• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kepopuleran yang sama di tempat dan waktu yang lain. Adi (2011:74) menjelaskan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kepopuleran yang sama di tempat dan waktu yang lain. Adi (2011:74) menjelaskan"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya yang populer di suatu tempat dan waktu belum tentu akan memperoleh kepopuleran yang sama di tempat dan waktu yang lain. Adi (2011:74) menjelaskan bahwa selera atau standar nilai tidaklah bersifat absolut atau bahwa selera dan standar nilai tergantung pada kebutuhan pada waktu dan tempat tertentu. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan adanya sebuah penyesuaian agar suatu karya bisa diterima di lebih dari satu tempat dan waktu. Pandangan serupa juga disuarakan Nida dan Taber (1974) dan Aguilera (2008) yang berpendapat bahwa penyesuaian dibutuhkan untuk menyajikan karya yang bisa diterima dan mudah dipahami masyarakat target.

Cardcaptors, serial yang menjadi fokus kajian ini, merupakan salah satu contoh anime

yang telah diimpor dan „disesuaikan‟ untuk masyarakat Amerika. Serial ini memasuki ranah hiburan Amerika di akhir tahun 2000 lalu dan telah dilisensi oleh Nelvana untuk distribusi dan penayangan di wilayah Amerika Utara serta di sejumlah negara persemakmuran Inggris. Mengikuti penayangan perdananya di awal abad ini, serial ini juga kembali diputar pada tahun 2010. Cardcaptors (2000-2001) berasal dan diadaptasi dari komik dan animasi Jepang berjudul Cardcaptor Sakura (1996-2000), yang merupakan salah satu anime paling populer di Jepang. Cardcaptor Sakura memenangkan penghargaan Animage Grand Prix untuk anime terbaik pada tahun

(2)

1999, dan penjualan DVDnya, yang masuk dalam sepuluh besar penjualan terlaris sepanjang tahun, menempatkannya sebagai salah satu anime paling populer hingga saat ini (Lew, 2000). Karya ini telah memanen berbagai respon dan kritik positif baik dari kalangan penonton biasa maupun akademisi. Di sisi lain, versi Amerikanya,

Cardcaptors, juga dikatakan memiliki kepopuleran—meskipun dalam jenis dan

tingkat yang berbeda—yang dapat menandingi versi originalnya.

Mengikuti selera dan standar nilai di waktu dan tempat distribusinya yang baru, serial Cardcaptors disesuaikan dengan sedemikian rupa agar dapat diterima oleh masyarakat penontonnya yang baru—masyarakat abad 21 Amerika. J. D. Considine (2002) menyebut penyesuaian yang dilakukan pada serial Cardcaptors ini sebagai upaya untuk “membuat anime sedikit lebih aman bagi masyarakat Amerika [making

anime a little safer for Americans]”. Penyesuaian pada Cardcaptors antara lain

meliputi perubahan judul, pemotongan 70 episode original menjadi 39 episode adaptasi, serta modifikasi setting dan karakter. Salah satu penyesuaian yang cukup menarik, dan akan menjadi fokus kajian ini, adalah pada penyesuaian nama (dalam)

Cardcaptors, dimana nama di sini mengacu pada nama (judul) serial ini sendiri, serta

episode-episode yang ada di dalamnya, dan nama tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita. Pertama, berkaitan dengan penyesuaian pada judul, dapat dilihat bahwa kedua versi, original Jepang dan adaptasi Amerika, memiliki judul yang berbeda. Apabila cerita original berjudul Cardcaptor Sakura dan berpusat pada seorang gadis bernama Sakura, sebagai heroine, dan petualangannya mengumpulkan Clow Cards, maka versi Amerika memilih judul Cardcaptors dan menceritakan petualangan Li Showron (dan

(3)

Sakura), sebagai hero(ine), mengumpulkan Clow Cards. Selain itu, sehubungan dengan penyesuaian pada nama tokoh, jika pada Cardcaptor Sakura dapat ditemukan dua karakter utama yang bernama Li Xiaolang (Li Shaoran) dan Kinomoto Sakura, maka, dalam Cardcaptors, penonton tidak akan bisa menemukan keduanya dimanapun. Mereka justru akan menemukan karakter yang bernama Li Showron dan Sakura Avalon sebagai pengganti pendahulunya. Sakura Avalon untuk Kinomoto Sakura, Li Showron untuk Li Xiaolang (Shaoran), Julian Star untuk Tsukishiro Yukito, Madison Taylor untuk Daidouji Tomoyo adalah sejumlah contoh dari sekian banyak penyesuaian nama yang terjadi di Cardcaptors. Perbedaan-perbedaan tersebut, antara lain, menandakan adanya „penyesuaian‟ pada serial ini. Akan tetapi, jika dilihat lebih lanjut, penyesuaian yang terjadi ternyata juga turut membawa masalah tersendiri.

Penyesuaian pada Cardcaptors membuatnya tidak tampak seperti karya yang diterjemahkan dan diadaptasi dari Jepang, melainkan seperti sebuah karya original yang berasal dari Amerika dan dapat berdiri sendiri. Ini dikarenakan penyesuaian yang dilakukan pada Cardcaptors tidak bertujuan untuk mencari kesepadanan (equivalence) dan menjembatani antara teks sumber dan teks adaptasi tapi justru bertujuan menghilangkan segala nuansa asing (Jepang) dalam animasi ini. Sebagai contoh adalah penyesuaian nama Li Xiaolang (Shaoran) yang telah diadaptasi menjadi Li Showron. Sekilas mungkin baik nama dalam versi asli maupun adaptasi tersebut tampak sama, hanya dengan sedikit perbedaan pada pelafalan. Namun perlu diketahui bahwa dalam budaya Jepang dan Amerika terdapat sistem penamaan yang berbeda.

(4)

Dalam budaya Amerika, nama depan akan diletakkan di muka atau sebelum nama keluarga; sedangkan budaya Jepang menganut sistem sebaliknya—dengan nama keluarga ditulis lebih dahulu lalu diikuti nama depan. Sehingga, jika di Cardcaptor

Sakura Li Xiaolang (Shaoran) mempunyai marga Li dan nama kecil Xiao Lang

(Shaoran), di Cardcaptors Li Showron justru memiliki nama keluarga Showron dan nama depan Li. Meskipun kedua nama tersebut berbicara tentang tokoh yang sama, yaitu tokoh anak laki-laki Cina yang menjadi lawan dan nantinya kawan Sakura, perbedaan yang mencolok di antara dua versi tersebut menimbulkan pertanyaan mengapa perlu diadakan penyesuaian nama—yang justru menjerumuskan—pada

Cardcaptors. Li Showron mungkin terdengar lebih „Amerika‟ daripada Li Xiaolang

(Shaoran), sehingga memungkinkan Li untuk dikenali sebagai tokoh keturunan Asia Amerika daripada murni Asia seperti di original. Penyesuaian ini merupakan salah satu upaya untuk menghapus segala nuansa asing dan menciptakan situasi yang lebih familiar di Cardcaptors. Namun, hubungan, khususnya kedekatan, antar individu dapat dipelajari melalui bagaimana mereka memanggil satu sama lain, apakah mereka menggunakan nama kecil, nama keluarga, atau bahkan pet name. Dengan menukar nama keluarga dan nama depan dari tokoh Li, Nelvana sebagai studio Amerika yang bertanggung jawab akan Cardcaptors tentunya juga mengubah hubungan tokoh tersebut dengan tokoh-tokoh yang lain. Penyesuaian nama yang unik ini, antara lain, merupakan sebuah masalah yang menarik untuk dikaji.

Demam animasi yang melanda Amerika akhir-akhir ini memang tidak ada hubungannya dengan spons kuning bercelana kotak maupun pahlawan super

(5)

berpakaian ketat. Akan tetapi, demam tersebut justru berhubungan dengan ninja pirang bermata biru dengan tekad baja untuk menjadi Hokage atau Dewa Kematian berandal dengan rambut orange. Karakteristik tersebut membentuk apa yang dikenal dengan “anime”, atau yang kini lebih populer dengan sebutan “Walt Disney Jepang”, yang tengah menarik perhatian internasional yang dulunya hanya dimonopoli oleh kartun dan animasi berdana besar dari Hollywood (Faiola, 2004). Istilah “anime” ini mengacu pada animasi yang diproduksi di Jepang, yang mencakup “all animated titles

including feature films, television shows, and original video animation (OVA) released to the home entertainment market [seluruh judul animasi yang mencakup

film, program TV, dan video animasi orisinil (OVA) yang dirilis ke industri hiburan]” (Brenner, 2007:293). Istilah ini pada awalnya diambil dari kata “animation” dalam bahasa Inggris dan kemudian diadaptasi ke fonetik Jepang. Saat ini penggunaan istilah ini telah banyak ditemui di konteks internasional dan telah lama diterima sebagai sebutan khusus bagi animasi buatan Jepang. Dalam sebuah artikel yang dia tulis beberapa tahun silam, Faiola (2004) menyebutkan bahwa “the Westerners are

currently playing and being played by Japanese toons [Orang-orang Barat tengah

memainkan dan dimainkan oleh kartun Jepang].” Dilengkapi dengan sebuah daftar panjang yang memuat judul berbagai anime yang sedang diputar di Amerika Serikat, Faiola kemudian menjelaskan bahwa toons (kartun) yang dimaksud di sini menunjuk pada anime Jepang dan bagaimana mereka dengan mudahnya menembus pasar Amerika. Pernyataan ini didukung oleh direktur kreatif Cartoon Network, Sean Akins, yang menunjukkan bahwa sekitar 40 persen dari seluruh program Network saat ini

(6)

(sekitar tahun 2000) adalah animasi Jepang atau setidaknya kartun Amerika yang terinspirasi oleh anime. Invasi anime dan manga di Amerika Serikat serta alasan di balik apa yang disebut sebagai gelombang Japanophilia ini telah banyak dibahas, seperti pada Japanamerica: How Japanese Pop Culture Has Invaded the U.S. karya Roland Kelts (2006). Hal tersebut menunjukkan betapa populernya anime dan betapa antusias respon masyarakat Amerika kepadanya (Faiola, 2004).

