• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. 1. Candi Borobudur. Gambar 1.1. Arca Budha Candi Borobudur dan Bukit Manoreh courtesy 2008 Renee Scipio

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. 1. Candi Borobudur. Gambar 1.1. Arca Budha Candi Borobudur dan Bukit Manoreh courtesy 2008 Renee Scipio"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1. Candi Borobudur

Gambar 1.1. Arca Budha Candi Borobudur dan Bukit Manoreh courtesy ©2008 Renee Scipio

Candi Borobudur merupakan candi Budha, terletak di desa Borobudur kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Nama Borobudur merupakan gabungan dari kata Bara dan Budur. Bara dari bahasa Sansekerta berarti kompleks candi atau biara. Sedangkan Budur berasal dari kata Beduhur yang berarti di atas, dengan demikian Borobudur berarti Biara di atas bukit. Sementara menurut sumber lain berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara sumber lainnya mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.

(2)

Gambar 1.2. Stupa Candi Borobudur ©2009 arie saksono

Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat, berukuran 123 x 123 meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.

Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu.

Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka.

Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk.

Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.

Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan terbaca secara runtut berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya

(3)

Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).

Gambar 1.3. Salah satu relief pada Candi Borobudur ©2009 arie saksono Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.

(4)

Arca Budha - Dharmacakra Mudra courtesy ©2008 Renee Scipio

Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikelilingii rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Hal tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi, kemungkinan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. Desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo terdapat aktivitas warga membuat kerajinan. Selain itu, puncak watu Kendil merupakan tempat ideal untuk memandang panorama Borobudur dari atas. Gempa 27 Mei 2006 lalu tidak berdampak sama sekali pada Borobudur sehingga bangunan candi tersebut masih dapat dikunjungi.

2. Sejarah Candi Borobudur

Sekitar tiga ratus tahun lampau, tempat candi ini berada masih berupa hutan belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi Borobudur. Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan tentang biara di Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di

(5)

Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.

Gambar 2.1. Arca Budha dalam relung Candi Borobudur ©2009 arie saksono

Pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk, bangunan candi semakin jelas dan pemugaran dilanjutkan pada 1825. Pada 1834, Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.

3. Nama Borobudur

Mengenai nama Borobudur sendiri banyak ahli purbakala yang menafsirkannya, di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara atau asrama, sedangkan kata Budur merujuk pada kata yang berasal dari Bali Beduhur yang berarti di atas. Pendapat ini dikuatkan

(6)

oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara di atas sebuah bukit.

Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Dalam prasasti didapatlah nama Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat pemujaan para nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya. Bagaimana pergeseran kata itu terjadi menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat setempat.

4. Pembangunan Candi Borobudur

Candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah kepemimpinan Raja Samarotthungga. Arsitektur yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.

Sebelum dipugar, Candi Borobudur hanya berupa reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan. Pemugaran selanjutnya oleh Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, setelah itu periode selanjutnya dilakukan pada 1907-1911 oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp sebetulnya seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan satu, tetapi kemudian tertarik untuk meneliti dan

(7)

mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur, mulai falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana.

Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.

5. Materi Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir.

(8)

Candi Borobudur tidak memiliki ruangan yang memungkinkan pengunjung dapat memasukiknya, jadi para pengujung hanya dapat mencapai terasnya. Lebar bangunan candi ini adalah 123 m dan panjangnya 123 m, serta tinggi candi bangunan candi adalah 345 m. Seluruh kaki candi merupakan tumpukan batu andesit sebanyak 12.750m3, yang berfungsi sebagai selasar dan undakannya.

Gambar5.1. Stupa Candi Borobudur ©2009 arie saksono

Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Hal

(9)

tersebut merupakan salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia.

6. Simbolik Arsitektur di Candi Borobudur

Borobudur merupakan deskripsi dari perjalanan kehidupan manusia dan kaitannya dengan alam semesta yang diyakini oleh warga Budha Mahayana, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu.

Kamadhatu merupakan alam bawah atau dunia hasrat dan hawa nafsu; Dunia Kamadhatu menunjukkan bahwa manusia terikat pada hasrat dan hawa nafsu, serta cenderung terpengaruh dan dikuasai oleh hawa nafsu. Gambaran dan deskripsi alam kamadhatu secara jelas dalam bentuk relief-relief yang terdapat pada kaki candi asli yang melambangkan adegan Karmawibhangga, yang melukiskan hukum sebab akibat.

