• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Penelitian ini berawal dari ketertarikan peneliti terhadap proses. pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta di Kraton Ngayogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Penelitian ini berawal dari ketertarikan peneliti terhadap proses. pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta di Kraton Ngayogyakarta"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Penelitian

Penelitian ini berawal dari ketertarikan peneliti terhadap proses pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Secara ringkas, peneliti yang berprofesi sebagai dosen tari di Fakultas Musik dan Seni Pertunjukan, Universiti Pendidikan Sultan Idris Malaysia. Pemerintah Malaysia mendukung peneliti secara moral dan spiritual terkait dengan penelitian tentang aspek proses pewarisan tari dan aspek tari dalam pendidikan nonformal di Kota Yogyakarta, Indonesia. Peneliti yang berasal dari Malaysia mengadakan penelitian tentang kebudayaan Indonesia dan tentunya berhadapan dengan rintangan dan tantangan yang menarik sekaligus berat, apalagi untuk menggali lebih dalam kedua aspek tersebut, dengan tari klasik gaya Yogyakarta sebagai landasan utama kajian di dalam penelitian ini.

Dalam karyanya Dance in a world of change: Reflection on Globalization and Cultural Difference, Sherry B. Shapiro membahas perubahan tari dari perspektif pedagogi tari, tari dengan tubuh, tari dan pertunjukan, dan budaya sehingga terjadi beberapa dimensi baru

(2)

2

pada pengaruh pengembangan tari di dalam sebuah komunitas

global.1 Fenomena yang dibahas oleh Sherry B. Shapiro sebenarnya

berlaku pada semua genre tari di dunia, termasuk tari istana Melayu di Malaysia. Hal ini berkaitan dengan sejarah tari istana Melayu di Malaysia yang awalnya dimiliki oleh institusi (istana), dan karena terjadinya beberapa perubahan dari zaman ke zaman, perkembangan tari ini perlu dipertahankan oleh beberapa komunitas tertentu pada

masa sekarang. Tentang keberadaan tari istana Melayu2 di Malaysia,

Mohd Anis Bin Md Nor berpendapat sebagai berikut.

Court dance in Malaysia today are no longer performed in the palaces or the royal households. Court patronage on the classical dances ceased when rulers and courtiers were no longer able to support groups of dancers and musicians due to financial constraints, change of rulers, and shifts in the power base. Court dance traditions are either performed by cultural groups which are sponsored by the state government or performed by profesional dance groups.3

Pendapat Mohd Anis tersebut mempertegas bahwa tari Istana Melayu di Malaysia mengalami kemunduran. Dapat dikatakan

1 Periksa Sherry B. Shapiro, “Preface,” dalam Sherry B. Shapiro, ed.,

Dance in a World of Change: Reflections on Globalization and Cultural Difference

(New York: Human Kinetics, 2008), vii-viii.

2 Definisi tari istana Melayu di Malaysia ialah jenis-jenis tari yang dibuat

pada upacara tertentu di kalangan raja-raja Melayu baik berbentuk pertunjukan resmi maupun acara keramaian. Struktur dan bentuk tari ini biasanya sangat tertib dan sopan untuk memperlihatkan lemah gemulainya jenis tari itu di hadapan Raja dan orang kenamaan. Contoh beberapa seni tari istana Melayu di Malaysia ialah tari Asyik dari negeri Kelantan dan tari Joget Gamelan dari negeri Pahang dan Terengganu.

3 Periksa Mohd Anis Md Nor, “Malaysia Dances,” dalam Zainal Abidin

Tinggal, ed., The Dance of Asean (Brunei Darussalam: ASEAN Committee on Culture Information, 1998), 97.

(3)

3

penyebab kemunduran adalah faktor ekonomi, politik, sosial budaya dan kurangnya perhatian dari pihak yang berwenang untuk melestarikan kesenian ini di istana. Namun demikian, tidak berarti bahwa tari istana Melayu tidak dapat diterima atau tidak mendapat perhatian dari masyarakat Malaysia.

Atas kesadaran kemunduran, hadirlah komunitas-komunitas tari yang bertujuan melestarikan tari Istana Melayu di Malaysia. Selain itu, pemerintah Malaysia sepenuhnya memberikan perhatian dan dukungan terhadap komunitas ini melalui bantuan dana dan strategi mempromosikan tari Istana Melayu tersebut agar dikenali masyarakat luas. Pemerintah Malaysia memberikan strategi dan dana yang cukup besar, namun demikian selaku pemilik tari yaitu pihak istana sendiri tidak ada keinginan untuk melestarikan tari Istana Melayu dalam bentuk proses pewarisan pada generasi yang berada di lingkungan istana, keluarga, dan kerabat maupun pada masyarakat umum Malaysia.

Terkait dengan pencarian sebuah institusi dan lembaga yang mempunyai proses pewarisan tari klasik yang tetap eksis sampai sekarang, peneliti tertarik pada fenomena tari Klasik Gaya Yogyakarta yang berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Oleh karena itu, peneliti mengikuti perkuliahan S-3 pada Program Studi

(4)

4

Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada. Kehadiran peneliti di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dan kota budaya sangat penting karena peneliti dapat langsung melihat sendiri Kraton Yogyakarta dan Sanggar-sanggar tari Klasik Gaya Yogyakarta yang masih melestarikan nilai-nilai tradisi sosio kultural budaya Jawa dari aspek material maupun

non-material. Perlambangan terhadap nilai-nilai budaya Jawa

mencerminkan institusi kekerabatan Kraton Yogyakarta sebagai pusat pengembangan keagamaan, filsafat, dan kebudayaan. Kekayaan Kraton Yogyakarta dengan kepemilikan adat, kepercayaan, acara seni pertunjukan dan upacara ritual mencerminkan nilai-nilai yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta secara khusus dan bangsa Indonesia secara umumnya.

Kemunculan ciri kebudayaan daerah setempat yang di dalamnya penuh dengan penghayatan masyarakat tidak hanya menjadi salah satu aspek positif pengembangan budaya Indonesia, tetapi juga dapat digunakan sebagai acuan pengembangan kebudayaan di tempat lain. Kontribusi ini merupakan sumbangan yang positif dari Kraton Yogyakarta terhadap penyebaran nilai-nilai tradisi dan kebudayaan dari zaman ke zaman.

(5)

5

budaya yang masih kuat sebagai penjaga kesinambungan tradisi dalam seni pertunjukan dan upacara ritual. Hal ini menjadikan Kraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa-Yogyakarta yang masih memelihara aspek adat dan tradisi. Dalam seni pertunjukan, tradisi tari klasik tumbuh di kalangan istana, baik di istana Yogyakarta maupun Surakarta. Hal ini telah memunculkan dua gaya tari, yaitu gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta. Munculnya kedua gaya ini disebabkan oleh berlakunya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Meskipun terjadi perpecahan dua gaya ini, pengembangan kesenian Kraton masing-masing tetap dilakukan hingga sekarang. Tari klasik di Kraton Yogyakarta berfungsi sebagai upacara peringatan, penobatan raja, menjamu penjabat pemerintah, tamu mancanegara, dan lain-lain. Selain itu setiap hari Minggu diadakan pertunjukan untuk wisatawan. Jelaslah peranan Kraton Yogyakarta sebagai lambang keagungan budaya Jawa tetap mempertahankan keberadaan tari sangat penting. Meskipun eksistensi Kraton Yogyakarta dan Surakarta pada zaman kemerdekaan sedikit kabur, tari klasik kedua gaya itu dapat menjadi simbol identitas masyarakat Jawa hingga kini.

(6)

6

Tari Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) adalah bentuk kesenian yang menggunakan ekspresi tubuh sebagai penunjang utama melahirkan penyampaian bentuk gerak dan gaya yang beragam dan khas. Bentuk dan gaya tari itu disampaikan dengan menggunakan keragaman interpretasi dalam upacara ritual maupun untuk menggambarkan identitias masyarakat. Gabungan tari yang menggunakan elemen ekspresi gerak dengan pembawaan gaya tersendiri dan sekaligus bunyi-bunyian atau alunan musik adalah ciri khas untuk mewujudkan sebuah pertunjukan tari. Hal ini merupakan ekspresi jiwa yang disampaikan melalui irama gerakan serta keindahan tari yang saling berkait dan membawa nilai tingkat

budaya masyarakat yang menghasilkannya.4

Fenomena tersebut menggambarkan partisipasi pelaku yang memproduksi pertunjukan tari merupakan usaha mengejawantahkan perasaan, pemikiran dan harapan yaitu daya berkomunikasi dengan

penonton dengan tujuan agar penonton terhibur pada pertunjukan

tari yang ditampilkan.5 Efek ini memberikan rasa kepuasan,

kesempurnaan, kenyamanan, yaitu tingkat apresiasi sehingga dapat

4 Periksa Siti Zainon Ismail, “Seni Gerak”, dalam Anwar Din (ed.), Asas

Kebudayaan dan Kesenian Melayu (Malaysia: Penerbit Universiti Kebangsaan

Malaysia, 2007), 159.

