• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa: Suatu Analisis dengan Pendekatan Fiqh al-hadis Oleh: Mukhsin Nyak Umar *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hal-hal yang Diperbolehkan dalam Puasa: Suatu Analisis dengan Pendekatan Fiqh al-hadis Oleh: Mukhsin Nyak Umar *"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Mukhsin Nyak Umar*

Abstrak

Secara hierarkis, hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an karena berfungsi sebagai al-bayan (penjelas) bagi hukum-hukum yang terdapat di dalam Kitab Suci ini. Di antara persoalan yang dijelaskan oleh hadis adalah hal-hal yang boleh dilakukan ketika berpuasa, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam karyanya Fiqh al-Sunnah. Dengan menggunakan analisis fiqh al-hadis terhadap hadis-hadis ini, diketahui bahwa dari sepuluh persoalan yang ada, terdapat dua masalah yang menjadi perdebatan di kalangan ulama, yaitu junub pada pagi puasa dan mencium istri. Perdebatan ini terjadi karena adanya hadis-hadis yang saling bertentangan antara yang membolehkan dan yang melarangnya. Dalam menyikapi perbedaan yang terjadi antara hadis-hadis ini, Sayyid Sabiq menyelesaikannya dengan memakai metode al-jam’u wa al-tawfiq sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa junub pada pagi puasa dan mencium istri termasuk dalam kelompok perbuatan yang diperbolehkan dalam puasa.

Kata kunci: puasa, pendekatan fiqh al-hadis A. Pendahuluan

Sunnah atau hadis-hadis Nabi saw. merupakan induk dari sekian banyak disiplin ilmu agama. Ilmu ini pernah menjadi mahkota ilmu-ilmu keislaman. Bahkan Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa sunnah dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan peradaban.1

Pada sisi substansinya kebenaran hadis merupakan bagian integral dari wahyu. Pengingkaran terhadap hadis sama artinya dengan pengingkaran terhadap kebenaran yang bersumber dari Allah sendiri.2 Oleh karena itu, argumen yang dipegangi oleh para penginkar sunnah

* Guru Besar di bidang Hukum Islam pada Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry dan

Dosen Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.

1 Yusuf al-Qardhawi, Sunnah Rasul; Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban (Terj.)

Cet.I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), p. 145-148. Bandingkan dengan Yusuf al-Qardhawi, Studi Kritis As-Sunnah, (Terj.), Cet.I, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), p. 43-55. Sunnah dan hadis terkadang dipahami sebagai dua istilah yang berbeda dan kerapkali juga dipandang sama. Meskipun ada yang memahami bahwa sunnah lebih mengarah fi'liyah (perbuatan), sedangkan hadis lebih dipahami sebagai suatu ungkapan verbal Rasul.

2 Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekontruksi Fiqh al-Hadis (Banda

(2)

bahwa cukuplah hanya berpegang kepada al-Qur'an dengan menafikan sunnah, sangat rapuh dan tidak mempunyai dasar yang kuat. Bukankah segala perkataan dan perbuatan Nabi senantiasa dalam koridor dan kontrol wahyu.

Berkaitan dengan hal tersebut, Badruddin az-Zarkasyi (1344-1391) mengklasifikasikan ilmu-ilmu keislaman menjadi tiga bagian; pertama; Ilmu yang telah matang tetapi belum terbakar seperti nahwu (tatabahasa) dan ushul fiqh. Kedua, ilmu yang belum matang belum pula terbakar; seperti sastra dan tafsir. Ketiga, adalah ilmu yang telah matang dan terbakar pula; yaitu fiqih dan hadis.3

Ilmu fiqih dan ilmu hadis dikatakan matang dan terbakar pula karena kedua ilmu ini begitu banyak dibahas oleh para ulama, dan istilah-istilah yang digunakan begitu banyak; sehingga tidak jarang setiap ulama mempunyai pengertian yang berbeda dengan ulama lain, walaupun istilah yang digunakan sama.4

Fiqih dapat dikatakan sebagai ilmu yang lahir dari hadis-hadis Nabi s.a.w. Walaupun ulama-ulama fiqih merujuk kepada al-Qur'an seringkali pemahamannya dikaitkan dengan hadis-hadis. Dan meskipun ilmu fiqih lahir dari hadis, namun pandangan dan pemahaman ulama-ulama hadis terhadap hadis, tidak jarang berbeda dengan pandangan ulama fiqh atau ushul fiqih.

Ulama hadis misalnya, memandang Nabi Muhammad saw. sebagai teladan, mengarahkan perhatian mereka kepada segala apa saja yang berkaitan dengan pribadi agung itu, baik berkaitan dengan hukum atau tidak. Bahkan mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang dinisbahkan kepadanya, baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Nabi, adalah sunnah. Sementara itu, ulama ushul fiqh membatasi bahasan-bahasan mereka, yang berkenaan dengan Rasul saw. dalam persoalan-persoalan yang dapat dijadikan kaidah-kaidah hukum. Sedangan ulama fiqh membatasi pembahasan mereka yang berkaitan dengan Rasul saw. hanya pada masalah-masalah yang berhubungan dengan perincin hukum syariat, yakni apakah ia wajib, sunnah, haram, makruh atau mubah.5

Mengacu pada perbedaan pandangan tersebut maka dalam memahami sunnah Nabi muncul dua aliran besar yaitu pemahaman secara tekstual dan pemahaman secara kontekstual. Kedua ciri ini sebenarnya telah dikenal bahkan dipraktekkan oleh para sahabat Nabi saw.

3 M. Quriash Shihab, Kata Pengantar dalam Muhammad al-Gazali, Studi Kritis Atas

Hadis Nabi Saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontesktual (Terj.), Cet.I; (Bandung: Mizan, 1991), p. 8.

4 Ibid. 5 Ibid.

(3)

Imam al-Qarafi dianggap sebagai orang yang pertama yang memilah ucapan dan sikap Nabi Muhammad saw. Menurutnya, Nabi saw. terkadang berperan sebagai Imam agung, Qadhi (penetap hukum yang bijaksana) juga seorang Mufti yang amat dalam pengetahuannya.6

Pendapat di atas, bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap hadis dicari konteksnya, apakah ia diucapkan/diperlukan oleh manusia agung itu dalam kedudukannya sebagai;

1. Rasul, dan karena itu pasti benar, sebab bersumber dari Allah.

2. Mufti, yang memberi fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah swt. kepadanya. Dan ini pun pasti benar serta berlaku umum bagi setiap Muslim.

3. Hakim, yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal benar, namun secara material adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan kemampuan akal salah satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara di sisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. 4. Pemimpin suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan

dan petunjuknya sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang Nabi temui. Dalam hal ini, sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan masyakaratnya. Namun bagi masyarakat yang lain, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk dan bimbingan itu untuk diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing masyarakat.

