• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Penanaman Nilai-Nilai Budaya Melayu Pada Masyarakat Batak Toba Muslim Di Kota Tanjungbalai Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Komunikasi Penanaman Nilai-Nilai Budaya Melayu Pada Masyarakat Batak Toba Muslim Di Kota Tanjungbalai Sumatera Utara"

Copied!
231
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI PENANAMAN NILAI-NILAI BUDAYA

MELAYU PADA MASYARAKAT BATAK TOBA MUSLIM

DI KOTA TANJUNGBALAI SUMATERA UTARA

DISERTASI

Oleh: MAILIN, MA NIM. 94312040304 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAKS

Nama : Mailin

NIM : 94312040304

Judul : KOMUNIKASI PENANAMAN NILAI-NILAI BUDAYA MELAYU PADA MASYARAKAT BATAK TOBA MUSLIM DI KOTA TANJUNGBALAI SUMATERA UTARA

__________________________________________________________________ Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang berkaitan dengan sejarah kesultanan Asahan di kota Tanjungbalai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana komunikasi penanaman nilai-nilai budaya Melayu pada masyarakat Batak Toba Muslim di kota Tanjungbalai. Tanjungbalai adalah salah satu kota di Sumatera Utara, yang dikenal memiliki adat budaya Melayu. Melayu sebagai kelompok budaya, mempunyai ciri-ciri: bertutur bahasa Melayu, beragama Islam, dan beradat istiadat Melayu. Nilai-nilai ini tumbuh dan berkembang serta diturunkan dari generasi ke generasi. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun bentuk penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Hasil penelitian membuktikan bahwa proses masuk dan berkembangnya nilai-nilai budaya Melayu di kota Tanjungbalai, bermula dari kedatangan Sultan Aceh (Sultan Iskandar Muda) yang singgah sebentar salah satu Tanjung untuk beristirahat dalam perjalanan. Proses komunikasi penanaman nilai- nilai budaya Melayu pada etnis Batak Toba Muslim di kota Tanjungbalai ini kemudian dilanutkan pada masa pemerintah (Sultan Asahan (Putra kandung Sultan Iskandar Muda yaitu Sultan Abdul Jalil) yang memerintah di kota Tanjungbalai sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Sultan memerintahkan seluruh masyarakat yang hidup dibawah perlindungan sultan untuk berbudaya Melayu. Selain itu, tokoh agama (ulama) dan tokoh adat turut berperan dalam penanaman nilai budaya Melayu di Kota Tanjungbalai, khususnya pada etnis Batak Toba. Akulturasi budaya Melayu dan Batak Toba yang terjadi di kota Tanjungbalai ini, kemudian melahirkan budaya Melayu yang berbeda dengan Melayu di daerah lain. Melayu di kota Tanjungbalai memiliki sifat dan ciri khas yang cenderung keras seperti sifat masyarakat Batak Toba pada umumnya. .

(3)

ABSTRACT Name : Mailin

Student Number : 94312040304

Title :COMMUNICATION FOR THE TEACHING OF MALAY

CULTURAL VALUES IN BATAKNESE MUSLIM SOCIETY IN TANJUNG BALAI, NORTH SUMATRA This study is a field research concerning the history of Asahan Sultanate in Tanjungbalai. This study aims to find out how the teaching of Malay cultural values are communicated to the Bataknese muslim societies in Tanjungbalai. Tanjungbalai is a city in North Sumatra with a dominantly Malay influence. As an ethnic group, Malay has the following characteristics: a) they speak the Malay language, b) they are muslim in majority, c) they practice the Malay culture. These values develop and are bestowed upon to generations. The study approach adopted is qualitative research, with a descriptive analysis method. The results of the study show that the process of communicating the Malay cultural values to Bataknese muslim community in Tanjungbalai started from the government (Sultan Asahan I) who led the city prior to the Indonesian independence. Moreover, religious and traditional leaders also took part in communicating Malay cultural values in the Bataknese muslim community in Tanjungbalai. In addition to the Sultanate of Aceh (Sultan Iskandar Muda) who stopped by Tanjungbalai in his journeys, merchants and Sufi travelers who voyaged around the Malay archipelago also played in part in spreading Malay cultural values in Tanjungbalai. The acculturation of Malay and Batak Toba cultures happening in Tanjungbalai produced a distinct type of Malay culture. In Tanjungbalai, Malay people are characterized as stern and strict, not unlike Batak Toba people in general.

(4)

KATA PENGANTAR









Puji dan Syukur kepada Allah SWT karena penulis telah berhasil menyelesaikan penyusunan disertasi yang berjudul “Komunikasi Penanaman Nilai-Nilai Budaya Melayu pada Masyarakat Batak Toba Muslim di kota Tanjungbalai”. Shalawat beriring salam senantiasa kepada Rasululullah Saw. semoga kita mendapat syafaat di hari akhirat kelak.

Disertasi ini merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Komunikasi Islam (KOMI) di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan. Sesungguhnya, penulis menyadari bahwa penyusunan disertasi ini melalui berbagai rintangan, cobaan, dan perjuangan yang panjang. Akan tetapi berkat dorongan, motivasi serta bantuan dari berbagai pihak, terutama Bapak Prof. Dr. Moh. Hatta, (Pembimbing I) dan bapak Prof. Dr. Syukur Kholil, MA (Pembimbing II) yang telah dengan penuh kesabaran memberi arahan, bimbingan, masukan dan petunjuk metodologis dalam pembuatan dan penyelesaian disertasi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada beliau berdua, dan hanya Allah yang dapat membalas jasa keduanya.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang mulia bapak Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA (Direktur Pascasarjana UIN Sumatera Utara) yang telah memberikan masukan dan selalu memberikan motivasi kepada saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Prof. Dr. Yusnadi, M.Si dan Bapak Prof. Dr, Swardi Lubis, MS yang turut memberikan masukan dan arahan dalam penulis disertasi ini.

Ucapan terima kasih yang tiada terhingga dipersembahkan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan semangat serta mendoakan ananda sehingga segala cita-cita dapat tercapai. Ucapan

(5)

terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta (Suhesti Wira Dharma, MA) yang setiap saat memberikan dukungan dalam segala hal, serta memberi motivasi baik secara moral maupun finansial, serta rela berkorban waktu dan tenaga demi terselesaikannya perkuliahan dan penulisan disertasi ini. Terima kasih juga kepada anak-anak tersayang (Raja Alfiansyah, Alvin Lie, Alwi Auvinen Juha, dan Sultan Haramain), yang menjadi penyemangat saya dalam menyelesaikan kuliah ini.

Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan, Direktur dan Wakil Direktur Program Pascasarjana UIN Sumatera Utara, Ketua Program Studi Komunikasi Islam Program Pascasarjana UIN Sumatera Utara Medan, para dosen dan seluruh staf atau pegawai di Program Pascasarjana UIN Sumatera Utara Medan yang telah membantu penulis selama kuliah dan dalam proses penyelesaikan penyusunan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sumatera Utara Medan yang telah memberi izin kepada penulis untuk melanjutkan kuliah di S-3 Pendidikan Islam sekaligus juga telah memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan perkuliahan ini. Tidak lupa pula ucapan terima kasih disampaikan kepada kepala dan pegawai perpustakaan UIN SU, perpustakaan FDK, seluruh sanak famili, teman dan karib kerabat serta semua pihak yang telah berpartisivasi memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan semua proses perkuliahan dan sampai penyelesaian penulisan disertasi ini. Atas semua bantuan, saya mohonkan kebaikan atas mereka, dengan harapan dibalas dan dicatat sebagai kebaikan di sisi Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini belumlah sempurna, untuk itu penulis harapkan sumbang saran dan masukan perbaikan demi

(6)

kesempurnaan disertasi ini. Akhirulkalam, tiada daya dan upaya yang layak dilakukan, kecuali menyerah-kan segala upaya kepada Allah SWT. sembari berharap semoga disertasi ini memberi manfaat bagi kita semua. Amin!