5 Periksa Rahmah Bujang dan Nor Azlin Hamidon, Kesenian Melayu (Kuala

(7)

7

merasakan bahwa pertunjukan tari bisa mencapai kualitas nilai seni yang sempurna.

TKGY ternyata memiliki peran yang unik dalam kehidupan masyarakat dengan menampilkan upaya pengembangan manusia seutuhnya. Hal ini didasari keyakinan bahwa pada dasarnya manusia dapat memenuhi rasa keindahan untuk diinterpretasikan dalam berbagai medium seni, tidak hanya dari segi pengkajian maupun pertunjukan. Pengembangannya menjadi penting terhadap dasar manusia yang mampu membudaya dalam bentuk refleksi dari jiwa berhubungan dengan nilai-nilai dan fungsi kehidupan itu

sendiri. Pengolahan tubuh ketika menari tidak hanya bersifat fisik,

tetapi mencerminkan intuisi dan keinginan untuk menyampaikan jiwa dari keinginan masyarakat sehingga tari klasik gaya Yogyakarta yang kelihatan dari proses pewarisan untuk pelestarian dari generasi ke generasi berikutnya.

Perubahan waktu di era Orde Baru dan globalisasi tidak memperlihatkan kekurangan pergelaran tari serta pertunjukan wayang wong, kesenian ini masih aktif dan tetap dipentaskan dengan bersemangat di sanggar-sanggar tari klasik yang terdapat di kota Yogyakarta. Dengan menelusuri sejarah tari Jawa sampai sebelum Kemerdekaan, diketahui ada dua tari tradisional, yakni (1)

(8)

8

tari klasik dan (2) tari rakyat. Tari klasik tumbuh di kalangan istana Yogyakarta dan Surakarta. Tari Istana yang disebut seni adiluhung dinikmati oleh kaum ningrat/bangsawan, dan kemudian berkembang ke luar istana sehingga masyarakat luas berkesempatan menikmati dan mempelajarinya. Sultan Hamengku Buwono VII mengizinkan masyarakat luar Kraton untuk belajar tari istana, tetapi kegiatannya dilakukan di luar tembok Kraton. Pada tahun 1918 berdirilah organisasi tari Krida Beksa Wirama yang dipelopori oleh dua putera

Sultan, yaitu Pangeran Tedjokusuma dan Pangeran Suryodiningrat.6

Pada masa perang kemerdekaan kegiatan kesenian di Kraton Yogyakarta terhenti. Pada tahun 1951, untuk mengembangkan kesenian Kraton, Sultan memindahkan kegiatan kesenian ke Ndalem Purwadiningratan. Hal ini dimaksudkan untuk menampung para peminat tari dan kerawitan di luar Kraton. Perkembangan berikutnya muncul beberapa organisasi tari lainnya. Salah seorang informan asal Yogyakarta adalah penari yang juga putera dari penari klasik gaya Yogyakarta yang bernama R. M. Sagitama. Melalui wawancara hari Rabu, 4 April 2012, ia mengatakan seperti berikut.

Sebenarnya terdapat banyak sanggar-sanggar tari yang masih eksis di Yogyakarta antaranya: Irama Citra didirikan tahun (1949), Panguyuban Siswa Among Beksan didirikan tahun

6 Periksa Fred Wibowo, ed., Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta,

(9)

9

(1952), Mardawa Budaya didirikan tahun (1962) dan Pemulangan Beksan Ngayogyakarta didirikan (1976), kemudian pada tahun 1992 kedua organisasi itu bergabung menjadi Yayasan Pemulangan Beksa Sasmita Mardawa (YBPSM) dan Paguyuban Kesenian Surya Kencana (1979). Namun yang masih diiktiraf oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta cuma ada lima yaitu: (1) Yayasan Pemulangan Beksa Sasmita Mardawa pimpinan Ibu Sutiyah, S. Sn., (2) Yayasan Siswa Among Beksa, pimpinan Bapak R. M. Dinusatomo, BA (KRT Pujaningrat), (3) Paguyuban Kesenian Surya Kencana, pimpinan Bapak R. M. Ywandjono, (4) Sanggar Kesenian Irama Tjitra, pimpinan Bapak Drs. Sunardi, dan (5) Paguyuban Retno

Aji Mataram, pimpinan Bapak Sunaryadi, S.St., M.Sn.7

Jika dilihat sanggar-sanggar tersebut dari tahun didirikan, dapat dikatakan bahwa sanggar telah berdiri lama dan masih aktif sampai sekarang. Hal ini memberikan gambaran bahwa terdapatnya nilai fungsional dari berbagai kepentingan untuk dilanjutkan dalam proses pelestarian tari klasik gaya Yogyakarta dari satu generasi ke satu generasi berikutnya dapat diklasifikasikan sebagai bentuk pewarisan tari. Hal ini dapat dilihat bagaimana bentuk tari klasik gaya Yogyakarta mengalami peralihan dari sebuah pertunjukan yang hanya dinikmati oleh kalangan istana hingga terbukanya pemikiran Sultan Hamengku Buwono VII untuk mengizinkan orang-orang dari luar Kraton untuk belajar tari istana yang kegiatannya berlaku di luar tembok Kraton. Hal ini merupakan strategi politik budaya

(10)

10

pemerintah Kraton supaya bentuk tari klasik ini bisa dinikmati oleh kalangan masyarakat umum.

Bentuk pewarisan mengacu pada mekanisme agen

transformasi budaya yang dapat dilihat dari kondisi internal dan eksternal masyarakat serta pendukungnya dan jiwa yang sesuai dengan jiwa generasi berikutnya. Istilah pewarisan didukung oleh kemampuan sumber daya manusia, baik dari pihak pendidik (generasi terdahulu) maupun peserta didik (generasi penerus) sehingga membentuk generasi penerus yang mampu memahami kesenian tersebut, serta dapat membantu generasi penerus dalam mengapresiasi seni yang akan diwarisinya (inherent).

Tari istana Melayu di Malaysia atau tari Istana lainnya selain TKGY pada era globalisasi ini pada permukaannya terlihat hanya berfungsi sebagai pertunjukan seremonial raja-raja, baik resmi maupun tidak resmi, sehingga kelihatan kurang memberikan efek yang positif pada eksistensi proses pewarisannya. Institusi dan perkumpulan yang ingin menggelar tari istana Melayu di Malaysia belum dapat dilihat eksis perkembangannya, seperti yang terjadi di Yogyakarta. Walaupun ada komunitas yang dinaungi oleh pemerintah Malaysia di bawah Pelaksanaan Jabatan Kesenian dan Kebudayaan yang ada di setiap daerah, rata-rata perkumpulan ini membawakan

(11)

11

satu paket tari dalam bentuk kolaborasi antara tari istana Melayu dengan tari rakyat sehingga ciri khasnya berkurang. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang serius agar dapat eksis dalam perkembangan zaman yang semakin merambah ke era globalisasi.

Dari segi kemajuan, perkembangan tari istana Melayu di Malaysia sangat berbeda jika dibandingkan dengan perkembangan di Yogyakarta. Beberapa penyebabnya adalah seperti berikut. Pertama kurangnya antuisiasme penonton baik pertunjukan untuk umum, pertunjukan di istana, dan hiburan maupun pertunjukan dalam festival. Peneliti memiliki kesulitan untuk menelusuri bentuk tari istana seperti ini, karena tari istana berkemungkinan masih belum mendapat tempat dalam penyelenggaraan seni pertunjukan di Malaysia. Peneliti berasumsi faktor yang menyebabkan seperti bentuk, struktur musik, dan tari yang perlahan-lahan membuat tari istana Melayu tidak lagi populer di Malaysia.

Hal yang kedua yaitu terlalu banyaknya bentuk tari modern dan tari kreasi baru yang dibuat untuk pertunjukan sehingga tari istana Melayu di Malaysia kehilangan arah tujuannya saat ini. Bentuk-bentuk tari tradisional Melayu dan tari tradisi rakyat telah mengalami perubahan dalam hal musik, tata rias, dan busana yang digunakan. Pertunjukan lebih mengarah pada perubahan yang

(12)

12

sangat cepat dari segi struktur tari dan musik yang digunakan sehingga aliran tari seperti ini menjadi pijakan pada masa sekarang di Malaysia. Penyebab yang ketiga adalah terbatasnya proses pewarisan yang berlangsung di kalangan istana.