5. Pribadi, baik karena ia: (a) memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dianugerahkan atau dibebankan oleh Allah dalam rangka tugas kenabian, seperti kewajiban shalat malam atau kebolehan menikahi lebih dari empat orang isteri dalam satu waktu yang bersamaan; maupun karena, (b) kekhususan-kekhususan yang diakibatkan oleh sifat manusia, yang berbeda antara seorang dengan lain, seperti perasaan suka atau tidak suka terhadap sesuatu. Terkait dengan persoalan terakhir ini tidak menjadi fokus perhatian utama mereka yang menitikberatkan pandangan ucapan atau sikap yang berkaitan dengan hukum.7

6 Ibid., p. 9

7 Ibid., p. 10. Dalam memahami hadis-hadis yang kemungkinan tekstual dan

kontekstual, universal, temporal, lokal, makna hakiki dan majazi, latar belakang, kondisi dan tujuan hadis tersebut diungkapkan oleh Rasul dapat dibaca dalam Yusuf Qardhawi, Studi... op. cit., p. 143-186. Juga Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), p. 9-21.

(4)

Dengan demikian pemahaman terhadap sunnah atau hadis-hadis Rasullah saw. sangat urgen dalam menjabarkan ajaran-ajaran Islam dalam bentuk hukum dan seluruh segi kehidupan manusia. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan bagaimana pemahaman ulama dalam memandang hadis-hadis Rasulullah saw. mengenai masalah hal-hal yang diperbolehkan dalam puasa.

B. Pembahasan

1. Junub dan Menyelam dalam air

Mengenai junub Sayyid Sabiq berpegang pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang sanadnya berasal dari Aisyah ra;

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹸﻞﻴﻋﺎﻤﺳﹺﺇ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻚﻟﺎﻣ

ﻦﻋ

ﻲﻤﺳ

ﻰﹶﻟﻮﻣ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹺﺮﹾﻜﺑ

ﹺﻦﺑ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻦﻤﺣﺮـﻟﺍ

ﹺﻦـﺑ

ﺙﹺﺭﺎﹶﳊﺍ

ﹺﻦﺑ

ﹺﻡﺎﺸﻫ

ﹺﻦﺑ

ﺓﲑﻐﹸﳌﺍ

ﻪﻧﹶﺃ

ﻊﻤﺳ

ﺎﺑﹶﺃ

ﹺﺮﹾﻜﺑ

ﻦﺑ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ

ﺖﻨﹸﻛ

ﺎﻧﹶﺃ

ﻲﹺﺑﹶﺃﻭ

ﺖﺒﻫﹶﺬﹶﻓ

ﻪﻌﻣ

ﻰﺘﺣ

ﺎﻨﹾﻠﺧﺩ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹶﺔﺸﺋﺎﻋ

ﻲﺿﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺎﻬﻨﻋ

ﺖﹶﻟﺎﹶﻗ

ﺪﻬﺷﹶﺃ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹺﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪـﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﹾﻥﹺﺇ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﺢﹺﺒﺼﻴﹶﻟ

ﺎﺒﻨﺟ

ﻦﻣ

ﹴﻉﺎﻤﹺﺟ

ﹺﺮﻴﹶﻏ

ﹴﻡﺎﹶﻠﺘﺣﺍ

ﻢﹸﺛ

ﻪﻣﻮﺼﻳ

ﻢﹸﺛ

ﺎﻨﹾﻠﺧﺩ

ﻰﹶﻠﻋ

ﻡﹸﺃ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ

ﺖﹶﻟﺎﹶﻘﹶﻓ

ﹶﻞﹾﺜﻣ

ﻚﻟﹶﺫ

8

Dari Aisyah ra. berkata: "Sunngguh saya telah menyaksikan Nabi s.a.w. diwaktu subuh berada dalam keadaan junub karena berjima', bukan disebabkan oleh mimpi kemudian beliau berpuasa, kemudian kami kompirmasi kepada Ummi Salamah dia mengatakan seperti itu juga. (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan agak sedikit berbeda meskipun substansinya sama;

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺪﻳﹺﺰﻳ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ

ﺝﺎﺠﺣ

ﻦﻋ

ٍﺀﺎﹶﻄﻋ

ﻦﻋ

ﹶﺔﺸﺋﺎﻋ

ﺖﹶﻟﺎﹶﻗ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﺐﻨﺠﻳ

ﻢﹸﺛ

ﻡﺎﻨﻳ

ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ

ﻡﺎﹶﻗ

ﹶﻞﺴﺘﹾﻏﺍ

ﺝﺮﺧﻭ

ﻪﺳﹾﺃﺭﻭ

ﻳ

ﺮﹸﻄﹾﻘ

ﻢﹸﺛ

ﻡﻮﺼﻳ

ﹶﺔﻴﻘﺑ

ﻚـﻟﹶﺫ

ﹺﻡﻮﻴﹾﻟﺍ

9

Dari Aisyah ra. berkata; Rasulullah s.a.w. dalam keadaan junub kemudian ia tidur, ketika bangun segera ia mandi, lalu ia berpuasa pada pagi hari. (HR. Ahmad).

8 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Mughirah al-Bukhary,

Shahih Bukhrary, Jilid III, (Beirut: Maktabah al-Tsaqafiyah, t.th.), p. 69. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, lihat Abu Husain Muslim bin Hajjaj Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, Jilid II, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 1991), p. 777.

(5)

Terdapat riwayat yang berbeda dengan hadis-hadis tersebut di atas, meskipun hal ini tidak disebutkan oleh Sayyid Sabiq, yaitu:

ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ﹴﻢﺗﺎﺣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻰﻴﺤﻳ

ﻦﺑ

ﺪﻴﻌﺳ

ﻦﻋ

ﹺﻦﺑﺍ

ﹴﺞﻳﺮﺟ

ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺪـﻤﺤﻣ

ﻦﺑ

ﹴﻊﻓﺍﺭ

ﹸﻆﹾﻔﱠﻠﻟﺍﻭ

ﻪﹶﻟ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻕﺍﺯﺮﻟﺍ

ﻦﺑ

ﹴﻡﺎﻤﻫ

ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ

ﻦﺑﺍ

ﹴﺞﻳﺮﺟ

ﻲﹺﻧﺮﺒﺧﹶﺃ

ﺪﺒﻋ

ﻚﻠﻤﹾﻟﺍ

ﻦﺑ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹺﺮﹾﻜﺑ

ﹺﻦﺑ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ

ﻦﻋ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹴﺮﹾﻜﺑ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺳ

ﺖﻌﻤ

ﺎﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﻲﺿﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻨﻋ

ﺺﹸﻘﻳ

ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ

ﻲﻓ

ﻪﺼﺼﹶﻗ

ﻦﻣ

ﻪﹶﻛﺭﺩﹶﺃ

ﺮﺠﹶﻔﹾﻟﺍ

ﺎﺒﻨﺟ

ﺎﹶﻠﹶﻓ

ﻢﺼﻳ

ﺕﺮﹶﻛﹶﺬﹶﻓ

ﻚﻟﹶﺫ

ﺪﺒﻌﻟ

ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ

ﹺﻦـﺑ

ﺙﹺﺭﺎﺤﹾﻟﺍ

ﻪﻴﹺﺑﹶﺄﻟ

ﺮﹶﻜﻧﹶﺄﹶﻓ

ﻚﻟﹶﺫ

ﻖﹶﻠﹶﻄﻧﺎﹶﻓ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ

ﺖﹾﻘﹶﻠﹶﻄﻧﺍﻭ

ﻪﻌﻣ

ﻰﺘﺣ

ﺎﻨﹾﻠﺧﺩ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹶﺔﺸﺋﺎﻋ

ﻡﹸﺃﻭ

ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ

ﻲﺿﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺎﻤﻬﻨﻋ

ﺎﻤﻬﹶﻟﹶﺄﺴﹶﻓ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ

ﻦﻋ

ﻚﻟﹶﺫ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺎﻤﻫﺎﺘﹾﻠﻜﹶﻓ

ﺖﹶﻟﺎﹶﻗ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﺢﹺﺒﺼﻳ

ﺎﺒﻨﺟ

ﻦﻣ

ﹺﺮﻴﹶﻏ

ﹴﻢﹸﻠﺣ

ﻢﹸﺛ

ﻡﻮﺼﻳ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺎـﻨﹾﻘﹶﻠﹶﻄﻧﺎﹶﻓ

ﻰـﺘﺣ

ﺎﻨﹾﻠﺧﺩ

ﻰﹶﻠﻋ

ﹶﻥﺍﻭﺮﻣ

ﺮﹶﻛﹶﺬﹶﻓ

ﻚﻟﹶﺫ

ﻪﹶﻟ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﹸﻥﺍﻭﺮﻣ

ﺖﻣﺰﻋ

ﻚﻴﹶﻠﻋ

ﺎـﱠﻟﹺﺇ

ﺎـﻣ

ﺖﺒﻫﹶﺫ

ﻰﹶﻟﹺﺇ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﺕﺩﺩﺮﹶﻓ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﺎﻣ

ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺎﻨﹾﺌﹺﺠﹶﻓ

ﺎﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﻮﺑﹶﺃﻭ

ﹴﺮﹾﻜﺑ

ﺮـﺿﺎﺣ

ﻚﻟﹶﺫ

ﻪﱢﻠﹸﻛ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺮﹶﻛﹶﺬﹶﻓ

ﻪﹶﻟ

ﺪﺒﻋ

ﹺﻦﻤﺣﺮﻟﺍ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﻮﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﺎﻤﻫﹶﺃ

ﻩﺎﺘﹶﻟﺎﹶﻗ

ﻚﹶﻟ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻢﻌﻧ

ﹶﻝﺎـﹶﻗ

ﺎﻤﻫ

ﻢﹶﻠﻋﹶﺃ

ﻢﹸﺛ

ﺩﺭ

ﻮﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﺎﻣ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ

ﻲﻓ

ﻚﻟﹶﺫ

ﻰﹶﻟﹺﺇ

ﹺﻞﻀﹶﻔﹾﻟﺍ

ﹺﻦﺑ

ﹺﺱﺎﺒﻌﹾﻟﺍ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﻮـﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﻤﺳ

ﺖﻌ

ﻚﻟﹶﺫ

ﻦﻣ

ﹺﻞﻀﹶﻔﹾﻟﺍ

ﻢﹶﻟﻭ

ﻪﻌﻤﺳﹶﺃ

ﻦﻣ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻊﺟﺮﹶﻓ

ﻮﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﺎﻤﻋ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ

ﻲﻓ

ﻚﻟﹶﺫ

ﺖﹾﻠﹸﻗ

ﺪﺒﻌﻟ

ﻚﻠﻤﹾﻟﺍ

ﺎﺘﹶﻟﺎﹶﻗﹶﺃ

ﻲﻓ

ﹶﻥﺎﻀﻣﺭ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻚﻟﹶﺬـﹶﻛ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﺢﹺﺒﺼﻳ

ﺎﺒﻨﺟ

ﻦﻣ

ﹶﻏ

ﹺﺮﻴ

ﹴﻢﹸﻠﺣ

ﻢﹸﺛ

ﻡﻮﺼﻳ

10

Hadis di atas menerangkan bahwa Abu Hurairah memahami bahwa jika seseorang dalam keadaan junub pada saat subuh ramadhan maka puasanya batal. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa terdapat beberapa tabiin yang mengamalkan pendapat Abu Hurairah tersebut. Ibnu Baththal mengatakan bahwa ini adalah salah satu ucapan Abu Hurairah, namun Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan tidak benar jika hadis ini berasal dari Abu Hurairah. Karena Ibnu Munzir meriwayatkannya dari Abu Hurairah melalui jalur Abu Muhzam, salah seorang perawi yang dhaif.11

Jika diperhatikan riwayat hadis dari Abu Hurairah kelihatannya ada keterangan bahwa ketika pendapat Abu Hurairah dikonfirmasikan dengan Aisyah dan Ummu Salamah, Abu Hurairah langsung mengatakan mereka

10 Muslim, Ibid., p. 889.

11 Muhammad Ali bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Authar: Syarah Munthaqa

(6)

berdualah yang lebih mengetahui apa yang dilakukan oleh Nabi.12 Ia juga mengatakan bahwa saya tidak mendengarnya langsung dari Nabi s.a.w., lalu Abu Hurairah menarik kembali fatwanya.

Meskipun terdapat perbedaan riwayat, ada ulama yang melakukan kompromi atau al-jam'u wa al-tawfiq. Menurut mereka, perintah dalam hadis Abu Hurairah merupakan perintah yang bersifat petunjuk tentang yang lebih baik. Jadi orang yang berhadas besar pada malam hari di bulan Ramadhan, sebaiknya dia memang mandi sebelum datangnya waktu fajar. Tetapi kalau umpamanya dia tidak mandi, maka boleh saja. Sedangkan hadis Aisyah hanya menerangkan tentang kebolehannya.13

Berkenaan dengan "menyelam" berdasarkan dalil yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan beberapa sahabat dari Nabi s.a.w. yang bercerita kepadanya:

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺪﺒﻋ

ﻮﹾﻟﺍ

ﹺﺏﺎﻫ

ﻦﻋ

ﺪﻴﻌﺳ

ﻦﻋ

ﺏﻮﻳﹶﺃ

ﻦﻋ

ﺪﺒﻋ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﹺﻦﺑ

ﹴﻖﻴﻘﺷ

ﻦﻋ

ﹶﺔﺸﺋﺎﻋ

ﹶﻝﺎـﹶﻗ

ﹰﺓﺮﻣ

ﻯﺮﺧﹸﺃ

ﻑﺎﱠﻔﺨﹾﻟﺍ

ﹺﻦﻋ

ﹺﻦﺑﺍ

ﹴﺱﺎﺒﻋ

ﱠﻥﹶﺃ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﺐﻴﺼﻳ

ﻦـﻣ

ﹺﺱﻭُﺀﺮﻟﺍ

ﻮﻫﻭ

ﻢﺋﺎﺻ

14

Dari Ibnu Abbas berkata; "Sungguh, saya telah melihat Rasulullah s.a.w. menimpakan air ke atas kepalanya sewaktu ia berpuasa. (HR. Ahmad, Malik, Abu Dawud dengan sanad yang sah).

