• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Kabupaten Tapanuli Utara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Kabupaten Tapanuli Utara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kabupaten Tapanuli Utara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yang memiliki 16 kecamatan yaitu Ajibata, Balige, Bonatua Lunasi, Borbor, Habinsaran, Lagu Boti, Lumban Julu, Nassau, Parmaksian, Pintu Pohan Meranti, Porsea, Siantar Narumonda, Sigumpar, Silaen, Tampahan, dan Lumban Julu. Kecamatan Lumban Julu memiliki 23 desa dan yang menjadi desa lokasi penelitian penulis yaitu Desa Sigaol terbagi atas tiga bagian yaitu Sigaol Barat, Sigaol Timur, dan Siregar Aek Nalas yang memiliki jumlah penduduk 665 jiwa dengan luas seluruh daerahnya 400 Ha. Jarak antara Desa Sigaol ke Ibukota Kabupaten berkisar ± 37 Km. Desa Sigaol adalah salah satu daerah penenun ulos di Kabupaten Tapanuli Utara.1

Penduduk asli Desa Sigaol adalah marga Sinaga, Sitorus dan Nainggolan, ketiga Marga inilah yang menempati Desa Sigaol. Bahasa kesehariannya adalah bahasa Batak Toba. Selain itu masyarakat ini juga mempunyai unsur budaya yang menunjukkan lambang identitas kebudayaanya sebagai orang Batak, salah satunya adalah menenun ulos. Ulos mulai dikenal masyarakat Desa Sigaol pada saat periodeisasi penjajahan Belanda di Sigaol dan yang membawa Tenun Ulos ke Desa Sigaol adalah Op. Tuan Dirambe Butarbutar. Beliau adalah keturunan dari Raja Batak di Lumban Mual. Ayah Op. Tuan Dirambe adalah Ama Sombaon Butarbutar dan

1 Data diperoleh dari kantor Kepala Desa Sigaol, Selasa, 04 februari 2014, Pukul 13.00 wib.

(2)

Ibunya boru Sitorus, yang bertempat tinggal di Lumban Mual. Anak Ama Sombaon ada Tiga orang yaitu: Op. Tuan Dirambe, Guru Mangatas, dan Namora Hatautan. Ketika mereka sudah berumah tangga mereka merantau atau keluar dari kampung halamannya. Op. Tuan Dirambe merantau ke Sigaol, Guru Mangatas merantau ke Toba Holbung, dan Namora Hatautan merantau ke Marom. Op. Tuan Dirambe memiliki dua orang istri yaitu Boru Sirait dari Siraituruk dan Boru Gultom. Boru Sirait memiliki satu orang anak laki-laki dan dari Boru Gultom memiliki tujuh orang anak perempuan.

Selama Op. Tuan Dirambe Butarbutar berdomisili ke Desa Sigaol yang menjadi mata pencahariannya adalah menenun ulos untuk memenuhi keperluan rumah tangganya. Masyarakat Desa Sigaol tertarik dengan pekerjaan istri-istri Op. Tuan Dirambe dan masyarakat di Desa Sigaol meminta agar istri-istri Op. Tuan Dirambe mengajari masyarakat tersebut untuk menenun ulos karena ulos pada saat itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat Sigaol untuk menutupi tubuhnya dari terpaan angin dan udara dingin.

Sebelum masuknya ulos ke Desa Sigaol yang digunakan masyarakat Sigaol untuk menutupi tubuhnya adalah dengan memintal kapas untuk dijadikan pakaian. Kemudian, yang menjadi mata pencaharian masyarakat tersebut adalah menangkap ikan (nelayan) yaitu pada tahun 1939. Tetapi setelah tenun ulos masuk ke Sigaol masyarakat Sigaol beralih mata pencaharian dari nelayan menjadi Menenun Ulos di tahun 1940. Bukan hanya beralih mata pencaharian tetapi juga beralih pakaian dari memintal kapal menjadi menggunakan hasil tenunan istri Op. Tuan Dirambe yaitu

(3)

Ulos. Kemudian hal tersebut hampir semua kalangan masyarakat Sigaol meminta untuk belajar menenun ulos kepada istri-istri Tuan Dirambe karena Ulos pada waktu itu harganya sangat mahal dan sangat praktis untuk digunakan menutupi tubuh dari cuaca dingin. 2

Laki-laki memakai ulos sebagai hande-hande atau ikat kepala (detar). Bagian bawah disebut Singkot (lopes). Sedangkan yang perempuan memakainya sebagai abit (kain sebatas dada). Bagian bawah, punggung dipakai hoba-hoba dan bila disandang disebut selendang dan pada bagian atas atau di kepala disebut saong-saong. Kemudian, apabila menggendong anak disebut ulos parompa. Ulos dipakai sehari-hari di rumah, di ladang, dan di tempat-tempat lain. Karena dahulu kala orang belum mengenal yang namanya tekstil, semua pakaian terbuat dari hasil rajutan atau tenunan3.

Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “ Ijuk pangihot ni hodong, ulos pangihot holong”, yang artinya jika ijuk adalah pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama4.

2 Wawancara dengan, Bapak Charles Butarbutar selaku kepala Desa di Desa Sigaol, kamis 27 februari 2014.

3 P. H. P. Sitompul, Ulos Batak Tempo Dulu-Masa Kini, Jakarta: Kerabat Kerukunan Masyarakat Batak, 2009, hlm. 5.

(4)

Ulos adalah lambang kasih sayang. Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak, yang harus dikembangkan agar dapat mendunia. Ulos mempunyai keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki kain tenun lainnya. Ulos bukan hanya sekedar produk berbentuk kain tenun melainkan, mempunyai nilai yang sangat penting di dalam budaya Batak yang dikenal dengan kasih sayang mereka hangat. Ulos ditenun sepenuhnya dari benang yang diciptakan dari tumbuh-tumbuhan dan diberi pewarna alami.

Khusus di Desa Sigaol yang mata pencaharian masyarakatnya adalah menenun ulos. Anak-anak di desa ini mulai dari kecil sudah diajari bagaimana cara menenun ulos, karena menurut orang tua ulos adalah masa depan anak-anaknya apabila orang tua tersebut tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih tinggi. Orang tuanya sudah yakin atau percaya apabila anak tersebut menikah atau berumah tangga sudah bisa bertahan hidup untuk menghiduppi keluarganya kelak apabila anak itu sudah tahu bagaimana cara menenun ulos. Anak-anak di desa ini mulai dari kelas 5 SD sudah mulai diajari cara-cara menenun ulos mulai dari cara menggulung benang, mengenali benang tenunan, dan mengenali jenis-jenis ulos dan alat-alat tenunan. Dan disaat anak itu sudah mengecam pendidikan SMP, SMA dan bahkan menikah sudah bisa menghasilkan Ulos untuk dijual kepasaran.

Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat mulai membuka mata untuk semakin mengikuti jaman dengan cara mulai mengikuti alat-alat yang mulai berkembang dijaman itu yaitu seperti industri kecil yang menyediakan bahan baku

(5)

ulos. Masyarakat sigaol sangat memanfaatkan kesempatan ini sebagai pengrajin tenun ulos untuk mendukung kehidupan perekonomian mereka baik dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, mendukung pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Pada tahun 1975 masyarakat Batak Toba khususnya di Desa Sigaol sangat mendukung yang namanya pendidikan “Anakkonki do hamoraon di Ahu” yang artinya keberhasilan orang tua di nilai dari tingkat pendidikan atau kesuksesan anak-anaknya. Di Desa ini juga terlihat perkembangan pendidikan yang mulai meningkat dari tahun ke tahun meskipun perkembangan pendidikan di Desa ini belum begitu cepat.

Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu yang berisi tentang Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek Marboru, yang artinya orang harus berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Hal tersebut sangat dipegang oleh masyarakat tersebut. Tenun ulos juga dapat mempererat sistem kekerabatan antara yang satu dengan yang lain dengan cara menjalin komunikasi yang baik, dan saling membantu diantara mereka. Salah satu cara masyarakat menjaga sistem kekerabatannya dengan cara mengikuti setiap kegiatan diantara mereka seperti pesta, (Makkaroan, Pangoli Anak, Pamuli Boru, Saur Matua, dll.) dan juga mereka masih mengadakan yang namanya gotong-royong (Marsidapari).

Nilai ekonomi ulos sudah mulai mengalami pergeseran harga diakibatkan oleh ditemukannya alat tenun yang canggih untuk menenun ulos yaitu mesin tenun ulos di Kota Siantar. Dengan adanya mesin tenun ulos mengakibatkan harga ulos mulai turun, hal ini berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat di Desa

(6)

Sigaol yang menggunakan tenun manual (ATBM). Meskipun nilai harga ulos mengalami pergeseran, tetapi masyarakat di Desa Sigaol tetap mempertahankan ulos sebagai sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sampai saat ini. Selain itu masyarakat tidak mau beralih mata pencaharian atau pun menggunakan alat tenun mesin dalam menghasilkan ulos. Salah satu alasannya mereka tetap mempertahankan tenun ulos manual adalah ingin tetap mempertahankan atau melestarikan budaya Batak sebagai pengrajin ulos.

