• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dilisankan atau diceritakan kepada orang lain, kemudian berangsur-angsur

N/A
N/A
Info

Unduh

Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dilisankan atau diceritakan kepada orang lain, kemudian berangsur-angsur"

Copied!
14
1
0
Menampilkan lebih banyak ( Halaman)

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebelum adanya tradisi tulis, kesusastraan Melayu klasik berkembang melalui tradisi lisan. Tradisi lisan dalam kesusastraan berarti kegiatan bercerita secara turun-temurun, dari satu generasi kepada generasi yang lain, sedangkan tradisi tulis menghasilkan naskah yang tertulis di atas berbagai alas seperti lontar, kertas, dan kulit kayu. Artinya, karya sastra yang pada awalnya dibuat untuk dilisankan atau diceritakan kepada orang lain, kemudian berangsur-angsur tergantikan oleh karya sastra yang ditulis agar dapat dibaca sendiri ataupun dibacakan kepada orang lain.

Sastra yang hidup di tengah-tengah masyarakat disebut sebagai kesusastraan rakyat atau cerita rakyat. Cerita rakyat dapat dibagi atas empat jenis, yaitu cerita asal-usul, cerita binatang, cerita jenaka, dan cerita pelipur lara (Liaw Yock Fang, 2011: 1—2). Cerita asal-usul merupakan cerita rakyat yang tertua. Contoh cerita asal-usul ialah cerita asal-usul Batak. Cerita binatang merupakan cerita rakyat yang populer. Contoh cerita binatang yang terkenal ialah cerita kancil. Salah satu cerita kancil dalam bahasa Melayu terdapat dalam Hikayat Sang Kancil. Cerita jenaka ialah cerita tentang tokoh yang dapat membangkitkan tawa, lucu, atau licik. Contoh cerita jenaka yang paling masyhur ialah cerita Abu Nawas. Jenis cerita rakyat selanjutnya ialah cerita pelipur lara. Sesuai namanya, cerita jenis ini dipakai untuk menghibur hati yang lara. Salah satu contoh cerita

(2)

pelipur lara ialah Hikayat Malim Deman. Berdasarkan bentuk teksnya, kesusastraan rakyat dapat dibagi menjadi hikayat dan syair.

Hikayat adalah nama jenis sastra yang menggunakan bahasa Melayu sebagai wahananya (Hooykaas dalam Baroroh-Baried, dkk., 1985: 4). Braginsky mendefinisikan hikayat dengan penjelasan “The term hikayat applies to prose fiction, some historical writings, certain hagiographic works and some writings belonging to the domain bordering on kitab” (1993: 42—43). Berdasarkan hal tersebut, istilah “hikayat” berlaku untuk karya fiksi prosa dan tulisan-tulisan kesejarahan. Dalam perkembangannya, istilah “hikayat” kemudian mengacu kepada jenis ragam prosa tertentu. Bahkan, istilah itu termasuk dalam judul karya sastra beragam prosa, seperti Hikayat Sang Kancil dan Hikayat Abunawas (Sudjiman, 1995: 18). Baroroh-Baried, dkk. (1985: 6) kemudian menyimpulkan bahwa pengertian hikayat yang sesuai dengan yang ada di kamus-kamus ialah (a) karangan yang kadarnya cerita, bukan cerita yang benar-benar terjadi atau hasil rekaan, (b) cerita yang sudah kuno atau lama, (c) bentuk ceritanya ialah prosa, dan (d) cerita yang pernah terjadi, kenang-kenangan atau sejarah atau riwayat.

Selain hikayat, bentuk kesusastraan Melayu lama ialah syair. Syair merupakan jenis puisi lama. Pertama kali muncul dalam sastra Melayu pada abad ke-15 dalam Syair Ken Tambuhan, tetapi menurut A. Teeuw, kemunculan syair dalam sastra Melayu tidak mungkin lebih awal daripada abad kelima belas (Winstedt dalam Liaw Yock Fang, 2011: 563). Liaw Yock Fang (2011: 562— 563) menjelaskan bahwa syair terdiri dari empat baris dan setiap barisnya mengandung empat kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai

(3)

dua belas suku kata. Berbeda dengan pantun, syair tidak memiliki aturan bahwa sajak akhirnya harus a-a-a-a. Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Puisi (dalam pengertian modern) didefinisikan sebagai pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum) (Altenbernd dalam Pradopo, 2010: 5).