Ditambahkan pula jika air ini masuk ke dalam rongga perut orang yang berpuasa tanpa disengaja, maka puasanya tetap sah. Pada masalah ini tampaknya tidak ada masalah, sebab tidak terdapat riwayat yang berbeda. 2. Mencium

Mencium isteri tidak membatalkan puasa bagi orang yang sanggup menahan dan menguasai syahwat atau nafsunya. Hal ini berdasarkan hadis yang telah diakui yang bersumber dari Aisyah:

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹸﻥﺎﻤﻴﹶﻠﺳ

ﻦﺑ

ﹴﺏﺮﺣ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻦﻋ

ﹶﺔﺒﻌﺷ

ﻦﻋ

ﹺﻢﹶﻜﺤﹾﻟﺍ

ﻦﻋ

ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ

ﻦﻋ

ﺩﻮـﺳﹶﺄﹾﻟﺍ

ﻦـﻋ

ﹶﺔﺸﺋﺎﻋ

ﻲﺿﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺎﻬﻨﻋ

ﺖﹶﻟﺎﹶﻗ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﹸﻞﺒﹶﻘﻳ

ﺮﺷﺎﺒﻳﻭ

ﻮﻫﻭ

ﻢﺋﺎﺻ

12 Ibid. 13 Ibid., p. 214.

(7)

ﹶﻥﺎﹶﻛﻭ

ﻢﹸﻜﹶﻜﹶﻠﻣﹶﺃ

ﻪﹺﺑﺭﹺﺈﻟ

ﹶﻝﺎﹶﻗﻭ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻦﺑﺍ

ﹴﺱﺎﺒﻋ

ﺏﹺﺭﺂﻣ

ﹲﺔﺟﺎﺣ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺱﻭﺎﹶﻃ

ﹺﺮﻴﹶﻏ

ﻲﻟﻭﹸﺃ

ﺔـﺑﺭﹺﺈﹾﻟﺍ

ﻤﺣﹶﺄﹾﻟﺍ

ﻖ

ﺎﹶﻟ

ﹶﺔﺟﺎﺣ

ﻪﹶﻟ

ﻲﻓ

ِﺀﺎﺴﻨﻟﺍ

15

Dari Aisyah ra. berkata: "Nabi saw. biasa mencuim diwaktu sedang berpuasa, dan bersentuhan dikala berpuasa, dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai nafsunya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis yang kedua bersumber dari Umar bin Khattab ra. ia berkata;

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺝﺎﺠﺣ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹲﺚﻴﹶﻟ

ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺮﻴﹶﻜﺑ

ﻦﻋ

ﺪﺒﻋ

ﻚﻠﻤﹾﻟﺍ

ﹺﻦﺑ

ﺪﻴﻌﺳ

ﻱﹺﺭﺎﺼﻧﹶﺄﹾﻟﺍ

ﻦﻋ

ﹺﺮﹺﺑﺎﺟ

ﹺﻦﺑ

ﺪﺒﻋ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻦﻋ

ﺮﻤﻋ

ﹺﻦﺑ

ﹺﺏﺎﱠﻄﺨﹾﻟﺍ

ﻲﺿﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻨﻋ

ﻪﻧﹶﺃ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺖﺸﺸﻫ

ﺎﻣﻮﻳ

ﺖﹾﻠﺒﹶﻘﹶﻓ

ﺎـﻧﹶﺃﻭ

ﺋﺎﺻ

ﻢ

ﺖﻴﺗﹶﺄﹶﻓ

ﹶﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﺖﹾﻠﹸﻘﹶﻓ

ﺖﻌﻨﺻ

ﻡﻮﻴﹾﻟﺍ

ﺍﺮﻣﹶﺃ

ﺎﻤﻴﻈﻋ

ﺖﹾﻠﺒﹶﻗ

ﺎﻧﹶﺃﻭ

ﻢﺋﺎﺻ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﺖﻳﹶﺃﺭﹶﺃ

ﻮﹶﻟ

ﺖﻀﻤﻀﻤﺗ

ٍﺀﺎﻤﹺﺑ

ﺖـﻧﹶﺃﻭ

ﻢﺋﺎﺻ

ﺖﹾﻠﹸﻘﹶﻓ

ﺎﹶﻟ

ﺱﹾﺄﺑ

ﻚﻟﹶﺬﹺﺑ

ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ

ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﻢﻴﻔﹶﻓ

16

Dari Umar bin Khattab ra. berkata: "Pada suatu hari bangkitlah birahi saya, maka saya cium –isteri saya— sedang saya berpuasa. Lalu saya temui Nabi s.a.w. kata saya kepadanya. "Hari ini saya telah melakukan hal berat, saya mencium padahal saya berpuasa. Maka Rasulullah s.a.w. berkata: "Bagaimana pendapat Anda, jika Anda berkumur-kumur sedang ketika itu Anda berpuasa"? Saya berkata; "Itu tidak apa-apa. Sabda Nabi pula; "Maka kenapa Anda tanyakan lagi. (HR. Ahmad bin Hanbal).

Selain itu, terdapat dua riwayat yang nampaknya bertentangan dengan kedua hadis tersebut di atas. Riwayat tersebut disebutkan dalam al-Muwaththa' Imam Malik yang berasal dari Ibnu Umar.

ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻦﻋ

ﻚﻟﺎﻣ

ﻦﻋ

ﹴﻊﻓﺎﻧ

ﱠﻥﹶﺃ

ﺪﺒﻋ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻦﺑ

ﺮﻤﻋ

ﹶﻥﺎﹶﻛ

ﻰﻬﻨﻳ

ﻦﻋ

ﺔﹶﻠﺒﹸﻘﹾﻟﺍ

ﺓﺮـﺷﺎﺒﻤﹾﻟﺍﻭ

ﻢﺋﺎﺼﻠﻟ

17

Malik menerima dari Nafi', ia menerima dari Abdullah bin Umar bahwasannya melarang untuk mencium dan memeluk (isteri) pada saat berpuasa. (HR. Malik).

ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻦﻋ

ﻚﻟﺎﻣ

ﻦﻋ

ﺪﻳﺯ

ﹺﻦﺑ

ﻢﹶﻠﺳﹶﺃ

ﻦﻋ

ِﺀﺎﹶﻄﻋ

ﹺﻦﺑ

ﹴﺭﺎﺴﻳ

ﱠﻥﹶﺃ

ﺪﺒﻋ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻦﺑ

ﻋ

ﹴﺱﺎﺒ

ﹶﻞﺌﺳ

ﻦﻋ

ﺔﹶﻠﺒﹸﻘﹾﻟﺍ

ﹺﻢﺋﺎﺼﻠﻟ

ﺺﺧﺭﹶﺄﹶﻓ

ﺎﻬﻴﻓ

ﹺﺦﻴﺸﻠﻟ

ﺎﻬﻫﹺﺮﹶﻛﻭ

ﺏﺎﺸﻠﻟ

18

15 Al-Bukhary, Shahih Bukhrary.... Muslim, Shahih Muslim.... Pada Bukhari

meriwayatkan dengan tiga riwayat sedangkan pada Muslim terdapat tiga belas riwayat dengan beragam sanad.

