• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan, Penutupan/Penggunaan Lahan

Lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Lahan meliputi akibat-akibat yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dalam rentang waktu lampau maupun sekarang, sebagai contoh reklamasi daerah pantai, reboisasi dan kegiatan manusia yang merugikan yaitu penebangan hutan, erosi, banjir dan lain-lain. Dalam rangka pemanfaatan dan penggunaan lahan maka perlu suatu perencanaan tataguna lahan sehingga pemanfaatan suatu lahan sesuai dengan peruntukkan dan kapasitasnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Menurut FAO (1995), lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, topografi, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Menurut Sitorus (2001), penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual.

Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Satuan penutup lahan kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami (Lillesand dan Kiefer, 1997).

Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu 1) pengunaan lahan pertanian dan 2) penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan secara umum tergantung dari kemampuan lahan dan lokasi lahan. Aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

(2)

Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan atau pada waktu tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan hasil analisis citra landsat dapat menyadap tujuh kategori penutup lahan/penggunaan lahan. Kategori yang menonjol dan mudah diinterpretasikan oleh seorang peneliti adalah 1) air, 2) hutan, 3) lahan pertanian, 4) lahan rawa, 5) lahan perdagangan, 6) lahan pemukiman dengan bangunan bertingkat tinggi, dan 7) lahan pemukiman dengan bangunan bertingkat rendah (Sutanto, 1998).

2.2 Kesesuaian Penggunaan Lahan

Pengambilan keputusan memanfaatkan sumberdaya lahan untuk penggunaan tertentu diperlukan pertimbangan yang mendalam, mengingat karakteristik dari lahan bersangkutan. Klasifikasi kelas kemampuan lahan untuk penggunaan tertentu sangat diperlukan. Sitorus (2001) menyatakan bahwa penggunaan dan pemanfaatan lahan yang optimal harus sesuai dengan daya dukung dan dapat dilakukan apabila tersedia informasi sumberdaya lahan termasuk informasi kesesuaian lahan. Istilah yang sering muncul adalah kemampuan lahan (land capability) dan kesesuaian lahan (land suitability).

Kemampuan lahan berarti potensi lahan untuk penggunaan pertanian secara umum, sedangkan kesesuaian lahan berarti potensi lahan untuk jenis tanaman tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kesesuaian lahan dilakukan untuk tujuan evaluasi lahan yaitu menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu. FAO (1995), menyatakan dalam evaluasi lahan perlu juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan yang berkaitan dengan perencanaan tataguna lahan. Tujuan dari evaluasi lahan merupakan hal yang akan menentukan lahan akan digunakan dengan tujuan tertentu. Tujuan evaluasi lahan akan ditentukan dengan faktor-faktor penciri, yang merupakan sifat yang dapat diukur atau ditaksir dan berhubungan erat dengan tujuan evaluasi

(3)

lahan. Faktor-faktor penciri tersebut akan menentukan kualitas lahan yang akan dibandingkan dengan kesesuaian persyaratan untuk penggunaan tertentu.

FAO 1976 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), menjelaskan bahwa pendekatan dalam evaluasi lahan dapat melalui dua cara yaitu:

1. Pendekatan Dua Tahap (Two Stage Approach)

Tahap pertama dari pendekatan ini adalah evaluasi lahan secara kualitatif, sedangkan tahap kedua (biasanya tidak dilaksanakan) merupakan analisa ekonomi dan sosial. Pendekatan dua tahap ini sering dilaksanakan dalam kegiatan evaluasi perencanaan penggunaan lahan secara umum dalam tingkat survei tinjau. Pendekatan dua tahap ini memiliki kegiatan yang jelas terpisah yaitu tahap survei tanah dan survei sosial ekonomi sehingga lebih sistimatis.

2. Pendekatan Paralel (Paralel Approach)

Pendekatan paralel mempunyai tahapan antara analisis ekonomi sosial dari jenis penggunaan lahan yang direncanakan dan analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut dilakukan secara bersama. Hasil dari pendekatan ini memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pendekatan ini memberikan hasil yang lebih tepat dalam waktu yang relatif singkat dan kemungkinan untuk memusatkan kegiatan survei dan pengumpulan data-data yang diperlukan dalam evaluasi.

FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), menyatakan bahwa sistem evaluasi kesesuaian lahan yang sering dipakai adalah sistem USDA, dimana lahan dibagi menurut tingkatan kelas yang tiap kelas ditentukan oleh faktor pembatas untuk penggunaan tertentu. Lahan dikelompokkan dalam kelas I sampai dengan kelas VIII, dimana semakin tinggi kelas kualitas lahan semakin jelek karena semakin besar faktor pembatas sehingga alternatif penggunaan lahan juga semakin sedikit. Kesesuaian lahan dibagi menjadi empat kategori yaitu ordo, kelas, subkelas, dan unit. Kesesuaian lahan tingkat ordo dan kelas digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, subkelas untuk pemetaan lahan semidetail, dan unit digunakan untuk pemetaan skala rinci.

(4)

2.3 Perubahan Penggunaan Lahan

Deteksi perubahan adalah sebuah proses mengidentifikasi perbedaan keberadaan suatu obyek atau fenomena yang diamati pada rentang waktu yang berbeda. Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang (Winoto et al, 1996).

Rustiadi et al. (2009), menyatakan perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan merupakan proses yang tidak bisa dihindari. Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Dampak dari pembangunan dapat bersifat fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap flora dan fauna, dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada.

Perubahan penggunaan lahan yang umum terjadi adalah berubahnya penggunaan lahan hutan dan pertanian menjadi areal-areal terbangun, terutama permukiman. Menurut Warsono, et al (2009), faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan kelompok permukiman yang menyebar tidak teratur sebagai bentuk lingkungan perumahan adalah faktor persaingan memperoleh lahan. Gambaran faktor persaingan memperoleh lahan yang terjadi terhadap perkembangan permukiman yang tidak teratur adalah penduduk perkampungan akan lebih memilih mempertahankan lahan pekarangan dan memindahkan aktivitas sosial ekonominya yang berlatar belakang pertanian ke lahan-lahan pekarangan dan sekaligus sebagai tempat hunian. Oleh karena itu kegiatan campuran akan menurunkan daya dukung penggunaan lahan tertentu.

Ketersediaan ruang di dalam kota cenderung tetap dan terbatas. Secara alamiah terjadi pemilihan alternatif dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk

(5)

tempat tinggal atau permukiman dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota (Yunus, 1999).

Adanya kebutuhan data satelit yang terdiri dari data lama dan data baru dengan tenggang waktu yang relatif lama sehingga dapat dilakukan kajian dan analisis perubahan lahan (Lu, 2004).

2.4 Lahan Kritis

Lahan kritis merupakan lahan yang penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuan lahan sehingga terjadi kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis yang berakibat membahayakan fungsi hidrologis, sosial-ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi permukiman. Hal ini dapat menimbulkan erosi dan longsor di daerah hulu serta terjadi sendimentasi dan banjir di daerah hilir. Lahan kritis tidak mampu secara efektif digunakan untuk lahan pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun sebagai pelindung alam lingkungan (Zain, 1998).

BALITBANGTANAK (2003), mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi dan daerah lingkungannya.

Menurut Departemen Kehutanan (2004), lahan kritis merupakan lahan dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Definisi kehutanan menitikberatkan lahan kritis dari segi hidrologi lahan dan kurang memperhatikan kondisi tanah.

Istilah kritis berkaitan dengan keadaan biofisik yang dapat menyangkut fungsi produksi, fungsi lingkungan, fungsi konstruksi, dan fungsi lain-lain, atau semua fungsi lahan. Keadaan ini dapat merupakan bawaan alami lahan (misalnya lahan gurun), atau karena kerusakan oleh alam (bencana alam) atau oleh perilaku manusia (salah menggunakan lahan). Kekritisan lahan ditentukan oleh interaksi antar komponen lahan, baik yang berlangsung secara alamiah maupun yang berlangsung di bawah pengaruh tindakan manusia (Notohadiprawiro, 2006).