Medan, 02 Mei 2016 Penulis

Mailin NIM. 94312040304

(7)

Transliterasi yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah pedoman transliterasi Arab Latin Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor: 158 th. 1987 dan Nomor: 0543bJU/1987.

1. Konsonan

Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lain lagi dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf Latin.

Huruf Arab

Nama Huruf Latin N a m a

ا

alif tidak

dilambangkan tidak dilambangkan

ب

ba b be

ت

ta t te

ث

sa £ es (dengan titik di atas)

ج

jim j je

ح

ha ¥ ha (dengan titik di bawah)

خ

kha kh ka dan ha

د

dal d de

ذ

zal © zet (dengan titik di atas)

ر

ra r er

ز

zai z zet

س

sin s es

ش

syim sy es dan ye

ص

sad ¡ es (dengan titik di bawah)

ض

dad « de (dengan titik di bawah)

ط

ta ¯ te (dengan titik di bawah)

ظ

za § zet (dengan titik di bawah)

ع

‘ain ‘ koma terbalik di atas

غ

gain g ge

ف

fa f ef

ق

qaf q qi

(8)

ل

lam l el

م

mim m em

ن

nun n en

و

waw w we

ه

ha h ha

ء

hamzah ‘ apostrof

ي

ya y ye 2. Vokal

Vokal bahasa Arab adalah seperti voal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan voka rangkap atau diftong. a. Vokal Tunggal

Vokal tunggal dalam bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

fathah a a

kasrah i i

«ammah u u

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Tanda dan Huruf

N a m a Gabungan Huruf Nama

ي ﹷ fathah dan ya ai a dan i

و ﹷ fathah dan waw au a dan u

Contoh: kataba fa’ala żukira : : : ﺐﺘﻛ ﻞﻌﻓ رﻛ ذ

(9)

yażhabu su’ila kaifa haula : : : : ﺐه ذي ﻞﺌﺳ فيﻛ ل وه c. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harkat dan Huruf

N a m a Huruf dan

tanda

N a m a ا ﹷ Fathah dan alif atau ya ā a dan garis di

atas ﹻ

ي Kasrah dan ya ī i dan garis di

atas ﹹ

و ¬ammah dan wau ū u dan garis di

atas Contoh: qāla ramā qīla yaqūlu : : : : ل اق ام ر ﻞيق ل وقي d. Ta Marbutah

Transliterasi untuk ta marbutah ada dua:

1) ta marbutah hidup. Ta marbutah hidup atau mendapat harkat fathah, kasrah dan dammah, transliterasinya adalah /t/.

2) ta marbutah mati. Ta marbutah yang mati atau mendapat harkat fathah sukun, transliterasinya adalah /h/.

(10)

3) Kalau pada kata yang terakhir dengan ta marbutah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbutah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

Contoh:

 Raudah al-atfāl: ل افطلا ةض ور

 Al-Madīnah al-Munawwarah: ةرونملا ةني دملا  Al-Madinatul Munawwarah: ة ر ونمل ةني دملا e. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasyd³d yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid, dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Contoh:  rabbanā: انبر  nazzala : لزن  al-birr : ربلا  al-hajj : جحلا  nu’ima : ﻢﻌن f. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu: لا , namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah dan kata sandang yang diikuti huruf qamariah.

1). Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.

(11)

Kara sandang yang diikuti oleh huruf qamariah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiah maupun qamariah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang menggikuti dan dihubungkan dengan tanda sempang.

Contoh:  ar-rajulu : ﻞج رلا  as-sayyidatu: ة ديسلا  asy-syamsu : سمشلا  al-qalam : ﻢلقلا  al-badī’u : عي دبلا  al-jalālu : ل ﻼجلا g. Hamzah

Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif.

Contoh:  ta’khużūna: ن وذخ أت  an-nau’ : ءونلا  syai’un : ئيش  inna : نا  umirtu : ترما  akala : ﻞﻛا h. Penulisan Kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il (kata kerja), isim (kata benda) maupun

¥arf, ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harkat yang dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.

(12)

Contoh:

 Wa innallāha lahua khair ar-rāziq³n: نيقزارلا ريخ وهل ﷲ ناو  Wa innallāha lahua khairurāziq³n: نيقزارلا ريخ وهل ﷲ ناو  Fa aufū al-kaila wa al-m³zāna: نازيملا و ﻞيكلا اوﻓ واﻓ  Fa auful-kaila wal-m³z±na: : نازيملا و ﻞيكلا اوﻓ واﻓ  Ibrāh³m al-Khalīl: ﻞيلخلا ﻢيه اربا

 Ibrah³mul-Khalil: : ﻞيلخلا ﻢيه اربا

 Walillāhi ‘alan-nāsi ¥ijju al-baiti: تيلا جح س انلا ىلع و  Walillāhi ‘alan-nāsi ¥ijjul baiti: تيلا جح س انلا ىلع و  Man istā’a ilaihi sab³lā: ﻼيبﺳ هيلا ع اطﺘﺳا نم

 Manistatā’a ilahi sab³lā:ا ﻞيبﺳ هيلا ع اطﺘﺳا نم i. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti yang berlaku dalam EYD, di antaranya: Huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf kata sandangnya.

Contoh:

 Wa mā Muhammadun illā rasūl

 Inna awwala baitin wadi’a linnāsi Bakkata mubārakan  Syahru Rama«ān al-laz³ unzila fihi al-Qur’anu

 Syahru Rama«ānal-laz³ unzila fihil Qur’ānu  Wa laqad ra’āhu bil ufuq al-mubin

 Wa laqad ra’āhu bil ufuqil mubin

Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harkat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan.

Contoh:

 Nasrun minallāhi wa fathun qarīb  Lillāhi al-amru jami’an

 Lillāhil-amru jami’an  Wallāhu bikulli syai’in ‘alim

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...………... ABSTRAKSI..………..……….… SURAT PERNYATAAN…..………..………….… i iv ix

(13)

PEDOMAN TRANSLITERASI ………...……….… DAFTAR ISI ...………... BAB I PENDAHULUAN ………

A. Latar Belakang Masalah ………..

B. Rumusan Masalah ………

C. Batasan Istilah …. ……….

D. Tujuan Penelitian ……….

E. Kegunaan Penelitian ………….………...

F. Sistematika Pembahasan ……….

BAB II KAJIAN TEORITIS... A. Komunikasi Interpersonal... B. Kebudayaan dan Komunikasi... C. Konsep Nilai-Nilai Dalam Komunikasi... D. Nilai Utama Komunikasi Masyarakat Melayu... E. Teori Norma Sosial... F. Teori Norma-Norma Budaya... G. Teori Komunikasi Antar Budaya... H. Etika Komunikasi Interpersonal dalam Alquran... I. Kajian Terdahulu... J. Elemen-Elemen Komunikasi Penanaman Nilai-Nilai Budaya Melayu... K. Kerangka Pemikiran Komunikasi Penanaman

Nilai-Nilai Budaya Melayu... BAB III METODOLOGI PENELITIAN... A. Pendekatan Penelitian………... B. Fokus Penelitian………...

C. Lokasi Penelitian………

D. Informan Penelitian………

E. Sumber Data………

F. Tehnik Pengumpulan Data………..

G. Tehnik Analisis Data……….

H. Tehnik Menguji Keabsahan Data……….

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... A. Gambaran Umum Kota Tanjungbalai... B. Sejarah Kota Tanjungbalai... C. Nilai-Nilai Komunikasi dalam Budaya Melayu... D. Nilai-Nilai Budaya Batak Toba... E. Pembahasan Hasil Penelitian... BAB V PENUTUP ………... A. Kesimpulan ……….. B. Saran-saran ………... DAFTAR PUSTAKA ……….. x xviii 1 1 1 1 13 14 15 15 16 18 18 18 43 45 49 62 64 67 69 77 78 79 81 81 82 83 84 85 87 88 90 90 104 129 180 191 206 206

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keragaman budaya (cultural diversity) di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta orang, yang seluruhnya tersebar di berbagai pulau di Nusantara. Mereka juga mendiami wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Berkaitan dengan sejarah, secara sosial budaya masyarakat Indonesia mempunyai hubungan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi Bukan hanya antar kelompok sukubangsa yang berbeda, tetapi meliputi antar peradaban yang ada di dunia.

