondisi bahwa harta pailit tersebut mencukupi untuk membayar utang-utang Debitur kepada para Krediturnya atau sebaliknya harta pailit tidak dapat mencukupi pelunasan terhadap utang-utang Debitur kepada para Kreditur. Dalam hal harta pailit mampu mencukupi pembayaran utang-utang Debitur pailit kepada para Krediturnya, maka langkah selanjutnya adalah rehabilitasi atau pemulihan status Debitur pailit menjadi subjek hukum penuh atas harta kekayaannya, hal ini sesuai dengan isi Pasal 215 Undang-Undang Nomor 37 Tahun tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Syarat utama adanya rehabilitasi adalah bahwa si pailit telah membayar semua utangnya pada Kreditur dengan dibuktikan surat tanda bukti pelunasan dari para Kreditur bahwa uang Debitur pailit telah dibayar semuanya. Putusan pengadilan mengenai diterima atau ditolaknya permohonan rehabilitasi adalah putusan final dari upaya hukum terhadap putusan tersebut.

C. Kewenangan Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Kurator memiliki peran utama dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit demi kepentingan Kreditur dan Debitur itu sendiri. Dalam Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diberikan defenisi "Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitur pallit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini". Pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan kepada Kurator yang diangkat oleh Pengadilan, dengan diawasi oleh Hakim Pengawas yang ditunjukoleh Hakim Pengadilan.

(26)

Untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, seorang Kurator perlu memilah kewenangan yang dimilikinya berdasarkan undang-undang, yaitu:

1. Kewenangan yang dapat dilaksanakan tanpa diperlukannya persetujuan dari instansi atau pihak lain;

2. Kewenangan yang dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari pihak lain, dalam hal ini Hakim Pengawas.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tersebut, Kurator paling tidak harus mempunyai kemampuan antara lain:

1. penguasaan hukum perdata yang memadai; 2. penguasaan hukum kepailitan;

3. penguasaan manajemen (jika Debitur pailit, apakah perusahaan masih dapat diselamatkan kegiatan usahanya atau tidak); dan

4. penguasaan dasar mengenai keuangan.

Kemampuan tersebut idealnya harus dimiliki oleh seorang Kurator karena dalam praktiknya masih ada beberapa Kurator yang kurang maksimal dalam pengurusan dan pemberesan budel pailit atau seringkali Kurator tidak didukung sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan due diligent dan/atau penelitian terhadap laporan keuangan Debitur pailit sehingga budel pailit pun menjadi tidak maksimal.64

64 Imran Nating, Op Cit. hlm. 13

Pengurusan harta pailit adalah jangka waktu sejak Debitur dinyatakan pailit. Kurator yang ditetapkan dalam putusan pailit segera bertugas untuk melakukan pengurusan dan penguasaan boedel pailit, dibawah pengawasan hakim pengawas, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum baik berupa kasasi ataupun peninjauan kembali. Kurator dalam

(27)

kepailitan adalah pihak yang telah ditetapkan oleh undang-undang untuk melakukan penguasaan dan pengurusan harta pailit.

Dalam tahapan kepailitan, ada satu lembaga yang sangat penting keberadaannya, yakni kurator. Kurator merupakan lembaga yang diadakan oleh undang-undang untuk melakukan pemberesan terhadap harta pailit. Vollmar dalam buku Hadi Subhan mengatakan bahwa “ De kurator is belast, aldus de wet, met het beheer en de vereffening van de failliete boedel “ (kurator adalah bertugas, menurut undang-undang, mengurus dan membereskan harta pailit). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah menunjuk kurator sebagai satu-satunya pihak yang akan menangani seluruh kegiatan pemberesan termasuk pengurusan harta pailit. Secara umum hal tersebut dinyatakan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merumuskan “seluruh gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan Debitur pailit, harus diajukan terhadap atau oleh Kurator”.

Kurator diangkat oleh pengadilan dengan putusan permohonan pernyataan pailit. Jika Debitur atau Kreditur yang memohonkan kepailitan tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak selaku Kurator. Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator atas harta pailit milik Debitur pailit tidak dimonopoli oleh BHP sebagai satu-satunya Kurator, melainkan juga dibuka kemungkinan bagi pihak lain untuk turut menjadi Kurator bagi harta pailit, dengan ketentuan bahwa pihak tersebut haruslah :

(28)

1. Perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit; dan

2. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman.