Jika ditelusuri, terdapat dua negeri kerajaan yang secara historis dulu memelihara tari istana Melayu di Malaysia, yaitu negeri

Pahang8 dan negeri Kelantan.9 Permasalahan di sini ialah semua tari

istana yang diceritakan di dalam buku sejarah jarang pula dipentaskan di dalam istana. Kemunduran ini nyata terjadi yang berakibat kehilangan akan kebudayaan sehingga untuk itu harus segera ditanggulangi atau dilindungi agar tari istana Melayu di kedua negeri dapat berkembang kembali seperti pada masa kejayaan dahulu. Oleh karena itu, peneliti menjadi tertarik menggali sejauh

8 Pahang adalah negeri terbesar ketiga di Malaysia, setelah Sarawak dan

Sabah. Pahang mempunyai sungai yang besar sehingga membatasi dengan negeri Kelantan di utara, di barat dengan negeri Perak, negeri Selangor dan Negeri Sembilan, di selatan dengan negeri Johor dan di sebelah timur dengan negeri Terengganu dan Laut Cina Selatan. Ibu kota negeri Pahang adalah Kuantan, dan pusat pemerintahan kerajaan di Pekan. Komposisi etnis adalah sekitar 1.000.000 Melayu dan Bumiputra, 233.000 Cina, India 68.500, 13.700 orang lain, dan 68.000 non-warga negara. Joget Gamelan merupakan seni tari klasik yang berkembang di Istana Pekan sekitar 1821-1914 di negeri Pahang.

9 Kelantan terletak di timur laut Semenanjung Malaysia. Ibu kota negeri

Kelantan adalah Kota Baharu. Kelantan berbatasan dengan provinsi Narathiwat negara Thailand di sebelah utara, negeri Terengganu sebelah Tenggara, negeri Perak di sebelah barat dan negeri Pahang di sebalah selatan. Di timur laut Kelantan adalah Laut Cina Selatan. Kelantan adalah negeri agraris dengan sawah subur, desa-desa nelayan dan pantai yang luas. Kelantan merupakan lokasi beberapa penemuan-penemuan arkeologi yang paling kuno di Malaysia, termasuk beberapa pemukiman Aborigin prasejarah. Tari Asyik merupakan seni tari klasik yang sangat terkenal di Kelantan dengan gerakannya yang meniru seekor burung.

(13)

13

mana tari klasik di kota Yogyakarta masih ada sampai sekarang dari aspek melestarikan pewarisan tari klasik.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dapat menjadi wadah terhadap pewarisan seni budaya melalui pengembangan pendidikan tari secara nonformal, khususnya kesenian istana seperti tari dan seni pertunjukan yang lain. Peneliti menjadikan Kraton Yogyakarta sebagai tempat yang tepat untuk melihat bagaimana sebuah tari klasik mampu dilestarikan dan dijaga sebagai warisan untuk generasi berikutnya.

Tari klasik gaya Yogyakarta telah memberi identitas yang kuat di lingkungan budaya dan masyarakat setempat. Kekayaan tari klasik memberi dampak yang berkesan pada perkembangan seni sampai pada daerah yang lebih luas. Setiap daerah di Yogyakarta tidak hanya menampilkan kesenian tradisi tari klasik, tari rakyat maupun tari yang bersifat ritual, tetapi juga menampilkan ciri khas pada setiap daerah. Sehubungan dengan itu, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana tari terutamanya tari istana tetap terjaga dari dahulu hingga sekarang sehingga dapat diwarisi oleh masyarakat yang menginginkan kesenian tersebut untuk diapresiasi.

(14)

14

mengetahui sejauh mana institusi pendidikan tari mempunyai pengaruh terhadap Kraton. Peneliti membutuhkan informasi yang tepat untuk mengetahui sebab dan akibat (cause & effect) dalam mencermati fenomena yang terjadi pada pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Dengan latar belakang peneliti yang berasal dari budaya luar Jawa/Indonesia, peneliti memiliki pandangan berbeda dari para peneliti lokal seperti untuk memahami budaya dan kehidupan masyarakat Jawa di Yogyakarta. Hal ini diharapkan dapat memberi pemahaman baru tentang cakupan penelitian yang dilakukan. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti mencoba untuk mengkaji “Peran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Institusi Pendidikan Tari dalam Proses Pewarisan Tari Klasik Gaya Yogyakarta”. Perkembangan tari klasik yang sering dipentaskan telah menjadi motivasi peneliti untuk mengkaji bagaimana pelestarian pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta itu berkembang pada masa sekarang dan sejauh mana dapat diwariskan. Dengan demikian, penelitian ini mempunyai beberapa masalah penting yang akan dikaji secara mendalam

(15)

15

dengan rumusan masalah seperti berikut.

1) Bagaimana langkah-langkah Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat memelihara keberadaan atau (existence) tari klasik gaya Yogyakarta yang dimilikinya? dan mengapa langkah-langkah tersebut diambil?

2) Bagaimana peran institusi-institusi di luar kraton yang turut

serta dalam proses pewarisan seni tari klasik tersebut? dan mengapa peran itu diambil oleh institusi-institusi tersebut?

3) Apa metode pewarisan seni tari klasik yang dilaksanakan

oleh institusi-institusi tersebut? dan mengapa metode pewarisan itu dipilih?

4) Nilai estetik yang bagaimana sebagai kontribusi

institusi-institusi tersebut di dalam mempertahankan kebudayaan tradisi tari klasik gaya Yogyakarta?

C. Keaslian Penelitian

Secara umum, penelitian tentang warisan dan pewarisan tari klasik di Kraton Yogyakarta sudah pernah ditulis dari berbagai sudut pandang seperti kebudayaan, nilai kultural dan estetika. Tulisan Tati Narawati misalnya, dalam Jurnal Humaniora Volume 21 No. 1 Februari 2009 telah membahas terkait dengan peran pendidikan tari

(16)

16

putri klasik gaya Yogyakarta bagi perempuan dulu dan kini dengan membahas nilai pembelajaran tari ini dari aspek perkembangannya. Selain itu, Majalah Gong edisi 91/VIII/2007 dengan judul keluarga dan pewarisan seni telah memberikan penjelasan sifat kultural yang telah menjadikan proses pewarisan berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Namun begitu, peneliti tidak menemukan hasil penelitian atau buku khusus yang membahas tentang topik yang akan dilakukan. Sehubungan dengan itu, penelitian ini sangat penting dilaksanakan karena memenuhi kriteria yang dipandang representatif dan layak untuk dilakukan, serta orisinalitas “Peran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan institusi pendidikan tari dalam proses pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta” dapat dipertanggungjawabkan.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain untuk:

1. Mengetahui peranan institusi Kraton terhadap pewarisan tari

klasik gaya Yogyakarta di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi pewarisan tari Klasik

(17)

17

3. Mengenal pasti metode pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta di

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Secara umum penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut.

1. Hasil penelitian dapat dijadikan ide dan sumbangan pemikiran dalam pengembangan seni budaya yang berguna sebagai agenda melestarikan tari klasik gaya Yogyakarta.

2. Hasil penelitian dapat menjadi sumber penerbitan kajian ilmiah secara formal yang dapat menjelaskan kepentingan pewarisan guna menjaga dan melestarikan tari klasik gaya Yogyakarta. 3. Hasil penelitian dapat menjadi pijakan bagi peneliti ini untuk

membantu merencanakan implikasi yang berguna serta dapat merealisasikan pembangunan tari istana Melayu di Malaysia.

F. Tinjauan Pustaka

Beberapa kepustakaan yang dikaji berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah seperti berikut:

1. Sejarah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dalam tulisannya berjudul Menelusuri Identitas Kraton Yogyakarta, Djoko Suryo menjelaskan secara historis Kraton Yogyakarta dibangun

(18)

18

oleh Pangeran Mangkubumi atau kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono 1 pada tahun 1755 sebagai hasil Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu

Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.10

Pangeran Mangkubumi berhasil membangun Kratonnya di daerah bekas hutan Beringan wilayah Mataram secara sempurna, yaitu baik dari segi fisik maupun nonfisik dan dilandasi dengan pemikiran filosofis-religius, politis, sosial, ekonomis, dan kultural yang mendalam.

2. Pemikiran Filosofis tentang Perlambangan dan Makna Kraton.

Dalam Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, Suyami menjelaskan secara morfologis „Kraton' terbentuk dari kata „ratu‟ dengan mendapat awalan ka dan akhiran an (ke-ratu-an) yang kemudian luluh menjadi „Kraton/keraton‟.11 Istilah „ratu‟ berarti raja, sedangkan istilah „Kraton‟ berarti „tempat tinggal raja‟. Terdapat dua buah tempat tinggal raja di Yogyakarta yang dikenal dengan sebutan „Kraton Kasultanan‟ dan „Pura

10 Periksa Djoko Suryo, “Menelusuri Identitas Keraton Yogyakarta,” dalam

Sunaryadi, ed., Jurnal Kebudayaan dan Kebenaran (Yogyakarta: Retno Aji Mataram Press, 2002), 12.