Keberagaman suku bangsa dan budaya di Indonesia pada saat itu berawal dari sebuah wilayah dari kerajaan besar Mataram dan Kerajaan Sriwijaya yang membawa penyebaran agama Hindu-Budha dalam masyarakat, kemudian agama Islam masuk dan banyak dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal itu bersinergi dengan kekayaan bangsa ini akan pluralitas etnik, budaya dan agama, dimana setiap etnik, budaya dan agama yang berbeda akan memberikan arahan, tuntunan dan pedoman dalam kehidupan sosial masyarakat.

Pada dasarnya, setiap orang dan kelompok sosial mempunyai karakteristik tersendiri yang unik dan khas dalam kehidupan bermasyarakat. Karakteristik itulah yang membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lain. Kekhasan itu dapat meliputi gaya hidup, bahasa, tradisi sosial dan sebagainya. Dengan kata lain, perbedaan dalam hal gaya hidup, bahasa, tradisi sosial, norma, dan lain-lain adalah sesuatu yang lumrah dan sunnatullah. Karena itu, perbedaan tersebut mesti selalu dipahami sebagai bentukan sosial yang tak terelakkan, dan merupakan suatu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang melaksanakannya.

(15)

Budaya dan masyarakat ibarat dua sisi mata uang logam yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Budaya tanpa masyarakat itu tidak mungkin, begitu juga sebaliknya masyarakat tanpa budaya itu juga tidak mungkin. Dalam menjalani kehidupan, masyarakat mengalami banyak perbedaan, apalagi Indonesia dikenal dengan keanekeragaman budaya, agama, dan kepercayaan, suku dan lain-lain. Dari keanekaragaman inilah tercipta suatu tatanan kehidupan yang unik dan menarik dari setiap kelompok masyarakat.

Berbicara budaya dalam suatu masyarakat merupakan sesuatu yang menarik, karena budaya adalah komunitas makna dan sistem pengetahuan bersama yang bersifat lokal.1 Secara umum, kebudayaan merupakan wujud dari budi daya manusia yang mencakup berbagai pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai mahkluk sosial. Bagi manusia, budaya adalah salah satu yang membatasi dan mengarahkan perilaku.2 Budaya memuat aturan bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, bagaimana kita berpikir, bagaimana kita bertingkah laku, dan bagaimana kita melihat dunia ini. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya dalam kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik dari manusia yang belajar.3 E. B. Taylor berpendapat bahwa kebudayaan adalah hal kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain-lain, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.4

Budaya merupakan dasar seseorang dalam berkomunikasi, tidak ada satu hal pun yang bebas dari pengaruh budaya, karena budaya merupakan dasar dalam membangun sebuah peradaban. Di dalam budaya terkandung aturan, pedoman,

1Richard West dan Lynn H. Turner, Theory: Analysis and Aplication, Pengantar Teori

Komunikasi: Analiss dan Aplikasi, terj: Maria Natalia Damayanti Maer, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 42.

2Larry A. Samovar, Richard E Porter, Komunikasi Lintas Budaya, Communication

Between Cultures,terj. Indri Margaretha Sidabalok, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 26- 28.

3Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jilid II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 11 4Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h.154

(16)

nilai, norma, dan petunjuk bagi kehidupan manusia, yang menjadi standar dalam berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini dibangun oleh manusia dari generasi ke generasi melalui proses komunikasi yang panjang. Nilai dan norma terlembagakan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat, dipupuk, dan dihargai sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Seperangkat nilai dan norma tersebut merupakan dasar fundamental bagi seseorang untuk menentukan sikapnya terhadap dunia luar. Oleh karena itu, proses interaksi sosial pada dasarnya adalah suatu proses komunikasi. Yakni proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan) dalam wujud simbol.5

Budaya dan komunikasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kebudayaan, ada sistem dan dinamika yang mengatur cara pertukaran simbol-simbol dalam komunikasi, dan hanya dengan komunikasi lah pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan.6 Kebudayaan yang berbeda memiliki sistem dan dinamika yang berbeda pula dalam mengatur simbol-simbol dalam komunikasi. Samovar & Porter menyatakan: “It (culture) is foundation of communication: and when cultures vary, communication practices may also vary“ (budaya adalah dasar komunikasi: jika budaya berbeda, maka praktek komunikasi juga berbeda).7 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya mengajarkan manusia dalam memahami dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kemudian budaya juga menanamkan pada manusia akan adat istiadat, norma dan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat.

Jadi, dalam memahami budaya dengan segala kompleksitasnya tidak mungkin tanpa menggunakan proses komunikasi. Budaya disosialisasikan dan diwariskan melalui proses komunikasi baik menggunakan bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Hal ini terkait dengan fungsi komunikasi sebagai alat sosialisasi. Alat sosialisasi diartikan sebagai sosialisasi unsur-unsur kebudayaan atau wujud kebudayaan (ide, sistem sosial, dan benda).

5Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1988), h. 14

6 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004), h. 21

(17)

Kebudayaan bagi sekelompok masyarakat memiliki arti yang sangat penting. Karena melalui kebudayaan, masyarakat tersebut dapat dikenali oleh berbagai pihak, jadi kebudayaan merupakan identitas bagi komunitas tertentu. Identitas adalah karakteristik atau ciri-ciri fisik/biologis orang maupun sekelompok orang. Khun menyebutkan bahwa identitas etnis pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: identitas indiviu dan identitas kolektif. Individualisme juga bisa menjadi identitas kolektif. Namun demikian identitas juga tidak sekedar menentukan karakteristik atau ciri-ciri fisik/biologis semata, tetapi mengkaji identitas kebudayaan sekelompok manusia melalui tatanan berpikir (cara berpikir, orientasi berpikir), perasaan (cara merasa dan orientasi perasaan), dan cara bertindak (motivasi tindakan atau orientasi tindakan).

Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik; pendekatan objektif (struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis). Perspektif objektif melihat sebuah kelompok etnik sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok- kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama atau asal usul kebangsaan. Lebih lanjut Martin dan Nakayama8 mengatakan bahwa identitas etnik dapat dipandang sebagai seperangkat gagasan tentang keanggotaan dalam kelompok etnik yang melibatkan beberapa dimensi yaitu, (1) identifikasi diri, (2) pengetahuan tentang tradisi, kebiasaan, nilai dan perilaku etnik dan (3) rasa memiliki. Identitas etnik pada dasarnya melibatkan perasaan akan asal-usul dan sejarah. Individu yang memiliki identitas etnik berarti memiliki pengalaman terhadap etnik yang bersangkutan dan mengetahui segala sesuatunya tentang budaya yang diwariskan dalam etnik tersebut.

Berkaitan dengan persoalan identitas etnik Roosens (1989) dalam Gudykuns 9menyebutkan bahwa: identitas etnik: ...communaly in language, a

series of customs and symbols, a style, rituals and appearance, and so forth, which can penetrate life in many ways. These trapping of ethnicity are particulary

8Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Context,

(NewYork: Mc Graw Hill, 2004), h.160

9 William Gudykunts, Bridging Differences: Effective Intergroup Communication 4 th Edition, (USA: Sage Publication, 2004), h. 85-86.

