• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENYELESAIAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA 1. Tugas dan Kewenangan Hakim Peradilan Agama Kekuasaan kehakiman adalah suatu badan yang merdeka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENYELESAIAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA 1. Tugas dan Kewenangan Hakim Peradilan Agama Kekuasaan kehakiman adalah suatu badan yang merdeka"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

16

dari pengaruh kekuasaan badan eksekutif. Tugas utamanya adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pengertian kekuasaan kehakiman terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 yang mengatakan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Hal ini juga terdapat di dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 ayat (1) yang berbunyi:

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman adalah sebagai wujud dari suatu negara hukum. Maka kekuasaan kehakiman mempunyai tugas untuk menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam prakteknya kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh badan-badan peradilan salah satunya Peradilan Agama. (Sutiyono 2006, 2)

Tugas dan kewenangan Peradilan Agama secara umum disebutkan dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama selanjutnya undang-undang ini telah di amandemen dengan UU No. 3 Tahun 2006. Kewenangan pengadilan agama menurut UU No. 3 Tahun 2006 adalah bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

(2)

a. Perkawinan; b. Kewarisan; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Infak; g. Sedekah; dan

h. Ekonomi syari’ah. (Djalil 2006, 141)

Dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemenkan dengan UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan tentang kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Pengadilan Agama. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 ditentukan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang dan bertugas mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenang dan tugas Pengadilan Agama dalam tingkat banding, juga menyelesaikan sengketa yurisdiksi antara Pengadilan Agama. (Djalil 2006, 142)

Hakim merupakan unsur utama yang melaksanakan tugas peradilan. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tugas pokok dan kewenangan hakim pengadilan agama adalah menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Tugas dan kewenangan tersebut dijabarkan dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah yang diajukan kepadanya. Sedangkan tugas dan kewenangan hakim pengadilan tinggi agama menerima, memeriksa, memutus dan

(3)

menyelesaikan perkara di tingkat banding antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah yang diajukan kepadanya. 2. Asas Hakim dalam Menyelesaikan Perkara

Pengertian asas seperti yang dikutip oleh Sunarto dalam bukunya bahwa menurut The Liang Gie adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam suatu istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.Dikutip juga oleh Sunarto dalam bukunya bahwa Menurut Mahadi, asas (principles) adalah suatu yang dapat dijadikan alas, sebagai tempat untuk menyadarkan, mengembalikan suatu hal yang hendak kita jelaskan. (Sunarto 2014, 24-25) Dalam hal ini ada beberapa asas hakim dalam menyelesaikan perkara:

2.1. Asas Kebebasan/Kemerdekaan

Ada 3 (tiga) pasal yang mengatur tentang asas kebebasan hakim pengadilan agama, yaitu Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama :

Pasal 5 ayat (1) dan (2) :

(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan financial pengdilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Pembinaan sebagaimana di maksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.

Pasal 12 ayat (1) dan (2) :

(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.

(2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.

(4)

Asas kebebasan yang dianut UU No. 3 Tahun 2006 merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 3ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”.

Setelah pembahasan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas kebebasan juga diatur dalam Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009, pasal 1 yang berisi bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Penjelasan Pasal 1 tersebut berbunyi: Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan kekuasaanekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana yang disebut dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. (Mardani 2009, 39)

Berdasarkan undang-undang yang telah disebutkan di atas bahwa hakim diberi kebebasan dalam melaksanakan tugasnyadalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Kebebasan hakim dalam melaksanakan tugasnya dituntut untuk tetap bersikap adil berdasarkan Pancasila. Ketua pengadilan boleh saja melakukan pengawasan dalam bentuk petunjuk, teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu selama tidak mengurangi kebebasan hakim tersebut dalam memutus perkara.

(5)

2.2. Asas Upaya Mendamaikan

Asas upaya mendamaikan terdapat pada Pasal 65 dan Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama:

Pasal 65:

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

Pasal 82:

Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.