16 Riwayat Ahmad bin Hanbal, No. 350, lihat CD hadis. 17 Riwayat Malik, hadis No. 505, lihat CD hadis. 18 Riwayat Malik, hadis No. 574, lihat CD hadis.

(8)

Dua hadis yang terakhir disebutkan di atas merupakan hadis yang menjadi pegangan oleh Imam Malik sebagaimana diriwayatkan dalam al-Muwaththa'. Namun demikian jika diperhatikan hadis tersebut tidak marfu

—tetapi mauquf atau bersumber dari sahabat—dan tidak muttashil sampai kepada Rasul, sebab hadis tersebut hanya sampai kepada Ibnu Umar atau thabaqat sahabat. Hadis ini adalah satu-satunya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik.

Selain hadis di atas, Abu Dawud juga meriwayatkan hadis yang melarang tidur bersama dalam keadaan berpuasa yang bersumber dari Abu Hurairah:

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺮﺼﻧ

ﻦﺑ

ﻲﻠﻋ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻮﺑﹶﺃ

ﺪﻤﺣﹶﺃ

ﻲﹺﻨﻌﻳ

ﻱﹺﺮﻴﺑﺰﻟﺍ

ﺎﻧﺮﺒﺧﹶﺃ

ﹸﻞﻴﺋﺍﺮﺳﹺﺇ

ﻦﻋ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹺﺲﺒـﻨﻌﹾﻟﺍ

ﻦﻋ

ﺮﹶﻏﹶﺄﹾﻟﺍ

ﻦﻋ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ

ﱠﻥﹶﺃ

ﺎﹰﻠﺟﺭ

ﹶﻝﹶﺄﺳ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﻦـﻋ

ﺓﺮـﺷﺎﺒﻤﹾﻟﺍ

ﹺﻢﺋﺎﺼﻠﻟ

ﺺﺧﺮﹶﻓ

ﻪﹶﻟ

ﻩﺎﺗﹶﺃﻭ

ﺮﺧﺁ

ﻪﹶﻟﹶﺄﺴﹶﻓ

ﻩﺎﻬﻨﹶﻓ

ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ

ﻱﺬﱠﻟﺍ

ﺺﺧﺭ

ﻪﹶﻟ

ﺦﻴﺷ

ﻱﺬـﱠﻟﺍﻭ

ﻩﺎـﻬﻧ

ﺏﺎﺷ

19

Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang tidur bersama (isteri) bagi orang yang sedang berpuasa. Beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan datang lagi orang lain. tapi beliau melarangnya. Adapun orang yang diberinya keringanan tadi ialah karena dia sudah tua. Sedang yang dilarangnya karena dia masih muda. (HR. Abu Dawud).

Dari beberapa riwayat tersebut ada perbedaan riwayat yang berasal dari empat sahabat Rasulullah s.a.w. Aisyah dan Umar bin Khattab mengatakan bahwa Nabi membolehkan mencium isteri pada bulan ramadhan dalam keadaan puasa. Sedangkan Ibnu Umar dan Abu Hurairah sebagaimana disebutkan oleh Malik, melarang perbuatan tersebut. Sedangkan pada riwayat Abu Dawud yang juga berasal dari Abu Hurairah terdapat dua pilihan hukum sesuai dengan subyek atau orang yang bertanya, bagi pemuda hal tersebut terlarang sedangkan bagi orang tua hal tersebut menjadi keringanan.

Pada riwayat Aisyah terdapat beberapa redaksi yang sedikit berbeda dalam konteks matan, meskipun secara substansi hadis maknanya sama. Inilah apa yang disebut sebagai periwayatan bi al-makna. Artinya sahabat menerima redaksinya tidak semuanya sama. Karena salah satu ciri dari hadis ahad dan masyhur adalah adanya periwayatan makna. Apalagi bukan hanya periwayatan makna tetapi ada periwayatan yang berbeda seperti telah disebutkan.

(9)

Konsekuensi logis dari periwayatan bi al-makna dan perbedaan riwayat menimbulkan perbedaan pemahaman selanjutnya perbedaan pelaksanaan. Hal ini yang menimbulkan keragaman dalam memahami sunnah atau sering disebut tanawwu' fil ibadah. Hal tersebut yang menyebabkan perbedaan pandangan di antara ulama mazhab.

Ibnu Hajar al-Asqallani mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara orang yang melakukan itu seorang pemuda atau orang tua. Seperti yang diriwayatkan oleh 'Aisyah.20 Imam an-Nawawi menambahkan bahwa mencium isteri pada saat berpuasa tidak haram jika tidak disertai dengan syahwat, akan tetapi lebih baik jika ditinggalkan. Jika disertai dengan syahwat maka hukumnya haram, pandangan lebih kuat ada juga yang berpendapat makruh.21

Ibnu Munzir berkata bahwa Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Aisyah, Atha', Sya'bi, Hasan, Ahmad dan Ishak memberi keringanan atau rukhsah dalam hal mencium. Sedangkan menurut golongan Hanafi dan Syafi'i, hukumnya makruh jika merangsang syahwat atau nafsu seks seseorang dan jika tidak merangsang maka tidaklah makruh, tetapi lebih utama meninggalkannya.22

Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang telah tua dengan anak muda, karena yang diperhatikan ialah timbulnya rangsangan dan kemungkinan keluarnya sperma. Maka jika ia membangkitkan syahwat seorang anak muda atau seorang tua yang masih bertenaga, maka hukumnya makruh. Sebaliknya jika tidak ada pengaruh, misalnya terhadap seseorang yang telah lanjut usia atau seseorang pemuda yang lemah tenaganya, maka tidak makruh, tetapi lebih baik ditinggalkan. Juga tidak ada bedanya, apakah mencium itu pipi atau di mulut dan lain-lainnya. Demikian pula halnya dengan tangan atau berpelukan, hukumnya sama dengan mencium.23

Menurut Imam Syafi'i bahwa perbuatan tersebut hukumnya makruh jika disertai dengan syahwat yang kuat. Tapi tidak sampai membatalkan puasa seperti riwayat Imam Malik. Ini menunjukkan kehati-hatian pendapat as-Syafi'i yang lebih mengutamakan untuk menghindari perbuatan tersebut bahkan mengatakan bahwa makruh untuk dilakukan. Meskipun Abu Hanifa menganggapnya tidak makruh.24

20 Ibnu Hajar al-Asqallani, Fathu al-Bary Syarah Sahih al-Bukhary, Jilid IV, (Beirut:

Dar al-kutub al-Alami, 1996), p. 191.

21 Ibid.

22 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet., II Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), p. 341. 23 Ibid.

24 Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr

(10)

Pandangan Imam Syafi'i di atas dapat dipahami dimana ia menggunakan metode al-jam'u dan tawfiq yaitu menggabungkan antara riwayat yang berbeda yang berasal dari 'Aisyah-Umar pada satu sisi dan Ibnu Umar-Abu Hurairah pada sisi lain. Metode inilah yang paling tepat dan paling pertama harus dilakukan dalam menyelesaikan hadis-hadis yang nampaknya bertentangan.