Melihat hal tersebut penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Peranan Ulos bagi masyarakat Desa Sigaol sebagai objek penelitian sejarah ilmiah. Penelitian ini nantinya akan penulis fokuskan pada ulos sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Desa Sigaol. Atas dasar pemikiran di atas maka penelitian ini diberi judul Dampak Industri Tradisional Tenun Ulos Terhadap Kehidupan

Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sigaol Kecamatan Uluan Kabupaten Tapanuli Utara (1970-2000). Alasan pembatasan periodesasi penelitian dari tahun 1970-2000,

karena tahun 1970 adalah tahun di mana ulos sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai pelindung tubuh mereka dari terpaan udara dingin (angin, hujan, panas, dan lain-lain). Selain itu ulos juga sangat populer, karena belum ditemukan kilang tenun ulos pada saat itu, serta ulos ini sangat banyak dibutuhkan oleh masyarakat untuk acara pesta. Tahun 2000 sebagai akhir penelitian karena pada tahun tersebut harga ulos sangat mahal, melihat kebutuhan konsumen akan ulos yang akan digunakan untuk acara pesta juga sangat banyak. Tahun inilah pengrajin ulos mulai jaya karena kenaikan harga ulos sangat tinggi dibanding tahun-tahun

(7)

berikutnya. Pada tahun 1970 sampai 1985 harga ulos per lembar itu sekitar 300 sampai 400 rupiah. Pada tahun 1999 sampai 2000 harga ulos sangat tinggi menjadi 50 sampai 100 ribu rupiah.

1.2 Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah di atas rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi perekonomian masyarakat Desa Sigaol sebelum masuknya tenun ulos sebagai mata pencaharian sebelum tahun 1970? 2. Bagaimana proses perkembangan Tenun Ulos di Desa Sigaol 1970-2000?

3. Bagaimana dampak industri tradisional tenun ulos terhadap kehidupan masyarakat Desa Sigaol 1970-2000?

(8)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang sudah terlebih dahulu dirumuskan dalam rumusan masalah. Sehingga harus relevan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian penulis.

Adapun Tujuan dari Penulis Penelitian ini antara lain untuk:

1. Menjelaskan kondisi perekonomian masyarakat Desa Sigaol sebelum masuknya tenun ulos sebagai mata pencaharian sebelum tahun 1970. 2. Menjelaskan proses perkembangan Tenun Ulos di Desa Sigaol

1970-2000.

3. Menjelaskan dampak industri tradisional tenun ulos terhadap kehidupan masyarakat Desa Sigaol 1970-2000.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini setidaknya dapat memberikan manfaat secara praktis dan akademis bagi pembaca untuk mengetahui beberapa hal antara lain:

1. Menambah wawasan kepada penulis dan pembaca tentang sejarah ulos sebagai sumber mata pencaharian di Desa Sigaol.

2. Tulisan ini dapat membantu membangkitkan rasa nasionalisme untuk melestarikan kebudayaan asli Batak Toba sehingga nantinya dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.

(9)

3. Mendukung perkembangan Ilmu Sejarah sehingga kedepannya menjadi penggerak bagi penulis lainnya yang ingin menulis sejarah tentang kebudayaan asli di Indonesia.

1. 5 Tinjauan Pustaka

Bagian ini berisi sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan harus di review terlebih dahulu.5 Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan referensi dan sumber informasi atau pendukung yang berkaitan dengan Kebudayaan di Indonesia terkhusus untuk kebudayaan orang batak (peranan ulos).

C.B. Tampubolon “Ulos Batak” menjelaskan tentang hakekat/makna dan penggunaan ulos dalam Adat. Buku ini juga menjelakan bahwa sebagai generasi penerus bangsa, khususnya di bidang kebudayaan, kita harus mengenali budaya kita sendiri baru kita dapat menghargai dan mencintainya. Setiap upacara adat ditengah-tengah masyarakat Batak, ulos masih tetap merupakan bahagian yang tidak terpisahkan hampir pada setiap upacara adat tersebut, baik dalam acara sukacita maupun dalam acara dukacita.

Sugiarto Dakung “Ulos” buku ini menjelaskan tentang ulos adalah unsur kebudayaan suku bangsa Batak. Ulos juga merupakan benda yang sangat penting

(10)

dalam perayaan-perayaan sekitar daur hidup mereka. Pemberian Ulos ini disertai dengan upacara-upacara tertentu seperti bayi waktu lahir, perkawinan juga untuk orang yang meninggal dunia. Menurut kebiasaan mereka, setiap yang meninggal diharuskan membawa ulos sebagai tanda penghargaan terakhir. Selain itu juga buku ini menjelaskan tentang peranan ulos bagi masyarakat tapanuli bahwa ulos adalah salah satu alat untuk mendamaikan dua pihak yang saling bertentangan, agar masalah tersebut dapat diselesaikan maka oleh pendamai dua orang itu diikat dengan selembar ulos.

