• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hukum acara pidana merupakan peraturan yang berisikan bagaiaman proses

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hukum acara pidana merupakan peraturan yang berisikan bagaiaman proses"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Hukum Acara Pidana

1. Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana merupakan peraturan yang berisikan bagaiaman proses atau cara dalam menegakkan hukum pidana. Hukum acara pidana termuat di dalam Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun terkait Pengertian mengenai hukum acara pidana sendiri tidak didefinisikan didalam KUHAP, melainkan hanya berupa pengertian mengenai apa saja proses acara pidana.

Agar mengetahui lebih dama tentang pengertian hukum acara pidana, penulis memberikan beberapa pandangan yang dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya menurut Wirjono Prodjodikoro (dalam Andi A: 2019:16), yaitu:

“Hukum materiil atau hukum pidana sangat erat kaitannya dengan hukum acara pidana, maka disini akan dibahas menganai bagaimana masing-masing lebaga penegak hukum menjalankan tugasnya yaitu kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan dalam menegakkan hukum pidana”.1

Atas pengertian yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro tersebut, ia menitikberatkan manfaat dari hukum acara pidana untuk melaksanakan hukum pidana materiil. Dalam hal ini penegakan tersebut guna tercapainya rasa damai dan aman yang ada didalam masyarakat. Sedangkan menurut Van Bemmelen pengertian Hukum Acara Pidana adalah Ilmu yang mempelajari bagaimana

1 Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah, 2019, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar

(2)

15

negara menghadapi dugaan terjadinya tindak pidana berdasarkan peraturan

yang telah dibuat oleh negara, yaitu sebagai berikut:2

1. Melakukan penyidikan melalui alat yang disiapkan oleh negara; 2. Melakukan penyidikan terhadap pelaku;

3. Mengambil langkah berupa penangkapan atau penahanan bagi pelaku; 4. Mengumpulkan bukti (bewijsmateriaal) setelah penyidikan selesai guna

selanjutnya menghadapkan terdakwa kepada hakim;

5. Hakim menilai apakah perbuatan tersebut terbukti atau tidak untuk kemudian dijatuhi hukuman;

6. Memiliki upaya hukum bagi terdakwa;

7. Menjalankan putusan yang telah dijatuhkan kepada terdakwa.

Berdasarkan pengertian yang dikemukan Van Bemmelen, menurut penulis beliau tidak terlalu jelas membedakan antara penyidikan dan penuntutan karena memandang penyidikan sama dengan lingkung dari penuntutan yang luas. Walaupun demikian penulis sependapat dengan Andi Hamzah yang menyatakan bahwa pengertian ini lebih lengkap karena menjabarkan subtansi dari hukum acara pidana secara ringkas dan padat. Walaupun demikian sebagai pemahaman mengenai pengertian hukum acara pidana terkhusus dalam pelaksaan splitsing penulis menggunakan pengertian yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro karena lebih padat, jelas dan rinci dalam menjelaskan penegakan hukum dan fungsi hukum acara pidana.

2. Asas-asas Hukum Acara Pidana

Didalam KUHAP terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai sarana atau pedomanan bagi penegak hukum dalam menegakan hukum pidana dan perlindungan terhadap hak seseorang dalam sistem peradilan pidana. Asas-asas ini menjadi penting untuk dijelaskan karena penerapan splitsing yang

2 Ibid, hal. 6

(3)

16

merupakan bagian dari proses untuk menjalankan hukum acara pidana sehingga, secara mutatis mutandis proses splitising juga harus berpedoman dan sesuai dengan asas-asas hukum acara pidana. Adapun asas-asas tersebut, yaitu: a) Asas Semua Orang diperlakukan sama di hadapan Hukum ( Equality

Before the Law)

Di dalam KUHAP asas ini tidak termuat secara eksplisit, namun sebuah asas yang tidak bisa terabaiakan dari KUHAP. Adapun mengenai asas ini termuat dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya menyatakan bahwa tidak membedakan seseorang dalam beracra menurut hukum di pengadilan.

Adapun menurut Loebby Loqman (dalam Mien Rukmini: 2003:16) di dalam KUHAP, mengenai equality before the law memiliki arti bahwa setiap warga negara baik itu terasangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan memiliki kedudukan yang sama sebagaimana yang

dikemukakan oleh KUHAP.3

Maka atas hal tersebut penulis menyimpulkan bahwa dihadapan pengadilan siapapun memiliki hak untu di perlakukan sama dan adil tanpa dibeda-bedakan, apabila sebagaimana ditentukan lain di dalam undang-undang. Asas semua orang diperlakukan sama dihadapan hukum ini, menjadi penting untuk dipahami karena berkaitan dengan dengan apa yang

3 Loebby Loqman dalam Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak

Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 5.