Dalam penjelasan Pasal 82 tersebut dinyatakan bahwa selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan dalam bentuk nasehat dan anjuran agar berdamai pada semua tingkat peradilan. Asas upaya mendamaikan juga tercantum dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Mardani 2009, 40) Bunyi dari Undang-Undang ini adalah: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan” (Undang-undang Republik Indonesia No 12014, 13)

Asas upaya mendamaikan juga terdapat dalam Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

Pasal 31:

1. Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak.

2. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Ketentuan mendamaikan sebagaimana bunyi pasal tersebut di atas juga sesuai dengan Q.S Al-Hujurat (49) ayat 10: “Orang-orang

(6)

beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.

Dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para pihak yang berperkara, tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Kedua belah pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah dan mereka dapat pulih kembali, suasana rukun serta tidak dibebani dendam kesumat yang berkepanjangan. Peran hakim dalam mendamaikan para pihak yang berperkara terbatas pada anjuran, nasehat, penjelasan dan memberi bantuan dalam perumusan sepanjang itu diminta oleh kedua belah pihak. (Mardani 2009, 41) 2.3. Asas Hakim Pasif

Dalam pemeriksaan perkara yang dimaksud dengan hakim pasif adalah bahwa hakim tidak akan mengadili suatu perkara, bila tidak ada pengaduan tentang pelanggaran hukum dari seseorang atau petugas negara. Hukum acara yang demikian disebut sebagai hukum acara accusatoir. Lain halnya dengan soal kepidanaan, hakim bersikap aktif, artinya hakim bertindak tanpa adanya suatu pengaduan, hukum acara ini dinamakan hukum acara incuisitoir. (Soeroso 2011, 6)

Di luar ketentuan yang disebutkan di atas hakim dibenarkan bersikap aktif pada persidangan. Mulai dari sidang pertama dalam berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara hingga menjatuhkan putusan. Ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan, sehingga dengan adanya sikap hakim yang aktif dalam perkara perdata tersebut maka akan diminimalisir terjadinya putusan yang menyatakan gugatan penggugat tidak diterima.

(7)

2.4. Asas Legalitas

Asas legalitas diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang. Asas legalitas yang terdapat dalam rumusan pasal di atas mengandung pengertian rule of low, yaitu pengadilan berfungsi dan berwenang menegakkan hukum harus berlandaskan hukum, tidak bertindak di luar hukum. Hukum berada di atas segala-galanya. Hakim dan siapapun, semua takluk di bawah supremasi dan dominasi hukum. Hakim dilarang menjatuhkan hukuman yang bertentangan dengan hukum dan pihak yang berperkara tidak dibenarkan meminta suatu putusan yang bertentangan dengan hukum. (Mardani 2009, 43)

2.5. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Salah satu asas dalam sistem peradilan di Indonesia sebagaimana yang diamanatkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 adalah bahwa peradilan dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan tersebut dicantumkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan agar para pencari keadilan dalam rangka mempertahankan haknya di pengadilan ada kepastian tentang bagaimana tata cara mempertahankan hak, kapan dapat memperoleh hak tersebut serta berapa biaya yang harus dikeluarkan guna memperoleh hak tersebut.

Pengertian “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif, dan yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara dapat dipikul oleh rakyat, namun di dalam penyelesaian perkara tersebut tidak boleh mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit, semakin sedikit dan sederhana formalitas yang

(8)

diwajibkan dalam beracara di muka pengadilan akan semakin baik. Bila terlalu banyak formalitas yang sukar dipahami atau peraturan yang berwayuh arti (dubious) sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang menjamin adanya kepastian hukum. (Sunarto2014, 29-30)

Jadi, yang dituntut dari hakim dalam mengimplementasikannya asas ini ialah:

1. Sikap moderate artinya dalam pemeriksaan tidak cenderung tergesa-gesa dan tidak pula sengaja dilambat-lambatkan.

2. Tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesederhanaan, kecepatan pemeriksaan jangan di manipulasi untuk membedakan hukum, kebenaran dan keadilan.