11 Periksa Suyami, Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta Refleksi Mithology

(19)

19

Pakualam‟. Kadipaten merupakan tempat tinggal Sultan (Sri Sultan Hamengku Buwono), sedangkan „Pura Pakualam‟ adalah tempat tinggal Paku Alam (Sri Paduka Paku Alam). Kedua istana ini menjadi simbol keberadaan sebuah kota yang mempunyai raja yang menjadi pemangku keagungan spirit budaya Jawa.

3. Kraton sebagai Pusat Kebudayaan.

Dalam buku yang berjudul Kraton Jogja: The History and Cultural Heritage12 dijelaskan bahwa:

The Spirit of Kraton Jogja in the future is to maintain and sustain its heritage virtues and traditions while managing and transforming it self to meet challenges times. The transformation of Kraton Jogja adheres to its vision, mission, and purpose of existence. The vision of Kraton Jogja is to preserve and enhance its cultural virtues based on Al-Quran and Al Hadis, with the purpose of transforming itself to become the world cultural centre reflecting the value Hamengku, Hamangku, and Hamengkoni, which encourages the spirit of patriotism for the social and cultural welfare of its people and the nation13

Pada bagian Epilogue dalam buku tersebut disebutkan bahwa Kraton Yogyakarta mempunyai peranan penting untuk memelihara sebuah spirit di masa depan yaitu untuk memelihara dan mempertahankan keagungan warisan dan tradisi dari waktu ke

12 Periksa Chamamah Soeratno, Michael Vatikiotis, Djoko Suryo, C. Bakdi

Soemanto, GBPH H. Joyokusumo, Y. W. Junardy, Kraton Jogja: The History and

Cultural Heritage (Yogyakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Indonesia

Marketing Association, 2002), vii-viii.

13 Periksa Chammah Soeratno, Michael Vatikiotis, Djoko Suryo, C. Bakdi

(20)

20

waktu. Transformasi Kraton Jogja berdasarkan pada visi, misi, dan tujuannya. Visi Kraton Jogja adalah untuk melestarikan dan mengangkat budaya berdasarkan Al-Quran dan Al Hadis, dengan tujuan mengubah menjadi pusat budaya dunia yang mencerminkan nilai Hamengku, Hamangku, dan Hamengkoni, yang mendorong semangat patriotisme untuk kesejahteraan sosial dan budaya masyarakat dan bangsa. Pentingnya peranan Kraton Yogyakarta untuk mengangkat fungsi institusi istana yang tidak hanya memperlihatkan kemantapan identitas kharisma pemerintahan yang memiliki raja, tetapi juga merupakan pusat kebudayaan untuk melestarikan budaya yang dimilikinya.

4. Pelestarian Kesenian Tari bagi Eksistensi Kraton.

Dalam tulisan Felicia Hughes-Freeland, Komunitas Yang Mewujud, Tradisi Tari dan Perubahan di Jawa dikupas interkoneksi tari, ilmu pengetahuan tari (antropologi), lokalitas (Jawa), dan nasionalisme

(Indonesia).14 Tulisan Felicia menyumbang dua tema terbaru dalam

buku ini yaitu politik tari Jawa (Yogyakarta) dan interpretasi kultural dari gerakan.

14 Periksa Felicia Hughes- Freeland, Komunitas Yang Mewujud, Tradisi Tari

(21)

21

Secara politik, Felicia mengatakan tari Jawa bukan kelanjutan „alami‟ dari suatu tradisi sebelumnya, tetapi selama ini direkonstruksi dengan cara modern yang digarap oleh ide komunitas politik (berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kasultanan tahun 1755 serta ketika Kraton Ngayogyakarta menjadi provinsi di Indonesia). Konteks interpretasi kultural pada gerakan tari Jawa diterangkan begitu luas dengan meneliti hubungan antara gerak tari dan simbolisme politik dengan acuan kepada tari Bedhaya dengan referensi dari sumber lingkungan Kraton baik lisan maupun tulisan. Bedhaya merupakan sebuah tari Kraton yang sangat istimewa karena menjadi kesenangan raja yang menghadirkan estetika yang tinggi dari Kraton.

Tulisan Felicia telah memberikan sumbangan pada antropologi tari dengan memasukkan pertimbangan kultural tentang gerakan perwujudan dari hubungan komunitas yang merepresentasikan politik tari yang berwujud pada pengembangan tari klasik gaya Yogyakarta. Pewujudan ini memperlihatkan perkembangan eksistensi simbolis terhadap pembangunan komunitas ketika tari telah membina sebuah hubungan dengan perubahan sosial dan budaya di kota Yogyakarta dan di Indonesia.

(22)

22

5. Perkembangan Tari Kraton pada Masa Kolonial dan Masa

Kemerdekaan.

Dalam buku yang ditulis oleh Y. Sumandiyo Hadi dengan judul Pasang Surut Tari Klasik Gaya Yogyakarta: Pembentukan-Perkembangan-Mobilitas, terdapat enam periode yang didasarkan pada pengaruh sosial, politik dan ekonomi: (1) Masa Pertumbuhan-Pembentukan yaitu Sultan Hamengku Buwono I (1749-1792); (2) Masa Suram - yaitu Sultan Hamengku Buwono II (1792-1810) dan Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814); (3) Masa Pertumbuhan-Perkembangan - Sultan Hamengku Buwono IV (1814-1822) dan Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855); (4) Masa Perkembangan dan Mobilitas – Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877) dan Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921); (5) Masa Perkembangan Progres – Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939); dan (6) Masa Pemantapan dan Perkembangan - Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988) dan Sultan Hamengku Buwono X (1989 hingga

sekarang).15

Periodisasi yang telah diuraikan oleh Y. Sumandiyo merupakan perjalanan yang cukup panjang tentang keberadaan tari klasik gaya Yogyakarta. Pemerintahan setiap sultan mencoba untuk terus

15 Periksa Y. Sumandiyo Hadi, Pasang Surut Tari Klasik Gaya Yogyakarta.

(23)

23

mengembangkan perkembangan kesenian Kraton dari satu periode ke periode berikutnya meskipun mempunyai banyak rintangan. Tulisan R.M. Soedarsono Masa Gemilang dan Memudar Wayang Wong Gaya Yogyakarta menjelaskan walaupun setiap Sultan yang memerintah mencoba untuk membawa kemegahan yang ada pada kesenian istana ini, tampak kemerosotan terjadi pada pengembangan tari klasik gaya Yogyakarta apabila Sultan Hamengku Buwono VIII wafat pada tahun

1939.16 Terjadinya Perang Dunia II menimbulkan perubahan yang

besar pada politik dunia saat pemerintah Hindu Belanda telah terseret oleh perang besar dengan Jerman sehingga Jepang berhasil menaklukkan Asia, dan menyebabkan istana porak peranda.

Ketika Sultan Hamengku Buwono IX telah menggantikan ayahnya sebagai raja meskipun keadaan istana mempunyai masalah-masalah politik, pergelaran tari dan wayang wong tetap dipentaskan,

tetapi hanya dipentaskan dalam waktu yang lebih singkat.17 Menurut

R.M Soedarsono pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939 merupakan permulaan merosotnya feodalisme di Kasultanan Yogyakarta. Pada zaman feodal, istana menjadi pusat pengembangan

16 Periksa R.M. Soedarsono, Masa Gemilang dan Memudar Wayang Wong

Gaya Yogyakarta. (Yogyakarta: Tarawang Press, 2000), 149.

(24)

24

dan perubahan kebudayaan, tetapi pada masa kemerdekaan, hal

seperti itu tidak berlaku lagi.18

Namun, hal ini tidak berarti bahwa tari klasik gaya Yogyakarta tidak mendapat tempat di kalangan masyarakat Yogyakarta. Menurut Y. Sumandiyo Hadi, munculnya perlembagaan kesenian di luar tembok Kraton telah berkembang sejak pertama kali munculnya organisasi Krida Beksa Wirama pada tahun 1918. Setelah itu, muncul organisasi lain seperti Yayasan Siswa Among Beksa, Irama Citra, Yayasan Pemulangan Beksa Sasmita Mardawa, Paguyuban Kesenian Surya Kencana dan lainnya, serta sejenis perlembagaan pendidikan formal seperti SMKI, ISI Yogyakarta,

Jurusan Pendidikan Tari Universitas Negeri Yogyakarta.19

6. Pewarisan Tari Klasik Gaya Yogyakarta.

Bahan-bahan ilmiah mengenai pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta masih sangat langka penerbitannya. Tulisan tentang pewarisan hanya meliputi warisan budaya seperti artefak, sejarah, museum dan bahan-bahan arkeologi yang lain. Namun, di Indonesia sebuah buku yang ditulis oleh Rohendi R Tjetjep yang diterbitkan pada tahun 2000 yang berjudul Kesenian dalam Pendekatan

18 R.M. Soedarsono, 158. 19 Y. Sumandiyo Hadi, 138.

(25)

25

Kebudayaan memberikan ide yang positif mengenai definisi warisan dengan lebih mendalam lagi. Tulisan tersebut menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan menjelaskan konsep yang berkaitan tentang pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial. Isinya mengandung tatanan pengetahuan atau sistem-sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara

historis.20 Ia mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem

simbol, pemberian makna, dan model kognitif yang merupakan strategi yang diadaptasi untuk melestarikan dan mengembangkan kehidupan dalam menyiasati lingkungan dan sumber daya di sekelilingnya. Proses-proses yang merangkum simbol tersebut memberikan pengetahuan kepada peneliti bahwa pewarisan itu

berlangsung dengan mengikuti aturan tertentu sehingga

pengembangan dalam melestarikan kehidupan yang menjadi sumber daya pewarisan itu dapat dibangun.