(4)

17

akan penulis teliti yakni penerapan splitsing yang dilakukan oleh penuntut umum, dimana saat ini belum adanya standar baku tentang kriteria kapan dan bagaimana dapat dilakukannya splitsing, oleh karena tidak ada, maka terbuka kemungkinan perlakuan penegakan hukum terhadap satu terdakwa dengan terdakwa lainnya berbeda-beda, sesuai dengan selera penegak hukum/penuntut umum, bukan sesuai dengan standar hukum yang memiliki kriteria yang jelas.

b) Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Berbiaya Ringan

Asas ini memiliki tujuan agar dapat memberikan suatu kepastian prosedural bagia setiap tersangka atau terdakwa dalam proses penegakan hukum. Mengenai asas ini sendiri juga telah diatur dalam Surat Ederan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 21

Oktober 1992 dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman.4 Dalam

menegakkan hukum hendaknya dilansanakan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan atau asas contante justitie guna memberi kepastian bagi

terdakwa dalam mencari keadilan.5

Asas ini terakomodir dalam Pasal 4 ayat (2) UU No, 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya menyatakan bahwa bagi para pihak yang mencari keadilan akan dibantu oleh pengadilan untuk

4 Lihat Pasal 4 Ayat (2) UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

5 Ferdinan Loies Haslim. 2019, Skripsi Penerapan Diversi dalam Tahap Penyidikan Terhadap Anak

Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Wilayah Hukum Polresta Barelang, Universitas Internasional Batam, hal. 21

(5)

18

menyelesaikan masalah yang terjadi dengan implementasi peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang ketentuannya termuat dalam KUHAP identik dengan istilah “segera”, atau “dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”. Terkait hal tersebut penulis melihat bahwa penerapan asas ini guna menghindari proses penagakan hukum yang lama sepertihalnya apabila waktu penahanan lama, maka itu juga termasuk dari terlaksananya hak terdawak dalam hak asasi manusia. Kemudian asas inipun menjadi penting untuk dipahami, mengingat dalam penarapan

splitsing proses peradilan menjadi cukup memakan waktu karena

masing-masing terdakwa harus memberikan kesaksian pada terdakwa lain yang perkaranya di splitsing karena kurangnya bukti dan kesaksian atau terkait delik penyertaan.

c) Asas Non Self-Incrimination atau Hak Untuk Ingkar

Asas Non Self Incrimination atau hak untuk ingkar merupakan hak yang dimiliki oleh seorang terdakwa agar tidak memberikan keterangan yang bisa memberatkan atau mengkriminalisasi dirnya sendiri sebagaimana telah diatur dalam Pasal 14 Ayat (3) yang pada intinya setia tersangka atau terdakwa memiliki jaminan agar tidak memberikan yang dipaksakan dan

merugikan dirinya.6

6 Article 14 (3) g International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR): Not to be

(6)

19

Sebagai salah satu negara yang mengambil keputusan untuk meratifikasi kovenan hak sipil dan politik atau ICCPR, maka terdapat kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakan konvenan tersebut. Mengenai asas non self

incrimination sendir secara tidak langsung telah terimplementasi dalam

Pasal 52 KUHAP yaitu tentang mengenai kebebasan tersangka atau

terdakwa dalam memberikan keterangan dalam proses pemeriksaan.7 Untuk

pasal tersebut R.soesilo memberikan pendapat bahwa tersangka atau terdakwa tidak boleh diberikanan paksaan dalam memberikan keterangan.

Asas ini menjadi penting untuk dipahami dalam penilitian penulis karena dengan adanya splitsing menyebabkan terdakwa harus menjadi saksi pada perkara terdakwa yang lain, dimana hal tersebut berpotensi mengkriminalisasi dirinya sendiri yang telah memberikan kesaksian dibawah sumpah. Maka atas hal tersebut perlu diperhatikan kembali hak-hak terdakwa yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

d) Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum Di dalam KUHAP asas ini diatur dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74. Pasal tersebut mengatur mengenai tersangka atau terdakwa untuk dapat menerima bantuan hukum yang sangat luas. Adapun menurut Andi Hamzah

yang dimaksud kebebasan tersebut yakni:8

1. Sejak tertangkap atau ditahan dapat diberikan berupa bantuan hukum; 2. Pada setiap tingkat pemeriksaan dapat diberikan bantuan hukum dengan

memiliki penasihat hukum;