Sayangnya, kepopuleran anime ini telah mengundang munculnya proses penyesuaian yang biasa diterapkan pada teks-teks asing di Amerika, yaitu proses “Americanization” atau “American edit” (Phoenix, 2006). Istilah ini bukanlah sesuatu yang baru di industri hiburan Amerika, mengingat bahwa sejak tahun 60‟, berbagai teks asing telah berulang kali melewati proses penyesuaian ini (Phoenix, 2006). Pada dasarnya, Americanization atau Amerikanisasi melibatkan produsen atau distributor Amerika memutuskan apa saja yang dapat dan tidak dapat dipahami oleh masyarakat Amerika. Mereka mengambil sebuah teks asing, memotong sejumlah besar cerita, dan membuatnya kembali dengan cara yang lebih sesuai dengan standard dan selera masyarakat Amerika (Phoenix, 2006). Anime dapat dengan mudah jatuh ke dalam proses penyesuaian yang disebut Amerikanisasi ini, dikarenakan, mengetahui keterbatasan anime Jepang, pasti terdapat sejumlah besar materi ofensif yang perlu dipotong terlebih dahulu. Tema-tema dewasa yang muncul bersama dengan konten „tabu‟ yang ada dalam anime telah banyak memicu protes dan kekhawatiran di ranah internasional, dan bahkan telah berujung pada sensor animasi tersebut (Faiola, 2004).

(7)

Alasan ini cendrung menjadi dasar perlu adanya proses Amerikanisasi, sebagaimana yang terjadi pada Cardcaptors, pada serial animasi Jepang.

Upaya penyesuaian ini, yang sebelumnya hanya dikenal sebagai “Americanization” atau “American edit”, ternyata disebut “localization (lokalisasi)” dalam teori pemasaran internasional (Esselink, 2000; Pym, 2004; Lingo System, 2004) dan dilakukan dengan tujuan meningkatkan distribusi secara bertahap. Sementara itu, dalam konteks yang sama, Translation Studies justru lebih mengenal proses ini dengan sebutan “domestication (domestikasi)”—penerjemahan yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca dengan mengubah istilah-istilah asing ke dalam bahasa (budaya) target (Venuti, 1995; Yang, 2010; Nida & Taber, 1974). Meskipun proses ini membuat teks terjemahan terasa natural dan komunikatif serta pembaca bisa memahami teks terjemahan dengan mudah, tapi aspek-aspek budaya dalam bahasa sumber (dan kemudian aspek-aspek teks itu sendiri) sering kali pudar. Pym (2004:29) mengatakan bahwa sejak awal tahun 90‟, lokalisasi merupakan istilah yang digunakan untuk usaha penyesuaian (dalam industri bahasa) pada area software, dokumentasi produk, dan e-commerce; sementara domestikasi cendrung dikaitan de ngan karya sastra. Oleh karena itu, dalam kasus Cardcaptors ini, penyesuaian yang dilakukan, selain dikenal dengan istilah Amerikanisasi, bisa juga disebut sebagai domestikasi.

Anime, yang saat ini tengah mendominasi program TV anak-anak Amerika, pada dasarnya diarahkan ke arah domestikasi untuk menghilangkan nilai-nilai liberal yang terkandung dalam segala sesuatu yang ditonton masyarakat Jepang. Domestikasi (domestication), bersama dengan pasangannya foreignisasi (foreignization),

(8)

merupakan istilah yang diperkenalkan Venuti (1995) untuk menggambarkan dua kecenderungan yang merupakan cerminan dari strategi yang digunakan penerjemah saat menerjemahkan yang merupakan pandangannya mengenai penerjemahan yang baik. Selain sebagai strategi, dua kecendrungan, foreignisasi dan domestikasi, ini terkadang juga dikenal sebagai ideologi dalam penerjemahan. Dua ideologi ini kemudian menjadi dua kutub yang berlawanan yang membentuk pandangan mengenai cara dan strategi yang diambilnya dalam penerjemahan pada tataran global hingga ke tataran mikro. Venuti (1995:21) menyebutkan bahwa penerjemah yang memiliki orientasi ke bahasa sumber (foreignization) cenderung mempertahankan bentuk asli terjemahan sehingga produknya terasa sebagai karya terjemahan; sementara penerjemah yang memiliki orientasi ke bahasa target (domestication) cenderung berupaya agar hasil terjemahan terasa sebagai teks asli yang diproduksi bahasa target. Pandangan ini didukung oleh Lingo systems (2004:5), dalam bukunya The Guide to

Translation and Localization: Preparing for the Global Marketplace, yang

mendefinisikan domestikasi sebagai “the process of customizing a product for

consumers in a target market so that … they form impression that it was designed by a native of their own country [proses menyesuaikan produk bagi masyarakat sasaran

sehingga…mereka menganggap bahwa produk tersebut diproduksi oleh masyarakat mereka sendiri]”. Yang, sementara itu, percaya bahwa “[d]omestication designates

the type of translation in which transparent, a fluent style is adopted to minimize the strangeness of the foreign text for target language readers [domestikasi menunjukkan

(9)

sebuah tipe penerjemahan yang mengadaptasi gaya yang transparan dan fasih untuk mengurangi keanehan yang ditemui pembaca target dalam teks asing]” (2010:77).

Domestikasi cenderung lebih mengutamakan budaya dan bahasa target, dimana teks terjemahan akan lebih mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca target, karena, dalam dometikasi, proses penulisan ulang (penerjemahan) mengubah teks menjadi wacana yang transparan dan lebih dekat dengan bahasa dan budaya targetnya (Venuti, 1995:21). Meski teks terjemahan terasa natural dan komunikatif sehingga pembaca mudah memahaminya, domestikasi juga dapat menyebabkan aspek-aspek budaya dalam bahasa sumber pudar, dan pembaca hasil terjemahan tidak dapat memberikan interpretasi terhadap teks karena interpretasi sudah dilakukan oleh penerjemah. Oleh karena itu, pembaca teks terjemahan tidak akan bisa mendapatkan pengetahuan budaya bahasa sumber. Clements dan McCarthy (2006:93) sepakat memandang domestikasi sebagai salah satu bentuk sensor, karena upaya penyesuaian tersebut dapat mengubah intensi dari produsen asli dan memberikan pembaca informasi yang keliru (menjebak) tentang karya yang mereka nikmati.

Apabila foreignisasi, dan penerjemahan biasa, pada umumnya hanya melibatkan proses mengubah teks dari suatu bahasa sumber ke bahasa tujuan, domestikasi mencakup baik proses alih bahasa itu sendiri sekaligus adaptasi karya agar sesuai dengan kondisi masyarakat penerima yang dikenal sebagai “lokal (locale)”. Dalam studi ini, penyesuaian (domestikasi) yang dilakukan, yang juga dikenal dengan nama Americanization atau Amerikanisasi (Phoenix, 2006), meliputi produsen (sebagai penerjemah) untuk mengadaptasi anime Cardcaptors sehingga

(10)

sesuai dengan standard nilai dan budaya masyarakat Amerika, dengan tujuan melindungi sekaligus menarik perhatian penonton yang tidak familiar dengan produk budaya populer Jepang ini. Untuk melakukannya, produsen atau studio Amerika dapat, dan akan, memotong sebagian besar cerita, menghilangkan materi yang kontorversial, memodifikasi setting, dan/atau membuatnya dalam versi yang lebih sesuai dengan standar dan selera pembacanya (penonton) yang baru.

Akan tetapi, yang menarik di sini adalah keputusan studio Amerika, Nelvana, untuk mendomestikasikan Cardcaptors daripada sekedar menerjemahkan apa adanya (foreignisasi), yang memungkinkan bagi teks terjemahan untuk tetap menghadirkan nuansa budaya bahasa sumber (Jepang), dan bagi penonton Amerika untuk bisa memahami serta mempelajarinya. Dibandingkan dengan foreignisasi, domestikasi jelas bukanlah merupakan proses yang mudah dan murah. Dalam menyajikan teks-teks asing untuk konsumsi lokal, sering ditemui upaya penyesuaian dengan foreignisasi—yang hanya menerjemahkan, mengalihbahasakan, sebuah teks dari bahasa sumber ke target dengan tetap mempertahankan suasana dan budaya bahasa sumber—daripada domestikasi. Cardcaptors merupakan anime atau kartun yang masuk dalam kelompok sastra yang dibuat untuk anak-anak. Hagfors (2003), Chifane (2010) dan Aguilera (2008), antara lain, berpendapat bahwa foreignisasi merupakan pilihan yang sesuai dalam penerjemahan teks untuk anak-anak. Sebagaimana disebutkan oleh Hagfors (2003):

…translated children’s literature can be…a means of bridging cultural differences… If culture-bound elements are foreignized the story can serve as a tool for learning about foreign cultures, times and customs and intrigue

(11)

readers to find out more about them. In other words, foreignized children’s stories are a way of drawing attention to cultural matters:to learn what is different and what is shared between the reader’s culture and that in which the story is set [terjemahan sastra anak dapat menjadi…sebuah cara untuk menjembatani perbedaan budaya...Apabila elemen khusus budaya diforeignisasi, cerita yang bersangkutan dapat berperan sebagai alat untuk mempelajari tentang budaya, sejarah, dan adat-istiadat asing serta menarik pembaca untuk mengetahui lebih jauh tentangnya. Dengan kata lain, foreignisasi teks anak-anak merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan masalah budaya; untuk mempelajari persamaan dan perbedaan antara budaya sumber dan target].