Ciri utama lahan kritis adalah gundul, gersang, dan bahkan muncul batu-batuan dipermukaan tanah dengan topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam. Tingkat produktivitas lahan rendah yang ditandai dengan

(6)

tingginya tingkat kemasaman tanah. Kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik rendah. Sebaliknya kadar Al, dan Mn tinggi dapat meracuni tanaman. Lahan kritis juga ditandai dengan tumbuhnya vegetasi alang-alang yang mendominasi, ditemukan rhizoma dalam jumlah banyak yang menghasilkan zat allelopati sehingga menghambat pertumbuhan vegetasi (Hakim 1991, dalam Yunita, 2005)

Menurut Departemen Kehutanan (2004), lahan berdasarkan tingkat kekritisannya dapat dibedakan menjadi lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis. Suwardjo dalam Yunita (2005), menyatakan bahwa lahan potensial kritis merupakan lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak menjadi kritis. Lahan yang termasuk dalam kelas potensial kritis mempunyai ciri-ciri antara lain;

1. Lahan masih mempunyai fungsi produksi, hidrologi sedang, tetapi bahaya untuk menjadi kritis sangat besar bila tidak dilakukan usaha konservasi.

2. Lahan masih tertutup vegetasi, tetapi karena kondisi topografi atau keadaan lereng sedemikian curam (>45%), sangat bertoreh dan kondisi tanah atau batuan yang mudah longsor, atau peka erosi, sehingga bila vegetasi dibuka akan terjadi erosi berat.

3. Lahan yang produktivitasnya masih baik, tetapi penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya dan belum dilakukan usaha konservasi, misalnya hutan yang baru dibuka.

Lahan agak kritis merupakan lahan yang kurang atau tidak produktif dengan ciri-ciri antara lain:

1. Lahan telah mengalami erosi ringan sampai sedang (horizon A<5 cm), erosi meliputi erosi permukaan dan erosi alur, tetapi produktivitasnya yang rendah karena tingkat kesuburannya juga rendah.

2. Lahan masih produktif tetapi tingkat erosinya tinggi sehingga fungsi hidrologi telah menurun. Apabila tidak ada usaha perbaikan maka akan menjadi lahan kritis dalam waktu yang relatif singkat. Solum tanah sedang (60-90 cm) dengan ketebalan lapisan atas (horizon A) umumnya kurang dari 5 cm. Lahan

(7)

ditumbuhi vegetasi yang didominasi alang-alang, rumput semak belukar dan tanaman tahunan dengan sebaran yang jarang.

Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali, dengan ciri-ciri:

1. Lahan yang telah mengalami erosi berat, dengan jenis erosi umumnya erosi parit (gully erosion).

2. Kedalaman tanah sangat dangkat kurang dari 60 cm. 3. Persentase penutupan lahan kurang dari 50%

4. Kesuburan tanah rendah dan meliputi daerah perladangan, padang rumput/alang-alang dan semak belukar tandus.

Lahan sangat kritis merupakan lahan yang sangat rusak sehingga tidak berpotensi lagi untuk lahan pertanian dan sangat sukar untuk direhabilitasi, dengan ciri-ciri:

1. Lahan telah mengalami erosi sangat berat (horizon A dan B telah hilang), selain erosi parit, banyak dijumpai tanah longsor, (landslide/slumping), tanah merayap (land creeping) dengan dinding longsoran yang sangat tebal.

2. Lapisan tanah dangkal sampai sangat dangkal (<30 cm) atau tanpa lapisan atas dan atau tinggal bahan induk, sebagian besar horizon B telah tererosi. 3. Persentase penutupan vegetasi sangat rendah (<25%) bahkan gundul dan

tandus.

Departemen Kehutanan (2009), dalam penilaian lahan kritis di setiap lahan mengacu pada definisi lahan kritis yaitu sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan. Berdasarkan fungsi lahan penetapan lahan kritis dikelompokkan dalam tiga kawasan meliputi:

1. Kawasan hutan lindung, adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Ruang lingkup kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan kawasan rawan

(8)

bencana alam. Parameter yang digunakan dalam penetapan lahan kritis meliputi; penutupan lahan dari vegetasi pohon, kelerengan lapangan, tingkat erosi, dan manajeman lahan.

2. Kawasan budidaya untuk usaha pertanian, adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Parameter yang digunakan dalam penetapan lahan kritis meliputi; produktivitas lahan, kelerengan lapangan, kenampakan tingkat erosi, penutupan batu-batuan, dan manajemen lahan.

3. Kawasan lindung di luar kawasan hutan, merupakan kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung tetapi tidak lagi sebagai hutan dan pada umumnya telah diusahakan sebagai daerah produksi. Parameter yang digunakan dalam penetapan lahan kritis meliputi; penutupan lahan dari vegetasi pohon, kelerengan lapangan, kenampakan erosi, dan manajemen lahan.