7 Lihat Pasal 52 KUHAP

(7)

20

3. Antara penasihat hukum dan tersangka memiliki privasi agar pembicaraannya tidak diketahui oleh siapapun kecuali yang berkaitan dengan keamanan negara;

4. Untuk kepentingan pembelaan berita acara dapat diberikan;

5. Bentuk komunikasi berupa surat dapat dilakukan antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya.

Pembatasan yang dimaksud hanya berlaku jika penasihat hukum menyalahgunakan hak-haknya. Adapun menurut penulis kebebasan-kebebasan yang dikemukakan hanya ditinjau dari segi yuridisi semata-mata, bukan dari segi politis, sosial dan ekonomi.

e) Praduga Tidak Bersalah (presumption of innocence)

Mengenai asas ini dapat dilihat pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang pada intinya menyatakan bahwa pada setiap tingkat pemeriksaan seorang tersangka atau terdakwa masih diduga melakukan tindak pidana sebelum adanya putusan dari hakim.

Sedangkan menurut Yahya Harahap, setiap orang haruslah diperlakukan berdasarkan dengan hak asasi manusia. Dimana orang tersebut haruslah dipandang sebagai suatu subjek bukanlah objek. Sehingga tindak pidana

yang dilakukanlah yang perlu untuk dijadikan sebuah objek.9 Maka penulis

menyimpulkan bahwa yang setiap orang yang menjadi tersangka atau terdakwa haruslah dianggap masih belum bersalah sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum dan yang dilihat adalah adanya kesalahan pada tindak pidana yang dilakukan.

9 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan

(8)

21

f) Asas Oportunitas

Asas oportunitas adalah suatu kewenangan yang dimiliki oleh penuntut umum agar tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang. Kewenangan yang dimiliki oleh penuntut umum di Indonesia ini sebagai suatu monopoli yang menandakan hanya bisa dilakukan oleh Jaksa Agung. Mengenai ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa:

“Jaksa Agung dapat mengenyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”

Maka atas hal tersebut Jaksa Agung akan mempertanggungjawabkan dilakukannya asas oportunitas tersebut kepada Presiden, yang selanjutnya terkait hal tersebut Presiden mempertanggungjawabkan pula kepada rakyat. g) Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Asas ini merupakan suatu perintah yang memerintahkan agar pada setiap tahapan pemeriksaan, proses peradilan bersifat terbuka untuk umum agar dapat dilihat secara langsung oleh siapapun. Persidangan hanya akan tertutup apabila dalam perkara terbut merupakan perkara kesusilaan atapun

terdakwanya merupakan anak-anak.10

Berdasarkan uraian diatas penulis berpandangan bahwa setiap proses persidangan akan dibuka oleh Hakim bahwa sidang tersebut terbuka untuk umum. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka berdampak pada

10 Lihat Pasal 153 Ayat (3) KUHAP

(9)

22

putusan pengadilan yang akan batal demi hukum kecuali kasus itu

kesusilaan atau dilakukan oleh anak-anak.11

h) Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Ketentuan mengenai pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHAP. Secara langsung disini diartikan sebagai suatu pemerikasaan oleh hakim langsung kepada tersangka atau terdakwa jika tidak terbatas oleh keadaan, karena mulai 2020 diadakan sidang online karena adanya pandemic sehingga harus melalui perantara berupa alat komunikasi. Namun untuk perkara perdata dapat diwakili oleh seseorang yang telah diberikan kuasa. Kemudian untuk secara lisan artinya pemeriksaan antara hakim dengan terdakwa dilakukan secara lisan bukan tertulis.

Maka menurut penulis asas ini merupakan bentuk dari transparansi proses peradilan pidana guna menimbulkan kepercayaan dan juga efektivitas penanganan suatu perkara.

Atas berbagasi asas-asas yang ada dalam Hukum Acara Pidana, penulis menggarisbawahi bahwa terdapat dua asas yang berpotensi terabaikan dalam penerapan splitsing ini yaitu Asas contante justitie atau peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan dan Asas non self-incrimination atau hak terdakwa untuk tidak tidak memberi keterangan yang memberatkan dirinya sendiri.