Menurut Sweeney (1980: 28), syair merupakan bentuk karya sastra yang dinyanyikan. Ia juga mengatakan bahwa masyarakat Melayu tradisional selalu memperhatikan fungsi penting kesusastraannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:

Traditional Malay society was well aware of the important didactic function of literature: writers would not merely choose to tell edifying tales, with intrusions by implied author and/or reliable narrator to provide “advice” (nasihat), but would often emphasize in their opening contract with their postulated audience that their work would be a source of benefit (faedah).

Bertolak dari kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa masyarakat Melayu tradisional sangat menyadari pentingnya fungsi didaktik sastra. Artinya, para penulis atau pengarang tidak hanya menekankan pada cerita dengan memberikan nasihat secara tersirat lewat narator, tetapi juga menekankan dalam hal kontrak dengan para pendengar dengan memberitahukan bahwa pekerjaan mereka akan menjadi sebuah sumber keuntungan (faedah). Hal tersebut berarti pengarang tidak dapat serta-merta bercerita tanpa menyelipkan pesan moral dalam ceritanya.

Banyak sekali karya sastra Melayu yang memberikan pesan tersirat yang dapat ditemukan pada sekitar abad 19, baik dalam bentuk hikayat maupun syair.

(4)

Pada abad ke-19, bahasa Melayu dipengaruhi oleh situasi politis. Selain adanya pendudukan Belanda di Nusantara, perkembangan koloni Inggris di Semenanjung Malaysia menghasilkan persaingan-persaingan antarnegara penjajah. Jejak bahasa Melayu pada masa itu dapat ditemukan pada surat-surat dari sultan-sultan di Kedah, yakni Trengganu, Selangor, Perak, dan lainnya. Bentuk-bentuk kesusastraan yang terkenal yang lahir pada abad itu adalah Hikayat Abdullah (1843), yang merupakan cerita perjalanannya di pantai timur semenanjung, dan hikayat Merong Mahawangsa (1898). Selain itu, terdapat perkembangan karya baru sastra istana Melayu seperti Tuhfat al-Nafis (1890) (lih. Collins, 2011: 73— 79).

Selain karya-karya tersebut, ada banyak karya sastra yang dihasilkan pada pada abad 19, salah satunya ialah Syair Raja Tedung dengan Raja Katak. Teks syair tersebut merupakan teks anonim yang ditulis sekitar tahun 1865 M. Syair Raja Tedung dengan Raja Katak merupakan salah satu jenis syair alegoris. Hal ini sesuai dengan pernyataan Braginsky (1998: 236) bahwa ragam-ragam syair ialah „syair romantis (percintaan)‟, „syair sejarah‟, „syair alegoris‟ (yang sebagian mirip dengan syair-syair percintaan, tetapi tokoh-tokoh utamanya ialah bunga, burung, binatang dan serangga, dan lain sebagian lagi dengan syair-syair sufi), dan juga „syair keagamaan‟ serta „syair didaktis‟. Karya Syair Raja Tedung dengan Raja Katak tergolong syair alegoris karena sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Braginsky bahwa syair-syair alegoris merupakan karya sastra berupa puisi yang sejenis dengan cerita-cerita tamsil dan fabel berbentuk prosa.

(5)

Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik juga membahas seluk-beluk syair. Menurutnya, syair kiasan atau simbolik adalah syair yang mengisahkan tentang ikan, burung, bunga, atau buah-buahan. Menurut Overbeck (dalam Liaw Yock Fang, 2011: 567), syair jenis ini biasanya mengandung kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Oleh karena itu, Syair Raja Tedung dengan Raja Katak dapat dikatakan sebagai syair alegoris atau syair kiasan.

Tema utama dalam syair kiasan ialah percintaan dengan menggunakan karakter hewan-hewan ataupun tumbuhan untuk menyajikan tema cerita yang bersifat parodi, ironis, atau didaktis (Braginsky, 1993: 46). Syair dengan tema generik syair-syair binatang dan bunga ini adalah upaya untuk menghibur hati yang rindu karena cinta. Contoh karya sastra lain jenis ini ialah Syair Buah-Buahan, yang menurut Koster (2011: 253), dapat dibaca sebagai sebuah fabel didaktik yang mengenakan pakaian alegori. Biasanya karya jenis ini mengandung keteladanan. Jadi, karya seperti itu tidak hanya menyajikan parodi dan narasi, tetapi juga banyak pesan moral. Oleh karena itu, syair alegoris sering digunakan oleh orang-orang Melayu untuk menyampaikan pesan. Hal ini terutama karena kesusastraan rakyat masih berlangsung secara turun-temurun sehingga pesan yang ingin disampaikan diharapkan dapat tersebar luas.