Selain itu, hal yang terkait dengan pewarisan dibahas oleh Juju Masunah yang telah melakukan penelitian tentang Tari Topeng Di Desa Astana Kacamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Ia telah menjelaskan bagaimana seorang aktivis topeng, yaitu Ibu Sawitri,

20 Periksa Rohendi, Rohidi Tjetjep, Kesenian dalam Pendekatan

(26)

26

sejak usia 9 tahun hingga pengamatan dilakukan pada tahun 1995, yang pada waktu penelitian itu dilakukan Ibu Sawitri berusia 67 tahun. Sepanjang pengamatan dilakukan, proses pewarisan itu ditulis dengan dasar penceritaan pengalaman hidup oleh Ibu Sawitri itu sendiri. Juju Masunah menyatakan bahwa meskipun tari topeng di Cirebon memiliki perbendaharaan gerak yang sederhana, tari itu agak sulit untuk dikuasai secara menyeluruh karena perlu semangat

yang sangat tinggi.21 Untuk memiliki penguasaan yang maksimum

pada pertunjukan tari topeng itu, pembelajaran dalam jangka waktu yang lama perlu dijalani dan melalui proses pewarisan. Oleh karena itu, Juju Masunah telah menyimpulkan definisi tentang pewarisan tari topeng yaitu suatu proses mengalihkan pengetahuan dan keterampilan tari topeng dari generasi yang lebih tua ke generasi

yang lebih muda dalam lingkungan keluarga.22

Penelitiannya tentang proses pewarisan Tari Topeng Sawitri ditentukan oleh beberapa faktor tradisional yaitu (1) adat istiadat desa, (2) pendukung oleh masyarakat dan lingkungan, (3) kepercayaan setempat, (4) acara tradisi, (5) penyelenggaraan secara

21 Juju Masunah, “Menegakkan Benang Basah? Pewarisan Tari Topeng di

Desa Astana Langgar Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon,” dalam Juju Masunah dan Tati Narawati, Seni dan Pendidikan Seni: Sebuah Bunga Rampai (Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional, Universitas Pendidikan Indonesia, 2003).

(27)

27

informal melalui pengalaman pengamatan pertunjukan, dan (6) mendengarkan dongeng nenek moyang. Semua faktor tersebut merupakan proses pewarisan yang menunjukkan bahwa dukungan terhadap budaya setempat melalui perhatian, pendengaran yang diturunkan dari generasi ke generasi menjadi terpenting agar agenda pewarisan itu dapat diwujudkan. Meskipun terdapat permasalahan tentang tari “Topeng Sawitri” yang mengalami beberapa hambatan untuk pelestarian karena sulit untuk mencari pendukung di lingkungan masyarakat, terdapat beberapa faktor pewarisan yang jelas kelihatan secara formal maupun informal yaitu (1) faktor internal (lingkungan keluarga pendukungnya), (2) faktor eksternal (masyarakat pendukungnya). Antara kedua faktor tersebut memang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pewarisan tari topeng Sawitri agar terus hadir dari zaman ke zaman.

Suatu tulisan yang menyinggung dan mengarah kepada pelestarian pewarisan seni pertunjukan yang dimiliki oleh Kraton Yogyakarta adalah buku karya R. M. Soedarsono yang sangat bermanfaat untuk digunakan dalam penelitian ini. Buku yang berjudul Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Kraton Yogyakarta ini telah memberi sumbangan kepada peneliti, tentang bagaimana seni pertunjukan gaya Yogyakarta terutama wayang wong

(28)

28

menjadi perhatian para sultan sehingga dianggap sebagai pusaka

oleh kalangan Kraton.23 Istilah pusaka yang membawa kepada makna

harta warisan peninggalan, menjadikan institusi istana Yogyakarta unggul dalam pelestarian seni dan budaya. Keunggulan ini terlihat dengan adanya bukti sebuah kelompok organisasi penari Kraton yang dibentuk sekitar pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855) yang melatih penari-penari pria muda untuk mempelajari tari puteri pada pertunjukan wayang wong dengan membawa tari Bedhaya Semang yang keramat sekali.24

Kepesatan pertumbuhan perkumpulan tari memberi pengaruh yang sangat luas sehingga berimplikasi terhadap gerakan

mendemokrasikan atau memasyarakatkan tari dan gamelan istana.25

Perkumpulan yang berpengaruh adalah Kridha Beksa Wirama yang didirikan tahun 1918 oleh Pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Tejakusuma, kakak beradik yang keduanya adalah putera Sultan Hamengku Buwono VII. Kelebihannya di sini yaitu peranan Sultan Hamengku Buwono VII dalam menyediakan hal-hal keuangan dan membekali guru tari dan guru gamelan untuk membina sebuah wayang wong yang prestisius pada waktu itu.

23 R.M. Soedarsono, 31. 24 R.M. Soedarsono, 35. 25 R.M. Soedarsono, 43.

(29)

29

Pada pandangan ini merupakan acuan yang hampir mendekati konsep pewarisan dalam pemikiran Laurajane Smith yaitu

“The duty of the present is to receive and revere what has been passed on and in turn pass inheritance, untouched, to future generation”.26

Hal ini telah memberikan asumsi kepada peneliti bahwa pewarisan tari itu berlangsung di lingkungan Kraton Yogyakarta dari suatu tahap ke tahap yang lain. Hal ini dapat dilihat melalui masa pemerintahan yang jelas memperlihatkan Kraton sebagai institusi terpenting dalam melestarikan pewarisan seni dan budaya yang telah dipakai oleh generasi dahulu, dan dapat juga digunakan oleh generasi akan datang.

Laurajane Smith mengatakan bahwa sistem politik merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pewarisan. Dapat dibuktikan di sini ketika pengaruh Belanda menaklukkan kerajaan di Jawa Tengah, Kasultanan Yogyakarta pimpinan Sultan Hamengku Buana VIII dan Kasunanan Surakarta oleh Sunan Paku Buwono X berusaha mengalihkan pemasungan politis, judisial, dan keamanan

dengan mencanggihkan budaya istana.27 Ternyata faktor politik turut

memainkan peran dalam proses pewarisan. Hal ini dapat dilihat

26 Periksa Laurajane Smith, Uses Of Heritage (New York: Routledge, 2006),

19.

27 Periksa R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial

(30)

30

melalui kekuasaan sultan yang melakukan modifikasi intelektual seni dan budaya untuk menangkis pengaruh luar yang masuk ke istana.

Tulisan yang berjudul Kesenian Melayu berhasil melihat genre kesenian umum yang meliputi berbagai bidang termasuk seni pertunjukan dan seni rupa dari banyak aspek. Aspek yang banyak dibahas di dalam tulisan tersebut ialah sejarah dan teori seni, dan memberi keutamaan pragmatik kepada aspek bentuk seni itu agar pengembangan dilanjutkan pada masa sekarang. Penjelasan terhadap budaya untuk mengabadikan isi seni itu mengandung sifat-sifat seperti pengetahuan, kepercayaan, moral dan etika, adat istiadat, undang-undang dan kesenian. Landasan itu sangat penting untuk perkembangan pewarisan kesenian.

Dampak pembangunan masa sekarang telah menjadikan kesenian tari klasik sangat lambat untuk mengikuti arus kemodernan yang sesuai. Hal ini menjadikan penentang terhadap kelambatan proses-proses kesenian itu terwujud. Perlu ada langkah untuk proses pengembangan pewarisan kesenian agar sesuai dengan kemajuan dan ekspansi kebudayaan masyarakat pada masa kini. Bentuk kesenian seperti tari, seni musik, teater maupun seni rupa mempunyai fungsi, makna, dan estetika seni tersendiri. Hal ini sangat penting untuk menerbitkan kajian ilmiah tentang warisan dan

(31)

31

pewarisan kesenian sebagai wadah pelestarian di masa akan datang agar produk kesenian ini dapat dijaga dengan rapi untuk generasi berikutnya.