11 Lihat Pasal 153 Ayat (4) KUHAP

(10)

23

3. Hak-hak Terdakwa dalam Hukum Acara Pidana

Hak adalah suatu hal yang sifatnya kodrati dan melekat pada diri manusia sebagai bentuk dari makhluk ciptaan Tuhan. Meijers menyatakan bahwa hak itu sangat erat kaitannya pada seseorang manusia baik secara

fisik dan juga eksitensinya.12 Kemudian Peter Mahmud Marzuki

menanggapi pendapat Meijers dengan mengemukakan bahwa apa yang menjadi tujuan hak tidak hanya hukum perdata tetapi juga memuat semua

hukum.13 Untuk ahli hukum di Indonesia yakni Barda Nawawi Arief juga

memberikan pendapat apabila dilihat dari sudut pandang hukum, maka hukum melekat dengan manusia karena berkaitan dengan hak dan kewajiban yang dimana berdasar pada hak asasi manusia.

John Lock memberikan definisi mengenai hak asasi manusia bahwa hak diperoleh secara langsung dari Tuhan tanpa syarat apapun pada manusia. Maka tidak ada hal apapun dimuka bumi ini yang dapat mengambil hak tersebut. Hak begitu mendasar dimiliki bagi setiap dan

dari dalam hidup manusia.14 Adapun berdasarkan pada Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 menyatakan bahwa:

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung

12 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Prenamedia Group, hal.

148

13 Ibid. hal. 148.

14 Tim ICCE UIN Jakarta, 2003, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada

(11)

24

tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Berdasarkan definisi tersebut, penulis berpandangan bahwa HAM adalah suatu hak yang diperoleh setiap manusia dan melekat pada setiap individu yang diberikan oleh Tuhan sehingga tidak ada yang dapat mencabutnya. Kemudian terkait dengan Instrumen HAM hukum internasional diantaranya piagam PBB 1945, deklarasi Universal HAM 1948 , kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan instrumen HAM internasional lainnya. Sedangkan instrument hukum nasional diantaranya piagam PBB 1945, deklarasi Universal HAM 1948, konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Instrumen HAM internasional lainnya.15

Atas apa yang telah diuraikan terkait instrumen-instrumen hukum HAM diatas, penulis menggarisbawahi terkait hal penting yang akan perlu untuk di perhatikan yakni mengenai setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Asas ini disebut juga equality before

the law yang disebut dalam Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D Undang-Undang Dasar

1945. Hal tersebut penting untuk dipahami mengingat dalam pelasanaan

15 M. Syafi’ie, Instrumentasi Hukum Ham, Pembentukan Lembaga Perlindungan Ham di Indonesia

dan Peran mahkamah Konstitusi, Universitas Islam Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012 , hal. 687

(12)

25

hukum acara pidana khususnya splitsing sebagaimana yang dibahas guna mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara dalam proses

peradilan pidana.16

a. Pengertian tentang Terdakwa

Pengertian terdakwa apabila ditinjau secara etimologis sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdakwa merupakan seseorang yang dalam keadaan dituduh ataupun dituntut karena melaksanakan suatu tindak pidana yang didsarkan dengan bukti guna pemerikasaan dalam proses persidangan. Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 15 KUHAP, yaitu:

“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang Pengadilan.”

Adapun menurut J.C.T Simorangkir (dalam Darwan P: 1998: 14-15) Terdakwa adalah individu yang karena perbuatannya diduga melakukan

sebuah tindak pidana yang sedang menjalankan sidang di pengadilan.17

Maka atas apa yang dikemukakan menurut J.C.T Simorangkir tersebut penulis memberi pandangan bahwa terdakwa adalah seseorang yang sedang dihadapkan dimuka pengadilan yang sedang dilakukan pemeriksaan terhadap dirinya.

b. Hak-Hak Terdakwa berdasarkan KUHAP

Adapun hak-hak Terdakwa yang terdapat dalam KUHAP, yaitu:

16 Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Instrumen Nasional Hak Asasi Manusia, Universitas Islam

Indonesia, Yogyakarta, hal. 304

17 J.C.T Simorangkir dalam Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta,

(13)

26 1) Pasal 50 Ayat (3) KUHAP:

Pasal ini pada intinya menyatakan bahwa terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan. Sehingga apabila sudah menjadi terdakwa maka harus segara diadili dimuka pengadilan guna menjamin kepastian hukum bagi terdakwa.

2) Pasal 51 huruf b KUHAP:

Pasal ini pada intinya menyatakan bahwa terdakwa harus sesegera mungkin untuk dijelaskan dengan mudah dipahami mengenai apa yang sedang didakwakan kepada dirinya.