Sebagai sebuah sajak, syair merupakan sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagiannya serta jalinannya secara nyata. Selain itu, syair harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Hal ini berarti kegiatan menganalisis sajak sama

(6)

dengan memahami makna sajak. Mengingat karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa, maka diperlukan adanya analisis Syair Raja Tedung dengan Raja Katak (yang selanjutnya disingkat SRTDRK) berdasarkan semiotiknya. Di dalam penelitian ini teks tersebut akan dianalisis melalui kajian semiotika Riffaterre. Teori tersebut diaplikasikan sebagai landasan teori untuk mengetahui makna teks melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik, juga untuk menemukan matriks, model, varian, dan hipogram teks.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang perlu dikaji sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah makna teks Syair Raja Tedung dan Raja Katak dilihat melalui pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik sesuai teori Semiotika Riffaterre?

1.2.2 Bagaimanakah unsur-unsur pembentuk teks Syair Raja Tedung dan Raja Katak dilihat melalui model, matriks, varian, dan hipogram yang dapat ditemukan sesuai teori Semiotika Riffaterre?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian terhadap SRTDRK ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini ialah mendeskripsikan kompleksitas unsur-unsur pembentuk SRTDRK dan makna teks sehingga pembaca dapat mengetahui tujuan dari penulisan syair tersebut.

(7)

Adapun tujuan praktis penelitian ini ialah memberikan pengetahuan terhadap pembaca mengenai Syair Raja Tedung dengan Raja Katak, unsur-unsur semiotiknya, dan meningkatkan apresiasi pembaca terhadap karya sastra Melayu lama.

1.4 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan studi katalog, naskah SRTDRK tidak banyak ditemukan di Indonesia. Perpustakaan Universitas Indonesia menyimpan naskah SRTDRK dengan judul Syair Raja Tedung dengan Raja Katak dengan nomor panggil 899.231 S 502. Ukuran naskah tersebut ialah 28 cm dengan volume halaman sebanyak 20 halaman. Adapun penelitian ini akan menggunakan naskah SRTDRK versi buku edisi faksimile dengan judul Syair Raja Tedung dengan Raja Katak – the Poem of the Cobra-King and the Frog-King: A Facsimile Edition with Transcription, Translation, And Interpretation of Manuscript Kl.161 in The Library of The University of Leiden. Buku tersebut terdiri dari 80 halaman dan tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Berdasarkan pencarian terhadap hasil-hasil penelitian di Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya dan Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, serta penelusuran di laman internet, sepengetahuan penulis, syair tersebut jarang digunakan sebagai objek material penelitian. Penelitian terhadap SRTDRK dengan teori semiotika Riffaterre belum ditemukan oleh penulis. Akan tetapi, berdasarkan kesamaan objek formalnya, ada beberapa penelitian terhadap karya sastra Melayu lama yang menggunakan teori semiotika Riffaterre yang dapat ditemukan, seperti

(8)

skripsi berjudul “Syair Empat Puluh Dua Malam: Suntingan Teks dan Analisis Semiotika Riffaterre” yang ditulis Esti Rosiana (2012) dan skripsi berjudul “Suntingan Teks dan Amanat: Analisis Semiotika terhadap Syair Patut Delapan” yang ditulis oleh Devi Esthetiana (2014).

Skripsi Rosiana berisi hasil suntingan terhadap Syair Empat Puluh Dua Malam, kondisi pernaskahan dan perteksan syair tersebut, dan hasil analisis syair tersebut dalam kajian semiotika Riffaterre. Rosiana melakukan pembacaan heuristik dan hermeneutik pada syair tersebut, mulai dari prolog hingga epilog. Selain itu, ia menyajikan matriks, model, varian-varian yang terdapat dalam Syair Empat Puluh Dua Malam, dan hipogram teksnya (2012: 17). Skripsi Esthetiana berisi hasil suntingan terhadap Syair Patut Delapan, kondisi pernaskahan dan perteksan syair tersebut, dan hasis analisis syair dalam kajian semiotika Riffaterre. Ia juga melakukan pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, kemudian menyajikan matriks, model, varian-varian, dan hipogram. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Rosiana dan Esthetiana ialah penggunaan teori yang sama, yaitu semiotika Riffaterre. Akan tetapi, keduanya menggunakan syair yang berbeda dengan syair yang digunakan dalam penelitian ini.