Penjelasan UUK PKPU ada menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keahlian khusus adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan kurator dan pengurus, jadi tidak semua orang bisa menjadi kurator, sehinga jika seseorang untuk menjadi kurator, maka orang tersebut harus memenuhi syarat ketentuan sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusi (HAM) RI.No.M.01.HT.05.10 tahun 2005 tentang Pendaftaran Kurator, yaitu :

1. Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesia. 2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dssar Negara Republik Indonesia. 4. Sarjana Hukum atau Sarjana Ekonomi jurusan Akuntansi.

5. Telah mengikuti pelatihan calon Kurator dan pengurus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi kurator dan pengurus bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM RI.

6. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana lima (5) tahun atau lebih berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

7. Tidak pernah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. 8. Membayar biaya pendaftaran, dan

(29)

Pada setiap akhir bulan, Departemen Kehakiman menyampaikan daftar nama Kurator dan pengurus kepada Pengadilan Niaga. Kurator yang diangkat oleh pengadilan harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan baik dengan Debitur maupun dengan pihak Kreditur. Surat Tanda Terdaftar sebagai Kurator dan pengurus berlaku sepanjang Kurator dan pengurus masih terdaftar sebagai anggota aktif sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia.

Saat menjalankan tugas dan kewenangan Kurator yang begitu besar, maka seorang kurator akan mendapatkan imbalan jasa yaitu upah yang harus dibayar dengan nilai yang tidak sedikit. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menetapkan besarnya imbalan jasa yang harus dibayarkan kepada kurator sebagaimana dimaksud Pasal 75 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan perundang-undangan.

Meskipun tugas dan kewenangan Kurator tersebut merupakan hak yang dapat dilaksanakan oleh Kurator itu sendiri, namun bukan berarti Kurator tidak memiliki kewajiban untuk mengurus harta Debitur pailit, kewajiban tersebut dapat dilihat dari Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa Kurator berkewajiban menyampaikan laporan setiap tiga (3) bulanan kepada hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugas-tugasnya, kemudian Kurator juga

(30)

harus bertanggungjawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas-tugas pengurusan dan atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 75 Jo Pasal 76 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

Kreditur dalam melaksanakan pemberesan harta pailit memiliki tugas dan kewenangan di antaranya :

1. Setelah kepailitan dinyatakan dibuka kembali, Kurator harus seketika memulai pemberesan harta pailit. (Pasal 175 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

2. Memulai pemberesan dan menjual harta pailit, tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan Debitor. (Pasal 184 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

3. Memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap benda yang tidak lekas atau sama sekali tidak dapat dibereskan. (Pasal 185 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

4. Menggunakan jasa bantuan Debitur pailit guna keperluan pemberesan harta pailit, dengan memberikan upah. (Pasal 186 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

Setelah dilakukan pemberesan terhadap harta pailit, maka kemungkinan akan terjadi suatu kondisi bahwa harta pailit tersebut mencukupi untuk membayar utang-utang Debitur kepada para Krediturnya atau sebaliknya harta pailit tidak dapat mencukupi pelunasan terhadap utang-utang Debitur kepada para Kreditur.

Harta pailit mampu mencukupi pembayaran utang-utang Debitur pailit kepada para Krediturnya, maka langkah selanjutnya adalah rehabilitasi atau pemulihan status Debitur pailit menjadi subjek hukum penuh atas harta kekayaannya, hal ini sesuai dengan isi Pasal 215 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Syarat utama adanya rehabilitasi adalah bahwa si pailit

(31)

telah membayar semua utangnya pada Kreditur dengan dibuktikan surat tanda bukti pelunasan dari para Kreditur bahwa uang Debitur pailit telah dibayar semuanya. Putusan pengadilan mengenai diterima atau ditolaknya permohonan rehabilitasi adalah putusan final dari upaya hukum terhadap putusan tersebut.

Kepailitan debitur pailit yang mempunyai aset lebih besar dari utang. Pokok permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana batas kewenangan kurator terkait pengurusan dan pemberesan harta pailit melebihi seluruh tuntutan kreditur, tujuan ialah untuk mengetahui sejauh mana kewenangan kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit dapat dilakukan dalam hal harta pailit lebih besar dari utang, prinsip kewajaran dapat digunakan dalam membatasi kewenangan kurator pada waktu melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit dalam hal hartga pailit lebih besar dari utang.

Undang-Undang Kepailitan ditegaskan bahwa hakim pengawas bertugas dan berwenang mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Istilah mengawasi di sini sebenarnya kurang tepat, karena pengawasan adalah bersifat pasif hanya mengawasi suatu kegiatan saja. Dalam hal ini kegiatan proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Namun, setelah diteliti lebih mendalam, wewenang hakim pengawas tidak hanya bersifat pasif saja akan tetapi terdapat banyak wewenang yang aktif, seperti memberikan suatu putusan atau penetapan, dan bahkan memimpin rapat-rapat seperti rapat verifikasi.