3) Pasal 52 KUHAP:

Pasal ini memiliki maksud agar pada setiap tingkat pemeriksaan seorang terdakwa memiliki hak untuk menginformasikan keterangan secara bebas tanpa tekanan kepada penegak hukum. 4) Pasal 53 KUHAP

Pasal ini memiliki maksud agar setiap orang menjadi terdakwa berhak untuk mendapatkan bantuan dari translator apabila tidak paham bahasa yang digunakan dalam pemeriksaan.

5) Pasal 54 KUHAP:

Semua orang yang berhadapan dengan hukum memiliki hak untuk menerima bantuan hukum oleh penasihat hukum dalam setiap tingkat proses pemeriksaan untuk pembelaan.

(14)

27 6) Pasal 57 ayat (2) KUHAP:

Pada pasal ini memberikan suatu hak kepada pelaku tindak pidana warga negara asing dengan mengizinkannya untuk berkomunikasi dengan perwakilan negaranya untuk memperoleh informasi dan bantuan secara administratif.

7) Pasal 58 KUHAP:

Pasal ini memberikan sebuah kemudahan seorang tersangka atau terdakwa untuk jaminan kesehatan karena diperbolehkan untuk dikunjungi oleh seorang dokter apabila merasa sedang sakit ataupun

berkonsultasi.18

8) Pasal 61 KUHAP:

Setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk mendapatkan kunjungan dari keluarga atau kerabat selama

dilakukan penahana guna kepentingan pemeriksaan.19

9) Pasal 65 KUHAP:

Pasal ini mengisyaratakan bahwa setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk menghadirkan seorang saksi dan ahli yang dapat membantu atau meringankan kasus yang sedang dialami.

10) Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

18 Lihat Pasal 58 KUHAP

(15)

28

Pasal ini hadir sebagai sebuah bentuk penghormatan hak setiap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana untuk tidak dianggap bersalah selama belum mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

11) Pasal 37 Undang-Undang Perubahan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam pasal ini memberikan terdakwa hak berupa menunjukkan bahwa tidak melakukan suatu tindak pidana khususnya korupsi yang dimana dikenal sebagai pembuktian terbalik. Dimana hak-hak terdakwa tetap harus terpenuhi dengan perlindungan hukum sebagaimana hak mendasar berupa asas

presumption of innocence dan terkait dengan asas on self-incrimination.20

B. Tinjauan Pemisahan Berkas Perkara Pidana (Splitsing) 1. Pengertian Pemisahan Berkas Perkara Pidana (Splitsing)

Menurut M. Yahya Harahap yang dimaksud dengan berkas perkara yaitu sebuah hasil penyidikan berupa berita acara perkara dan lampiran

lainnya.21 Berdasarkan pengertian tersebut penulis memberikan definisi

berkas perkara merupakan berkas yang berisikan berita acara, bukti atau lampiran mengenai suatu perkara guna diserahkan kepada penuntut umum.

20 Lihat Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

(16)

29

Adapun pengertian pemisahan berkas perkara pidana atau Splitsing menurut Wirjono Prodjodikoro (dalam Djoko P: 1988: 111) yaitu:

”pemecahan perkara terjadi karena adanya satu berkas perkara yang memuat lebih dari satu tindak pidana dan juga pelaku yang terdiri lebih dari satu orang disertai tidak memenuhi adanya syarat dari penggabungan berkas perkara sehingga penuntut umum harus melakukan pemisahan berkas

perkara pidana atau splitsing”22

Dalam pengertiannya tersebut menurut penulis Wirjono Prodjodikoro menekankan bahwa splitsing dapat dilakukan apabila dilakukan lebih dari seorang dan tidak termasuk dalam ketentuan penggabungan perkara. Namun atas ketentuan tersebut penulis masih merasa untuk pengertian tersebut masih hanya secara umum saja belum dijabarkan secara konkrit apa saja alasan untuk dapat dilakukan splitsing.

Sedangkan splitsing menurut Menurut Achmad S Soemadiprodja, yaitu apabila perkara yang diterima oleh penuntut umum hanya berkas perkara sedangkan perkara tersebut terdapat beberapa tindak pidana makan

disarankan agar dikembalikan agar dilakukan pemisahan berkas.23 Dari

pengertian ini penulis juga masih melihat pengertian yang di kemukakan oleh Achmas S Soemadiprodja masih sebatas pada tataran umumnya saja dan hanya menjelaskan mengenai dapat dipisahnya satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara atau di split.

