• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat atau penegak hukum, dan faktor kesadaran hukum. Faktor perundang-undangan dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi hukum pidana materiil (hukum pidana substantif) maupun hukum pidana formil (hukum acara pidana). Ada dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum pidana, yaitu isi atau hasil penegakan hukum (substantif justice) dan tata cara penegakan hukum (procedural justice).

Dalam praktek pembuatan perundang-undangan di Indonesia, penggunaan pidana sebagai bagian dari politik atau kebijakan hukum pidana sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah hampir selalu dicantumkannya sanksi pidana, baik mengenai strafsoort, atau strafmaat ataupun strafmodus, pada setiap kebijakan pembuatan perundang-undangan pidana di Indonesia dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang pemilihan atau penentuannya.

Ada wacana diantara para pemerhati hukum, bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik-delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga, manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan

(2)

2

perlindungan masyarakat di satu pihak, dengan kepentingan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan reaksi dan sikap kritis terhadap beragamnya strafmaat yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu tersebut. Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya wacana disparitas pidana (disparity of sentencing) diantara delik-delik tertentu tersebut.

Adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan kedua, adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal obyektif untuk delik-delik tertentu yang sangat dicela dan merugikan atau membahayakan masyarakat dan negara, serta ketiga, demi untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga undang-undang kemudian menentukan, bahwa untuk delik-delik tertentu tersebut, disamping ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini menganut sistem maksimum umum dan khusus serta minimum umum. Hal ini menyebabkan hakim dalam menjatuhkan pidana dapat bergerak antara pidana paling tinggi dan paling rendah. Berhubung bermacam-macam ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP, sehingga hakim Indonesia mempunyai kebebasan yang sangat luas menentukan berat maupun ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Akibat dari ketentuan semacam itu terkadang tindak pidana yang secara

(3)

3

hakiki kualitasnya sama dijatuhi pidana yang berbeda-beda (disparitas pidana). Untuk mencapai hukum pidana yang lebih baik dan lebih mengutamakan keadilan maka diadakan pembaharuan hukum pidana, sehingga di dalam rancangan konsep KUHP baru dan dalam beberapa perundang-undangan pidana khusus telah menggunakan sistem minimum khusus di antaranya adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.1

Sanksi pidana minimum khusus yang diharapkan dapat mengurangi disparitas pidana dan menjamin perlindungan terhadap hak-hak terdakwa ternyata antara teori dan realitasnya sangat jauh berbeda, dalam beberapa kasus korupsi disparitas pidana masih sering terjadi seperti halnya dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Nazaruddin di Komisi Pemilihan Umum. Pada tanggal 20 Mei tahun 2005, Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum. Nazaruddin dituntut hukuman penjara selama delapan tahun enam bulan, membayar denda sebesar Rp. 450 juta, serta mengganti uang negara sebesar Rp 14,193 miliar. Jika uang negara tersebut tidak dapat dibayarkan, maka Nazaruddin akan dipenjara tambahan selama empat tahun. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lalu menjatuhinya hukuman penjara selama tujuh tahun pada 14 Desember 2005. Ia juga diharuskan membayar denda sebesar

---

1 Analisis sanksi pidana minimum khusus” http://skripsi.unila.ac.id/2009/07/23/analisis-sanksi-pidana-dengan-sistem-minimum-khusus-pada-perundang-undangan-pidana-khusus/diakses tanggal 04 Maret 2010

(4)

4

Rp 300.000.000 (tiga ratus juta). Dalam putusannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan Nazaruddin terbukti korupsi dalam pengadaan asuransi kecelakaan diri sehingga merugikan keuangan negara Rp 5,03 miliar. Nazaruddin juga diperintahkan untuk membayar uang pengganti Rp 5,03 miliar secara tanggung renteng dengan Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU.2