Lahan kritis merupakan sasaran indikatif rehabilitasi hutan dan lahan yang diprioritaskan untuk segera direhabilitasi. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan dari aspek hidrologi bertujuan Pengendalian banjir dan meningkatkan potensi air, dari aspek lahan bertujuan untuk Rehabilitasi lahan kritis, Pengendalian erosi dan sedimentasi, dan Peningkatan produktivitas lahan dan dari aspek sosial ekonomi bertujuan untuk pengembangan sosial ekonomi masyarakat.

2.5 Manajemen/Pengelolaan Lahan

Menurut Departemen Kehutanan (2004), manajemen/pengelolaan lahan adalah usaha-usaha untuk menjaga agar tanah tetap produktif, atau memperbaiki tanah yang rusak karena erosi agar menjadi lebih produktif. Manajemen atau tindak konservasi lahan ini dapat diamati langsung di lapangan dengan melihat perlakuan terhadap lahan misalnya metode konservasi lahan yang diterapkan pada

(9)

kawasan budidaya sesuai dengan petunjuk teknis. Sedangkan pada kawasan hutan yaitu adanya pengawasan, penyuluhan, dan tata batas kawasan.

Menurut Sitorus (1998), pengelolaan lahan dapat diartikan sebagai segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas lahan. Sistem pengelolaan lahan mencakup upaya untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lahan meliputi lima unsur kegiatan, yaitu :

1. Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya 2. Tindakan konservasi tanah dan air

3. Penyiapan tanah dalam keadaan olah yang baik 4. Penggunaan sistem pergiliran tanaman yang baik 5. Menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang

Menurut Arsyad (2000), konservasi tanah untuk menanggulangi lahan kritis diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Usaha konservasi tanah terdiri dari 3 metode yaitu :

a. Metode Fisik Mekanik

Metode fisik mekanik merupakan usaha-usaha pengawetan tanah untuk mengurangi banyaknya tanah yang hilang pada lahan pertanian dengan cara-cara mekanis. Metode mekanis konservasi tanah berfungsi sebagai berikut:

1. Memperlambat aliran permukaan

2. Menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak

3. Memperbesar penyerapan air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah 4. Penyediaan air bagi tumbuhan

Beberapa metode konservasi mekanik yang dikemukakan Arsyad sebagai berikut: 1) pengolahan tanah (tillage), 2) pengolahan tanah menurut kontur (contur cultivation), 3) guludan saluran menurut kontur, 4) teras, 5) dam penghambat (chek dam), 6) waduk, rorak, tanggul, dan 6) perbaikan drainase dan irigasi.

(10)

b. Metode Kimiawi

Metode kimiawi merupakan usaha konservasi tanah menggunakan bahan kimia atau secara kimiawi, baik bahan kimia sintesis atau alami. Arsyad (2000), menyatakan bahwa senyawa organik tertentu dapat memperbaiki dan meningkatkan stabilitas agregat tanah, akan tetapi senyawa organik tersebut masih terlalu mahal untuk dipergunakan secara luas. Metode kimiawi ini jarang digunakan dalam usaha konservasi tanah.

c. Metode Biologis/Vegetatif

Metode vegetatif merupakan usaha konservasi tanah dengan melakukan penanaman dengan berbagai jenis tanaman. Metode vegetatif yang digunakan dalam konservasi tanah meliputi; 1) penanaman majemuk (multiple cropping), 2) pergiliran tanaman (crop rotation), 3) tumpang sari (intercropping), 4) mulsa dan lain-lain.

2.6 Pemanfaatan SIG untuk Analisis Perubahan Lahan dan Lahan Kritis Pengertian SIG menurut Barus dan Wiradisastra (2000), adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data dan berreferensi spasial atau berkoordinat geografi. Suatu SIG suatu sistim basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Danudoro (2006), menyatakan bahwa SIG merupakan sebuah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data yang mana data tersebut secara keruangan (spasial) terkait dengan muka bumi.

Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), tumbuhnya SIG merupakan respon akan kebutuhan pengelolaan data keruangan yang lebih efisien dan mampu menyelesaikan masalah-masalah keruangan. Perkembangan SIG didasari oleh hal-hal sebagai berikut: a) perkembangan komputer dan sistem informasi, b) perkembangan metode analisis spasial di bidang geografi dan ilmu keruangan lainnya, c) tuntutan kebutuhan aplikasi yang menginginkan kemampuan pemecahan permasalahan di bidang masing-masing yang terkait dengan aspek keruangan (spasial).

(11)

Prahasta (2005), menyatakan bahwa SIG mempunyai empat komponen utama dalam menjalankan prosesnya antara lain :

1. Data input berfungsi mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber serta bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan data ke dalam format yang diminta perangkat lunak, baik dari data analog maupun data digital lain atau dari bentuk data yang ada menjadi bentuk yang dapat dipakai dalam SIG.

2. Data manajemen berfungsi mengorganisasikan baik data spasial maupun non spasial (atribut) ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah untuk dilakukan pemanggilan, pemutakhiran (updating) dan penyuntingan (editing).

3. Data manipulasi dan analisis berfungsi memanipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi sesuai dengan tujuan. Komponen perangkat lunak yang memiliki kedua fungsi tersebut merupakan kunci utama dalam menentukan keandalan sistem SIG yang digunakan. Kemampuan analisis data spasial melalui algoritma atau pemodelan secara matematis merupakan pembeda suatu SIG dengan sistem informasi yang lain.

4. Data output berfungsi menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data dalam bentuk (a) cetak lunak (softcopy) berupa produk pada tampilan monitor monokrom atau warna, (b) cetak keras (hardcopy) yang bersifat permanen dan dicetak pada kertas, mylar, film fotografik atau bahan-bahan sejenis, seperti peta, tabel dan grafik dan (c) elektronik berbentuk berkas (file) yang dapat dibaca oleh komputer.

Kekuatan fungsi GIS memberikan alat untuk pengolahan data multisumber dan efektif dalam menganalisis deteksi perubahan yang menggunakan data multisumber. Banyak penelitian difokuskan pada integrasi GIS dan teknik penginderaan jauh yang diperlukan untuk analisis deteksi perubahan penggunaan lahan.

Menurut Barus dan Wiradisatra (2000), aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Di bidang lingkungan aplikasi

(12)

SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis dan analisis kesenjangan.

Penentuan lahan kritis dilakukan dengan cara pengaplikasian GIS melalui pengolahan peta-peta digital yang dibutuhkan untuk penilaian lahan kritis seperti tutupan lahan, kelerengan, erosi, manajemen dan produktivitas. Aplikasi GIS untuk memperoleh data lahan kritis adalah overlay dan skoring setiap parameter untuk penilaian tingkat kekritisan suatu lahan.

Perencanaan pembangunan wilayah harus mempertimbangkan lahan kritis oleh karena berkaitan erat dengan kerusakan lahan. Kerusakan lahan mempengaruhi ketersediaan sumber daya air dan produktivitas lahan yang berakibat terhadap kehidupan masyarakat. Sumberdaya air yang makin berkurang berpengaruh terhadap suplai air irigasi pertanian sehingga produksi pertanian berkurang. Sumber daya air untuk pembangkit energi berpengaruh terhadap aktivitas industri, dan rumah tangga apabila sumber daya air berkurang.

2.7 Landsat

Landsat merupakan program tertua dalam observasi bumi yang dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Landsat dimulai tahun 1972 dengan satelit Landsat-1 yang membawa sensor MSS multispektral. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3, yang merupakan satelit percobaan (eksperimental). Generasi pertama memiliki dua jenis sensor, yaitu penyiam multi spektral (MSS) dengan empat saluran dan tiga kamera RBV (Return Beam Vidicon). Setelah tahun 1982, generasi kedua satelit membawa dua sensor Thematic Mapper TM ditempatkan pada sensor MSS. MSS dan TM merupakan whiskbroom scanners. Pada April 1999 Landsat-7 diluncurkan dengan membawa ETM+scanner. Saat ini, hanya Landsat-5 dan 7 sedang beroperasi. Terakhir kali NASA menambahkan penajaman sensor band pankromatik yang ditingkatkan resolusi spasialnya menjadi 15x15 meter sehingga dengan kombinasi diperoleh citra komposit dengan resolusi 15x15 meter (Lindgren, 1985).