Rupadhatu merupakan alam antara atau dunia rupa; Dunia Rupadhatu menggambarkan bahwa manusia telah meninggalkan segala urusan duniawi dengan meninggalkan hawa nafsu dan segala urusan duniawi. Gambaran tahapan ini dilambangkan dengan bentuk lorong penghubung antara tingkat satu sampai tingkat empat.

Arupadhatu merupakan alam atas atau dunia tanpa rupa; Dunia Arupadhatu merupakan gambaran tentang tempat bersemayamnya para Dewa. Gambaran tahapan ini dilambangkan dengan teras bundar di tingkat satu, dua dan tiga, serta kehadiran stupa induk pada tingkat tertinggi.

Selain gambaran kondisi dunia yang terkait dengan perjalanan hidup manusia dalam bentuk relief-relief yang ada, terdapat pula beberapa patung Budha (kurang lebih sebanyak 504 buah) dan stupa (yang terdiri dari stupa induk, stupa

(10)

berlubang dan stupa kecil). Penjelasan rinci patung dan stupa yang terdapat di candi Borobudur disajikan pada Patung dan Stupa Borobudur.

Dalam tradisi Hindu, candi atau kuil dianggap sebagai tubuh atau surga para dewa. Pada mulanya, bangunan keagamaan Hindu itu didirkan dalam bentuk kecil dan sederhana, selanjutnya dalam perkembangan berikutnya bentuk bangunan itu mengalami perubahan yang makin kompleks, baik dari segi denah, bentuk, dan ukurannya. Strukturnya juga mengalami perubahan ke arah yang semakin rinci dan terbagi ke dalam sejumlah besar bagian-bagian yang lebih kecil. Perkembangan bentuk itu lalu diperkaya lagi dengan berbagai hiasan interior dan eksteriornya, yang umumnya berupa relief tokoh, flora, dan fauna. Termasuk relief dewa dan dewi serta gambaran kehidupan kahyangan. Kadang diceritakan pula episode-episode yang diangkat dari kisah-kisah tertentu. Bila awalnya bangunan kuil atau candi berstruktur masif atau pejal, lalu berkembang menjadi bangunan yang berongga atau memiliki ruangan.

(11)

Sangat kontras dengan bagian dinding luarnya yang penuh hiasan, bagian dalam (garbhagrha) merupakan ruang kecil, gelap, dan tersembunyi yang dibatasi oleh dinding tebal disekelilingnya, kecuali bagian depan sebagai pintu masuk. Bagian depan biasanya diperkaya dengan lorong panjang (antarala), dilengkapi dengan gapura dan sayap tangga yang berakhir pada suatu bordes. Umumnya, ujung bordes itu dihiasi dengan bentuk pahatan binatang mistis yang dikenal dengan nama makara.

Pada bagian atas pintu masuk, umumnya dihias dengan relief kepala raksasa. Di Indonesia, relief itu disebut kala untuk di Jawa Tengah dan Banaspati untuk sebutan di Jawa Timur. Perbedaannya dari bentuknya; kebanyakan kala dari Jawa Tengah tidak memiliki rahang bawah, sedangkan kala atau banaspati dari Jawa Timur digambarkan lengkap dengan rahang bawah. Dinding-dinding luar maupun dalam sayap tangga sering pula diperkaya dengan ikon yang sarat motif hias.

Jika diproyeksikan dengan sederhana, bentuk kuil atau candi itu secara vertikal berkembang dari bagian bawah, yaitu bagian yang menggambarkan dunia manusia (the mundane) ke bagian yang lebih tinggi, yaitu dunia spiritual, dan berakhir pada ruang terbuka yang gelap tempat didudukkannya arca yang menggambarkan dewa yang dipuja.

Garbhagrha sendiri secara simbolis mencerminkan puncak pencapaian sasaran individu menuju ruang sanctum sanctorium. Dalam dimensi yang lebih abstrak, apabila candi atau kuil itu merupakan suatu kompleks maka seluruh bangunan Hindu beserta komponennya itu mencerminkan suatu skema atau diagram ritual yang lebih sering disebut dengan istilah yantra atau mandala.

6.1. Yantra

Kata yantra berasal dari bahasa Sanskrta yang berarti alat atau sarana; dan secara lebih khusus digunakan untuk menyebut alat yang digunakan oleh para yogi atau brahmana untuk bermeditasi. Dalam beberapa hal, yantra juga dianggap

(12)

sebagai wadah atau tempat bagi istadewata. Secara lebih spesifik lagi, kata yantra yang berasal dari akar kata “yam” juga berarti mendukung, menopang, atau menyokong kekuatan-kekuatan yang melekat pada suatu unsur, objek, atau konsep.