Dengan menyajikan teks sebagaimana mestinya atau dengan perubahan seperlunya selain pengalihan bahasa, anak-anak bisa lebih memahami budaya lain daerah atau lain negara. Mempelajari budaya lain melalui karya terjemahan memungkinkan penonton berusia belia untuk mengenali permasalahan dan fenomena budaya dalam masyarakat sosial yang lain serta memahami persamaan dan perbedaannya dengan budayanya sendiri (Aguilera, 2008:4). Jadi, pada saatnya nanti mereka tidak mengalami cultural shock yang hebat. Penerjemah(an) memiliki peran penting dalam menjembatani adanya perbedaan kebudayaan. Pernyataan ini cukup menarik perhatian karena Cardcaptors, yang sebenarnya dapat digolongkan sebagai teks untuk anak-anak, justru diarahkan ke domestikasi daripada foreignisasi seperti yang disarankan Hagfors (2003), Chifane (2010) dan Aguilera (2008). Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan di sini adalah mengapa perlu dilakukan domestikasi pada Cardcaptors, apakah hal yang kira-kira telah memotivasi Nelvana untuk tidak menyajikan karya ini, dengan perubahan bahasa, apa adanya.

Ketika melihat Cardcaptors dan versi aslinya Cardcaptor Sakura dapat dilihat perbedaan yang begitu besar di antara keduanya, dimulai dari jalan cerita hingga nama-nama karakter. Yang paling mencolok adalah penyesuaian (domestikasi) yang

(12)

diberikan pada nama-nama dalam Cardcaptors, sebagaimana yang telah disebutkan di awal bagian ini. Adapun yang dimaksud dengan nama di sini adalah mencakup nama dari serial ini sendiri (judul) dan seluruh episodenya, serta nama-nama karakter yang ada dalam cerita. Tidak seperti teks-teks asing lain, seluruh nama dalam Cardcaptors telah mengalami proses domestikasi agar sesuai dengan selera dan standar budaya masyarakat Amerika pada saat itu. Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apabila domestikasi dapat menyebabkan hilangnya aspek-aspek budaya (dan cerita) asli, maka perlu ditelusuri mengapa harus dilakukan domestikasi nama-nama (dalam)

Cardcaptors. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi motif di balik keputusan untuk

mendomestikasi—daripada memforeignisasi dan membiarkan apa adanya—nama-nama dalam Cardcaptors; teknik penerjemahan apa saja yang diterapkan dalam proses domestikasi tersebut; serta bagaimana penyesuaian tersebut berpengaruh pada jalan cerita.

Penelitian ini berusaha mengungkapkan sebab-akibat terjadinya (dan perlunya) proses domestikasi pada Cardcaptors, dimana proses domestikasi yang dimaksud difokuskan pada penyesuaian pada nama (karakter, tempat, cerita) yang muncul di serial ini. Penelitian ini akan memanfaatkan latar belakang budaya dari Jepang dan Amerika, kondisi industri anime pada waktu dan tempat tersebut, dan juga teori

translation, terutama dalam kaitannya dengan ideologi penerjemahan domestikasi

yang diperkenalkan Venuti (1995) dan teknik penerjemahan Bastin (2009) dalam analisisnya. Jepang dan Amerika memiliki harapan dan standar yang berbeda, terutama dalam kaitannya dengan adat dan budaya mereka, tentang hal-hal yang

(13)

mereka harapkan untuk temui di teks yang ditulis untuk anak-anak. Dengan menghubungkan fakta-fakta, temuan, dan kondisi industri anime Amerika pada waktu itu, diharapkan dapat mencari tahu apa, mengapa, dan bagaimana domestikasi— penyesuaian budaya—yang telah diterapkan pada kasus Cardcaptors dapat dan perlu terjadi.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas diketahui bahwa Cardcaptors merupakan anime, salah satu bentuk karya yang dibuat untuk anak-anak, yang telah disesuaikan untuk masyarakat Amerika. Salah satu penyesuaian yang dilakukan meliputi domestikasi nama (dalam) karya ini. Akan tetapi, dalam penerjemahan sastra anak, penyesuaian yang biasa diterapkan adalah foreignisasi dan bukannya domestikasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, pertanyaan yang diajukan adalah:

1. Apakah motif di balik ide untuk mendomestikasi nama (dalam)

Cardcaptors?

2. Teknik penerjemahan apa yang diterapkan dalam proses domestikasi tersebut?

3. Bagaimana penyesuaian (domestikasi nama) tersebut berpengaruh pada jalan cerita Cardcaptors?

(14)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan motif di balik keputusan untuk mendomestikasi suatu karya. Memang diperlukan sebuah penyesuaian tertentu agar suatu karya dapat diterima di lebih dari satu tempat dan waktu. Namun penyesuaian, domestikasi dalam kasus ini, yang dimaksud pasti dilakukan atas dasar dan tujuan tertentu—dasar dan tujuan yang lebih dari sekedar untuk „melindungi‟ atau „memudahkan‟ pembaca dalam memahami nuansa „asing‟ dalam sebuah karya. Dengan mengetahui hal tersebut, maka akan dapat dijelaskan bahwa domestikasi, serta proses penerjemahan pada umumnya, selalu diikuti sebuah atau sejumlah motif tertentu. Motif yang ada (ekonomi, sosial, agama, politik, budaya, dan sebagainya), selain berkaitan dengan metode dan teknik penerjemahan yang digunakan, juga dapat memberikan pengaruh besar pada produk hasil terjemahan yang akan dikonsumsi masyarakat nantinya.

Selain tujuan tersebut, penelitian ini juga ditujukan untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai penerjemahan dan animasi, khususnya yang berhubungan dengan ideologi dan strategi yang dipilih penerjemah serta faktor atau motif yang mendasari pilihannya tersebut dalam sebuah proses penerjemahan. Selama ini lingkup penelitian penerjemahan cendrung hanya terbatas pada ranah bahasa dan lingustik, dengan berfokus pada identifikasi ideologi dan strategi serta penilaian benar-salahnya suatu hasil terjemahan saja. Akan tetapi, berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini tidak hanya berbicara tentang sisi lingustik atau bahasa dalam sebuah terjemahan tapi juga tentang sisi budaya dan sastra

(15)

yang mengikutinya. Selain identifikasi teknik penerjemahan yang kental akan nuansa bahasa, penelitian ini juga memanfaatkan latar belakang sastra dan budaya dari Jepang dan Amerika serta kondisi industri anime pada waktu dan tempat tersebut untuk menjelaskan motif yang mendasari pemilihan ideologi domestikasi serta efeknya pada teks yang diterjemahkan. Dengan menghubungkan antara perbedaan bahasa, budaya, dan sastra serta dampaknya pada pemilihan ideologi dan strategi (teknik) penerjemahan dan hasil terjemahan nantinya, penulis bertujuan menyajikan sebuah penelitian yang tidak hanya dapat menjawab permasalahan di balik suatu kasus penerjemahan tapi juga dapat menawarkan sebuah pandangan baru dalam penelitian tentang sastra terjemahan.

1.4 Landasan Teori

Penelitian ini mengkaji proses domestikasi nama (dalam) Cardcaptors dan akan menganalisis motif yang mendasari keputusan domestikasi tersebut, teknik yang diterapkan di dalamnya serta efek yang ditimbulkan penerapan domestikasi tersebut pada cerita. Sebagai analisis terjemahan, teori yang menjadi landasan penelitian ini, yaitu teori terjemahan, terutama dalam kaitannya dengan ideologi domestikasi-foreignisasi yang diperkenalkan Venuti (1995) serta motif dan teknik penerjemahan Bastin (2009) akan dipaparkan dalam bagian ini. Adapun paparan tersebut akan dimulai dengan pengertian dari penerjemahan itu sendiri, ideologi penerjemahan, teknik penerjemahan, dan penerjemahan anime.

(16)

1.4.1 Penerjemahan: Mengalihbahasakan, Menulis Kembali, dan/atau Mencari Kesepadanan

Istilah penerjemahan tampaknya semakin populer akhir-akhir ini mengingat sebagian besar orang, profesional dan amatir, sama-sama mengenali dan mengerti apa yang dimaksud dengan penerjemahan. Akan tetapi, tanpa sepengetahuan mereka, proses penerjemahan tidaklah terbatas pada teks saja, orang-orang bilingual atau multilingual selalu terlibat dalam proses tersebut di kehidupan sehari-hari mereka. Mereka selalu menerjemahkan konsep-konsep dari bahasa ibu ke bahasa lain ketika mereka berbicara. Saat ini, dunia penerjemahan memang sangat diminati karena banyaknya narasi populer yang perlu diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain. Dengan memiliki versi terjemahan, sebuah teks dapat dinikmati oleh orang-orang, terutama oleh mereka yang tidak fasih dalam bahasa teks asli, di berbagai belahan dunia.