Maka atas pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa pemisahan berkas perkara pidana atau splitsing merupakan suatu kewenangan yang ada pada jaksa penuntut umum dimana perkara tersebut

22 Wirjono Prodjodikoro dalam Djoko Prakoso, 1988, Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing),

Yogyakarta, Liberty, hal. 111

(17)

30

terdiri dari beberapa orang tersangka dan terdiri dari beberapa tindak pidana yang merupakan kebalikan dari ketentuan penggabungan perkara, dalam hal ini guna kepentingan penuntutan. Oleh karena itu, pengertian mengenai

splitsing ini menjadi penting guna memberikan pemahaman mengenai

hakekat dari splitsing itu sendiri.

Kemudian Menurut M. Yahya Harahap, alasan dilakukannya splitsing karena adanya faktor berupa pelaku yang lebih dari satu orang sehinggan penuntut umum dapat melakukan splitsing sesuai dengan kepentingan

penuntutannya, adapun ciri-cirinya sebagai berikut:24

a. Penuntut umum akan memisah berkas perkara menjadi beberapa berkas;

b. Adanya pemisahan berkas karena tersangka yang ada beberapa orang dan akan dibuatkan masing-masing dakwaan secara tersendiri;

c. Dalam proses pemeriksaan, masing-masing terdakwa yang berkas perkaranya telah dipisah maka akan dalam persidangan yang berbeda pula;

d. Pemecahan perkara sering dilakukan karena perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian.

Atas ciri-ciri splitsing yang telah dijelaskan diatas, penulis menyimpulkan bahwa splitsing merupakan kebijakan penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum guna kepentingan pemeriksaan sehingga mengharuskan penuntut umum memisah perkara tersebut, seperti halnya kurangnya saksi yang dapat memperkuat dakwaan penuntut umum, bedanya klasifikasi usia pelaku tindak pidana seperti pelaku anak yang berhadapan dengan hukum yang harus dipisah dengan perkara orang dewasa dll. Yang

24 Ibid, hal. 442

(18)

31

mana akibat adanya splitsing ini mengharuskan adanya pemeriksaan kembali baik terhadap saksi maupun tersangka.

2. Ketentuan Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing) dalam KUHAP Ketentuan mengenai splitsing diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah”

Berdasarkan ketentuan Pasal 142 KUHAP tersebut, maka dapat ditarik suatu unsur pokok untuk dapat melakukan splitsing yaitu memperoleh satu berkas perkara dari penyidik dan perkara tersebut terdiri dari beberapa tindak pidana dan dijalankan oleh lebih dari seorang. Ketentuan tersebut merupakan kebalikan ketentuan penggabungan perkara pidana atau Voeging pada Pasal 141 KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:

a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;

b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.”

(19)

32

Dalam penjelasan Pasal 141 huruf b KUHAP yang dimaksud dengan "tindak pidana yang dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:

1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;

2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda,akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;

3. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat digunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan,karena tindak pidana lain.

Atas ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa Pasal 141 huruf b KUHAP yaitu terdapat hubungan satu sama lain mengenai tindak pidana terkait yang didasarkan pada Pasal 55 dan

56 KUHP.25 Walaupun demikian penulis masih melihat baik itu voeging

atau splitsing ini masih belum memiliki kriteria yang baku karena pada akhirnya keduanya masih didasarkan pada kepentingan penuntuutan semata yang melekat pada hak subyektif penuntut umum.

3. Tugas dan Wewenang Jaksa sebagai Penuntut Umum

Mengenai penelitian berkas perkara dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum setelah menerima berkas perkara dari penyedik. Adapun Pengertian mengenai Jaksa dan Penuntut umum tertuang dalam Pasal 1 Angka 6 huruf a dan b KUHAP, yang dimana secara khusus juga tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan sebagai berikut:

25 Fadli Satrianto, 2014, (Skripsi) Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing) dalam Perkara Pidana

(20)

33

1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Penuntut umum memiliki fungsi sebagai seseorang yang melakukan penuntutan dan juga menentukan pasal mana yang akan dikenakan bagi tersangka untuk selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan yang berwenang. Walaupun di dalam KUHAP, terkait dengan wewenang Jaksa tidak memiliki ketentuan yang pasti,dimana hanya terkait wewenang dari penuntut umum. Karena antara Jaksa dan Penuntut umum yang memang memiliki pengertia berbeda, dimana Jaksa terkait dengan jabatan sedangkan Penuntut Umum terkait dengan fungsi.

Didalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tidak dengan tegas menyatakan jika penuntut umum dapat melakukan splitsing, namun karena Undang-undang ini bersifat terbuka maka dapat melihat pada ketentuan lain, dimana KUHAP lah yang mengatur kewangan melakukan penggabunga

(voeging) atau pemisahan (splitising).26 Pemahaman mengenai ketentuan

tersebut menjadi penting, mengingat dalam proses prapenuntutan terjalin koordinasi antara penyidik dengan jaksa guna melengkapi berkas perkara agar bisa dilanjutkan pada tahapan penuntutan, yang salah satunya terkait dengan petunjuk pemisahan berkas perkara atau splitsing.

C. Teori Kepastian Hukum

26 Ibid, hal. 54

(21)

34

Kepastian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berartikan perihal keadaan pasti, ketentuan dan ketetapan. Sedangkan untuk definisi hukum sendiri menurut Soeroso, sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat karena berbagai cara pandang baik itu ahli hukum maupun masyarakat umum. Secara umum, penulis mendefiniskan hukum sebagai suatu peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang guna kepentingan rakyat, bersifat memaksa dan memiliki sanksi.

Dalam paham negara hukum, dapat dikatakan bahwa kepastian hukum adalah salah satu element utama. Mengenai negara hukum Scheltema,

memberikan unsur-unsur dengan 5 (lima) hal sebagai berikut: 27

1. Menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia sebagai sesuatu yang melekat pada diri manusia (human dignity).

2. Terjaminnya kepastian hukum dalam sebuah negara yang dikenal sebagai negara hukum agar masyarakat memiliki suatu ketentuan yang baku. Dinamika masyarakat dalam kehidupan bersifat ‘predictable’ dimana terkandung asas-asas sebagai berikut:

a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;

b. Segala tindakan pemerintah diatur dalam perundang-undangan;

c. Aadanya asas non-retroaktif yaitu dimana ketentuan

perundang-undngan telah diumumkan kepada masyarakat;

27 Bernard. Arief Sidharta, 2004, Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, dalam Jentera (Jurnal

Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004, hal.124-125

(22)

35

d. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi;

e. Asas non-liquet menegaskan walaupun ada perkara yang belum

memiliki peraturan seorang hakim tidaklah menolak perkara tersebut;

f. Segala bentuk hak seorang warga negara harus telah pernah diatur dan

juga dijamin dapat dilindungi dalam undang-undang atau UUD. 3. Berlakunya Persamaa yaitu dengan tidak di benarkannya suatu perlakuan

yang berbeda pada individu atau kelompok tertentu karena adanya jaminan diperlakukan secara sama;

4. Asas demokrasi yaitu suatu hak yang dimiliki oleh setiap warga negera untuk dapat bergabung dalam pemerintahan.;

Mengapa kepastian hukum penting dalam kaitannya dengan the rule of law, karena kepastian hukum adalam pilar utama untuk menopang terwujudnya element-element lain yang terkandung dalam the rule of law. Element lain seperti pemenuhan terhadap HAM, peradilan administrasi, hingga adanya pemisahan kekuasaan dan kehakiman yang merdeka, seluruhnya ditopang dan dilaksanakan produk hukum, dan dalam produk hukum itu harus ada kepastian baik yang sifatnya adalah norma, sistem, hingga konsep yang dibangun dalam produk hukum tersebut.

Secara etimologis kepastian merupakan suatu kata yang berasal dari adalah kata yang didasari dari kata “pasti” yang dapat diartikan tidak bisa diubah, tentu

(23)

36

atau sudah tetap.28 Gustav Radbruch menyatakan bahwa dalam hukum kepastian

hukum merupakan hal yang fundamental bahwa hukum haruslah positif dan juga

dilakukan dengan pasti serta ditaati.29 Kemudian ada terdapat tiga dasar hukum

yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang juga telah banyak ditinjau oleh

pakar hukum.30 Adapun pengertian kepastian hukum dari Gustav Radbruch

adalah adanya kepastian dari hukum yang dimaksud itu sendiri yang dalam hal ini ada empat faktor yang berhubungan dengan kepastian hukum, yaitu:

a. Berupa perundang-undangan yang bersifat positif (gesetzliches Recht); b. Didasarkan dengan fakta (Tatsachen) bukan tentang bagaimana penilaian

hakim;

c. Fakta harus dijelaskan dengan benar agar tidak menimbulkan kekeliruan untuk dipahami disertai mudah untuk dijalankan;

d. Berupa hukum positif sehingga tidak mudah untuk diubah-ubah.31

Atas hal tersebut penulis berpendapat bahwa kepastian hukum sangat erat kaitannya aliran positivism dimana letak pasti itu bermuara dari jelas tidaknya suatu norma yang dibuat sehingga menimbulkan keteraturan di dalam masyarakat. Dengan adanya kepastian hukum maka segala bentuk perbuatan yang dilakukan seseorang dapat terjamin dan tau apa yang bisa dan tidak untuk

dilakukan.32

Berdasarkan atas pengertian-pengertian yang telah dikemukaan mengenai kepastian hukum, penulis akan memfokuskan pada pengertian yang