Keberadaan hakim pengawas sangat penting serta sangat diperlukan dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Hal ini mengingat tugas dan tanggung jawab kurator yang sedemikian berat terlebih jika debitur pailit itu suatu perseroan terbatas. Karena itu, kurator dan hakim pengawas merupakan dua variabel penting dalam

(32)

pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Kedua lembaga ini masing-masing berdiri sendiri namun sulit untuk dipisahkan. Hakim Pengawas bukanlah subordinasi dari kurator, dan kurator bukan subordinasi dari Hakim pengawas. Keduanya memiliki tugas wewenang dan tanggung jawab masing-masing.

Pernyataan pailit mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. Hal ini dapat dilihat dari adanya kewenangan kurator untuk mengurus dan atau melakukan pemberesan harta pailit. Penjelasan paragraf di atas menunjukkan bahwa debitor tidaklah di bawah pengampuan, dan tidak kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya, debitur tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima harta benda yang akan diperolehnya itu namun diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta pailit.

D. Tanggungjawab Kurator atas Kelalaiannya dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Berdasarkan Pasal 72 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atas kekeliruannya dalam melaksanakan pengurusan atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit, hal ini sejalan dengan besarnya tanggung jawab dan juga imbalan jasa yang diberikan kepada Kurator.65

65 Achmad Yani dan Gunawan Widjaja,

(33)

Bentuk kesalahan dan kelalaian Kurator yang mengakibatkan kerugian terhadap harta pailit, di dalam praktek proses kepailitan itu selalu mengandung dan menjadi perdebatan, karena tidak tertutup kemungkinan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atas tindakan kurator hingga mengajukan tuntutan atau gugatan dengan dalil bahwa kurator telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sementara itu didalam Undang-Undang Kepailitan baik yang lama maupun yang baru tidak ditemukan secara tegas tentang kemana tuntutan atau gugatan terhadap kurator diajukan untuk diuji secara hukum benar atau tidak serta dapat atau tidak kurator yang bersangkutan dimintakan pertanggung jawabannya.

Untuk itu, agar dapat diketahui apakah ada unsur kesalahan atau kelalaian oleh kurator dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang merugika harta pailit, beberapa pakar telah membuat batasan-batasan secara teoritis. Munir Fuady, menyatakan bahwa dalam melakukan tindakannya, kurator harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:66 1. Apakah dia berwenang untuk melakukan hal tersebut;

2. Apakah merupakan saat yang tepat (terutama secara ekonomi dan bisnis) untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu;

3. Apakah terhadap tindakan tersebut diperlukan terlebih dahulu persetujuan/izin/keikutsertaan dari pihak-pihak tertentu, seperti dari pihak hakim pengawas, Pengadilan Niaga, panitia kreditur, debitur, dan sebagainya;

4. Apakah terhadap tindakan tersebut memerlukan prosedur tertentu, seperti harus dalam rapat korum tertentu, harus dalam sidang yang dihadiri/dipimpin oleh Hakim Pengawas, dan sebagainya;

(34)

5. Harus dilihat bagaimana cara layak dari segi hukum, kebiasaan dan sosial dalam menjalankan tindakan-tindakan tertentu. Misalnya jika menjual aset tertentu, apakah melalui pengadilan lelang, bawah tangan, dan sebagainya.

Seorang kurator memenuhi kriteria-kriteria diatas ia dapat dikatakan melakukan kesalahan dan atau kelalaian. Mengenai apakah kesalahan atau kelalaiannya termasuk prbuatan melawan hukum atau tidak, ketika akibat kesalahan atau kelalaian menyebabkan kerugian materil terhadap harta pailit, maka dapat dikatakan kurator melakukan perbuatan melawan hukum .ketika kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh kurator telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum antara lain bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda, maka kurator tersebut dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh kurator tersebut, kurator dapat dituntut oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Sedangkan tanggung jawab kurator dapat dibagi menjadi : 1. Tanggung jawab kurator dalam menjalankan tugas

Tanggung jawab kurator dalam kapasitas sebagai kurator dibebankan pada harta pailit dan bukan pada kurator secara pribadi yang harus membayar kerugian pihak yang menuntut, mempunyai tagihan atas harta kepailitan dan tagihannya adalah utang harta pailit, seperti :

a. Kurator lupa untuk memasukkan salah satu kreditur dalam rencana distribusi. b. Kurator menjual aset debitur yang tidak termasuk dalam harta kepailitan. c. Kurator menjual aset pihak ketiga.

d. Kurator berupaya menagih tagihan debitur yang pailit dan melakukan sita atas

property debitur, kemudian terbukti bahwa tuntutan debitur tersebut palsu.