Oleh karena sifatnya itu, maka pada hakekatnya yantra itu memiliki tiga unsur utama, yaitu unsur bentuk (akriti-rupa), unsur fungsi (kriya-rupa), dan unsur kekuatan (çakti-rupa). Di sisi lain, oleh karena yantra juga dianggap sebagai tempat kedudukan atau wadah bagi Istadewata maka yantra itu juga merupakan wujud pengganti dari dewa utama yang tidak digambarkan dalam bentuknya secara antropomorfis.

Yogini yantra adalah simbol-simbol yang berbentuk sejumlah segitiga yang ditumpuk dengan pola-pola tertentu, diangkat dan dijadikan pedoman untuk pembangunan sebuah kuil. Dalam Tantrisme, penggunaan yantra untuk pembangunan candi memiliki pengaruh yang sangat kuat, khususnya dalam pembangunan candi atau kuil yang digunakan untuk pemujaan Çakti. Yantra juga diletakkan dalam pondasi garbhagrha, serta pada sudut-sudut penting di suatu candi. Yantra juga berpengaruh pada komposisi berbagai pahatan arca yang menempel atau menghiasi, baik dinding luar maupun dinding dalam candi.

Di Indonesia, bangunan Candi Borobudur yang memiliki 9 teras atau tingkatan merupakan salah satu contoh Çri-Yantra. Bangunan ini didirikan pada pondasi persegi dengan empat pintu masuk. Masuk (gapura pintu masuk) serta lima tembok keliling di masing-masing terasnya serta tiga teras lagi yang melingkar dan dipenuhi dengan arca-arca Buddha. Akhirnya pada tingkat yang kesembilan yang merupakan mahkotanya memiliki stupa induk yang merupakan kekuasaan dari Buddha tertinggi.

Çri Yantra sendiri pada dasarnya memiliki tiga dimensi, sebagaimana halnya dengan gunung yang berteras-teras. Baik antara Yantra dan Stupa memiliki kesamaan skema kosmologis, yaitu menggambarkan dunia gunung mistis, yaitu

(13)

Gunung Meru. Untuk memahami secara utuh gambaran tentang Borobudur maka harus dipahamai melalui Çri Yantra.

Gambar 6.2. susunan candi Borobudur

Teras-teras yang ada di Borobudur itu sendiri juga dapat dianggap sebagai tingkatan-tingkatan perjalanan jiwa dalam mencapai kesempurnaan. Di dalam stupa seolah-olah digambarkan perjalanan dimulai dari bawah dengan keempat pintunya, selanjutnya makin naik melingkar menyerupai spiral hingga mencapai tingkatan yang kosong, seolah-olah berkembang dari dunia keberadaan menuju dunia jiwa. Hal ini sangat sesuai dengan perjalanan sadhaka dari dunia material menuju dunia spiritual selama menyelenggarakan meditasi Çri Yantra.

Dalam kaitannya dengan arsitektur, suatu yantra bukanlah merupakan denah (ground-plan) untuk suatu candi, melainkan skema dasar tentang denah-denah suci dalam pembangunan suatu candi yang harus dipenuhi. Dasar anggapan ini terutama karena dimensi serta ukuran arsitektur kuil atau candi dianggap sebagai hal yang sifatnya spesifik dan oleh karenanya maka diperlukan aturan-aturan yang sifatnya ritual dalam rangka menyusun kerangka dasarnya. Oleh karena sifatnya yang sakral itu maka pembangunan suatu candi atau kuil ahrus

(14)

benar-benar mengikuti aturan yang ditentukan dalam agama dan tidak boleh diubah secara semena-mena atau sekehendak hati pembuatnya.

Selain dalam bentuk skema mengenai denah bangunan suci, benda-benda suci seperti lingga juga dianggap sebagai yantra. Menurut Bosch, sebagaimana dikutip oleh K’o Tsung Yuan, bahwa bentuk Lingodbhawamurti dari Çiwa telah menjadi simbol kosmis yang bagian dasarnya berbentuk persegi (Brahmabhaga), di atasnya berbentuk segi delapan (Wisnubhaga), dan bagian ujung atasnya yang bulat/silinder melambangkan Çiwa sebagai Rudra atau Rudrabhaga.