28 W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka,

hal.847

29 O.Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, (Salatiga, Griya Media, 2011) hlm. 33-34. 30 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence)

Termasuk Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hal. 288

31 Ibid, hlm 292-293

32 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengntar Ilmu Hukum edisi revisi, Jakarta, Kencana Prenada

(24)

37

dikemukaan oleh Gustav Radbuch yang pada intinya menyatakan bahwa kepastian hukum berkaitan dengan norma yang jelas, berupa peraturan perundang-undanga dan tidak dapat diubah-ubah sehingga dapat memberikan suatu kepastian pada penerapan hukum. Maka nantinya akan penulis kolaborasikan pemahaman kepastian hukum ini dengan ketentuan penerapan

splitsing yang akan ditinjau dari kepastian hukum. Lebih lanjut akan penulis

perkuat dengan indikator kepastian hukum dalam putusan MK No. 2/PUU-VII/2009, antara lain meliputi: (i) kepastian hukum, yang mengandung asas legalitas, prediktibilitas dan transparansi, (ii) perlakuan yang sama, dan (iii) pemerintahan yang menghormati hak-hak individu.

Mengenai tujuan hukum sendiri yang paling dekat dengan kenyataanya yang terjadi yakni kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Dimana untuk kepastian hukum identic dengan kaum positvisme, sedangkan untuk kemanfaatan hukum identik dengan kaum fungsionalis yang berpandangan bahwa yang mengandung arti bahwa benar hukum sesuatu yang keras sehingga hanya keadilanlah yang dapat menolong. Meskipun demikian tujuan hukan hanyalah keadilan dari hukum namun baik kepastian hukum dan kemanfaatan

hukum juga harus terpenuhi karena akan bermuara pada keadilan itu sendiri.33

Teori kepastian hukum lahir dari aliran Yuridis-Dogmatik yang dalam hukum dianut oleh para positivistis dengan meilihat hukum sebagai suatu hal yang otonom sehingga hanya berupa peraturan tertulis yang perlu untuk di taati.

33 Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: memahami dan memahami hukum, Yogyakarta,

(25)

38

Aliran ini dipandang para penganutnya sebagai suatu hal yang memberi jaminan kepastian hukum. Dengan sifat dari kepastian hukum yang umum, maka hal tersebut menandakan bahwa sifat itu bukan untuk menciptakan keadilan dan

kemanfaatan melainkan hanya demi kepastian hukum.34

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan, menjadi penting untuk dipahami dalam penelitian ini mengingat penulis menemukan suatu permasalah terkait kepastian norma dalam penerapan splitisng. Permasalahan tersebut terkait bagaimana seorang penuntut umum melakukan splitsing yang dalam praktiknya kerap kali dilakukan sebatas pada kepentingan penuntutan sehingga menjadi hak subyektif yang melekat pada penuntut umum.

34 Achmad Ali, Op.Cit., hal. 82-83

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi belajar matematika melalui model pembelajaran kooperatif Jigsaw pada siswa kelas VIII A MTs Al Jauhar Semin Kabupaten

Tanggal dan hari sesuai jadwal yaitu 02 September 2013 pukul 09:00 s/d 14:00 dengan membawa dokumen asli perusahaan beserta copynya sesuai dengan data yang telah diinput pada

Buku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengajaran sejarah di sekolah, karena inti pokok yang dibicarakannya ialah tentang epistemologi sejarah, yaitu suatu perdebatan

[r]

Bagaimana penerapan Jaringan Syaraf Tiruan dalam mengestimasikan kebutuhan pelengkapan kantor untuk barang tidak habis pakai pada setiap ruangan kantor Dinas Kebudayaan dan

Komposisi Pegawai Pusbindiklat Peneliti LIPI pada Desember 2015 Berdasarkan Bidang/Bagian dan Tingkat

Dengan menggunakan aturan notasi kendall, didapatkan kesimpulan bahwa sistem antrian kapal pada dermaga Berlian saat ini menggunakan model antrian ( ) ( )

[r]