Perbedaan riwayat dari persoalan ini menunjukkan bahwa pemahaman sahabat dan tabi'in terhadap sunnah sangat beragam. Dengan demikian menjunjung tinggi keragaman dalam praktek ibadah atau tanawwu fil ibadah sangat urgen. Tanpa mengklaim salah satu pendapat yang dianggap paling benar dengan menyalahkan pendapat yang lain.

3. Memakai Celak dan Meneteskan Obat atau Lain-lain ke dalam Mata

Memakai celak dan meneteskan obat atau lain-lain ke dalam mata walaupun terasa dalam kerongkongan atau tidak, karena mata bukanlah jalan masuk ke rongga perut tidak membatalkan puasa. Pandangan seperti ini berasal dari berita Anas, bahwa ia sendiri memakai celak waktu berpuasa.25

Pendapat ini merupakan pandangan mazhab Syafi'i, Ibnu Munzir, Atha', Hasan, Nakha'i, Auza'i, Abu Hanifah dan Abu Tsaur. Juga diriwayatkan dari pendapat Ibnu Umar, Anas dan Ibnu Abi Aufa dari golongan sahabat, Abu Dawud, yang mengatakan bahwa tidak ada keterangan yang sah mengenai soal ini sebagaimana dikatakan oleh Turmudzi.26

Nampaknya Sayyid Sabiq hanya menggunakan riwayat atau pendapat para sahabat, tidak menggunakan hadis atau riwayat yang bersumber langsung kepada Rasulullah saw. Langkah ini dilakukan sebab menurutnya memang tidak terdapat keterangan mengenai hal tersebut. Pendapat sahabat biasanya dipakai oleh para ulama jika tidak ada keterangan dari al-Qur'an dan sunnah.

4. Injeksi atau Suntikan

Melakukan injeksi atau suntikan ke dalam makanan atau lainnya, dan sama saja halnya apakah ke dalam urat atau ke bawah kulit. Walaupun akhirnya yang disuntikkan itu sampai juga ke dalam perut, tetapi masuk bukanlah dari jalan yang biasa (mulut). Hal ini tidak membatalkan puasa.

25 Ibid. 26 Ibid.

(11)

Demikian pula dengan kasus inpus, atau memasukan obat kepada orang yang sakit. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika inpus itu berupa makanan yang telah larut dalam air. Dalam kondisi seperti ini lebih baik seseorang itu menggugurkan puasanya, sebab ia dalam keadaan sakit, sedangkan orang yang sakit tidak diwajibkan untuk berpuasa.

5. Berbekam

Berbekam yakni mengeluarkan darah dari bagian kepala. Nabi s.a.w. sendiri pernah berbekam padahal ia sedang berpuasa sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari.

Kecuali bila berbekam itu akan melemahkan orang yang berpuasa, maka bila demikian, hukumnya makruh. Tsabit al-Banani bertanya kepada Anas;

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻡﺩﺁ

ﻦﺑ

ﻲﹺﺑﹶﺃ

ﹴﺱﺎﻳﹺﺇ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹸﺔﺒﻌﺷ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺖﻌﻤﺳ

ﺎﺘﹺﺑﺎﹶﺛ

ﻲﹺﻧﺎﻨﺒﹾﻟﺍ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﹶﻞﺌﺳ

ﺲـﻧﹶﺃ

ﻦـﺑ

ﻚﻟﺎﻣ

ﻲﺿﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻨﻋ

ﻢﺘﻨﹸﻛﹶﺃ

ﹶﻥﻮﻫﺮﹾﻜﺗ

ﹶﺔﻣﺎﺠﺤﹾﻟﺍ

ﹺﻢﺋﺎﺼﻠﻟ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺎﹶﻟ

ﺎﱠﻟﹺﺇ

ﻦﻣ

ﹺﻞﺟﹶﺃ

ﻒﻌـﻀﻟﺍ

ﺩﺍﺯﻭ

ﹸﺔﺑﺎﺒﺷ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹸﺔﺒﻌﺷ

ﻰﹶﻠﻋ

ﺪﻬﻋ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

27

Tsabit bin Bunani bertanya kepada Anas bin Malik: Apakah di masa Rasulullah s.a.w. berbekam itu kalian anggap makhruh? Tanya Anas: Tidak kecuali bila melemahkan. (HR. Bukhari dan lain-lain).

Mengenai pengambilan darah dari salah satu anggota tubuh maka hukumnya sama seperti berbekam. Dalam hal ini boleh jadi yang dimaksudkan adalah menjadi donor darah pada saat berpuasa. Dapat dilihat jika ia melemahkan maka hukumnya makruh, jika tidak maka tidak membatalkan puasa.

6. Berkumur-kumur dan Memasukkan Air ke Rongga Hidung, Asal Tidak Berlebih-lebihan

Perbuatan tersebut dianggap tidak membatalkan puasa apabila tidak dilakukan secara berlebih-lebihan. Berdasarkan sebuah riwayat dari Laqith bin Shabrah bahwa Nabi s.a.w. Bersabda:

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹸﺔﺒﻴﺘﹸﻗ

ﻦﺑ

ﺪﻴﻌﺳ

ﻲﻓ

ﻦﻳﹺﺮﺧﺁ

ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻰﻴﺤﻳ

ﻦﺑ

ﹴﻢﻴﹶﻠﺳ

ﻦﻋ

ﹶﻞﻴﻌﻤﺳﹺﺇ

ﹺﻦﺑ

ﹴﲑﺜـﹶﻛ

ﻦﻋ

ﹺﻢﺻﺎﻋ

ﹺﻦﺑ

ﻂﻴﻘﹶﻟ

ﹺﻦﺑ

ﹶﺓﺮﺒﺻ

ﻦﻋ

ﻪﻴﹺﺑﹶﺃ

ﻂﻴﻘﹶﻟ

ﹺﻦﺑ

ﹶﺓﺮﺒﺻ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﱠﻥﹺﺇ

ﹺﻝﻮﺳﺭ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪـﱠﻠﻟﺍ

27 Bukhary, Shahih Bukhari..., p. 74-75. dalam kitab shahihnya terdapat empat

(12)

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﹾﻎﹺﺒﺳﹶﺃ

َﺀﻮﺿﻮﹾﻟﺍ

ﹾﻞﱢﻠﺧﻭ

ﻦﻴﺑ

ﹺﻊﹺﺑﺎﺻﹶﺄﹾﻟﺍ

ﹾﻎﻟﺎﺑﻭ

ﻲﻓ

ﹺﻕﺎﺸﻨﺘﺳﺎﻟﺍ

ﺎﱠﻟﹺﺇ

ﹾﻥﹶﺃ

ﹶﻥﻮـﹸﻜﺗ

ﺎﻤﺋﺎﺻ

28

Jika istinsyaq-membersihkan rongga hidung-maka sampaikanlah sedalam-dalamnya, kecuali jika engkau berpuasa. (HR. Ashhab Sunan, menurut Turmudzi hadis ini hasan lagi shahih).