Adapun teori semiotika Riffaterre juga sering digunakan untuk analisis terhadap karya sastra modern, seperti skripsi berjudul “Pemaknaan Kembang Tunjung karya Linus Suryadi AG. Berdasarkan Semiotika Riffaterre” oleh Rodiyati (2004). Pada penelitian tersebut, Rodiyati melakukan pembacaan heuristik dan pembacaan heremeneutik pada sajak “Sabtu Legi 30 April 1983”, sajak “Ziarah”, sajak “Tengah Malam”, dan sajak-sajak lainnya. Rodiyati juga

(9)

menyajikan matriks, model, dan hipogram dari masing-masing sajak itu. Meskipun menggunakan teori yang sama, penelitian Rodiyati dan penelitian ini memiliki objek material yang berbeda.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dibuktikan bahwa penelitian dengan judul “Syair Raja Tedung dengan Raja Katak: Analisis Semiotika Riffaterre” belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian terhadap SRTDRK perlu dilakukan dan diharapkan dapat memberikan banyak manfaat, selain sebagai suatu penelitian yang baru.

1.5 Landasan Teori

Syair Raja Tedung dengan Raja Katak merupakan salah satu bentuk kesusastraan Melayu masa lampau. Sebagai sebuah syair, SRTDRK merupakan puisi lama. Sebagai sebuah karya sastra yang berbentuk puisi, apa yang ingin disampaikan oleh penyair tidak secara langsung dapat dimengerti oleh pembacanya. Untuk mengetahuinya, SRTDRK dianalisis menggunakan teori semiotik. Menurut Hartoko (1986: 131), semiotik berasal dari kata Yunani, “semeion”, yang berarti tanda. Artinya, semiotik merupakan ilmu yang meneliti tanda-tanda, sistem-sistem tanda dan proses suatu tanda diartikan. Setiap tanda berhubungan dengan tanda-tanda yang lain, dengan sesuatu yang dilambangkan dan dengan orang yang memakai tanda itu.

Pradopo (1995: 119) juga berpendapat sama. Ia mengatakan bahwa semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan

(10)

tanda-tanda itu mempunyai arti. Dalam semiotik, tanda-tanda tidak hanya satu macam saja, akan tetapi memiliki hubungan yang erat antara penanda dan petandanya.

Untuk membahas dan memahami SRTDRK, penulis menggunakan analisis semiotika Riffaterre. Adapun metode yang digunakan disesuaikan dengan teori Semiotika Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978). Objek formal dari penelitian puisi/syair dengan kerangka teori Riffaterre ialah “arti” (significance). Bagi Riffaterre, “arti” tersebut dapat ditemukan melalui berbagai bentuk objektivasinya yang berupa teks. Teks yang menjadi matriks atau hipogram itu sendiri baru bisa ditemukan setelah peneliti menemukan “makna” kebahasaan dari puisi/syair yang bersangkutan (Faruk, 2012: 147).

Sebagai karya sastra, SRTDRK merupakan suatu struktur yang memiliki makna di dalam hubungannya dengan unsur lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna secara menyeluruh teks SRTDRK perlu adanya analisis yang berhubungan dengan tanda . Adapun penelitian ini menggunakan teori semiotika Riffaterre, yaitu dimulai dengan pembacaan secara heuristik dan hermeneutik sampai pencarian hipogram.

Pembacaan heuristik merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik yang menangkap arti sesuai dengan teks yang ada serta diartikan dengan bahasa yang sesuai dengan teks. Pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasikan makna secara utuh ialah pembacaan hermeneutik (Riffaterre, 1978: 5). Pradopo (1995: 135) juga menyinggung hal ini dalam bukunya, seperti dalam kutipan berikut:

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem

(11)

semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya.