Kerugian yang timbul sebagai akibat dari tindakan kurator tersebut di atas tidaklah menjadi beban harta pribadi kurator melainkan menjadi beban harta pailit. 2. Tanggung jawab pribadi kurator

(35)

Kerugian yang muncul sebagai akibat dari bertindaknya atau tidak bertindaknya kurator menjadi tanggung jawab kurator.Dalam kasus seperti ini kurator bertanggung jawab secara pribadi.Kurator harus membayar sendiri kerugian yang ditimbulkannya.Tanggung jawab ini dapat terjadi jika kurator menggelapkan harta kepailitan.Putu Supadmi menjelaskan bahwa segala kerugian yang timbul akibat dari kelalaian atau karena ketidakprofesionalan curator menjadi tanggung jawab kurator.Karenanya kerugian tersebut tidak bisa dibebankan pada harta pailit.67

67

Fred BG Tumbuan, Hukum Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 71

(36)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Kepailitan dalam sistem hukum di Indonesia adalahkeadaan tidak mampu membayar hutan dimana semua harta kekayaan yang berhutang diambil oleh penagih. Ketidakmampuan tersebut disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitur. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan mengabulkan ataupun menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan.

2. Akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya adalah akibat hukum insolvency berupa ketidakmampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar, kewenangan kurator untuk mengurus dan melakukan pemberesan harta pailit. Debitur tidaklah di bawah pengampunan dan tidak kehilangan kemampunannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya. kecuali perbuatan hukum menyangkut dirinya,

(37)

pengalihan harta pailit yang telah ada, dan akibat yuridis yang berlaku demi hukum secara rule of reason berupa sitaan umum atas seluruh harta pailit.

3. Peran kurator terkait dengan kewenangan debitor pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya yakni menjalankan peranannya pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator melaksanakan upaya atau mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. Kurator bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan pengurusan atau pemberesan yang meneyebabkan kerugian terhadap harta pailit.

B. Saran

1. Sebaiknya Undang-undang No. 37 Tahun 2004 diuji keberadaannya setelah kekurangan-kekurangan Undang-undang No.4 Tahun 1998 diperbaiki/ disempurnakan dan ditambah pengalaman-pengalaman dalam kasus-kasus kepailitan dan PKPU yang terjadi selama ini, hendaknya nanti dapat lebih baik dalam, penerapannya ditinjau dari makna tujuan kepailitan medan PKPU itu diberikan. Untuk itu kemungkinan diperlukan studi banding dengan hukum kepailitan yang diterapkan di negara lain yang menjalankan aturan-aturan mengenai kepailitan (Bankruptcy) ini dengan baik.

2. Hendaknya adanya pembedaan subyek hukum dalam kepailitan (debitur pailit) dengan segala akibat hukumnya, yaitu adanya pengaturan mengenai kelanjutan atau eksistensi dari subyek hukum badan hukum yang dinyatakan pailit, sehingga dapat

(38)

dibedakan hak dan kewajiban antara kepailitan individu perorangan sebagai subyek hokumpribadi dengan kepailitan suatu badan hukum.

3. Sebaiknya hakim pengawas bertanggungjawab dalam perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Kurator, hal ini dikarena setiap tindakan kurator harus melalui persetujuan hakim pengawas.

Referensi

Dokumen terkait

Dan juga bila terdapat gangguan di suatu jalur kabel maka gangguan hanya akan terjadi dalam komunikasi antara workstation yang bersangkutan dengan server,

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Berdasarkan hasil análisis data diperoleh kesimpulan bahwa minat belajar siswa mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil belajar matematika siswa SMA Negeri 1 Uluiwoi

Metode yang digunakan dalam penyusunan Tafsir al-Qur’an Tematik Kementerian Agama RI ini adalah metode tematik, atau dikenal juga dengan istilah maudhu’i..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran ICM dengan pendekatan problem posing berbantuan software MATLAB memiliki

Berdasarkan kajian teori, hasil penelitian dan pembahasan penelitian, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Siswa dengan tingkat kecerdasan emosional tinggi: a) mampu

Dari pengukuran kinerja kedua algoritma yang telah dilakukan berdasarkan jumlah data, dapat disimpulkan algoritma ID3 memiliki kinerja (precision, recall, dan accuracy) yang

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemantauan jentik rutin oleh jumantik dari kalangan ibu rumah tangga tidak berjalan optimal, sehingga dilakukan