2.6. Asas Equality

Asas equality berarti persamaan hak dan kedudukan di depan hukum sehingga tidak boleh ada diskriminasi, yakni membedakan hak dan kedudukan orang di depan sidang pengadilan. Hakim tidak boleh membedakan perlakuan pelayanan berdasarkan status sosial, ras, agama, suku, jenis kelamin dan budaya. Asas equality ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 58 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: peradilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

Implementasi asas equality dalam sidang di pengadilan, yaitu sebagai berikut:

1. Equal before the law, yaitu persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan.

2. Equal protection on the law, yaitu hak perlindungan yang sama oleh hukum.

(9)

3. Equal justice under the law, yaitu mendapat hak perlakuan yang sama oleh hukum.

2.7. Asas Membantu Para Pencari Keadilan

Asas ini diatur di dalam Pasal 58 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 Peradilan Agama dan Pasal 5 ayat (2) UU No. Tahun 2004 serta Pasal4 ayat (2) tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:

Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, hakim tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin jalannya persidangan dan mencari serta menentukan hukum penyelesaian suatu sengketa/perkara yang diajukan kepadanya. Namun, ia berfungsi memberikan solusi terbaik sekaligus memberikan bantuan kepada para pihak yang berperkara secara objektif dan menjunjung tinggi rasa keadilan serta berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim juga tidak boleh menolak perkara dengan dalih hukum tidak ada atau hukum kurang jelas. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau hukum kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

2. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. (Mardani 2009, 44-47)

Jadi, selama perkara yang diajukan melengkapi syarat administrasi dan merupakan kewenangan pengadilan yang bersangkutan, maka hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan beralih bahwa hukum tidak ada atau hukum kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

(10)

mengadilinya tanpa menutup kemungkinan untuk berdamai pada perkara perdata.

3. Sumber Hukum Peradilan Agama

Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, yaitu: Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil yang sering disebut Hukum Acara.

3.1. Sumber Hukum Materiil

Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil. (Salim 2011, 9) Sumber hukum materiil yang berlaku di peradilan agama adalah:

a. Qur’an dan Hadis.

b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR).

c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

d. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

e. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

f. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. g. Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. h. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

i. Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.

j. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. k. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. l. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

(11)

m. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

n. Kompilasi Hukum Islam (KHI).

o. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

p. Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syariah.

q. Yurisprudensi.

r. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI). s. Akad ekonomi syariah. (Mahkamah Agung RI 2014, 56-57) 3.2. Sumber Hukum Formil

Hukum Formil atau Hukum Acara yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal yang telah disebut secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum diberlakukan juga untuk lingkungan peradilan agama adalah sebagai berikut: (Djalil 2006, 153-156)

a. Reglemen op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)

Hukum acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van Justite dan Resedintie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52 ddan Stbl. 1849 No. 63. Berlaku sejak tanggal 01 Mei 1848. Dengan dihapuskannya Raad van Justite dan Hoogerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah tidak berlaku lagi. Tetapi oleh karena hal yang diatur dalam B.Rv banyak yang masih relevan dengan perkembangan hukum acara saat ini, dan untuk mengisi kekosongan hukum, maka ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam B.Rv masih banyak dipakai dalam pelaksanaan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Umum. Misalnya, tentang

(12)

formulasi tentang surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya. b. Inlandsh Reglement (IR)

Ketentuan hukum acara lain diperuntukkan untuk golongan Bumi putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini diubah namanya menjadi Het Herzience Indonesi Reglement (HIR) atau disebut juga dengan Reglement Indonesia yang diperbarui RIB yang diberlakukan dengan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.

c. Rechtsregeement Voor de Biutengewesten (R.Bg)

Ketentuan hukum acara ini diperuntukan untukgolongan Bumiputra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad. R.Bg ditetapkan berdasarkan Ordonasi tanggal 11 Mei 1927 dan yang berlaku berdasarkan Stbl. 1927 tanggal 01 Juli 1927, dikenalkan juga dengan “Reglement Daerah Seberang”. Bab II R.Bg memuat bagian Hukum Acara Perdata yang terdiri dari 7 (tujuh) title, yang masih digunakan sebagai Hukum Acara Perdata untuk daerah seberangan adalah title IV dan V, sedangkan titel I, II, III, VI dan VII tidak digunakan lagi seiring dihapuskannya Pengadilan Districgerecht,Districtraad, Magistraadgerecht, Residentigerecht dan R.van Justitie.

d. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)

BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993.

e. Wetboek van Koophandel (WvK)

WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang juga terdapat sumber Hukum Acara

(13)

Perdata, sebagai sumber penerapan acara dalam praktek peradilan.

f. Peraturan Perundang-Undangan.

1. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.

2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 terakhir keduanya dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa ketentuan tentang Hukum Acara Perdata dalam Praktek Peradilan di Indonesia.

3. Undang-Undang No. Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung RI.

4. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam undang-undang ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Peradilan Umum tersebut. 5. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Dalam undang-undang ini, khususnya Pasal 54 dikemukakan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.

(14)

g. Yurisprudensi

Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Dalam hal ini hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi, sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau memakainya dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. h. Surat Edaran Mahkamah Agung RI

Tentang Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI tidak mengikat hakim sebagaimana undang-undang.

4. Proses Penyelesaian Perkara Oleh Hakim 4.1. Pendaftaran Perkara

Proses perkara pada pengadilan diawali dari pendaftaran perkara ke pengadilan yang berwenang baik dilakukan sendiri oleh penggugat/ pemohon atau oleh kuasanya. Surat gugatan/permohonan harus sudah dilampirkan dengan persyaratan-persyaratan yang lengkap, kecuali yang buta huruf dapat mendaftarkannya secara lisan ke pengadilan agama melalui panitera pengadilan agama. Sewaktu panitera pengadilan agama menerima berkas surat gugatan/permohonan tersebut sudah benar dan jelas, apakah perkara tersebut wewenang pengadilan agama atau bukan, baik kompetensi relatif maupun kompetensi absolut.

Setelah semua persyaratan lengkap, calon penggugat/pemohon membayar panjar biaya perkara sesuai yang tertera pada SKUM

(15)

kepada kasir. Kasir menerima panjar biaya perkara dan membukukannya, menandatangani, memberi nomor perkara dan tanda tangan lunas dari scum. Surat gugatan/permohonan yang diterima oleh Pengadilan Agama kemudian diberi nomor dan didaftar pada buku register, dalam waktu 3 (tiga) hari kerja, harus diberikan kepada ketua Pengadilan Agama untuk ditetapkan majelis hakimnya (PMH) yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut.

Setelah ketua Pengadilan Agama menerima PMH dari ketua Pengadilan Agama, kepadanya diberikan berkas perkara yang bersangkutan. Majelis hakim segera mempelajari berkas perkara tersebut, dan dalam waktu satu minggu setelah berkas diterima, majelis hakim membuat Surat Penetapan Hari Sidang (PHS) untuk menentukan hari sidang pertama akan dimulai. Sekaligus ketua majelis hakim menunjuk pula panitera sidang. Kemudian juru sita/juru sita pengganti memanggil pihak yang berperkara untuk menghadap sidang. (Mardani 2009, 83-84)

4.2. Proses Perdamaian/Mediasi

Setelah hakim ketua membuka sidang dengan menyatakan “sidang dinyatakan terbuka untuk umum” dengan mengetukkan palu, hakim memulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon:

a. Identitas penggugat/pemohon. b. Identitas tergugat/termohon.

c. Apakah sudah mengerti maksud didatangkannya para pihak di muka sidang pengadilan.

d. Hakim menghimbau agar dilakukannya perdamaian/mediasi. Dalam hal ini meskipun para pihak menjawab tidak mungkin damai karena usaha penyelesaian perdamaian sudah dilakukan berkali-kali, hakim meminta agar tetap dicoba lagi. (Soeroso 2011, 77)

(16)

Pada hari sidang pertama, bahkan pada sidang-sidang berikutnya, majelis hakim berkewajiban untuk mendamaikan para pihak yang berperkara. Pada sidang upaya perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat atau tergugat. Hakim harus sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak. Apabila usaha perdamaian berhasil, maka pengadilan akan mengeluarkan akta perdamaian (acta van vergejelik) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka. Akta perdamaian tidak dapat dimintakan banding, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK).