Saluran TM mempunyai nilai lebih untuk analisis pemisahan vegetasi, pengukuran kelembaban tumbuhan dan tanah, pembedaan awan dan salju, dan

(13)

identifikasi perubahan hidrothermal pada tipe-tipe batuan tertentu. Data ETM mempunyai proyeksi tanah IFOV (instantaneous field of view) atau ukuran daerah yang diliput dari setiap piksel disebut resolusi spasial. Resolusi spasial keenam saluran spektral sebesar 30 meter, sedangkan resolusi spasial untuk saluran inframerah thermal adalah 120 meter (Jensen, 1986).

Saluran atau band-band spektral pada citra landsat mempunyai panjang gelombang yang berbeda-beda. Perbedaan panjang gelombang pada saluran citra landsat mempunyai kelebihan atau kegunaan masing-masing dalam melakukan interpretasi citra. Fungsi dari tiap-tiap band pada citra landsat tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Fungsi utama tiap band pada citra Landsat ETM+

Saluran Kisaran

Gelombang (µm) Kegunaan Utama

1 0,45 – 0,52 interpretasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan.

2 0,52 – 0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak di antara dua saluran penyerapan.

Digunakan untuk membedakan jenis vegetasi, untuk membedakan tanaman sehat dengan tanaman yang tidak sehat

3 0,63 – 0,69 Untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil

4 0,76 – 0,90 Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air 5 1,55 – 1,75 Untuk membedakan jenis tanaman, kandungan air pada

tanaman, kelembaban tanah

6 2,08 – 2,35 Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal

7 10,40 – 12,50 Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi. Pembedaan kelembaban tanah, dan analisis lain yang berkaitanan dengan gejala termal

8 Pankromatik Analisis wilayah untuk permukiman misalnya permukiman kota yang padat, penajaman batas linier, analisis setiap rencana tata ruang

Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997

Landsat telah mengalami berbagai perkembangan atau penyempurnaan dari generasi pertama dan kedua. Hal ini akan menyebabkan landsat juga mengalami perubahan karakteristik. Tabel 2 menunjukkan karakteristik dari landsat ETM+.

(14)

Tabel 2 Karakteristik Landsat ETM+

No Sistem Landsat-7

1 Orbit 705 km, 98.20

crossing, rotasi 16 hari (repeat cycle) , sun-synchronous, 10:00 AM

2 Sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)

3 Swath Width 185 km (FOV=150)

4 Off-track viewing Tidak tersedia

5 Revisit Time 16 hari

6 Band-band Spektral (µm) 0.45 -0.52 (1), 0.52-0.60 (2), 0.63-0.69 (3), 0.76-0.90 (4), 1.55-1.75 (5), 10.4-12.50 (6), 2.08-2.34 (7), 0.50-0.90 (PAN)

7 Ukuran Piksel Lapangan (Resolusi spasial)

15 m (PAN), 30 m (band 1-5, 7), 60 m band 6

8 Arsip data earthexplorer.usgv.gov Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997

Gambar

Tabel 1 Fungsi utama tiap band pada citra Landsat ETM+
Tabel 2  Karakteristik Landsat ETM+

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa ketentuan, penjelasan umum, dan penjelasan pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara

Dari hasil uji tekan disimpulkan bahwa material kaca tidak layak untuk dipakai sebagai sustitusi agregat kasar pada campuran beton., karena kaca tidak

1. Menentukan ahli waris yang terhalang. Untuk menentukan ahliwaris yang terhalang yaitu menelusuri aturan-aturan yang menjadi sebab penghalang hingga mendapatkan

Kepekaan religius, kemampuan mengalami kehadiran Yang Ilahi ada dalam diri semua orang, tetapi tidak semua orang begitu saja dapat mengembangkan spiritualitas atau

Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban melindungi warga masyarakat dari bencana dalam bentuk penanggulangan bencana secara cepat dan tepat, adil, merata, efektif dan efisien,

1) Kelembaban udara absolut, ialah banyaknya uap air yang terdapat di udara pada suatu tempat. 2) Kelembaban udara relatif, ialah perbandingan jumlah uap air dalam

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 8 Tahun 2001 tentang Perubahan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 5 Tahun 2001

Metode sumur uji merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan dalam pelaksanaan uji permeabilitas di lapangan pada pekerjaan pemadatan tanah, karena metode ini