Mengenai menaruh obat ke dalam hidung orang yang berpuasa, maka tidak disetujui oleh para ahli, mereka berpendapat bahwa itu membatalkan puasa. Dan maksud hadis di atas menguatkan pendapat mereka.

Sedangkan menurut Ibnu Qudamah mengatakan bahwa jika seseorang berkumur-kumur atau ber-istinsyaq waktu bersuci, lalu masuk air kedalam kerongkongannya tanpa disengaja atau berlebih-lebihan, maka tidak apa-apa. Pandangan tersebut didukung oleh Auza'i, Ishak, dan Imam Syafi'i dalam salah satu di antara dua pendapatnya. Begitu juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas (bila lalat masuk ke dalam kerongkongan maka tidak membatalkan puasa).29

Tetapi Abu Hanifah dan Imam Malik, berpandangan bahwa puasanya batal, karena ia memasukkan air ke rongga perutnya dalam keadaan sadar terhadap puasanya, hingga dengan demikian menjadi batal, seperti halnya bila ia sengaja meminumnya.30

7. Hal-hal yang Tak Mungkin Dihindari

Hal-hal yang tak mungkin dihindari yaitu menelan air ludah, debu jalan, sisa-sisa tepung, selesma dan lain-lain. Ibnu Abbas mengatakan bahwa tidak apa-apa bila ia merasai makanan asam atau sesuatu yang hendak dibelinya. Dan Hasan biasa memeras kelapa untuk cucunya, dan Ibrahim menganggapnya rukhsah atau suatu keringanan.

Adapun memeras karet susu maka hukumnya makhruh jika isinya tidak terpencar keluar. Di antara orang-orang yang menganggapnya makruh ialah: Sya'bi, Nakha'i, Syafi'i, golongan Hanafi dan Hanbali. Aisyah, Atha' menganggapnya rukhsah, karena tidak sampai ke rongga perut, maka tidak sama dengan menaruh kerikil dalam mulut apablia bagian-baginnya tidak terlepas. Jika terlepas atau masuk ke perut maka puasanya menjadi batal. Ibnu Taimiyah berkata bahwa mencium bau-bau harum tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa. Adapun bercelak dan bersuntik dan meneteskan obat dalam saluran kencing, mengobati orang

28 Riwayat Abu Dawud hadis No. 123, lihat CD hadis. 29 Ibid., p. 342.

(13)

yang sakit luka pada ubun-ubun dan rongga perut, maka hal itu menjadi perdebatan ulama. Di antara mereka, ada yang berpendapat tidak ada satu pun di antara mereka yang membatalkan. Ada pula yang mengatakan semua itu membatalkan, kecuali bercelak, ada pula yang berpendapat membatalkan, kecuali meneteskan obat, juga ada yang mengatakan batal, kecuali bercelak dan meneteskan obat.31

Bagi Ibnu Taimiyah, pandangan yang pertama lebih kuat. Dengan kata lain, tidak satu pun di antara semua itu yang membatalkan. Karena puasa itu termasuk pokok agama Islam yang perlu diketahui, baik orang terpelajar maupun awam. Maka seandainya hal-hal seperti itu termasuk barang yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam berpuasa hingga merusak puasa, tentulah harus dijelaskan oleh Rasul. Penjelasan itu tentulah akan diketahui oleh para sahabat yang akan mereka sampaikan kepada umat, sebagaimana halnya syari'at-syari'at yang lain.32

8. Dibolehkan Orang Berpuasa Makan-Minum dan Berjima' Sampai Terbit Fajar

Dengan datangnya fajar, maka seluruh aktifitas orang berpuasa yaitu makan dan minum harus dihentikan, jika dimulutnya ada makanan maka hendaklan ia muntahkan. Demikian pula jika sedang berkumpul dengan isterinya hendaklah ia segera menghentikannya. Jika tidak dilakukan demikian, maka puasanya batal. Berdasarkan riwayat dari Aisyah;

ﻲﹺﻨﹶﺛﺪﺣ

ﻒﺳﻮﻳ

ﻦﺑ

ﻰﺴﻴﻋ

ﻱﹺﺯﻭﺮﻤﹾﻟﺍ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹸﻞﻀﹶﻔﹾﻟﺍ

ﻦﺑ

ﻰﺳﻮﻣ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﺪﻴﺒﻋ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻦﺑ

ﺮﻤﻋ

ﻦﻋ

ﹺﻢﺳﺎﹶﻘﹾﻟﺍ

ﹺﻦﺑ

ﺪﻤﺤﻣ

ﻦﻋ

ﹶﺔﺸﺋﺎﻋ

ﻦﻋ

ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ

ﻰﱠﻠﺻ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻪﻴﹶﻠﻋ

ﻢﱠﻠﺳﻭ

ﻪﻧﹶﺃ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﹺﺇ

ﱠﻥ

ﺎﹰﻟﺎﹶﻠﹺﺑ

ﹸﻥﱢﺫﺆﻳ

ﹴﻞﻴﹶﻠﹺﺑ

ﺍﻮﹸﻠﹸﻜﹶﻓ

ﺍﻮﺑﺮﺷﺍﻭ

ﻰﺘﺣ

ﹶﻥﱢﺫﺆﻳ

ﻦﺑﺍ

ﻡﹸﺃ

ﹴﻡﻮﺘﹾﻜﻣ

33

Dari Aisyah ra. berkata; Bilal akan azan waktu malam, maka makan dan minumlah kamu sampai terdengar adzan Ibnu Ummi Maktum. (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengenai masalah tersebut nampaknya tidak ada masalah dan perbedaan pandangan di antara para ulama mazhab. Sebab tidak terdapat riwayat yang berbeda dari Rasulullah saw.

9. Dibolehkan Orang yang Berpuasa Berada dalam Keadaan Junub di Waktu Subuh

Mengenai ini telah disebutkan hadis dari Aisyah pada pembahasan yang lalu,34 yaitu pada pembahasan yang pertama.

31 Ibid. 32 Ibid., p., 342.

33 Bukhary, Shahih Bukhari, p. 76. dan Muslim, Shahih Muslim, p. 768. 34 Ibid., p. 343.

(14)

10. Wanita-wanita yang haid atau dalam keadaan nifas, jika darah mereka terhenti di waktu malam, boleh menangguhkan mandi hingga waktu subuh sambil mereka berpuasa. Kemudian mereka mandi untuk melakukan shalat.35

C. Penutup

Dari pembahasan tersebut di atas dapat dipahami bahwa hal yang dibolehkan dalam berpuasa menurut Sayyid Sabiq ada sepuluh hal. Yaitu; 1) Junub dan menyelam dalam air 2) Mencium, 3) Memakai celak dan menteskan obat atau lain-lain ke dalam mata 4) Injeksi atau suntikan 5) Berbekam, 6) Berkumur-kumur dan memasukkan air ke rongga hidung, asal tidak berlebih-lebihan, 7) Hal-hal yang tak mungkin dihindari misalnya; menelan air ludah, debu jalan 8) Makan-minum dan berjima' sampai terbit fajar, 9) Dibolehkan orang yang berpuasa itu berada dalam keadaan junub di waktu subuh. Mengenai ini telah disebutkan hadis dari Aisyah pada pembahasan yang lalu, 10) Wanita-wanita yang haid atau dalam keadaan nifas, jika darah mereka terhenti di waktu malam, boleh menangguhkan mandi hingga waktu subuh sambil mereka berpuasa. Kemudian hendak mereka mandi untuk melakukan shalat.