Secara umum, penerjemahan dapat dipandang sebagai proses mengubah kata-kata ke dalam bahasa yang berbeda—sebuah proses alihbahasa, pemindahan teks dari satu bahasa ke bahasa lain. Setiap ahli mempunyai dan telah memperkenalkan definisi mereka sendiri tentang apa yang dimaksud dengan penerjemahan dan apa yang seharusnya dilakukan dalam proses tersebut. Namun demikian, dari semua definisi dan susunan kata yang berbeda, mereka tampaknya telah menyepakati sebuah konsep serupa tentang definisi penerjemahan. Newmark (1988:5) menyebutkan penerjemahan sebagai “rendering the meaning of a text into another language in the way that the

(17)

lain tanpa menghilangkan makna yang dimaksudkan dari teks asli. Catford, sementara itu, mendefinisikan penerjemahan sebagai pemindahan materi tekstual dalam suatu bahasa (bahasa sumber) dengan materi tekstual yang ekuivalen di bahasa lain (bahasa target), dengan ekuivalensi sebagai kata kunci—”[t]he replacement of textual

material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL) and the term equivalent is a clearly a key term” (1965:20-1). Sejalan dengan Catford,

Bell juga turut melihat penerjemahan sebagai proses yang memperhatikan isi dan gaya bahasa dari bahasa sumber atau memberikan fokus pada kesepadanan dalam menghasilkan produk yang disebut sebagai terjemahan (1991:13) Lebih lanjut, Nida dan Taber (1974:13) menambahkan bahwa penerjemahan merupakan upaya menciptakan kembali pesan (dalam hal makna kemudian gaya bahasanya) dari bahasa sumber ke bahasa target dengan padanan sedekat mungkin.

Berdasarkan definisi di atas, terlihat adanya kesepakatan bahwa penerjemahan merupakan suatu proses yang berhubungan dengan dua bahasa atau lebih, yang menekankan pada suatu kesepadanan atau ekuivalensi. Baker (1992), di antara banyak yang lain, merupakan salah satu ahli yang membahas secara rinci konsep kesepadanan, dimulai dari pengertian kesepadanan dalam berbagai tataran hingga hubungannya dengan proses penerjemahan. Dia menjelaskan bahwa kesepadanan, yang meliputi kesepadanan leksikal, gramatikal, tekstual, dan pragmatis, dapat terjadi pada tataran kata dan di atas tataran kata. Untuk menyampaikan pesan secara akurat, kesepadanan kata sering dijadikan fokus utama oleh penerjemah. Sebab, pada kenyataannya, penerjemah akan berusaha mencari padanan kata yang dia temukan di

(18)

teks sumber dalam bahasa target. Meskipun terkadang tidak ditemukan padanan kata yang bermakna sama dalam bahasa sumber dan bahasa target, penerjemah dapat menggunakan kata yang berfungsi sama sehingga keduanya dapat saling dipertukarkan (interchangeable). Contohnya adalah istilah Cheerios yang merupakan merek sereal sarapan terkenal di Amerika bisa diterjemahkan menjadi Coco Crunch di Indonesia, begitu juga dengan Jell-O yang bisa diganti dengan Nutrijel. Kata atau istilah dari teks sumber bisa dipadankan dengan istilah yang lebih dekat dan familiar dengan pembaca target.

Menemukan padanan yang sesuai merupakan sesuatu yang berusaha dicapai dalam sebuah proses penerjemahan, karena, dengan padanan yang sesuai pembaca target akan mampu memahami terjemahan dengan baik. Adapun hasil terjemahan yang baik, seperti yang sudah disinggung di atas, adalah teks yang mampu menyampaikan (makna, isi, pesan) teks yang dapat diterima dan sesuai dengan selera masyarakat pembaca. Kekeliruan dalam pemilihan padanan akan berpengaruh besar pada hasil akhir terjemahan yang akan diterima pembaca target. Ketidaksesuaian antara bahasa sumber dengan bahasa target dalam sebuah penerjemahan akan berakibat pada hasil terjemahan yang buruk dan kurang sesuai karena tidak adanya kesinambungan antara teks sumber dan target. Penerjemahan merupakan proses yang kompleks, karena penerjemah harus selalu berurusan dengan berbagai faktor, seperti linguistik dan budaya misalnya, sekaligus. Hatim (2001:10) menyinggung bahwa kompleksitas penerjemahan tidak hanya menyangkut kosa kata dan tata bahasa semata, melainkan juga menyangkut masalah budaya—”[a] translation work is a

(19)

multi-faceted activity; it is not a simple matter of vocabulary and grammar only but that it can never be separated from the culture.” Selain penguasaan atas bahasa

sumber dan bahasa target, penerjemah juga diharuskan memiliki keterampilan lain, yakni keluwesan dan kepemilikan wawasan mengenai berbagai budaya dan disiplin ilmu, tergantung jenis teks yang sedang diterjemahkan.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan sejumlah poin penting dalam definisi penerjemahan, yaitu proses pengalihbahasaan sesuatu (teks, isi, pesan, makna) ke bahasa target, pemindahan atau penciptaan kembali, dan kesepadanan (equivalence). Dalam proses penerjemahan, penerjemah selalu berusaha mendapatkan unsur bahasa target yang sepadan dengan bahasa sumbernya agar dapat mengungkapkan pesan yang sama dalam teks target. Karena setiap bahasa mempunyai aturan tersendiri, maka perbedaan aturan ini cendrung menyebabkan terjadinya pergeseran dan/atau penyesuaian. Meski penerjemahan harus mengutamakan kesepadanan isi dan gaya bahasa, terkadang makna yang terdapat dalam teks sumber tidak selalu dipertahankan dalam versi teks terjemahan (Hamerlain, 2005:55). Penyebabnya kemungkinan besar berasal dari pandangan dan keyakinan penerjemah tentang apa yang dimaksud terjemahan yang sebenarnya. Masing-masing penerjemah tentunya memiliki ukuran dan pandangan berbeda mengenai terjemahan yang baik yang bisa saja berbeda satu sama lain walaupun mereka sama-sama ingin menghasilkan terjemahan yang memberikan informasi dan diterima dengan baik oleh masyarakat. Perbedaan pandangan ini pada akhirnya mengarah pada ideologi, teknik atau metode

(20)

penerjemahan seperti apa yang akan diterapkan penerjemah dalam proses pengalihbahasaannya.

1.4.2 Pengirim dan Penerima, Penerjemah sebagai Komunikator

Apakah sebenarnya peran penerjemah itu? Pada bagian sebelumnya telah disinggung sejumlah arti penerjemahan menurut para ahli, bagian ini akan meneruskan dengan bahasan tentang peran penerjemah dalam proses penerjemahan. Penerjemahan pada dasarnya merupakan sebuah bentuk komunikasi yang tidak jauh berbeda dengan sebuah interaksi verbal (Hatim dan Mason, 1997). Dalam sebuah proses komunikasi terdapat apa yang disebut sender (pembicara, penulis, produsen) dan receiver (penerima, pembaca, target). Penerjemahan juga mengenal hal yang sama. Dalam proses penerjemahan, terdapat penulis sebagai sender yang mengirimkan teks untuk dibaca dan kemudian diterjemahkan oleh penerjemah sebagai receiver. Proses tersebut, menurut Hatim dan Mason (1997:1), dapat dikategorikan sebagai sebuah proses komunikasi. Bühler (1990:35) menggambarkan sebuah proses komunikasi dengan Model Organon sebagai berikut:

(21)

Gambar 1.1 Model Organon

Berdasarkan model tersebut, Bühler (1990:35) menerangkan bahwa objects

and states of affairs berperan sebagai konteks dalam sebuah proses komunikasi antara

pengirim (sender) dan penerima (receiver) dengan menggunakan tanda (sign) tertentu. Yang menarik di sini, menurut Bühler (1990), adalah bahwa terkadang pengirim dan penerima tidak memiliki pemahaman yang sama akan tanda (sign) yang digunakan. Dengan kata lain, sebuah tanda yang disampaikan oleh pengirim dapat diterima sebagai hal yang sama sekali berbeda oleh penerima. Hal ini dikarenakan bahasa yang digunakan baik oleh pengirim maupun penerima memiliki berbagai fungsi yang berbeda, yaitu: (1) fungsi ekspresif, dimana bahasa merupakan gejala dan digunakan untuk mengungkapkan perasaan pengirim; 2) fungsi apelatif, dimana bahasa merupakan sinyal yang memiliki daya tarik untuk mengarahkan perasaan dan perilaku pengirim; dan 3) fungsi representatif, dimana bahasa sebagai lambang yang dapat digunakan untuk membicarakan objek dan berbagai keadaan.