(18)

attractive when are is continually by others who live differently..If I see and experience myself as a member of an ethnic category and group, and others- fellow members and outsiders- recognize me suchas, “ways of being” become possible for me that see me apart from the outsider. These ways of beeing contribute to the content of my self-perceptions. In this sense, I become my ethnic allegiance: I experience any attack on the symbols, emblems, or values (cultural elements) that define my ethnicity as an attact on myself.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa identitas budaya memiliki makna yang sangat berarti bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai yaitu sebagai ‘kiblat’, pedoman, petunjuk, citra, harga diri, pengikat dan lain sebagainya dalam menjalankan kehidupan masyarakat (Melayu), oleh karena itu identitas budaya mutlak dipertahankan bagi masyarakat yang bersangkutan.

Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan masing-masing, setiap daerah memiliki budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun ia berada. Sifat hakikat kebudayaan adalah sebagai berikut:

1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia

2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu, mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.

4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan-tindakan-tindakan yang diizinkan.10

Salah satu kebudayaan di bumi nusantara yang memiliki sejarah panjang adalah kebudayaan Melayu. Mulai dari zaman purba sampai saat ini dimana bangsa ini telah memiliki jati dirinya sebagai bangsa Melayu. Sejarah mencatat,

(19)

perjalanan kerajaan bangsa Melayu mulai dari Bukit Siguntang sampai ke kawasan Tanah Semenanjung, Kepulauan Riau, serta kawasan lainnya, telah membuktikan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang mapan dan piawai di tengah terpaan kekuatan bangsa lain yang ingin menguasainya.11

Diantara etnis/suku yang memegang teguh adat dan budayanya adalah etnis Melayu. Masyarakat Melayu tetap memegang teguh identitas kemelayuannya melalui ungkapan “ Adat Bersendikan Syarak, dan Syarak Bersendikan Kitabullah”. Berdasarkan aspek kewilayahan, rasial, dan budaya masyarakat Melayu mendiami gugusan kepulauan di Asia Tenggara, yang mencakup berbagai negera seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunai Darussalam bahkan diasporanya sampai ke Madagaskar, Suriname, dan kepulauan Oceania. Melayu adalah salah satu budaya yang dalam pembagian etnologis merupakan kelompok tiga besar di Asia, serta mempunyai kebudayaan sendiri di negeri masing-masing.12 Selain aspek ras, mereka juga memiliki kesamaan di bidang bahasa dan budaya. Mereka selalu dikategorikan sebagai rumpun Melayu. Namun demikian makna Melayu selalu disublimasikan sebagai ras Melayu yang beragama Islam, berbahasa Melayu, dan beradat budaya Melayu. Makna ini muncul setelah abad ke tiga belas, ketika Islam menjadi teras utama dalam masyarakat Melayu di Asia Tenggara.

Di Indonesia, jumlah suku Melayu sekitar 15,6 % (37 juta jiwa) dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara (pesisir timur Sumatera Utara dan Aceh Timur), Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Meskipun begitu, banyak pula masyarakat Minangkabau, Mandailing, dan Dayak yang berpindah ke wilayah pesisir Timur Sumatera dan pantai Barat Kalimantan mengaku sebagai orang Melayu.

Pada dasarnya suku yang ada di Sumatera Utara terdiri dari tiga kategori utama, yaitu: (a) etnis/suku setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo,

11Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h.

xxv.

12T. H.M. Lah Husny, Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu

(20)

Dairi, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias; (b) etnis Nusantara seperti: Aceh Raya, Alas, Gayo, Tamiang, Aneuk Jamee, Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, dan lainnya; dan (c) etnis dunia, seperti: Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Tamil, Hindustani, Arab, Pashtun, dan lainnya. Mereka berinteraksi dalam suasana multikultural dan integrasi sosial dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan wilayah budaya mereka, suku Melayu pada umumnya berada di kawasan pesisir. Oleh karena itu orang-orang Melayu di Sumatera Utara sering juga disebut sebagai masyarakat pesisir Sumatera Timur. Wilayah Melayu daerah pesisir Timur Sumatera Utara meliputi: Kesultanan Deli, Langkat, Serdang, Kualuh, Bilah, dan Asahan Tanjungbalai. Orang Melayu memiliki identitas kepribadian yang dapat dilihat melalui tiga ciri yaitu: beradat-istiadat Melayu, berbahasa Melayu, dan beragama Islam. Masyarakat Melayu dikenal dengan sifat dan perilaku yang lemah lembut, ramah tamah, mengutamakan sopan santun, serta menjunjung tinggi adat istiadat yang berlandaskan pada syariat Islam, yang dikenal dengan falsafah Melayu “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabbullah.” Maka dari itu jika diperhatikan adat budaya melayu tidak lepas dari ajaran agama Islam seperti dalam ungkapan pepatah, perumpamaan, pantun, syair, nazam, gurindam, seloka, talibun, dan sebagainya yang mengisyaratkan norma sopan-santun dan tata pergaulan orang Melayu.

Berbicara Melayu atau budaya Melayu selalu identik dengan Islam, hal ini terlihat jelas di kehidupan seluruh masyarakat Melayu yang ada di Nusantara. Hal ini sesuai dengan lima dasar falsafah hidup orang Melayu,13 yaitu: Pertama, Melayu itu Islam, yang sifatnya universal, demokratis, dan senang bermusyawarah; Kedua, Melayu itu berbudaya, yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku, dan lain sebagainya; Ketiga, Melayu itu beradat, yang sifatnya regional (kedaerahan) dalam Bhinneka Tunggal Ika, dengan tepung tawar, balai pulut kuning, dan lain-lain yang mengikat kaum tua dan muda; Kempat, Melayu itu berturai, yaitu tersusun dalam

13Tengku.M. Lah Husni, Butir-Butir Adat Budaya Melayu, (Jakarta: Depdikbud, 1984), h.

(21)

masyarakat yang rukun, tertib, mengutamakan ketentraman, serta kerukunan hidup berdampingan dengan saling menghargai secara timbal balik, bebas tapi terikat dalam nilai-nilai sosial kemasyarakatan; Kelima, Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang diarahkan pada ilmu pengetahuan dan ilmu kebatinan agar bermarwah dan disegani oleh banyak orang untuk kebaikan umum.

Etnis Melayu termasuk etnis yang berkembang pesat dan menerima keberadaan orang luar untuk masuk dalam kelompoknya. Hal ini tidak lepas dari proses komunikasi yang diterapkan bangsa Melayu. Komunikasi disadari oleh setiap individu dan kelompok masyarakat di manapun termasuk komunitas Melayu, sebagai instrumen terpenting dalam membangun hubungan, memelihara hubungan sosial, dan menjaga kelangsungan hidup bersama diantara mereka. Dalam masyarakat Melayu tampak sekali bahwa komunikasi menjadi tema penting dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan hampir tidak ada aspek kehidupan yang tidak tersentuh oleh komunikasi. Mulai dari kelahiran, pernikahan, keluarga, mendidik anak, menuntut ilmu, memimpin masyarakat, menyelesaikan konflik, hingga kematian.

Berdasarkan ini dapat dilihat bahwa: komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang berbeda, namun eksistensinya tidak dapat dipisahkan, karena komunikasi dipengaruhi oleh budaya setempat, sedangkan budaya dapat eksis dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses komunikasi. Budaya lahir karena komunikasi. Dengan demikian setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya, atau tepatnya suatu peta atas suatu realitas (budaya) yang sangat rumit. Sebagaimana dikatakan T. Hall “culture is communication dan communication is culture”. Begitu kita berbicara tentang komunikasi, tak terhindarkan, kita pun berbicara tentang budaya.

Dengan demikian antara komunikasi dan kebudayaan terjadi korelasi atau hubungan timbal balik, dalam hal ini Mulyana14 mengelaborasikan hubungan

14Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintas Budaya, (Bandung:

(22)

dialektikal antara komunikasi dengan budaya yang mengatakan bahwa : “Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi, karena budaya muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota budaya yang bersangkutan. Hubungan antar budaya dan komunikasi adalah timbal balik. Budaya takkan eksis tanpa komunikasi dan komunkasi pun takkan eksis tanpa budaya.”