Dua dari sepuluh masalah tersebut yaitu pada masalah pertama dan kedua terdapat riwayat yang berbeda sehingga menarik diperbincangkan. Sedangkan pada masalah yang lain cenderung tidak terdapat permasalahan dan Sayyid Sabiq terkadang memakai pendapat sahabat, pandangan ulama serta pendapat sendiri.

Masalah junub pada saat subuh terdapat dua riwayat yang nampak bertentangan antara riwayat dari Aisyah dan Abu Hurairah. Perbedaan dapat diselesaikan dengan metode al-jam'u wa tawfiq. Apalagi jika diperhatikan riwayat dari Abu Hurairah terdapat keterangan yang mengatakan bahwa ketika pendapatnya dikompromikan dengan 'Aisyah dan Ummu Salamah, Abu Hurairah mengatakan mereka berdualah yang lebih mengetahui apa yang dilakukan oleh Nabi. Tetapi Abu Hurairah menarik kembali fatwanya. Sebab riwayat yang menceritakan persoalan yang spesifik wanita dan kepribadian serta menyangkut hubungan suami isteri lebih banyak diriwayatkan oleh 'Aisyah, hal ini dapat dipahami karena Aisyah adalah isteri Nabi s.a.w. Riwayat seperti ini juga banyak terungkap ketika ada pertanyaan sahabat kepada 'Aisyah setelah wafatnya Nabi s.a.w.

Dengan demikian metode al-jam'u wa tawfiq. Dapat dikatakan bahwa perintah dalam hadis Abu Hurairah merupakan perintah yang bersifat

(15)

petunjuk tentang yang lebih baik. Jadi orang yang menanggung hadas besar pada malam hari di bulan Ramadhan, sebaiknya dia mandi sebelum datangnya waktu fajar. Tetapi kalau umpamanya dia tidak mandi, maka boleh saja. Sedangkan hadis 'Aisyah hanya menerangkan tentang kebolehannya.

Kemudian masalah yang kedua adalah mencium isteri pada saat berpuasa. Pada konteks ini riwayat yang berasal dari Aisyah dan Umar bin Khattab membolehkan dan dianggap tidak membatalkan puasa, kecuali jika diikuti dengan nafsu dan syahwat. Meskipun demikian, ada riwayat yang berasal dari Ibu Umar yang diabadikan dalam kitab al-Muwaththa' Malik bahwa Abu Hurairah mengatakan bahwa puasanya akan batal jika mencium isteri.

Kedua riwayat dapat dipadukan dengan mengambil jalan tengah atau dikompromikan (al-jam'u wa tawfiq), bahwa mencium isteri bagi Rasul dikatakan bahwa ia dapat mengendalikan nafsunya. Sebagaimana Imam Syafi'i yang lebih mengutamakan untuk menghindari perbuatan tersebut bahkan mengatakan bahwa makruh untuk dilakukan. Langkah al-jam'u dalam penyelesaian hadis-hadis bertentangan merupakan metode yang lebih utama dilakukan sebagaimana pandangan Yusuf al-Qardhawi yang mengatakan bahwa "al-jam'u muqaddamun ala tarjih" (metode jam'u lebih didahulukan daripada tarjih). Hal ini bertujuan untuk menghindari mengambil satu riwayat dengan membuang riwayat yang juga berasal dari Rasul s.a.w.

Perlu dicatat bahwa perbedaan riwayat dari persoalan tersebut menunjukkan bahwa pemahaman sahabat dan tabi'in terhadap sunnah juga beragam. Oleh karena itu, tidak dengan serta merta menghukum salah satu pendapat yang paling benar. Klaim kebenaran justru akan mematikan sunnah, sebaliknya membiarakan perbedaan dalam memahami sunnah justru akan menghidupkan sunnah.

(16)

Daftar Pustaka

Asqallani, Ibnu Hajar al-, Fath al-Bary Syarah Sahih al-Bukhary, Jilid IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Alami, 1996.

Djuned, Daniel, Paardigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekontruksi Fiqh al-Hadis, Banda Aceh: Citra Karya, 2002.

Gazali, Muhammad al-, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontesktual, Bandung: Mizan, 1991.

Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Mughirah, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-, Shahih Bukhari, Jilid III, Beirut: Maktabah al-Tsaqafiyah, t.th.

Naisabury, Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-, Shahih Muslim, Jilid II, al-Qahirah: Dar al-Hadis, 1991.

Qardhawi, Yusuf al-, Studi Kritis As-Sunnah, Bandung: Trigenda Karya, 1995.

Qardhawi, Yusuf al-, Sunnah Rasul; Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Cet., II, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, 1998. Syaukani, Muhammad Ali bin Muhammad as-, Nailul Authar: Syarah

Munthaqa al-Akhbar Min Ahadis Sayyid Akhyar, Juz III, Beirut: Darul Khalil, t. th.

Zuhaily, Wahbah Az-, Al-Fiqh Islamiy Wa Adillatuhu, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr Al-Ashr, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Teradapat pat bebera beberapa pa alternat alternatif if rancang rancangan proses an proses produksi untuk unit produksi untuk unit pengola pengolahan han air minum dalam kemasan

Pem- buatan Sampel paving block terdiri dari 2 tahap yaitu tahap pertama pembuatan sampel untuk menentukan kuat tekan optimum dengan variasi campuran A (10% semen 5% abu sekam

Penelitian ini dilakukan untuk memaparkan nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Doa Anak Jalanan NDU\D 0D¶PXQ $IIDQ\ 'DUL penelitian ini ditemukan lima

Untuk kajian yang dilakukan di Indonesia, rata-rata tingkat efisiensi teknis petani kentang dalam penelitian ini lebih kecil daripada yang ditemukan oleh Tanjung (2003) untuk

Hal ini dilakukan agar kualitas obyek wisata menjadi semakin baik dan wisatawan yang berkunjung dengan usaha yang tidak mudah dapat memperoleh imbalan kepuasan, baik yang

Perlu diingat bahwa unsur-unsur tubuh sedimen dasar yang ada dalam sistem ini sama dengan unsur-unsur tubuh sedimen yang ada di muara sungai

Penelitian umumnya mencakup dua tahap, yaitu penemuan masalah dan pemecahan masalah. Penemuan masalah dalam penelitian meliputi identifikasi bidang masalah, penentuan

Analisis spasial wilayah potensial PKL menghasilkan peta tingkat wilayah potensial yang tersebar sepanjang Jalan Dr.Radjiman berdasarkan aksesibilitas lokasi dan