Setelah melakukan pembacaan heuristik dan hermeneutik, kemudian dilakukan pengkonkretan terhadap bahasa puisi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pencarian matriks, model, dan varian-varian (Riffaterre, 1978: 19—21). Menurut Pradopo (2007: 236—237), dalam analisis karya sastra, khususnya sajak, matriks diabstraksikan dari karya sastra, yang dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana. Matriks merupakan bagian Model dalam hal ini berupa kiasan atau metafora. Artinya, secara teoretis, sajak merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Matriks adalah hipotesis, sebuah aktualisasi gramatikal dan leksikal dari sebuah struktur. Matriks dapat dilambangkan dengan satu kata, yang dalam hal ini kata tidak akan dimunculkan dalam teks. Hal tersebut selalu diwujudkan dalam varian-varian yang berurutan. Adapun bentuk varian-varian itu diatur oleh perwujudan yang pertama dan yang paling dasar, yaitu model (Riffaterre, 1978: 19).

Setelah menemukan matriks, model, dan varian, selanjutnya ialah mencari hipogram. Pencarian hipogram berarti pencarian latar belakang penulisan teks yang ditransformasikan. Pembaca harus menyimpulkan sendiri ide teks yang secara tekstual tidak dihadirkan oleh pengarang. Untuk memperoleh interpretasi kedua, pembaca harus menghadirkan teks lain (Riffaterre: 1978: 94). Artinya, pembaca memerlukan teks lain yang memiliki hubungan interteksualitas dengan

(12)

teks utama. Hipogram dapat bersifat potensial dan aktual. Hipogram potensial dilihat dari bahasa teks, sedangkan hipogram aktual dilihat dari teks-teks yang lebih dulu ada (ibid., hal. 23).

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data. Dalam pengumpulan data, peneliti mencari data melalui sumber data yang terkait dengan objek material penelitian, yaitu Syair Raja Tedung dengan Raja Katak. Dalam proses analisis data, peneliti melakukan penganalisisan data penelitian sesuai dengan teori yang digunakan. Untuk analisis semiotik dalam penelitian ini, metode yang dipakai ialah metode semiotika Riffaterre. Oleh karena itu, mengacu pada teori tersebut, penulis melakukan tiga langkah dalam mengkaji SRTDRK. Langkah yang pertama ialah melakukan pembacaan heuristik dan hermeneutik terhadap teks SRTDRK. Dalam pembacaan heuristik, karya sastra dibaca secara linier. Arti bahasa dijelaskan sebagaimana susunan bahasa, ejaan, dan bentuk morfologi pada umumnya. Selanjutnya dalam pembacaan hermeneutik, karya sastra tersebut dibaca secara berulang dan dijelaskan dengan memberikan tafsiran.

Langkah yang kedua dalam mengkaji SRTDRK ialah menentukan matriks atau kata kunci, model atau transformasi dari matriks, dan varian-varian yang merupakan transformasi model dari pokok permasalahan dalam SRTDRK. Adapun matriks ialah bagian dari struktur yang berupa konsep abstrak yang tidak akan pernah terwujud dengan sendirinya, kecuali apabila berada dalam varian-varian

(13)

yang tidak gramatikal (Riffaterre, 1978: 13). Model merupakan perkembangan dari matriks dan varian merupakan transformasinya. Perkembangan itulah kemudian yang membentuk sebuah sajak. Untuk menemukan matriks, peneliti akan mencari tema. Untuk menemukan tema, peneliti perlu membaca teks secara berulang sehingga paham apa ide pokok yang membangun cerita. Untuk menemukan model, peneliti perlu membaca teks untuk menemukan kiasan-kiasan dan metafora yang merupakan transformasi dari matriks. Untuk menemukan varian-varian, peneliti perlu menemukan satuan-satuan makna kebahasaan pada bait-bait sajak yang dibangun oleh pengarang. Satuan-satuan makna kebahasaan tersebut dapat diperoleh dari bait-bait sajak yang di dalamnya terdapat model dengan melakukan pembacaan teks secara berulang

Langkah yang ketiga ialah mencari hipogram teks yang menjadi latar belakang atau faktor pemicu dalam SRTDRK. Pencarian hipogram berarti pencarian latar belakang penulisan teks yang ditransformasikan. Artinya, pembaca harus menyimpulkan sendiri ide teks yang secara tekstual tidak dihadirkan oleh pengarang. Untuk menentukan hipogramnya, peneliti perlu menghadirkan karya sastra lain untuk diperbandingkan untuk menemukan hubungan intertekstualitas. Tahap pencarian hipogram ini dimungkinkan untuk mendapatkan makna sajak secara penuh.