Kasus korupsi lainnya adalah kasus yang dialami Ir.Parlaungan Lubis, mantan Kasubdis Bidang Pengawasan dan Perizinan Dinas PU Kota Medan. Tersangkut kasus korupsi drainase tersier (parit) senilai Rp 10,2 miliar. Dalam vonis pada hari Selasa, 20 Oktober 2009, Majelis Hakim yang diketuai Charles Simamora SH menghukumnya dua tahun delapan bulan penjara denda Rp50 juta subsidair enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 224.534.655,- secara bersama-sama dengan 11 kecamatan yang turut dalam mengerjakan proyek drainase tersebut.3

Kasus korupsi yang kontroversial lainnya terkait dengan vonis hakim yang ringan terjadi terhadap Mantan Kepala Dinas Kependudukan Kota Medan Yusri Ramadhan Siregar,Bendahara Dinas Kependudukan Kota Medan Siti Salamah serta Kasubdis Pelayanan dan Pendataan Lisma Amin yang dinyatakan bersalah melakukan korupsi anggaran pemutahiran data pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2008,Rabu,19 Agustus 2009,Majelis hakim yang diketuai I Ketut Sudira,SH menghukum para terdakwa agar membayar denda masing-masing Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan ---

2

Kasus Korupsi ,http://id.wikipedia.org/wiki/Nazaruddin_Sjamsuddin, diakses tanggal 04 Maret 2010

3 Inilah Kasus Korupsi Birokrat Medan, http://www.hariansumutpos.com/2009/12/koruptor-kok-divonis-ringan.html, diakses tanggal 04 Maret 2010

(5)

5

serta uang pengganti terhadap terdakwa Yusri Ramadhan sebesar Rp101 juta. Sedangkan uang pengganti terhadap terdakwa Siti Salamah dan Lisna Amin masing-masing Rp251 juta.4

Kasus Korupsi yang menjadi sorotan publik lainnya adalah kasus korupsi yang melibatkan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Al Amin Nur Nasution, terdakwa kasus suap alih fungsi hutan di Bintan (Kepulauan Riau), diganjar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan hukuman delapan tahun penjara. Vonis itu lebih ringan hampir separo dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni hukuman 15 tahun penjara bagi mantan anggota Komisi Kehutanan DPR RI itu. Di samping hukuman badan, ketua majelis hakim Edward Patinasarani menghukum Al Amin membayar denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan. Hukuman denda itu juga mendapatkan korting. Sebab, majelis memutuskan tidak membebankan uang pengganti bagi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan itu. Padahal, dalam sidang sebelumnya Jaksa Penuntut Umum meminta dia membayar uang pengganti Rp 2,95 miliar. Hakim beralasan tuntutan uang itu tak bisa diluluskan

karena tidak dicantumkan dalam surat dakwaan.5

Selain dari beberapa kasus korupsi yang telah diuraikan diatas, disparitas pidana juga terjadi dalam beberapa kasus tindak pidana Terorisme yaitu seperti kasus pemboman hotel JW Marriot dan Ritz Calton dengan terdakwa Saifudin Zuhri, Ketua Majelis Hakim Heriyanto ketika membacakan vonis di Pengadilan -

---

4 Ibid.

(6)

6

Negeri Jakarta Selatan yaitu "Mengadili, menyatakan terdakwa telah terbukti memberikan bantuan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Menjatuhkan pidana delapan tahun dikurangi massa tahanan, lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa penuntut umum.6

Kasus Terorisme yang lainnya dengan Terdakwa Aris Makruf divonis tiga

tahun penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah, menyatakan terdakwa terbukti menyembunyikan Noordin M Top. Aris dinyatakan melanggar Undang-Undang Anti-terorisme karena turut menyembunyikan buronan teroris paling dicari Noordin M. Top. Vonis tiga tahun penjara ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang menuntutnya lima tahun penjara. Majelis hakim menyebutkan, faktor meringankan antara lain terdakwa menyerahkan diri dan kooperatif selama persidangan. Aris bersama dua temannya, Jabir dan Mustaghfirin dinilai membantu mencarikan tempat tinggal Nurdin M Top dan membantu menyediakan kebutuhannya sehari-hari selama di persembunyian.7

Kasus yang tidak kalah hebohnya adalah dengan Terdakwa kasus terorisme Ainul Bahri alias Abu Dujana dijatuhi pidana penjara selama 15 tahun. Dalam persidangan, majelis hakim juga menetapkan Al Jamaah Islamiyah sebagai korporasi yang terlarang. "Majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara memutuskan terdakwa Ainul Bahri dihukum pidana penjara selama 15 tahun," kata Ketua Majelis Hakim Wahjono dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, hari Senin, - ---

6

Hakim vonis saifudin zuhri, http://news.okezone.com/read/2010/04/20/337/324504/hakim-vonis-saifudin-zuhri-8-tahun, diakses tanggal 20 April 2010

7 Terdakwa kasus terorisme, http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/ 07/15/109186/Terdakwa-Kasus-Terorisme-Divonis-3-Tahun-Penjara,diakses tgl 15 Juli 2010

(7)

7

21 April 2008. Selain menghukum pidana penjara, hakim juga menyatakan Al Jamaah Islamiyah sebagai korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana terorisme. Karena itu majelis hakim mewajibkan pengurus Al Jamaah Islamiyah untuk membayar denda sebesar Rp 10 juta. Abu Dujana dinilai dan terbukti memiliki dan menyimpan bahan senjata api dan bahan peledak secara melawan hukum.Majelis hakim juga menilai Dujana telah memberi bantuan dan kemudahan pada pelaku tindak pidana dan terorisme serta menyembunyikan informasi tentang mereka. Putusan hakim ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu penjara seumur hidup. Hal-hal yang meringankan Abu Dujana antara lain, Dujana telah berlaku sopan selama persidangan dan belum pernah tersangkut kasus pidana. Terdakwa juga mengaku khilaf dengan apa yang dilakukan dan memiliki tanggungan istri dan anak.8

Selain kasus terorisme dan korupsi yang telah disampaikan diatas terdapat juga kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang menjadi perhatian publik baik nasional maupun internasional, yaitu kasus pelanggaran berat ham di timor-timor dengan tersangka Drs.GM Timbul Silaen, jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana termaksud pasal 42 ayat 2 huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, pasal 37 undang- undang No. 26 tahun 2000 sesuai dengan dakwaan kesatu dan dakwaan kedua dengan ancaman pidana 10 tahun 6 bulan. Namun dalam kasus ini

---

8 Abu Dujana dihukum 15 th, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/ Bulan/04/tgl/21/time/151209/idnews/926783/idkanal/10, diakses tanggal 21 April 2010

(8)

8

hakim dalam putusannya menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia. Putusan bebas yang dibuat oleh Majelis Hakim menunjukan satu kegagalan serius dalam menegakkan keadilan bagi korban dan kegagalan serius bagi pemajuan hak asasi manusia.

Dari beberapa kasus korupsi, terorisme dan pelanggaran ham yang telah

dijelaskan diatas, maka ada beberapa hal yang menjadi catatan penting yaitu terkait dengan penerapan sanksi pidana minimum khusus pada tindak pidana

korupsi dan tindak pidana terorisme terdapat perbedaan (disparitas pidana).

Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana minimum khusus kepada terdakwa korupsi dan terorisme dengan berbagai pertimbangan berdasarkan alat bukti dipersidangan tentunya sesuai dengan keyakinan hakim. Permasalahannya adalah keyakinan setiap hakim tidak ada tolak ukur yang jelas dan selain itu tidak adanya pola pemidanaan yang jelas juga bagi para hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana minimum khusus terhadap terdakwa korupsi dan terorisme.

Dalam penerapan sanksi pidana minimum khusus terhadap terdakwa korupsi, terorisme dan ham masih sering tumpang tindih terkait lamanya hukuman maupun besaran denda yang di jatuhkan, selain itu dari aspek perlindungan hukum masih terdapat ketidakadilan (diskriminasi).

Berdasarkan latar belakang tersebut, jelaslah disini bahwa masih sering terjadi disparitas pidana terkait sanksi pidana minimum khusus yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku kejahatan. Disini terlihat belum adanya pola pemidanaan yang jelas bagi hakim dalam menjatuhkan vonis (sanksi pidana),

(9)

9

sehingga dengan perbedaan vonis tersebut dapat dikatakan perlindungan hak-hak asasi bagi pelaku kejahatan tidak mempunyai standar yang jelas.

Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang :

“Kebijakam Hukum Pidana (Formulatif) dan Penerapan Sanksi Pidana Minimum Khusus Terhadap Pelaku Kejahatan”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka beberapa permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana (formulatif) dalam merumuskan sanksi pidana minimum khusus?

2. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana minimum khusus oleh hakim terhadap pelaku kejahatan?

3. Apakah putusan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana minimum khusus telah melindungi hak-hak pelaku kejahatan (terpidana) ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana (formulatif) dalam merumuskan sanksi pidana minimum khusus (unsur-unsur dan ancaman sanksi pidana minimum khusus).

b. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana minimum khusus oleh hakim terhadap pelaku kejahatan.

c. Untuk mengetahui putusan hakim terkait sanksi pidana minimum khusus melindungi hak pelaku kejahatan (terpidana).

(10)

10 D. Tinjauan Pustaka

Kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana” yang sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, criminal law policy atau strafrechtspolitiek. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum.

Politik hukum adalah:

a) Usaha untuk mewujudkan peraturan–peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat9.

b) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan10

.

Bericara mengenai penegakkan hukum tehadap pelaku kejahatan, maka diperlukan aturan yang memiliki sanksi pidana yang dapat membuat efek jera, salah satunya dengan menerapkan sanksi pidana minimim khusus. Ide dasar sistem pidana minimum khusus tersebut kemudian (idealnya) ditindaklanjuti dengan menentukan kriteria kualitatif dan kuantitatif untuk sistem pidana minimum khusus. Pemegang kebijakan legislasi dalam membuat suatu undang-undang pidana, tidak boleh sembarangan dan asal taruh pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya, dengan tanpa memperhatikan kriteria kualitatif dan kuantitatif sistem pidana minimum khusus.

---

9 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, 1981, hlm. 159

(11)

11

Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam undang-undang, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, maka tampak hal-hal berikut11:

1. Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan, dan denda) berapa dapat mulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun (dari 3 tahun hingga 15 tahun) dan ada pula yang menggunakan bulan. Demikian juga untuk pidana kurungan, ada yang menggunakan tahun dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan. Untuk pidana denda ada yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan ada pula yang menggunakan ukuran miliaran rupiah. 2. Tidak ada keseragaman rentang-kisaran untuk pidana penjara

minimum, pidana kurungan minimum khusus, dan pidana denda minimum. Selanjutnya dari kisaran terendah, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda, dengan menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak (semuanya) menunjukkan, bahwa delik-delik tersebut merupakan delik yang sangat membahayakan/ meresahkan masyarakat, dan atau delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualijizierte delikte).

3. Tidak ada kesebandingan/kesetaraan rasio antara maksimum khusus dengan minimum khususnya,baik untuk pidana penjara,pidana kurung-

---

11 Pola Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi, http://dominggussilaban.blogspot.com/2009/11/pola- pemidanaan-tindak-pidana-korupsi.html, diakses tanggal 04 Maret 2010

(12)

12 an maupun pidana denda.

4. Beragamnya rumusan strafmaat dalam undang-undang yang mencantumkan pidana minimum khusus, adalah bersumber pada belum adanya "pola pemidanaan" yang dapat dipedomani oleh pemegang kebijakan legislasi. Akibat yang sudah dapat dibayangkan adalah adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada beberapa undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan ini pada gilirannya berpotensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukumnya di tingkat kebijakan aplikasi.

Apabila faktor-faktor yang memperingan pidana lebih dominan, maka kepada Hakim dituntut untuk melakukan penegakan hukum yang berkeadilan. Akan tetapi yang dapat menimbulkan permasalahan adalah seberapa jauh memberi peluang kebebasan kepada Hakim (judicial discretion) untuk "dapat" turun (sampai batas tertentu) di bawah batas-limit pidana minimum khusus dalam suatu formulasi perundang-undangan, agar implementasi penegakan hukum yang berkeadilan tersebut tetap berada dalam koridor kepastian hukum.

Dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan membuatkan suatu formulasi aturan atau pedoman pemidanaan (straftoemetingsleidraad, atau statutory guidelines for sentencing-sebagaimana aturan atau pedoman pemidanaan dalam pola pidana maksimum khusus yang juga "dapat" naik (sampai batas tertentu) diatas batas limit pidana maksimum khususnya, ketika terdapat faktor-faktor yang memperberat pidana, seperti concursus realis terhadap kejahatan recidive terhadap kejahatan tertentu yang sejenis. Sebagaimana menurut rencana dalam KUHP

(13)

13

Nasional yang akan datang juga akan ada ketentuan yang mengatur soal "straftoemetingsregel" yang memuat hal-hal yang memperingan dan memperberat pidana. Penetapan mengenai alasan-alasan yang dapat memperingan dan memperberat hukuman ini adalah sangat penting dalam rangka keserasian dalam pertimbangan putusan Hakim. Dengan berpedoman pada penetapan ini maka antara Hakim yang satu dengan Hakim yang lain dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan akan terdapat keserasian, sehingga pidana yang akan dijatuhkannya pun akan sama satu sama lain.

E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian

a. Politik hukum pidana dalam merumuskan sanksi pidana minimum khusus terhadap pelaku kejahatan.

b. Penerapan sanksi pidana minimum khusus oleh hakim terhadap pelaku kejahatan.

c. Sinkronisasi putusan hakim dan perlindungan hak pelaku kejahatan (terdakwa) terkait sanksi pidana minimum khusus.

2. Subyek Penelitian

Hakim,Akademisi dan pihak-pihak yang terkait dengan obyek penelitian 3. Sumber Data

a.) Data primer, yaitu data yang diperoleh penulis di lapangan yaitu dari hasil wawancara dengan hakim,akademisi serta pihak-pihak yang terkait dengan obyek penelitian.

(14)

14

literature, jurnal, surat kabar, majalah, putusan pengadilan dan bahan tertulis lainnya yang terkait dengan masalah yang diteliti serta dokumentasi resmi institusional yang berupa berkas perkara instansi atau lembaga dimana penelitian ini dilakukan.

4. Metode pengumpulan data

a. Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mencari data yang berhubungan dengan obyek penelitian dilakukan dengan cara: Wawancara, yaitu secara langsung kepada hakim yang pernah menjatuhkan vonis pidana minimum khusus dan akademisi yang ahli terkait dengan obyek penelitian.

b. Studi kepustakaan, yaitu dengan mengkaji peraturan perundang-undangan dan mempelajari buku-buku, jurnal, makalah-makalah, kaya ilmiah yang berkaitan dengan obyek penelitian.

c. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa putusan di Pengadilan

F. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a) Pendekatan Yuridis–Normatif yaitu memahami permasalahan berdasarkan peraturan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini terkait kebijakan hukum pidana merumuskan sanksi pidana minimum khusus dalam Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 26 Tahun

(15)

15 2000.

b) Pendekatan Yuridis Sosiologis yaitu menganalisis implementasi aturan yuridisnya dalam dunia praktek penegakkan hukum, dalam hal ini terkait dengan penerapan sanksi pidana minimum khusus melalui tinjauan terhadap putusan pengadilan.

G. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan disusun secara sistematis melalui pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis sosiologis kemudian dilakukan analisis secara mendalam terkait dengan obyek penelitian dan dilanjutkan dengan kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan internal yang menjadi kekuatan KRB adalah (1) pusat konservasi ex-situ , (2) panorama arsitektur lanskap yang bernuansa alami, (3) KRB memiliki aksesbilitas tinggi

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

[r]

Berdasarkan keadaan tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai manfaat serta kerugian yang ditimbulkan akibat keberadaan TPA sehingga diketahui kelayakan