Ketentuan formal dari suatu putusan perdamaian sebagai berikut:

a. Adanya kata sepakat secara rela atau toestemming. b. Kedua belah pihak cakap membuat persetujuan.

c. Objek persetujuan mengenai pokok tertentu (bepalde underwep). Putusan perdamaian yang dimuat di muka sidang mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Perdamaian bisa pula dilakukan para pihak berperkara di luar sidang pengadilan. Perjanjian semacam ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak belaka, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, maka masih harus diajukan melalui suatu proses di pengadilan. Dalam perjanjian perdamaian tidak boleh terdapat cacat yang mengandung unsur kekeliruan (devaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bed rog), bila mengandung cacat, maka putusan perdamaian dapat dibatalkan. (Mardani 2009, 84) 4.3. Proses Jawaban

Menurut Pasal 121 ayat (2) HIR pada saat juru sita menyampaikan surat panggilan sidang, dalam surat itu harus tercantum penegasan memberi hak kepada tergugat untuk memberikan jawaban secara

(17)

tertulis. Biasanya jawaban disampaikan pada sidang pertama. Berdasarkan hak ini tergugat menyusun jawaban yang berisi tanggapan menyeluruh terhadap gugatan. Jawaban yang seperti ini dalam praktek, disebut jawaban pertama. Dalam sistem Common Law disebut dengan counter claim, yaitu tangkisan atau bantahan tergugat atau disebut defence sebagai cross clam against the plaintiff. Hakekatnya pemberian hak bagi tergugat mengajukan jawaban, sesuai dengan asas audi alteram partem atau auditur et altera pars, yaitu pemberian hak yang sama kepada tergugat untuk mengajukan pembelaan kepentingannya.

4.4. Proses Replik

Sejalan dengan asas audi alterm partem, kepada penggugat diberi hak untuk menanggapi jawaban yang diajukan tergugat, dan secara teknis disebut replik. Dengan demikian replik merupakan jawaban atas jawaban tergugat. Dalam sistem Common Law, disebut dengan counter plea atau replay sebagai defence terhadap counter claim.

4.5. Proses Duplik

Secara teknis, duplik dapat diartikan jawaban kedua. Dalam Common Law disebut rejoinder, berupa jawaban balik dari tergugat terhadap replik penggugat. Sama halnya dalam sistem peradilan di Indonesia, duplik merupakan jawaban terhadap replik penggugat.Hal itu ditegaskan Pasal 142 Rv, yang memberi hak kepada penggugat mengajukan replik atas jawaban tergugat dan selanjutnya memberi hak kepada tergugat mengajukan duplik terhadap replik penggugat.Ketentuan Pasal 142 Rv tersebut, telah dijadikan pedoman teknis yustisial berdasarkan prinsip kepentingan beracara (process doelmatigheid). (Harahap 2007, 462-463)

4.6. Proses Pembuktian

Secara etimologis pembuktian dalam istilah Arab disebut al-bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologies pembuktian berarti memberikan keterangan dengan dalil yang

(18)

meyakinkan. Menurut Supomo pembuktian mempunyai arti luas dan terbatas. Dalam arti luas, pembuktian berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah, sedangkan dalam arti terbatas pembuktian itu hanya diperlukan apabila yang dikemukakan penggugat itu dibantah oleh tergugat. Dari pengertian menurut Supomo tersebut, pembuktian dalam arti luas menghasilkan konsekuensi untuk memperkuat keyakinan hakim semaksimal mungkin. (Mardani 2009, 106)

Agar tuntutan penggugat dapat dikabulkan oleh pengadilan, maka pihak penggugat harus membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakan dalam gugatan, kecuali pihak lawannya (tergugat) terus-terang mengakui kebenaran peristiwa-peristiwa tersebut. Apabila semua bukti-bukti telah diajukan, dan menurut pertimbangan hakim dalil-dalil yang dikemukakan berhasil dibuktikan, gugatan akan dikabulkan. Sebaliknya apabila menurut pertimbangan hakim tidak berhasil dibuktikan dalil-dalilnya, maka gugatan penggugat akan ditolak. (Supramono 1998, 14-15) Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara, karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan. (Sugeng 2011, 65)