Setiap kehidupan manusia, komunikasi memainkan peranan penting dalam mempermudah manusia berinteraksi dengan sesamanya. Sejak zaman dahulu manusia berinteraksi satu dengan lainnya menggunakan komunikasi. Setiap kelompok masyarakat memiliki simbol-simbol tertentu yang digunakan dalam berkomunikasi dengan sesama kelompoknya. Demikian juga komunikasi masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat Melayu dan menjadi dasar dalam membangun seluruh aktivitas kehidupan bersama bangsa Melayu. Kuatnya pengaruh komunikasi dalam kehidupan bersama orang Melayu dapat dibuktikan dengan begitu banyaknya jumlah peribahasa, dan ungkapan Melayu yang berhubungan dengan komunikasi.

Komunikasi dalam tradisi adat budaya Melayu menekankan komunikasi langsung dua arah (berhadap-hadapan). Komunikasi langsung dua arah ini langsung mendapat tanggapan, dan merupakan komunikasi yang paling berkesan untuk menyampaikan pesan karena langsung mendapat respon. Komunikasi langsung dua arah menjadi pegangan masyarakat Melayu sejak dahulu untuk menjalin perhubungan diantara satu dengan lain. Selain itu, dalam masyarakat Melayu ditekankan sopan santun sebagaimana yang digambarkan lewat cerita dan hikayat Melayu seperti hikayat Hang Tuah. Kata-kata Laksamana Hang Tuah jelas menggambarkan bagaimana etika komunikasi seorang hulu balang Melayu di zaman dahulu yang amat setia kepada pemerintahan saat itu. Ungkapan-ungkapan bangsa Melayu yang beradab dan bersopan santun merupakan tradisi komunikasi bangsa Melayu yang patut di teladani.

Komunikasi ini terbentuk dalam pertemuan langsung dua arah di antara sesama manusia. Pepatah-petitih perbilangan adat sebagaimana ungkapan Adat

(23)

bersebenar adat, adat yang teradat, adat yang diadatkan memperlihatkan bahwa tata cara kehidupan masyarakat Melayu sangat berpegang teguh pada adat istiadat. Pedoman hidup ini dituangkan dalam rangkaian peraturan, petunjuk, perumpamaan, pantun, gurindam, pepatah dan petitih yang dijadikan panduan hidup anggota-anggota masyarakat yang beradat.

Nenek moyang masyarakat Melayu banyak meninggalkan khazanah tradisi komunikasi yang tidak diketahui oleh generasi saat ini. Sebahagian tradisi komunikasi tersebut terlupakan oleh generasi muda sepeninggal generasi tua dan tidak sempat terwariskan. Khazanah komunikasi tersebut seperti tegur sapa, tatacara menyampaikan pesan, bagaimana menjadi pembawa acara pada acara perkawinan, mulai dari merisik, pinang meminang, sampai perkawinan, dan sebagainya. Proses komunikasi tersebut berlandaskan adat istiadat yang menjadi satu peraturan dan pedoman bagi masyarakat Melayu. Tanjungbalai adalah salah satu kota di Sumatera Utara bagian Timur yang penduduknya terdiri dari berbagai etnis/suku, namun masyarakat dikota ini mengaku sebagai orang Melayu sekalipun bukan dari keturunan Melayu. Penelitian ini akan melihat bagaimana komunikasi penanaman nilai-nilai budaya Melayu pada masyarakat Batak Toba Muslim di Kota Tanjungbalai, melalui observasi langsung terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu Tanjungbalai, baik yang berasal dari keturunan Melayu, maupun dari keturunan Batak Toba muslim di kota Tanjungbalai.

Berdasarkan keterangan Bapak Raja Chairil Anwar15, tentang sejarah Kesultanan Melayu di Tanjungbalai Asahan, bahwa: “pada masa pemerintahan Sultan, setiap orang yang ingin tinggal menetap dan memiliki tempat tinggal (tanah dan rumah) di kota ini harus Masuk Melayu”. Kata Masuk Melayu disini dipahami dengan masuk Islam (masuk agama Islam). Hal ini sangat berpengaruh bagi masyarakat yang datang ke daerah ini, terutama yang tidak beragama Islam. Salah satu suku yang melakukan migrasi ke kota ini adalah suku Batak Toba, yang meninggalkan adat budaya asalnya (Batak Toba), kemudian memakai adat budaya Melayu ketika mereka tinggal menetap di kota Tanjungbalai serta masuk

15 Hasil wawancara dengan Bapak Raja Chairil Anwar (raja Atan adalah Ketua Forum

(24)

Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Nagata tentang Melayu: “It is almost imposible to think of Malay without reference to Islam” (Hampir tidak mungkin memikirkan tentang Melayu tanpa merujuk kepada Islam).16 Bahkan Islam menjadi pegangan hidup (way of life), dan dianggap sebagai budaya bagi mereka. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa Melayu (Islam) berhasil menyebarkan, dan menanamkan ajaran agama Islam, dan budaya Melayu pada komunitas yang umumnya telah memiliki tradisi atau adat istiadat yang sudah diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang mereka.

Sampai pada tahun 1946, Tanjungbalai Asahan merupakan salah satu kota di bawah pimpinan Kesultanan Melayu, tetap eksis dengan struktur kesultanan yang tidak jauh berbeda dengan struktur negeri-negeri Melayu di semenanjung Malaka. Namun pada akhir 1946, sistem kerajaan Asahan diambil alih oleh pemerintahan setelah digulingkan oleh sebuah pergerakan sosial anti kaum bangsawan (feodal), yang dikenal dalam catatan sejarah Melayu dengan peristiwa berdarah “Revolusi Sosial”.17

Pada masa inilah mulai terjadi pergeseran dalam masyarakat, sebagian masyarakat yang berasal dari suku Batak Toba kembali memakai marga di belakang namanya, walaupun hanya satu huruf (S: Simargolang misalnya). Kemudian di awal tahun 1960-an masyarakat mulai memakai marga dibelakang namanya, misalnya Arsyad Sitorus, dengan alasan agar tidak dianggap orang Melayu. Selain demi keamanan, juga ingin mencari simpati terhadap aparat pemerintahan yang memiliki marga.18 Hal lain akibat dari Revolusi Sosial tersebut adanya pengaruh negatif bagi etnis Melayu. yaitu:

16Judith Nagata, The Impact of the Islamic Revival (Dakwah) on the Religious Culture of

Malaysia, dalam Religion, Values, and Development in Southeast Asia, ed. Bruce Matthews dan Judith Nagata, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1986), h. 37.

17Revolusi Sosial adalah pengganyangan terhadap kaum “feodal” oleh orang-orang kiri

dan antek-anteknya. Tuduhan mereka ialah para bangsawan sudah membentuk apa yang disebut “Komite van Ontvangst” untuk menyambut kedatangan Belanda, dan tuduhan inilah yang dianggap mereka benar untuk mendasari gerakan Revolusi Sosial.(Lihat:engku Luckman Sinar Basyarsah II SH, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, 2006, h. 483- 485.

18 Hasil wawancara dengan Bapak Raja Chairul Anwar, di kota Tanjungbalai, tanggal 28

(25)

Pertama, hilangnya tokoh-tokoh yang berpendidikan dari etnis Melayu, sehingga tidak mampu bersaing dalam pengisian jabatan birokrasi dimasa sesudahnya.

Kedua, meninggalkan rasa traumatik yang mendalam dan membuat orang Melayu merasa dihantui kecemasan dan ketakutan menyatakan diri sebagai orang Melayu.

Ketiga, oarang Melayu mengalami peminggiran dan terdiskriminasi dari pemerintahan dan perkebunan karena stigma anti republik.

Keempat, situasi politik saat itu membuat orang Melayu dianggap anti Republik, ini selalu membuat orang Melayu merasa terbebani oleh sejarah yang padahal tidak mereka lakukan.