(22)

Asumsi dasar model organon adalah bahwa bahasa sebagai alat penyampaian pesan tidak bisa dipisahkan dari pembicara dan pendengar, pengirim dan penerima, pembaca dan penulis. Dalam sebuah proses penerjemahan, penerjemah memegang peranan ganda sebagai pengirim (sender) sekaligus penerima (receiver); penerjemah menerima teks sumber dari penulis untuk kemudian mengalihbahasakan dan menulis ulang teks tersebut menjadi teks target yang dikonsumsi masyarakat (Hatim dan Mason, 1997:1-2). Hal ini, menurut Hatim dan Mason (1997), menempatkan penerjemah sebagai “komunikator” dalam sebuah proses penerjemahan. Secara singkat, komunikator dapat didefinisikan sebagai pihak yang mengirim atau menyampaikan pesan dari satu pihak ke pihak lain dalam sebuah proses komunikasi. Dengan kata lain, komunikator merupakan seseorang atau sekelompok orang yang berinisiatif untuk menjadi sumber dalam sebuah hubungan. Seorang komunikator tidak hanya berperan dalam menyampaikan pesan kepada penerima, namun juga memberikan respons dan tanggapan sesuai dengan apa yang diinginkan dan disampaikan oleh penerima (masyarakat) yang terkena dampak dari proses komunikasi yang berlangsung, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti penerjemah sebagai komunikator bertugas untuk menjembatani antara teks sumber dan teks target serta antara pihak produsen (penulis) ke penerima (masyarakat pembaca). Penerjemah diharapkan mampu menyajikan produk terjemahan yang tidak hanya sesuai dengan maksud penulis tapi juga sesuai dengan selera dan standar pembaca.

(23)

Akan tetapi, seperti yang telah disampaikan Bühler (1990), dalam sebuah proses komunikasi, terkadang dapat terjadi perbedaan pandangan antara pengirim dan penerima pesan. Seperti halnya proses komunikasi pada umumnya, penerjemah berupaya untuk menyampaikan sebuah (teks, isi, pesan, makna) bentuk komunikasi, dengan melewati batas bahasa dan budaya, kepada masyarakat penerima yang berbeda dan kemungkinan untuk tujuan yang berbeda pula (Hatim dan Mason, 1997:1). Oleh karena itu, tidak jarang jika dalam menerjemahkan sebuah teks dapat terjadi perbedaan pandangan antara apa yang ingin disampaikan oleh penulis dan penerjemah dengan apa yang diterima oleh penerjemah dan pembaca. Newmark (1988:4) mengemukakan bahwa dinamika terjemahan menempatkan teks sumber dan teks target pada dua kutub yang berlawanan. Kedua kutub ini tentunya memiliki daya tarik menarik yang membuat penerjemah pada posisi yang penuh dengan masalah. Masalah itu dipengaruhi oleh empat faktor—produksi teks, norma dalam bahasa dan budaya sumber dan target, kebudayaan sumber dan target, serta format teks sumber dan target. Mengingat komunikasi penerjemahan berlangsung sebagai hasil dari mediasi pihak ketiga atau penerjemah, faktor penerjemah juga mempengaruhi produk yang dihasilkan.

Penerjemah sebagai komunikator sebagaimana disebutkan Hatim dan Mason, 1997) memiliki cara pandang tersendiri yang diwujudkan dengan interpretasi terhadap teks sumber dengan memanfaatkan gudang pengetahuan yang ada di setiap diri penerjemah. Dalam proses penerjemahan, penerjemah tidak begitu saja menerjemahkan teks sesuai dengan selera dan pemahamannya sendiri. Newmark

(24)

(1988:45) menyebutkan bahwa penerjemah harus memperhitungkan sejumlah faktor sebelum menentukkan langkah dan strategi penerjemahan apa yang akan diambil nantinya. Faktor-faktor tersebut di antaranya meliputi: a) maksud atau tujuan dalam sebuah teks sumber sebagaimana tercermin pada fungsi teks; b) tujuan penerjemah, misalnya, apakah dia ingin menyajikan teks apa adanya atau apakah dia justru ingin menambahkan atau mengurangi „nuansa‟ tertentu dalam terjemahannya tersebut; c) pembaca atau setting teks dapat menyangkut tentang detail target nantinya—di mana, kapan, dan siapa (jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, asal, dan sejenisnya). Faktor-faktor ini dalam Hatim dan Mason The Translator as Communicator (1997) dikenal sebagai audience design dan need analysis dan akan dibahas lebih jauh di bagian selanjutnya. Seluruh faktor yang ada akan diperhitungkan oleh penerjemah dan akan mempengaruhi langkah serta hasil akhir dari proses penerjemahan kedepannya.

Selain faktor-faktor di atas, faktor sosiokultural yang ada saat proses penerjemahan berlangsung juga mempengaruhi produk terjemahan nantinya. Sebagai contoh adalah hasil terjemahan Alkitab dari masa ke masa, terjemahaan antara

Authorized Version 1611, the revised standard version 1954 dan New English Bible 1961 memiliki karakateristik yang berbeda walaupun teks sumbernya sama. Hatim

dan Mason (1997:17) menjelaskan karakteristik perbedaan tersebut sebagai hasil dari orientasi yang berbeda dari proses penerjemahan itu sendiri. Terdapat dua orientasi, atau lebih tepatnya dua ideologi, berbeda yang bisa diterapkan penerjemah dalam proses penerjemahannya.

(25)

1.4.3 Menentukan Ideologi Penerjemahan, Antara Dua Pilihan

Ideologi dapat diartikan sebagai pandangan atau kebenaran yang dianut oleh seseorang atau masyarakat. Barthez (dalam Hoed, 2004:1) mengatakan bahwa ideologi merupakan mitos yang sudah „mantap‟ dalam suatu komunitas dan/atau masyarakat, dimana istilah mitos di sini merujuk pada pemaknaan atas suatu gejala budaya. Sementara menurut Hoed (2004) sendiri ideologi adalah suatu prinsip yang dipercayai kebenarannya dalam sebuah komunitas dalam masyarakat. Hatim dan Mason (1997) menambahkan bahwa ideologi adalah asumsi, keyakinan dan sistem nilai yang dimiliki secara kolektif oleh sebuah masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Ideologi yang dianut seseorang akan mengarahkan tindakannya sesuai dengan prinsip kebenaran yang dianutnya tersebut. Demikian pula dalam penerjemahan, ideologi yang dipegang penerjemah mengenai terjemahan yang baik akan mengarahkan setiap tindakan yang dilakukannya dalam proses penerjemahan. Sehingga, dalam konteks Translation Studies, ideologi dapat dipahami sebagai kepercayaan mengenai bentuk terjemahan yang baik dan dapat diterima oleh pembaca. Konsep baik-buruk dalam penerjemahan pada dasarnya dapat dilihat berdasarkan “untuk siapa” dan “untuk apa” terjemahan itu dibuat. Permasalahan “untuk siapa” dan “untuk apa” ini, dalam Hatim dan Mason (1997), masing-masing disebut sebagai

audience design dan needs analysis. Tidak ada terjemahan yang baik atau buruk

secara mutlak; penilaian tersebut tergantung pada “untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan itu dilakukan” (Hoed, 2004:1). Pada dasarnya, pemaknaan dan penilaian tentang “baik-buruk” dalam penerjemahan berkaitan dengan faktor-faktor di

(26)

luar penerjemahan itu sendiri, sehingga penilaian akan suatu hasil terjemahan menjadi sesuatu yang relatif. Penerjemahan yang “baik” akan cocok dan diterima oleh masyarakat pembaca.

Untuk terlebih dahulu mengetahui untuk siapa (audience design) dan untuk tujuan apa (needs analysis) dia menerjemahkan merupakan kewajiban yang harus dilakukan penerjemah sebelum proses penerjemahannya. Proses ini merupakan salah satu proses yang tidak dapat diabaikan dalam menerjemahkan karena merupakan proses awal dalam menentukan metode dan teknik penerjemahan yang akan dan harus digunakan. Dengan memahami kedua hal tersebut, seorang penerjemah akan dapat memutuskan ideologi yang akan dia anut dalam suatu penerjemahan, apa yang terbaik baik masyarakat pembaca target dan terjemahan seperti apa yang sesuai dan disukai mereka. Dalam kasus Cardcaptors, Nelvana, sebagai studio yang bertanggung jawab menerjemahkan dan mendistribusikan anime ini, kemungkinan besar telah terlebih dahulu mempelajari audience design dan needs analysis sebelum merilis karya ini ke pasar Amerika. Jepang, sebagai daerah asal teks sumber Cardcaptor Sakura, dan Amerika, sebagai “lokal” yang menjadi target adaptasi Cardcaptors, memiliki harapan dan standar yang berbeda, terutama dalam kaitannya dengan adat dan budaya mereka, tentang hal-hal yang mereka harapkan untuk ditemui di kartun anak-anak. Dengan membaca audience design dan needs analysis pada tempat dan waktu perilisan

Cardcaptors yang baru, Nelvana kemudian dapat menentukan ideologi penerjemahan

(27)

Mengutip pernyataan Basnett dan Lefevere, Hoed (2006:67) menyatakan bahwa apapun tujuannya, setiap proses penerjemahan akan selalu dibayangi oleh ideologi tertentu karena penerjemahan sendiri merupakan reproduksi pesan yang terkandung dalam teks sumber. Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang baik-buruk dalam penerjemahan—terjemahan seperti apa yang terbaik dan/atau yang cocok dan disukai oleh masyarakat pembaca tertentu. Berangkat dari ideologi yang dia miliki, seorang penerjemah kemudian mempertimbangkan “mengapa dan bagaimana saya menerjemah?” yang akan menjadi penentu bentuk terjemahannya nanti (Venuti, 1995). Scheleiermacher (dalam Venuti, 1995:19) menawarkan jawaban bahwa terdapat dua kecenderungan atau strategi dalam penerjemahan: penerjemahan dapat berorientasi ke pembaca atau ke penulis—”there

are only two. Either the translator leaves the author in peace, as much as possible, and moves the reader towards him; or he leaves the reader in peace, as much as possible, and moves the author towards him [hanya terdapat dua kemungkinan.