St. P. H. P. Sitompul “ Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini” menjelaskan tentang berbagai aspek filosofi ulos mulai dari warna ulos, Ukuran ulos, Ragi ni ulos (Motif tenunan ulos), Ragam ni ulos (Jenis-jenis ulos) dan Ruhut pamangke ni ulos (aturan pemakaian ulos adat). Buku ini juga membantu penulis dalam mengenali jenis ulos tempo dulu dan jenis ulos sekarang. Selain itu buku ini juga menambah pemahaman tentang makna penggunaan ulos dalam kehidupan masyarakat hukum adat Batak.

(11)

1.6 Metode Penelitian.

Metode penelitian adalah suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari suatu petunjuk teknis. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode sejarah adalah suatu proses yang benar berupa aturan-aturan yang dirancang untuk membantu dengan efektif dalam mendapatkan kebenaran suatu sejarah. Adapun metode sejarah terbagi dalam empat langkah antara lain heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi atau penulisan sejarah. Langkah pertama yang penulis kerjakan yaitu heuristik, pengumpulan sumber-sumber atau data-data yang terkait dengan objek penelitian penulis dari berbagai sumber dalam hal ini penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan), sumber tersebut baik itu merupakan sumber primer maupun sumber sekunder. Suatu prinsip yang harus dipegang penulis yaitu di dalam heuristik adalah sejarahwan harus mencari terlebih dahulu sumber primer. Sumber primer disini berarti sumber yang disampaikan oleh saksi mata.

Hal ini dapat dalam bentuk dokumen, misalnya arsip-arsip atau laporan pemerintah sedangkan dalam sumber lisan yang dianggap primer adalah wawancara langsung dengan pelaksana peristiwa atau saksi mata6. Tetapi apabila penulis kurang mendapat sumber primer sebagai bahan referensi maka sumber sekunder bisa digunakan.

(12)

Langkah kedua yaitu kritik sumber (verifikasi), setelah sumber sejarah dalam berbagai macam terkumpul maka dilanjutkan dengan tahapan kritik sumber untuk memperoleh keabsahan/keaslian sumber atau data yang didapat. Penulis dalam melakukan kritik sumber atau menyeleksi terhadap sumber-sumber melalui pendekatan intern dan ekstern. Dimana dalam pendekatan intern yang menelaah dan memverifikasi kebenaran isi atau fakta sumber baik yang bersifat tulisan (buku, artikel, laporan dan arsip) maupun sumber lisan (wawancara). Kritik ekstern yang dilakukan dengan cara memverifikasikan untuk menentukan keaslian sumber (otentisitas) baik sumber tulisan maupun lisan. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan benar-benar objektif yang tentunya dari data-data yang terjaga keobjektifannya.

Langkah ketiga yaitu interpretasi, setelah data tersebut sudah melewati kritik sumber, maka penulis membuat tahapan selanjutnya ialah penafsiran atau menganalisis terhadap hasil dari kritik sumber. Di dalam proses interpretasi ini bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber walaupun sebenarnya hal ini tidak dapat dihilangkan secara total. Interpretasi ini dapat dikatakan data sementara sebelum penulis membuatkan hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.

Langkah selanjutnya dan yang terakhir yaitu Historiografi, tahapan ini berisi tentang penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Layaknya penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (heuristik) sampai dengan akhirnya (penarikan kesimpulan) sehingga dapat dikatakan

(13)

penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis. Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang dipergunakannya tepat atau tidak; apakah sumber atau data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki validitas dan reliabilitas yang memadai atau tidak; dan sebagainya. Jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan mutu penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menghadapi cabaran dan permasalahan yang lebih komplek terutamanya di alaf baru ini, kaunselor perlu lebih berketrampilan dan menyediakan diri dengan pelbagai

Tabel 9. Selanjutnya Dimensi yang besar hubunganya adalah Inovasi dan berani resiko dengan Variabel Komitmen Organisasi pada Komitmen Normatif. 2) Motivasi Kerja

Stres kehamilan adalah salah satu fenomena yang dialami oleh setiap ibu khususnya ibu yang pertama kali mengalami kehamilan (primigravida) yang dipicu oleh

Masalah tersebut tentu mencakup pada hal yang luas berupa keterlibatan BPD serta masyarakat sebagai objeknya, adminitrasi Desa secara umum tertuang dalam buku

Hal yang juga menjadi bagian penting ketika merumuskan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana adalah perumusan tentang perbuatan yang dilarang

Knowledge donating berpengaruh signifikan pada kapabilitas inovasi (Fen Lin, 2007) dan Knowledge donating berpengaruh signifikan pada innovation capability

KOD PENGETAHUAN & KEMAHIRAN PENGURUSAN PERNIAGAAN INDIKATOR YANG BOLEH DIUKUR CONTOH LUGHATUL FASLI 4.3 Menggunakan sumber yang pelbagai/ sumber alternatif/ sumber

The research is focused on the development a tool for converting IOTNE into IOTED and apply the tool to obtain EDM in the Indonesian industrial sector based on the 2008