Namun, seiring perkembangan zaman, dan perubahan sosial dalam masyarakat, pandangan negatif tersebut perlahan menghilang, sama seperti kelompok etnis lainnya, orang Melayu yang merupakan bagian dari masyarakat Sumatera Utara kembali menemukan jatidirinya dengan adat istiadat Melayu yang beradab. Disini terlihat adanya benturan budaya (sinkretisme) diantara kelompok etnis pada masa itu. Situasi ini menimbulkan prasangka dan perpecahan dalam krhidupan sosial masyarakat. Aspek-aspek simbolik pun dapat berfungsi sebagai penambah faktor disintegrasi dalam kehidupan sosial.

Berdasarkan beberapa alasan diatas, maka penelitian tertarik terhadap keanekaragaman suku, ras, etnis, dan agama pada masyarakat Tanjungbalai, namun secara umum mereka mengakui dirinya sebagai orang Melayu, lebih khususnya Melayu Tanjungbalai, yang lebih dikenal dengan Melayu Asahan dan merupakan rakyat dari pimpinan Sultan Melayu Asahan. Disertasi ini akan meneliti tentang komunikasi penanaman nilai-nilai budaya Melayu pada masyarakat Batak Toba Muslim di Tanjungbalai. Adapun pentingnya penelitian ini dilakukan adalah untuk melihat bagaimana komunikasi yang dilakukan masyarakat dalam penanaman nilai-nilai budaya Melayu khususnya pada masyarakat Batak Toba Muslim di kota Tanjungbalai berdasarkan teori-teori komunikasi.

(26)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana komunikasi penanaman nilai-nilai budaya Melayu pada masyarakat Batak Toba Muslim di kota Tanjungbalai?

2. Kapan nilai-nilai budaya Melayu masuk dan berkembang di kota Tanjungbalai? 3. Bagaimana proses akulturasi nilai-nilai budaya Melayu dan budaya Batak Toba

di kota Tanjungbalai? C. Batasan Istilah

Untuk mendekatkan pemahaman yang akurat terhadap judul penelitian ini, dipandang perlu memberikan penegasan makna kalimat yang terdapat didalam judul tersebut, sebagai berikut:

1. Komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku seseorang, baik verbal maupun nonverbal, yang ditanggapi oleh orang lain. Komunikasi berarti mengadakan kesamaan pengertian antara komunikator (penyebar pesan) dengan komunikan (penerima pesan).19 Komunikasi dalam penelitian ini adalah pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima pesan untuk memengaruhi tingkah laku si penerima pesan, baik itu pesan verbal maupun non verbal.

2. Nilai – nilai merupakan standar keinginan, kebaikan, dan keindahan yang diartikan dari budaya yang berfungsi sebagai petunjuk dalam kehidupan sosial.20Menurut Koentjaraningrat, nilai budaya adalah konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga itu tadi.

19 Alex Sobur , Ensiklopedia Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2014),

h. 388

20Larry A. Samovar, Richard E Porter, Komunikasi Lintas Budaya, Communication

(27)

Jadi, nilai-nilai budaya dalam penelitian ini adalah nilai-nilai budaya Melayu mulai dari bahasa, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup dan sebagainya yang tertanam pada masyarakat Batak Toba Muslim di kota Tanjungbalai. 3. Melayu adalah budaya Melayu yang bercirikan: bertutur bahasa Melayu,

beragama Islam, dan beradat istiadat Melayu.

4. Batak Toba Muslim adalah etnis Batak Toba Muslim di kota Tanjungbalai yang berbudaya Melayu.

5. Penanaman nilai-nilai adalah suatu proses edukatif berupa kegiatan atau usaha yang dilakukan dengan sadar, terencana dan dapat dipertanggungjawabkan untuk memelihara, melatih, membimbing, mengarahkan, dan meningkatkan pengetahuan serta sikap keagamaan dan budaya yang selanjutnya dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan proses komunikasi masyarakat Melayu dalam menanamkan nilai-nilai budaya Melayu pada masyarakat Batak Toba Muslim di kota Tanjungbalai.

2. Mengungkapkan proses masuk dan berkembangnya nilai- nilai budaya Melayu di kota Tanjungbalai.

3. Mendeskripsikan proses akulturasi nilai-nilai budaya Melayu dan nilai-nilai budaya Batak Toba di kota Tanjungbalai.

E. Kegunaan Penelitian

Secarateoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Mengembangkan teori komunikasi khususnya Komunikasi Islam dalam kaitannya dengan dakwah. Hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah keilmuan bidang komunikasi penyiaran Islam yang berkaitan dengan dakwah. 2. Pemanfaatan sejarah dan budaya daerah sebagai salah satu sumber kajian untuk kepentingan peningkatan keilmuan baik melalui kajian ilmu komunikasi maupun dalam upaya pelestarian budaya daerah.

(28)

Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

1. Dari segi keberadaan budaya Melayu yang merupakan salah satu budaya terbesar dan diakui sebagai kekayaan budaya di Indonesia. Penelitian ini merupakan salah satu dokumentasi Budaya Melayu yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk pelestarian nilai-nilai budaya melalui bidang komunikasi. 2. Memberikan sumbangan pemikiran tentang nilai-nilai budaya Melayu agar dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

3. Mengungkapkan nilai-nilai budaya masyarakat yang perlu direvitalisasi menjadi ideologi yang mendominasi dalam dalam mempengaruhi masyarakat dalam berpikir, berperilaku dan bertindak.

4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk pengembangan budaya khususnya budaya Melayu di Sumatera Timur.

F. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan disertasi ini disusun menjadi 5 bab, setiap bab di bagi menjadi sub bab untuk memperoleh kemudahan pembahasan sebagai berikut ini: BAB I : Pendahuluan

Bab pendahuluan ini di kemukakan beberapa pembahasan yang meliputi: Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Batasan istilah, Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, dan sistematika pembahasan, kaitannya dengan bab selanjutnya adalah sebagai pengantar dan merupakan ringkasan dari bab-bab selanjutnya.

BAB II : LANDASAN TEORI

Di sini pembahasannya mengenai teori-teori yang digunakan dalam penelitian disertasi yang meliputi lima sub bab antara lain: Sub bab pertama membahas tentang Teori komunikasi Interpersonal, mencakup ciri-ciri komunikasi Interpersonal, fungsi komunikasi interpersonal, ciri-ciri dan sifat-sifat komunikasi interpersonal, perspektif dan model komunikasi interpersonal, Sub

(29)

bab kedua membahas tentang kebudaayn dan komunikasi, konsep nilai-nilai dalam komunikasi dan masyarakat Melayu, teori Norma Sosial, teori Norma -norma budaya. Sub bab ketiga membahas teori komunikasi antar budaya bab keempat membahas etika komunikasi interpersonal dalam Alquran, dan sub bab kelima membahas tentang Kajian Terdahulu, dan selanjutnya kerangka pemikiran komunikasi penanaman nilai budaya Melayu.

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini ada tiga sub bab yang membahas tentang metode yang digunakan dalam penelitian ini. Terdiri dari beberapa sub bab antara lain: pertama, Pendekatan Penelitian, fokus penelitian, Informan penelitian, lokasi penelitian, Sumber Data, Teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan Teknik menjamin keabsahan data.

BAB 1V : NILAI- NILAI BUDAYA MELAYU DAN NILAI-NILAI BUDAYA BATAK TOBA

Dalam bab ini akan dibahas tentang gambaran umum wilayah penelitian, dan temuan-temuan penelitian. Terdiri atas beberapa sub bab. Sub bab pertama tentang gambaran umum wilayah penelitian kota Tanjungbalai, Geografi, Kependudukan, mata pencaharian, agama dan kepercayaan. sub bab berikut membahas tentang sejarah kota Tanjungbalai, yang membahas: asal-usul, perkembangan kota Tanjungbalai mulai tahun 1917 sampai 2010, dan terakhir membahas nilai- nilai budaya Melayu dan nilai-nilai Batak Toba di Tanjungbalai. BAB V : PENUTUP

Akhir dari bab ini merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penelitian yang dilakukan.