Penerjemah dapat membiarkan penulis apa adanya dan menarik pembaca ke arahnya; atau penerjemah membiarkan pembaca apa adanya dan menarik penulis ke arahnya]”. Beranjak dari pemikiran ini, Venuti (1995:20-21) lalu memperkenalkan dua kecenderungan yang berbeda, dimana satu sisi meyakini bahwa terjemahan yang baik adalah yang dekat dengan budaya dan bahasa sumber (foreignization atau foreignisasi), sementara yang lain meyakini bahwa terjemahan yang baik harus dekat dengan budaya dan bahasa target (domestication atau domestikasi).

(28)

Baik foreignisasi maupun domestikasi merupakan dua kecenderungan dan juga bisa disebut sebagai ideologi dalam penerjemahan, yang merupakan cerminan dari strategi yang digunakan penerjemah saat menerjemahkan yang merupakan pandangannya mengenai penerjemahan yang baik (Venuti, 1995). Dua ideologi ini menjadi dua kutub yang berlawanan yang membentuk pandangan mengenai cara dan strategi yang bisa digunakan dalam proses penerjemahan. Penerjemah yang memiliki orientasi ke bahasa sumber (foreignization) cenderung mempertahankan bentuk asli terjemahan dan gaya penulis asli sehingga produknya terasa sebagai karya terjemahan. Sementara penerjemahan yang memiliki orientasi ke bahasa target (domestication) cenderung berupaya agar hasil terjemahan terasa seperti teks asli yang diproduksi oleh bahasa target, sehingga produk terjemahan tersebut akan tampak seperti karya baru yang bisa berdiri sendiri. Berikut ideologi foreignisasi dan domestikasi akan diuraikan lebih lanjut.

1.4.3.1 Ideologi Foreignisasi (Foreignization), Menampilkan Apa Adanya

Ideologi foreignisasi, seperti yang diungkapkan sebelumnya, adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi pada bahasa (dan budaya) sumber, dimana terjemahan yang “baik” dan/atau “diterima” adalah yang tetap menyajikan teks sebagaimana mestinya, dengan sedikit atau tanpa perubahan, dan tetap menjaga kehadiran kebudayaan asing dalam teks tersebut (Venuti dalam Hoed, 2004:87). Penerjemahan dengan ideologi seperti ini, kemudian, merupakan “transferensi” atau “decentering” (Hoed, 2004:5), karena teks terjemahan yang dihasilkan mentransfer

(29)

budaya sumber ke budaya target apa adanya. Dalam hal ini, hasil terjemahan akan mempertahankan referensi budaya teks bahasa sumber serta menonjolkan aspek kebudayaan atau istilah asing yang ada dalam teks asli. Dengan tetap melibatkan aspek budaya yang ada dalam teks bahasa sumber, pembaca akan mengalami eksotisme teks asli dan mempelajari sesuatu yang tentang budaya dan bahasa yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Secara singkat kelebihan dari foreignisasi meliputi kemungkinan bagi pembaca untuk melihat, mengetahui, memahami dan mengenali budaya dan bahasa sumber dengan tetap dijaganya nuansa dan referensi budaya bahasa sumber, sedangkan kelemahannya adalah pembaca teks target mungkin merasa asing dengan beberapa istilah, teks terjemahan kadang terasa kompleks dan tidak natural dalam penggunaan bahasanya, dan aspek-aspek negatif budaya dalam bahasa sumber bisa mudah masuk dan berpengaruh pada pembaca.

Ideologi foreignisasi memandang bahwa terjemahan yang baik tetap mempertahankan bentuk-bentuk atau gaya-gaya bahasa teks sumber termasuk unsur-unsur kulturalnya. Mazi-Leskovar mengatakan bahwa, dalam konteks penerjemahan, foreignisasi merupakan upaya mempertahankan apa yang asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target tapi merupakan hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber (2003:5). Penganut ideologi ini, dia melanjutkan, mempertahankan gaya dan cita rasa kultural bahasa sumber yang dianggap sebagai ukuran penerjemahan yang baik. Kebenaran, menurut pandangan ini, dilakukan dengan mempertahankan apa yang terdapat pada teks bahasa sumber. Penerjemahan yang „baik‟, dengan demikian, adalah yang sesuai dengan selera dan harapan

(30)

masyarakat pembaca yang menginginkan kehadiran kebudayaan bahasa sumber. Venuti (1995) menjelaskan bahwa, berlawanan dengan domestikasi, penerapan foreignisasi dalam penerjemahan memungkinkan pembaca bahasa target untuk merasakan keberadaan penerjemah dan mengenali bahwa apa yang tengah mereka nikmati merupakan produk hasil terjemahan.

Salah satu contoh dari penerapan foreignisasi antara lain bisa ditemukan dalam penerjemahan nama, sapaan dan/atau istilah budaya khusus. Seorang penerjemah tidak akan menerjemahkan sejumlah kata-kata asing seperti kata Mr, Mrs, Miss, Mom, dan

Dad dari bahasa Inggris dengan alasan sapaan seperti itu tidak lagi asing bagi

pembaca dan akan lebih mudah dipahami. Sementara itu, contoh foreignisasi yang lain dapat diambil dari penerjemahan teks bahasa Jepang yang masih menyajikan honorifik (-san, -kun, -chan, -sama) dan kata-kata seperti hanami (acara melihat bunga sakura di musim semi), ikebana (kegiatan merangkai bunga), atau geta (sandal tradisional Jepang yang dipakai dengan kimono/yukata) apa adanya, tanpa menghilangkan atau mengubahnya ke bahasa target. Dengan mempertahankan teks bahasa sumber tersebut, penerjemah dapat tetap mempertahankan nuansa „asing‟ dalam terjemahannya dan memungkinkan pembaca untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa dan budaya yang lain. Seorang penerjemah pada saat tertentu akan berhadapan dengan bentuk atau istilah tertentu dari teks sumber yang kemudian memerlukan pertimbangan khusus apakah dia harus menjaga keakuratan dan menyajikan teks seperti aslinya ataukah harus merubah teks tersebut menjadi sesuatu yang familiar sehingga bisa memudahkan pemahaman pembaca.

(31)

1.4.3.2 Ideologi Domestikasi (Domestication), Menciptakan Kembali yang Ada Di sisi lain, ideologi domestikasi, yang berorientasi pada budaya dan bahasa target, bertujuan menyajikan teks terjemahan yang lebih mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca target. Ideologi ini meyakini bahwa penerjemahan yang “baik” dan/atau “diterima” adalah yang sesuai dengan selera pembaca yang menginginkan teks terjemahan sesuai dengan kebudayaan mereka sebagai masyarakat bahasa target. Dengan kata lain, domestikasi mengharapkan suatu karya terjemahan tidak terasa seperti terjemahan tapi seperti karya baru yang diproduksi sendiri oleh bahasa target. Venuti (1995:21) menyebut kecenderungan domestikasi ini sebagai “transparansi”, karena melibatkan proses penulisan ulang (penerjemahan) menjadi wacana yang transparan sehingga terjemahan mudah dan lancar dibaca serta dan dapat dipahami dari sudut pandang budaya target. Ideologi domestikasi lahir dari pandangan yang menganggap bahwa „keasingan‟ atau „keanehan‟ yang tidak biasa dalam teks sumber dapat menjadi penghalang bagi pembaca target untuk memahami teks tersebut, sehingga perlu ditransparansikan dengan konteks budaya bahasa target. Mazi-Leskovar (2003), sementara itu, berpendapat bahwa domestikasi mengacu pada perubahan secara keseluruhan di semua tingkat teks dalam rangka membuat pembaca target yang berasal dari negara lain atau tinggal di wilayah geografis yang berbeda dan/atau yang memiliki pengalaman sosio-kultural serta latar belakang budaya yang berbeda dapat memahami teks terjemahan dengan baik. Dia menambahkan bahwa domestikasi juga dikenal dengan berbagai nama lain, yakni lokalisasi (localization),

(32)

adaptasi (adaptation), dan reproduksi (reproduction). Dometikasi menyangkut perubahan, penyesuaian, pada teks terjemahan dengan sedemikian rupa sebagai upaya untuk meningkatkat keberterimaan teks. Kelemahan dan kelebihan yang dimiliki domestikasi merupakan kebalikan dari yang dimiliki foreignisasi. Oleh karena itu, meski teks terjemahan terasa natural dan komunikatif sehingga memungkinkan terjadinya asimilasi budaya dan mudahnya pemahaman teks terjemahan oleh pembaca baru, aspek-aspek budaya yang terkandung dalam bahasa sumber sering kali pudar dan pembaca baru tidak bisa memberikan interpretasi atau mendapat pengetahuan tentang budaya dan bahasa sumber dari teks. Clements dan McCarthy (2006:93) bahkan sepakat memandang domestikasi sebagai salah satu bentuk sensor, karena upaya penyesuaian yang dilakukan dapat mengubah intensi dari teks sumber dan memberikan pembaca informasi yang keliru (menjebak) tentang karya yang mereka nikmati.