4.7. Kesimpulan Para Pihak

Setelah tidak ada lagi alat bukti yang diajukan dan diperiksa, hakim akan menutup proses pembuktian dan mempersilahkan para pihak menyusun kesimpulan. Kesimpulan ini merupakan pendapat para pihak yang memperkuat dalil-dalil mereka berdasarkan pembuktian. (Sugeng 2011, 14) Pada proses ini kedua belah pihak membuat kesimpulan dari hasil sidang-sidang tersebut. Isi pokok kesimpulan sudah barang tentu yang menguntungkan para pihak sendiri. (Sueroso 2011, 80)

(19)

4.8. Musyawarah Majelis Hakim

Mengenai musyawarah majelis hakim diatur dalam Pasal 161 HIR/188 R.Bg :

(1) Sesudah pemeriksaan perkara itu sudah diselesaikan dengan sebaik-baiknya, baik pada waktu persidangan permulaan maupun dalam persidangan kemudian, maka setelah disuruh keluar kedua belah pihak saksi dan orang yang mendengar, haruslah pengadilan meminta pertimbangan penasihat yang hadir pada waktu perkara itu diperiksa dalam persidangan menurut Pasal 7 reglemen tentang aturan Hakim Mahkamah serta kebijaksanaan justitie di Indonesia (Stbld. 1914 No. 317)

(2) Kemudian pengadilan bermusyawarah dan membuatah keputusan menurut aturan pada Pasal 39 dan 40 reglemen tersebut tadi. (Mardani 2009, 95)

4.9. Putusan/Penetapan Hakim a. Putusan hakim

Apabila ditinjau dari visi hakim yang memutus perkara, putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak dan akta penutup dari pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran, penguasaan hukum dan fakta, etika serta moral dari hakim yang bersangkutan. Putusan bagi hakim adalah mahkota dan merupakan barometer apakah pengadilan di dalam memeriksa dan mengadili perkara yang sudah diajukan kepadanya telah menerapkan ketentuan hukum yang berlaku dan apakah putusan tersebut telah sesuai dengan rasa keadilan para pencari keadilan. Putusan yang baik dan bermutu harus ditempuh melalui proses dari tahap persiapan persidangan/prapersidangan, tahap pemeriksaan di persidangan/tahap pembuktian dan tahap pasca persidangan. Proses pemeriksaan pada tahap-tahap tersebut bila telah ditempuh sesuai dengan ketentuan yang berlaku (ketentuan formil

(20)

maupun materiil) akan menghasilkan suatu kesimpulan yang akurat dan dari kesimpulan yang akurat tersebut akan dihasilkan putusan yang dapat memenuhi asas keadilan yang meliputi keadilan yang prosedural dan keadilan substantif.

Bertitik tolak dari ketentuan-ketentuan Pasal 184 HIR, Pasal 195 RBg, serta Pasal 13, 14, dan 50 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka tidak ditemukan mengenai pengertian terhadap putusan hakim. Oleh karena itu untuk dapat menjelaskan mengenai pengertian perihal putusan hakim dapat ditarik beberapa pendapat ahli hukum. Sebagaimana yang dikutip oleh Sunarto dalam bukunya bahwa Rubini dan Chidir Ali merumuskan putusan sebagai bentuk suatu akta penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut juga sebagai vonis yang merupakan kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat pula akibat-akibatnya. (Sunarto 2014, 191) Selain itu, sebagaimana yang dikutip juga oleh Sunarto dalam bukunya bahwa Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa putusan merupakan suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang, diucapkan di persidangan, dan bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara antara para pihak. (Sunarto 2014, 92) Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu putusan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Diucapkan oleh hakim yang berwenang.

2) Diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. 3) Dengan syarat-syarat dan bentuk tertentu.

4) Bertujuan untuk mengakhiri sengketa suatu perkara.

Dalam prosesnya hakim harus terlebih dahulu menetapkan kebenaran dari fakta-fakta atau kejadian-kejadian secara objektif, kemudian

(21)

menerapkan hukum yang berlaku berupa menetapkan hubungan hukum serta peraturan hukum yang menguasai sengketa. (Sunarto 2014, 92) Setelah selesai membaca putusan maka hakim mengetukkan palu tiga kali dan para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan banding apabila tidak puas dengan putusan hakim. Pernyataan banding ini harus dilakukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai sehari sehabis dijatuhkan putusan. (Soeroso 2011, 80)

Putusan dibedakan menjadi beberapa macam:

1) Putusan akhir (eind vonnis), yaitu putusan yang mengakhiri di persidangan dan putusan ini merupakan produk utama dari suatu persidangan.

2) Putusan sela (tussen vonnis), yaitu putusan yang dijatuhkan masih dalam proses persidangan sebelum putusan akhir dibacakan dengan tujuan untuk memperjelas dan memperlancar persidangan.

3) Putusan serta-merta, yaitu putusan pengadilan agama yang pada putusan tersebut oleh salah satu pihak atau para pihak yang berperkara dilakukan upaya hukum baik verzet, banding maupun kasasi dan memakan waktu relatif lama, lalu ada suatu gugatan dari salah satu pihak, agar putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan agama dilaksanakan terlebih dahulu, tidak lagi menunggu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. (Mardani2009, 118-119)

b. Penetapan Hakim

Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan agama atas perkara permohonan (volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbath nikah dan sebagainya. Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria (bukan peradilan yang sesungguhnya). Karena ada penetapan hanya ada pemohon tidak ada lawan hukum. Dalam penetapan, hakim tidak menggunakan kata “mengadili” namun cukup menggunakan kata “menetapkan”. (Mardani 2009, 123)

(22)

4.10. Pelaksanaan Putusan/Eksekusi

Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim ialah kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Eksekusi atau disebut juga pelaksanaan putusan oleh beberapa para ahli hukum di Indonesia, diatur dalam ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat. Dalam aturan tersebut disebutkan pula mengenai pengertian eksekusi yang sama dengan menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnissen) atau dapat dikatakan melaksanakan isi putusan pengadilan secara paksa dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (pihak tereksekusi) tidak mau menjalankannya secara sukarela. (Sunarto 2014, 228)

Demikian proses penyelesaian perkara oleh hakim di pengadilan. Mulai dari pendaftaran perkara sampai dengan putusan diberikan oleh hakim dan pelaksanaan eksekusi sesuai dengan isi putusan hakim tersebut. Tahapan-tahapan tersebut harus dilalui oleh pihak yang berperkara, kecuali jika setelah didaftarkannya perkara salah satu pihak yang berperkara tidak hadir pada jadwal persidangan, maka perkara tetap akan diputus (verstek/ verzet).

Referensi

Dokumen terkait

Dosen membacakan peraturan teknik brainstorming menggunakan aturan main putaran teratur ( Round Robin ) yaitu: (1) peserta/mahasiswa berbicara secara bergantian

Padahal jika dilihat dari potensi konsumen baik dari RTP dan maupun konsumen untuk usaha skala kecil (homestay) maka pengembangan energi terbarukan layak dilakukan, misalnya

Masalah yang akan dipecahkan nantinya adalah perancangan kembali bangunan pasar tradisional bercitra modern melalui pendekatan teknologi bangunan dengan batasan

Unit dalam Sistem Pengendalian Suhu No Unit Nama Alat Fungsi Alat Masukan Keluaran Nama Variabel Besaran dan satuan Nama Variabel Besaran dan satuan 1 Unit Proses Plate Heat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SCC yang mengandung pecahan marmer memiliki kelecekan aliran (slump flow) yang baik, dapat mengalir memenuhi ruang di dalam

Dalam implementasinya, proses rancangan sistem dan konfigurasi, yang dibutuhkan mencakup konfigurasi aplikasi Squid pada server proxy yang berfungsi sebagai web

a. Tidak ada satu media pun yang paling baik untuk semua tujuan. Artinya suatu media hanya cocok untuk tujuan pembelajaran tertentu, tetapi mungkin tidak cocok

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh strategi belajar PQ4R terhadap prestasi belajar siswa SMA Negeri 1 Labuhan Ratu Lampung Timur. Metode penelitian yang digunakan