1.7 Sistematika Laporan Penelitian

Sistematika laporan penelitian ini terdiri atas empat bab yang disusun secara sistematis. Bab I berisi pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah,

(14)

rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II dan Bab III berisi pembahasan. Dalam Bab II dibahas mengenai makna pembacaan heuristik dan makna pembacaan hermeneutik SRTDRK. Bab III berisi penjelasan mengenai Matriks, Model, Varian, dan Hiprogram yang ditemukan dalam SRTDRK. Bab IV berisi kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian berdasarkan alasan-alasan pemohon Peninjauan Kembali yang telah dijelaskan tersebut, maka menurut penulis kekhilafan hakim yang nyata sebagai dasar pengajuan

Batang memiliki susunan yang tidak banyak berbeda dengan akar, batang tersusun dari jaringan-jaringan dari luar ke dalam diantaranya epidermis, parenkim, endodermis,

Sampel krim diharapkan termasuk dalam tipe M/A karena emulsi tipe M/A tidak terasa lengket saat digunakan di kulit sehingga terasa ringan.Selain itu emulgator

Minimnya nilai b yang diperoleh Jawa Timur dibandingkan dengan kedua bagian yang lain, menandakan bahwa batuan di wilayah Jawa Timur masih dalam keadaan rapat (tingkat

Dari Gambar 7, dapat dilihat bahwa nilai pH dari sampel inlet dan kedua Model reaktor relatif sama hingga pada Bak 2, kemudian mengalami kenaikan secara berangsur-angsur.. Sedangkan

2. Pihak penanggung, mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur apabila unsur ketiga berhasil 3. Suatu

Dekontaminasi Bakteri Mesofilik dalam Susu Segar Menggunakan Ekstrak Daun Salam.. (Syzygium polyanthum (Wight) Walp)

Dengan pemanfaatan controller SDN, administrator jaringan dapat mengubah sifat dan prilaku jaringan secara riil time dan mendeploy aplikasi baru dan layanan

Dalam pembelajaran kimia sebagian besar materi kimia dapat dikaitkan dengan kondisi atau masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada topik asam basa, banyak

(1) Untuk tiap tahun buku oleh Direksi disusun perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca dan perhitungan laba-rugi Neraca dan perhitungan laba-rugi tersebut

Aplikasi auksin saja pada kultur in vitro kurang efektif untuk pertumbuhan embrio somatik sedangkan auksin yang dikombinasikan dengan kinetin lebih efektif untuk

Hipogram adalah unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain lain) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan,

Pemisahan analit dalam kolom kromatografi berdasarkan pada aliran fase gerak yang membawa campuran analit melalui fase diam dan perbedaan interaksi analit dengan permukaan fase

030242 Suruhanjaya Perkhidmatan Awam Negeri Sabah telah melantik Encik Ahmad bin Lakim untuk memangku jawatan Hakim Mahkamah Tinggi Syariah/Pegawai Syariah, Gred L2 untuk tempoh

Hasil penelitian untuk pengaruh NPL Bank Pemerintah terhadap penyaluran kredit mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan NPL selama periode penelitian

bahwa guna meningkatkan cakupan dan pemerataan irigasi bagi masyarakat petani khususnya di wilayah Desa Marga Batin, Desa Sumber Jaya dan Desa Sumber Rejo Kecamatan

formaldehidnya 40, 30, 20 dan 10 persen serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram (Kompas, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1).

Hasil data kekerasan permukaan enamel pada masing-masing kelompok perlakuan baik sebelum perlakuan, setelah perendaman dalam larutan demineralisasi dan setelah

metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yaitu siswa dibagi dalam kelompok dengan anggota 4 siswa sebagai tim ahli. dimana masing-masing anggota tim ahli

Namun, bagi mereka itu bukanlah suatu hambatan untuk tetap belajar dan memahaminya, ditambah lagi jika guru mempunyai strategi khusus untuk anak tunarungu ini dalam

Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh efisiensi biaya produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja

Sesuai dengan ungkapan tersebut, ilustrasi atau ungkapan visual merupakan daya tarik bagi anak yang lebih memperhatikan visual, selain itu dengan ilustrasi pada film animasi ini

Matriks identitas atau matriks satuan dilambangkan dengan I merupakan matriks persegi yang semua unsur diagonal utamanya sama dengan 1 dan unsur yang lain