6.2. Mandala

Meskipun kata ini sudah sering didengar, tetapi masih sering dijumpai kesalahan pemahaman.Seperti yang ditunjukkan oleh Pott mengenai penyebutan mandala yang sering digunakan untuk menyebutkan lukisan-lukisan pada kain yang biasa disebut pata. Padahal, tidak setiap pata merupakan mandala. Secara sederhana kata mandala dapat dipahami sebagai konfigurasi kosmis yang menggambarkan ploting kedudukan dewa-dewa secara hierarkis.

Pada mulanya, konfigurasi bentuk mandala itu berkembang dari bentuk persegi yang mewakili keempat penjuru mata angin, selanjutnya berkembang menjadi bentuk segi delapan, dua belas, tigapuluh dua, dan seterusnya, sehingga membentuk diagram-diagram tertentu. Dari sejumlah besar titik sudut itu maka bagian tengah merupakan bagian yang paling penting karena menjadi tempat kedudukan arca utama atau simbol lain yang menggantikan arca itu. Titik-titik di bagian luarnya secara melingkar dan mengelilingi titik tengah tadi merupakan tempat kedudukan dewa-dewa lain yang lebih rendah.

Secara sistematis dan hierarkis, struktur dan hubungan antara dewa yang satu dengan yang lain, baik yang setingkat maupun yang tidak setingkat, baik secara vertikal maupun horisontal, secara keseluruhan saling terkait satu sama lain. Secara integral, konfigurasi dari dewa-dewa itu dapat digunakan sebagai

(15)

sarana untuk meditasi dan di dalam ritual dapat berfungsi sebagai wadah bagi dewa-dewa itu.

Gambar 6.3. circle diagram with the lokapala and their as yet unidentified attendants

Untuk membedakan antara yantra dan mandala itu sendiri dapat dilihat melalui penggambaran dewa-dewa atau simbol-simbol tentang dewa itu. Di dalam mandala, umumnya, dewa-dewa itu digambarkan dalam wujud yang sangat raya dan lengkap hingga ke bagian-bagian detailnya. Sesuai dengan fungsinya di atas, yaitu sebagai sarana meditasi atau sebagai wadah dari dewa-dewa maka suatu mandala setidak-tidaknya dapat dibedakan dalam beberapa tipe bentuk apakah ia berfungsi sementara ataukah ia berfungsi permanen.

Suatu mandala dapat diwujudkan dalam bentuk gambar atau lukisan, dapat terbuat dari bahan-bahan yang bersifat plastis, seperti pasir, nasi, atau mentega. Namun, juga dapat diwujudkan dalam bentuk komposisi sejumlah arca perunggu dan dalam bentuk suatu bangunan. Pada awal mulanya, kata mandala hanya berasosiasi dengan bangunan suci atau tempat suci yang berkembang pada zaman Weda.

(16)

Namun, dalam perkembangannya kemudian kata mandala itu berkembang dan digunakan untuk menunjuk bentuk, gejala, ataupun aktivitas yang cenderung berpola melingkar. Kata-kata seperti candramandala (lingkaran orbit bulan), suryamandala (lingkaran orbit matahari), dan mandala-nrtya (menari melingkar), mandala-nyasa (gambar lingkaran), mandalasana (duduk melingkar), serta mendalanabhi (pusat lingkaran) sering dijumpai dalam literatur Weda. Secara keseluruhan, kata-kata itu menyimbolkan kosmos, keutuhan, atau integrasi bagian secara keseluruhan.

Dalam perkembangan berikutnya, kata mandala yang semula berarti lingkaran kemudian mengalami adaptasi perkembangan bentuk lebh lanjut menjadi persegi, persegi panjang, segitiga, dan sebagainya. Namun, dari bentuk-bentuk itu yang dianggap paling penting adalah bagian yang paling tengah karena dianggap memiliki inti kekuatan mistis yang mampu memberikan atau menyebarkan kekuatan itu ke seluruh penjuru mata angin.

Berdasarkan uraian tentang bentuk dan perkembangannya itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum kata mandala setidak-tidaknya memiliki sejumlah pengertian:

1. Sesuatu yang bersifat bulat, seperti bulan, matahari, nampan, atau roda. 2. Sebuah distrik, provinsi, atau negara; atau secara ringkas merupakan suatu

lingkaran wilayah kekuasaan dengan seluruh bawahannya yang terlibat dalam hubungan politik dan diplomatik.