G. Landasan Teori dan Pendekatan

Penelitian ini mengkaji permasalahan pokok studi sebagai pembedah untuk proses penentuan teori, pengujian teori, maupun pemecahan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa masalah itu memerlukan pencarian yang sangat ilmiah dan sistematis. Basis landasan teori untuk kajian ini berlandaskan pada dua bidang ilmu yaitu sosiologi seni dan etnokoreologi.

1. Perspektif Sosiologi Seni

Pemahaman akan tari klasik gaya Yogyakarta beserta konteks budaya, dan pewarisan menjadi landasan informasi yang diingini oleh peneliti. Pendekatan sosiologi melihat bahwa tari merupakan produk dari masyarakat secara umum, tanpa melihat pada latar belakang budaya. Teori sosiologi yang digunakan dalam penelitian ini mencakup teori seni elite, teori pranata, dan teori peran.

(32)

32

Teori Seni Elite

Peneliti menggunakan teori Arnold Hauser melalui tulisannya yang berjudul The Sociology of Art. Ia berpendapat bahwa seni sebagai produk masyarakat ini termasuk kategori The art of the cultural elite yaitu seni yang penikmatnya adalah

golongan atas.28 Pandangan Arnold Hauser memahami seni dari

aspek sosiologi yang membawa pemikiran tentang status kesenian elite seperti berikut.

The Cultural Elite as the supporters of the high, strict, uncompromising art have a tendency toward stability because they respect everything which is in institutionally secure. However, thanks to its realistic critical sense and its consciousness historical time, it is clearly aware of the boundaries of the validity is transmitted and of the inevitability of the change in the composition, but it is not come by easily.29

Arnold Hauser berpendapat bahwa budaya elite sebagai pendukung seni, tinggi, dan sempurna tidak perlu memiliki kompromi untuk menuju ke kecenderungan yang stabil karena mempunyai kehormatan di dalam lingkungan institusi yang aman. Namun, dengan adanya kepekaan pada realitas secara historis tentang kesadaran rasa dengan jangka waktu tertentu, maka batas-batas validitas yang ditransmisikan dari kepercayaan

28 Periksa Arnold Hauser. The Sociology of Art. Terj. Kenneth J. Northcott

(Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1985), 557.

(33)

33

terhadap perubahan adalah sebuah komposisi yang akan hadir tetapi tidak datang dengan mudah. Teori ini menjawab bagaimana

langkah-langkah institusi Kraton Yogyakarta memelihara

keberadaan produk keseniannya, yaitu tari klasik gaya Yogyakarta.

Teori Pranata

Penelitian ini menggunakan istilah lembaga, maka perlu

dijelaskan mengenai konsep institusi atau pranata30 dalam

perspektif sosiologi. Pranata adalah “aturan-aturan formal yang diciptakan dan melayani kepentingan pihak-pihak yang memiliki

kekuasaan menawar untuk menciptakan aturan-aturan baru”.31

Dari perspektif yang lebih luas, pranata dapat diartikan sebagai

“aturan permainan dalam masyarakat, atau kendala-kendala

30 Dalam ilmu sosiologi di Indonesia, konsep institutions diterjemahkan

sebagai pranata, untuk membedakannya dengan lembaga sebagai bentuk organisasi formal yang juga memiliki terjemahan yang sama dalam bahasa Inggris namun digunakan dalam bidang organisasi, administrasi, dan manajemen, bukannya sosiologi. Dalam penelitian ini, walau begitu, pranata dan lembaga dipandang sinonim. Istilah pranata lebih diutamakan untuk membahas dari sisi teoritis sementara lembaga dari sisi empiris. Periksa W.J.M. Kickert. “Managing Emergent and Complex Change: the Case of Dutch Agentification,” dalam

International Review of Administrative Sciences, Vol. 76, no. 3, (September 2010)

489-515.

31 Periksa W. Prasetyawan, “Government and Multinationals: Conflict over

Economic Resources in East Kalimantan,” dalam Southeast Asian Studies, volume 43, nomor (2), (2005), 100.

(34)

34

yang dibuat manusia untuk membentuk interaksi manusia, yang

analog dengan aturan permainan dalam olahraga kompetitif”.32

Ahli lain seperti Lin dan Nugent mendefinisikannya sebagai berikut.

“Seperangkat aturan berperilaku yang dibuat manusia untuk mengatur dan membentuk interaksi antarmanusia dalam upaya membantu mereka membentuk harapan mengenai apa yang akan orang lain lakukan sehingga tercermin dalam kemunculan keteraturan atau norma

perilaku tertentu”.33

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pranata adalah “pola tindakan yang secara luas tersebar dan

diterima”.34 Pranata merupakan seperangkat parameter yang

mencirikan kelompok masyarakat dalam perspektif tertentu, baik

itu ekonomi, sosial, agama, atau politik.35 Dalam penelitian ini,

pranata difokuskan pada konteks budaya dan didefinisikan sebagai “seperangkat aturan yang menentukan produksi objek budaya (TKGY) dan alokasi manfaat yang dihasilkan dari

32 Periksa J. Blocher, “Building on Custom: Land Tenure Policy and

Economic Development in Ghana,” dalam Yale Human Rights and Development Law

Journal, volume 9, (2006), 173.

33 Blocher, 173.

34 Periksa T. Karlsson, “Business Plans in New Ventures: an Institutional

Perspective” (Disertasi S-3, Jonkoping University, 2005), 11.

35 Periksa J. M. L. Newhard, “Aspects of Local Bronze Age Economies:

Chipped Stone Acquisition and Production Strategies in the Argolid, Greece” (Disertasi S-3, University of Cincinnati, 2003), 30.

(35)

35

produksi ini untuk para pelaku dalam latar kultural.”36

Pranata dicirikan oleh tiga hal. Pertama, terdapat sejumlah orang melakukannya. Kedua, ada aturan yang memberikan repetisi, stabilitas, dan urutan terprediksi untuk aktivitas yang dilakukan. Ketiga, terdapat pandangan umum yang menjelaskan

dan membenarkan aktivitas dan aturan yang dibuat tersebut.37

Terdapat sejumlah cara dalam mengklasifikasikan pranata. Berdasarkan sifatnya, pranata dapat dibagi menjadi pranata purba dan pranata orde kedua. Pranata purba adalah masyarakat itu sendiri sementara pranata orde kedua merujuk pada bagaimana masyarakat mengartikulasi dan mengimplementasi dirinya sendiri. Terdapat dua jenis pranata orde kedua yaitu pranata transhistoris dan pranata spesifik. Pranata transhistoris mencakup pranata yang tidak terlembagakan dan melintasi batas waktu. Contoh pranata transhistoris adalah bahasa. Pranata spesifik adalah pranata yang terikat konteks sosio-historis tertentu. Hal ini mencakup misalnya pranata politik di kota, desa, kampung, dan bentuk-bentuk organisasi masyarakat lainnya,

36 Definisi ini mirip dengan definisi pranata dalam bidang ekonomi. Periksa

E.B. Kahubire, “The Delivery of Agricultural Extension Services in Uganda: An Analysis from an Institutional Perspective”, dalam (Master thesis, University of Oslo, 2005), 12.

37 Periksa C. Brown, “Is there an Institutional Theory of Distribution?”

(36)

36

atau pranata seni seperti produksi dan konsumsi suatu karya seni serta karya-karya lainnya. Berdasarkan klasifikasi ini, objek studi penelitian ini adalah pranata orde kedua yang bersifat spesifik dalam konteks seni yang melibatkan produksi dan konsumsi TKGY.