(30)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Komunikasi Interpersonal

1. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu

communication, yang berarti sama makna mengenai suatu hal. Secara luas komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain. Secara sederhana, komunikasi diartikan sebagai pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima pesan dengan sadar untuk memengaruhi tingkah laku si penerima.21

Komunikasi menurut beberapa ahli diantaranya sebagai berikut: Menurut Hafied Cangara22 komunikasi didefinisikan sebagai “sebuah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk merubah tingkah laku mereka”. Komunikasi sebagai proses pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari dalam benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari dalam lubuk hati. Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya.

Sedangkan menurut Arni Muhammad,23komunikasi didefinisikan sebagai “Pertukaran pesan verbal maupun non verbal antara si pengirim dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku”. Menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas

21Alex Sobur, Ensiklopedia Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media: 2014), h.

388

22Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.,

2006 ), h. 19

(31)

asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian seseorang terhadap orang lain.24 Komunikasi memiliki peranan penting dalam hubungan antar manusia, yang dalam hubungan tersebut terdapat rasa saling pengertian, hubungan timbal balik dan saling membutuhkan.25 Menurut Turner, komunikasi (communication) adalah proses sosial di mana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka. Proses peralihan dan pertukaran itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun non verbal yang dapat dipahami bersama.26

Everet M. Rogers mendefinisikan komunikasi sebagai proses yang di dalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada penerima dengan tujuan untuk merubah perilakunya, pengertian ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Theodore Herbert yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses yang di dalamnya menunjukkan arti pengetahuan yang dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, biasanya dengan maksud mencapai beberapa tujuan khusus.27

Komunikasi disimpulkan sebagai suatu proses pengiriman dan penyampaian pesan baik berupa verbal maupun non verbal oleh seseorang kepada orang lain untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik komunikasi langsung, maupun tidak langsung. Komunikasi yang baik harus disertai dengan adanya interaksi antara kedua belah pihak (pengirim dan penerima), sehingga yang dikomunikasikan dapat dimengerti dan dilaksanakan.

24Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2007),h.9

25Turner Lynn H dan West Richard, Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2008), h.5

26Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, ( Yogjakarta: Pustaka Pelajar,

2001), h.5

(32)

Tiga fungsi dasar mengapa manusia ingin berkomunikasi:28

1. Hasrat manusia ingin mengontrol lingkungannya. Setiap manusia mempuyai hasrat untuk bisa mengontrol dan mengendalikan lingkungan yang dia tempati agar bisa berada dalam lingkungan tersebut.

2. Upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Setiap manusia harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru dia tempati maupun yang sudah lama dia tempati, manusia harus bisa melihat keadaan disekitarnya agar bisa tinggal dan mempunyai kenyamanan ditempat dia tinggal, bisa mempunyai teman dengan mencoba untuk mengikuti kegiataan yang ada disekitar lingungan rumahnya.

3. Upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi. Sosialisasi terhadap lingkungan sekitar rumah bisa memberikan kita teman atau tetangga, bisa memberikan kita kehidupan yang rukun dengan tetangga karena manusia saling membutuhkan satu sama lainnya, maka dari itu manusia butuh sosialisasi terhadap tetangganya karena sewaktu-waktu kita membutuhkan pertolongan dari tetangga kita sendiri.

Demikian banyak pendapat dari berbagai pakar mengenai definisi komunikasi, namun jika diperhatikan dengan seksama dari berbagai pendapat tersebut mempunyai maksud yang hampir sama. Demikian juga dengan defenisi komunikasi interpersonal.

Secara konstektual, komunikasi interpersonal digambarkan sebagai suatu komunikasi antara dua individu atau sedikit individu, yang saling berinteraksi, saling memberikan umpan balik satu sama lain. Namun, definisi konstektual saja tidak cukup untuk menggambarkan komunikasi interpersonal karena setiap interaksi antara satu individu dengan individu lain berbeda-beda. Berikut defenisi komunikasi interpersonal menurut beberapa ahli:

Mulyana29mengemukakan bahwa komunikasi interpersonal (Interpersonal

Communication) adalah komunikasi yang terjadi secara langsung antara dua

28Ibid., h. 2

29Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2005), h. 73. Lihat juga, Richard West dan Lynn H. Turner, Theory: Analysis and Aplication, Pengantar Teori Komunikasi: Analiss dan Aplikasi, ibid., h. 37.

(33)

orang atau lebih secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal maupun nonverbal.

Menurut R.Wayne Pace dalam Hafied Cangara,30 bahwa komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) merupakan proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung

Menurut Joseph A. Devito dalam bukunya “Communication An Introduction to the study of Communication” mengatakan: “Interpersonal communication as the sending of message by another person, of small group of person with some effect and some immediate feedback”. Batasan komunikasi interpersonal menurut Devito31 adalah:

a. Adanya pesan-pesan (sending of message)

b. Adanya orang atau sekelompok kecil orang (small group of person, by one person)

c. Adanya penerima pesan-pesan (the receiving of message) d. Adanya efek (with some effect)

e. Adanya umpan balik langsung (immediate feedback).

Maka yang menjadi titik tekan adalah feedback yang langsung atau seketika itu pula, sehingga komunikasi itu termasuk face to face communication

atau medieted communication yang bersifat personal.

Dibanding dengan komunikasi lainnya, seperti komunikasi kelompok dan komunikasi massa, komunikasi interpersonal dianggap oleh para ahli sebagai komunikasi paling efektif dalam upaya mengubah sikap, perilaku, dan pandangan seseorang. Anggapan ini didasarkan pada beberapa alasan berikut:

a) Komunikasi berlangsung dua arah secara timbal balik b) Arus balik berlangsung seketika

30Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,

2006) h..32

31Yoyon Mudjiono, Ilmu Komunikasi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009), h.

(34)

c) Kerangka acuan komunikasi dapat diketahui seketika.

Komunikasi berlangsung dua arah adalah komunikasi yang berlangsung antara komunikator kepada komunikan, dan dari komunikan kepada komunikator. Dengan demikian komunikator mengetahui pada saat itu juga tanggapan komunikan terhadap pesan yang disampaikan kepadanya, dan sebaliknya. Dengan demikian komunikator dapat mengendalikan dan mengatur komunikasinya berdasarkan tanggapan komunikan, akhirnya hasil dari proses komunikasi dapat diketahui secara jelas pada saat itu juga.

Menurut Barlund, yang dikutip oleh Alo liliweri dalam bukunya yang berjudul “Perspektif Teoretis Komunikasi Antarpribadi”, komunikasi interpersonal itu harus dipelajari, karena dengan mempelajari konteks komunikasi antarpribadi maka setiap orang secara makro dapat menyelidiki dan memahami suatu situasi yang relative informal dari sudut situasi sosial. Situasi mana disebutkan telah mempertemukan manusia untuk berinteraksi dengan cara bertatap muka secara langsung, kemudian mengirim dan menerima pesan (saling mempertukarkan) pesan baik verbal maupun nonverbal.32

Definisi lain komunikasi interpersonal adalah "Interpersonal communication is a complex, situated social process in which people who have established a communicative relationship exchange messages in a effort to generate shared meanings and accomplish social goals”. (komunikasi interpersonal adalah proses sosial yang berkaitan dengan konteks, rumit, yang di dalamnya orang-orang yang telah membangun hubungan komunikatif, bertukar pesan dalam upaya untuk menghasilkan makna yang dianut bersama dan mencapai tujuan sosial).33

Sedangkan menurut Onong, komunikasi interpersonal adalah suatu pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang dengan beberapa umpan balik seketika. Komunikasi ini dianggap

32Alo Liliweri, Perspektif Teoretis, Komunikasi Antarpribadi, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1994), h. 122

33Charles R. Berger, Michael E. Rolof, dan DavidR. Roskos, Handbook Ilmu Komunikasi,

diterjemahkan dari The Handbook of Communication Science, (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 213.