Contoh dari penerapan ideologi domestikasi diberikan Nida dan Taber (1974) yaitu tentang penerjemahan kitab injil, dan pada studi ini Cardcaptors. Sejumlah contoh lain juga dapat dilihat di beberapa teks terjemahan novel atau bentuk karya prosa lain yang melokalisasi nama-nama tokoh cerita. Penyesuaian dilakukan melalui perubahan nama menjadi lebih familiar dan lebih mudah diucapkan pembaca. Di Indonesia, misalnya, nama Romeo dan Juliet bisa diganti dengan nama Romi dan Yuli. Selain memudahkan untuk dibaca, tokoh-tokoh tersebut akan terasa lebih dekat dengan kultur pembaca Indonesia lewat nama mereka yang sudah familiar. Selain itu, Mazi-Leskovar (2003) juga memberikan contoh domestikasi tersendiri dalam kasus

(33)

penerjemah Slovenia yang mengubah nama tokoh Tom dengan Tomaz—sebuah variasi nama yang lebih akrab bagi pembaca Slovenian—dalam teks terjemahannya. Usaha domestikasi yang dilakukan penerjemah tidak berhenti di situ; dia juga turut mengubah nama tokoh-tokoh lainnya, memperpendek judul, serta menghilangkan sebagian informasi yang dianggap kurang sesuai bagi masyarakat pembaca Slovenia (Mazi-Leskovar, 2003:5). Penyesuaian-penyesuaian ini, sekali lagi, menunjukkan upaya domestikasi yang dilakukan dalam rangka menghapus nuansa „asing‟ dalam teks dan membawanya lebih dekat ke pembaca target.

Domestikasi merupakan pilihan yang tepat untuk membawa teks terjemahan lebih dekat kepada pembaca target. Pada domestikasi karya sastra tertentu, penerjemah bisa menghubungkan isu sebuah peristiwa atau fenomena sosial tertentu dalam teks sumber ke dalam fenomena serupa yang terjadi di masyarakat pembaca bahasa target. Sebagai contoh adalah kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, buruh dan TKW, yang diangkat di sejumlah karya baru-baru ini, dapat dikaitkan dengan kasus perbudakan di Amerika abad 19, dan sebaliknya. Perlakuan buruk yang diterima seorang tokoh pembantu di novel Indonesia, misalnya, bisa diibaratkan dengan perbudakan yang terjadi di Amerika atau di masyarakat lain. Penyesuaian ini membuat nuansa „asing‟ yang diceritakan di dalam teks sumber menjadi lebih dekat dengan pembaca, karena nuansa tersebut telah diterjemahkan, meski dalam konteks kultural yang berbeda, dengan situasi serupa yang ada dalam masyarakat target. Meski uraian tentang ideologi domestikasi dan foreignisasi menunjukkan orientasi keduanya yang bertolak belakang satu sama lain, dunia

(34)

penerjemahan tidaklah semata-mata terjebak dalam suatu persoalan „hitam-putih‟. Untuk menentukkan kutub ideologi yang akan dianut, seorang penerjemah perlu mengetahui mengapa suatu teks itu diterjemahkan, apa fungsi dan tujuan dari teks terjemahan tersebut, karena setiap teks pasti dihasilkan untuk memenuhi tujuan tertentu. Setiap ideologi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan dengan terlebih dahulu memahami tujuan dan target suatu penerjemahanlah maka penerjemah dapat menentukan ideologi mana yang lebih sesuai dalam menerjemahkan teks-teks tertentu.

1.4.3.3 Foreignisasi vs Domestikasi, Ketika Motif Dipertanyakan

Perdebatan mengenai penggunaan domestikasi dan foreignisasi sudah sejak lama menjadi perhatian para ahli teori penerjemahan. Venuti (1995) telah melakukan penelitian dalam bidang penerjemahan pada budaya Anglo-Amerika dan merupakan tokoh yang memperkenalkan kedua istilah tersebut dalam bukunya The Translator

Invisibility. Dia menemukan bahwa banyak penerbit cenderung menggunakan

domestikasi dalam menerjemahkan teks-teks, advokasi pada khusunya, karena dianggap mempermudah pembaca. Kecenderungan ini dilakukan untuk menjaga eksistensi atau nama si penerbit di wilayahnya. Atas pesanan penerbit inilah kemudian penerjemah bekerja. Menurut Venuti, hal ini membuat penerjemah mendapat pengakuan terhadap eksistensinya, namun di sisi lain adanya etnosentris terhadap nilai budaya bahasa target (1995:20). Meski dikatakan memudahkan pembaca target dan membawa teks lebih dekat pada mereka, domestikasi juga dapat menyebabkan cita

(35)

rasa budaya dalam bahasa sumber tidak tersampaikan dalam bahasa target. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya masalah tersebut, Venuti menyarankan ideologi foreignisasi, yang merupakan kebalikan dari domestikasi, dan menawarkan solusi terhadap perselisihan penerjemahan istilah-istilah budaya.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa ideologi yang dipilih penerjemah dapat dirancang atau disesuaikan dengan pesanan dari klien atau penerbit. Di lain sisi, tujuan penerjemahan, jenis teks, dan target pembaca juga berperan dalam membentuk ideologi penerjemah. Pemilihan ideologi penerjemahan dapat merupakan konsekuensi logis dari apa yang oleh apa yang disebut sebagai audience design (untuk siapa) dan

need analysis (untuk tujuan apa). Sebelum menerjemahkan, penerjemah harus

menentukan dua hal tersebut—apakah penerjemahan yang dia lakukan atas motivasinya sendiri, penerbit, atau masyarakat—dan, setelah menentukannya, secara otomatis penerjemah akan memilih ideologi yang sesuai dengan „proyek‟ penerjemahan yang dia hadapi.

Penerjemah yang menerjemahkan teks yang berhubungan dengan kesehatan untuk mahasiswa kedokteran dan untuk orang awam, misalnya, akan menerapkan ideologi penerjemahan yang berbeda. Untuk mahasiswa kedokteran yang telah familiar dengan bahasa kedokteran dan bahasa asing akan menerima teks terjemahan dengan ideologi foreignisasi sehingga mereka bisa lebih memperkaya pengetahuan kosakata mereka. Sedangkan masyarakat umum yang tidak familiar dengan bahasa kedokteran atau bahasa asing manapun akan mendapatkan teks dengan ideologi domestikasi yang memudahkan mereka untuk memahaminya. Teks terjemahan untuk

(36)

mahasiswa kedokteran akan digunakan sebagai buku pegangan, sementara bagi masyarakat umum teks terjemahan mereka hanyalah sebagai bacaan ringan yang dibaca selagi senggang. Penerjemah sendiri bisa merupakan dosen di fakultas kedokteran atau merupakan penerjemah bebas tanpa latar belakang kedokteran, dan melakukan penerjemahan atas permintaan penerbit bukannya kemauan sendiri. Banyak faktor yang harus diperhitungkan oleh penerjemah dalam menentukan ideologi penerjemahan apa yang dia anut. Audience design (untuk siapa) dan need

analysis (untuk tujuan apa) memegang peranan penting dalam hal ini.

Setiap penerjemah(an) cendrung memiliki motif tersendiri di balik penerapan ideologi mereka. Seorang penerjemah biasanya menerapkan salah satu ideologi penerjemahan karena ingin memudahkan pembaca. Namun, pada kasus tertentu, penerjemah dapat memanfaatkan motif budaya atau nilai-nilai kultural dalam pemilihan ideologinya. Yang umumnya menjadi contoh adalah alasan kesopanan, dimana teks sumber dianggap terlalu vulgar atau mengangkat masalah tabu sehingga penerjemah tidak dapat menerjemahkan teks apa adanya, tapi harus menghilangkan dan/atau memodifikasinya dengan nuansa lokal yang lebih diterima. Ada ungkapan-ungkapan tertentu yang jika diterjemahkan begitu saja akan menimbulkan ketidakberterimaan secara kultural pada masyarakat bahasa target. Ketika seorang penerjemah menjumpai kasus seperti ini, dia harus dengan pandai berusaha mencari padanan terdekat atau solusi tanpa harus melanggar norma yang dituntut masyarakat bahasa target.

(37)

Motif ideologi atau politik juga dapat melatarbelakangi pemilihan domestikasi-foreignisasi dalam penerjemahan. Penerjemah kadang karena alasan atau pesanan dari pihak tertentu menggunakan penerjemahan sebagai alat untuk mendukung atau menyampaikan tujuan dari sebuah ideologi yang mereka anut atau mereka sukai. Selain itu, motif ekonomi yang kemudian berujung pada kepopuleran dan kesuksesan juga dapat mendasari penerapan suatu ideologi dalam proses penerjemahan. Hal ini telah diungkapkan sebelumnya oleh Venuti (1995) yang melihat bagaimana penerbit menerapkan salah satu ideologi penerjemahan demi mempertahankan eksistensinya, dan didukung oleh Chifane (2010) yang menunjukkan bahwa ideologi dalam penerjemahan, sastra anak khususnya, dilakukan untuk menarik perhatian dan mencari keuntungan.