Efek dari adanya pranata dapat bersifat positif dalam arti menyatukan kepentingan atau bersifat negatif dalam arti menciptakan persaingan dan konflik. Kecenderungan yang ada adalah efek negatif, terutama bagi pranata yang memiliki pandangan ke depan dan jauh. Pranata seperti ini dapat bertahan lama, dan di dalamnya agen-agen akan saling bersaing demi kepentingan masing-masing, baik pada masa kini dan masa datang, dan mempersulit kerjasama. Hal ini disebabkan selain sebagai mahluk sosial, manusia juga merupakan mahluk individual. Oleh karena itu, pranata yang jangka panjang adalah

pranata yang tidak stabil dan cenderung pecah, tetapi dengan

identitas-identitas yang tetap menyatakan dirinya sebagai

pemegang pranata yang sesungguhnya.38 Pranata ekonomi akan

sangat penting karena pranata ini mendorong individu untuk mementingkan dirinya sendiri dan terlibat dalam kompetisi

38 Periksa S. Tang, A General Theory of Institutional Change, (London:

(37)

37

sehingga setiap pihak dalam pranata akan bersaing dengan pihak

lainnya.39 Dengan kata lain, individu dalam pranata bukanlah

agen pasif. Ia dipengaruhi oleh pranata, tetapi juga

mempengaruhi pranata itu sendiri.40 Lebih jauh, berbagai pranata

dapat saling mempengaruhi, dan masing-masing beradaptasi dengan lingkungan budaya yang berubah dengan mengimitasi

keberhasilan lembaga lainnya.41

Studi ini membahas pranata TKGY yang telah berlangsung lama. Oleh karena itu, akan terlihat bahwa ada banyak variasi mengenai bagaimana pranata tersebut dijalankan, dan variasi ini tercermin dalam banyaknya lembaga formal dan nonformal yang ikut serta dalam upaya pewarisan TKGY. Masing-masing menyatakan dirinya sebagai pranata TKGY. Dasar dari suatu pranata adalah aturan dan untuk sebagian pranata, aturan ini

berbentuk kanon.42 Kanon adalah aturan tertulis atau aturan

yang jelas. Pranata gereja memiliki kanon berupa injil. Begitu

39 Periksa S. Bowles. “Is Liberal Society a Parasite on Tradition?” dalam

Philosophy and Public Affairs, volume 39, nomor (1), 54.

40 Periksa P. de Wilde. “Institutional Theory and Entry Mode: Dutch FDI in

South-Eastern-Europe” (Tesis S-2 Universities Maastricht, 2008), 10.

41 Periksa T. L. Wheelen & J.D. Hunger. Strategic Management and Business

Policy: Toward Global Sustainability, 13th Edition (Boston: Pearson, 2012), 13.

42 Periksa G. C. Spivak. “Scattered Speculations on the Question of Cultural

Studies,” dalam Simon, ed., The Cultural Studies Reader. Edisi kedua (London: Routledge, 1993). 181.

(38)

38

pula, pranata TKGY memiliki kanon yaitu aturan-aturan pokok yang disebut patokan baku.

Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada pranata yang paling kaku yaitu organisasi. Organisasi dapat dikatakan sebagai pranata paling kaku karena memiliki batas-batas yang paling jelas dan aturan-aturan yang paling jelas dalam mengatur anggotanya. Sebagian peneliti bahkan menyamakan organisasi dengan institusi, atau lembaga dengan pranata.

Organisasi didefinisikan sebagai “kumpulan individu yang aktivitasnya secara sadar dirancang, dikoordinasikan, dan diarahkan oleh anggotanya sendiri untuk mencapai suatu tujuan

bersama yang jelas”.43 Adanya tujuan yang jelas membedakan

organisasi dengan sistem sosial lainnya. Di dalam organisasi, terdapat pembagian tugas dan fungsi lewat hirarki otoritas dan tanggung jawab. Pembagian tugas dan fungsi ini disebut sebagai

struktur organisasi.44 Struktur ini bervariasi dilihat dari

sentralisasi, stratifikasi, formalisasi, kompleksitas, dan

partisipasi dalam pembuatan keputusan. Kejelasan-kejelasan ini

43 Periksa J. McAuley, J Duberley, dan P Johnson. Organization Theory:

Challenges and Perspectives. (Harlow: Prentice Hall, 2007), 12-13.

44 Periksa H.S.Kim, “Organizational Structure and Internal Communication

as Antecedents of Employee-Organization Relationships in the Context of Organizational Justice: A Multilevel Analysis”, (Disertasi S-3, Faculty of the Graduate School of the University of Maryland, College Park, 2005), 7.

(39)

39

menunjukkan pentingnya aspek kognitif dalam organisasi,

khususnya yang dibangun secara kolektif.45

Organisasi kemudian dapat dinilai dari efektivitas dan efisiensinya dalam menjalankan tugas mencapai tujuan utama. Dalam pranata TKGY, sebagian organisasi dapat lebih efektif dalam melestarikan TKGY, tetapi tidak efisien. Begitu juga, sebagian organisasi dapat efisien, tetapi tidak efektif. Terdapat pula organisasi yang dapat efisien dan tidak efektif sekaligus, atau sebaliknya tidak efisien dan tidak efektif sama sekali. Variasi ini mencerminkan kalau organisasi belum tentu merupakan bentuk pranata terbaik dalam melestarikan TKGY.

Walau begitu, organisasi dapat berperan sebagai simbol,

sama seperti tanda-tanda lain dalam kebudayaan.46 Adanya

organisasi untuk suatu objek budaya menunjukkan kalau masyarakat dalam budaya tersebut memandang penting objek budaya. Bahkan seandainya organisasi tersebut tidak efektif atau efisien dalam menjaga sebuah objek budaya, eksistensinya memungkinkan pranata non-organisasi, seperti kegiatan sporadis

45 Periksa R. S. Tindale., H. M. Meisenhelder, A.A. Dykema-Engblade, M.A.

Hogg. “Shared Cognition in Small Groups,” dalam RS Tindale dan MA Hogg et al., ed., “Blackwell Handbook of Social Psychology: Group Processes” (United Kingdom: Blackwell, 2001), 2.

(40)

40

masyarakat, memiliki pengakuan lewat simbol-simbol.

Dalam penelitian ini, organisasi dibagi menjadi dua jenis berdasarkan pada pengakuan pemerintah terhadap eksistensi organisasi, yaitu organisasi formal dan organisasi nonformal. Lebih jauh, karena kajian ini berkaitan dengan pendidikan sebagai bentuk pewarisan, organisasi yang dimaksud adalah organisasi bidang pendidikan. Pendidikan formal didefinisikan sebagai

“sistem yang sangat terlembagakan yang dimulai dari prasekolah hingga studi pasca sarjana, dan sering terorganisasi sebagai sebuah sistem atas-bawah, dengan kementerian pendidikan di puncak dan pelajar di bawah. Hampir semuanya harus berjalan dengan sebuah kurikulum yang telah ditentukan, baik dikembangkan oleh negara atau disetujui oleh negara, dengan tujuan dan mekanisme evaluasi yang jelas. Setelah pelajar selesai menjalankan proses pendidikan, pelajar mendapatkan ijazah atau gelar yang memungkinkan mereka diterima pada level selanjutnya, atau memasuki lapangan kerja”.47

Karakteristik pendidikan tari secara formal diatur oleh kurikulum dan lebih tertata lewat silabus dan rancangan pembelajaran. Oleh karena itu, sistem pendidikan tari formal tidak

dapat diimprovisasi.48 Walau begitu, hal ini berarti pendidikan tari di

lembaga formal merupakan sebuah pilihan hidup bagi seseorang

47 Harper, Nicole R, “Education beyond institutionalization: Learning

outside the formal curriculum,” dalam Critical Education Journal, 2(4), (22 Maret 2014), 7-8.

(41)

41

sehingga semestinya individu menjadi lebih serius dan berjangka

panjang daripada sekedar menyalurkan hobi.49 Di Indonesia,

pendidikan formal tidak hanya berada di bawah Kementerian Pendidikan. Sejumlah sekolah yang tetap dipandang sebagai institusi formal berada dalam Kementerian Agama (misalnya Universitas Islam Negeri) atau Kementerian Perindustrian (misalnya Sekolah Menengah Teknologi Industri).

Pendidikan nonformal didefinisikan sebagai “setiap aktivitas pendidikan yang terorganisasi dan sistematis yang terjadi di luar

sistem formal”.50 Pendidikan ini dapat bekerja terpisah dari aktivitas

yang lebih luas, atau menyatu sebagai bagian penting dari aktivitas

yang ditujukan untuk melayani masyarakat.51 Karakteristik

pendidikan tari nonformal adalah berbasis paket sehingga sangat terimprovisasi. Fleksibilitas ini tergantung pada permintaan pasar dan berorientasi pada kuantitas. Individu yang ingin mempelajari

49 Wawancara dengan Jiyu Wijayanti, Maret 2014.

50 N. Kohly. “An Exploration of School-Community Links in Enabling

Environmental Learning through Food Growing: A Cross-Cultural Study,” (Tesis S-2, Rhodes University, 2010), 33; Periksa juga Rogers, A. (2004). “Looking again at non-formal and informal education – towards a new paradigm,” dalam The

Encyclopedia of Informal Education (25 Maret 2014); dan Periksa Smith, M.K.

“Introducing Informal Education,” dalam The Encyclopedia of Informal Education, (2011).

51 N.J. Mualuko, “Empowering out of School Youth through Non-Formal

Education in Kenya,” dalam Educational Research and Review Journal, 3(2), (2008), 56.