3. Kumpulan orang banyak, masyarakat, dan kelompok.

4. Suatu kosmogram yang digunakan dalam agama Buddha Tantris untuk meditasi dan atau meditasi baik dalam bentuk lukisan maupun sesuatu yang memiliki bentuk tiga dimensi, baik yang berbentuk persegi maupun lingkaran dan secara hierarkis posisi di bagian tengah merupakan tempat yang paling suci.

(17)

Gambar 6.4. Candi Borobudur

Di Indonesia, bangunan yang mencerminkan bentuk mandala yang termasyur adalah Candi Borobudur dan Candi Sewu. Menurut penelitian Lokesh Chandra, Borobudur merupakan gambaran atau bentuk dari Vajradhatu Mandala yang berkembang dalam aliran Yoga Tantra dan bangunan ini merupakan bagian yang integral dari tiga serangkai, yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon.

Candi Mendut sendiri merupakan gambaran dari Garbhadhatu Mandala yang berkembang dalam aliran Carya Tantraya.

(18)

Candi Sewu, walaupun di relung-relungnya tidak ditemukan arca lagi, Bosch percaya bahwa komposisi arca-arca yang pernah menempati relung-relung di bagian candi ini dahulu menggambarkan Vajradhatu Mandala.

(19)

PENUTUP

Yantra merupakan suatu konsep yang melandasi bentuk pendirian suatu bangunan suci, yang pembangunannya terutama ditujukan sebagai sarana untuk menuju nirwana.

 Vastu-Purusha-Mandala merupakan gambaran tentang posisi arca dewa-dewa dalam suatu candi.

Apabila Vastu-Purusha-Mandala ini digunakan sebagai dasar perencanaan suatu kota maka orientasi atau arah hadap kota itu memperhatikan kedudukan candi.

Mandala dapat dipahami sebagai konfigurasi kosmis yang

menggambarkan keletakan kedudukan dewa-dewa berdasarkan hierarkis.

Awalnya, kata mandala berasosiasi dengan bangunan suci yang berkembang pada masa Weda. Namun, pada masa kemudian digunakan untuk menunjuk bentuk, gejala, atau aktivitas yang cenderung berpola melingkar.

 Dalam adaptasi bentuknya, mandala berkembang menjadi persegi, persegi panjang, segitiga, dan sebagainya.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Soeroso. 1998/1999. Jantra dan Mandala dalam Arsitektur Candi. Berkala Arkeologi Sangkhakala No. III/1998-1999. Medan: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – Balai Arkeologi Medan. Hlm. 41 – 57.

Gambar

Gambar 1.1. Arca Budha Candi Borobudur dan Bukit Manoreh courtesy ©2008  Renee Scipio
Gambar 1.2. Stupa Candi Borobudur ©2009 arie saksono
Gambar 1.3. Salah satu relief pada Candi Borobudur ©2009 arie saksono
Gambar 2.1. Arca Budha dalam relung Candi Borobudur ©2009 arie saksono
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dokter sebagai seorang yang dapat bekerja secara efektif dan harmonis Dokter sebagai seorang yang dapat bekerja secara efektif dan harmonis dengan orang lain baik

Penelitian ini bersifat deskriptif 33 -analitis, yang dengannya penelitian ini akan digambarkan bagaimana kedudukan cucu yatim dan anak angkat dalam keluarga

Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh defoliasi sorgum pada pola tanam tumpangsari dengan kacang hijau terhadap komponen hasil kacang

1) Debitur melakukan permintaan informasi secara luring dan daring kepada OJK. 2) OJK berwenang menetapkan penyesuaian penyampaian cakupan informasi laporan debitur

Motivasi kerja adalah dorongan atau semangat yang timbul dalam diri seseorang atau pegawai untuk melakukan sesuatu atau bekerja, karena adanya rangsangan dari luar

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuanisa Dhira Kemalasari (2010) mengenai Evaluasi Terhadap Kinerja Unit Usaha Syariah pada Bank Konvensional dengan Balanced Scorecard

Seminar Nasional dengan tema Peningkatan Peran Infrastruktur Transportasi pada Perekonomian Provinsi Jawa Timur dan Wilayah Indonesia Timur. Gedung Widyaloka 8

Kegiatan pengujian terhadap sumber tidak bergerak di Kota Makassar masih diharapkan pada pengujian oleh masing- masing usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi