• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegagalan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan di Provinsi Riau. Failure Protection Of Food Agricultural Land in the Riau Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kegagalan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan di Provinsi Riau. Failure Protection Of Food Agricultural Land in the Riau Province"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

2-1

Kegagalan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan di Provinsi Riau

Failure Protection Of Food Agricultural Land in the Riau Province

Gevisioner*, Subkhan Riza1

1

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau Tel./Faks. +6285216119096/+676127205

*)

Corresponding author : irgevisioner@gmail.com

ABSTRACT

Availability of sustainable food agricultural land resources is a requirement for national food security. Agricultural land conversion uncontrolled can threaten food supply capacity. The issuance of Law No. 41 of 2009 on Sustainable Agricultural Land Protection (PLP2B) is expected to reduce the high rate of conversion wetland and maintain ecological functions. The purpose of the study was to examine the implementation of policies for the protection of sustainable food agricultural land in the Riau province. The study was conducted with the survey, with secondary and primary data. The results showed that policy implementation of sustainable food agricultural land protection is not effective in preventing the occurrence of food in Riau land conversion, because the rice field area has decreased an average of 12.1 percent annually. Some of the causes is the implementation of a new policy at the stage of identifying the location and yet there is a local ordinance regulating the protection of sustainable food agricultural land as a result of weak coordination and synergy between the sectors related to the protection of sustainable food agricultural land.

Keywords: food agricultural land, policy implementation, synergy, sustainable ABSTRAK

Tersedianya sumberdaya lahan pertanian pangan yang berkelanjutan merupakan syarat untuk ketahanan pangan nasional. Alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan. Terbitnya Undang-Undang Nomor41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) diharapkan dapat menekan tingginya laju konversi lahan sawah dan mempertahankan fungsi ekologinya. Tujuan kajian adalah menelaah implementasi kebijakan kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Provinsi Riau. Kajian dilakukan dengan survei, dengan menggunakan data primer dan sekunder. Hasil kajian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan perlindunganlahan pertanian pangan berkelanjutanbelum efektif mencegah terjadinya konversi lahan pangan di Riau, karena terjadi penurunan luas lahan sawah rata-rata 12,1 persen setiap tahunnya. Beberapa faktor penyebabnya adalah implementasi kebijakan baru sampai pada tahap identifikasi lokasi dan belum ada suatu peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagai akibat lemah koordinasi dan sinergitas antar sektor yang terkait dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

(2)

2-2 PENDAHULUAN

Makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Mengingat negara Indonesia adalah negara agraris, sudah selayaknya jika negara perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan yang berkelanjutan (Rustiadi,E dan W. Reti.2008)

Undang-Undang Nomor 26 tahun2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan pentingnya mengalokasikan lahan untuk pertanian pangan secara abadi. Amanat tersebut telah dikuatkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun2009 tentangPerlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan(PLP2B). Undang- Undang No. 41/2009 ini diharapkan dapat menekan tingginya laju konversi lahan sawah dan mempertahankan fungsi ekologinya, dan mendorong ketersediaan lahan pertanian untuk menjaga kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan (Bappenas, 2010)

UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan, merupakan salah satu kebijakan pertanian. Menurut Person, S, dkk (2005), kebijakan dilahirkan karena kegagalan pemerintah untuk menyediakan lahan pangan yang berkelanjutan untuk menjamin terwujud ketahanan pangan. Karena lahan sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan tidak mungkin disediakan melalui mekanisme pasar, dan berkurang dalam penggunaannya, maka diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengendalikan lahan pertanian.

Implementasi kebijakan dianggap sebagai wujud utama dan tahap yang sangat menentukan dalam proses kebijakan. Tanpa implementasi yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat (Norton, 2004). Implementasi kebijakan ketahanan pangan yang belum padu dan bersinergi dengan kebijakan pembangunan lainnya, menyebabkan kondisi ketahanan pangan di Indonesia saat ini masih menghadapi ancaman yang tidak ringan (Darwanto, 2005).

Pada saat ini harapan untuk mengendalikan dan meminimalisasi alih fungsi lahan pertanian pangan tertumpu pada UUNo.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun efektivitas kebijakan dari implementasi UU tersebut sangat membutuhkan adanya perubahan paradigma pembangunan, terutama di level pemerintah daerah. Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, efektivitas UU No.41 tahun 2009, sangat tergantung pada konsistensi dan koordinasi antar sektor, mulai dari tingkat pusat sampai dilevel paling rendah; dan sikap proaktif masyarakat dalam memonitor implementasi program (Mulyani, et al (2011).

Tujuan kajian ini adalah : 1) Menilai laju perubahan lahan pangan menjadi lahan non pangan dan faktor-faktor penyebabnya, 2) Menelaah implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di provinsi Riau

BAHAN DAN METODE Pendekatan, Tempat dan Waktu

Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif. Kajian dilaksanakan di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Indragiri Hilir. Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan, kabupaten Indragiri Hilir merupakan salah satu daerah sentra produksi padi di provinsi Riau. Kajian dilaksanakan selama 4 bulan yaitu pada bulan Agustus – November 2014.

(3)

2-3 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari 40 (empat puluh) responden , yang terdiri dari 10 orang sebagai informan kunci dan 30 orang petani yang memiliki lahansawah(purposive sampling) di kabupaten Indragiri Hilir. Data dikumpulkan melalui survei, wawancara dan Participatory

Rural Apraisal (PRA) serta Focus Group Discussion (FGD).

Sedangkan data sekunder meliputi data perkembangan penggunaan lahan selama 10 tahun terakhir (2004 -2013), seperti luas potensi, areal tanam, areal panen, produksi, produktivitas, perkembangan harga komoditi selama 10 tahun terakhir (2004-2013).

Pengolahan dan Analisa Data.

Pengolahan dan analisa data yang digunakan dalam kajian ini adalah : 1) Untuk mengetahui dan menganalisis trend perkembangan alih fungsi lahan pertanian pangan, digunakan metode End to End (Susanti, dkk, 1995), sedangkan untuk mengetahui faktor penyebabnya dianalisis secara deskriptif; 2). Untuk mengetahui implementasi UUNo.41Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutandianalis secara deskriptif.

HASIL Perkembangan luas lahan sawah.

Luas lahan sawah di provinsi Riau pada tahun 2004 mencapai 276.533 Ha, pada tahun 2013 menjadi 139.816 Ha, dengan kata lain luas penggunaan lahan sawah selama 10 tahun terakhir mengalami laju penurunan setiap tahunnya sebesar 7,23 persen. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan laju peningkatan lahan perkebunan sawit, yang mengalami peningkatan 7, 18 persen setiap tahunnya. Trend penurunan lahan sawah juga terjadi di kabupaten Indragiri Hilir yang merupakan daerah sentra tanaman padi di provinsi Riau. Laju penurunan lahan sawah di kabupaten Indragiri Hilir mencapai 7,80 persen setiap tahunnya. Laju penurunan lahan sawah di tingkat kabupaten dan tingkat provinsi, periode tahun 2009 – 2013, lebih tinggi dibanding periode tahun 2004-2008 (Tabel 1).

Penurunan penggunaan lahan sawah disebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah untuk untuk lahan perkebunan, seperti usaha kelapa sawit (56,6 %), tanaman kelapa (36,7 %), untuk bangunan dan lainnya (6,7 %). Kegiatan pengalihfungsikan lahan sawah tersebut juga didukung data dari petani bahwa terjadi penurunan lahan sawah yang dimiliki petani sawah saat ini. Petani menyatakan bahwa rata-rata lahan sawah yang dimiliki 5 tahun yang lalu adalah 3.33 Ha (1.25 – 10 ha), namun saat sekarang rata-rata lahan yang dimiliki oleh petani sawah 1.32 Ha (0.25 – 3 ha).

Beberapa alasan yang dikemukakan petani, mengapa mengalihfungsikan lahan sawah yang dimilikinya, yakni a) harga tanah yang terus naik menjadi faktor bagi 30.4 persen petani untuk mengalihfungsikan lahan sawah sawah yang dimilikinya; b) 26,8 persen menyatakan karena tidak ada irigasi atau irigasi tidak berfungsi lagi; c) 25,0 persen karena komoditi pertanian lainnya lebih baik, dan d) 17.9 persen menyatakan karena menurunnya kualitas lahan sawah / produktivitas yang semakin menurun.

(4)

2-4

Tabel 1. Perkembangan luas lahan sawah dan luas kebun sawit diprovinsi Riau tahun 2004 s/d 2013.

Tahun

Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau

Lahan Sawah Lahan Sawit Lahan Sawah Lahan Sawit

2004 52.712 79.353 276.533 1.340.036 2005 52.712 137.323 276.533 1.424.804 2006 52.712 142.323 276.533 1.530.150 2007 48.069 142.282 262.153 1.651.032 2008 46.380 148.720 248.259 1.780.968 2009 36.390 155.000 234.940 1.925.341 2010 31.451 190.699 249.589 2.103.174 2011 30.616 226.398 206.415 2.258.553 2012 27.900 227.513 189.545 2.372.402 2013 25.187 249.604 139.816 2.516.340 Gr % (2004-2008) -3,15 17,00 -2,66 7,37 Gr % (2009-2013) -8,79 12,65 -12,17 6,92 Gr (%) 2004-2013 -7,80 13,43 -7,23 7,18

Sumber : BPS Provinsi Riau dan Kabupaten Indragiri Hilir (2005-2014).

Implementasi Penggendalian Lahan Pangan.

Aktivitas alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah di provinsi Riau umumnya dan di kabupaten Indragiri Hilir khususnya menjadi lahan non sawah , bila tidak dikendalikan dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi selama ini belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun sebagian besar responden (85,71 persen) telah mengetahui adanya undang-undang atau peraturan – peraturan pengendalian alih fungsi lahan termasuk UUNo.41Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Sebagian besar undang-undang atau peraturan-peraturan pengendalian alih fungsi lahan pangan belum efektif mengatasi terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan sawit karena kendala pelaksanaan kebijakan. Hal ini antara lain karena kurangnyadukungan data dan minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian alih fungsi lahan sawah tersebut seperti : lemahnya sistem administrasi tanah, kurang kuatnya koordinasi antar lembaga terkait, belum memasyarakatnya mekanisme implementasi tata ruang wilayah, sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.

Sebanyak 55.6 persen responden menyatakan bahwa belum memasyarakatnya mekanisme implementasi tata ruang wilayah, menjadi penyebab tidak efektifnya peraturan pengendalian alih fungsi lahan. Sedangkan 44.4 persen menyatakan bahwa belum efektifnya peraturan pengendalian alih fungsi lahan disebabkan oleh lemahnya sistem administrasi tanah, perundang-undangan yang berlaku kadang kala bersifat paradoksal dan dualistik.

Alternatif strategi yang tepat dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah di kabupaten Indragiri Hilir, hampir 83,3 persenmenyatakan bahwa perlu pemberian sanksi yang tegas bagi pemilik lahan sawah, dan 16.7 persen perlu segera

(5)

2-5

diberikan subsidi harga gabah pada petani pemilik lahan sawah. Dan hampir keseluruhan responden menyatakan bahwa di kabupaten Indragiri Hilir belum ada program atau kegiatan-kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan pengendalian alih fungsi lahan terutama lahan sawah. Sehingga kondisi diatas menggambarkan bahwa belum tersedianya sistem kelembagaan yang dapat mengendalikan terjadinya alih fungsi lahan pangan khususnya lahan sawah.

Meskipun pemerintah daerah kabupaten Indragiri Hilir telah membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tentang aturan pemanfaatan ruang wilayah, termasuk di dalamnya antisipasi terhadap konversi lahan sawah, namun implementasinya boleh dikatakan masih lemah. Dalam RPJMD Kabupaten Indragiri pemerintah kabupaten Indragiri Hilir telah menyadari bahwa permasalahan dalam pembangunan ketahanan pangan adalah terbatasnya ketersediaan lahan dan adanya alih fungsi lahan terutama untuk tanaman pangan dan hortikultura. Namun demikian program untuk mengatasi permasalahan tersebut khususnya untuk pengendalian alih fungsi lahan tidak diutarakan secara jelas. Oleh karena itu, pendataan lahan yang terkoordinir dan terpadu diiringi dengan kebijakan pengendalian konversi lahan yang holistik dan komprehensif perlu segera diwujudkan, sebagai salah satu implementasi terhadap Undang-Undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

PEMBAHASAN

Penggunaan lahan sawah di provinsi Riau selama 10 tahun terakhir (2004 – 2013) mengalami penurunan sebesar 7,23 persen setiap tahunnya, atau terjadi penurunan penggunaaan lahan sawah sebesar 13.672 Ha/tahun, sebaliknya penggunaan lahan untuk perkebunan sawit mengalami peningkatan sebesar 7,18 persen setiap tahunnya atau terjadi peningkatan rata-rata setiap tahun seluas 117.630 Ha. Laju penurunan penggunaan lahan sawah pada periode 2009–2013 dimana mulai diberlakukannya Undang-Undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, lebih cepat dibandingkan periode 2004-2008, yakni mencapai 12,17 persen setiap tahunnya atau hampir 5 (lima) kali lebih cepat, karena pada periode 2004–2008 laju penurunan penggunaaan lahan sawah 2,66 persen setiap tahunnya.

Faktor utama petani melakukan perubahan fungsi sawah menjadi lahan perkebunan disebabkan faktor harga tanah yang terus naik, harga komoditi perkebunan yang lebih baik (aspek akonomi), dan menurunnya kualitas lahan sawah / produktivitas karena irigasi yang kurang memadai (aspek teknis). Seperti yang dikemukakan oleh Pakpahan, dkk (1993), banyak faktor yang menyebabkan petani menglihfungsikan lahan sawah yang dimilikinya. Khusus untuk sawah, konversi lahan dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Konversi secara langsung terjadi akibat keputusan para pemilik lahan yang mengkonversikan lahan sawah mereka ke penggunaan lain, misalnya untuk industri, perumahan, prasarana dan sarana atau pertanian lahan kering. Konversi kategori ini didorong oleh motif ekonomi, dimana penggunaan lahan setelah dikonversikan memiliki nilai jual/sewa (land rent) yang lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan lahan untuk sawah. Sementara itu, konversi tidak langsung terkait dengan makin menurunnya kualitas lahan sawah atau makin rendahnya peluang dalam memperoleh pendapatan (income opportunity) dari lahan tersebut akibat kegiatan tertentu, seperti terisolirnya petak petak sawah di pingiran perkotaan karena konversi lahan di sekitarnya. Dalam jangka waktu tertentu, lahan sawah yang dimaksud akan berubah ke penggunaan nonpertanian atau digunakan untuk pertanian lahan kering.

(6)

2-6

Tingginya laju perubahan fungsi lahan sawah tersebut diatas, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan pengendalian lahan pertanian pangan yang ada belum efektif mencegah terjadinya alih fungsi lahan pangan di provinsi Riau.Salah satu faktor penyebabnya adalah persepsi pemerintah daerah tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung bias ke bawah (under estimate), sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.

Implementasi UU No.41 Tahun 2009, saat ini baru sampai pada tahap identifikasi lokasi dan belum ada suatu peraturan daerah yang mengatur tentang hal tersebut, dan belum disahkannya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan beberapa Kabupaten/Kota. Rancangan peraturan daerah terkait perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, baru akan dibahas oleh legislatif pada tahun 2015 ini, meskipun rancangan perda sudah disampaikan sejak tahun 2011. Lamanya rancangan perda perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan berada di legislatif, karena belum disahkannya RTRW Provinsi Riau. Belum adanya perda menjadi hambatan dalam kegiatan sosialisasi karena lahan pertanian yang dilindungi belum ditetapkan, sehingga tidak ada payung hokum yang jelas seandainya terjadi pelanggaran, demikian pula dalam menyampaikan informasi lahan-lahan mana yang dijadikan lahan yang dilindungi.

Peraturan perundangan yang telah ada terkait perlindungan lahan pangan, menurut Simatupang dan Irawan (2002), mengandung sejumlah kelemahan, antaralain: 1) Aspek yang diperhitungkan dalam penentuan objek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi terlalu terfokus pada gatrateknis–fisik; 2) Cenderung bersifat himbauan tanpa penegakan sanksi yang tegas; 3) Mengingat ijin konversi merupakan keputusan kolektif berbagai instansi, maka sulit untuk menelusuri pihak yang bertanggung jawab apabila terjadi konversi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan; 4) Kadang- kadang bersifat para doksal dan dualistik; disatu sisi hendak melindungi alih fungsi lahan sawah, pada sisi lain pemerintah juga mendorong pertumbuhan industry yang juga membutuhkan lahan sebagai basisnya dikawasan yang sama.

Kurang kuatnya koordinasi dan sinergitas antar lembaga terkait penggunaan lahan, merupakan kendala utama di provinsi Riau. Menurut Irawan, B (2008) aspek koordinasi menjadi salah satu kunci sukses untuk mewujudkan sistem pendayagunaan sumberdaya lahan yangoptimal. Seperti yang dikemukakan oleh Nasoetion (2003) bahwa terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu : 1) Kendala koordinasi kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarangterjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian, 2) Kendala pelaksanaann kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut,dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual diperkirakansangat luas, 3) Kendala konsistensi perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.

Implementasi perlindungan lahan pertanian berkelanjutan memerlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi terkait, mengingat permasalahan lahan pertanian ini

(7)

2-7

merupakan permasalahan lintas sektoral ( Iqbal dan Sumaryanto, 2007). Dari segi teknis, dinas lingkup pertanian sangat berkompeten dalam permasalahan ini, tetapi jika ditinjau dari segi lahannya, pihak Badan Pertanahan Nasional yang memiliki wewenang. Kebijakan perlindungan lahan merupakan wewenang pemerintah daerah. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya koordinasi antar instansi terkait demi suksesnya implementasi perlindungan lahan pertanian berkelanjutan tersebut

Selain itu, menurutHandari, AW (2012) untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan terkait pengendalian lahan pertanian pangan, agar masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan mengetahui tentang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, sangat diperlukan adanya sosialisasi. Sosialisasi perlu dilakukan secara intensif dan kontinyu, mengingat masih banyaknya kejadian konversi lahan pertanian. Dengan sosialisasi diharapkan masyarakat mengetahui tentang perlindungan lahan pertanian danmemahami maksud dan tujuannya, sehingga dapat menyadarkan masyarakat untuk tidak lagi mengkonversi lahan pertaniannya. Pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terutama para pemilik lahan pertanian dapat dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan. Dengan itu semua diharapkan masyarakat mengetahui upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mempertahankan lahan pertaniannya seandainya ada pihak-pihak yang ingin membeli lahan pertaniannya untuk dikonversikan menjadi bentuk penggunaan tertentu.

KESIMPULAN

Implementasi kebijakan pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan di provinsi Riau, belum efektif mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan ke non pangan. Hal ini dapat dilihat semakin tingginya laju penurunan penggunaan lahan sawah selama 5 tahun terakhir (2009–2013) mencapai 12,17 persen setiap tahunnya, lebih tinggi dibanding periode sebelumnya. Alih fungsi lahan disebabkan oleh faktor harga tanah yang terus naik, harga komoditi perkebunan yang lebih baik (aspek ekonomi), dan menurunnya kualitas/produktivitas lahan sawah karena irigasi yang kurang (aspek teknis).

Implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di provinsi Riau baru sampai pada tahap identifikasi lokasi dan belum ada suatu peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Hal ini terkait dengan peraturan-peraturan pendukung lainnya yang belum tersedia, seperti belum disahkannya RTRW Provinsi, sebagai akibat lemah koordinasi dan sinergitas antar sektor yang terkait dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Belumadanya aturan daerah yang menetapkan tentang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan ini, menyebabkan tidak ada kejelasan mengenai lahan yang dilindungi, sanksi pelanggaran maupun insentif yang akan diterima masyarakat jika tidak melakukan atau melakukan perlindungan lahan pertanian pangan yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. 2010. RencanaKebijakanStrategisPerluasanArealPertanianBaruDalamRangka MendukungPrioritasNasionalKetahananPangan,

DirektoratPangandanPertanianBAPPENAS. Jakarta.

Darwanto,DH,2005.Ketahanan Pangan BerbasisProduksi dan KesejahteraanPetani.

IlmuPertanian 12(2):152-164.

Iqbal,M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpupada PartisipasiMasyarakat.Analisis Kebijakan Pertanian. 5(2):167-182. Irawan, B. 2008. Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan.Forum Penelitan

(8)

2-8 Agro Ekonomi 26(2):116-131.

Handari, AW. 2012. Implementation Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Magelang [Thesis]. Semarang : Universitas Diponegoro.

Mulyani, A; S. Rirung, dan I. Las. 2011. Potensi dan Ketersediaan Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Litbang Pertanian.30(2): 73-80.

Nasoetion, L.I. 2003. Konversi Lahan Pertanian : Aspek Hukum dan Implementasinya. Dalam Kurnia dkk. (eds). Makalah Seminar Nasional “Multifungsi Lahan Sawah

dan Konversi Lahan Pertanian”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor

Norton, Roger D. 2004. Agricultural Development Policy: Concepts and Experiences. FAO dan John Wiley.

Pakpahan, A., Sumaryanto, N. Syafaat, S. Friyatno, Saktyanu, K.D., dan R.P. Somaji. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Person Scott, Garl Gotsch dan Sjaiful Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada

Pertanian Indonesia.Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.

Rustiadi,E dan W. Reti.2008.UrgensiLahanPertanianpanganAbadidalam Perspektif KetahananPangan,dalamArsyad,SdanE. Rustiadi(Ed),

Penyelamatantanah,AirdanLingkungan. Jakarta :CrestpentPressdanYayasan

OborIndonesia.

Susanti, Ikhsan dan Widyanti. 1995. Indikator-Indikator Makroekonomi. Lembaga Penyeledikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta :Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Skor rata-rata kompetensi pedagogik pada dimensi “melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran” diperoleh skor 58,33% atau 2,33 dari skor maksimal

As shown in following screenshot, the node displays all the available passes, render layers and scenes present in the current rendered file.. Multiple Render Layers nodes can

Dari hasil penelitian, pengolahan citra, perancangan, pembuatan, dan pengujian sistem pada penelitian ini, didapatkan simpulan bahwa metode learning vector

Dengan menggunakan metode mix use konsep compact city ini dapat menekan angka mobilisasi dari suatu kawasan menuju kawasan lainnya sehingga permasalahan

Hal tersebut dapat dilihat dari nilai brand value pada tahun 2008 sebesar 54,9 Sehingga konsumen memiliki kesadaran bahwa nilai merek mobil Toyota menurun dibandingkan dengan mobil

Sedangkan Maximal Principal Stress (tegangan utama maksimum) sebesar 3,349 MPa dan Equivalent Stress sebesa 3,397 MPa. Ini berarti kanopi surya untuk sepeda motor listrik

Hal ini sesuai dengan teori bahwa AV terjadi pada pria dengan kisaran umur 16-19 tahun (Wasitaatmadja, 2011) karena pada laki-laki umur 16-19 tahun adalah waktu

Penggunaan program pasco capstone dapat digunakan untuk mencatat penurunan suhu pada air yang dibiarkan mendingin, serta dapat langsung menganalisis persamaan suhu