(42)

42

suatu tari secara spontan dapat belajar langsung di lembaga pendidikan nonformal yang menyediakan berbagai jenis pelajaran

tari.52 Dalam pendidikan tari nonformal, kuantitas lebih diutamakan,

sejalan dengan orientasi yang lebih kapitalis.53 Walau demikian,

orientasi kapitalisme ini tidak kental pada sanggar yang memiliki ikatan kuat dengan Kraton. Sanggar-sanggar utama dalam penelitian ini banyak yang menggunakan orientasi sosial sebagai orientasi yang diutamakan daripada ekonomi.

Perbedaan selanjutnya adalah bentuk sifat terhadap orientasi waktu dan cakupan. Pendidikan nonformal lebih berorientasi pada kecakapan lewat pelatihan, sementara lembaga formal berorientasi pada pengetahuan lewat pendidikan. Pendidikan dan pelatihan dibedakan antara sifatnya terhadap orientasi waktu maupun cakupannya. Sementara pendidikan bersifat umum dan jangka panjang, pelatihan bersifat khusus dan jangka pendek.

Perbedaan karakteristik lain terletak pada siswa. Siswa yang memasuki pendidikan tari nonformal juga didasarkan pada kesenangan atau hobi daripada ingin mempelajari tari secara detail. Oleh karena itu, banyak siswa yang berasal dari sanggar tidak

52 Wawancara dengan Kuswarsantyo, Maret 2014. 53 Wawancara dengan Kuswarsantyo, Maret 2014.

(43)

43

meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi.54 Selain itu, siswa di

sanggar cenderung dipaksakan untuk dapat menari daripada di lembaga formal. Dalam lembaga nonformal, kelulusan seorang siswa lebih subjektif daripada di lembaga formal sehingga seorang pelajar yang belum ahli sekalipun dapat menjadi ahli jika situasi memang memaksa.

Kepemilikan seni oleh institusi Kraton Yogyakarta bisa dikategorikan sebagai kesenian yang sangat tinggi atau budaya elite karena penari-penarinya harus berasal dari kalangan terhormat. Misalnya yang terjadi dalam wayang wong, pangkat tinggi hanya bisa dicapai oleh penari yang memegang peran

penting seperti tersebut di atas.55 Penari-penari penting lainnya

juga dibawakan oleh putera sultan, misalnya saja Gusti Raden Mas Darajatun (kemudian menjadi Hamengku Buwono IX) sering memegang peran sebagai Gatotkaca, contoh lain Bandara Raden Mas Pelulkuliki (kemudian bergelar Pengeran Suryaputra)

memerankan tokoh Prabu Kresna, dan sebagainya.56

Perubahan yang terjadi dalam sebuah budaya elite ini

54 Wawancara dengan Jiyu Wijayanti, Maret 2014.

55 Tati Narawati dan R.M. Soedarsono, Tari Sunda Dulu Kini dan Esok

(Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional, Universitas Pendidikan Indonesia, 2005), 19.

(44)

44

selanjutnya dikembangkan dengan tidak akan lepas dari pengaruh internal dan eksternal untuk diwarisi. Hal ini mengacu pada proses transmisi atau pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta, yaitu bagaimana sebuah tari mempunyai kelas yang sangat tinggi diwariskan. Tahun 1918 dua orang pangeran putera Sultan Hamengku Buwono VII, yaitu Pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Tejakusuma, telah mendirikan sebuah organisasi kesenian yang bernama Krida Beksa Wirama sebagai organisasi

yang melestarikan dan mewariskan tari klasik gaya Yogyakarta.57

Pembentukan organisasi tersebut merupakan salah satu contoh sejarah proses pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta. Terdapat perubahan dari sebuah pembelajaran tari di Kraton yang kemudian dialihkan untuk pengembangan ke organisasi tari di luar lingkungan tembok Kraton. Perkembangan proses pewarisan itu merupakan pijakan utama dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui institusi-institusi yang turut serta dalam proses pewarisan tari klasik gaya Yogyakarta yang terjadi di Kraton Yogyakarta. Ada dua tinjauan, secara tekstual (bentuk tari yang diwarisi) dan secara kontekstual (ditinjau dari fenomena pewarisan itu sendiri yang terjadi dari berbagai segi).

57 R.M. Soedarsono, Masa Gemilang dan Memudar Wayang Wong Gaya

(45)

45

Teori Peran

Peran adalah “seperangkat aturan yang menentukan apa perilaku yang harus dijalankan oleh seorang anggota dari posisi

tersebut lakukan”.58 Struktur sosial terdiri dari berbagai peran yang

membentuk jaringan di masyarakat.59 Teori peran menggariskan

mengenai sejumlah konsep yang berhubungan dengan peran yang melekat pada diri seseorang. Konsep ini mencakuplah identitas peran, adaptasi peran, kelelahan peran, kontradiksi peran, dan konflik peran.

Identitas peran sederhananya adalah relasi individu dengan peran tertentu yang ia pegang. Relasi ini dapat bersifat positif, netral,

atau negatif.60 Relasi positif disebut sebagai adaptasi peran dimana

(1) individu memahami dengan jelas tugasnya, tujuannya, dan apa yang harus dilakukan dalam peran tersebut, (2) merasa bangga, beruntung, dan senang dengan peran yang dipegangnya, dan (3) mempertahankan, menerima, dan beradaptasi dengan peran tersebut. Penekanan pada pentingnya peran pada individu membawa

58 Biddle dan Thomas, sebagaimana dikutip oleh B. J. Henderson, “Effects

of Role Importance, Satisfaction, and Performance on Grandparents Psychological Well-Being,” dalam (PhD Dissertation, Texas Tech University, 1997), 15.

59 B. J. Henderson, 15.

60 Zhou Yongkang et al, “Empirical Research on College Student‟s Role

Identity Status in China,” dalam American Journal of Applied Psychology, 2(6), (2013), 94-100.

(46)

46

pada kinerja peran yang baik yang pada gilirannya menghasilkan

kepuasan peran.61 Relasi netral disebut kelelahan peran yang

ditandai dengan kebingungan, kebuntuan, dan ketidaksadaran atas peran serta perilaku negatif dan bebas dalam menjalani peran. Relasi negatif disebut sebagai kontradiksi peran. Kontradiksi peran ditandai perasaan tidak nyaman ketika memegang peran yang ada karena pengaruh prejudis dan pada gilirannya, melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan peran tersebut.

Terdapat dua jenis konflik peran yang dapat terjadi yaitu konflik intra peran dan konflik antar peran. Konflik intra peran terjadi ketika seseorang yang mengambil satu peran tidak dapat menjalankan peran tersebut karena adanya kontradiksi inheren dalam peran, misalnya seorang polisi harus taat hukum namun sekaligus adaptif terhadap lingkungan sosial. Konflik ini berhubungan dengan kelelahan peran. Konflik antar peran terjadi ketika dua atau lebih peran yang dipegang oleh satu individu mengalami kontrakdiksi. Konflik antar peran yang paling umum

adalah misalnya pada konflik kerja dan keluarga.62

Peran dapat muncul secara natural seperti peran anak atau

61 B. J. Henderson, 68.

62 Misalnya S. Sabil dan S. Marican. “Working Hours, Work Family Conflict,

and Work Family Enrichment among Professional Women: A Malaysian Case,” dalam International Conference on Social Science and Humanity, 2011.

(47)

47

gender dan juga dapat muncul secara sosiologis seperti peran profesi, peran orang tua, dan sebagainya. Malahan, menurut teori peran Shaman, peran dapat muncul dari masalah eksistensial ketika seseorang memiliki pengetahuan mitologis atau agama. Peran ini misalnya datang dari seseorang yang mengambil peran sebagai identitas berbeda yang disebut masyarakat sebagai “kemasukan roh

halus”.63 Teori peran ini sejalan dengan alternatif dari teori peran

yaitu penempatan. Teori peran menyatakan bahwa individu pasif dalam masyarakat karena melihat adanya ekspektasi terhadap suatu peran dan berusaha memenuhi ekspektasi atas peran tersebut, sementara teori penempatan melihat bahwa individu aktif membangun posisi sosialnya di masyarakat yang berarti individu melihat bahwa peran yang disandangnya dapat dikompromikan

dengan situasi yang ada.64 Kedua teori, walau begitu, menunjukkan

bahwa peran sosial merupakan sesuatu yang interaktif antara manusia dengan lingkungan sosialnya.

Dalam konteks penelitian ini, peran sosial di dalam pranata ditunjukkan dengan peran-peran seperti guru, kepala sekolah,

63 Periksa Desmond Ayim-Aboagye. “Art, Music, and Religious Experience in

Libation Pouring of Akan Religion”, dalam Scripta Instituti Donneriani Aboensis, Vol 16, 1996, 9-10.

64 Periksa Hsiang-Chieh Lee. “Flexible Acculturation” dalam Social Thought

Referensi

Dokumen terkait