Selain motif-motif yang telah disebutkan di atas, Bastin (dalam Baker dan Saldanha, 2009:4-5) juga menyebutkan sejumlah motif khusus yang dapat mendorong penerjemah untuk mengadaptasi suatu ideologi tertentu dalam proses penerjemahan mereka. Motif-motif yang diperkenalkan antara lain: 1) cross-code breakdown terjadi saat padanan leksikal tidak dapat ditemukan, biasanya dalam kasus penerjemahan

metalanguage; 2) situational or cultural inadequacy dimana pandangan dan/atau

konteks yang terdapat di teks sumber tidak ada atau tidak bisa diterima di bahasa dan budaya target; 3) genre switching yang menyangkut perubahan satu tipe discourse ke yang lain (misalnya perubahan dari sastra dewasa ke anak) dan biasanya diikuti perubahan secara global pada teks sumber; dan 4) disruption of the communication

(38)

dan/atau kebutuhan untuk menujukan teks pada jenis pembaca baru, dimana teks terjemahan biasanya melalui modifikasi isi, presentasi, dan/atau style (Baker dan Saldanha, 2009:5).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai motif di balik keputusan seorang penerjemah untuk menerapkan sebuah ideologi dalam penerjemahannya.

Audience design (untuk siapa) dan need analysis (untuk tujuan apa)—yang dalam

kesempatan ini meliputi pesanan dari klien atau penerbit, tujuan dan fungsi penerjemahan, jenis teks, dan target pembaca—sangat berperan dalam membentuk ideologi penerjemah. Berdasarkan pembacaan terhadap tujuan dan target terjemahan, penerjemah dapat memilih, dengan kekurangan dan kelebihan tiap ideologi, mana yang sesuai dengan konteks penerjemahan teks dan masyarakat tertentu. Karena tiap teks yang diterjemahkan di tiap kondisi dan masyarakat yang berbeda akan menuntut penerapan ideologi, penyesuaian, tersendiri. Namun, tidak terbatas pada ideologi saja, penentuan dan pemahaman untuk siapa dan untuk tujuan apa sebuah penerjemahan dilakukan juga turut mempengaruhi metode dan teknik penerjemahan yang akan diterapkan kemudian.

1.4.4 Memilih Teknik Penerjemahan, Untuk Apa dan Siapa

Mengikuti ideologi penerjemahan yang telah diterangkan di atas, terwujudlah sejumlah metode dan teknik penerjemahan yang berorientasi ke bahasa sumber atau target. Bila hal ini dihubungkan dengan proses penerjemahan, Newmark (1988:11) mengatakan bahwa pada tahap analisis, penerjemah membaca teks bahasa sumber

(39)

dengan tujuan untuk memahami topik dan menganalisisnya menurut sudut pandang penerjemah. Setelah memahami tujuan dan cara penulisan oleh penulis asli serta tujuan dan target terjemahannya nanti, penerjemah akan dapat menentukan metode dan teknik terbaik dalam menerjemahkan teks tersebut sesuai dengan ideologinya. Metode dan teknik yang dipilih tentunya telah direncanakan atau disesuaikan dengan tujuan penerjemahan, jenis teks, target pembaca, atau pesanan dari klien yang nantinya membentuk ideologi penerjemah.

Penelitian ini menekankan pada teknik penerjemahan yang digunakan, karena, berbeda dengan metode penerjemahan yang mencakup keseluruhan teks, teknik penerjemahan berkaitan dengan kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih kecil (seperti klausa, frasa, dan/atau kata). Yang menjadi fokus utama dalam penelitian adalah domestikasi nama dalam Cardcaptors, dimana nama-nama yang dimaksud berbentuk satuan-satuan kecil seperti klausa, frasa, dan/atau kata yang berkaitan erat dengan teknik daripada metode penerjemahan. Oleh karena itu, pada bagian ini akan diuraikan secara singkat tentang pengertian hingga spesifikasi teknik penerjemahan yang dimaksud.

Untuk menghasilkan hasil terjemahan yang baik, penerjemah memerlukan strategi yang sangat ditentukan oleh tujuan dan metode penerjemahan serta pembaca target. Strategi ini kemudian lebih dikenal sebagai teknik penerjemahan sebagaimana dikatakan Hoed (2006). Molina dan Albir (2002:509), sementara itu, mendefinisikan teknik penerjemahan sebagai prosedur untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana kesepadanan terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada berbagai

(40)

satuan lingual. Para ahli telah memperkenalkan sejumlah teknik penerjemahan yang, mengikuti ideologi penerjemahan, dapat diklasifikasikan berdasarkan orientasi bahasa sumber dan target. Namun, penelitian ini akan memfokuskan diri pada teknik-teknik terjemahan yang disusun oleh Bastin (2009). Dalam salah satu bukunya, Bastin telah secara khusus menjabarkan teknik-teknik penerjemahan yang biasa digunakan penerjemah dalam proses dometikasi (2009:4-5), yaitu:

 Transcription (transkripsi): memberikan terjemahan kata-demi-kata dari teks bahasa sumber, dapat berupa dan/atau diikuti terjemahan harfiah.

 Omission (penghilangan): dapat mencakup baik penghilangan atau penghapusan teks secara parsial atau menyeluruh, dan pengubahan informasi yang eksplisit dalam teks bahasa sumber dijadikan implisit dalam teks bahasa target.

 Expansion (penambahan): merupakan kebalikan dari teknik sebelumnya. Penambahan yang dimaksud meliputi penambahan informasi yang pada dasarnya tidak ada dalam kalimat sumber dan juga pengubahan informasi yang implisit dalam teks bahasa sumber dijadikan eksplisit dalam teks bahasa target. Hal ini dilakukan untuk lebih memperjelas konsep „asing‟ yang kurang familiar bagi pembaca target.

(41)

 Exoticism: penggantian slang, dialek, atau kata-kata ungkapan dari bahasa sumber dengan padanan kultural di bahasa target

 Updating: mengubah dan/atau mengganti informasi yang kurang jelas dan kuno dengan yang lebih modern

 Situational or cultural adequacy: menciptakan kembali konteks atau suasana yang lebih familiar serta mudah diterima dan pahami oleh pembaca target.

 Creation: menciptakan versi teks global yang hanya memuat ide, pesan, dan fungsi yang dianggap penting dari teks original.

Pemilihan teknik penerjemahan akhirnya memang tidak dapat dipisahkan dari siapa pembaca target (audience design) dan untuk apa teks diterjemahkan (need

analysis). Setiap teknik memiliki keunggulan masing-masing sesuai dengan masalah

yang dihadapi oleh seorang penerjemah dan selaras dengan tujuan serta konteks penerjemahannya. Adapun konsekuensi pemilihan teknik penerjemahan akan tampak pada padanan yang dipilih dan pengaruh pada pemahaman pembaca akan pesan yang dialihkan nantinya.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek tertentu dan, karenanya, harus sesuai dengan kodrat keberadaan objek itu sebagaimana yang dinyatakan oleh teori. Penelitian ini merupakan penelitian

(42)

deskriptif-kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh deskripsi jawaban dari rumusan masalah, yang meliputi domestikasi nama (dalam) Cardcaptors, yang telah tersebut di atas. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, digunakan metode penelitian kualitatif yang merupakan prosedur penelitian yang mengkaji dan menghasilkan data deskriptif, yang berbentuk kata, frasa, klausa maupun kalimat, yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik, perhitungan atau cara kuantifikasi lainnya (Moleong, 2005:3). Metode ini diaplikasikan dalam rangka memahami fenomena yang terjadi dan menjadi fokus kajian dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005:6). Penelitian dasar ini bersifat deskriptif dengan menggunakan teknik mencari data, mengumpulkan, menganalisisnya serta menggeneralisasikan berdasarkan fenomena-fenomena yang dikumpulkan.

1.5.1 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini secara khusus mencakup nama-nama yang muncul dalam Cardcaptors dan Cardcaptor Sakura, dimana nama yang dimaksud tidak hanya mengacu pada nama-nama tokoh pada anime ini tapi juga pada nama (judul) serial ini sendiri dan seluruh episode yang ada di dalamnya. Data tersebut dapat berbentuk kata, frasa, klausa maupun kalimat yang berasal dari animasi yang menjadi objek penelitian ini yakni Cardcaptors, yang kemudian akan dibandingkan dengan versi original teks sumber, Cardcaptor Sakura. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini akan bisa

Gambar

Gambar 1.1 Model Organon

Referensi

Dokumen terkait

Pada percobaan kristalisasi dan sublimasi yang telah dilakukan oleh kelompok kami dapat dianalisa bahwa pada saat pencampuran asam benzoate dengan air panas, asam

Kerangka konseptual ini merupakan suatu komponen atau konsep dalam permberdayaan yang menghasilkan sebuah kesejehteraan ekonomi bagi masyarakat yang ada dan

Diharapkan dengan mengetahui dampak biologi, sosial dan ekonomi dari penerapan instrumen KKL di pulau-pulau kecil dapat disusun implikasi

dalam perjalanan hidupku; Mbah Putri (almh), Mbah Rom (almh), Mbah Salim (almh), Mbah Imam yang selalu penuh perhatian, Mbah Syamsul Kakung dan Mbah Syamsul

32 Maka dipanggil oleh Jesus akan murid-muridnja, lalu katanja, "Hatiku sangat kasihan akan orang banjak ini, karena sudah tiga hari lamanja mereka itu tinggal bersama-sama

Diceriterakan, konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau Setibanya di

Sistem PSB yang berjalan pada SMP Negeri 53 Palembang pada saat ini, Di awal tahun pelajaran sekolah menerima surat petunjuk pelaksanaan penerimaan siswa baru

dilaksanakan dengan menggunakan variasi metode pembelajaran, b) Teori Belajar Akselerasi ( The Accelerated Learning Theory ) bahwa pembelajaran itu harus dirancang agar