(35)

efektif dalam hal upaya untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang karena sifatnya dialogis, berlangsung secara tatap muka (face to face) dan menunjukkan suatu interaksi sehigga terjadi kontak pribadi atau personal contact.34

Robert Shuter (1984) dalam Sobur,35 menyebutkan adanya empat ciri khas dalam setiap bentuk komunikasi, yaitu:

1. Berlanjut (continuous). Kita tidak akan pernah berhenti memberi makna pada kata-kata dan tindakan dari orang-orang sekitar kita.

2. Personal. Dunia yang ada di depan kita ini terdiri atas sikap-sikap, nilai-nilai, dan pengalaman-pengalaman, semuanya yang membentuk kita menjadi diri kita sendiri. Dunia ini menentukan bagaimana kita melihat dan menafsirkan objek-objek, orang-orang, serta kejadian-kejadian dalam dunia yang ada di hadapan kita.

3. Berputar (circular). Komunikasi adalah suatu rentetan tindakan dan reaksi yang tampaknya tidak ada awal dan akhir yang pasti.

4. Tidak terulang (irreversible). Informasi yang diteruskan itu tidak dapat dihilangkan dari otak para pendengar dan dikembalikan ke dalam mulut pembicara.

Proses komunikasi terjadi apabila ketika pesan disampaikan kepada komunikan, ada umpan balik terjadi saat itu juga (immediate feedback) sehingga komunikator tahu bagaimana reaksi komunikan terhadap pesan yang disampaikannya. Salah satu prasyarat bagi komunikasi interpersonal adalah membangun hubungan komunikatif diantara sumber pesan dan penerima pesan. Setelah memiliki hubungan komunikatif, maka komunikator dan komunikan dapat bertukar pesan dalam upaya menciptakan makna-makna yang dimengerti bersama dan mencapai tujuan-tujuan sosial.

34 Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi.( Bandung : PT. Citra

Aditya Bakti, 2002), h. 8

(36)

Komunikasi interpersonal ini dapat digambarkan lewat skema berikut:

Gambar 1:

Skema Komunikasi Interpersonal Keterangan skema:

Skema diatas menunjukkan, lingkaran paling luar dengan garis putus-putus menggambarkan konteks komunikasi tempat elemen-elemen serta ruang lingkup pengalaman beroperasi. Perhatikan sumber dan penerima, maka dilingkari oleh dua lingkaran yang berhimpitan (overlap). Kedua lingkaran dengan garis-garis terputus yang berhimpitan tersebut menggambarkan baik penerima maupun komunikator mempunyai ruang lingkup tertentu yang sama.

Pada gambar lingkaran yang paling luar maupun kedua lingkaran ruang lingkup pengalaman digambarkan dengan garis-garis terputus, artinya bahwa konteks komunikasi maupun ruang lingkup pengalaman adalah hal-hal yang selalu berubah tidak statis. Dengan adanya overlopping of interest ini, komunikasi

Komunikator

Umpan

Komunikan

Balik

(37)

interpersonal menjadi efektif atau komunikasi sambung rasa. Yaitu komunikasi antar keduanya terjadi persamaan rasa dan pengalaman dari komunikasi itu.36

Penyampaian pesan dalam komunikasi interpersonal tidak hanya secara verbal, tetapi juga nonverbal. Pesan-pesan nonverbal tersebut bukan hanya memperkuat pesan verbal yang disampaikan, terkadang malah menyampaikan pesan tersendiri. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan untuk menafsirkan dan memahami pesan-pesan nonverbal tersebut. Pesan-pesan nonverbal terikat pada lingkungan budaya tempat komunikasi berlangsung, seperti mimik wajah, gerak tangan atau sentuhan merupakan bahasa tubuh yang banyak menyertai komunikasi interpersonal. Berikut akan dibahas tentang komunikasi secara nonverbal:

Komunikasi nonverbal adalah semua aspek komunikasi yang bukan berupa kata-kata.37 Tidak hanya gerakan, dan bahasa tubuh, tetapi juga bagaimana kita mengucapkan kata-kata, perubahan nada suara, berhenti, volume, dan aksen. Sebagaimana komunikasi verbal, perilaku nonverbal juga dibentuk oleh gagasan budaya, nilai-nilai, kebiasaan, dan sejarah.38

Berikut Tipe-Tipe Komunikasi Non verbal menurut Julia T. Wood:

a. Kinesika adalah Pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh termasuk wajah yang memberikan arti. Komunikasi dengan gerakan tubuh telah dikenal lebih lama daripada komunikasi verbal oleh manusia. Manusia juga menggunakan gerakan tubuh untuk menekankan bahasa verbal dan mengekspresikan perasaan.

b. Haptics adalah indera peraba atau sentuhan. Sentuhan juga mengomunikasikan kekuasaan dan status. Banyak peneliti yang percaya bahwa menyentuh atau disentuh adalah esensi dari kehidupan yang sehat.

c. Tampilan Fisik. Masyarakat sering mendasarkan evaluasi inisial terhadap orang lain dari penampilannya.

36Yoyon mudjiono, Ilmu Komunikasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009),

h.105-109

37Julia T. Wood, Interpersonal Communication: Everyday Encounters, Terjemahan: Rio

Dwi Setiawan, ( Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 124.

(38)

d. Artefak adalah objek personal yang digunakan untuk mengumumkan identitas dan warisan kita, juga untuk personalisasi lingkungan kita. Artefak digunakan untuk menunjukkan identitas manusia sejak kecil. Seperti pakaian perempuan yang identik dengan kelembutan, dan pakaian laki-laki yang terlihat lebih longgar.

e. Paralanguage adalah komunikasi yang diucapkan (vokal), tetapi tidak menggunakan kata-kata. Misalnya, bisikan, hembusan napas, dan kualitas vokal (volume), dan perubahan nada. Suara adalah instrumen serbaguna yang memberi orang lain petunjuk mengenai bagaimana menginterpretasikan maksud kita. Berbisik contohnya, menandakan kerahasiaan.

f. Chronemic merujuk pada bagaimana kita mempersepsikan dan menggunakan waktu untuk mendefenisikan dan interaksi. Sudah menjadi suatu budaya dalam masyarakat, bahwa orang-orang penting dengan status yang tinggi dapat membuat orang lain menunggu. Sebaliknya, orang dengan status yang lebih rendah diharapkan tepat waktu.

Dale G. Leathers (1976) dalam Nonverbal Communication Systems,39 menyebutkan enam alasan mengapa pesan nonverbal sangat signifikan. Yaitu:

a. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan nonverbal. Pada gilirannya orang lainpun lebih banyak ’membaca’ pikiran kita lewat petunjuk-petunjuk nonverbal.

b. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal ketimbang pesan verbal.

c.Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar.

39Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005)

Gambar

Gambar : 4  Model A-B-X New Comb  Sumber: Severin & Tankard (2001)

Referensi

Dokumen terkait

Pada konteks penelitian ini, sama artinya anggota komunitas Pkuvidgram bergantung kepada media sosial instagram, semakin lama mereka bergabung dengan instagram

Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan di depan Pengadilan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam Pasal 28

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bupati Bangka Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pedoman Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (Berita Daerah Kabupaten

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Berdasarkan hasil penelitian dan fakta pada variabel keputusan pembelian di FABRIK Eatery & Bar Bandung memiliki penilaian yang tinggi, namun restoran harus memperhatikan sub

Ada beberapa kontrak yang masih berlaku yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan ada juga

The last algorithm in doc2vec is modeled after the word2vec skip-gram model, with one exception-- instead of using the focus word as the input, we will now take the document ID as

sel ) ialah besarnya beda potensial atau besarnya potensial yang dihasilkan dari dua buah elektroda (katoda dan anoda) yang dihubungkan oleh suatu penghantar. Karena pada